Anda di halaman 1dari 13

Laporan Akhir Praktikum Fitofarmasi

Disusun Oleh:
KELOMPOK 4 / KELAS A
1.
2.
3.
4.

Agnes Arnita M.
Sri R. B. Daeng
Jeany Ratna P.
Manuel Paco M.

(051211133090)
(051311133074)
(051311133210)
(051311133218)

Departemen Farmakognosi dan Fitokimia


Fakultas Farmasi Universitas Airlangga
2016

1. Pemicu

Berdasarkan riset yang telah dilakukan oleh seorang peneliti yang menyatakan bahwa
ekstrak etanol 96% rimpang kencur mempunyai aktivitas analgesik dan industri obat
tradisional tempat anda bekerja ingin mengembangkan produk Fitofarmaka
berdasarkan penelitian tersebut. Namun berdasarkan perhitungan cost effective,
penggunaan ekstrak etanol 96% menjadi kendala untuk penjualannya. Bagaimana
anda merancang penyiapan ekstrak kencur sebagai bahan aktif produk fitofarmaka
untuk analgesik?
2. Deskripsi Proyek
Pada saat penyusunan solusi pada pemicu 2 masih terdapat pertanyaan yang mendasar
mengenai mengapa pelarut pengekstraksi etanol 96% dikatakan tidak cost effective
dan bagaimana untuk mengatasi masalah tersebut.
Sehubungan dengan hal tersebut maka mahasiswa diberi tugas untuk melakukan
penelitiaan mengenai berbagai konsep terkait untuk dapat memberikan solusi tesebut.
3. Pertanyaan Guidline
3.1 Pertanyaan Esensial
Bagaimana mendapatkan bahan aktif ekstrak yang cost effective untuk
pengembangan obat fitofarmasi?
3.2 Pertanyaan Unit
o Mengapa etanol 96% tidak cost effective?
o Bagaimana menentukan pelarut pengekstraksi yang cost effective?
3.3 Pertanyaan Isi
o Apa pengaruh perbedaan pelarut pengekstraksi terhadap rendemen ekstrak?
o Berapakah recovery pelarut pengekstraksi etanol 96%?
o Apa pengaruh perbedaan pelarut pengekstraksi terhadap kadar senyawa
marker?
o Apa pengaruh perbedaan pelarut pengekstraksi terhadap kadar aktifitas
farmakologi?
4. Konsep dan Teori Terkait
Ekstrak
Definisi Ekstrak
Menurut Farmakope Herbal Indonesia edisi I adalah sediaan kering, kental atau
cair dibuat dengan menyari simplisia nabati atau hewani menurut cara yang cocok
diluar pengaruh cahaya matahari langsung (Departemen Kesehatan RI, 2008).
Tahapan Proses Ekstraksi
Pengecilan Ukuran

Bagian kering tanaman dikecilkan ukurannya dengan alat penggiling dan


pengayak. Biasanya bahan dikecilkan ukurannya hingga 30-40 mesh.
Kegunaan dari menyerbukkan bagian tanaman adalah untuk merusak organ,
jaringan, dan struktur sel sehingga senyawa aktif terekspos kepada pelarut.
Selain itu, pengecilan ukuran partikel memaksimalkan luas permukaan, yang
meningkatkan proses difusi. Ukuran 30-40 mesh adalah ukuran optimal, untuk
ukuran partikel yang lebih kecil dapat menjadi berlendir selama ekstraksi dan
menyulitkan dalam proses filtrasi (Handa et al, 2008).
Ekstraksi
Prinsip Ekstraksi
Prinsip dari ekstraksi adalah ketika terjadi kontak antara bahan padat dengan
pelarut, komponen dari bahan padat berpindah ke pelarut. Kecepatan
perpindahan tergantung dari gradien konsentrasi. Karena prinsip difusi dari
senyawa aktif bergantung pada kelarutan dalam solven, maka pemanasan
pelarut dapat meningkatkan senyawa aktif yang berdifusi. Jika pelarut yang
berada dalam kesetimbangan diganti dengan pelarut baru, maka gradien
konsentrasi berubah (Handa et al, 2008).
Metode Ekstraksi
Ekstraksi dengan microwave (MAE)
Prinsip ekstraksi dengan microwave adalah radiasi elektromagnetik dengan
frekuensi 0,3 300 GHz, yang ditransmisi sebagai gelombang, dapat
mempenetrasi biomaterial dan berinteraksi dengan senyawa polar seperti air
dalam biomaterial untuk menciptakan panas.
Pemilihan solven untuk MAE tergantung dari kelarutan dari ekstrak yang
diinginkan dan sifat penyerapan microwave dari solven yang ditentukan dari
konstanta dielektriknya. Biasanya solven yang digunakan memiliki konstanta
dielektrik tinggi dan banyak menyerap energi microwave, seperti etanol,
methanol, dan air (Wang et al, 2011).

Ekstraksi dengan Ultrasonik


Prinsip ekstraksi dengan sonikasi adalah gelombang suara dengan frekuensi >
20 kHz merupakan vibrasi mekanik dalam padat, cair, dan gas.
Waktu sonikasi perlu dipertimbangkan dengan baik karena sonikasi yang
berlebih dapat merusak kualitas ekstrak. (Wang et al, 2011)

Kromatografi Lapis Tipis


Kromatografi lapis tipis merupakan teknik pemisahan campuran zat yang
berdasarkan atas kecepatan migrasi dari masing-masing komponennya pada
fase diam dibawah pengaruh suatu pelarut yang bergerak. Mekanisme
terjadinya pemisahan pada KLT dapat berdasarkan atas prinsip adsorbsi,
partisi, pertukaran ion maupun filtrasi bergantung pada adsorben yang dipakai.
Tetapi yang paling umum adalah atas dasar adsorbsi dan partisi.
Kromatografi Lapis Tipis dapat digunakan untuk analisis kualitatif, yaitu
dengan pemisahan komponen dari campuran zat, kemudiaan noda-noda
tersebut diidentifikasi dengan menentukan harga Rf dari masing-masing noda
yang terjadi. Selanjutnya dibandingkan dengan harga Rf dari zat pembanding
pada lapisan tipis yang sama.
Jarak yang ditempuh senyawa terlarut
Rf =
Jarak yang ditempuh eluen
Untuk penentuan analisis kuantitatif dengan KLT pada prisipnya dapat
dilakukan dengan 2 cara, yaitu :
a. Penentuan tidak langsung dengan kromatogram
Noda yang terjadi di kerok dari lapisan tipis, lalu diekstraksi dengan
pelarut yang sesuai. Ekstrak ini kemudiaan digunakan untuk penentuan
kuantitatif dengan metode yang sesuai, misalnya : spektrofotometri,
kolorimetri, dan lain-lain.
b. Penentuan langsung dari noda kromatogram
Cara ini berdasarkan perbandingan luas noda sampel dengan luas noda
pembanding dengan metode densitometri.
Densitometri
Merupakan metode optik yang dapat digunakan untuk analisis kualitatif dan
kuantitatif zat atau campuran zat setelah dipisahkan terlebih dahulu antara lain
dengan teknik kromatografi lapis tipis. Metode ini didasarkan pada
pengukuran cahaya yang diserap atau yang diemisikan oleh molekul senyawa
dalam kromatogram. Pengukuran konsentrasi analit dapat dilakukan dengan
cara membandingkan serapan sinar yang dipantulkan dalam noda sampel
dengan noda pembanding pada kromatogram. Pada metode densitometri
hubungan antara serapan dengan konsentrasi dijelaskan oleh teori KubelkaMunk.

Prinsip Dasar KLT-Densitometri


a. Membandingkan sinar UV atau sinar visibel yang dipantulkan oleh pembanding
pada kromatogram.
b. Membandingkan absorbsi fluoresensi yang dipantulkan oleh noda sampel
dengan pembanding pada kromatogram
c. Membandingkan transmisi sinar visibel yang melewati noda sampel dengan
noda pembanding pada kromatogram (Touchstone & Sherma, 1878)
Pengujian Farmakologik
a. Penapisan aktivis farmakologi diperlukan bila belum terdapat petunjuk
mengenai khasiat.
Penapisan efek farmakologi Fitofarmaka ditujukan untuk melihat kerja
farmakologi pada sistem biologis yang dapat merupakan petunjuk terhadap
adanya khasiat terapetik. Pengujian dapat dilakukan secara in vivo maupun in
vitro pada hewan coba sesuai. Petunjuk tentang

khasiat calon fitofarmaka

diperoleh dari percobaan in vivo pada hewan mamalia yang sesuai, sedapat
mungkin dikaitkan dengan model penyakitnya pada manusia. Tidak semua
khasiat terapetik calon obat bisa diperkirakan secara langsung dari model-model
percobaan hewan. Beberapa khasiat yang mungkin bisa diperkirakan dari uji
penapisan dengan model percobaan hewan misalnya daya analgetik, daya
anastesi, anti hipertensi, anti diabetes, anti arthritis dll. Kegunaan uji penapisan
farmakologik sebenarnya adalah untuk menghindari pemborosan dalam tahap
uji lebih lanjut. Hasil positif dapat digunakan untuk perkiraan kemungkinan
efek pada manusia.
b. Bila telah ada petunjuk mengenai khasiat maka langsung dilakukan pemastian
khasiat.

Kadar
Etanol
Awal
Kel.
3
Kel.

96%
80%
96%

93%
85%
98%

Recovery
Pelarut
(Kadar Etanol &
Volume)
94%, 310ml
90%, 348ml
97% 320ml

Rende
men
Ekstrak
5,17%
7,44%
5,00%

Kadar
EPMS

dalam

Proteksi

Ekstrak
46,50%
29,75%
-

60,00%
47,03%
60,22%

Efektifitas
Sampel Uji
terhadap
Kontrol +
117,16%
91,84%
117,59%

UltrasonikMicrowave

1
Kel.

70%
96%

74%
96%

83% 237ml
94%, 325ml

7,40%
4,93%

27,24%
52,84%

57,58%
64,70%

112,44%
227,5%

50%

52%

55%, 294ml

9,06%

12,34%

78,33%

275,52%

95%, 315ml
90%, 318ml
97%, 320ml
75%, 205ml
95%, 370ml
61%, 321ml

5,71%
6,56%
5,00%
9,14%
4,80%
9,12%

57,31%
44,03%
48,22%
27,06%
48,68%
15,46%

39,05%
26,92%
54,72%
82,42%
50,44%
47,48%

78,10%
53,84%
106,85%
160,94%
101,18%
95,24%

Kel.

96%
94%
80%
81%
4
Kel. 96%
98%
70%
75%
2
Kel. 96%
98%
50%
58%
6
5. Data Penelitian Terkait

6. Jawaban dan Penjelasan dari Pertanyaan Guidline


6.1 Pertanyaan Isi
o Apa pengaruh perbedaan pelarut pengekstraksi terhadap rendemen ekstrak?
Pelarut
% Rendemen
Pelarut
% Rendemen

Metode Microwave
Etanol 96%
Etanol 80%
Etanol 70%
5,03% (x)
7,44%
7,40%
Metode Ultrasonik
Etanol 96%
Etanol 80%
Etanol 70%
5,17% (x)
6,56%
9,14%

Etanol 50%
9,06%
Etanol 50%
9,12%

Adanya perbedaan komposisi pelarut menunjukkan adanya perbedaan


polaritas. Perbedaan ini akan menyebabkan perbedaan rendemen ekstrak yang
didapat dimana apabila komposisi ekstrak mengandung banyak senyawa yang
bersifat polar maka akan didapatkan rendemen ekstrak yang lebih banyak jika
digunakan pelarut yang lebih polar dan sebaliknya.
Dari hasil praktikum didapatkan rendemen pelarut etanol 50%
memiliki jumlah yang paling besar dibandingkan pelarut etanol konsentrasi
lainnya. Hal ini disebabkan oleh rimpang merupakan organ untuk menyimpan
cadangan makanan salah satunya yaitu amilum. Dan amilum memiliki
kelarutan yang besar dalam air. Sehingga etanol 50% yang mengandung
jumlah air yang paling banyak diantara pelarut lainnya, akan banyak
melarutkan amilum dalam ekstrak dan berakibat pada % rendemen yang besar.
o Berapakah recovery pelarut pengekstraksi etanol 96%?
Pelarut

Metode Microwave
Etanol 96%
Etanol 96%

Etanol 50%

Kadar etanol awal


Kadar etanol
Recovery
Pelarut
Kadar etanol awal
Kadar etanol
setelah Recovery

Kelompok 1
98%

Kelompok 3
93%

Kelompok 5
96%

97%

94%

94%

Metode Ultrasonik
Etanol 96%
Etanol 96%
Kelompok 2
Kelompok 4
98%
94%
97%

95%

Etanol 96%
Kelompok 6
98%
95%

Hasil recovery yang didapatkan beragam, tergantung dari kadar etanol


awal yang digunakan dimana jika diuapkan akan mendekati titik azeotropnya
(campuran etanol-air memiliki titik azeotrop pada kadar 95,57%). Jika
digunakan campuran etanol-air dengan kadar dibawah titik azeotrop pada saat
diuapkan maka akan didapatkan kadar lebih tinggi mendekati titik
azeotropnya. Dan sebaliknya apabila digunakan campuran etanol-air dengan
kadar di atas titik azeotrop, pada saat diuapkan akan cenderung turun
mendekati kadar titik azeotropnya (Sinko, P.J, 2006).
Diagram Titik Azeotrop Campuran Etanol-Air

Dari hasil praktikum didapatkan hasil jika digunakan pelarut awal


pengekstraksi etanol di atas kadar azeotrop didapatkan hasil recovery pelarut
yang cenderung turun mendekati kadar titik azeotropnya. Dan jika digunakan
pelarut awal pengekstraksi etanol di bawah kadar azeotrop didapatkan hasil
recovery pelarut yang cenderung naik mendekati kadar titik azeotropnya.

o Apa pengaruh perbedaan pelarut pengekstraksi terhadap kadar senyawa


marker?
Pelarut
Kadar EPMS
dalam

Metode Microwave
Etanol 96%
Etanol 80%
Etanol 70%
45,02%(x)

29,75%

27,24%

Etanol 50%
12,34%

Ekstrak
Pelarut
Kadar EPMS
dalam

Metode Ultrasonik
Etanol 96%
Etanol 80%
Etanol 70%
49,67%(x)

44,03%

27,06%

Etanol 50%
15,46%

Ekstrak
Senyawa marker pada ekstrak kencur adalah EPMS yang memiliki sifat
non polar. Dari hasil penetapan kadar didapatkan hasil kadar EPMS pada pelarut
etanol 96% paling besar dibandingkan dengan etanol dengan kadar yang lebih
rendah. Hal ini disebabkan karena etanol 96% bersifat lebih kurang polar
dibandingkan dengan komposisi pelarut etanol lainnya sehingga EPMS yang
bersifat non polar akan lebih tertarik ke pelarut etanol 96%. Dan didapatkan
kadar EPMS pada pelarut etanol 50% paling kecil diantara pelarut lainnya karena
pelarut etanol 50% bersifat paling polar sehingga EPMS yang bersifat non polar
kurang tertarik ke pelarut etanol 50%.
o Apa pengaruh perbedaan pelarut pengekstraksi terhadap kadar aktifitas
farmakologi?
Pelarut
% Proteksi
% Efektifitas
terhadap

Metode Microwave
Etanol 96%
Etanol 80%
Etanol 70%
61,64%
47,03%
57,58%
154,08%

91,84%

112,44%

Etanol 50%
78,33%
27,52%

Kontrol +
Pelarut
% Proteksi
% Efektifitas
terhadap
Kontrol +

Etanol 96%
48,07%
95,38%

Metode Ultrasonik
Etanol 80%
Etanol 70%
26,92%
82,42%
53,84%

160,94%

Etanol 50%
47,48%
95,24%

Aktifitas farmakologi yang ditunjukkan pada ekstrak dengan berbagai


macam pelarut dengan jumlah pemberian yang sama, menunjukkan hasil yang
berbeda secara tidak bermakna. Maka dapat disimpulkan bahwa efek
farmakologis yang ditimbulkan tidak hanya disebabkan karena EPMS, namun
dipengaruhi oleh komposisi rendemen ekstrak secara keseluruhan. Sehingga
dengan adanya perbedaan pelarut pengekstraksi yang akan berkorelasi
terhadap jumlah rendemen ekstrak yang didapat, maka akan lebih
menguntungkan jika digunakan pelarut pengekstraksi 50% karena dihasilkan
rendemen ekstrak yang lebih besar dengan efek farmakologis yang sama
dengan ekstrak etanol 96%.
6.2 Pertanyaan Unit
o Mengapa etanol 96% tidak cost effective?
Salah satu parameter pelarut yang cost effective adalah kadar recovery
pelarut yang sama atau lebih besar dari kadar etanol awal sehingga pelarut
dapat digunakan kembali dengan cara mengencerkan pelarut tersebut.
Dari hasil praktikum, kadar recovery pelarut yang didapatkan memiliki
kecenderungan berubah menjadi lebih rendah dari kadar etanol awal.
Sehingga, dapat disimpulkan bahwa etanol 96% tidak cost effective.
o Bagaimana menentukan pelarut pengekstraksi yang cost effective?
Pelarut pengekstraksi harus memenuhi parameter yang diinginkan
diantaranya adalah rendemen yang diperoleh optimal dan recovery pelarut
yang sama atau lebih besar dari kadar etanol awal sehingga pelarut dapat
digunakan kembali dengan cara mengencerkan pelarut tersebut. Pelarut
pengekstraksi yang cost effective adalah pelarut yang dapat memenuhi
parameter pelarut pengekstraksi tersebut dengan harga pelarut yang
seminimal mungkin namun tetap memberikan efek farmakologis yang
diinginkan.
Rendemen menggambarkan perbandingan antara jumlah ekstrak yang
diperoleh dengan jumlah simplisia yang digunakan. Rendemen ekstrak
dihitung untuk mengetahui efektivitas ekstraksi dan untuk mengetahui
jumlah ekstrak yang digunakan untuk scale up. Selain itu, rendemen
ekstrak mengandung senyawa yang memberikan aktifitas farmakologis
sehingga jumlah rendemen yang dihasilkan akan berkorelasi terhadap efek
farmakologis yang ditimbulkan.

6.3 Pertanyaan Esensial


Bagaimana mendapatkan bahan aktif ekstrak yang cost effective untuk
pengembangan obat fitofarmasi?
Untuk mendapatkan bahan aktif ekstrak dengan cara yang cost-effective
diperlukan pertimbangan dalam memilih metode ekstraksi dan pelarut ekstraksi.
Pertimbangan dalam memilih metode ekstraksi yang cost-effective adalah:
i. Kualitas ekstrak yang diperoleh; kualitas yang semakin baik diperoleh
dengan aktivitas analgesik yang tinggi.
ii.

Selain itu pertimbangan lain untuk metode yang cost-effective adalah:


Waktu ekstraksi; semakin cepat waktu ekstraksi yang dibutuhkan untuk
mengekstraksi senyawa-senyawa konstituen dari simplisia maka

iii.

metode yang digunakan semakin baik.


Biaya selama proses ekstraksi; semakin sedikit biaya yang diperlukan
untuk menjalankan proses ekstraksi semakin baik.

Pertimbangan dalam memilih pelarut ekstraksi yang cost-effective adalah:


i. Kualitas ekstrak yag diperoleh; kualitas yang semakin baik diperoleh
dengan aktivitas analgesik yang tinggi.
ii.

Selain itu pertimbangan lain untuk metode yang cost-effective adalah:


Pelarut yang diperoleh kembali; pelarut yang diuapkan kembali
diperoleh kemurnian tertentu yang memungkinkan untuk digunakan
kembali.

7. Kesimpulan
Dari hasil praktikum 6 kelompok tidak dapat disimpulkan metode ekstraksi yang
paling efektif ataupun pelarut ekstraksi yang paling efektif. Pelarut ekstraksi dari hasil
kelompok ultrasonik maupun microwave memiliki hasil yang berbeda sehingga sulit
menentukan mana pelarut yang paling memberikan aktivitas analgesik. Dari hasil
pembahasan sebelumnya, untuk proses membuat produk fitofarmaka yang costeffective adalah dengan melakukan pertimbangan pemilihan metode ekstraksi, pelarut
ekstraksi. Untuk metode ekstraksi dipertimbangkan kualitas ekstrak yang diperoleh,
waktu proses ekstraksi, dan biaya yang diperlukan untuk proses ekstraksi. Sedangkan
untuk pelarut ekstraksi dipertimbangkan kualitas ekstrak yang diperoleh dan pelarut
yang diperoleh kembali.
8. Pustaka

Asyharst. 2009. Isolasi etil-p-metoksi sinamat dari kencur (kaemferia Galanga


L.)

dan sintesis asam p-metoksi sinamat sintesis turunannya dan

penetapan

struktur.http:asyharstf08.wordpress.com/2009/12/11/isolasi-

etil-para-metoksisianamat-dari-kencur.
Bangun,Rbijanto.2011. Semi Sintesis Akrilamida Dari Etil P-Metoksisinamat
hasil

Isolasi Rimpang Kencur melalui Amidasi dengan Dietanolamin.

Medan:
Universitas Sumatera Utara.
Barus, Rosbina. 2009. Amidasi etil p-metoksi sinamat yang diisolasi dari kencur
(kaemferiaGaranga,Linn).http://garuda.dikti.go.id/jurnal/detil/id/0:573438/9/
pengarang:%20RosbinaBarus%20TRANS%20%20P%metoksisinamat%20did
apat/
Chothani, Daya L., M. B. Patel, dan S. H. Mishra. 2012. HPTLC Fingerprint
Profile and

Isolation

of

Marker

Compound

of

Ruellia

tuberosa.

Chromatography Research International Volume 2012.


Departemen Kesehatan RI, Badan Pengawasan Obat dan Makanan. 2008.
Farmakope Herbal Indonesia Ed. I. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik
Indonesia.
Emrizal, dkk. 2012. Isolasi Senyawa dan Uji Aktivitas Anti-inflammasi Ekstrak
Metanol Daun Puwar Kincung (Nicolaia Speciosa Horan). Indonesia
Handa, S. S., Khanuja, S. P. S., Longo, G., Rakesh D. D.2008. Extraction
Technologies for Medicinal and AromaticPlants. Italy: International Centre
for Science and High Technology.
Hadi, Anwar. 2007. Pemahaman dan Penerapan ISO/IEC 17025 : 2005
Persyaratan Umum Laboratorium Pengujian dan Laboratorium Kalibrasi.
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Hardman, J. G., Limbrid, L. E., dan Gilman, A. G. 2001. Analgesic-Antipyretic
and Antiinflammatory agents and drugs employed in treatment of gout. In :
Robert, L. J., and Morro, J. D., eds. Goodman and Gillmans The
Pharmacological Basis of Therapeutics. 10th edition. New York : Mc Graw
Hill Companies, p : 687-691, 706.
Harmita. 2004. Petunjuk Pelaksanaan Validasi Metode dan Cara Perhitungannya.
Majalah Ilmu Kefarmasian, Vol. I, No.3, Desember 2004, 117 135
ICH Harmonised Tripartite Guideline. 1996. Validation of Analytical Procedures:
Text and Methodology Q2(R1)
Kanjanapothi D., et al.2004.Toxicity of Crude Rhizome Extract of Kaempferia
galanga L. (Proh Hom). Elsevier. Page 359-365.
Kee J. L., Hayes E. R. 1994. Farmakologi : Pendekatan Proses Keperawatan.
Jakarta : EGC. p 216218.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 1995. Farmakope Indonesia Edisi


III. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 1999. Farmakope Indonesia Edisi
IV. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2014. Farmakope Indonesia Edisi V.
Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.
Kushwaha, Swatantra K.S., et al. 2010. Journal of Role of Markers in the
Standardization of Herbal Drugs : a Review. Scholars Research Library : page
225-229.
Li, Songlin dkk. 2008. Chemical Markers for The Quality Control of Herbal
Medicines: An Overview. Chinese Medicine Journal 2008, 3:7
Peraturan Kepala Badan POM Republik Indonesia No. 7 Tahun 2014. Pedoman
Uji Toksisitas Nonklinik Secara In Vivo. Jakarta.
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 760/Menkes/Per/IX/1992.
Pedoman Fitofarmaka. Jakarta.
Rowe, R. C., Sheskey, P. J., Quinn, M. E. 2009. Handbook of Pharmaceutical
Excipients 6th ed. Inggris Raya: RPS Publishing
Sinko, P.J., 2006. Martins Physical Pharmacy and Pharmaceutical Science:
Physical Chemical and Biopharmaceutical Sciences 5 th edition. Lippicott
William and Wilkins.Philadepria.
Stahl, Mark. 2003.Peak Purity Analysis in HPLC and CE using Diode-Array
Technology.

Agilent

Technologies,Waldbronn,

Germany.

Diakses

darihttp://www.chem.agilent.com/Library/applications/5988-8647EN.pdf
Sulaiman MR, Zakaria ZA, Daud IA, Ng FN, Ng YC and Hidayat MT (2008).
Antinociceptive and anti-inflammatory activities of the aqueous extract of
Kaempferia galanga leaves in animal models. Journal of Natural Medicines
62 221-227.
Tewtrakul S., et al.2005.Chemical Components and Biological Activities of
Volatile oil of Kaempferia galanga Linn.. Songklanakrin J.Sci.Technol.
27(Suppl.27) page 503-507.
Wang, L., Weller, C. L. 2006. Recent Advances in Extraction of Nutraceutical
From Plants. Elsevier: Trends in Food Science & Technology.
.Vittalrao, Amberkar Mohanbabu, Shanbhag, Tara, Meena Kumari K, Bairy, K.
L., Shenoy, Smita (2011). Evaluation od Antiinflammatory and Analgesic

Activities of Alcoholic Extract of Kaempferia galanga in Rats, Indian J Pysiol


Pharmacol, 55 (1) : 13 24.

Anda mungkin juga menyukai