Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN
Leukemia

adalah penyakit

neoplastik yang

ditandai

dengan

diferensiasi dan proliferasi sel induk hematopoietik yang mengalami


transformasi dan ganas, menyebabkan supresi dan penggantian elemen
sumsum normal. Leukemia dibagi menjadi 2 tipe umum: leukemia limfositik
dan leukemia myeloid. (1)
Leukemia mieloid kronik (LMK) atau chronic myeloid leukemia
(CML) merupakan leukemia kronik, dengan gejala yang timbul perlahanlahan dan sel leukemianya berasal dari transformasi sel induk mieloid. CML
termasuk kelainan klonal (clonal disorder) dari sel induk pluripoten dan
tergolong sebagai salah satu kelainan mieloproliferatif. Nama lain untuk
leukemia myeloid kronik, yaitu chronic myelogenous leukemia dan chronic
myelocytic leukemia. (1)
CML yang merupakan gangguan mieloproliferatif klonal ini ditandai
dengan peningkatan neutrofil dan prekusornya pada darah perifer dengan
peningkatan selularitas sumsum tulang akibat kelebihan prekusor granulosit.
(2)
CML merupakan 15-20% dari leukemia dan merupakan leukemia
kronik yang paling sering di jumpai di Indonesia, sedangkan di negara Barat
Leukemia kronik lebih banyak dijumpai dalam bentuk CLL (Chronic
Lymphocytic Leukemia). Insiden CML di negara Barat sekitar 11,4/100.000/tahun. Penyakit ini terjadi pada kedua jenis kelamin (rasio pria :
wanita sebesar 1,4:1). Umumnya CML mengenai usia pertengahan dengan

puncak pada umur 40-50 tahun. Pada anak-anak dapat di jumpai bentuk
juvenile CML. (3)

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1

Etiologi
Etiologi

CML

masih

belum

diketahui.

Beberapa

asosiasi

menghubungkannya dengan faktor genetik dan faktor lingkungan, tetapi di


kebanyakan kasus, tidak ada faktor yang dapat di identifikasikan. (4)
Ada dua faktor yang menyebabkan CML, yaitu faktor instrinsik (host)
dan faktor ekstrinsik (lingkungan). (5)
a. Faktor Instrinsik
- Keturunan dan Kelainan Kromosom
Leukemia tidak diwariskan, tetapi sejumlah individu memiliki faktor
predisposisi untuk mendapatkannya. Risiko terjadinya leukemia meningkat
pada saudara kembar identik penderita leukemia akut, demikian pula pada
suadara lainnya, walaupun jarang. Jarang ditemukan leukemia Familial,
tetapi insidensi leukemia terjadi lebih tinggi pada saudara kandung anakanak yang terserang dengan insiden yang meningkat sampai 30 % pada
kembar identik (monozigot). (5)
Kejadian leukemia meningkat pada penderita dengan kelainan
fragilitas kromosom (anemia fancori) atau pada penderita dengan jumlah
kromosom yang abnormal seperti pada sindrom Duwa, sindrom klinefelter
dan sindrom turner. (6)
- Defisiensi Imun dan Defisiensi Sumsum Tulang
Sistem

imunitas

tubuh

kita

memiliki

kemampuan

untuk

mengidentifikasi sel yang berubah menjadi sel ganas. Gangguan pada sistem
tersebut dapat menyebabkan beberapa sel ganas lolos dan selanjutnya
3

berproliferasi hingga menimbulkan penyakit. Hipoplasia dari sumsum tulang


mungkin sebagai penyebab leukemia. (7)

b. Faktor Ekstrinsik
- Faktor Radiasi
Adanya efek leukemogenik dan ionisasi radiasi, dibuktikan dengan
tingginya insidensi leukemia pada ahli radiologi (sebelum ditemukan alat
pelindung), penderita dengan pembesaran kelenjar tymus, Ankylosing
spondilitis

dan

Diperkirakan

10

penyakit
%

Hodgkin

penderita

yang

mendapat

terapi

leukemia

memiliki

latar

radiasi.
belakang

radiasi. Sebelum proteksi terhadap sinar rutin dilakukan, ahli radiologi


mempunyai risiko menderita leukemia 10 kali lebih besar. Penduduk
Hiroshima dan Nagasaki yang hidup sesudah ledakan bom atom tahun 1945
mempunyai insidensi LMA dan LMK sampai 20 kali lebih banyak.
Demikian pula pada penderita ankylosing spondilitis yang diobati dengan
sindar radioaktif lebih dari 2000 rads mempunyai insidensi LMA 14 kali
lebih banyak. (8)

- Bahan Kimia dan Obat-obatan


Bahan-bahan kimia terutama Hydrokarbon sangat berhubungan
dengan leukemia akut pada binatang dan manusia. Remapasan Benzen
dalam jumlah besar dan berlangsung lama dapat menimbulkan leukemia.
Pekerja pabrik sepatu di Turki yang kontak lama dengan benzen dosis tinggi

banyak yang menderita LMA . Kloramfenikol dan fenilbutazon diketahui


menyebabkan anemia aplastik berat, tidak jarang diketahui dikahiri dengan
leukemia, demikian juga dengan Arsen dan obat-obat imunosupresif. (9)
- Infeksi Virus
Virus menyebabkan leukemia pada beberapa dirating percobaan di
laboratorium. Peranan virus dalam timbulnya leukemia pada manusia masih
dipertanyakan. Diduga yang ada hubungannya dengan leukemia adalah
Human T-cell leukemia virus (HTLV-1), yaitu suatu virus RNA yang
mempunyai enzim RNA transkriptase yang bersifat karsinogenik. (10)
Beberapa virus tertentu sudah dibuktikan menyebabkan leukemia
pada binatang. Timbulnya leukemia dipengaruhi antara lain oleh umur, jenis
kelamin, strain virus, faktor imunologik serta ada tidaknya zat kimia dan
sinar radioaktif. Sampai sekarang tidak atau belum dapat dibuktikan bahwa
penyebab leukemia pada manusia adalah virus. Walaupun demikian ada
beberapa hasil penelitian yang menyokong teori virus sebagai penyebab
leukemia, antara lain enzyme reverse transcriptase ditemukan dalam darah
penderita leukemia. Seperti diketahui enzim ini ditemukan di dalan virus
onkogenik seperti retrovirus tipe-C, yaitu jenis virus RNA yang
menyebabkan leukemia pada binatang. (11)

2.2

Patogenesis
Pada
CML
Philadelphia

dijumpai
chromosom

(Ph1 chr) suatu reciprocal


5

translocation 9,22 (t9;22). Kromosom Philadelphia merupakan kromosom


22 abnormal yang disebabkan oleh translokasi sebagian materi genetik pada
bagian lengan panjang (q) kromosom 22 ke kromosom 9, dan translokasi
resiprokal bagian kromosom 9, termasuk onkogen ABL, ke region klaster
breakpoint (breakpoint cluster region, BCR) yang merupakan titik
pemisahan tempat putusnya kromosom yang secara spesifik terdapat pada
kromosom 22. Sebagai akibatnya sebagian besar onkogen ABL pada lengan
panjang kromosom 9 mengalami juxtaposisi (bergabung) dengan onkogen
BCR pada lengan panjang kromosom 22. Titik putus pada ABL adalah
antara ekson 1 dan 2. Titik putus BCR adalah salah satu di antara dua titik di
region kelompok titik putus utama (M-BCR) pada CML atau pada beberapa
kasus ALL Ph+. Gen fusi (gen yang bersatu) ini akan mentranskripsikan
chimeric RNA

sehingga

terbentuk chimeric protein (protein 210 kd).

Timbulnya protein baru ini akan memengaruhi transduksi sinyal terutama


melalui tyrosine kinase ke inti sel sehingga terjadi kelebihan dorongan
proliferasi pada sel-sel mieloid dan menurunnya apoptosis. Hal ini
menyebabkan proliferasi pada seri myeloid. (12)
2.3

Klasifikasi
Leukemia myeloid kronik (CML) dapat diklasifikasikan sebagai
berikut :
a. Leukemia myeloid kronik, Ph positif (CML, Ph+) (leukemia
b.
c.
d.
e.
f.

granulositik kronik, CGL).


Leukemia mieloid kronik, Ph negative (CML, Ph-)
Leukemia myeloid kronik juvenilis
Leukemia netrofilik kronik
Leukemia eosinofilik
Leukemia mielomonositik kronik (CMML)
6

Tetapi, sebagian besar (>95%) CML tergolong sebagai CML, Ph+. (13)
2.4

Fase Perjalanan Penyakit


Perjalanan penyakit CML dibagi menjadi beberapa fase, yaitu:
1. Fase Kronik : pada fase ini pasien mempunyai jumlah sel blast dan sel
premielosit kurang dari 5% di dalam darah dan sumsum tulang. Fase ini
ditandai dengan over produksi granulosit yang didominasi oleh netrofil
segmen. Pasien mengalami gejala ringan dan mempunyai respon baik
terhadap terapi konvensional. (14)
2. Fase Akselerasi atau transformasi akut : fase ini sangat progresif,
mempunyai lebih dari 5% sel blast namun kurang dari 30%. Pada fase
ini leukosit bisa mencapai 300.000/mmk dengan didominasi oleh
eosinofil dan basofil. Sel yang leukemik mempunyai kelainan kromosom
lebih dari satu (selain Philadelphia kromosom). (15)
3. Fase Blast (Krisis Blast) : pada fase ini pasien mempunyai lebih dari
30% sel blast pada darah serta sumsum tulangnya. Sel blast telah
menyebar ke jaringan lain dan organ diluar sumsum tulang. Pada fase ini
penyakit ini berubah menjadi Leukemia Myeloblastik Akut atau
Leukemia Lympositik Akut. Kematian mencapai 20%. (16)

2.5

Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis CML, tergantung pada fase yang kita jumpai pada
penyakit tersebut, yaitu :
a.
Fase kronik terdiri atas :
1. Gejala hiperkatabolik : berat badan menurun, lemah, anoreksia,
berkeringat pada malam hari.
2. Splenomegali hampir selalu ada, sering massif.
3. Hepatomegali lebih jarang dan lebih ringan.
7

4. Gejala

gout

atau

gangguan

ginjal

yang

disebabkan

oleh

hiperurikemia akibat pemecahan purin yang berlebihan dapat


menimbulkan masalah.
5. Gangguan penglihatan dan priapismus.
6. Anemia pada fase awal sering tetapi hanya ringan dengan gambaran
pucat, dispneu dan takikardi.
7. Kadang-kadang asimtomatik, ditemukan secara kebetulan pada saat
check up atau pemeriksaan untuk penyakit lain. (17)
b. Fase transformasi akut terdiri atas :
Perubahan terjadi perlahan-lahan dengan prodormal selama 6
bulan, di sebut sebagai fase akselerasi. Timbul keluhan baru, antara lain :
demam, lelah, nyeri tulang (sternum) yang semakin progresif. Respons
terhadap kemoterapi menurun, lekositosis meningkat dan trombosit
menurun (trombosit menjadi abnormal sehingga timbul perdarahan di
berbagai tempat, antara lain epistaksis, menorhagia). (18)
c. Fase Blast (Krisis Blast) :
Pada sekitar 1/3 penderita, perubahan terjadi secara mendadak,
tanpa didahului masa prodormal keadaan ini disebut krisis blastik (blast
crisis). Tanpa pengobatan adekuat penderita sering meninggal dalam 1-2
bulan. (19)
2.6

Pemeriksaan Penunjang
Beberapa pemeriksaan penunjang untuk CML, yaitu :
a. Laboratorium
Darah rutin :
Anemia mula-mula ringan menjadi progresif pada fase lanjut
(fase transformasi akut), bersifat normokromik normositer.
Hemoglobin : dapat kurang dari 10 g/100 m.
Gambaran darah tepi :
Leukositosis berat 20.000-50.000/mm3 pada permulaan
kemudian biasanya lebih dari 100.000/mm3.

Menunjukkan spectrum lengkap seri granulosit mulai dari


mieloblast sampai netrofil, komponen paling menonjol adalah
segmen netrofil (hipersegmen) dan mielosit. Metamielosit,
promielosit, dan mieloblast juga dijumpai. Sel blast < 5%. Sel

darah merah bernukleus.


Jumlah basofil dalam darah meningkat.
Trombosit bisa meningkat, normal atau menurun. Pada fase awal

lebih sering meningkat.


Fosfatase alkali netrofil (neutrophil alkaline phosphatase) selalu

rendah.
Gambaran sumsum tulang
Hiperseluler dengan system granulosit dominan. Gambarannya
mirip dengan apusan darah tepi. Menunjukkan spektrum lengkap
seri myeloid, dengan komponen paling banyak ialah netrofil dan
mielosit. Sel blast kurang dari 30 %. Megakariosit pada fase
-

kronik normal atau meningkat.


Sitogenik : di jumpai adanya Philadelphia (Ph1) kromosom pada

95 % kasus.
Vitamin B12 serum dan B12 binding capacity meningkat.
Kadar asam urat serum meningkat.
Pemeriksaan PCR (polymerase chain reaction) dapat
mendeteksi adanya chimeric protein bcr-abl pada 99% kasus.
(20)

Gambar 2.1

Gambaran apusan darah tepi dengan perbesaran


400x menunjukkan hyperlekositosis.
Terdapat
juga
thrombocytosis.

eosinophilia,

basofilia,

Gambar 2.2
Gambaran apusan darah tepi dengan perbesaran
1000x menunjukkan promielosit, eosinofil,3
basofil, netrofil batang dan segmen.

Gambar 2.3

Gambar 2.4

Gambaran apusan darah tepi dengan perbesaran


400x menunjukkan berbagai tahap granulopoiesis
termasuk promielosit, mielosit, metamielosit, dan
netrofil batang serta segmen.

Gambaran apusan darah tepi, dengan perbesaran


1000x menunjukkan tahapan granulocytic
termasuk eosinofil dan basofil.

Pemeriksaan Penunjang Lain


Ada beberapa pemeriksaan penunjang lain untuk penyakit CML, antara
-

lain :
2.5tulang : sel darah merah abnormal biasanya lebih
BiopsiGambar
sumsum
Gambaran Sumsum tulang yang hiperseluler. Dengan
perbesaran 400x menunjukkan bahwa adanya
peningkatan eosinofil dan megakariosit.

dari 50 % atau lebih dari sel darah putih pada sumsum tulang. Sering
60% - 90% dari blast, dengan prekusor eritroid, sel matur, dan
-

megakariositis menurun.
Foto dada dan biopsi nodus limfe : dapat mengindikasikan derajat

keterlibatan.
Pemeriksaan lain, yaitu tes untuk mendeteksi adanya kromosom
Philadelphia. (21)

2.7

Diagnosis Banding
Pemeriksaan darah tepi dan sumsung tulang merupakan situasi klinis
yang dapat menegakkan diagnosis adanya CML, pada beberapa pasien CML
kadang tidak ditemukan kromosom Ph. Sehingga di butuhkan suatu standar
untuk menegakkan suatu diagnosis. (23)
10

- Diagnosis CML dalam fase akselerasi menurut WHO :


1.

Blast 10-19% dari WBC pada darah tepi dan atau dari sel sumsum

tulang berinti.
2. Basofil darah tepi >20%.
3. Thrombositopenia persisten (<100x109/L) yang tidak dihubungkan
dengan terapi, atau thrombositosis (>1000x109/L) yang tidak responsif
terhadap terapi.
4. Peningkatan ukuran lien atau WBC yang tidak responsif pada terapi.
5. Bukti sitogenik evolusi klonal. (24)
- Diagnosis CML pada fase krisis blastik menurut WHO :
1. Blast >20% dari darah putih pada darah perifer atau sel sumsum tulang
berinti.
2. Proliferasi blast ekstrameduler.
3. Fokus besar atau cluster sel blast dalam biopsi sumsum tulang (25)
Diagnosis banding pada fase kronis adalah trombositosis esensial, pada
trombositosis ditemukan adanya fosfatase normal atau meningkat sedangkan
CML selalu rendah dan tidak ditemukannya Ph kromosom seperti halnya
yang selalu ditemukan Ph kromosom pada penderita CML. Untuk fase krisis
blast yaitu leukemia mieloid akut dan sindrom mielodislasia. (26)
Tidak ditemukannya Ph kromosom pada penderita CML yaitu pada
kasus penderita yang menderita CML tipe juvenillis yang sering dijumpai
pada pasien berumur kurang dari 4 tahun. Cirinya tidak adanya Ph
kromosom, peningkatan Hb janin, trombositopenia, monositosis yang
menonjol, dan CML juvenillis jarang mengalami transformasi blastik dan
meninggal akibat infeksi atau kegagalan organ akibat sebukan monosit dan
makrofag. (27)

11

2.8

Penatalaksanaan
a. Medikamentosa
Penatalaksanaan CML tergantung pada fase penyakit, yaitu :
1. Fase Kronik
a. Busulphan (Myleran), dosis : 0,1-0,2 mg/kgBB/hari. Leukosit
diperiksa tiap minggu. Dosis diturunkan setengahnya jika leukosit
turun setengahnya. Obat di hentikan jika leukosit 20.000/mm 3. Terapi
dimulai jika leukosit naik menjadi 50.000/mm3. Efek smaping dapat
berupa aplasia sumsum tulang berkepanjangan, fibrosis paru, bahaya
timbulnya leukemia akut.
b. Hydroxiurea, bersifat efektif dalam mengendalikan penyakit dna
mempertahankan hitung leukosit yang normal pada fase kronik, tetapi
biasanya perlu diberikan seumur hidup (Victor et al., 2005). Dosis
mulai dititrasi dari 500 mg sampai 2000 mg. Kemudian diberikan
dosis pemeliharaan untuk mencapai leukosit 10.000-15.000/mm3.
Efek samping lebih sedikit.
c. Interferon juga dapat mengontrol jumlah sel darah putih dan dapat
menunda onset transformasi akut, memperpanjang harapan hidup
menjadi 1-2 tahun (Atul & Victor, 2005). IFN- biasanya digunakan
bila jumlah leukosit telah terkendali oleh hidroksiurea. IFN-
merupakan terapi pilihan bagi kebanyakan penderita leukemia
Mielositik (CML) yang terlalu tua untuk transplantasi sumsum tulang
(BMT) atau yang tidak memiliki sumsum tulang donor yang cocok.
Interferon alfa diberikan pada rata-rata 3-5 juta IU / d subkutan
(Emmanuel, 2010). Tujuannya adalah untuk mempertahankan jumlah
leukosit tetap rendah (sekitar 4x109/l). Hampir semua pasien

12

menderita gejala penyakit mirip flu pada beberapa hari pertama


pengobatan. Komplikasi yang lebih serius berupa anoreksia, depresi,
dan sitopenia. Sebagian kecil pasien (sekitar 15%) mungkin mencapai
remisi jangka panjang dengan hilangnya kromosom Ph pada analisis
sitogenik walaupun gen fusi BCR-ABL masih dapat dideteksi melalui
PCR.
d. Mesylate imatinib (Gleevec), merupakan obat yang sedang diteliti
dalam percobaan klinis dan tampaknya memberikan hasil yang
menjanjikan. Zat STI 57I adalah suatu inhibitor spesifik terhadap
protein ABL yaitu tiroksin kinase sehingga dapat menekan proliferasi
seri myeloid. Gleevec mengontrol jumlah darah dan menyebabkan
sumsum tulang menjadi Ph negative pada sebagian besar kasus. Obat
ini mungkin menjadi lini pertama pada CML, baik digunakan sendiri
atau bersama dengan interferon atau obat lain.
e. Transplantasi sumsum tulang alogenik (stem cell transplantation,
SCT) sebelum usia 50 dari saudara kandung yang HLA-nya cocok
memungkinkan kesembuhan 70% pada fase kronik dan 30% atau
kurang pada fase akselerasi. (28)
2. Fase Akselerasi dan Fase Blast
Terapi untuk fase akselerasi atau transformasi akut sama seperti
leukemia akut, AML atau ALL, dengan penambahan STI 57I (Gleevec)
dapat diberikan. Apabila sudah memasuki kedua fase ini, sebagian besar
pengobatan yang dilakukan tidak dapat menyembuhkan hanya dapat
memperlambat perkembangan penyakit. (28)
b. Non-Medikamentosa
o Radiasi

13

Terapi radiasi dengan menggunakan X-Rays dosis tinggi sinar-sinar


tenaga tinggi secara external radiation therapy untuk menghilangkan
gejala-gejala atau sebagian dari terapi yang diperlukan sebelum
transplantasi sumsum tulang. (29)
2.9 Prognosis
Sekitar 20-30% penderita meninggal dalam waktu 2 tahun setelah
penyakitnya terdiagnosis dan setelah itu sekitar 25% meninggal setiap
tahunnya. Banyak penderita yang bertahan hidup selama 4 tahun atau lebih
setelah penyakitnya terdiagnosis, tetapi pada akhirnya meninggal pada fase
akselerasi atau krisis blast. Angka harapan hidup rata-rata setelah krisis
blast hanya 2 bulan, tetapi kemoterapi kadang bisa memperpanjang harapan
hidup sampai 8-12 bulan. (30)

14

Anda mungkin juga menyukai