SGD2
SGD2
PENDAHULUAN
BAB II
PEMBAHASAN
SKENARIO II
Ibu Arsi membawa anaknya laki-laki 7 tahun ke UGD RS Unizar dengan keluhan
sesak nafas sejak tadi pagi secara tiba-tiba. Anak ibu Arsi dalam bulan ini sudah 3 kali
dibawa berobat karena sesak nafas. Jika tidak kumat anaknya tidak ada sesak nafas sama
sekali dan bermain seperti biasa. Di keluarganya tidak ada yang menderita sesak nafas
seperti anaknya tetapi suami ibu arsi sering menderita gatal-gatal di kulitnya jika salah
makan. Setelah dilakukan pemeriksaan oleh dokter UGD didapatkan vital sign nadi
150kali/ menit, RR 42kali/ menit dan suhu tubuh 36,80C, setelah diberikan terapi inhalasi
sesak nafas anak ibu Arsi berkurang.
Anamnesa
Keluhan Utama
tertentu
Pemeriksaan Fisik:
RR 42kali/ menit
IDENTIFIKASI MASALAH
1. Mengapa frekuensi pernafasannya meningkat? Apa yang terjadi?
2. Mengapa justru suhu tubuhnya normal?
2
Histamin
Bradikinin
Zat anafilaksis
spasme otot
Inflamasi
Penyempitan jalan nafas
Penumpukan udara pada alveolus
Melemahkan dinding alveolar
SESAK
DEFINISI
Sampai saat ini etiologi dari asma bronchial belum diketahui. Berbagai teori
sudah diajukan, akan tetapi yang paling disepakati adalah adanya gangguan parasimpatis
(hiperaktivitas saraf kolinergik), gangguan Simpatis (blok pada reseptor beta adrenergic
dan hiperaktifitas reseptor alfa adrenergik).
sering sejalan dengan berlalunya waktu dan dapat berkembang menjadi bronkhitis kronik
dan emfisema. Beberapa pasien akan mengalami asma gabungan.
3. Asma gabungan
Bentuk asma yang paling umum. Asma ini mempunyai karakteristik dari bentuk
alergik dan non-alergik.
Ada beberapa hal yang merupakan faktor predisposisi dan presipitasi timbulnya serangan
asma bronkhial :
1. Faktor predisposisi
Genetik. Dimana yang diturunkan adalah bakat alerginya, meskipun belum
diketahui bagaimana cara penurunannya yang jelas. Penderita dengan penyakit
alergi biasanya mempunyai keluarga dekat juga menderita penyakit alergi. Karena
adanya bakat alergi ini, penderita sangat mudah terkena penyakit asma bronkhial
jika terpapar dengan foktor pencetus. Selain itu hipersentifisitas saluran
pernafasannya juga bisa diturunkan.
2. Faktor presipitasi
a. Alergen, dimana alergen dapat dibagi menjadi 3 jenis, yaitu :
Inhalan, yang masuk melalui saluran pernapasan (debu, bulu binatang, serbuk
bunga, spora jamur, bakteri dan polusi)
Kontaktan, yang masuk melalui kontak dengan kulit (perhiasan, logam dan jam
tangan)
b. Perubahan cuaca
Cuaca lembab dan hawa pegunungan yang dingin sering mempengaruhi
asma. Atmosfir yang mendadak dingin merupakan faktor pemicu terjadinya
serangan asma. Kadang-kadang serangan berhubungan dengan musim, seperti
musim hujan, musim kemarau, musim bunga. Hal ini berhubungan dengan arah
angin serbuk bunga dan debu.
c. Stress
Stress/gangguan emosi dapat menjadi pencetus serangan asma, selain itu
juga bisa memperberat serangan asma yang sudah ada. Disamping gejala asma
yang timbul harus segera diobati penderita asma yang mengalami stress/gangguan
emosi perlu diberi nasehat untuk menyelesaikan masalah pribadinya. Karena jika
stressnya belum diatasi maka gejala asmanya belum bisa diobati.
d. Lingkungan kerja
Mempunyai hubungan langsung dengan sebab terjadinya serangan asma.
Hal ini berkaitan dengan dimana dia bekerja. Misalnya orang yang bekerja di
laboratorium hewan, industri tekstil, pabrik asbes, polisi lalu lintas. Gejala ini
membaik pada waktu libur atau cuti.
e. Olahraga/ aktifitas jasmani yang berat
Sebagian besar penderita asma akan mendapat serangan jika melakukan
aktifitas jasmani atau olahraga yang berat. Lari cepat paling mudah menimbulkan
serangan asma. Serangan asma karena aktifitas biasanya terjadi segera setelah
selesai aktifitas tersebut.
PATOFISIOLOGI
Asma ditandai dengan kontraksi spastik dari otot polos bronkus yang
menyebabkan
sukar
bernafas.
Penyebab
yang
umum
adalah
hipersensitivitas
bronkhioulus terhadap benda-benda asing di udara. Reaksi yang timbul pada asma tipe
alergi diduga terjadi dengan cara sebagai berikut : seorang yang alergi mempunyai
kecenderungan untuk membentuk sejumlah antibody IgE abnormal dalam jumlah besar
dan antibodi ini menyebabkan reaksi alergi bila reaksi dengan antigen spesifikasinya.
Pada asma, antibody ini terutama melekat pada sel mast yang terdapat pada interstisial
paru yang berhubungan erat dengan brokhiolus dan bronkhus kecil. Bila seseorang
menghirup alergen maka antibody IgE orang tersebut meningkat, alergen bereaksi dengan
8
antibodi yang telah terlekat pada sel mast dan menyebabkan sel ini akan mengeluarkan
berbagai macam zat, diantaranya histamin, zat anafilaksis yang bereaksi lambat (yang
merupakan leukotrient), faktor kemotaktik eosinofilik dan bradikinin.
Efek gabungan dari semua faktor-faktor ini akan menghasilkan adema lokal pada
dinding bronkhioulus kecil maupun sekresi mukus yang kental dalam lumen
bronkhioulus dan spasme otot polos bronkhiolus sehingga menyebabkan tahanan saluran
napas menjadi sangat meningkat.
Pada asma, diameter bronkiolus lebih berkurang selama ekspirasi daripada selama
inspirasi karena peningkatan tekanan dalam paru selama eksirasi paksa menekan bagian
luar bronkiolus. Karena bronkiolus sudah tersumbat sebagian, maka sumbatan
selanjutnya adalah akibat dari tekanan eksternal yang menimbulkan obstruksi berat
terutama selama ekspirasi. Pada penderita asma biasanya dapat melakukan inspirasi
dengan baik dan adekuat, tetapi sekali-kali melakukan ekspirasi. Hal ini menyebabkan
dispnea. Kapasitas residu fungsional dan volume residu paru menjadi sangat meningkat
selama serangan asma akibat kesukaran mengeluarkan udara ekspirasi dari paru. Hal ini
bisa menyebabkan barrel chest.
KLASIFIKASI
Derajat
Gejala
Gejala malam
Faal
paru
Intermiten
>
80%
Asimtomatik
Mild persistan
-Gejala lebih dari 1x/minggu tapi Lebih dari 2 kali dalam APE
kurang dari 1x/hari
-Serangan
dapat
sebulan
>80%
menganggu
Moderate
-Setiap hari,
persistan
seminggu
-serangan
kali/seminggu,
80%
bisa
berahari-hari.
10
Severe
- gejala Kontinyu
Sering
persistan
APE
<60%
-Aktivitas terbatas
-sering serangan
GEJALA KLINIS
Penyakit asma mempunyai manifestasi fisiologis berbentuk penyempitan yang
meluas pada saluran udara pernafasan yang dapat sembuh spontan atau sembuh dengan
terapi. Penyakit ini brsifat episodik dengan eksaserbasi akut yang diselingi oleh periode
tanpa gejala.
Keluhan utama penderita asma adalah sesak napas mendadak disertai inspirasi
yang lebih pendek dibandingkan dengan fase ekspirasi dan diikuti oleh bunyi mengi
(wheezing), batuk yang disertai serangan sesak napas yang kumat-kumatan. Pada
beberapa penderita asma keluhan tersebut dapat ringan, sedang atau berat dan sesak
napas penderita timbul mendadak, dirasakan makin lama makin meningkat atau tiba-tiba
menjadi berat. Hal ini sering terjadi terutama pada penderita dengan rhinitis alergika atau
radang saluran napas bagian atas. Sedangkan pada sebagian besar penderita keluhan
utama ialah sukar bernapas disertai rasa tidak enak di daerah retrosternal.
DIAGNOSA BANDING
1. Bronkitis kronis
Ditandai dengan batuk kronik menegluarkan sputum 3 bulan dalam setahun paling
sedikti terjadi dua tahun. Gejala utama batuk disertai sputum biasanya terjadi pada
penderita > 35 tahun dan perokok berat. Gejalanya berupa batuk di pagi hari, lama11
lama disertai mengi, menurunya kemampuan kegiatan jasmani pada stadium lanjut
ditemukan sianosis dan tanda-tanda kor pumonal.
2. Emfisema paru
Sesak merupakan gejala utama emfisema, sedangkan batuk dan mengi jarang
menyertainya. Penderita biasanya kurus. Berbeda dengan asma, emfisema biasanya
tida ada fase remisi, penderita selalu merasa sesak pada saat melakukan aktivitas. Pada
pemeriksaan fisik di dapat dada seperti tong, gerakan nafas terbatas, hipersonor, pekak
hati menurun, suara vesikuler sangat lemah. Pada foto dada di dapat adanya
hiperinflasi.
DIAGNOSIS
1. Anamnesa
a. Keluhan sesak nafas, mengi, dada terasa berat atau tertekan, batuk berdahak
yang tak kunjung sembuh, atau batuk malam hari.
b. Semua keluhan biasanya bersifat episodik dan reversible.
c. Mungkin ada riwayat keluarga dengan penyakit yang sama atau penyakit alergi
yang lain.
2. Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan umum : penderita tampak sesak nafas dan gelisah, penderita lebih
nyaman dalam posisi duduk.
b. Jantung : pekak jantung mengecil, takikardi.
c. Paru :
Perkusi : hipersonor
3. Pemeriksaan laboratorium
a. Darah rutin didapat peningkatan eosinofil dan IgE
b. Sputum didapat adanya eosinofil, spiral crushman, kristal charcot Leyden.
c. Foto toraks dapat normal diluar serangan, hiperinflasi saat serangan, adanya
penyakit lain
d. Faal paru (spirometri /peak flow meter) menilai berat obstruksi, reversibilitas,
variabilitas
e. Uji provokasi bronkus untuk membantu diagnosis
Status Asmatikus adalah keadaan darurat medik paru berupa serangan
asma yang berat atau bertambah berat yang bersifat refrakter sementara
terhadap pengobatan yang lazim diberikan. Refrakter adalah tidak adanya
perbaikan atau perbaikan yang sifatnya hanya singkat, dengan waktu
pengamatan antara satu sampai dua jam.
PENATALAKSANAAN
Terapi awal
1. Pasang Oksigen 2-4 liter/menit dan pasang infuse RL atau D5.
2. Bronkodilator (salbutamol 5 mg atau terbutalin 10 mg) inhalasi dan pemberian
dapat diulang dalam 1 jam.
3. Aminofilin bolus intravena 5-6 mg/kgBB, jika sudah menggunakan obat ini
dalam 12 jam sebelumnya cukup diberikan setengah dosis.
4. Anti inflamasi (kortikosteroid) menghambat inflamasi jalan nafas dan
mempunyai efek supresi profilaksis
5. Ekspektoran : adanya mukus kental dan berlebihan (hipersekresi) di dalam
saluran pernafasan menjadi salah satu pemberat serangan asma, oleh karenanya
harus diencerkan dan dikeluarkan, misalnya dengan obat batuk hitam (OBH),
obat batuk putih (OBP), gliseril guaiakolat (GG)
13
6. Antibiotik : hanya diberikan jika serangan asma dicetuskan atau disertai oleh
rangsangan infeksi saluran pernafasan, yang ditandai dengan suhu yang
meninggi.
Antibiotika yang efektif adalah :
1. Pengobatan berdasarkan saat serangan :
a. Reliever/Pelega:
Golongan
Methylxantine,
Golongan
Steroid,
Leukotriene
14
DAFTAR PUSTAKA
Dorland, W.A Newma. 2006. Kamus Kedokteran Dorland Edisi XXIX.Jakarta : EGC.
Guyton, Arthur C. 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi XI. Jakarta : EGC.
Katzung, Bertram G. 1998. Farmokologi Dasar dan Klinik Edisi VI. Jakarta : EGC.
Price, Sylvia Anderson. 2006. Patofisiologi Edisi VI Volume 2. Jakarta : EGC.
Sudoyo,Aru W., dkk. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi IV jilid 3. Jakarta : FK
UI
15
16