Anda di halaman 1dari 52

Pendidikan

“Ketika orang lain sedang tidur, kamu harus bangun.


Ketika orang lain bangun kamu harus berjalan.
Ketika orang lain berjalan, kamu harus berlari.
Dan ketika orang lain berlari,kamu harus terbang”
Pendidikan

Belajar IPS

Bagi saya kesuksesan dalam mengajar murid yang paling


utama adalah menjadikan murid senang belajar. Entah itu
belajar pelajaran apa pun. Dari sekian murid les privatku,
kebanyakan mereka tidak suka pelajaran IPS. Mereka lebih
suka pelajaran eksakta seperti matematika dan IPA. Giliran
belajar IPS mereka ogah-ogahan. Apalagi kalau lihat
bukunya tebal dan tulisannya kecil-kecil bertambahlah
keengganan mereka.
Saat belajar biasanya saya suka meminta mereka membaca
sendiri buku mereka dengan memberi warna stabilo di atas
kalimat-kalimat penting. Lalu setelah mereka selesai
membaca saya tanya bagian yang mereka anggap penting.
Nah, kalo lagi pelajaran IPS dan PKN nih para murid
pengennnya dengerin saya yang cuap-cuap. Ya, akhirnya
saya cuap-cuap sih, tapi cuap-cuap berusaha
menyemangati mereka.
Kemarin sore, salah satu muridku emoh lagi lihat buku IPS-
nya. Padahal saya hanya memintanya melihat peta Australia
saja. Lalu mulailah saya berkicau menceritakan betapa
pentingnya pelajaran IPS.
Saya menceritakan pengalaman saya yang pernah dijaili
senior (kakak kelas saya waktu kuliah di Depok) kepada
murid saya. Dalam rangka memperlihatkan padanya betapa
pentingya pelajaran IPS.
Sesama alumni sebuah kampus, saya dan teman-teman
juga kakak-kakak kelas pernah aktif chatting bersama lewat
conference sekitar tahun 2004. Saat itu saya sering sekali
ngerjain mereka dengan memakai banyak nickname dalam
satu id Yahoo Messenger (YM). Kebetulan cara begini
belum jadi modus operandi, maka banyaklah teman yang

Page 2
Pendidikan

berhasil terkena tipu saya hehe.


Nah, Kang YS adalah salah satu korban kejailan saya.
Karena punya bakat jail juga, maka beliau meminta saya
mengajarkannya cara punya banyak nickname dalam satu
id YM. Maka saya mengajarinya hingga beliau mahir. Tapi
saying, setelah itu saya lupa kalau si Kang YS pernah jadi
murid saya.
Suatu hari ada yang menyapa saya di YM, namanya Ronald
Abdullah. Setiap saya online pasti dia selalu ada dan
menyapa saya duluan. Karena bahasa Inggrisnya lumayan
bagus jadi saya benar-benar percaya kalau dia adalah bule
muslim yang tinggal di Sydney.
Nah, pernah saat ke Jakarta, saya telepon Kang YS. Saya
bercerita padanya tentang laki-laki dari Sydney yang suka
menyapa saya di YM. Maklumlah, Kang YS ini kan
penasehat saya dalam hal perjodohan. Si Kang YS dengan
seriusnya hanya bilang “Udah rempet aja rempeeet.”
Akhirnya tiba juga saat saya curiga sama Mr. Ronald
Abdullah. Tapi rasanya ga enak kalau saya secara langsung
memperlihatkan kecurigaan saya. Maka jalan yang saya
tempuh adalah dengan bertanya Sydney itu ibukota negara
bagian mana. Saya kasih dua pilihan; Australia Selatan atau
Queensland (padahal Sydney itu ibu kota negara bagian
Newsouth Wales hihi). Mr. Ronald Abdullah saat itu
ketakutan kalau dua pilihan itu ga ada yang benar. Maka dia
hanya bisa menjawab, “You don’t believe in me? “You don’t
believe in me?” Akhirnya setelah didesak mengakulah dia
ternyata dia adalah Kang YS! Hahaha saya jadi ingat kata-
kata dia yang serius ditelepon. Pasti dalam hatinya mah dia
cekikikan, tuh. Hebat ya ga ketawa!
Nah, itulah fungsinya belajar IPS anak-anak. Jadi kita tidak
akan bisa dijailin sama para ahli jail seperti kang YS cs.
Mengerti? Hehehe. August 6, 2009 at 12:26pm

Page 3
Pendidikan

Kualitas SDM Kita Rendah, Tanya Kenapa

Dalam suatu kelas praktikum, tiba-tiba kelas yang hening


dikagetkan dengan suara teriakan seorang dosen yang
menghardik seorang mahasiswanya. Dengan mata melotot
sang dosen berjalan menuju dan menunjukkan telunjuknya
ke arah sang mahasiswa yang dianggapnya sangat tidak
tahu adab.
“HEEEH!!! SIAPA SURUH ANDA SEPERTI ITU?????”
Otomatis si mahasiswa yang kaget diperlakukan yang
menurutnya tidak pantas oleh dosen itu dengan nada yang
tinggi pula berusaha membela diri, karena merasa tidak
bersalah. Akhirnya terjadilah adu mulut yang panas antara
dosen muda itu dengan sang mahasiswa.
Buntut dari kejadian itu lalu menjadi panjang. Si mahasiswa
disidang dan harus membuat surat pernyataan bersalah
serta diharuskan menghadap sang dosen untuk meminta
maaf. Karena merasa bersalah pada teman-temannya
akibat ujian mata kuliah bersangkutan ditiadakan sampai
batas waktu yang tidak ditentukan, maka sang mahasiswa
datang menghadap dosen itu.
Di tempat kerjanya, di sebuah universitas negeri di sebuah
kota, sang dosen menasehati sang mahasiswa dengan
nasihat yang terkesan menggurui. Sang mahasiswa hanya
bisa diam mendengarkan tanpa ada perlawanan karena
menyadari posisi tawarnya yang rendah. Yang dia ingat
hanya nasib teman-temannya yang terlantar akibat
kesalahannya.
Tentu saja jiwa dan raga sang mahasiswa paska peristiwa
itu menjadi tidak sehat lagi. Setiap melihat dosen itu sakit
maagnya kambuh secara otomatis. Semangat belajarnya

Page 4
Pendidikan

yang awalnya menggebu-gebu dalam sekejap menjadi


sirna. Teman-teman si mahasiswa pun kontan saja menjadi
ketakutan begitu melihat sang dosen, walaupun bukan
mereka yang dimarahi.
Dulu sebelum terkena musibah seperti ini, sang mahasiswa
sangat sedih dan ngenes bila melihat ada seorang dewasa
yang hanya bisa diam dimarahi orang. Dia pikir betapa tidak
merdekanya jiwa orang yang dimarahi itu. Orang
bersangkutan hanya bisa mangut-mangut ketakutan tidak
bisa bebas membela dirinya. Betapa tidak mendidik dan
tidak bijaksananya orang yang men-supresi dan membuat
orang lain tidak berdaya. Negara ini adalah negara yang
merdeka, tapi kenapa jiwa manusianya masih tidak
merdeka?
Jawaban atas pertanyaan saya di atas mungkin salah
satunya adalah karena kualitas para pendidik kita yang
masih harus banyak belajar dalam mendidik para siswanya.
Negara ini membutuhkan pendidik yang tidak hanya pintar
dalam membangun intelegensi peserta didiknya, tapi juga
pintar dalam membangun kekayaan hati murid-muridnya.
Seperti contoh kasus di atas, pendidikan telah membuat
peserta didik menjadi tidak memiliki kemerdekaan jiwa.
Perasaan takut dan jiwa tertekan adalah suatu model
kegagalan dalam suatu pendidikan.
Selama ini kita hanya bangga bila murid kita bisa
mendapatkan nilai atau NEM bagus dalam ujian nasional,
sehingga banyak yang bisa masuk ke sekolah negeri karena
indikator kemajuan kualitas peserta didik kita hanya
berdasarkan angka-angka saja. Tidak ada kepedulian
bagaimana angka-angka yang indah itu didapat para murid,
apakah karena uang sogokan atau contekkan, atau karena
memang usaha keras sang siswa yang rajin menghapal
sesuatu yang mungkin beberapa hari kemudian akan hilang
dari otaknya. Yang penting nilainya gede, pasti pintar!

Page 5
Pendidikan

Di sini kualitas kejiwaan dan mental sering kali diabaikan


dalam mendidik siswa. Siswa tidak dididik dewasa dalam
berpikir dan bertindak karena sudah disituasikan kalau guru
adalah superior sedangkan murid adalah pihak yang inferior.
Guru minta dihormati tapi tidak merasa berkewajiban
menghormati siswanya. Maka tidak aneh bila siswa kita
menjadi manusia Indonesia yang tidak merdeka jiwanya,
penuh dengan rasa ketakutan.
Jangan heran jika kita melihat begitu banyak penjilat di
negara ini, karena ketakutan jabatannya akan dicopot kalau
tidak sesuai keinginan bos. Jangan heran jika di negara kita
banyak koruptor, karena mereka ketakutan tidak bisa
menumpuk harta untuk 7 turunan. Dan jangan heran bila
negara kita begini gini saja, tidak ada kemajuan. Bisanya
hanya minta bantuan sana sini setelah itu mau diatur orang
lain. Negara kita tidak punya kemerdekaan memiliki
kekayaan sumber daya alamnya sendiri pula. Bisanya obral
harta sendiri ke orang lain.
Indonesia membutuhkan banyak guru yang hebat. Yaitu
guru yang mampu memotivasi anak didiknya agar bisa
mengoptimalkan dirinya dengan kedewasaan jiwa dan
pikiran. Bukan guru yang membuat muridnya ketakutan, ga
berminat belajar atau bahkan membuat sakit maag si murid
jadi kambuhan. Seperti contoh kasus di atas.
“A mediocre teacher tells. A good teacher explains. A
superior teacher demonstrates. A great teacher inspires”.
Malang, Jun 13, '07 5:40 PM

Page 6
Pendidikan

Nasib si Mahasiswa Senior

Waktu masih semester ke-1 kuliah di Malang, saya pernah


punya pengalaman mendebarkan dengan seorang dosen
kimia. Saat itu sang dosen, setelah menerangkan materi,
mempersilahkan mahasiswa bertanya. Karena tidak ada
satu pun dari teman-teman saya yang bertanya, maka saya
bermaksud tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Setelah
pertanyaan saya selesai diutarakan, tiba-tiba saja ucapan
keras keluar dari mulutnya.
”PERTANYAAN APA ITU???”
Mungkin setelah mendengar pertanyaan saya, sang dosen
menjadi shocked karena seumur-umur jadi dosen baru kali
itu ada mahasiswa yang bertanya pertanyaan yang sama
sekali tidak berkualitas. Beliau langsung naik pitam seraya
memaksa kelopak matanya untuk memperlihatkan diameter
matanya yang terbesar.
Melihat reaksi dosen yang tidak saya sangka sama sekali
akhirnya saya menjadi tidak kalah shocked. Karena seumur-
umur menjadi murid dan jadi guru SD, baru kali ini ada guru
yang tidak menghargai trivial questions muridnya. Saya juga
jadi langsung naik pitam melihatnya naik pitam.
”BAPAK TADI MINTA KAMI BERTANYA, TAPI SETELAH
SAYA BERTANYA KENAPA BAPAK MALAH bla bla bla....”
Maka terjadilah adu mulut yang membuat teman-teman
saya sekelas ga kalah shocked-nya. Mereka deg-degan
menerka-nerka peristiwa apa yang bakal terjadi.
Setelah kejadian itu saya bersumpah untuk tidak bertanya
lagi pada dosen itu. Tapi dasar saya yang suka amnesia,
minggu besoknya ketika berjumpa lagi dengan pak kimia di
kelas dan ketika beliau mengajukan pertanyaan kepada

Page 7
Pendidikan

kami siapa yang tahu terjadinya suatu reaksi kimia, kejadian


itu terulang lagi.
Setelah melihat tidak ada satu pun teman yang menjawab
pertanyaannya, akhirnya saya lupa dengan sumpah saya.
Saat itu saya menjawab dengan air muka riang gembira
karena yakin jawaban saya bakal benar. Sekali lagi, sang
dosen memberi saya kejutan yang tidak disangka-sangka.
”MEMANG PERTANYAAN SAYA APA???” sang dosen
dengan ekspresi seperti minggu lalu. Mata bundar bola
pingpong itu!
”WAJAR AJA DONG PAK KALO ORANG SALAH
DENGER!” jawab saya.
Maka kembali terjadilah adu mulut antara dosen senior dan
mahasiswa senior itu (maksudnya mahasiswa yang sudah
ketuaan jadi mahasiswa) yang membuat teman-teman saya
sekelas jadi bertambah shocked. Mereka deg-degan
menerka-nerka peristiwa apa yang bakal terjadi.
Setelah itu saya dan dosen kimia itu resmi seperti dua orang
musuh. Dan ternyata suatu hari kami dipertemukan kembali
di suatu acara dalam rangka menyidang saya karena saya
terkena kasus anatomi yang tidak kalah shocking-nya. Di
acara itu hampir kembali terjadi perang mulut antara saya
dengani beliau. Saya merasa sangat disudutkan dan
dipatahkan semangat oleh ucapannya. Pokoknya saya
merasa terintimidasi, deh! Mungkin itu karena ada sentimen
pribadi atas kasus di atas hehehe.
Selang satu semester, kembali saya shocked karena
ketemu dia lagi di kelas. “Oh, ternyata pengajar Metodologi
Penelitian adalah my enemy!” begitu batinku saat itu. Benar-
benar tidak bergairah deh mendengar dan melihatnya
bicara. Bagi saya dosen yang satu ini adalah benar-benar
musuh saya. Tapi setelah diperhatikan sepertinya beliau

Page 8
Pendidikan

merasa kehilangan sesuatu di kelas, karena biasanya suka


ada yang bertanya pertanyaan tidak bermutu, kan? Saat itu
ketika dia memberi kesempatan mahasiswa untuk bertanya,
tak seorang pun yang mau buka suara untuk bertanya,
termasuk saya. Sumpah untuk tidak bertanya lagi padanya
benar-benar sudah terpatri dalam hati saya.
Di depan kelas saat itu kembali beliau memberi kejutan buat
saya.
”Saya mohon maaf.... bla bla. Bila tidak mengenal tidak
akan memahami. Bila tidak memahami tidak akan
memaafkan, kan?” katanya dengan merendahkan suara.
Saya yakin sebenarnya permintaan maaf itu ditujukan
kepada saya, tapi mungkin beliau gengsi jadi tidak langsung
ditujukan pada saya hahaha.
Mendengar kata-kata itu hilanglah semua kebencian saya
terhadap beliau. Lalu dengan riang, kembali saya
mengajukan pertanyaan yang tidak bermutu. Tapi kali ini
beliau sangat bijaksana menghadapi muridnya yang minta
ampyuun ini hahaha.
Ada dua tebakan saya mengenai perubahan sikap sang
dosen.
1. Bisa jadi karena beliau kehilangan dan merasa kasihan
pada saya karena sering kena semprot dosen hehe.
2. Kaget karena baru tahu kalau saya ini dulu pernah kuliah.
Beliau tahu dari transkrip nilai kuliah saya yang saya ajukan
karena saya ogah ikut mata kuliah MKDU. Itu pun saya
ajukan karena kepalang tanggung sudah banyak orang tahu
kalau saya ini pernah kuliah. Waktu awal masuk D3
Akupunktur saya mengaku sebagai lulusan SMA. Benar kan
saya lulusan SMA? Bukan lulusan SMK atau Madrasah
Aliyah? :D

Page 9
Pendidikan

Kalau tebakan kedua yang benar, maka benarlah pendapat


seorang teman yang bilang kalau orang itu cenderung
menghormati orang karena statusnya. ”Makanya Mia harus
menyelesaikan kuliah, supaya jangan selalu dikecilkan
orang.” begitu kata seorang teman suatu hari.
Jun 4, '08 6:45 AM

Page 10
Pendidikan

Surat di Majalah Gatra

Gatra edisi lawas 25 juni 2005 memuat sebuah surat, kalau


tidak salah surat itu berjudul “Supriono bukan
Pahlawan.” Isinya bisa dikatakan sebagai kritik terhadap
Supriono dan orang-orang yang menaruh empati padanya.
Menurutnya, Suryono hanyalah seorang yang memiliki
mental tempe yang dengan mudahnya menyerah pada
nasib dalam menyelamatkan anaknya yang meninggal
karena diare.
Saya merasa sedih membaca surat yang ditulis oleh
seseorang yang menyertakan gelar S.Pd dibelakang
namanya itu. Dalam benak saya saat membaca surat
tersebut, apakah seorang Supriono yang bisa jadi
pendidikannya tidak sampai tamat SD bisa diharapkan
memiliki mental baja seperti yang diinginkan sang penulis
yang adalah seorang sarjana? Apakah seorang Supriono
yang pemulung itu memiliki keberanian untuk lirik kanan-kiri,
pontang panting meminjam uang kepada para tetangga dan
saudaranya yang jelas-jelas bernasib sama, yaitu sama-
sama miskin?
Saya sangat yakin, sang penulis surat pastilah mengerti
bahwa jenjang pendidikan dan keadaan sosial ekonomi
sangatlah mempengaruhi pola pikir seseorang. Untuk itulah
sudah seharusnya kita sebagai orang yang ditakdirkan kuat
karena keilmuan kita memberikan pencerahan kepada
saudara-saudara kita yang tidak beruntung seperti Supriono,
bukan malah (kasarnya) menghujatnya. Supriono secara
implisit telah mengingatkan kita akan arti sebuah solidaritas.
Pencerahan yang bisa kita berikan misalnya dengan
memberi penyuluhan tentang memelihara kesehatan diri dan
lingkungan, mengajarkan mereka (para keluarga yang tidak
mampu) bagaimana cara memanfaatkan tumbuhan obat liar

Page 11
Pendidikan

yang ada di sekitar mereka, sehingga jika ada anggota


keluarga yang sakit bisa cepat diobati dan terlebih lagi
mereka tidak perlu mengeluarkan dana.
Sebagai seorang sarjana pendidikan, sebenarnya penulis
surat tersebut bisa berperan lebih dalam usaha pencerahan
ini. Karena beliau memiliki kesempatan untuk bisa
mengajarkan para muridnya pencerahan di atas. Lalu
diharapkan pengetahuan yang dimiliki oleh muridnya
tersebut bisa ditularkan kepada anggota keluarganya
lainnya, sehingga generasi penerus negeri kita ini bisa lebih
baik dari generasi sekarang. Jangan sampai kemiskinan
selalu mewariskan kemiskinan, seperti yang dialami Pak
Supriono dkk.
Dec 17, '05 3:49 PM

Page 12
Pendidikan

KNIL?
Pagi itu tidak seperti biasanya, saya menonton berita pagi
RCTI “Nuansa Pagi” pas ketika RCTI menyajikan liputan
istimewa mengenai tentara KNIL yang ditayangkan dalam
rangka menyambut perayaan kemerdekaan RI yang ke-61.
Liputan dimulai dengan penemuan nama-nama orang
Indonesia di pekuburan tentara Belanda di Aceh, sehingga
disimpulkan pada saat peperangan kemerdekaan dan
mempertahankan kemerdekaan bangsa Indonesia tidak
melawan tentara bule, tapi melawan orang Indonesia yang
menjadi KNIL. Dalam data yang ditampilkan, terlihat
komposisi KNIL mencapai lebih dari 80 persen dari
keseluruhan tentara Belanda.
Seorang penulis buku sejarah (kalau tidak salah judulnya
Peperangan Kerajaan-kerajaan di Nusanntara) yang
mengoleksi buku-buku berbahasa Belanda menyebutkan
beberapa tokoh Indonesia yang pernah menjadi KNIL,
diantaranya adalah HM Soeharto dan AH Nasution.
Di akhir liputan, RCTI mempertanyakan apakah keberadaan
KNIL ini diajarkan di sekolah. RCTI lalu melakukan survei ke
sebuah SMU negeri di Bekasi. Seorang siswa terpandai
dalam pelajaran sejarah di sekolah tersebut ditanya tentang
KNIL. Ternyata dia sama sekali merasa tidak pernah
mendengar nama KNIL sejak dari SD hingga saat ditanya.
Sebenarnya di buku PKPS (Pendidikan Kewarganegaraan
dan Pengetahuan Sosial atau yang dulu bernama pelajaran
IPS) SD kelas 6 bisa ditemukan sedikit tentang KNIL di bab
“Perjuangan Mempertahankan Kemerdekaan”.
Di situ dijelaskan tentang kedatangan tentara sekutu untuk
melucuti tentara Jepang tapi memboncengi NICA
(Netherlands Indisch Civil Administration atau pemerintahan
sipil Hindia Belanda). Kedatangan tentara NICA memicu
amarah rakyat Indonesia karena NICA mempersenjatai

Page 13
Pendidikan

tentara KNIL (Koninklijk Netherlands Indisch Leger) yang


menandakan Belanda ingin menjajah kembali Indonesia.
Di buku IPS penerbit Airlangga ini KNIL disebut sebagai
tentara sewaan kerajaan Belanda. Mereka adalah tahanan
yang dibebaskan dari tahanan Jepang yang berada di
Jakarta, Bandung dan Surabaya.
Memang dalam buku tersebut tidak dijelaskan secara
eksplisit gambaran tentang ”KNIL adalah orang Indonesia
yang berjuang demi kepentingan negara penjajah Belanda,
yaitu negara yang luasnya kira-kira seluas propinsi
Lampung itu, dan ‘berjuang’ untuk menghabisi orang
Indonesia,” sehingga wajar saja bila selama ini para siswa
membayangkan tentara Indonesia saat itu berperang
melawan penjajah berambut pirang. Dan para siswa pun
berasumsi bahwa semua orang Indonesia yang berjuang
pada saat perjuangan adalah para pahlawan. Mungkin tidak
akan terpikir dalam benak mereka jika nenek moyangnya
bisa saja adalah tentara KNIL. Tidak ada pertanyaan
mengenai KNIL, bahkan kata KNIL saja tidak mereka kenal.
Saya tidak bermaksud membicarakan sejarah KNIL dalam
tulisan ini, tapi masalah siswa yang tidak familiar dengan
KNIL-lah yang menarik bagi saya. Karena ini bisa menjadi
masukan bagi para stockholder sistem pendidikan di
Indonesia yang cenderung mengandalkan hapalan dan
berpatokan pada angka dalam hal menilai kemajuan siswa.
Perlu ditemukan cara agar setiap pelajaran, terutama
pelajaran yang mengandalkan ingatan, bisa long lasting
dalam otak para siswa. Misalnya untuk pelajaran IPS bisa
diputarkan film dokumenter untuk menunjang pelajaran yang
diselingi penjelasan dari guru dengan menggunakan
perangkat audio visual seperti proyektor LCD. Bisa juga
seperti ketika masa saya sekolah dengan cara acting-out
(simulasi/drama). Atau bisa juga dengan sering mengunjugi

Page 14
Pendidikan

tempat-tempat bersejarah. Intinya, keterliban siswa secara


aktif sungguh akan membantu siswa mengingat pelajaran.
Seperti yang diungkapkan Dr. Vernon A Magnesen, ternyata
belajar dengan membaca akan menyisakan 10 persen di
otak kita, 20 persen kalau kita belajar dari apa yang kita
dengar, 30 persen dari yang kita lihat, 50 persen dari yang
kita lihat dan dengar, 70 persen dari yang kita katakan, dan
90 persen dari yang kita katakan dan lakukan.
Atau para guru bisa juga memberikan tips mudah
mengingat. Misalnya dengan menggunakan teknik ingatan
imajinasi dan asosiasi. Imajinasi bisa juga disebut dengan
teknik mind mapping atau peta pikiran. Agar berhasil dalam
mengingat, kita harus mengembangkan imajinasi hidup
yang jelas dan kuat dalam pikiran. Teknik ini dituangkan
dalam catatan dalam bentuk gambar atau simbol. Adapun
asosiasi adalah kemampuan untuk mengambil suatu objek
yang kita kenal dan menghubungkannya dengan sesuatu
yang sedang kita upayakan untuk mengingatnya.
Cara mengingat yang lain adalah dengan memakai jalan
keledai, misalnya memakai teknik akronimologi atau teknik
kata kunci.
Iseng-iseng saya pun melakukan survei dengan menelepon
murid saya yang pernah saya ajar ketika mereka kelas 6
SD. Sebagai seorang guru SD saya ingin menguji apakah
murid saya masih ingat KNIL. Seorang murid yang sekarang
sudah di bangku kelas 1 SMU ternyata masih ingat. Dia tahu
KNIL adalah tentara Belanda, hanya lupa pada saat
peristiwa apa KNIL itu ada. Dulunya ga diajarkan cara
mudah menghafal sih ya sama bu guru yang satu ini hehe.
Tot strakt!
Aug 23, '06 6:29 AM

Page 15
Pendidikan

Sopir pun Punya Kecerdasan

Selama ini, kita selalu menganggap bahwa cerdas adalah


tatkala seorang anak cemerlang dalam mata pelajaran
matematika dan science. Betulkah seperti itu?
Kalau sedang iseng, saya suka memerhatikan lirik lagu-
lagu, misalnya lagu-lagunya ADA band. Menurut saya,
betapa cerdasnya sang musisi dalam merangkai kata-kata
dalam lagu-lagunya. Apalagi ketika memerhatikan intro
musik dan keserasian perpaduan antar alat musik. Ini
merupakan sebuah kecerdasan! Adalah tidak mudah
merangkai kata yang indah, begitu pun dalam menemukan
sebuah nada. Seorang dokter yang ahli dalam science
belum tentu bisa menciptakan melodi yang indah seperti itu.
Kecerdasan lain pun saya dapati dari seorang sopir.
Dalam perjalanan menuju Malang, untuk pertama kalinya
saya memberanikan diri duduk di bangku baris paling
depan, tepat beberapa jengkal di belakang sopir. Saat
melaju di Gresik, bis menyalip beberapa truk di depannya
dengan menggunakan jalur kanan. Saat masih berada di
lajur kanan, saya melihat di depan ada truk dari arah yang
berlawanan dalam jalur yang sama. Saya lihat ke sebelah
kiri, sebenarnya sudah tersedia tempat bagi bis untuk
segera menempati ruang itu, tapi kok sopir masih tetap di
jalur kanan. Ketika jarak truk-bis kira-kira sejengkal, baru
sang sopir bis memutar stir menuju ke jalur kiri. Saat
kejadian itu berlangsung jantung saya rasanya hampir
copot!
Saat berhenti mengisi bensin, saya yang penasaran
terhadap ulah sang sopir memberanikan diri bertanya. Sang
supir mendengar pertanyaan saya itu hanya tersenyum,
sambil berkata, “Saat saya nyalip di jalur kanan, ternyata di

Page 16
Pendidikan

belakang saya ada bis juga yang ikut nyalip. Saya liat ke
spion tengah dan belakang melihat bis itu apakah sudah
dekat dengan bis ini, saya juga tetep lihat ke truk di depan.
Nah, ketika bis di belakang sudah dekat, saya baru putar stir
masuk ke kiri. Kalo ga begitu Mbak, kasian bis di belakang
bisa tabrakan dengan truk. Yang kayak gitu sih udah biasa
di kalangan sopir, Mbak hehehe.”
Saya takjub mendengarkan penjelasan Pak Sopir. Saya
pikir ini adalah kecerdasan motorik! Sistem koordinasi sopir
ternyata hebat! Mungkin Pak Sopir sama sekali tidak tahu
rumus SePaTu (S=VxT, jarak= kecepatan x waktu), tapi
dalam prakteknya dia sebenarnya menerapkan rumus itu,
namun hanya mengandalkan insting!
Masih saya ingat, di negara kita murid hanya dicekoki untuk
melatih fungsi otak kiri mereka. Sehingga murid-murid
pandai dalam ilmu yang mengandalkan logika. Tapi
kecerdasaan otak kanan cenderung dikesampingkan. Anak-
anak yang tidak berkembang otak kirinya cenderung
disisihkan. Padahal survey telah membuktikan banyak anak
yang berhasil walaupun mereka hanya memiliki
kecerdasaan otak kanan.
Sebaiknya memang kedua belah otak bisa dikembangkan
secara optimal. Ini memerlukan kreatifitas para guru dan
tentu saja orang tua, juga perubahan paradigma bahwa
yang namanya cerdas itu bukan hanya pintar matematika!
Setiap orang memiliki potensi untuk mengembangkan
kecerdasannya. Sangat disayangkan bila setiap tahun
banyak sarjana yang bingung tentang ilmu yang mereka
pelajari di kampus. Setelah tamat belajar di kampus, mereka
baru sadar bahwa mereka tidak memiliki keahlian apa-apa.
Karena itu perlu penemuan potensi anak sejak dini, agar
mereka punya kecerdasan yang mumpuni.
Dec 19, '06 2:49 PM

Page 17
Pendidikan

Film Pendek dan Otak Kanan

Hari sabtu kemarin, secara tidak sengaja, saya menonton


film-film Kurz und Gut Zweitens (pendek dan bagus II)
Kurzfilme aus Deutschland (film pendek dari Jerman) di
perpustakaan umum Malang. Kebetulan saya memang
tertarik dengan pembuatan film durasi pendek, walaupun
tidak punya camcorder. Khayalan ini pernah saya
ejawantahkan dalam tulisan saya yang berjudul “Hayalan
Tingkat Tinggiku”.
Film yang diputar di berbagai negara lewat Goethe Institut
ini ada dalam 4 sesi. Sayang saya hanya menonton sesi
pertama saja, karena persediaan glukosa dalam darah saya
sudah menipis karena belum makan. Di Jerman film-film
pendek memang sedang nge-trend. Durasi film paling lama
hanya 17 menit dan paling sebentar hanya 5 menit. Setting
film juga ternyata sederhana, hanya di satu tempat saja.
Pada sesi pertama diputar horror und dorama filme yang
menyentuh hati. Di sesi kedua sebenarnya ada film ber-
setting di Jepang berjudul Pada Hari Rabu Malam di Tokyo
berdurasi 5 menit, tapi sayang saya tidak menonton.
Dari nonton film ini saya jadi berkhayal, seandainya sekolah-
sekolah bisa mengoptimalkan kegiatan ekstra kulikuler
(eskul) dengan memanfaatkan dana BOS (biaya operasional
sekolah) yang diberikan pemerintah, pasti murid-murid kita
bisa terbantu untuk memunculkan ide kreatifnya.
Yang saya tahu selama ini kegiatan eskul hanya ditangani
oleh siswa sendiri dengan bantuan kakak-kakak kelasnya
yang sudah menjadi alumni. Seandainya kegiatan yang bisa
membantu perkembangan hemisfer (belahan) otak kanan ini
digarap secara serius oleh sekolah, pasti kita akan temui
banyak sutradara handal seperti Riri Reza, penyair sekaliber

Page 18
Pendidikan

Taufiq Ismail, musisi setingkat Erwin Gutawa, grup musik


sebagus ADA band, fotografer sekelas Arbain Rambey.
Selama ini yang saya rasakan, sekolah kita lebih atau masih
memperhatikan perkembangan hemisfer otak sebelah kiri,
sedangkan otak sebelah kanan cenderung dikesampingkan.
Menurut para ahli, hemisfer kiri otak kita bertanggung jawab
pada kemampuan berbahasa, numerik (berhubungan
dengan angka-angka), sains dan kemampuan
menggunakan akal. Sedangkan otak sebelah kanan pada
bakat musik dan apresiasi seni, mempunyai wawasan,
dapat berimajinasi, mempunyai intuisi (perasaan dan
cetusan hati), dan biasanya orang yang bagus otak
kanannya akan menjadi kreatif. Mungkin karena lebih
mementingkan otak kiri inilah sehingga di negara kita tidak
banyak memiliki orang yang kreatif, karena otak kanan
kurang dikembangkan secara optimal.
Dulu saya punya murid les privat kelas 4 SD sekolah
internasional di Bogor. Ibunya orang Amerika, bapaknya
orang Jepang. Jadilah dia ini namanya Jepang tapi mukanya
bule. Saya kagum dengan kemampuannya merangkai kata-
kata, kekritisannya dalam bertanya juga wawasannya,
karena ternyata bacaan anak SD ini sudah ensiklopedia
yang tebal, dalam bahasa Inggris tentunya. Tentu saja
gurunya ini tidak berdaya menghadapinya. Tapi ternyata
murid saya ini memiliki kelemahan di matematika. Ketika
kutanya berapa hasil dari perkalian 7 X 2, dia menghitung
lama dengan menggunakan jari-jari tangannya.
Hal ini berbeda sekali dengan murid lain yang orang
Indonesia dan masih kelas 2 SD. Dengan lancar sekali dia
menjawab tes perkalian 9 yang saya tanyakan. Tapi murid
saya ini pemalu sekali. Kalau diminta bertanya, dia tidak
mau, malu. Maka dia hanya bisa diam saja.
Coba sekarang mari kita bandingkan antara murid saya
yang orang asing dengan yang orang Indonesia. Kalau mau

Page 19
Pendidikan

dinilai siapa yang pintar, pastilah orang-orang akan bilang


yang orang asing itu yang pintar, walaupun kemampuan
matematikanya menyedihkan. Karena yang dilihat orang
adalah kemampuan berbahasanya dan tentu saja
wawasannya.
Sangat disayangkan ada guru yang marah bahkan bicara
kasar pada muridnya hanya karena muridnya itu tidak
pintar di pelajaran numerik. Guru bersangkutan mungkin
belum tahu bahwa setiap anak itu memiliki kecerdasannya
masing-masing.
Bila orangtua dan guru bisa bijaksana dan kreatif, maka
pastilah bisa mengarahkan para generasi muda kita dengan
memberikan minat dan hobi pada mereka. Dengan begitu
kita juga bisa menekan angka pengangguran di negara ini.
Banyak orang sukses dalam kehidupan ekonominya hanya
karena bisa hidup dengan mengandalkan hobi yang
ditekuninya.
Jadi berikanlah inspirasi pada anak-anak supaya mereka
bisa hidup "di hutan belantara" dan jadi orang yang kreatif,
seperti orang-orang muda Jerman yang kreatif membuat film
pendek dan bagus.
Malang, May 7, '08 10:22 AM

Page 20
Pendidikan

Guru Les bukan Wonder Women

Dalam buku Mencetak Anak Cerdas dan Kreatif yang


merupakan kumpulan artikel psikologi anak yang pernah
dimuat di harian Kompas, ada bab berjudul “Les dan
Bimbingan Belajar Merusak Kreativitas Anak.”
Dalam bab tersebut disebutkan definisi mendidik, yaitu
membantu memberikan semangat, mendorong,
menciptakan suasana belajar di rumah. Selanjutnya
disebutkan pula bahwa banyak orangtua merasa wajib untuk
menyelesaikan PR dari sekolah. Bagi orangtua yang mampu
cenderung mempercayakan anaknya kepada guru privat.
Kemungkinan besar guru privat hanya mengerjakan PR
muridnya (ada yang tersinggung, nih hehehe).
Jadi pengen cerita sebab musabab saya jadi guru privat.
Dulu, karena merasa memiliki banyak waktu setelah
mengajar di SMA pada pagi hari, maka saya juga mengajar
di sebuah bimbingan belajar di Bogor. Lama kelamaan
karena merasa berat mengajar di bimbel, maka saya
mengajar privat tanpa lewat lembaga apa pun dengan murid
awal adalah keponakannya teman. Akhirnya semua
kakaknya dan seorang kakak sepupu temanku itu
memintaku mengajar anak-anaknya.
Awal jadi tajir mengajar privat adalah setelah saya “berhasil”
membantu Nabila yang saat itu kelas 6 SD. Nabila
merupakan anak saudara sepupu temanku yang sudah 2
bulan tidak sekolah karena sakit parah. Alhamdulillah
muridku ini dengan kondisi fisik yang lemah karena sakit
bisa menjadi peraih NEM tertinggi di sekolahnya. Hal ini
sangat mencengangkan banyak guru dan orangtua murid
lainnya di sekolahnya. Lalu ada orangtua temannya Nabila
yang meneleponku untuk mengajar anaknya. Nah, murid
yang ini pun akhirya bisa dapat NEM besar. Mulailah banyak

Page 21
Pendidikan

permintaan mengajar setelah itu. Akhirnya ketika itu saya


sudah tidak memiliki waktu lain selain mengajar dan
mengajar. Hari libur malah hari full untuk mengajar! Hahaha.
Sebenarnya saya sendiri tidak setuju bila keberhasilan para
murid itu adalah karena saya. Seperti Nabila. Gadis shalihah
ini memang memiliki kecerdasan dan semangat yang luar
biasa. Jadi ketika frekuensi belajarnya bertambah, tidak
heran bila almarhumah bisa mengejar cita-citanya untuk
bisa masuk SMP 1 (tak lama setelah masuk SMP 1 Nabila
meninggal dunia).
Balik lagi ke masalah guru les hanya mengerjakan PR
muridnya. Saya akui terkadang saya berbuat seperti itu.
Karena frekuensi belajar yang kurang, hanya seminggu 2
kali 2 jam, dan dengan beban harus mengajar semua
pelajaran (termasuk PR), maka guru les kekurangan waktu.
Untuk pelajaran berhitung atau menghafal biasanya saya
meminta murid saya dulu yang mengerjakan soal, lalu saya
memeriksa pekerjaan mereka. Tapi untuk bahasa Sunda
(wuih, hampir semua anak-anak di Bogor pada ga bisa
bahasa Sunda, termasuk guru lesnya! hahaha) dengan
tingkat kesulitan kosa kata dan jenis tugas yang sulit, maka
susah sekali saya bisa idealis untuk tidak mengerjakan PR
murid.
Bayangkan saja, anak kelas 4 SD sudah diminta membuat
tulisan tentang bayam dalam bahasa Sunda. Kosa kata
Sunda saja mereka masih terbatas, lah ini diminta menulis
tentang bayam.
Muridku yang kelas 2 SMP yang kritis pernah bilang kalau
dia sekolah hanya mencari ijasah saja, karena selama ini
dia merasa hanya belajar di rumah saja dengan ditemani
guru les. Kalau tidak dimarahi orangtuanya pasti dia lebih
memilih main pingpong di rumahnya ketimbang ke sekolah.
Setelah kira-kira dua minggu setelah liburan tahun ajaran

Page 22
Pendidikan

baru, saya sering melihat buku-buku murid masih bersih


tidak ada tanda-tanda pernah dibaca atau dipelajari. Sayang
sekali buku sekolah yang mahal itu hanya dibawa ke
sekolah selanjutnya disimpan di lemari saja. Alangkah
indahnya bila para murid mau membaca sendiri buku-buku
itu.
Bila dibandingkan dengan para pelajar masa kebangkitan
nasional, tentu saja generasi saat ini jauh tertinggal. Jaman
dulu para murid malah langsung membaca buku referensi
yang tebal-tebal. Hari ini sudah ada buku teks yang
merupakan rangkuman dari buku-buku referensi, tapi tetap
saja membaca buku setebal itu saja pelajar kita keberatan.
Tentu saja untuk bisa mengajarkan mereka untuk belajar
mandiri diperlukan kerjasama antara guru dan orang tua
murid, agar anak tidak melulu disuapi dalam belajar. Nah,
termasuk guru les juga kali, ya? Tapi berhubung guru les
bukan wonder women, jadi memang tidak bisa bersandar
sepenuhnya pada guru les dalam hal belajar anak.
Sep 3, '08 8:24 AM

Page 23
Pendidikan

Belajar dari Para Orangtua Murid

Bertahun-tahun mengajar les privat ternyata melahirkan


banyak cerita yang memberi wawasan tersendiri bagiku
yang bisa menjadi inspirasi jika aku menjadi orang tua nanti.

Suatu sabtu pagi, aku memarahi muridku entah karena apa.


Tiba-tiba saja dari lantai bawah ibunya murid teriak
memarahi muridku juga. Aku benar-benar lupa kalau hari itu
adalah hari sabtu, di mana orangtua murid sedang ada di
rumah. Aku merasa bersalah karena telah memarahi anak
orang lain dan orangtuanya tahu hihihi.
Aku tahu maksud teriakan ibu muridku adalah untuk
membantuku dalam menangani putranya. Namun apa yang
terjadi kemudian? Ibunya murid naik ke lantai atas di mana
aku dan putranya belajar. Lalu beliau melanjutkan
kemurkaannya pada putranya.
Yang membuatku kaget adalah reaksi muridku terhadap
teriakan ibunya. Muridku berteriak yang membuat wajah
ibunya memerah karena malu ada orang lain, yaitu
aku, tatkala kejadian itu berlangsung.
"DIEM LUH!!" teriak muridku pada ibunya dengan dada
membusung dan sikap siap berperang.

Di keluarga muridku yang lain, ibu muridku sudah kehabisan


energi untuk memarahi anaknya yang sudah mulai ngeyel.
Lalu bapaknya mendekati muridku sambil memegang
pundak putra semata wayangnya. Lalu mereka berdua
masuk kamar. Sang ibu menunggu dengan harap-harap
cemas terhadap perubahan yang bakal terjadi. Beberapa
menit kemudian muridku keluar dengan hidung merah dan
mata bengkak, pertanda sudah terjadi tangisan tersedu-
sedu yang nyaris tak terdengar suaranya.

Page 24
Pendidikan

Dari kejadian-kejadian di atas, saya belajar bahwa anak


walaupun masih kecil bila didekati dengan pendekatan
secara represif maka dampak yang timbul adalah kekerasan
hati. Kita sering memarahi anak karena mereka tidak
berlaku seperti yang orang dewasa pikirkan. Kita memaksa
mereka supaya seperti kita yang tahu mana yang baik dan
tidak untuk diri kita, tapi pendekatan yang dilakukan selalu
dengan bahasa yang tidak dimengerti oleh mereka.

Kesan terhadap penanganan anak yang dilakukan oleh


bapak muridku pada cerita kedua adalah memperlakukan
anak seperti orang dewasa yaitu dengan cara pendekatan
partisipatif. Ternyata di kamar, muridku diajak berdialog
tentang baik tidaknya tindakannya, lalu dia menyesali
kesalahanya dengan kesadaran penuh dari dalam dirinya.
Dalam sistem pendidikan keluarga dikenal ada dua
pendekatan, yaitu pendekatan represif dan partisipatif.
Ciri-ciri pendekatan represif adalah: menghukum perilaku
yang keliru, hukuman dan imbalan material, kepatuhan
anak, komunikasi sebagai perintah, komunikasi nonverbal,
sosialisasi berpusat pada orangtua, anak memerhatikan
keinginan orangtua dan keluarga merupakan dominasi
orangtua.
Ciri-ciri pendekatan partisipatif adalah antara lain:
memberikan imbalan bagi perilaku yang baik, hukuman dan
imbalan simbolis, otonomi anak, komunikasi sebagai
interaksi, komunikasi verbal, sosialisasi berpusat pada anak,
orangtua memerhatikan keinginan anak dan keluarga
merupakan kerja sama ke arah tujuan.
Baik pendekatan represif maupun partisipatif akan
menghasilkan dampak kepribadian anak yang berbeda.
Pendekatan represif menghasilkan kepribadian anak yang
menunggu perintah dan kurang memiliki inisiatif. Sedangkan
pendekatan partisipatif akan menghasilkan tipe kepribadian

Page 25
Pendidikan

anak yang memiliki kreativitas dan menghargai orang lain.


Saya jadi teringat kata-kata "If children are involved in
making family decisions, they will get an early start on
developing their own leadership skills". Mungkin berdialog
tentang masalah diri mereka dan sekitar akan membantu
mematangkan kecerdasan emosi mereka, dibandingkan
dengan menonjolkan vena jugularis yang akan berakibat
kekerasan hati dan sikap yang tidak dikehendaki semakin
menjadi-jadi.

* vena jugularis: pembuluh vena yang ada di leher, kalau


kita teriak atau bicara keras biasanya suka menonjol.

“Anakmu bukan milikmu


Mereka putra putri kehidupan
Yang rindu akan dirinya
Lewat kau mereka lahir, namun bukan dari engkau
Meski mereka bersamamu, mereka bukan hakmu
Berikan kasih sayangmu, namun jangan paksakan
kehendakmu
Sebab mereka punya alam pikiran sendiri
Berikan tempat bagi raganya
Tetapi tidak untuk jiwanya
Sebab jiwa mereka penghuni masa depan
Yang tiada dapat kau kunjungi
Juga tidak dalam mimpi” (Kahlil Gibran)
……………

May 22, '09 8:02 AM

Page 26
Pendidikan

PR-ku pada Muridku

Beberapa hari yang lalu mama muridku cerita, ternyata


muridku yang kelas 1 SMA ingin berhenti kursus kumon
yang sudah dia ikuti sejak masih SMP. Tentu saja mamanya
kaget, karena kursus kumonnya sebentar lagi akan segera
berakhir dan muridku ini beberapa kali diundang ke hotel
Mulia Jakarta untuk mendapat bintang dari kumon karena
termasuk siswa yang berprestasi.

Adapun alasan sang murid ingin berhenti kumon adalah


karena sudah beberapa kali ulangan di sekolah jawabannya
selalu disalahkan gurunya. Itu terjadi karena muridku
menggunakan rumus yang berbeda dengan yang guru
ajarkan, rumus hasil olah pikirnya yang dia pikir sederhana.
Jadi muridku berpikiran selama ini belajar kumon sia-sia
karena ga nyambung dengan pelajaran di sekolah.

Muridku ini juga pernah mengeluh padaku ketika dia kena


remedial ekonomi. Kesalahannya adalah sama, karena dia
menyederhakan rumus hitungan di ulangan. Padahal
jawabannya dengan jawaban gurunya adalah sama.
Ternyata muridku ini banyak terkena remedial. Dan ketika
kutanyakan kenapa bisa terkena ulangan remedial, apa saja
yang salah dari pelajaran itu, muridku hanya bilang tidak
tahu karena dia tidak diberitahu gurunya apa kesalahannya
dan berapa nilainya.

Apa yang salah dengan sistem pendidikan kita? Banyak.


Salah satunya adalah cerita di atas. Entah kenapa masih
ada guru yang tidak bisa menerima muridnya melakukan
cara yang berbeda dengannya. Bukankah banyak cara
menuju Roma? Padahal dengan seperti ini sang guru pun
bisa belajar juga dari muridnya. Bukankah kita harus selalu
belajar, dan pembelajaran itu bisa kita dapatkan dari siapa

Page 27
Pendidikan

saja?

Terus terang, sebagai guru les privat yang menangani


banyak pelajaran, aku banyak tidak tahu secara detail dari
pelajaran yang kuajarkan ke murid. Makanya aku selalu
mengharapkan muridku belajar kritis. Minimal mereka mau
memanfaatkan segala yang mereka punya, misalnya punya
guru ekonomi di sekolah maka manfaatkanlah dengan
sebesar-besarnya dengan selalu bertanya jika ada hal yang
tidak dimengerti.
Aku sudah menanamkan pengertian pada mereka bahwa
pengetahuanku tentang pelajaran itu terbatas karena
keterbatasan buku dan konsentrasi belajarku yang tidak
fokus. Namun hampir semua muridku tidak percaya diri
untuk berani bertanya pada gurunya di sekolah, walaupun
sudah kuyakinkan bahwa gurunya pasti akan senang bila
ada muridnya yang bertanya. Tapi keyakinan mereka akan
gurunya yang negative thinking tidak bisa mendorong
mereka untuk jadi berani bertanya.

Jadi dua masalah di atas: tertutup dengan inovasi yang


dilakukan murid, tidak memotivasi murid untuk berpikir krtitis
dan senang bertanya. Yah, ini masih jadi PR-ku untuk
memotivasi murid-muridku untuk berani bertanya dan
berrpikir kritis. Tentunya dengan cara yang santunlah.
Jun 18, '09 7:28 AM

Page 28
Pendidikan

Ki Hajar dan "Ki Hajar"

Istilah “Tut Wuri Handayani” tentu sudah tidak asing lagi di


telinga kita, karena istilah tersebut tertera di dalam logo
departemen yang mengurusi masalah pendidikan di
Indonesia. Istilah tersebut lengkapnya berbunyi Ing Ngarso
Sung Tulodo ( di depan memberi contoh teladan yang baik),
Ing Madyo Mangun Karso ( di tengah memberi semangat),
Tut Wuri Handayani (dari belakang memberi dorongan).

Istilah di atas pertama kali diperkenalkan oleh Suwardi


Suryaningrat yang pada akhirnya, agar lebih merakyat,
mengganti namanya menjadi Ki Hajar Dewantara. Ia lahir
pada tanggal 2 Mei 1889. Setelah dewasa, ia mendapat
kesempatan menempuh pendidikan di STOVIA Jakarta
(sekolah calon dokter bangsa Indonesia) karena kecerdasan
dan garis keturunannya yang berasal dari keluarga
bangsawan. Meskipun jalur pendidikannnya bukanlah di
bidang pendidikan, dan berasal dari golongan ningrat
namun Ki Hajar sangatlah peduli terhadap nasib bangsa dan
negaranya.

Pada masa itu bangsa penjajah selalu merendahkan harkat


dan martabat kaum pribumi. Hal itu mengusik hati Ki Hajar.
Lalu ia beserta teman-temannya bertekad mengangkat
nasib bangsanya melalui jalur pendidikan yaitu dengan
mendirikan Perguruan Taman Siswa pada tahun 1922 di
Yogyakarta. Atas segala jasanya terhadap pendidikan
Indonesia, pemerintah RI menetapkan tanggal kelahirannya
menjadi hari pendidikan nasional.

Walaupun Ki Hajar sudah meninggalkan bumi pertiwi,


namun perjuangannya tidaklah berakhir, karena kini telah
lahir Ki Hajar lain yang berjuang di bidang pendidikan untuk
mencerdaskan kehidupan bangsa Indonesia, seperti Mbah

Page 29
Pendidikan

Dauzan Farook dan Ibu Daryati.

Di usianya yang sudah lanjut, Mbah Dauzan masih tetap


bersemangat berjuang menebarkan ilmu kepada para calon
pewaris negara ini dengan membangun dan mengelola
perpustakaan keliling partikelir gratis miliknya di Yogyakarta
yang bernama Mabulir (Majalah dan Buku Keliling Bergilir).
Setiap hari ia berkeliling kota untuk mengedarkan berbagai
macam buku dan majalah. Ia juga telah mendirikan 100
kelompok pembaca setia perpustakaan kelilingnya.

Ia tidak mendapatkan bantuan dari siapapun dalam


mengelola perpustakaannya. Semua biaya ia tanggung
sendiri dengan memakai uang pensiun yang ia terima setiap
bulan sebagai mantan pejuang dalam perang kemerdekaan.

Kini di alam kemerdekaan, perjuangannya tidaklah surut.


Perjuangan membangun manusia Indonesia menjadi
pilihannya, setelah terlebih dahulu berjuang
mempertahankan bangunan negara tercintanya.

Sorang ibu setengah baya (sebut saja Ibu Daryati) yang


tinggal di daerah pesisir pantai Kalimantan, di tengah aksi
pendulangan sumber daya alam yang dahsyat, selama
belasan tahun mengajar anak-anak para nelayan yang
putus sekolah dengan kondisi ruangan kelas yang tidak
layak di sebut sebuah ruangan. Selama belasan tahun itu
pula ia berjuang sendirian tanpa ada pihak yang
memperhatikan nasib ”sekolahnya” apalagi menggajinya.

Walaupun tidak mempunyai bekal ilmu yang banyak, namun


ia berkeyakinan murid-muridnya yang merupakan korban
arogansi para penjarah negara ini, termasuk dirinya,
haruslah tetap mendapatkan pendidikan walaupun dengan
caranya yang semampu ia bisa berikan.

Page 30
Pendidikan

Ki Hajar dan “Ki Hajar” di atas adalah contoh anak bangsa


yang berjuang membangun tanah air melalui penebaran
ilmu walaupun latar belakang mereka bukanlah dari jalur
pendidikan. Keyakinan bahwa bangsa ini akan bangkit
melalui pendidikanlah yang melatarbelakangi tekad mereka
dalam turut serta mencerdaskan kehidupan bangsa,
walaupun hal itu harus mengorbankan waktu, pikiran dan
harta mereka. Pendidikan memang tanggungjawab semua
pihak.

Dengan tidak adanya perhatian dari pemerintah dalam hal


pendidikan sangatlah sulit menjadi “Ki Hajar.” Namun segala
ketulusan membangun bangsa inilah bermulanya semangat
para “Ki Hajar” di atas.

Bangsa ini terpuruk karena selama puluhan tahun para


pemangku jabatannya lebih mengejar angka-angka
pertumbuhan ekonomi dengan melupakan sisi
pembangunan manusianya. Lihatlah contoh bangsa lain
yang ambruk atau kehilangan kekuatannya karena
melupakan bidang pendidikan, seperti Spanyol yang pernah
mencapai masa kejayaan karena kualitas manusianya. Dan
lihatlah contoh bangsa lain yang dulunya lemah menjadi
kuat karena memprioritaskan pendidikan warganya, seperti
negara-negara yang sekarang di sebut negara maju.

Masalah pendidikan kita yang paling mendasar adalah


merosotnya kualitas manusia Indonesia baik dari segi
prestasi akademis, keahlian dan moral. Sudah saatnya
pemerintah sebagai pihak yang sangat berkewajiban
mencerdaskan kehidupan bangsa membuat program
pendidikan yang tepat guna dan berkesinambungan, serta
menjalankanya dengan segala kesungguhan. Karena maju
mundurnya suatu bangsa tergantung dari sumber daya
manusianya.

Page 31
Pendidikan

Juga sangat baik bagi para “Ki Hajar” lainnya untuk selalu
mengamalkan semboyan pendidikan bangsa Indonesia
yang telah didengungkan oleh Ki Hajar 83 tahun yang lalu
kepada para anak didiknya, yaitu hendaknya seorang
pendidik menjadi suri tauladan, pemberi semangat dan
pendorong bagi murid-muridnya.

“Ketika orang lain sedang tidur, kamu harus bangun. Ketika


orang lain bangun kamu harus berjalan. Ketika orang lain
berjalan, kamu harus berlari. Dan ketika orang lain
berlari,kamu harus terbang”. ( Prinsip yang ditanamkan
sejak kecil kepada orang-orang Korea Selatan, agar selalu
berada selangkah di depan)
May 6, '05 8:27 AM

Page 32
Pendidikan

Guru Indonesia

Saya punya teman namanya Bu Mai dan Bu Alwi. Keduanya


adalah guru di sebuah sekolah walaupun bukan lulusan
sekolah ilmu keguruan. Entah apa yang membuat mereka
terpanggil menjadi guru di sekolah yang tidak menjanjikan
kehidupan yang layak bagi mereka. Yang pasti mereka
dijanjikan akan mendapatkan kesukaran karena harus
mengajar murid yang notabennya "anak-anak buangan"
karena tidak ada sekolah negeri yang mau menerima
mereka. Terlebih lagi tingkat ekonomi keluarga murid-murid
di sekolah di mana keduanya mengajar sangatlah
memprihatinkan.
Ternyata setelah diselidiki ibu-ibu ini memang mengajar
hanya untuk pengabdian. Untuk hidup mereka memang
ladangnya bukan di sekolah. Mereka punya usaha
sampingan selepas mengajar di sekolah.

Dengan sabar Bu Mai dan Bu Alwi yang bertugas


merangkap sebagai guru BP sekaligus administrasi, wali
kelas dan kadang-kadang mengajar bahasa Inggris dan
manajemen ini selalu mendengarkan segala keluhan dan
tangisan para murid dan orang tua murid yang datang ke
sekolah karena tidak mampu membayar SPP.
Kadang Ibu guru kita ini juga menjadi perawat para
muridnya yang pingsan di kelas karena kekurangan makan
atau belum sarapan. Murid-murid di sekolah ini sayang
kepada kedua ibu guru teman saya ini, karena ibu guru kita
ini tidak pernah membebani murid dengan harus membeli
buku paket yang harganya mahal. Ibu guru yang baik ini
selalu membuat ringkasan dari buku-buku paket sehingga
murid-muridnya tidak perlu mengeluarkan dana untuk beli
buku.

Page 33
Pendidikan

Ada lagi cerita tetangga. Dia menangis karena tidak bisa


membayar uang buku dan uang bulanan anaknya. Yang
sangat memprihatinkan, ternyata masyarakat kita tidak
hanya orang kayanya saja yang terjangkit penyakit
mementingkan diri sendiri, tapi juga ternyata masyarakat
setengah miskin pun sekarang terjangkiti penyakit ini. Anak
tetangga ini tidak berani meminjam buku paket kepada
tetangga atau temannya yang lain bila ada PR. Karena
harga buku mahal, teman-temannnya cenderung tidak mau
meminjamkan bukunya barang sebentar. Pelajaran untuk
selalu berbagi dengan yang lain seperti sudah mereka
lupakan.

Kalau saya perhatikan memang harga buku anak sekolahan


sekarang mahal. Untuk SD kelas I saja bisa sampai 200 ribu
perpaket. Sewaktu jaman saya, buku-buku kakak masih bisa
saya pakai. Tapi sekarang tiap tahun buku berganti,
walaupun materi di dalamnya tidak mencerminkan seharga
buku tersebut.

Kadang ada guru yang mewajibkan murid membeli buku


untuk satu pelajaran 2 buku. Yang satu buku paket dan yang
satunya lagi buku LKS (Lembar Kerja Siswa). Biasanya
buku yang dipakai hanya buku LKS yang tipis dan harganya
murah. Sayang sekali buku paketnya tidak dipakai, padahal
harga rata-rata buku paket sekitar 25 ribu. Saya kadang
marah melihat guru-guru seperti ini. Tapi saya sadar mereka
seperti itu dalam rangka mencari tambahan keuangan uang
gaji mereka yang kecil, karena biasanya para guru
mendapatkan bonus 20-30 persen dari penjualan buku.

Ya beginilah dunia pendidikan kita. Guru di sini


penghargaannya sangat rendah, mentang-mentang ada
istilah Heroes without rewards. Banyak guru yang mencoba
menutupi kebutuhan ekonomi mereka dengan mengajar full
time dari pagi hingga malam atau mencari sumber-sumber

Page 34
Pendidikan

lain seperti dari penjualan buku. Rasanya memang tidak


banyak orang-orang yang seperti dua sahabat saya di atas
yang rela memberikan yang terbaik untuk murid-muridnya
walau dengan kompensasi yang rendah. Sahabat saya
seperti itu karena gantungan ekonomi utama bukan dari
mengajar. Jadi tidak semua guru di Indonesia jelek, kan?
Saya yakin masih banyak guru yang idealis seperti Bu Mai
dan Bu Alwi.

Menjadi guru di Indonesia rata-rata bukan karena pilihan


pertama. Kondisi ini sangat jauh berbeda dengan guru-guru
di Jepang dan negara-negara lain.
Seorang teman yang pernah mengikuti pelatihan guru biaya
JICA menuturkan bagaimana penghargaan pemerintah
Jepang kepada guru di sana sehingga banyak orang yang
mengejar cita-cita ingin menjadi guru. Perlakuan ini juga dia
rasakan ketika berada di sana. Para guru dikhususkan
mendapatkan akomodasi dan sarana transportasi yang
istimewa yaitu naik pesawat JAL (Japan Airline) dan bullet
train Jepang Shinkansen. Sementara para profesional yang
lain naik bis.

Tahun lalu saya baca di koran banyak dosen-dosen kita


yang lari mengajar di luar negeri. Bayangkan gaji seoarng
professor di Indonesia hanya 2.5 juta sedangkan di Brunai
bersihnya 75 juta kotornya 150 juta. Tahun 1930-an banyak
orang Malaysia dan Singapura yang belajar ke Indonesia,
tapi sekarang keadaan berbalik. Sekali lagi tentang masalah
pendidikan di Indonesia.
2004-08-01 11:58:00

Page 35
Pendidikan

Pendidikan di Indonesia

Di antara 10 negara ASEAN, Index Pembangunan Manusia


(IPM) Indonesia menempati urutan ke-6. Posisi kita berada
di bawah Vietnam, padahal negara ini baru berbenah pada
tahun 1980-an setelah dilanda peperangan.
Menurut UNDP, IPM atau HDI Vietnam berada pada urutan
ke-109 dari 175 negara, sedangkan Indonesia urutan ke-
111. Pantas saja Vietnam berada di atas kita, karena di
negeri paman Ho ini kita tidak akan mendengar sekolah
ambruk, mahalnya buku pelajaran dan repotnya
menyelenggarakan ujian akhir nasional.

Setelah 59 tahun merdeka rasanya tidak ada kemajuan


dalam pembangunan manusia Indonesia, malah yang kita
rasakan setiap tahunnya adalah kemerosotan. Pada tahun
1970-an pendidikan Indonesia masih menjadi acuan negara-
negara ASEAN. Sekarang lihatlah peringkat perguruan
tinggi Indonesia. Untuk kategori universitas multidisiplin: UI
berada pada urutan ke-61, UGM ke-68, Unair ke-75, Undip
ke-77. Untuk kategori universitas sains dan teknologi
perguruan tinggi terkemuka Indonesia hanya ada pada
peringkat ke-21.

Pendidikan Indonesia memang penuh dengan anomali, ini


bisa kita lihat dari kurikulum yang sering dimodifikasi tapi
tidak membuat murid pintar, biaya sekolah yang semakin
menjulang, kesejahteraan dan wewenang guru yang
terabaikan, persebaran sekolah dan guru yang tidak merata,
bangunan-bangunan sekolah yang rusak,dll.

Ada istilah ganti menteri ganti kebijakan, memang begitulah


yang terjadi. Dimulai dengan sering berganti nama: SMA
menjadi SMU, lalu balik lagi menjadi SMA, nama penjurusan

Page 36
Pendidikan

IPA- IPS lalu berubah lagi menjadi kelas biologi-fisik-sosial,


juga berganti istilah: CBSA, link and match dan sekarang
KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi), tetapi tetap saja
pendidikan Indonesia tidak mengalami kemajuan.

Kurikulum kita tidak membuat murid pintar. Contohnya,


murid kita yang telah belajar bahasa Inggris paling sedikit 6
tahun di bangku sekolah menengah dengan alokasi jam
yang banyak ternyata menjadi pintar berbahasa Inggris
bukan karena sekolah, tapi karena mereka belajar bahasa
Inggris di lembaga kursus informal. Belum lagi penerapan
kurikulum yang seragam untuk semua sekolah, tanpa
mengindahkan perbedaan kemampuan murid di setiap
sekolah atau daerah. Juga seringnya terjadi perubahan
kebijakan yang selalu mendadak, seperti perubahan jenis
format ujian akhir nasional.

Kualitas lulusan perguruan tinggi kita juga masih sangat


rendah dilihat dari konteks persaingan global. HDI India
memang berada di bawah kita (urutan ke-127) tapi ternyata
kurang lebih 30 persen pekerja perusahaan raksasa
software dunia Microsoft berasal dari India.
Rendahnya kualitas SDM kita dikarenakan pendidikan kita
lebih menekankan pada logika otak seperti menghafal
rumus-rumus, tahun-tahun riwayat sejarah, kosakata,dll
tidak menekankan pada kualitas dalam praktek yang akan
menjadi keterampilan hidup di masa depan.

Tingginya biaya pendidikan membuat banyak orang tua


menjerit karena semakin tidak mampu menyekolahkan
anaknya. Pendidikan telah menjadi suatu barang mewah.
Jika dulu siapapun bisa masuk sekolah negeri papan atas
hanya dengan satu syarat: mampu meraih nilai yang tinggi,
sekarang selain kemampuan otak kita juga dibebani dengan
kemampuan kantong tebal. Pungutan yang ada tidak hanya
iuran masuk murid baru yang besarnya berkisar 2- 5 juta,

Page 37
Pendidikan

tapi juga terdapat pungutan-pungutan lainnya seperti: uang


OSIS, uang daftar ulang, uang seragam serta uang buku
dengan jumlah nominal yang tidak sedikit. Yang lebih
memperparah, pihak sekolah pun tidak transparan dalam
hal penerimaaan pungutan-pungutan tersebut. Rupanya
istilah ”Pendidikan adalah investasi yang nyata” hanya
berlaku bagi kalangan ekonomi menengah ke atas saja.

Ternyata wajib belajar 9 tahun yang sudah menjadi


tanggung jawab pemerintah tidak disertai dengan adanya
dana yang cukup untuk merealisasikannya, sehingga semua
dana pendidikan dibebankan kepada masyarakat. Ini sangat
berbeda dengan Vietnam, walaupun masih dikategorikan
sebagai negara miskin namun pemerintah Vietnam telah
menetapkan pendidikan gratis bagi murid sekolah dasar dan
menengah pertamanya. Kita hanya mengalokasikan 4.4
persen dari APBN untuk pendidikan, sedangkan Vietnam
15,6 persen.

Masalah pendidikan Indonesia yang lain adalah


terabaikannya kesejahteraan, wewenang dan penyebaran
guru. Karena kecilnya kompensasi yang diterima di sekolah,
banyak guru honorer kita harus mengajar di beberapa
sekolah dari pagi hingga sore hari hanya demi mencukupi
kebutuhan dasar hidupnya. Bisa dibayangkan bagaimana
kualitas mengajar guru-guru kita dalam keadaan kurang
tenaga akibat keletihan mengajar di sana sini.

Guru pun dalam melaksanakan tugasnya hanyalah sebatas


menjadi operator. Guru Indonesia tidak memiliki otoritas
untuk menyusun kurikulum dan membuat soal ujian,
semuanya sudah diatur secara kaku oleh kalangan birokrat,
sehingga yang ada para guru selalu merasa dikejar-kejar
menyelesaikan materi pelajaran yang terasa berat diterima
oleh murid.

Page 38
Pendidikan

Secara kuantitas sebenarnya jumlah guru di Indonesia


cukup banyak, namun ternyata persebarannya tidak merata.
Ada banyak daerah, terutama di pedalaman, yang
mengalami kekurangan guru. Untuk setiap daerah bisa
membutuhkan ratusan guru. Mungkin ini disebabkan karena
kompensasi yang rendah sehingga banyak guru yang tidak
berminat mengabdi di daerah.

Akhir-akhir ini banyak sekali sekolah yang meliburkan


muridnya dikarenakan bangunan sekolah yang ambruk. Hal
ini memang harus segera mendapat perhatian kita semua.
Juga jangan dilupakan anak-anak transmigran yang harus
menempuh jarak belasan kilometer untuk bersekolah tanpa
adannya sarana transportasi dan belajar serta tenaga
pengajar yang memadai.

Sudah waktunya pemerintah memperhatikan pembangunan


manusia, karena walau bagaimana pun SDM lebih penting
daripada SDA, mengingat sifat SDA yang akan habis. Dan
yang tidak kalah pentingnya pendidikan moral hendaklah
mendapatkan perhatian.
Banyak aksi tawuran yang dilakukan baik oleh pelajar
tingkat menengah maupun tingkat mahasiswa dan semakin
maraknya dekadensi moral lainnya juga merupakan
cerminan betapa merosotnya kualitas pendidikan kita.

Mari kita bangun negara kita ini dengan membangun


pendidikan yang dapat melahirkan banyak insan berkualitas
unggul dan berspiritual tinggi.

2004-10-12 16:51:00

Page 39
Pendidikan

Mengantisipasi Penetrasi Budaya Negatif

Suatu hari saya mengunjungi sebuah desa yang sudah


masuk listrik. Jalan menuju desa itu dalam kondisi rusak
karena selalu dilalui truk-truk besar yang mengangkut batu
dan pasir. Entah apakah exploitasi sumber daya alam ini
legal ataukah illegal, yang jelas saya melihat pengerukan itu
lambat laun nantinya akan merusak ekosistem daerah
sekitar desa tersebut. Selintas terlihat desa ini memang
terisolasi tempatnya.

Di sebuah warung nasi, sambil menyantap nasi


bertemankan sambal ulek khas Sunda, mata saya sibuk
memelototi TV yang sedang menyuguhkan sebuah acara
infotainment. Beberapa saat saya baru sadar ternyata si
empunya warung pun turut serta menonton, walaupun dia
harus menonton dalam posisi tidak normal: memiringkan
badan sambil mencuci beras. Lantas saya melihat adanya
suatu keadaan yang sangat kontras antara kondisi warung
itu, yang semi permanent bangunannya, beserta para
penghuninya dengan tayangan yang ada di TV. Saat itu di
TV yang ditayangkan adalah sebuah kemewahan,
sedangkan si penonton adalah mereka yang hanya bisa
menjadi penonton dan nantinya bisa saja meniru segala
budaya hedonisme yang disodorkan oleh kotak ajaib itu.

Kondisi kontras ini sudah beberapa kali saya temui. Pernah,


saya dibuat kaget oleh keadaan masyarakat dari kelompok
ekonomi bawah yang memasang antena parabola secara
kolektif, karena daerah tersebut belum bisa menangkap
siaran TV melalui antena biasa. Sewaktu melintas pada
malam hari, saya melihat di setiap rumah yang kebanyakan
dibangun berempet itu banyak ditemui keluarga berkumpul
di depan TV. Mereka terlihat sangat asik, duduk di lantai
sambil menengadahkan kepala memandangi kotak ajaib

Page 40
Pendidikan

yang ditaruh di atas sebuah meja. Tontonan mereka hampir


sama, yaitu sinetron. Terlihat secara sepintas pemandangan
sangat kontras antara penonton dengan yang mereka
tonton.

Bila dulu barangkali kita pernah berkunjung ke desa atau


pernah mendengar bagaimana polosnya dandanan dan
perilaku para pemudi desa, sekarang cobalah kita tengok
daerah yang dulu bisa disebut desa seperti Bantul, Kulon
Progo, Jember, Tasikmalaya dan lain lain. Ternyata di sana
telah terjadi transformasi sosial.

Di Jember, pada bulan Agustus lalu diselenggarakan


Jember Fashion Carnaval untuk yang ketiga kalinya. Acara
ini mirip seperti Festival Rio, di mana agendanya berupa
fashion show dengan catwalk sepanjang 3.600 meter juga
penjualan produk fashion seharga 450 ribu yang ludes
terjual dalam waktu 2 minggu! Suatu ajang penyaluran
kreatifitas sekaligus penyaluran budaya konsumerisme.

Transformasi sosial seperti di atas memang menjadi


keprihatin kita bersama. Hal ini tidak hanya terjadi di
pedesaan tapi juga di perkotaan. Kita terperanjat ketika
membaca berita tentang ditayangkannya film Virgin yang
ditonton dengan antusias dan membludak oleh para ABG di
beberapa kota besar maupun kecil. Yang saya baca, film ini
setali tiga uang dengan para pendahulunya, malah lebih
parah!

Hidup di zaman sekarang memang harus mengikuti filosofi


ikan di laut. Badan ikan tidak terpenetrasi air asin yang
berada di sekelillingnya. Begitu pula dengan kita. Kita tidak
mungkin memencilkan diri dari dunia luar seperti halnya
kelompok Amish yang lebih memilih gaya hidup seperti abad
ke-17. Di abad serba digital ini, mereka hidup tanpa listrik,

Page 41
Pendidikan

TV, radio, mobil dan lain sebagainya, walaupun mereka


hidup di beberapa negara bagian Amerika Serikat.

Kita harus menggunakan segala sarana buah dari


optimalisasi kekuatan akal manusia buatan Allah ini untuk
mempermudah hidup kita bila kita tidak ingin dilindas zaman
yang semakin borderless ini. Tapi memang dari segala
kemajuan ini ada konsekuensi yang harus kita hadapi yaitu
penetrasi budaya negatif yang sekarang sedang mewabah
di hampir seluruh negara-negara berbudaya timur, terutama
di seluruh wilayah negeri tercinta ini.

Untuk itulah kita harus membentengi diri kita dan keluarga


dengan pertahanan yang kokoh, yaitu agama.
Menghidupkan kembali kebersamaan dalam kehidupan
keluarga. Karena keluarga adalah pertahanan awal
pembentukan jati diri anak. Jangan kita lupakan, serbuan
yang ditayangkan media massa selalu diserap dengan cepat
oleh anak-anak, terutama anak usia ABG. Untuk itu menjadi
mendesak bagi para orang tua yang selama ini mendidik
anaknya dengan pola otoriterisme untuk merubah kebentuk
sikap companionship dengan anak-anaknya.
Janganlah kita memperlakukan anak-anak kita yang masih
kecil seperti orang dewasa. Dunianya saat ini adalah berada
pada tahap dunia bermain. Pemaksaan kehendak orang
dewasa terhadap mereka hanya akan mengakibatkan
kontraproduktif yang pada akhirnya anak akan lebih merasa
nyaman bersama orang lain atau dunia lain sebagai tempat
berbaginya.

Intinya, tontonan yang menjadi tuntunan sebenarnya bisa


kita antisipasi dan atasi melalui benteng agama dan
keluarga. Dengan adanya pertahanan yang kokoh, kita tidak
akan mudah dipengaruhi sisi negatif kemajuan iptek. Malah
diharapkan dengan kekokohan itu, kita bisa mengajak orang

Page 42
Pendidikan

lain untuk bisa menjadi seperti halnya ikan di laut.

Kita memang tidak bisa mengharapkan pemerintah akan


melindungi keluarga kita dari serbuan ini, terbukti dengan
semakin banyaknya tontonan tidak mendidik dan merusak
masih meraja rela di sekitar kita. Kalau bukan diri kita sendiri
yang memulainya, siapa lagi?
2004-12-20 14:53:00

Page 43
Pendidikan

Sekolah dan Kedisiplinan Membuang Sampah

Suatu siang di dalam mobil angkutan kota (angkot) yang


padat penumpang, saya terusik melihat dua orang anak laki-
laki yang membuang sampah kulit buah sembarangan ke
jalan. Pekerjaan itu mereka lakukan berulang kali hingga
akhirnya saya memberanikan diri menegur mereka untuk
tidak membuang sampah di jalan, dan meminta mereka
untuk menyimpan sampah mereka di bawah jok mobil.
Alhamdulillah teguran saya mereka dengar, bahkan mereka
kelihatannya tidak berminat lagi menghabiskan makanan
mereka setelah itu.

Bila dilihat dari penampilan mereka, sepertinya mereka dari


kalangan menengah ke atas. Saya perkirakan mereka
adalah murid sekolah dasar kelas enam.

Yang saya pikirkan saat itu, murid sekolah dasar dari


kalangan menengah ke atas saja tidak mempunyai disiplin
dan rasa tanggung jawab menjaga lingkungan, apalagi
anak-anak dari lingkungan yang tidak terpelajar atau anak-
anak yang tidak pernah mendapatkan pendidikan di
sekolah, bisa jadi mereka akan lebih tidak peduli terhadap
kebersihan lingkungan.

Apakah ini suatu tuduhan? Tentu saja saya tidak bermaksud


menuduh, karena sebagai pengguna sarana angkutan
umum yang setia, baik angkutan massal maupun angkutan
kecil seperti halnya angkot, saya sering menemukan
pemandangan yang tidak indah di dalamnya, seperti (maaf)
banyaknya air ludah. Malah beberapa kali saya melihat
beberapa orang dengan seenaknya membuang ludah di
dalam kendaraan. Yang lebih mengenaskan, di trotoar
samping jalan sering kali tercium bau cairan sampah (bau
pesing).

Page 44
Pendidikan

Banyak sekali masalah lingkungan kita terjadi karena


banyaknya sampah bertaburan di sekitar kita, seperti
masalah banjir yang sudah menjadi langganan masyarakat
Jakarta, terutama di sekitar bantaran kali Ciliwung,
terjadinya polusi air dan udara karena limbah atau sampah
industri, mewabahnya penyakit berbahaya seperti penyakit
demam berdarah, dan sebagainya. Itu semua terjadi karena
lingkungan kita tidak pernah bersih dari sampah.

Kita semua sepakat ketidakdisiplinan adalah masalah yang


sudah melekat menjadi budaya kita. Itulah masalah yang
harus kita pecahkan. Karena bila tidak rasanya sulit sekali
kita berbenah untuk menggapai kehidupan yang lebih baik di
masa datang.

Dalam menjaga kebersihan, ternyata negara maju


menerapkan kedisiplinan kepada warga negaranya, baik
secara halus maupun tegas. Seperti Korea Selatan yang
menempatkan dua tempat sampah; organik dan non-organik
di mana-mana. Singapura menerapkan denda sebesar 5000
dolar Singapura bagi warga yang membuang sampah
sembarangan. Bahkan untuk memutus mata rantai
perkembangan nyamuk, pemerintah Singapura memberi
sangsi tegas bila menemukan rumah yang berjentik
nyamuk. Jepang setali tiga uang dengan negara-negara di
atas. Bahkan para perokok di sana pun selalu membawa
asbak tertutup kemana pun mereka pergi untuk membuang
abu dan puntung rokok mereka.

Di Indonesia ketidakdisiplinan dan tidak mempunyai rasa


tanggung jawab menjaga lingkungan tidak hanya
menghinggapi masyarakat umum tapi juga para petugas
pengolah sampahnya sendiri.
Berbagai macam teknologi seperti teknologi Insinerator
(pembakaran sampah) hingga sistem Sanitary Landfill

Page 45
Pendidikan

(Penimbunan) telah dicoba tapi selalu tidak membuahkan


hasil, malah menimbulkan masalah lingkungan yang lain
seperti polusi udara dan air. Inilah yang dikeluhkan
masyarakat sekitar tempat pembuangan akhir Bantar
Gebang dan Bojong. Pencemaran itu terjadi karena
teknologi dan sistem di atas tidak pernah diterapkan sesuai
dengan spesifikasi dan persyaratannya.

Kembali kepada yang saya pikirkan mengenai masalah


kedisiplinan anak sekolah dan non-sekolah di atas. Adakah
korelasi antara sekolah dan masalah kedisiplinan
membuang sampah? Tentu saja ada. Karena sekolah
adalah tempat dilatihnya values (nilai-nilai), seperti
kedisiplinan, kejujuran, ketekunan, etika dan sebagainya,
mengingat tidak semua orang tua mampu menanamkan
sikap disiplin kepada anak-anaknya. Banyak orang tua
mengeluh anak-anaknya tidak patuh kepada nasehat
mereka. Berbeda sekali bila mereka mendengar nasehat
dari guru mereka.

Sudah saatnya sekolah, terutama dari tingkat taman kanak-


kanak hingga sekolah menengah atas, menjadi tempat
pelatihan rasa disiplin dan tanggung jawab terhadap
kebersihan lingkungan, misalnya dengan menempatkan
banyak tempat sampah di setiap tempat dengan
menyertakan peringatan tentang pentingnya menjaga
kebersihan lingkungan, menerapkan aturan denda jika
terjadi pelanggaran dan yang lebih penting lagi bimbingan
dan contoh setiap guru kepada murid-muridnya mengenai
pentingnya hidup bersih dan dampak kotornya lingkungan,
dan juga terus memotivasi mereka untuk berperilaku disiplin
hingga akhirnya diharapkan para murid terbiasa untuk selalu
hidup bersih di luar lingkungan sekolah mereka. Diharapkan
nilai disiplin yang ditanam di sekolah ini akan membekas
dalam hidup mereka, dan bisa menularkannya kepada
keluarga atau bahkan kepada lingkungan mereka tinggal.

Page 46
Pendidikan

Alangkah indahnya bila sekolah-sekolah di Indonesia tidak


hanya berhasil meluluskan lulusan dengan nilai akademik
yang gemilang tapi juga lulusan yang berdisiplin dan
memiliki rasa tanggung jawab terhadap lingkungannya.

Semoga hal yang terlihat sepele ini bisa direnungkan dan


menjadi bagian dari kehidupan murid sekolah, mengingat
pentingnya masalah menjaga kebersihan lingkungan,
sehingga perkataan “Kebersihan sebagian dari iman” bisa
diterapkan dalam kehidupan bangsa Indonesia.
2005-01-222 14:34:00

Page 47
Pendidikan

Cantik itu Memang Relatif

Kesimpulan yang menjadi judul di atas saya buat ketika dua


hari berturut-turut membantu rekan guru bahasa Inggris
mengulang-ulang kosakata bahasa Inggris.
Murid saya yang namanya Vincent selalu lupa bahasa
Inggrisnya cantik. Nah, sewaktu saya tunjukkan gambar
kartun wanita cantik dia terlihat berusaha mengingat. Dia
lama diam. Melihat dia lama berdiam diri lantas saya
berkata, "Vincent, supaya selalu ingat cantik itu bahasa
Inggrisnya apa, ingat Miss. Iis aja ya, pasti ingat, deh.
Haha." kataku becanda. Lalu Vincent menjawab sambil
tersenyum, "Memang iya kok, Ms. Iis memang cantik."
Tiba-tiba saja Farhan, temannya Vincent, demi
menyelamatkan gurunya dari kege-eran, nyeletuk sambil
melihat saya, "Kalo menurutku sih Ms.Iis biasa ajah. Ga
cantik!" Saya tertawa mendengar ucapan polos bin jujur
kacang ijo murid saya yang masih kelas satu SD ini.
Besoknya Vincent masih saja lupa kata beautiful. Lalu saya
menunjukkan jari telunjuk saya ke arah wajah saya. Eh,
benar, dia langsung ingat!
"Beautiful!" jawabnya yakin, penuh semangat.
Sekali lagi Farhan murid saya yang jujur kacang ijo protes.
"Kalo kataku sih biasa-biasa aja, ah! Ga cantik!"
Vincent diluar dugaan membalas.
"Kalo kataku, sih, Miss. Iis yang paling cantik di antara
semua guru."
Mendengar kata-kata Vincent saya langsung tertawa lepas
tak tertahankan. Saya ga habis pikir, dia itu berkata jujur

Page 48
Pendidikan

kacang ijo atau lagi ingin membuat gurunya senang atau


apa karena matanya harus diperiksa ke dokter, ya?
Lalu cerita mengenai kedua murid saya ini saya ceritakan
pada rekan guru yang lain. Mendengar cerita saya, rekan
guru tertawa menahan geli. Tapi sebenarnya mereka tidak
heran mendengar tingkah kedua murid ini. Di mata kami,
dua murid ini memang sangat berbeda sifatnya.
Vincent pembawaannya tenang, ramah, selalu senyum,
penuh santun, terlihat dia selalu memandang segala
sesuatu itu indah. Sedangkan Farhan dikenal murid yang
kritis, suka protes dan gelisah. Sebenarnya tidak ada yang
salah dengan sikap kritisnya, namun bila dengan
kekritisannya itu dia menjadi selalu gelisah, kasihan, kan?
Melihat kedua murid saya ini, saya jadi teringat istilah
“Setengah Isi Setengah Kosong, Half Full-Half Empty”.
Setengah Isi Setengah Kosong sendiri merupakan satu
ilustrasi dalam pelatihan motivasi. Yang lazim sering
dilakukan adalah dengan mengambil sebuah gelas yang
setengahnya berisi air. Pastilah sebagian orang akan
mengatakan gelas tersebut setengah kosong dan sebagian
lain mengatakan setengah isi. Tentu saja keduanya benar,
namun berbeda dalam cara pandangnya.
Orang yang mengatakan gelas tersebut setengah kosong
selalu melihat segala sesuatu dari sisi negatif. Biasanya
orang selalu menyebut orang ini selalu ber-negative
thinking. Sedangkan yang mengatakan setengah isi adalah
orang yang melihat segala sesuatu dari segi positifnya.
Bagi orang tipe ini segala sesuatu yang dilihatnya selalu
indah.
Sesuai judul tulisan ini maka bisa disimpulkan kembali
bahwa anak kecil pun punya penilaian yang relatif mengenai
cantik.

Page 49
Pendidikan

Seumur-umur nih baru kali ini ada murid yang bilang saya
cantik. Murid les saya saja yang sudah lama saya ajar
bilang begini, nih, "Ga tega ah bilangnya. Hihihi,” ketika
saya tanya, "Memang Mbak Iis cantik, ya?"
Sep 13, '08 10:52 AM

Page 50
Pendidikan

Musik Dapat Meningkatkan Kecerdasan

Pernah suatu saat saya meninggalkan murid privat saya


yang saat itu masih kelas 5 SD ke kamar kecil. Begitu
kembali ke ruangan, saya mendapatinya sedang
memainkan keyboard-nya. Tembang yang dia lantunkan
saat itu lagunya George Benson, Nothing's Gonna Change.
Sesi belajar jadi berubah jadi sesi nyanyi karena I couldn't
stand for not singing! Hahaha.
Saat dia memainkan keyboard-nya saya terpana, karena dia
terlihat sangat menikmati alat musiknya. Dia terlihat
berusaha menghilangkan rasa stresnya, terutama stres saat
mendengar gurunya ini menyanyi hehe.
Ternyata tidaklah gampang memainkan 10 jemari pada
tempat yang berlainan sedangkan mata melihat pada kertas
berisikan not-not balok. Selain keyboard, murid saya ini juga
pandai memainkan gitar. Jemarinya fasih sekali memainkan
intro lagu More than Word-nya Extreme. Nah, biasanya
gurunya yang kecentilan ini suka latah nyanyi. Untung saja
muridnya sabar mendengarkan suara yang tidak karuan
bunyinya hahaha.
Ada lagi murid yang lain. Awalnya dia belajar piano, tapi
saya melihat dia terlihat tidak menikmati memainkan piano.
Tapi akhirnya orangtuanya menemukan pilihan musik yang
tepat baginya, yaitu drum. Setiap main drum dia terlihat
antusias. Keringat bercucuran. Tapi, duuh, telingaku sampai
terasa budek mendengarnya haha.
Cerita kedua murid saya di atas menandakan banyak
orangtua yang mendambakan anaknya memiliki banyak
pengetahuan dan kemampuan. Juga untuk
menyeimbangkan perkembangan otak kiri dan kanannnya.
Musik adalah pilihan yang bagus untuk mewujudkan

Page 51
Pendidikan

keseimbangan itu. Namun bila orangtua hendak


memberikan pelajaran musik kepada anaknya perlu kiranya
dipertimbangkan musik yang diminati anak, jangan sampai
belajar musik malah menambah beban si anak yang sudah
memiliki banyak tugas di sekolah, juga perlu
dipertimbangkan usia yang tepat untuk memulai belajar
musik, yaitu: 3- 10 tahun.
Berkenaan musik dapat meningkatkan kecerdasan, ini
diungkapkan oleh seorang psikolog Martin Gardiner, setelah
dia meneliti ratusan mahasiswa yang dapat meningkat iQ-
nya setelah mendengarkan Wolgang Amadeus Mozart's.
Ternyata setelah mendengarkan Sonata Mozart sebelum
ujian, rata-rata kenaikan IQ para mahasiswa yang ditelitinya
bertambah menjadi 8 hingga 9. Kesimpulannya, musik dapat
menajamkan nalar pendengarnya.
Masih menurut sang psikolog, seni dan musik dapat
membuat anak menjadi lebih pintar. Selain sebagai selingan
yang menyenangkan, musik juga dapat membantu otak
berfokus pada hal lain yang dipelajari. Selain itu musik juga
dapat membangun kemahiran emosional karena dapat
menyentuh psikis.
Bila dikaitkan dengan struktur anatomi, ternyata selaput otak
bagian matematika dan musik berdekatan, sehingga ada
hubungan logis antara musik dan matematika, karena
keduanya menyangkut skala yang naik turun yaitu ketukan
dalam musik dan angka dalam matematika.
Jadi tidak ada salahnya bila anak-anak belajar musik.
Bagaimana bila anak itu sudah beranjak sepuh seperti
saya? Apalah masih bisa belajar musik? Ooh tentu bisa
doong, Cuma belajarnya harus jungkir balik dulu kalau ingin
bisa. Maklum, kan sudah mengalami PDI (penurunan daya
ingat) hehe. Nov 18, '08 7:38 AM

Page 52

Anda mungkin juga menyukai