Anda di halaman 1dari 23

PATOFISIOLOGI HIPOKSIA INTRAUTERIN:

Aplikasi dan Interpretasi dalam berbagai Alat Diagnostik

Joserizal Serudji

SMF/Bag Kebidanan dan Kandungan


RS M.Djamil/FK Unand Padang

Disampaikan pada PIT POGI 18 Padang di Jakarta, 79 Juli 2010

ABSTRAK
Morbiditas perinatal akibat hipoksia intrauterin tidak berobah secara
signifikans, meskipun ada perbaikan dalam manajemen persalinan.
Keterpaparan janin terhadap kondisi hipoksia intrra uterin, meskipun dalam
periode yang singkat, akan mengurangi respon vasokonstriksi untuk
redistribusi aliran darah bila janin mengalami hipoksia lagi untuk waktu-waktu
berikutnya, sehingga pada akhirnya bayi akan lahir dalam keadaan asfiksia.
Keadaan ini mungkin sebagai salah satu penyebab mengapa insiden
morbiditas perinatal akibat hipoksia tidak berkurang. Oleh sebab itu dalam
upaya menekian morbiditas perinatal, hipoksia harus dikenal sedini mungkin
dan dicegah agar eksposurnya tidak berulang. Agar upaya ini berhasil maka
setiap provider di bidang obstetri haruslah memahami patofisiologi hipoksia
intra uterin dan mampu mengenalinya sedini mungkin, -dengan sarana
apapun yang dimiliki, -sehingga tindakan yang benar dan tepat dapat
dilakukan.
Perubahan denyut jantung dan tekanan darah (vasokonstriksi dan redistribusi
aliran darah) serta pembatasan pemakaian energi (pembatasan gerak),
adalah mekanisme kompensasi dan adaptasi janin terhadap suplai oksigen
yang tidak cukup. Penilaian terhadap fungsi kardiovaskuler dan profil biofisik
melalui berbagai alat diagnostik, -dari yang sederhana (menghitung grerak
anak, auskultasi denyut jantung janin, metode Whitfield) sampai yang canggih
(CTG, USG sederhana dan Doppler), -dapat memberikan informasi tentang
kondisi ketidakcukupan suplai oksigen dan tingkatannya (hipoksemia,
hipoksia, atau asidosis) . Interpretasi hasil temuan yang diperoleh dari alat
diagnostik yang feasible dapat membantu dalam menentukan tindakan yang
tepat dan benar.
Kata kunci: Suplai oksigen, kompensasi dan adaptasi, penilaian dan
interpretasi.

PENDAHULUAN
Hipoksia merupakan salah satu penyebab tersering morbiditas dan mortalitas
perinatal. Di Negara sedang berkembang, hipoksia masih merupakan
penyebab utama mortalitas perinatal. Insiden morbiditas perinatal akibat
hipoksia intrauterin maupun asfiksia tidak

berobah secara signifikans,

meskipun ada perbaikan dalam manajemen persalinan. Morbiditas perinatal


merefleksikan adanya kondisi antenatal yang berbahaya (compromise) dan
diikuti gangguan kapasitas janin dalam meresponi episode tantangan
(challenge) selama proses persalinan (Gardner, et all, 2002). Gardner, et al.
menemukan bahwa keterpaparan janin dalam masa kehamilan akhir
terhadap kondisi intrauterin yang tidak diharapkan (adverse), -meskipun
dalam periode yang relatif singkat, -akan mengurangi (almost abolished)
respon vasokonstriktor janin pada episode-episode hipoksia akut selanjutnya
Temuan ini memiliki implikasi yang penting, karena janin yang kurang mampu
meredistribusi aliran darah (head/brain sparing effect) dalam meresponi
kondisi hipoksia berikutnya, memiliki peluang lebih besar mengalami
komplikasi intrapartum.
Apa yang dikemukakan oleh Gardner, et al. seperti di atas mungkin dapat
menerangkan mengapa morbiditas perinatal akibat hipoksia atau aspiksia
tidak banyak dipengaruhi oleh perbaikan yang nyata dalam praktek obstetri
dan manajemen persalinan saat ini. Oleh sebab itu dalam upaya menekan
morbiditas perinatal, hipoksia intrauterin harus dikenal sedini mungkin dan
dicegah agar eksposurnya tidak berulang. Agar upaya ini berhasil maka
setiap provider di bidang obstetri haruslah memahami patofisiologi hipoksia
intrauterin dan mampu mengenalinya sedini mungkin, -dengan sarana
apapun yang dimiliki, -sehingga tindakan yang benar dan tepat dapat
dilakukan. Dalam konteks yang demikian, tulisan ini disusun, dengan harapan
dapat memberi penyegaran dalam memiliki pemahaman dan kompetensi
yang aplikatif dalam berbagai sarana diagnostik apapun yang dimiliki, -dari
yang sederhana sampai yang canggih, -khususnya sarana diagnostik yang
tidak bersifat invasif.
PENGERTIAN

Ada beberapa istilah yang sering dikemukakan terkait dengan berkurang/


tidak cukupnya supalai osigen ke janin, yaitu hipoksemia, hipoksia, dan
asfiksia. Istilah-istilah tersebut merupakan istilah yang dipakai dalam
membicarakan keseimbangan asam basa. Fahey, and King, (2005)
menjelaskan beberapa istilah yang terkait dengan keseimbangan asam basa
seperti berikut:

Hipoksemia: berkurangnya kandungan oksigen dalam darah.

Hipoksia: berkurangnya kadar oksigen dalam jaringan.

Hiperkapnia: meningkatnya konsentrasi CO2 atau asam

karbonat

dalam jaringan.

Asidemia: Meningkatnya konsentrasi ion Hidrogen dalam darah.

Asfiksia: Hipoksemia dan hiperkapnia yang progresif diserta asidemia


metabolik atau asidemia metabolik dan asidemia respiratorik.

Dalam klinik tak jarang dipakai istilah gawat janin menggantikan istilah-istilah
di atas. Kadang-kadang ketidakadekuatan suplai oksigen selama kehamilan
disebut dengan hipoksia (Wkipedia).
FISIOLOGI DAN PATOFISIOLOGI
Oksigen yang diperoleh janin dari ibu melalui plasenta akan diikat oleh sel
darah

merah

(eritrosit)

janin,

untuk

selanjutnya

ditransportasi

dan

didistribusikan melalui sistim kardiovaskuller ke seluruh tubuh (sel), untuk


dimanfaatkan dalam proses metabolisme. Dengan adanya oksigen dan zatzat lain seperti glukosa, berbagai ion, asam amino dan bahan-bahan lemak
serta unsur pokok lainnya dalam jumlah yang cukup, sel-sel akan mampu
untuk hidup, tumbuh, dan melakukan fungsi-fungsi khususnya. Kondisi
seperti ini dapat berlangsung dengan baik selama homeostasis dapat
dipertahankan; dan dalam hal ini sistim kardiovaskuler dan sistim pengaturan
keseimbangan asam basa sangat berperan.

Sistim kardiovaskuler
Denyut jantung janin
Denyut jantung janin (djj) berfluktuasi pada batas-batas tertentu.Pada
keadaan tertentu seperti kekurangan volume sirkulasi, kekurangan oksigen,
gangguan keseimbangan asam basa, djj juga mengalami perubahan. Hal ini
dimungkinkan karena djj dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor-faktor
terebut adalah (Joerizal Serudji, 2002):
1. Sistim syaraf otonom. Rangsangan pada syaraf simpatis akan
meningkatkan frekuensi djj, menambah kekuatan kontraksi dan
meningkatkan kardiak output. Inhibisi syaraf simpatis menyebabkan
penurunan frekuensi djj, Rangsangan pada syaraf parasimpatis akan
menurunkan frekuensi djj, dan inhibisinya akan meningkatkan djj.
2. Baroreseptor. Rangsangan pada baroreseptor akibat peningkatan
tekanan darah akan menyebabkan penurunan frekuensi djj, yang
berakibat kardiak output menjadi berkurang.
3. Kemoreseptor. Bila kadar O2 berkurang atau CO2 meningkat, timbul
rangsangan pada kemoreseptor, yang akan meningkatkan frekuensi djj
dan kenaikan tekanan darah. Hipoksia merangsang kemoreseptor,
yang berakibat penurunan djj.
4. Susunan syaraf pusat. Aktivitas otak akan merangsang pusat regulasi
jantung yang berakibat peningkatan djj dan variabilitas.
5. Sistim hormonal. Pada keadaan stress, seperti pada hipoksia, medula
adrenal

akan

mengeluarkan

epinefrin

dan

norepinefrin,

yang

menyebabkan takikardi, peningkatan kekuatan kontraksi jantung, dan


kenaikan tekanan darah.
Frekuensi djj dasar dan variabilitas adalah merupakan hasil interaksi antara
sistim syaraf simpatis dan sistim syaraf parasimpatis (Whittle & Martin, 2002).
Fungsi batang otak, yang memiliki sebagian tanggungjawab terhadap
aktivitas sistim syaraf otonom, juga dipengaruhi oleh pusat yang lebih tinggi,
5

sehingga depresi serebrum seperti karena opiat maupun kondisi hipoksia


menyebabkan penurunan variabilitas djj. Frekuensi djj dasar menurun secara
gradual selama kehamilan, mungkin disebabkan penguatan pengaruh sistin
syaraf parasimpatik seiring bertambahnya usia keamilan; tapi selama
persalinan hanya terdapat sedikit perubahan dalam djj dasar. Selama
persalinan, terjadi peningkatan produksi kortikosteroid dan katekolamin janin,
khususnya

bila

terjadi

hipoksia.

Peningkatan

produksi

katekolamin

menyebabkan takikardia janin; oleh sebab itu meningkatnya djj dasar selama
persalinan dapat merupakan gambaran dini terjadinya hipoksia (Whittle &
Martin, 2002).
Oksigenasi janin
Oksigenasi pada janin dipengaruhi oleh beberapa faktor:
1. Aliran darah arteri uterina. Aliran darah melalui pembuluh-pembuluh
darah intrmural akan berkurang atau terhenti sama sekali selama
kontraksi uterus. Pada saat relaksasi akan terjadi kondisi hiperemia
reaktif; dan selagi kontraksi uterus tidak berlebihan (tidak melebihi tiga
kali dalam sepuluh menit), keadaan hiperemia realatif ini

mampu

memulihkan keadaan hipoksemia yang terjadi saat kontraksi, sehingga


oksigenasi janin dapat dipelihara. Bila kontraksi terlalu sering,
berkurangnya waktu pemulihan antar kontraksi akan menimbulkan
kondisi hipoksia pada janin.
2. Transfer gas melalui plasenta. Dalam kondisi normal terdapat
perbedaan tekanan (pressure gradient) oksigen yang besar antara sisi
maternal (pO2: 100-120 mmHg) dengan sisi fetal (pO2: 20-30 mmHg).
Pada persalinan normal, janin mengkonsumsi 5 ml O2/kg/menit,
sedangkan plasenta dua kali yang demikian; sehingga terjadi sedikit
perubahan kebutuhan sepanjang proses persalinan. Janin memiliki
kemampuan untuk beradaptasi terhadap

perubahan tekanan O2

lingkungan yang rendah, karena afiditas hemoglobin fetus (HbF) yang


cukup tinggi terhadap oksigen.
3. Sirkulasi darah janin. Darah yang datang dari plasenta melalui vena
umbilikalis hampir seluruhnya memasuki duktus venosus, dari atrium
kanan melewati foramen ovale untuk masuk ke atrium kiri, untuk
kemudian dipompakan oleh ventrikel kiri ke arkus aorta dan pembuluhpembuluh leher dan kepala. Arkus aorta dan badan karotid (carotid
bodies) yang memiliki kemoreseptor, sensitif terhadap perubahan
kadar oksigen dalam darah yang berasal dari plasenta, dan janin
memberikan respons kadiovaskuler terhadap kondidi yang demikian.
4. Kardiak output janin. Kardiak output janin lebih kurang 230
ml/kg/menit. Menurut Wladomiroff & Moghie, 70 % persen akan
mamasuki aorta desendens, 50 % memasuki arteri umbilikalis dan 10
% ke paru ( Whittle & Martin, 2002). Sirkulasi plasenta merupakan
sistim sirkulasi yang rendah-tekanan dan tinggi kapasitas, di mana
aliran darahnya bersifat pressure dependent. Sistim ini hanya
rensponsif terhadap faktor humoral, karena pembuluh darah umbilikal
tidak memiliki persyarafan. Sirkulasi perifer janin akan berespon
dengan

cepat

terhadap

stress

hipoksia

melalui

mekanisme

vasokonstriksi perifer, yang akan membantu meredistribusi darah ke


area vital seperti otak dan jantung. Peningkatan tahanan perifer juga
membantu dalam memelihara aliran darah umbilikal. Namun demikian,
vasokonstriksi yang lama menyebabkan iskemia pada paru, usus, dan
ginjal, yang dapat menimbulkan efek yang tidak diinginkan begitu janin
dilahirkan,

terutama

pada

bayi

syndrome, necrotising enteritis, dan

prematur

(respiratory

distress

renal insufficiency) yang pada

akhirnya terjadi metabolisme anaerob dan timbulnya asidosis.


Fisiologi asam-basa

Secara umum, keseimbangan asam-basa sebagian diatur oleh sistem bufer


intra dan ekstra seluler, dan sebagian lagi oleh mekanisme kompensasi ginjal
dan pernafasan. Bufer ekstraseluler memberikan respons segera terhadap
perubahan pH, di mana sistim asam bikarbonat-karbonat sangat berperan.
Respons intra seluler bekerja lebih lambat, menggunakan hemoglobin dan
protein intraseluler untuk membuang ion hidrogen. Untuk memlihara pH,
volatile and fixed acids harus dibuang. Asam karbonat merupakan volatile
acid yang paling penting dan dieksresikan melalui paru dalam bentuk CO2.
Fixed acids antara lain adalah asam laktat, ketoasid, asam posporik dan
sulfurik, dan bahan-bahan ini harus di-bufer dengan bikarbonat dari cairan
ekstraseluler.
Pada janin, plasenta merupakan organ transfer. Selagi unit uteroplasental
dalam keadaan sehat, difusi CO2 yang cepat mengembalikan pH ke nilai
normal bila terjadi asidosis. Bufer intraseluler dan ekstraseluler juga
dimanfatkan, tapi mekanisme kompensasi renal masih immmatur dan relatif
tidak efektif. Secara praktis, fungsi renal diambil alih oleh plasenta.
1. Asidosis metabolik. Ditandai dengan pH yang rendah, CO2 yang
rendah, HCO3 yang rendah, dan defisit basa yang sangat rendah.
Begitu janin mengalami hipoksemia, respirasi aerobik tidak bisa
berlangsung dan yang terjadi adalah respirasi anaerobik. Akibatnya
adalah dihasilkannya asam laktat. Asam laktat yang tidak mampu dibuffer-i pada akhirnya akan menyebabkan penurunan pH dan HCO3.
Bila oksigenasi pulih, proses ini akan berbalik arah dan asam laktat
akan dieksresikan melalui plasenta ke darah ibu, dan dalam proses
yang sangat lambat melaui ginjal. Sepanjang oksigenasi mencukupi,
laktat juga bisa dipakai oleh janin sebagai substrat untuk produksi
enerji.
2. Asidosis respiratorik. Ditandai dengan pH yang rendah, pCO2 yang
tinggi, meningkatnya HCO3, dan dan penurunan defisit basa yang
8

sedang. Keadaan ini dapat terlihat setelah beberapa episode kompresi


tali pusat, yang menyebabkan peningkatan pCO2 dan penurunan pH.
Akibatnya adalah meningkatnya gerakan pernafsan (yang tidak punya
efek terhadap pH) dan meningkatnya retensi bikarbonat oleh ginjal
janin (yang hanya punya efek yang terbatas dalam mengembalikan pH
ke keadaan normal). Secara

umum janin akan mengalami sedikit

asidosis rspiratorik saat dilahirkan.


Kompensasi dan adaptasi
Berkurangnya

kandungan

oksigen

dalam

darah

(hipoksemia)

akan

merangsang syaraf simpatis, sehingga akan meniimbulkan takikardi (Guyton


& Hall, 2006). Bila kondisi hipoksemia tidak teratasi dan berlanjut jadi
hipoksia, akan menyebabkan perubahan aktivitas biofisk. Belum diketahui
secara pasti bagaimana mekanisme hipoksia janin menyebabkan perubahan
aktivitas biofisik, tapi diduga disebabkan disfungsi seluler sistim syaraf pusat
yang dipicu hipoksemia (hypoxemia-induced central nervous system cellular
disfunction) (Manning, 1992). Kemoreseptor pada aortic body meresponi
kondisi hipoksemia ateri dengan mekanisme adaptasi. Mekanisme adaptasi
ini ada 4, yaitu 1} berkurangnya denyut jantung, 2) berkurangnya konsumsi
oksigen, sekunder terhadap berhentinya fungsi yang tidak penting, 3)
redistribusi kardiak output ke organ-organ penting, seperti otak, jantung,
kelenjar adrenal, dan 4) metabolisme seluler anerobik. Sejauh mana
mekanisme tersebut efektif, ditentukan oleh kesehatan janin dan plasenta
sebelumnya, dan frekuensi, lama, dan intensitas even hioksemik (Fahey &
King, 2005). Gardner, et al. (2002), menemukan bahwa keterpaparan janin
dalam masa kehamilan akhir terhadap kondisi intrauterin yang tidak
diharapkan (adverse)/hipoksia, -meskipun dalam periode yang relatif singkat,
-akan mengurangi respon vasokonstriktor/redistribusi janin pada episodeepisode hipoksia akut selanjutnya. Setiap even hipoksia akan merangsang
respon kompensasi janin dalam bentuk percepatan eritropoisis, yang
9

menyebabkan influk sel darah merah immatur ke dalam sirkulasi janin, di


mana tingkatannya berkorelasi dengan terjadinya asfiksia perinatal (Ghost,
Mittal, Kumar, and Dadhwal, 2003).
Menurut Manning (1992), respon biofisik terhadap kondisi hipoksia terbagi
menjadi 2 kategori yaitu pertama respons akut/intermediat (yakni perubahan
atau hilangnya aktivitas yang diregulasi oleh sistim syaraf pusat/SSP), dan
kedua

respons

oligohidramnion,
komplikasi

kronik

(yakni

gangguan

neonatal).

berkurangnya

pertumbuhan,

Secara

skematis,

dan

produksi

air

ketuban/

meningkatnya

mekanisme

tersebut

risiko
dapat

digambarkan oleh Manning seperti berikut:

Herrington et al (2002) melukiskan rangkaian perubahan yang terjadi pada


hipoksia seperti pada halaman berikut:

10

APLIKASI DALAM ALAT DIAGNOSTIK


Alat diagnostik yang akan dikemukakan di sini adalah alat diagnostik yang
tidak bersifat invasif.
1. Gerak Janin
Gerak janin dapat memberikan informasi mengenai kesejahteraan janin.
Janin yang sehat adalah janin yang aktif. Janin yang geraknya kurang,
mungkin sedang mengalami masalah Gerak janin dapat dihitung oleh
pasien sendiri atau oleh pemeriksa. Penghitungan gerak janin oleh
pasien, meskipun akurasinya dalam menilai kesejahteraan janin/terjadinya
hipoksia tidak dapat dijadikan pegangan secara penuh, namun setidaknya
dapat dijadikan sebagai penapisan awal oleh pasien.
Salah satu pedoman dalam menghitung gerak janin adalah seperti berikut
(file:///I:/Fetal%20movement%20counts-):
Dianjurkan dilakukan sekali sehari semenjak kehamilan berusia 27
minggu (7 bulan kehamilan). Caranya adalah:

11

Pilih waktu dalam satu hari di mana gerak janin paling aktif, dan mulai
menghitung gerak janin lebih kurang pada saat yang sama untuk tiap
hari.

Berbaring ke satu sisi atau duduk di atas kursi yang nyaman. Jangan
menonton TV atau melakukan percakapan, pusatkan perhatian
terhadap gerak janin.

Catat waktu mulai pertama kali gerak janin dirasakan, kemudian hitung
gerak janin sampai 10 kali, dan catat berapa lama waktu yang
dibutuhkan.

Bila:

Janin tidak bergerak sebanyak 10 kali dalam 2 jam, atau

Tidak dirasakan gerak janin sepanjang hari (12 jam), atau

Dirasakan perubahan gerak janin yang sangat bermakna,

berkemungkinan

janin

mengalami

masalah,

dan

harus

segera

diperiksakan ke sarana pelayanan obstetri untuk dievaluasi lebih lanjut.


Cara lain menilai gerakan janin adalah menghitung gerakan janin selama
12 jam (Cardiff Count-to-Ten). Gerakan yang kurang dari 10 kali
merupakan signal bahwa kemungkinan janin mengalami gangguan, dan
untuk itu pemeriksaan lebih lanjut dengan tes tanpa tekaan dan USG
perlu dilakukan (Mangesi & Hofmeyr, 2003; Sing & Sidhu, 2008).
2. Auskultasi
Ada 2 cara auskultasi djj, yaitu auskultasi biasa pada punktum maksimum
dan auskultasi menurut metode Whitfield (Pernoll, 1982). Dengan cara
biasa, yang menggunakan stetoskop janin (fetoskop) atau hand-handled
Dopplert, dapat dihitung djj, baik dengan mengalikan hasil hitungan dalam
15 detik dengan empat, atau dihitung satu menit penuh. Hasilnya
menggambarkan frekuensi djj. Dianggap normal bila berada antara 120

12

160 kali permenit, disebut takikardi bila lebih dari 160 kali permenit, dan
bradikardi bila kurang dari 120 kali permenit.
Pemantauan djj menurut metode Whitfield menggambarkan pengaruh
kontraksi terhadap denyut jantung janin. Djj dipantau selama dan sehabis
kontraksi uterus. Seperti dikutip oleh Pernoll (1982), pemeriksaan djj
menurut metode Whitfield adalah seperti berikut:

Hitung djj setiap periode 5-detik secara berkelanjutan.

Hitungan periode 5-detik paling rendah dikali 12 menggambarkan


rata-rata kedalaman bradikardi dalam satuan denjut permenit.

Jumlah

periode

5-detik

semenjak

akhir

kontraksi

samapi

didapatkan hitungan pertama yang lebih dari 10, -yakni denyutan


yang

lebih

dari

`120

kali

permenit,

secara

sederhana

menggambarkan perlambatan pemulihan pola insufisiensi plasenta


atau lamanya episode deselerasi lambat.

Setiap aritmia beat-to-beat harus dicatat.

Lama observasi dapat dipersingkat bila ditemukan bradikardi atau


iregularitas.

Prinsip pemeriksaan menurut metode Whitfield adalah sama dengan


prinsip pemeriksaan Kardiotokografi. Putri Sri Llasmini (2000) melakukan
penelitian tentang kesesuaian antara metode Whitfield dan kardiotokografi
dalam menilai deselerasi lambat dan deselerasi variabel. Didapatkan
kesesuaian yang baik dalam menentukan adanya deselerasi lambat
antara metode Whitfield dan KTG dengan nilai Kappa = 0,8. Hasil ini
menunjukkan bahwa dengan memakai metode Whitfield dapat menduga
adanya deselerasi lambat. Sedangkan dalam menentukan adanya
deselerasi variabel, didapatkan kesesuaian yang ideal, dengan nilai
Kappa = 1. Hasil menunjukkan bahwa pemeriksaan dengan metode
Whitfield dapat menduga adanya deselerasi variabel.

13

Penghitungan djj dengan metode Whitfield dapat juga digunakan untuk


menilai adanya akselerasi. Hitungan periode-5 detik tertinggi dikali 12
menunjukkan tingginya akselerasi. Terjadinya akselerasi setelah janin
dikejuti dengan cara manipulasi kepala/badan janin menunjukkan janin
masih dalam keadaan baik.
3. Kardiotokografi
KTG dapat memberikan informasi tentang pola djj dihubungkan dengan
adanya kontraksi uterus (tes dengan tekanan =TDT), dan pola djj
dihubungkan dengan adanya gerak janin (tes tanpa tekanan = TTT). Ada
empat hal mengenai djj yang dinilai pada KTG, yaitu frekuensi dasar djj
(baseline fetal heart rate), variabilitas djj, akselerasi, dan deselerasi (dini,
lambat, dan variabel).

Frekuensi dasar djj. Dalam keadaan normal, frekuensi dasar djj


berkisar antara 120-160 denyut permenit (dpm). Di atas 160 dpm
disebut takikardi dan di bawah 120 dpm disebut bradikardi.
Takikardi menggambarkan kompensasi janinn terhadap kondisi
hipoksemia, sedangkan bradikardi menggambarkan kompensasi
terhadap kondisi hipoksia atau
terjadi depresi sistim syaraf

menggambarkan bahwa telah

dan/atau depresi miokar, sehingga

gagal memelihara djj pada batas yang normal.

Variabilitas djj adalah gambaran osilasi ireguler yang terlihat pada


frekuensi djj. Diduga terjadi akibat tarik menarik antara sistim
simpatis (kardioakselerator) dan parasimpatis (kardiodeselerator).
Variabilitas yang normal menunjukkann bahwa sistim persyarafan
mulai dari korteks serebri, batang otak, nervus vagus, dan sistim
konduksi jantung janin berada dalam keadaan baik. Variabilitas
akan berkurang/hilang pada asfiksia intrauterin, dan hal ini
merupakan tanda bahaya.

14

Akselerasi adalah peningkatan djj 15 dpm atau lebih di atas


frekuensi dasar, yang berlangsung selama 15 detik atau lebih.
Diduga terjadi karena aktivitas simpatis jauh melebihi aktivitas
parasimpatis. Akselerasi merupakan hallmark bahwa janin dalam
keadaan sehat (Gibb & Arulkumaran, 1992). Akselelrasi sporadik
yang terjadi pada pergerakan janin diduga terjadi karena sel-sel
syaraf yang berhubungan dengan fungsi motorik terletak dekat
sekali dengan sel syaraf yang mengatur fungsi kardiovaskuler
(Sadovsky, et al, 1984).

Deselerasi dini. Terjadi karena kompresi kepala, menyebabkan


peninggian tekanan intrakranial yang akan merangsang vagal.
Muncul dan hilang bersamaan dengan timbul dan hilangnya
kontraksi uterus, dan tidak ada hubungannya dengan hipoksia
sehingga tidak membutuhkan terapi.

Deselerasi lambat, terjadi pada insufisiensi plasenta. Pada saat


kontraksi uterus terjadi pengurangan suplai oksigen ke janin
(hipoksia), kemoreseptor dan baroreseptor terangsang diikuti oleh
rangsangan pada simpatis; dan diperberat oleh depresi miokar
akibat adanya asidemia.

Deselerasi variabel. Terjadi karena kompresi tali pusat. Komppresi


pada vena umbilikalis menyebabkan berkurangnya venous return,
terjadi hipovolemia, merangsang baroreseptor, dengan akibat
akselelrasi djj. Kompresi pada arteri umbilikalis menyebabkan
hipertensi, merangsang vagal, dengan akibat perlambatan djj.
Kompresi yang berulang menyebabkan hipoksemia dan depresi
miokar. Bila disertai insufisiensi plasenta, muncul gambaran late
variable deceleration.

15

Untuk menilai kondisi janin, hasil KTG harus diinterpretasikan dengan


mengacu pada keadaan klinis dan pemahaman mengenai kompensasi
dan adaptasi janin terhadap kondisi kekurangan suplai oksigen (hipoksia).
Tes Tanpa Tekanan
Tes ini adalah melihat fetal-activity acceleration determination (FAD), yakni
terjadinya akselerasi djj dengan adanya gerakan janin (reakttivitas).
Dasarnya adalah kontrol djj oleh sisitim syaraf otonom atas adanya
peningkatan kebutuhan oksigen, dan gerak janin yang tidak ada/
berkurang dihubungkan dengan penghematan pemakaian enerji/oksigen.
Pada tes ini dinilai frekuensi dasar djj, variabilitas, dan akselerasi djj akibat
adanya

gerakan

janin.

Interpretasi

hasil

pemeriksaan

dapat

dikategoorikan sebagai normal, memperlihatkan abnormalitas transien,


suspisius, dan abnormal (Owen, 2002).

Normal; bila frekuensi dasar djj dalam batas normal, variabilitas


normal, dan terdapat akselelrasi dan gerak janin, dan tidak
ditemukan deselerasi yang signifikans.

Memperlihatkan abnormalitas transien; misalnya variabilitas yang


berkurang secara transien (sepintas) dan kurangnya aktivitas
karena janin sedang tidur atau akibat obat-obatan yang diberikan
pada ibu.

Suspisius; bila ditemukan aktivitas janin dan reaktivitas yang


berkurang. Atau bila variabilitas berkurang tanpa danya akselerasi.
Atau adanya deselerasi ringan yang berulang disertai adanya
akselerasi. Hasil suspisius memerlukan pemeriksaan diulang.

Abnormal; bila ditemukan variabilitas yang sangat berkurang,


akselerasi tidak ada, dan adanya deselerasi. Hasil abnormal
membutuhkan intervensi.

16

Tes Dengan Tekanan


Stress test (tes dengan tekanan), disebut juga dengan contraction stress
test, karena yang menjadi tekanan/beban adalah kontraksi uterus.
Kontraksi dapat ditimbulkan dengan

pemberian oksitosin atau dengan

rangsangan papila mamae. Yang diamati adalah munculnya gambaran


deselerasi lambat akibat adanya kontrraksi uterus. Adanya deselerasi
lambat mengindikasikan bahwa telah terjadi hipoksia janin. Interpretasi
atas TDT adalah seperti berikut (Cunningham, et al, 2003):

Negatif; bila tidak ada deselerasi lambat atau deselerasi variabel


yang berat.

Positif; bila didapatkan deselerasi lambat yang mengikuti 50% atau


lebih kontraksi uterus.

Suspisius, bila didapatkan deselerasi lambat atau deselerasi


variabel yang berat secara intermiten.

Hiperstimulasi; bila didapatkan deselerasi yang terjadi akibat


kontraksi uterus yang lebih sering dari setiap 2 menit atau kontraksi
yang berlangsung lebih dari 90 detik.

Tidak memuaskan; bila kontraksi uterus kurang dari 3 kali dalam 10


menit atau bila gambaran tidak bisa diinterpretasikan.

Tes Stimulasi Akustik


Dasar tes ini adalah mengejuti janin (to startle the fetus), sehingga
memicu akselerasi denyut jantung (Cunningham, et al, 2003). Janin yang
tidak dalam keadaan hipoksia akan bereaksi akselerasi djj, demikian pula
sebaliknya. Asmawinta (2001) melakukan penelitian tentang hubungan
tes stimulasi vibroakustik dengan tes dengan kontraksi pada kehamilan
risiko tinggi. Didapatkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna (p<
0,05) antara tes stimulasi vibroakustik dan tes dengan kontraksi, di mana
terdapat kesesuaian antara kedua tes ini pada 38 kasus dari 40 kasus

17

yang diteliti. Dengan demikian dapat diyakini bahwa tes stimulasi


vibroakustik yang positif mengindikasikan janin tidak mengalami hipoksia
intrauterin.
4. Ultrasonografi
Prinsip pemeriksaan USG adalah pemantulan gelombang ultrasound oleh
suatu benda, kemudian pantulan ini ditangkap dan ditayangkan (display)
melalui layar, baik dalam bentuk B-Mode, M-Mode, B-Scan, A-Mode, atau
velosimetri Doppler (Ziskin, 1991). Pada A-mode (amplitudo modulation),
eko ditayangkan dalam bentuk defleksi vertikal, di mana tingginya defleksi
sebanding dengan amplitudo eko yang terdeteksi. Pada B-mode
(brightness modulation), eko ditampilkan dengan intensitas iluminasi. Bmode tidak dipakai tersendiri,tapi sering digabung dengan M-mode atau
B-scan. M-mode (motion) terdiri dari B-mode secara kontinyu, sehingga
gerakan dari struktur anatomi dapat ditampilkan. Pada B-scan, struktur
anatomi dapat divisualisasikan dalam bentuk potong lintang dua-dimensi.
Dengan demikian dapat diukur jarak dan luas suatu struktur anatomi.
Pada velosimetri Doppler, pantulan eko oleh sruktur yang bergerak
diampilkan

sebanding

dengan

velositi

struktur

yang

bergerak.

Berdasarkan sifat-sifat tayangan tersebut, beberapa hal dapat diperiksa


dengan USG sehubungan dengan kompensasi dan adaptasi janin
terhadap kodisi hipoksia.

B/M Mode. Dengan B/M mode dapat diperiksa gerak jantung janin
dan tayangannya dalam bentuk gelombang.Dengan mengukur
panjang gelombang gerakan jantung ini dapat dinilai frekuensi djj.
Interpretasinya sesuai dengan penjelasan terdahulu.

B-Scan. Dengan B-Scan dapat dinilai biometri janin, lingkaran


perut, dan indek cairan ketuban. Indeks cairan ketuban yang
rendah, memberikan informasi bahwa telah terjadi brain sparing

18

effect. Biometri dan lingkaran perut yang kecil dari standar


menunjukkan telah terjadinya gangguan pertumbuhan.

Velosimetri Doppler. Dengan velosimetri Doppler dapat dilihat aliran


darah pada pembuluh-pembuluh darah tertentu, baik dalam
keadaan sistole maupun dalam keadaan diastole. Dari angkaangka ini didapat berbagai indeks. Rangkaian perubahan aliran
darah terjadi sebagai respon terhadap hipoksemia Menurut
Harringtom, Hecher, and Campbell (2002), Perubahan perubahan
tersebut adalah seperti berikut . Respon pertama yang terlihat
dengan USG Doppler adalah dilatasi pembuluh serebral, di mana
hal ini akan meningkatkan aliran darah yang kaya oksigen ke otak.
Bila respons ini tidak mencukupi, resistensi pembuluh sistemik
(direpresentasikan oleh aorta) akan meningkat, yang pada akhirnya
frekuensi end-diastolic bisa menghilang. Perubahan yang demikian
akan diikuti abnormalitas aliran arteri umbilikalis, meskipun indek
pulsatilnya masih normal dengan terjadinya redistribusi arteri.
Abnormalitas Doppler pembuluh vena terjadi pada tahap lanjut.
Meningkatnya afterload, khususnya pada jantung kanan, akan
bermanifestasi perubahan aliran darah pada vena cava inferior,
duktus venosus, dan vena-vena hepatika. Pada tingkatan ini, janin
telah dalam kondisi sangat terancam, dan kolaps serebrovaskuler
akan terjadi dalam beberapa hari

Dalam menilai kesejahteraan janin, rasio sistole/diastole (S/D) arteri


umbilikalis merupakan indeks paling sering digunakan, di mana rasio S/D
yang lebih dari 95 persentil atau bila aliran diastolik terbalik (reversed)
atau tidak ada aliran (absent) dianggap abnormal (Cunningham, et al,
2003). Kecuali absent or reverse of end diastolic flow (AREDF), rasio
sistolic and diastolic flow memiliki interpretasi tertentu (Owen, 2002).

19

AREDF didapatkan pada kasus pertumbuhan terhambat yang ekstrim dan


janin dalam keadaan bahaya. Pemeriksaan velosimetri arteri umbilikalis
terutama

dalkukan

pada

dugaan

pertumbuhan

janin

terhambat

(Cunningham, et al, 2003), sehingga lebih menggambarkan brain/head


sparing effect. Dengan alasan ini, pemeriksaann S/D arteri serebri media
sering dilakukan disamping arteri umbilikalis, karena pada arteri serebri
media terjadi peningkatan aliran darah, sehingga rasio S/D-nya berbeda.
.Profil Biofisik
Profil Biofisik bukan merupakan alat diagnostik,tapi merupakan penilaian
yang diperoleh dari dua alat diagnostik, yaitu KTG dan USG. Dengan KTG
diperoleh hasil Tes Tanpa Tekanan, dan dari USG diperoleh gambaran
tentang jumlah air ketuban, gerak nafas janin, tonus janin, dan gerak
tubuh

janin.

kompensasi

Profil
dan

Bioprofil

adaptasi

sebetulnya
janin

aplikasi

terhadap

kondisi

dari

mekanisme

hipoksia,

baik

pengaturan djj oleh sistim syaraf (TTT), maupun brain sparing effect
(jumlah cairan ketuban) dan pengurangan kebutuhan (pembatasan
gerakan dan tonus).
Selengkapnya penilaian profil biofisik adalah seperti pada halaman berikut
(Manning, 1992):

20

KESIMPULAN
Janin memiliki mekanisme kompensasi dan adaptasi tertentu terhadap
kondisi kekurangan suplai oksigen.
Pemahaman yang baik tentang mekanisme kompensasi dan adaptasi janin,
dan pemahaman tentang prinsip kerja alat diagnostik, memungkinkan
provider memperoleh informasi yang banyak tentang kondisi janin.
Deteksi dini hipoksia intra uterin tidak selalu membutuhkan alat diagnostik
yang canggih, yang dibutuhkan adalah provider yang kapabel dengan alat
diagnostik apapun yang ada. Peran aktif pasien diperlukan untuk penapisan
awal.

21

KEPUSTAKAAN
Asmawinta. 2001. Hubungan Tes Stimulasi Vibroakustik dengan Tes
Dengan Kontraksi pada Kehamilan Risiko Tinggi. Tesis.
Padang:Bagian Obgin FK Universitas Andalas.
Cunningham, F.G., Gant, N.F., Leveno, K.J., et al. 2003. Williams Obstetrics.
21st ed. Pp. 1095-1110. New York: McRaw Hill.
Fahey, J. and King, T.L. 2005. Intrauterine Asphyxia: Clinicxal Implications for
Providers of Intrapartum Care. Journal of Midwifery & Womans
Health. Vol 50.No. 6. 2005.
Fetal Movement Counts. 2007. Iowa: University of Iowa Hospitals and Clinics.
(online). File:///I:/Fetal%movement%20count- Retrieved on June
18th, 2010.
Gardner, D.S, Fowden, A.L, and Giussani, D.A. 2002. Adverse Intrauterine
Conditions Diminish the Fetal Defense Against Acut Hypoxia by
Increasing Nitiric Oxide Activity. American Heart Association, Inc.
(online). Retrievevd on June 17th, 2010.
Ghost, B., Mittal, S., Kumar, S.,and Dadhwal, V. 2003. Prediction of perinatal
asphyxia with nucleated red blood cells in cord blood of newborns.
Int. J of Gynec. & Obstet., 2003 (81).
Gibb, D and Arulkumaran, S. 1992. Fetal Monitoring in Practice. London:
Butterwoth-Heinemann.
Guyton, A.C. and Hall, J.E. 2006. Textbook of Medical Physiology.
Philadelphia: Elseviers Sauders.
Harrington, K., Hecher, K., and Campbell, S. 2002. The fetal haemodynamic
response to hypoxia. In: Harrington, K and Campbell, S. 2002. A
Colour Atlas of Doppler Ultrasonography in Obstetrics. An
Introduction to its Use in Maternal Fetal Medicine. Pp. 81-94. New
Delhi: Jaypee Brothers.
Intrauterine hypoxia. Wikipedia. (online). Retrieved on June 17th, 2010.
Joserizal Serudji. 2002. Kardiotokografi. Majalah Kedokteran Andalas. 2002;
26.
Mangesi, L. and Hofmeyr, G.J. 2005. Fetal Movement Counting for
Assessment of Fetal Well-being. The Cohrain Collaboration.
Manning, F.A. Fetal Biophysical Profile Scoring: Application in High-risk
Obstetrics. In: Reece, E.A, Hobbins, J.C, Mahoney, M.J, and

22

Petrie, R.H. 1992. Medicine of the Fetus and Mother. Pp. 724-738.
Philadelphia: J.B. Lippincott Company.
Neerhof, M.G., and Thaete, L.G. 2008. The Fetal Response to Chronic
Placental Insufficiency. Semin. Perinatol. 2008 (32).
Owen, P. 2002. Fetal Assessment in the third Trimester: fetal growth and
biphysical methods. In: Chamberlein, G and Steer, P.J. 2002.
Turnbulls Obstetrics. 3rd ed. Pp. 129-154. London: Churchill
Livingstone.
Pernoll, M.L. 1982. High Risk Pregnancy. In: Benson, R.C (ed).1982.
Current Obstetrics & Gynecology Diagnosis & Treatment. Pp. 590615. Lange Medical Publiccation.
Putri Sri Lasmini. 2000. Kesesuaian antara Metrode Whitfield dengan
Kardiotokografi dalam Menentukan Deselerasi lambat dan
Deselerasi Variabel. Tesis. Padang: Bagian Obgin FK Universitas
Andalas.
Reid, D.L. Fetal Cardiovascular Physiology under Normal and Stress
Conditions. In: Reece, E.A, Hobbins, J.C, Mahoney, M.J, and
Petrie, R.H. 1992. Medicine of the Fetus and Mother. Pp. 125-142.
Philadelphia: J.B. Lippincott Company.
Sadovsky, E., Robinowitz, R., Freema, A, and Yarkoni, S. The relationship
between fetal heart rate acceleration, fetal movement, and uterin
contraction. Am. J. Obstet. Gynecol, 1984, 187-189.
Singh, G and Sidhu, K. 2008. Daily Fetal Movement Count Chart: Reducing
Perinatal Mortality in Low Risk Pregnancy. MJAFI 2008; 64.
Whittle, M.J and Martin, W.L. 2002. Fetal Monitoring in Labour. In:
Chamberlein, G and Steer, P.J. 2002. Turnbulls Obstetrics. 3rd ed.
Pp. 439-450. London: Churchill Livingstone.
Ziskin, M.C. 1992. Basic Physics of Ultrasound. In: Fleischer, A.C., Romero,
R., Manning, F.A., et al. The Principles and Practice of
Ultrasonography in Obstetrics and Gynecologi. 4th ed. 2002.pp. 114. New Jeraey: Prentice Hall Internationak Inc.

23

Anda mungkin juga menyukai