Anda di halaman 1dari 13

TUTORIAL

STASE THT RUMAH SAKIT ISLAM PONDOK KOPI


RHINITIS ALERGI

Pembimbing : dr. Hj. Fitriah Shebubakar, Sp.THT-KL

Oleh : Fitriyah

2011730134

Siti Noviyanti

2011730102

Hasepta Murfa Yesi

2012730131

Sarah Shabrina

2012730098

KEPANITRAAN KLINIK
PROGRAM STUDI KEDOKTERAN
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA
2016

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT karena atas rahmat dan hidayah-Nya
penulis dapat menyelesaikan tutorial mengenai RHINITIS ALERGI ini tepat
waktu. Tidak lupa penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Hj. Fitriah
Shebubakar, Sp.THT-KL selaku pembimbing yang telah membimbing penulis
dalam menyelesaikan laporan kasus ini.
Penulis

mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk

kesempurnaan penulisan laporan kasus ini. Semoga laporan ini bermanfaat bagi
yang membacanya dan bermanfaat pula bagi penulis

Jakarta,

Juni 2016

Penulis

BAB I
PENDAHULUAN
Rinitis alergi merupakan masalah kesehatan global dengan prevalensi yang terus
meningkat serta dapat berdampak pada penurunan kualitas hidup penderitanya, berkurangnya
produktivitas kerja dan prestasi sekolah, serta dapat mengganggu aktivitas social. Rinitis
alergi juga mempengaruhi secara signifikan terhadap anggaran kesehatan. Di Amerika biaya
untuk rinitis alergi saja mencapai 2.7 milyar dolar setahun dan hampir 3.8 juta waktu bekerja
dan sekolah hilang setiap tahunnya akibat rinitis alergi. Prevalensi rinitis alergi di Amerika
Utara mencapai 10-20%, di Eropa sekitar 10-15%, di Thailand sekitar 20% dan Jepang 10%.
Prevalensi di negara industri lebih banyak daripada negara agraria, sedangkan diperkotaan
lebih tinggi daripada diperdesaan. Prevalensi rinitis alergi di Indonesia mencapai 1,5-12,4%
dan cenderung mengalami peningkatan setiap tahunnya. Di Indonesia aeroalergen yang
tersering menyebabkan rinitis alergi yaitu tungau, dan tungau debu rumah. Rinitis alergi
dapat meyebabkan ko-morbiditas antara lain sinusitis, asma brokhial, konjungtivitis dan otitis
media. Kejadian otitis media sangat erat hubungannya dengan gangguan fungsi tuba
Eustachius yang berkaitan dengan tekanan telinga tengah Peran rinitis alergi pada penyakit
telinga tengah belum dapat dipahami sepenuhnya. Beberapa penelitian melaporkan
mekanisme gangguan fungsi tuba Eustachius pada rinitis alergi didasari kesamaan antara
mukosa rongga hidung, nasofaring, tuba Eustachius dan telinga tengah, sehingga proses
inflamasi alergi di mukosa hidung dapat berlanjut ke mukosa nasofaring dan tuba Eustachius.
Keluhan dan gejala awal yang dirasakan penderita gangguan fungsi tuba Eustachius antara
lain nyeri telinga, berdengung, rasa penuh di telinga hingga vertigo, hal ini menyebabkan rasa
tidak nyaman dan dapat mempengaruhi kualitas hidup penderita.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
a. Definisi
Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada
pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitasi dengan alergan yang sama serta
dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan alergen spesifik
tersebut.
Definisi menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and its impact on asthma) tahun
2001 adalah kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin, rinore, rasa gatal dan
tersumbat setelah mukosa hidung terpapar alergen yang diperantaikan oleh Ig E.
b. Epidemiologi
Rhinitis ditemukan di semua ras manusia, pada anak-anak lebih sering terjadi
terutama anak laki-laki. Memasuki usia dewasa, prevalensi laki-laki dan perempuan sama.
Insidensi tertinggi terdapat pada anak-anak dan dewasa muda dengan rerata pada usia 8-11
tahun, sekitar 80% kasus rhinitis alergi berkembang mulai dari usia 20 tahun. Insidensi
rhinitis alergi pada anak-anak 40% dan menurun sejalan dengan usia sehingga pada usia
tua rhinitis alergi jarang ditemukan.
c. Patofisiologi
Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan tahap
sesitisasi dan diikuti dengan tahap provokasi/reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri dari 2 fase
yaitu Immediate Phase Allergic Reaction atau Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFG) yang
berlangsung sejak kontak dengan alergen sampai 1 jam setelahnya dan Late Phhase
Allergic Reaction atau Reaksi Alergi Fase Lambat (RAFL) yang berlangsung 2-4 jam
dengan puncak 6-8 jam (Fase hiper-reaktifitas) setelah pemaparan dan dapat berlangsung
24-48 jam.
Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi, makrofag atau monosit
yang berperan sebagai sel penyaji (Antigen Presenting Cell / APC) akan menangkap
alergen yang menempel di permukaan mukosa hidung. Setelah diptoses, antigeen akan
membentuk fragmen pendek peptida dan bergabung dengan molekul HLA kelas II
membentuk komplek peptida MHC kelas II (Mayor Histocompatibility Complex) yang
kemudian dipresentasikan pada sel T helper (Th 0). Kemudian sel penyaji akan melepas
3

sitokin seperti interleukin 1 (IL I) yang akan mengaktifkan Th 0 untuk berploriferasi


menjadi Th 1 dan Th 2. Th 2 akan menghasilkan berbagai sitokin seperti IL 3, IL 4, IL 5
dan IL 13, IL 14 dan IL 15 yang diikat oleh reseptornya di permukaan sel limfosit B,
sehingga sel limfosit B menjadi aktif, dan akan memproduksi Imunoglobulin E (Ig E). Ig
E di sirkulasi darah akan masuk ke jaringan dan diikat oleh reseptor Ig E di permukaan sel
mastosit atau basofil (sel mediator) sehingga kedua sel ini menjadi aktif. Proses ini disebut
sensitisasi yang menghasilkan sel mediator yang tersensitasi. Bila mukosa yang sudah
tersensitasi terpapar denagn alergen yang sama, maka kedua rantai Ig E akan mengikat
alergen spesifik dan terjadi degranulasi (pecahnya dinding sel) mastosit dan basofil dengan
akibat terlepasnya madiator kimia yang sudah terbentuk (Preformed Mediators) terutama
histamin. Selain histamin juga dikeluarkan Newly Formed Mediators antara lain
prostagalandin D2 (pgd2), Leukotrien D4 (LT D4), Leukotrien C4 (LT C4), bradikin,
Platelet Activating Factor (PAF) dan berbagai sitokin. (IL3, IL4, IL5, IL6, GM-CSF
(Granulocyte Macrophage Colony Stimulating Factor) dll. Inilah yang disebut sebagai
Reaksi Alerhi Fase Cepat (RAFC).
Histamin akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus sehingga
menimbulkan rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin. Histamin juga akan menyebabkan
kelenjar mukosa dan sel goblet mengalami hipersekresi dan permeabilitas kapiler
meningkat sehingga terjadi rinore. Gejala lain adalah hidung tersumbat akibat vasodilatasi
sinusoid. Selain histamin merangsang ujung saraf vidianus, juga menyebabkan rangsangan
pada mukosa hidung sehingga terjadi pengeluaran Inter Cellular Adhesion Molecule 1
(ICAM 1).
Pada RAFC, sel matosit juga akan melepas molekul kemotaktik yang menyebabkan
akumulasi sel eusinofil dan netrofil di jaringan target. Respons ini tidak berhenti sampai
disini saja, tetapi gejala akan berlanjut dan mencapai puncak 6-8 jam setelah pemaparan.
Pada RAFL ini ditandai dengan penambahan jenis dan jumlah sel inflamasi seperti
eosinofil, limfosit, netrofil, basofil dan mastosit di mukosa hidung serta peningkatan
sitokin seperti IL3, IL4, IL5 dan Granulocyte Macrophage Colony Stimulating Factor
(GMCSF) dan ICAM 1 pada sekret hidung. Timbulnya gejala hiperaktif atau hiperesponsif
hidung adalah akibat peranan eosinofil dengan mediator inflamasi dari granulnya seperti
Eosiniphilic Cationic Protein (ECP), Eosiniphilic Derived Protein (EDP), Major Basic
Protein (MBP) dan Eosinophilic Peroxidase (EPO). Pada fase ini, selain faktor spesifik
(alergen), iritasi oleh faktor non spesifik dapat memperberat gejala seperti asap rokok, bau
yang merangsang, perubahan cuaca dan kelembapan udara yang tinggi.
4

d. Etiologi
Berdasarkan cara masuknya alergen dibagi menjadi :
-

Alergen inhalasi
Yang masuk bersama dengan udara pernapasan, misalnya tungau debu rumah
(D.pteronyssinus, D.farinae, B.tropicalis), kecoa, serpihan epitel kulit binatang
(kucing, anjing), rerumputan (bermuda grass) serta jamur (Aspergillus, Alternaria).

Alergen ingestan
Yang masuk kesaluran cerna berupa makanan, misalnya susu sapi, telur, coklat, ikan
laut, udang kepiting dan kacang-kacangan.

Alergen injektan
Yang masuk melalui suntikan atau tusukan, misalnya penisilin dan sengatan lebah.

Alergen kontaktan
Yang masuk melalui kontak kulit, atau jaringan mukosa, misalnya bahan kosmetik,
perhiasan.

e. Klasifikasi
Berdasarkan sifat berlangsungnya:
1. Rinitis alergi musiman (Seasonal, hay fever, polinosis). Di Indonesia tidak dikenal
rhinitis alergi musiman, hanya ada dinegara yang mempunyai 4 musim. Alergen
penyebabnya spesifik, yaitu serbuk (pollen) dan spora jamur. Oleh karena itu nama
yang tepat ialah pollinosis.
2. Rinitis alergi sepanjang tahun (Perennial). Gejala pada penyakit ini timbul intermitten
atau terus-menerus, tanpa variasi musim, jadi dapat ditemukan sepanjang tahun.
Penyebab yang paling sering ialah alergen inhalan, terutama pada orang dewasa dan
alergan ingestan. Alergen inhalan utama adalah allergen dalam rumah (indoor) contoh:
tungau dan allergen diluar rumah (outdoor). Alergen ingestan sering merupakan
penyebab pada anak-anak dan biasanya disertai dengan gejala alergi yang lain, seperti
urtikaria, gangguan pencernaan. Gangguan fisiologik pada golongan perennial lebih

ringan daripada golongan musiman tetapi karena lebih persisten maka komplikasinya
sering ditemukan.
Saat ini dilakukan klasifikasi rinitis alergi berdasarkan rekomendasi dari WHO
Initiative ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun 2001, yaitu
berdasarkan sifat berlangsungnya dibagi menjadi :
1. Intermitten (kadang-kadang) : bila gejala kurang dari 4 hari / minggu.
2. Persisten / menetap : bila gejala lebih dari 4 hari/minggu.
Sedangkan untuk tingkat berat ringannya penyakit, rinitis alergi dibagi menjadi:
1. Ringan : bila tidak ditemukan gangguan tidur, aktivitas harian, bersantai, berolahraga,
belajar, bekerja dan hal-hal lain yang mengganggu.
2. Sedang-Berat : bila terdapat satu atau lebih dari gangguan tersebut diatas.

f. Diagnosis
a) Anamnesis
Anamnesis sangat penting, karena sering kali serangan tidak terjadi di hadapan
pemeriksa. Hampir 50% diagnosis dapat ditegakkan dari anamnesis saja. Gejala rinitis
alergi yang khas ialah terdapatnya serangan bersin berulang. Sebetulnya bersin
merupakan gejala yang normal, terutama pada pagi hari atau bila terdapat kontak
dengan sejumlah besar debu. Hal ini merupakan mekanisme fisologik, yaitu proses
membersihkan sendiri (Self cleaning process). Bersin ini terutama merupakan gejala
pada RAFC dan kadang-kadang pada RAFL sebagai akibat dilepaskannya histamin.
Gejal lain ialah keluar ingus (inore) yang encer dan banyak, hidung tersumbat, hidung
dan mata gatal, yang kadang-kadang disertai dengan banyak air mata keluar
(lakrimasi). Sering kali gejala yang timbul tidak lengkap, terutama pada anak. Kadangkadang keluhan hidung tersumbat merukan keluhan utama atau salah satu-satunya
gejala yang diutarakan pasien.
b) Pemeriksaan fisik
1. Wajah
o Allergic shiners yaitu dark circles di sekitar mata dan berhubungan dengan
vasodilatasi atau obstruksi hidung.
6

o Nasal crease yaitu lipatan horizontal (horizontal crease) yang melalui setengah
bagian bawah hidung akibat kebiasaan menggosok hidung keatas dengan tangan.
o Mulut sering terbuka dengan lengkung langit-langit yang tinggi, sehingga akan
menyebabkan gangguan pertumbuhan gigi-geligi (facies adenoid).
2. Faring
Dinding posterior faring tampak granuler dan edema (cobblestone
appearance), serta dinding lateral faring menebal. Lidah tampak seperti gambaran
peta (geographic tongue).
3. Pada pemeriksaan rinoskopi:
o Mukosa edema, basah, berwarna pucat atau kebiruan (livide), disertai adanya
sekret encer, tipis dan banyak. Jika kental dan purulen biasanya berhubungan
dengan sinusitis.
o Pada rhinitis alergi kronis atau penyakit granulomatous, dapat terlihat adanya
deviasi atau perforasi septum.
o Pada rongga hidung dapat ditemukan massa seperti polip dan tumor, atau dapat
juga ditemukan pembesaran konka inferior yang dapat berupa edema atau
hipertropik. Dengan dekongestan topikal, polip dan hipertrofi konkatidak akan
menyusut, sedangkan edema konka akan menyusut.
4. Pada kulit kemungkinan terdapat dermatitis atopi.
c) Pemeriksaan penunjang
-

In vitro
Hitung eosinofil dalam darah tepi dapat normal atau meningkat. Demikian
pula pemerikssan Ig E total (prist-paper radio immunosorbent test) seringkali
menunjukkan nilai normal, kecuali bila tanda alergi pada pasien lebih dari satu
macam penyakit, misalnya selain rinitis alergi juga menderita asma bronkial atau
urtikaria. Pemeriksaan ini berguna untuk prediksi kemungkinan alergi pada bayi
atau anak kecil dari suatu keluarga dengan derajat alergi yang tinggi. Lebih
bermakna adalah pemeriksaan Ig E spesifik dengan RAST (Radio Immuno Sorbent
Test) atau ELISA (Enzyme Linked Immuno Sorbent Test). Pemeriksaan sitiologi
hidung, walaupun tidak dapat memastikan diagnosis, tetap berguna sebagai
pemeriksaan

pelengkap.

Ditemukannya

eosinofil

dalam

jumlah

banyak

menunjukkan kemungkinan alergi inhalan. Jika basofil (> 5 sel/lap) mungkin


7

disebabkan alergi makanan , sedangkan jika ditemukan sel PMN menunjukkan


adanya infeksi bakteri.
-

In vivo
Alergen penyebab dapat dicari dengan cara pemeriksaan tes cukit kulit, uji
intrakutan atau intradermal yang tunggal atau berseri (Skin End-Point Titration /
SET). SET dilakukan untuk alergen inhalan denagn menyuntikkan alergen dalam
berbagai konsentrasi yang setingkat kepekatannya. Keuntungan SET, selain alergen
penyebab juga derajat alergi serta dosis inisial untuk desensititasi dapat diketahui.
Untuk alergi makanan, uji kulit yang akhir-akhir ini banyak dilakukan adalah
Intracutaneus Provocative Dilutional Food Test (IPDFT), namun sebagai baku
emas dapat dilakukan dengan diet eliminasi dan provokasi (Chalenge Test).
Alergen ingestan secara tuntas lenyap dari tubuh dalam waktu lima hari.
Karena itu pada Chalenge Test, makanan yang dicurigai diberikan pada pasien
setelah berpantang selama 5 hari, selanjutnya diamati reaksinya. Pada diet
eliminasi, jenis makanan setiap kali dihilangkan dari menu makanan sampai suatu
ketika gejala menghilang dengan meniadakan suatu jenis makanan.

g. Penatalaksanaan
a) Terapi yang paling ideal adalah dengan menghindari kontak dengan alergen
penyebabnya (avodance) dan eliminasi.
b) Medikamentosa
Antihistamin yang dipakaiu adalah antagonis histamin H-1, yang bekerja secara
inhibitor kompetitif pada reseptor H-1 sel target, dan merupakan preparat
farmakologik yang paling sering dipakai sebagai lini perttama pengobatan rinitis
alergi.pemberian dapat dalam kombinasi atau tanpa kombinasi dengan dekongestan
secara peroral.
Antihistamin yang dibagi dalam 2 golongan yaitu golongan antihistamin
generasi-1 (klasik) dan generasi-2 (non-sedatif). Antihistamin generasi-1 bersifat
lipofilik, sehingga dapat menembus sawar darah otak (mempunyai efek pada SSP) dan
plasenta serta mempunyai efek kolinergik. Yang termasuk kelompok ini antara lain
adalah difenhidramin, klorfeniramin, prometasin, siproheptadin sedangkan yang dapat
diberikan secara topikal adalah azelastin. Antihistamin generasi-2 bersifat lipofobik,
sehingga sulit menembus sawar darah otak. Bersifat selektif mengikat reseptor H-1
8

perifer dan tidak mempunyai efek antikolinergik, antiadrenergik dan efek pada SSP
minimal (non-sedatif). Antihistamin diabsorbsi secara oral dengan cepat dan mudah
serta efektif untuk mengatasi gejalan pada respons fase cepat seperti rinore, bersin,
gatal, tetapi tidak efektif untuk mengatasi obstruksi hidung pada fase lambat.
Antihistamin non sedatif dapat dibagi menjadi 2 golongan menurut keamanannya.
Kelompok pertama adalah astemisol dan terfenadin yang mempunyai efek
kardiotoksik. Toksisitas terhadap jantung tersebut disebabkan repolarisasi jantung yang
tertunda dan dapat menyebabkan aritmia venntrikel, henti jantung dan bahkan
kematian mendadak (sudah ditarik dari peredaran). Kelompok kedua adalah loratadin,
setirisin, fexofenadin, desloratadin dan levosetirisin.
Preparat simpatomimetik golongan agonis adrenergik alfa dipakai sebagai
dekongestan hidung oral dengan atau tanpa kombinasi dengan antihistamin atau
topikal. Namun pemakaian secara topikal hanya boleh untuk beberapa hari saja untuk
menghindari terjadinya rinitis medikamentosa.
Preparat kortikosteroid dipilih bila gejala terutama sumbatan hidung akibat
respons fase lambat tidak berhasil diatasi dengan obat lain. Yang sering dipakai adalah
kortikosteroid topikal (beklometason, budesonid, flunisolid, flutikason, mometason
furoat dan triamsinolon). Kortikosteroid topikal bekerja untuk mengurangi jumlah sel
mastosit pada mukosa hidung, mencegah pengeluaran protein sitotoksik dari eosinofil,
mengurangi aktivitas limfosit, mrncegah bocornya plasma. Hal ini menyebabkan epitel
hidung tidak hiperresponsif terhadap rangsangan alergen (bekerja pada respon fase
cepat dan fase lambat). Preparat sodium kromoglikat topikal bekerja menstabilkan
mastosit (mungkin menghambat ion kalsium) sehingga pelepasan mediatordihambat.
Pada respons fase lambat, obat ini juga menghambat proses inflamasi dengan
menghambat aktivitas sel netrofil, eosinofil dan monosit. Hasil terbaik dapat dicapai
bila diberikan sebagai profilaksis.
Preparat antikolinergik topikal adalah ipratropium bromida, bermanfaat untuk
mengatasi rinore, karena aktivitas inhibisi reseptor kolinergik pada permukaan sel
efektor. Pengobatan baru lainnya untuk rinitis alergi adalah anti leukotrien
(zafirlukast / montelukast), anti Ig E, DNA rekombinan.

c) Operatif
Tindakan konkotomi parsial (pemotongan sebagian konka inferior), konkoplasti
atau multiple outfactured, inferior turbinoplasty perlu dipikirkan bila konka inferior
hipertrofi berat dan tidak berhasil dikecilkan dengan cara kauterisasi memakai AgNO3
25% atau triklor asetat.
d) Imunoterapi
Cara pengobatan ini dilakukan pada alergi inhalan dengan yang berat dan sudah
berlangsung lama serta dengan pengobatan cara lain tidak memberikan hasil yang
memuaskan. Tujuan dari imunoterapi adalah pembentukan Ig G blocking antibody dan
penurunan Ig E. Ada 2 metode imunoterapi yang umum dilakukan yaitu intradermal
dan sub-lingual.
h. Komplikasi
Komplikasi rinitis alergi yang sering ialah :
1. Polip hidung

10

Beberapa peneliti mendapatkan, bahwa alergi hidung merupakan salah satu


faktor penyebab terbentuknya polip hidung dan kekambuhan polip hidung.
2. Otitis media efusi yang sering residif, terutama pada anak-anak
3. Sinusitis paranasal

11

DAFTAR PUSTAKA
1. Soetjipto D, Mangunkusumo E, Wardani RS. Hidung. In : Soepardi AE, Iskandar N,
editors. Buku Ajar Telinga, Hidung, Tenggorokan, Kepala & Leher. Ed 7. Jakarta Balai
Penerbit FKUI;2014.p.96-100,122-30.
2. Higler PH. Hidung : Anatomi dan Fisiologi Terapan. In : Adam GL, Boies LR, Higler
PH, editors. Buku Ajar Penyakit THT. ED 6. Jakrta:EGC;2014.p173-88, 190-8,240-59.
3. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter Di
Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer. Edisi II. Jakarta: Kementrian Kesehatan
Republik Indonesia. 2014
4. Harsono, Ariyanto. Perkembangan Imunoterapi Dalam Pengobatan Penyakit Alergi.
Surabaya: Divisi Alergi Imunologi, Bagian Ilmu Kesehatan Anak RSUD dr. Soetomo
FK UNAIR/RSU dr. Soetomo.
5. Alexander N Greiner, et.al. Allergic Rhinitis. Asthma and Allergy Centre, San Diego,
CA, USA. 2011
6. WHO. ARIA. 2008

12

Anda mungkin juga menyukai