Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN

Secara klinis kegawatan merupakan suatu keadaan dimana seseorang berada


dalam keadaan kritis dan jika tidak dilakukan suatu usaha atau tindakan akan
menyebabkan kematian. Misi dari emergency medicine meliputi evaluasi, tatalaksana,
pengobatan, dan pencegahan penyakit dan cedera yang tidak diharapkan.

Salah satu kegawatan adalah status epileptikus. Status epileptikus adalah


serangkaian kejang yang serupa dan memanjang tanpa kembali pada kesadaran yang
lengkap antara serangan (Dorland, 2002). Sedangkan menurut EFA, Epilepsy
Foundation of America, status epileptikus adalah dua atau lebih serangan kejang tanpa
adanya kesadaran penuh antara kejang, atau lebih dari 30 menit aktivitas kejang
berkelanjutan.

Dalam suatu studi epidemiologi mengenai status epileptikus, dijumpai


sebanyak 69 persen episode terjadi pada dewasa dan 64 persen episode terjadi pada
anak-anak dengan onset parsial, lalu diikuti general status epileptikus sekunder yang
terjadi sebanyak 43 persen pada dewasa dan 36 persen pada anak-anak. Insiden status
epileptikus sering terjadi pada tahun pertama kehidupan dan usia lebih dari 60 tahun.

Penyebab status epileptikus sangat bervariasi tiap individu. Pada orang


dewasa, penyebab utama adalah antiepileptikus potensi rendah (34 %) dan penyakit
serrbrovaskular (22%), termasuk akut atau remote stroke dan perdarahan.

Kegawatandaruratan juga dapat disebabkan oleh penggunaan obat anti epilepsi


yaitu sindrom Steven Johnson. Sindrom Steven Johnson adalah bentuk eritema
multiforme fatal yang timbul dengan prodromal seperti penyakit flu, dan ditandai
dengan lesi-lesi sistemik dan mukokutan yang berat (Dorland, 2002).

1
BAB II

PEMICU

S, laki-laki, berusia 19 tahun, dibawa oleh keluarganya ke IGD RSUP H.


Adam Malik Medan dengan keluhan kejang. Dari anamnese (oleh ibunya), kejang
telah dialami os dalam waktu 1 jam ini terus menerus. Kejang bersifat menhentak-
hentak seluruh tubuh yang diikuti dengan penurunan kesadaran. Muntah (-). Demam
(-). Riwayat penyakit yang sama pada keluarga (-). Sebelumnya os telah menderita
kejang menghentak-hentak ini sebanyak 10 kali dalam waktu ± 6 minggu ini, durasi
kejang 5-10 menit setiap kali kejang, dan setelah serangan os tertidur.
Apa yang terjadi pada S dan bagaimana penatalaksanaannya?

2
BAB III

MORE INFO

More Info 1

Pemeriksaan fisik dijumpai: sensorium somnolen, tekanan darah 120/80mmHg,


nadi: 96x/menit, pernafasan 24x/menit, temp:36,8C
pemeriksaan neurologis dijumpai: sensorium somnolen, kejang tipe klonik, refleks
cahaya direk/indirek kanan (+/+)/ kiri (+/+), perangsangan meningeal (-), motorik
tidak dijumpai lateralisasi, refleks fisiologis normal kanan=kiri.
Dokter kemudian mendiagnosis S dengan Status epileptikus, kemudian dilakukan
penatalaksanaan SE, setelah 1 minggu kemudian os berobat jalan dan diberikan
Carbamazepine 200mg dengan dosis 3x1 tablet.
Setelah mengkomsumsi obat ini selama +/- 2minggu, pada badan os muncul kulit
melepuh yang mengenai muka, badan dan ekstremitas dan rasa perih di bagian
tubuhnya yang melepuh. Orang tua S, segera membawa kembali ke IGD RSHAM.
Apa yang terjadi pada S sekarang dan bagaimana penatalaksanaanya?

More Info 2

Keadaan umum: kesadaran: somnolen T:37.6C


Pemeriksaan status dermatologis dijumpai: kulit melepuh dan keropeng-keropeng,
mengenai muka, mulut, bibir, genitalia dan konjungtiva merah, disertai rasa perih.
Luas kulit yang mengelupas mengenai hampir seluruh tubuh.
Pemeriksaan laboratorium: dalam batas normal

3
BAB IV

PEMBAHASAN

4.1 Status Epileptikus


4.1.1 Definisi dan Etiologi Status Epileptikus
Status epileptikus adalah adalah serangkaian kejang yang serupa dan
memanjang tanpa kembali pada kesadaran yang lengkap antara serangan (Dorland,
2002). Sedangkan menurut EFA, Epilepsy Foundation of America, status epileptikus
adalah dua atau lebih serangan kejang tanpa adanya kesadaran penuh antara kejang,
atau lebih dari 30 menit aktivitas kejang berkelanjutan.

Penyebab status epileptikus sangat bervariasi tiap individu. Pada orang


dewasa, penyebab utama adalah antiepileptikus potensi rendah (34 %) dan penyakit
serrbrovaskular (22%), termasuk akut atau remote stroke dan perdarahan. Penyebab
lain status epileptikus adalah hipoglikemia, hipoksemia, trauma, infeksi (meningitis,
ensefalitis, dan abses otak), alkohol, penyakit metabolik, toksisitas obat, dan tumor.

4.1.2 Faktor Risiko dan Klasifikasi Status Epileptikus


Faktor risiko status epileptikus adalah satu pertiga kasus terjadi pada epilepsi
berulang, satu pertiga pada kasus epilepsi yang tidak teratur meminum obat anti
konvulsan, pada usia kebanyakan tipe sekunder karena adanya demensia, penyakit
serebrovaskular, dan disfungsi jantung.

Klasifikasi status epileptikus adalah sebagai berikut:


1. Overt generalized convulsive status epilepticus
Aktivitas kejang yang berkelanjutan dan intermiten tanpa ada kesadaran
penuh.
a. Tonik klonik
b. Tonik
c. Klonik
d. Mioklonik

4
2. Subtle generalized convulsive status epilepticus diikuti dengan generalized
convulsive status epilepticus dengan atau tanpa aktivitas motorik.
3. Simple/partial status epilepticus (consciousness preserved)
a. Simple motor status epilepticus
b. Sensory status epilepticus
c. Aphasic status epilepticus
4. Nonconvulsive status epilepticus(consciousness impaired)
a. Petit mal status epilepticus
b. Complex partial status epilepticus.

4.1.3 Patofisiologi Status Epileptikus


Patofisiologi status epileptikus terdiri dari banyak mekanisme dan masih
sangat sedikit diketahui. Beberapa mekanisme tersebut adalah adanya kelebihan
proses eksitasi atau inhibisi yang inefektif pada neurotransmiter, dan adanya ketidak
seimbangan aktivitas reseptor eksitasi atau inhibisi di otak.

Neurotransmiter eksitatorik utama yang berperan dalam kejang adalah


glutamat. Faktor – faktor apapun yang dapat meningkatkan aktivitas glutamat akan
menyebabkan terjadinya kejang.

Neurotransmiter inhibitorik yang berperan dalam kejang adalah GABA.


Antagonis GABA seperti penisilin dan antibiotik dapat menyebabkan terjadinya
kejang. Selain itu, kejang yang berkelanjutan akan menyebabkan desensitisasi
reseptor GABA sehingga mudah menyebabkan kejang.

Kerusakan CNS dapat terjadi oleh karena ketidakseimbangan hormon


dimana terdapat glutamat yang berlebihan yang akan menyebabkan masuknya
kalsium dalam sel neuron dan akhirnya menyebabkan apoptosis (eksitotoksik). Selain
itu, juga dapat disebabkan oleh GABA dikeluarkan sebagai mekanisme kompensasi
terhadap kejang tetapi GABA itu sendiri menyebabkan terjadinya desensitisasi
reseptor, dan efek ini diperparah jika terdapat hipertermi, hipoksia, atau hipotensi.

5
Terdapat dua fase dalam status epileptikus yaitu fase pertama ( 0 – 30 menit)
dan fase kedua (> 30 menit). Pada fase pertama, mekanisme kompensasi masih baik
dan menimbulkan pelepasan adrenalin dan noradrenalin, meningkatnya aliran darah
ke otak, meningkatnya metabolisme, hipertensi, hiperpireksia, hiperventilasi,
takikardi, dan asidosis laktat. Pada fase kedua, mekanisme kompensasi telah gagal
mempertahankan sehingga autoregulasi cerebral gagal dan menimbulkan odem otak,
depresi pernafasan, aritmia jantung, hipotensi, hipoglikemia, hiponatremia, gagal
ginjal, rhabdomiolisis, hipertermia, dan DIC.

Secara klinis dan berdasarkan EEG, status epileptikus dibagi menjadi lima
fase. Fase pertama terjadi mekanisme kompensasi, seperti peningkatan aliran darah
otak dan cardiac output, peningkatan oksigenase jaringan otak, peningkatan tekanan
darah, peningkatan laktat serum, peningkatan glukosa serum dan penurunan pH yang
diakibatkan asidosis laktat. Perubahan saraf reversibel pada tahap ini.

Setelah 30 menit, ada perubahan ke fase kedua, kemampuan tubuh beradaptasi


berkurang dimana tekanan darah , pH dan glukosa serum kembali normal. Kerusakan
syaraf irreversibel pada tahap ini. Pada fase ketiga aktivitas kejang berlanjut
mengarah pada terjadinya hipertermia (suhu meningkat), perburukan pernafasan dan
peningkatan kerusakan syaraf yang irreversibel. Aktivitas kejang yang berlanjut
diikuti oleh mioklonus selama tahap keempat, ketika peningkatan pernafasan yang
buruk memerlukan mekanisme ventilasi. Keadaan ini diikuti oleh penghentian dari
seluruh klinis aktivitas kejang pada tahap kelima, tetapi kehilangan syaraf dan
kehilangan otak berlanjut.

Kerusakan dan kematian syaraf tidak seragam pada status epileptikus, tetapi
maksimal pada lima area dari otak (lapisan ketiga, kelima, dan keenam dari korteks
serebri, serebellum, hipokampus, nukleus thalamikus dan amigdala). Hipokampus
mungkin paling sensitif akibat efek dari status epileptikus, dengan kehilangan syaraf
maksimal dalam zona Summer. Mekanisme yang tetap dari kerusakan atau kehilangan
syaraf begitu kompleks dan melibatkan penurunan inhibisi aktivitas syaraf melalui

6
reseptor GABA dan meningkatkan pelepasan dari glutamat dan merangsang reseptor
glutamat dengan masuknya ion Natrium dan Kalsium dan kerusakan sel yang
diperantarai kalsium.

4.1.4 Diagnosa dan Pemeriksaan Status Epileptikus


Diagnosa dilakukan dengan cepat dalam waktu 5 – 10 menit. Hal yang pertama
kita lakukan adalah anamnesis riwayat epilepsi, riwayat menderita tumor, infeksi,
obat, alkohol, penyakit serebrovaskular lain, dan gangguan metabolit. Perhatikan
lama kejang, sifat kejang (fokal, umum, tonik/klonik), tingkat kesadaran diantara
kejang, riwayat kejang sebelumnya, riwayat kejang dalam keluarga, demam, riwayat
persalinan, tumbuh kembang, dan penyakit yang sedang diderita.

Pemeriksaan fisik: pemeriksaan neurologi lengkap meliputi tingkat kesadaran,


penglihatan dan pendengaran, refleks fisiologis dan patologi, lateralisasi, papiledema
akibat peningkatan TIK—akibat tumor,perdarahan dll., sistem motorik yaitu
kelumpuhan, tonus, pergerakan tidak terkendali, ataksia, dan sistem sensorik yaitu
parastesia, hipestesia, anestesia.

Pemerikasaan penunjang terdiri dari pemeriksaan laboratorium yaitu darah


CBC, elektrolit, glukosa, fungsi ginjal dengan urin analisis dan kultur, jika ada
didugaan infeksi maka dilakukan kultur darah, dan Imaging yaitu CT scan dan MRI
untuk mengevaluasi lesi struktural di otak, EEG untuk mengetahui aktivitas listrik
otak dan dilakukan secepat mungkin jika pasien mengalami gangguan mental. Pungsi
lumbar dapat kita lakukan jika ada dugaan infeksi CNS atau perdarahan subaraknoid.

4.1.5 Penatalaksanaan Status Epileptikus


Penatalaksanaan status epileptikus berdasarkan EFA adalah sebagai berikut:
Pada : menit awal
1. Bersihkan jalan nafas, jika ada sekresi berlebihan segera bersihkan (bila perlu
intubasi)
a. Periksa tekanan darah
b. Mulai pemberian Oksigen
c. Monitoring EKG dan pernafasan

7
d. Periksa secara teratur suhu tubuh
e. Anamnesa dan pemeriksaan neurologis
2. Kirim sampel serum untuk evaluasi elektrolit, Blood Urea Nitrogen, kadar glukosa,
hitung darah lengkap, toksisitas obat-obatan, dan kadar antikonvulsan darah; periksa
AGDA (Analisa Gas Darah Arteri)
3. Infus NaCl 0,9% dengan tetesan lambat
4. Berikan 50 mL Glukosa IV jika didapatkan adanya hipoglikemia, dan Tiamin 100
mg IV atau IM untukmengurangi kemungkinan terjadinya wernicke’s
encephalopathy.
5. Lakukan rekaman EEG (bila ada)
6. Berikan Lorazepam (Ativan) 0,1 sampai 0,15 mg per kg (4 sampai 8 mg) intravena
dengan kecepatan 2 mg per menit atau Diazepam 0,2 mg/kg (5 sampai 10 mg). Jika
kejang tetap terjadi berikan Fosfenitoin (Cerebyx) 18 mg per kg intravena dengan
kecepatan 150 mg per menit, dengan tambahan 7 mg per kg jika kejang berlanjut. Jika
kejang berhenti, berikan Fosfenitoin secara intravena atau intramuskular dengan 7 mg
per kg per 12 jam. Dapat diberikan melalui oral atau NGT jika pasien sadar dan dapat
menelan.
Pada : 20 sampai 30 menit, jika kejang tetap berlangsung
1. Intubasi, masukkan kateter, periksa temperatur
2. Berikan Fenobarbital dengan dosis awal 20 mg per kg intravena dengan kecepatan
100 mg per menit
Pada : 40 sampai 60 menit, jika kejang tetap berlangsung
Mulai infus Fenobarbital 5 mg per kg intravena (dosis inisial), kemudian bolus
intravena hingga kejang berhenti, monitoring EEG; lanjutkan infus Pentobarbital 1
mg per kg per jam; kecepatan infus lambat setiap 4 sampai 6 jam untuk menentukan
apakah kejang telah berhenti. Pertahankan tekanan darah stabil.
-atau-
Berikan Midazolam (Versed) 0,2 mg per kg, kemudian pada dosis 0,75 sampai 10
mgper kg per menit, titrasi dengan bantuan EEG.
-atau-
Berikan Propofol (Diprivan) 1 sampai 2 mg per kg per jam. Berikan dosis
pemeliharaan berdasarkan gambaran EEG. Lihat tabel 4.1 dan 4.2 obat – obat yang
digunakan dalam status epileptikus.

8
Terapi nonfarmako dari status epileptikus adalah dengan terapi operasi yang
dilakukan apabila tidak ada respon terhadap obat biasanya pada refractory status
epilepticus baik focal resection, lobus resection, maupun multilobar resection. Diet
ketogenik juga bisa dilakukan untuk menurunkan kejang rekuren atau lama, dimana
pengambilan karbohidrat direstriksi tidak pada protein, kalori atau cairan. Stimulasi
vagal dilakukan pada refractory generalized compulsive status epilepticus, dimana
energi listrik dihantar ke otak melalui saraf vagus.

4.1.6 Komplikasi dan Prognosis Status Epileptikus


Komplikasi status epileptikus adalah sebagai berikut:

Metabolic
Lactic acidosis
Hypercapnia
Hypoglycemia
Hyperkalemia
Hyponatremia
CSF/serum leukocytosis
Autonomic
Hyperpyrexia
Failure of cerebral autoregulation*
Vomiting
Incontinence
Renal
Acute renal failure from rhabdomyolysis*
Myoglobinuria*
Cardiac/respiratory
Hypoxia
Arrhythmia
High output failure*
Pneumonia

CSF = cerebrospinal fluid.

*—Rare complications of status epilepticus.

Tabel 4.3 Systemic Complications of Generalized Convulsive Status Epilepticus, AAFP (2003).

Prognosis status epileptikus adalah tergantung pada penyebab yang mendasari


status epileptikus. Pasien dengan status epileptikus akibat penggunaan antikonvulsan
atau akibat alkohol biasanya prognosisnya lebih baik bila penatalaksanaan dilakukan
dengan cepat dan dilakukan pencegahan terjadi komplikasi. Pasien dengan meningitis
sebagai etiologi maka prognosis tergantung pada prognosis dari meningitis tersebut.

4.2 Sindrom Steven Johnson


4.2.1 Definisi dan Etiologi Sindrom Steven Johnson (SJS)

9
Sindrom Steven Johnson adalah bentuk eritema multiforme fatal yang timbul
dengan prodromal seperti penyakit flu, dan ditandai dengan lesi-lesi sistemik dan
mukokutan yang berat (Dorland, 2002). SJS dan TEN (Toxic Epidemal Necrolysis)
memiliki proses yang sama. Pada SJS, kerusakan epidermal terjadi pada kurang dari
10 % total area kulit, transisi SJS-TEN didefinisikan dengan kerusakan epidermal
terjadi pada 10 % - 30 % total area kulit, sedangkan TEN didefinisikan dengan
kerusakan epidermal terjadi pada lebih dari 30 % total area kulit.

Etiologi sindrom Steven Johnson adalah alergi obat (50%) dimana


analgetik/antipiretik sebesar 45 %, karbamazepin sebesar 20 %, jamu 13,3 %,
sedangkan obat – obat lain adalah amoksisilin, kotrimoksasol, dilantin, klorokuin,
seftriakson, dan zat adiktif. Selain itu infeksi seperti S.pneumonia dan virus,
vaksinasi, penyakit graft-versus-host, neoplasma, dan radiasi. Lihat tabel 4.4 obat-
obatan dan SJS/TEN.

4.2.2 Faktor Risiko Sindrom Steven Johnson (SJS)


Faktor risiko terjadinya sindrom Steven Johnson adalah mengidap HIV,
adanya HLA B-1502 yang berkaitan terhadap karbamazepin, dan HLA B-5801 yang
berkaitan dengan allopurinol.

4.2.3 Patofisiologi Sindrom Steven Johnson (SJS)


Sindrom Steven Johnson merupakan reaksi hipersensitifitas tipe 4 yaitu cell
mediated cytotoxic CD8+ reaction. Karbamazepin atau obat-obat lain akan difagosit
oleh APC, Antigen Presenting Cell, lalu APC akan dipresentasikan ke sel Th1 yang
akan merangsang proliferasi dan sensitisasi Th1. Sel Th1 akan melepaskan sitokin dan
kemokin (IFNα, IL3, GM-CSF, TNF α yang akan mengaktifkan CD8+. CD8+ akan
menyebabkan apoptosis keratinosit sehingga taut antar sel hilang lalu timbullah bulla.
Apoptosis keratinosit juga akan mengeluarkan C3a dan C5a sehingga melepaskan
histamin dan vasoaktif yang menyebabkan permeabilitas vaskular meningkat
akibatnya cairan keluar dari pembuluh darah dan menyebabkan munculnya bulla.

4.2.4 Gejala Sindrom Steven Johnson (SJS)


Gejala sindrom steven johnson muncul 8 minggu ( biasanya 4 – 30 hari)
setelah terpapar dengan obat. Gejala nonspesifiknya adalah demam, sakit kepala,

10
rinitis, mialgia yang terjadi 1- 3 hari sebelum muncul lesi mukokutaneus. Lesi pada
kulit pada tahap awal adalah di wajah, tungkai atas, dan bagian tubuh atas yang
simetris, dimana lesi menyebar dengan cepat dalam beberapa jam sampai beberapa
hari. Lesi awal berupa eritema, makula purpura, iregular dan akan mengalami
koalesen menjadi eritema yang difus. Lesi selanjutnya adalah flaccid blisters akibat
lepasnya epidermis dan kita jumpai adanya tanda Nikolsky.

Selain itu, terdapat trias gejala sindrom steven johnson yaitu kelainan pada
kulit, selaput lendir, dan mata. Kelainan kulit berupa eritema, vesikel, bula bahkan
purpura. Kelainan biasanya bersifat menyeluruh. Sifat dari eritema yakni berbentuk
cincin (tengahnya lebih gelap) biasanya berwarna ungu. Kelainan selaput lendir yang
paling sering adalah di mukosa (lapisan tipis) mulut (100%), kemudian di alat genital
(kemaluan) (50%) sedangkan di lubang hidung atau anus jarang (8% dan 5%).
Kelainan ini dapat berupa vesikel ataupun bula yang cepat sekali memecah sehingga
terjadi erosi (kerusakan kulit yang dangkal) dan ekskoriasi (lecet/kerusakan kulit yang
dalam) dan krusta yang hitam. Kelainan pada mata merupakan 80% di antara semua
kasus. Dimana yang paling sering adalah konjungtivitis (radang pada konjungtiva)

4.2.5 Diagnosa dan pemeriksaan Sindrom Steven Johnson (SJS)


Diagnosa SJS berdasarkan anamnese. Biasanya, penyakit dimulai dengan
infeksi saluran pernafasan atas yang tidak spesifik dengan adanya gejala-gejala
prodromal, adanya lesi seperti yang telah dijelaskan pada gejala SJS yang nonpruritik,
adanya demam yang bisa memperparah gejala, adanya disuria dan sulit buang air
kecil, dan adanya riwayat SJS atau eritema multiformis sebelumnya. Pemeriksaan
fisik dapat kita lakukan yaitu dengan mengamati lesi yang terdapat pada mukosa dan
kulit. Lesi telah dijelaskan di gejala SJS.

Pemeriksaan laboratorium yang paling baik adalah dengan biopsi kulit. Dari
pemeriksaan CBC bisa dijumpai jumlah leukosit yang normal atau leukositosis yang
nonspesifik. Adanya peningkatan leukosit dapat mengindikasikan adanya infeksi pada
lesi. Kultur darah dan kulit tidak digunakan lagi karena tingginya insidensi terjadinya
sepsis. Pemeriksaan fungsi ginjal dan pemeriksaan fungsi hati. Pemeriksaan elektrolit
mungkin dibutuhkan dalam manajemen cairan. Selain itu, kecepatan pernafasan dan

11
oksigenasi darah juga perlu untuk dimonitor. Pemeriksaan bronkoskopi,
esofagogastroduodenoskopi, dan kolonoskopi dilakukan jika ada indikasi.

4.2.6 Diagnosa Banding Sindrom Steven Johnson (SJS)


Diagnosa banding dari sindrom steven johnson adalah Toxic Epidermal
Necrolysis, eritema multiforme, luka bakar, acute generalized exanthematous
pustulosis, reaksi fototoksik, Staphylococcal Scalded Skin Syndrome yang terjadi pada
bayi.

4.2.7 Penatalaksanaan Sindrom Steven Johnson (SJS)


Penataksanaan yang paling penting adalah menghentikan obat yang
menyebabkan SJS. Selanjutnya akan diberi pengobatan simptomatik yaitu mulai
dengan penggantian cairan dan elektrolit, gizi, mengurangi resiko infeksi dengan
perawatan kulit dan mata serta pemberian antibiotik topikal, dimana bula di kulit
dirawat dengan kompres basah larutan Burowi, tidak diperbolehkan menggunakan
steroid topikal pada lesi kulit, lesi mulut diberi kenalog in orabase, terapi infeksi
sekunder dengan antibiotika yang jarang menimbulkan alergi, berspektrum luas,
bersifat bakterisidal dan tidak bersifat nefrotoksik, misalnya klindamisin intravena 8-
16 mg/kg/hari intravena, diberikan 2 kali/hari. Menjaga suhu ruangan 28 – 30 0C dan
pada mata dapat kita berikan air mata buatan dan vitamin A.

Penatalaksanaan khusus adalah dengan memberikan kortikosteroid, beberapa


studi menyatakan bahwa kortikosteroid efektif pada tahap awal dari SJS akan tetapi
penggunaan kortikosteroid yang lama akan menyebabkan SJS itu sendiri dan
menurunkan fungsi imun. Oleh karena itu, pemakaian kortikosteroid masih
kontroversi. Siklosporin, penggunaan ini disukung oleh adanya beberapa penelitian
yang menyatakan bahwa penggunaan siklosporin dengan dosis 3-4mg/kg/hari dalam
jangka pendek menghasilkan outcome yang baik. IVIG, intravenous immunoglobulin
secara teoritis baik digunakan dalam 24 – 72 jam dari awal munculnya bullayaitu
sebelum ligan Fas berikatan dengan reseptor. Penggunaan IVIG harus hati-hati pada
pasien dengan defisiensi IgA. Penggunaan IVIG juga masih menuai kontroversi.
Selain yang telah dikemukakan diatas, SJS juga bisa ditangani dengan plasmaferesis/
hemodialisis dan anti TNF alfa.

12
4.2.8 Komplikasi dan Prognosis Sindrom Steven Johnson (SJS)
Komplikasi SJS yang paling sering adalah sepsis. Pada bagian oftalmologi
adalah ulserasi kornea, fibrosis, entropion, symblepharon, uveitis anterior,
panophthalmitis, dan kebutaan. Pada gastrointestinal adalah esofageal striktur. Pada
genitourinari adalah nekrosis tubular ginjal, gagal ginjal, jaringan parut penis, vagina
stenosis, dan dipareuni. Pada paru adalah tracheobronchial penumpahan dengan
kegagalan pernapasan resultan dan striktur bronkus. Pada kulit adalah jaringan parut
dan deformitas kosmetik, kambuh infeksi melalui penyembuhan lambat ulserasi,
hipopigmentasi dan hiperpigmentasi. Pada kuku adalah distrofi kuku, pigmentasi
kuku, dan anonikia.

Prognosis SJS dapat diperkirakan dengan menggunakan SCORTEN yaitu


sebagai berikut:

Prognostic Factors Points SCORTEN Mortality rate

Age > 40 years 1 0 -1 3, 2 %

Heart Rate > 120x/min 1 2 12, 1%

Cancer or hematologic malignancy 1 3 35,8%

BSA > 10 % 1 4 58,3%

Serum Urea Level > 10 mM 1 >5 90%

Serum Bicarbonate Level < 20 mM 1

Serum Glucose > 14 mM 1

Tabel 4.5 SCORTEN (Ho, 2008)

4.3 Karbamazepin
Farmakokinetik karbamazepin adalah dimulai dari absorpsi di saluran cerna
,kecepatan absorbsi berbeda-beda. Konsentrasi puncak plasma obat tercapai pada 6-8
jam setelah pemberian obat. Jika diberi setelah makan absorpsi akan lambat sehingga
pasien lebih toleran dengan dosis harian yang lebih besar. Konsentrasi puncak jia
dalam bentuk tablet adalah 6 – 12 jam pada dosis tunggal dan jika menggunakan sirup

13
maka dosis puncak adalah 2 jam. Distribusi karmazepin adalah lambat dan volumenya
kira2 1L/kg dengan pengikatan terhadap protein plasma yang tinggi(70-80%). Obat
ini dimetabolisme di hati dan dioksidasi menjadi metabolit epoksida yang bersifat
antikonvulsan. Ekskresi obat ini di ginjal melalui urin 72 % dan melalui feses 28%.
Waktu paruh dari ekskresi Karbamazepin rata-rata 36 jam dari dosis tunggal per oral,
kemudian menurun menjadi 20 jam setelah terapi lanjutan tergantung dari lamanya
pengobatan.

Farmakodinamik karbamazepin adalah dengan menutup saluran natrium pada


konsentrasi terapi dan dapat menstabilkn membran neuron yang hiperaktif,
menghalang kerusakan neuron yg berulang, mengurangi perambatan sinaptik impuls
yang berasal dari luar, meningkatkan pembukaan channel GABAnergik, bekerja pada
reseptor post-sinaps – meningkatkan perlepasan GABA, dan membuka chennel Cl –
Cl masuk – hiperpolarisasi – mengurangi efek excitatory neurotransmitter seperti
Norepinefrin.

Indikasi karbamazepin adalah sebagai antikonvulsan, antiepilepsi, kejang


tonik-klonik(grand mal), neuralgia trigeminal, skizofrenia resistan dan gangguan
stress traumatis. Kontra Indikasi karbamazepin adalah insufiensi repiratorik,
insufiensi hepatik, sleep apnoe syndrome, hipersensitifitas terhadap karbamazepin,
depresi sum-sum tulang belakang, dan kehamilan.

Dosis karbamazepin adalah sebagai berikut


Dosis dewasa
- 10-20mg 1-2x/hari
- Ditingkatkan secara bertahap sampai dengan 400mg 2-3x/hari
- Beberapa pasien sampai dengan 1600-2000mg/hari
2) Dosis anak-anak
- 10-20 mg/kgBB/hari
- <1tahun: 100-200mg 1-2x/hari
- 1-5 tahun: 200-400mg 1-2x/hari
- 6-10tahun: 400-600mg 2-3x/hari

14
- 11-15tahun: 600-1000mg 3x/hari
* Tablet kurang dianjurkan untuk anak dibawah 5 tahun,dianjurkan kemasan sirup.

Efek samping karbamazepin adalah bingung, sedasi, ataksia, tremor, vertigo, nyeri
kepala, mual, muntah, amnesia retrograde, gangguan koordinasi berfikir, disatria,
psikosis, cemas (anxiety), agresif, mudah tersinggung, mimpi buruk, insomnia, marah,
paranoid, mudah tersinggung, halusinasi, hipotensi, penglihatan kabur, diplopia,
pusing (dizziness), konstipasi, nausea, inkontinensia/retensi urinary, perubahan libido,
ruam pada kulit, perubahan salivasi; drymouth, hipersalivasi, anemia hemolitik,
agranulositosis.

Toksisitas karmbamazepin dapat dibagi 2 yaitu ringan dan berat. Ringan yaitu
somnolen, bingung, dan hilang refleks. Berat yaitu sedasi, , hipotensi, hipotonia,
ataxia, depresi pernafasan, koma. Jika dalam keadaan toksisitas maka berikan
Flumazenil sebagai antidotum 0,2 mg untuk 30 saat pertama, kemudian 0.3 mg untuk
30 saat kedua, kemudian 0.5mg setiap 60 saat sehingga maksimal 3.0 mg.

Withdrawal syndrome dari karbamazepin adalah tremor, nyeri otot, muntah,


berkeringat, anoreksia, pusing kepala, disforia, extreme anxiety, insomnia, kaku otot
dan abdomen. Pada keadaan beratdapat dijumpai paranoid, hipersensitivitas terhadap
cahaya, bunyi, dan kontak fizikal, halusinasi, epilepsi, parasetesia, hiperakusis. Dosis
perlu diturunkan 10-25% setiap 1 to 2 minggu sehingga 4-16 minggu.

BAB V

ULASAN

Ada beberapa hal masih belum jelas dalam hal, pasien S diberikan apa
sebagai pengganti karbamazepin untuk mengatasi kejang? Setelah mendapat

15
penjelasan dari pakar diketahui bahwa kita dapat menggantikan denganasam valproat
atau menggunakan fenitoin.

Apakah pemberian karbamazepin sudah tepat? Pemberian karbamazepin


telah tepat pada pasien ini karena pasien mengalami kejang tipe klonik. Apa yang kita
gunakan dalam menangani pasien status epileptikus, diazepam atau lorazepam?
Berdasarkan beberpa literatur dikemukakan bahwa lorazepam lebih baik dibandingka
diazepam. Akan tetapi lorazepam tidak tersedia di Medan, sehingga yang kita
gunakan adalah diazepam.

Mengapa kortikosteroid masih diberikan walau masih kontroversi? Ini


dikarenakan oleh beberapa literatur yang mengemukakan bahwa penggunaan
kortikosteroid pada awal penyakit dapat meningkatkan perbaikan tetapi hal yang perlu
kita ingat adalah penggunaan kortikosteroid tidak boleh berlama-lama.

Mengapa lesi pada SJS banyak dijumpai di kulit? Lesi banyak di kulit
karena adanya keratinosit di kulit sehingga banyak CD8+ yang akan merusak
keratinosit di kulit dan menyebabkan apoptosis.

BAB VI
KESIMPULAN

16
S mengalami status epileptikus dan Steven Johnson Syndrome akibat pemberian
karbamazepin.

DAFTAR PUSTAKA

Baratawidjaja, Karnen Garna. Reaksi Hipersensitifitas. Imunologi Dasar. Jakarta:


Gaya Baru.170-174.

17
Ho, HHF. Diagnosis and Management of Steven Johnson Syndrome and Toxic
Epidemal Necrolysis. Medical Bulletin 13(10).2008.

Huff, Steven. Status Epilepticus. Available from:


http://emedicine.medscape.com/article/793708-overview[Accessed in 27 April 2010].

Klein, Peter A. Stevens-Johnson Syndrome and Toxic Epidermal Necrolysis. Available


from: http://emedicine.medscape.com/article/1124127-overview.[Accessed in 27
April 2010].

Lowenstein, Daniel H dan Brian K. Alldredge. Status Epilepticus. NEJM 338(14) :


970-976.

Parillo, Steven J. Steven Johnson Syndrome. Available from:


http://emedicine.medscape.com/article/756523-overview.[ Accessed in 27 April
2010].

Price, Sylvia A, Lorraine M.Wilson, et al. Gangguan Kejang. Patofisiologi. Hurawati


Hartanto, Natalia Susi, Pita Wulansari, dan Dewi Asih Mahanani. Jakarta: EGC.2003.
1161-1164.

Schachter, Steven C. Protocol for Treatment of Status Epilepticus. Available from:


http://professionals.epilepsy.com/page/table_acutely_treatse.html. [Accessed in 27
April 2010].

Sirven, Joseph I dan Elisabeth Waterhouse. Management of Status Epilepticus,


university of Virginia. Am Fam Physician. 2003 Aug 1;68(3):469-476.

LAMPIRAN

18
Antiepileptic Drugs Used in Status Epilepticus

Maintenance Route of Dialyzable (%


Drug Loading dose dosage metabolism protein binding) Adverse effects
Diazepam (Valium) 10 to 20 mg None Hepatic >90 Respiratory
depression,
hypotension,
sialorrhea
Lorazepam (Ativan) 4 mg None Hepatic 90 Same as diazepam

Phenytoin (Dilantin) 18 to 20 mg per kg at 5 mg per kg per day Hepatic 70 Cardiac depression,


50 mg per minute hypotension

Fosphenytoin 18 to 20 mg per kg None Hepatic 70 Cardiac depression,


(Cerebyx) PE at 150 mg per hypotension,
minute paresthesias

Phenobarbital 20 mg per kg 1 to 4 mg per kg per Hepatic 50 to 60 Respiratory


hour suppression
Pentobarbital 2 to 8 mg per kg 0.5 to 5 mg per kg Hepatic 59 to 63 Hypotension,
per hour respiratory
suppression
Midazolam (Versed) 0.2 mg per kg 0.75 to 10 mg per kg Hepatic 96 Hypotension,
per minute respiratory
suppression
Propofol (Diprivan) 2 mg per kg 5 to 10 mg per kg per Hepatic 97 to 98 Respiratory
hour initially, then 1 to depression,
3 mg per kg per hour hypotension, lipemia,
PE = phenytoin equivalents. acidosis

4.1 obat – obat yang digunakan dalam status epileptikus.

4.2 obat – obat yang digunakan dalam status epileptikus.


Komplikasi status epileptikus adalah sebagai berikut:

Metabolic
Lactic acidosis
Hypercapnia

19
Hypoglycemia
Hyperkalemia
Hyponatremia
CSF/serum leukocytosis
Autonomic
Hyperpyrexia
Failure of cerebral autoregulation*
Vomiting
Incontinence
Renal
Acute renal failure from rhabdomyolysis*
Myoglobinuria*
Cardiac/respiratory
Hypoxia
Arrhythmia
High output failure*
Pneumonia

CSF = cerebrospinal fluid.

*—Rare complications of status epilepticus.

Tabel 4.3 Systemic Complications of Generalized Convulsive Status Epilepticus,


AAFP (2003).

Drugs and SJS/TEN


High Risk No reports of SJS/TEN
Allopurinol Angiotensin- converting enzyme inhibitor
Carbamazepine Aspirin
Lamotrigine Aldactone
Nevirapine Beta- Blockers
NSAIDs(Oxicam) Ca channel inhibitor
Phenobarbital Furosemide
Phenytoin Sulfonilurea
Sulphadiazine thiazide
Sulphapyridine
Sulfamethoxazole
sulfasalazine
4.4 obat-obatan dan SJS/TEN

Prognostic Factors Points SCORTE Mortality rate


N

Age > 40 years 1 0 -1 3, 2 %

Heart Rate > 120x/min 1 2 12, 1%

20
Cancer or hematologic malignancy 1 3 35,8%

BSA > 10 % 1 4 58,3%

Serum Urea Level > 10 mM 1 >5 90%

Serum Bicarbonate Level < 20 mM 1

Serum Glucose > 14 mM 1


Tabel 4.5 SCORTEN (Ho, 2008)

21

Anda mungkin juga menyukai