SGD 5
SGD 5
PENDAHULUAN
Rongga toraks merupakan suatu rongga yang diisi oleh berbagai organ tubuh yang
sangat vital, diantaranya : jantung, paru, pembuluh darah besar. Rongga toraks dibentuk
oleh suatu kerangka dada berbentuk cungkup yang tersusun dari tulang otot yang kokoh
dan kuat, namun dengan konstruksi yang lentur dan dengan dasar suatu lembar jaringan
ikat yang sangat kuat yang disebut Diaphragma. Konstruksi kerangka dada tersebut diatas
sangat menunjang fleksibelitas fungsinya, diantaranya: fungsi perlindungan terhadap
trauma dan fungsi pernafasan.
Hanya trauma tajam dan trauma tumpul dengan kekuatan yang cukup besar saja
yang mampu menimbulkan cedera pada alat / organ dalam yang vital tersebut diatas.
Pneumotoraks didefinisikan sebagai adanya udara di dalam cavum/rongga pleura.
Tekanan di rongga pleura pada orang sehat selalu negatif untuk dapat mempertahankan
paru dalam keadaan berkembang (inflasi). Tekanan pada rongga pleura pada akhir
inspirasi 4 sampai dengan 8 cm H2O dan pada akhir ekspirasi 2 sampai dengan 4 cm
H2O. Kerusakan pada pleura parietal dan/atau pleura viseral dapat menyebabkan udara
luar masuk ke dalam rongga pleura, Sehingga paru akan kolaps. Paling sering terjadi
spontan tanpa ada riwayat trauma dapat pula sebagai akibat trauma toraks dan karena
berbagai prosedur diagnostik maupun terapeutik.
Dahulu pneumotoraks dipakai sebagai modalitas terapi pada TB paru sebelum
ditemukannya obat anti tuberkulosis dan tindakan bedah dan dikenal sebagai
pneumotoraks artifisial. Kemajuan teknik maupun peralatan kedokteran ternyata juga
mempunyai peranan dalam meningkatkan kasus-kasus pneumotoraks antara lain prosedur
diagnostik seperti biopsi pleura, TTB, TBLB dan juga beberapa tindakan terapeutik
seperti misalnya fungsi pleura, ventilasi mekanik, IPPB, CVP dapat pula menjadi sebab
teradinya pneumotoraks (pneumotoraks iatrogenik).
Ada
1)
Perforasi
tiga
jalan
pleura
masuknya
viseralis
udara
dan
ke
dalam
masuknya
rongga
udara
dan
pleura,
yaitu :
dalam
paru.
2) Penetrasi dinding dada (dalam kasus yang lebih jarang perforasi esofagus atau
abdomen) dan pleura parietal, sehingga udara dan luar tubuh masuk dalam rongga pleura
3) Pembentukan gas dalam rongga pleura oleh mikroorganisme pembentuk gas misalnya
pada empiema. Pada artikel ini akan dibicarakan pneumotoraks spontan dengan
penekanan pada penatalaksanaan konservatif.
BAB II
PEMBAHASAN
Skenario V
Sesak Nafas post Trauma
Pasien lelaki usia 23 tahun datang ke UGD dengan keluhan sesak nafas post
kecelakaan lalu lintas 20 menit yang lalu ditabrak mobil dari samping kanan saat
mengendarai sepeda motor. Pasien mengeluh nyeri pada dada kanan disertai sesak nafas.
Bibir pasien tampak pucat dengan Vital sign T 90/ 60 mmHg, N 120x/ menit, RR 40x/
menit, akral dingin. Dari pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran compos mentis,
emfisema subkutis dada kanan disertai nyeri tekan, peningkatan tekanan vena jugularis,
gerakan dinding dada kanan tertinggal, trakea bergeser ke kiri, perkusi hipersonor pada
toraks kanan, suara paru menghilang pada dada kanan. Tidak ditemukan tanda-tanda
trauma pada organ tubuh yang lain.
Anamnesa
Lelaki 23 tahun
Keluhan Utama
Pemeriksaan Fisik:
Compos Mentis
RR 40kali/ menit
T 90/ 60 mmHg
IDENTIFIKASI MASALAH
1. Mengapa jumlah denyut nadinya meningkat/ di atas normal?
2. Bagaimana trakea bisa sampai bergeser ke kiri?
3. Apakah maksud dari emfisema subkutis?
BRAINSTORMING
1. Karena kebutuhan oksigen yang sampai ke jaringan tidak mencukupi kebutuhannya,
sehingga jantung harus memompa dengan lebih kuat untuk membantu penyebaran
oksigen hingga sampai ke jaringan. Jantung yang berdetak lebih cepat/ kuat daripada
normal akan muncul sebagai suatu denyut nadi yang meningkat.
2. Pneumothorax merupakan medical emergency dimana akumulasi udara dalam rongga
pleura akan bertambah setiap kali bernapas. Peningkatan tekanan intratoraks
mengakibatkan bergesernya organ mediastinum secara masif ke arah berlawanan dari
sisi paru yang mengalami tekanan. Bagian mediastinum yang berada di bagian yang
tidak mnegalami cedera tersebut akan diikuti dengan pergeeseran trakea.
3. Dapat disebabkan oleh adanya cedera saluran pernafasan atau segmen fraktur iga
yang merobek paru-paru dan dapat disertai dengan adanya pneumotoraks maupun
pneumotoraks desakan. Emfisema subkutis ini berisi udara dan udara akan selalu
berada pada tempat paling tinggi, yaitu daerah sekitar leher.
DEFINISI
Pneumotoraks adalah keadaan dimana terdapat udara atau gas dalam rongga pleura.
Dalam keadaan normal rongga pleura tidak berisi udara, supaya paru-paru leluasa
mengembang terhadap rongga thoraks.
asing tajam yang tertelan. Keganasan dalam mediastinum dapat pula mengakibatkan
udara dalam rongga pleura melalui fistula antara saluran nafas proksimal dengan
rongga pleura.
4. Udara berasal dari subdiafragma dengan robekan lambung akibat suatu trauma atau
abses subdiafragma dengan kuman pembentuk gas.
Pneumotoraks dapat juga dibagi atas:
1. Pneumotoraks Terbuka: Gangguan pada dinding dada berupa hubungan langsung
antara ruang pleura dan lingkungan atau terbentuk saluran terbuka yang dapat
menyebabkan udara dapat keluar masuk dengan bebas ke rongga pleura selama proses
respirasi.
2. Pneumotoraks Tertutup: Misal terdapat robekan pada pleura viseralis dan paru atau
jalan nafas atau esofagus, sehingga masuk vakum pleura karena tekanan vakum pleura
negatif.
3. Pneumotoraks Valvular: Jika udara dapat masuk ke dalam paru pada proses inspirasi
tetapi tidak dapat keluar paru ketika proses ekspirasi. Akibat hal ini dapat terjadi
peningkatan tekanan intrapleural. Karena tekanan intrapleural meningkat maka dapat
terjadi tension pneumotoraks.
ETIOLOGI
Normal tekanan negatif pada ruang pleura adalah -10 s/d -12 mmHg. Fungsinya
membantu pengembangan paru selama ventilasi. Pada waktu inspirasi tekanan intra
pleura lebih negatif daripada tekanan intra bronchial, maka paru akan berkembang
mengikuti dinding thoraks sehingga udara dari luar dimana tekanannya nol (0) akan
masuk bronchus sampai ke alveoli. Pada waktu ekspirasi dinding dada menekan rongga
dada sehingga tekanan intra pleura akan lebih tinggi dari tekanan di alveolus ataupun di
bronchus sehingga udara ditekan keluar melalui bronchus. Tekanan intra bronchial
meningkat apabila ada tahanan jalan napas. Tekanan intra bronchial akan lebih meningkat
lagi pada waktu batuk,bersin, atau mengejan, pada keadaan ini glottis tertutup. Apabila di
bagian perifer dari bronchus atau alveolus ada bagian yang lemah maka akan pecah atau
terobek..
Pneumotoraks terjadi disebabkan adanya kebocoran dibagian paru yang berisi
udara melalui robekan atau pecahnya pleura. Robekan ini akan berhubungan dengan
bronchus. Pelebaran dari alveoli dan pecahnya septa-septa alveoli yang kemudian
membentuk suatu bula di dekat suatu daerah proses non spesifik atau granulomatous
fibrosis adalah salah satu sebab yang sering terjadi pneumotoraks, dimana bula tersebut
berhubungan dengan adanya obstruksi emfisema. Penyebab tersering adalah valve
mekanisme di distal dari bronchial yang ada keradangan atau jaringan parut. Secara
singkat penyebab terjadinya pneumotorak menurut pendapat MACKLIN adalah
sebagai berikut :
Alveoli disanggah oleh kapiler yang lemah dan mudah robek, udara masuk ke
arah jaringan peribronchovaskuler apabila alveoli itu menjadi lebar dan tekanan didalam
alveoli meningkat. Apabila gerakan napas yang kuat, infeksi, dan obstruksi endobronchial
merupakan
fakltor
presipitasi
yang
memudahkan
terjadinya
robekan.
Selanjutnya udara yang terbebas dari alveoli dapat menggoyakan jaringan fibrosis di
peribronchovaskuler kearah hilus, masuk mediastinum dan menyebabkan pneumotoraks
atau pneumomediastinum.
GEJALA KLINIS
Adanya keluhan-keluhan dan gejala-gejala klinis pneumotoraks amat tergantung
pada besarnya lesi pneumotoraks dan ada tidaknya komplikasi penyakit paru. Beberapa
pasien menunjukkan keadaan asimtomatik dan kelainan hanya dapat ditemukan pada
pemeriksaan foto dada rutin. Pada beberapa kasus, pneumotoraks terluput dari
pengamatan.
gejala
klinis
dapat
ditemukan
walaupun
kelainan
Kebanyakan pneumotoraks terjadi pada sisi kanan (53%), sedangkan sisi kiri
(45%) dan bilateral hanya 2%. Hampir 25% dari pneumotoraks spontan berkembang
menjadi hidropneumotoraks.
Disamping keluhan-keluhan dan gejala-gejala klinis tersebut di atas, diagnosis
lebih meyakinkan lagi dengan pemeriksaan sinar tembus dada.
PATOFISIOLOGI
Trauma terhadap thoraks terdiri atas trauma tajam dan trauma tumpul.
Pada trauma tajam, terdapat luka pada jaringan kutis dan subkutis, mungkin lebih
mencapai jaringan otot ataupun lebih dalam lagi hingga melukai pleura parietalis atau
perikardium parietalis. Dapat juga menembus lebih dalam lagi, sehingga merusak
jaringan paru, menembus dinding jantung atau pembuluh darah besar di mediastinum.
Trauma tajam yang menembus pleura parietalis akan menyebabkan kolaps paru,
akibat masuknya udara atmosfer luar kedalam rongga paru. Bila pleura viseralispun
tertembus, kemungkinan trauma tajam terhadap jaringan paru sangat besar, sehingga
selain terjadi penurunan ventilasi akibat hubungan pendek bronkho-udara luar melalui
luka tajam, mungkin terjadi pula Hemoptoe massif dengan akibat-akibatnya.
Trauma tajam yang melukai perikardium parietalis dapat menimbulkan
tamponade jantung dengan tertimbunya darah dalam rongga pericardium, yang akan
mampu meredam aktivitas Diastolik jantung. Eksanguinasi akibat tembusnya dinding
jantung atau pembuluh darah besar di mediasternum, mampu menimbulkan henti jantung
dalam waktu 2 5 menit, tergantung derajat perdarahannya.
Satu jenis lain dari trauma tajam, yaitu trauma tertembus peluru. Fatalitas akibat
trauma peluru ini lebih besar dari jenis trauma tajam lainnya, karena faktor kerusakan
jaringan yang lebih besar akibat rotasi berkecepatan tinggi dari pleura, berakibat luka
tembus keluar yang relatif lebih besar dari luka tembus masuk.
Trauma tumpul toraks, bila kekuatan trauma tidak cukup besar, hanya akan
menimbulkan desakan terhadap kerangka dada, yang karena kelenturannya akan
mengambil bentuk semula bila desakan hilang. Trauma tumpul demikian, secara tampak
dari luar mungkin tidak memberi gambaran kelainan fisik, namun mampu menimbulkan
kontusi terhadap otot kerangka dada, yang dapat menyebabkan perdarahan in situ dan
pembentukan hematoma inter atau intra otot, yang kadang kala cukup luas, sehingga
berakibat nyeri pada respirasi dan pasien tampak seperti mengalami dispnea.
Trauma tumpul dengan kekuatan cukup besar, mampu menimbulkan patah tulang
iga, mungkin hanya satu iga, dapat pula beberapa iga sekaligus, dapat hanya satu lokasi
fraktur pada setiap iga, dapat pula terjadi patahan multiple, mungkin hanya melibatkan
iga sisi unilateral, mungkin pula berakibat bilateral.
Trauma tumpul jarang menimbulkan kerusakan jaringan jantung, kecuali bila
terjadi trauma dengan kekuatan cukup besar dari arah depan, misalnya : akibat dorongan
kemudi atau setir mobil yang mendesak dada akibat penghentian mendadak mobil
berkecepatan sangat tinggi yang menabrak kendaraan atau bangunan didepannya.
Desakan setir mobil tersebut mampu menimbulkan tamponade jantung, akibat perdarahan
rongga pericardium ataupun hematoma dinding jantung yang akan meredam gerakan
sistolik dan diastolik.
Dorongan atau pukulan tumpul terhadap dinding kerangka dada yang demikian
kuatnya, sehingga melebihi kekuatan kelenturan iga, dapat menimbulkan fraktur iga dan
ujung fragmen fraktur dapat merusak pleura parietalis ataupun bahkan pleura viseralis
dan jaringan paru. Setelah trauma hilang, fragmen iga yang fraktur tersebut akan kembali
kepada kedudukan semula akibat kelenturannya, dan akibat kelengkungan bentuk iga
yang menggembung kearah keluar kerangka, serta pengikatan antar iga oleh otot interoseus/otot intekostalis.
Keadaan tersebut diatas, meskipun secara morfologis hanya di dapat fraktur
sederhana dan tertutup dari iga dalam kedudukan baik, namun mampu menimbulkan
hematotoraks atau pneumotoraks, bahkan tidak tertutup kemungkinan terjadi Tension
Pneumotorax, karena terjadi keadaan dimana alveoli terbuka, pleura viseralis dengan
luka yang berfungsi Pentil dan luka pleura parietalis yang menutup akibat desakan
udara yang makin meningkat di rongga pleura. Tension pneumotoraks selanjutnya akan
mendesak paru unilateral, sehingga terjadi penurunan ventilasi antara 15 20 %.
Bila desakan berlanjut, terjadi penggeseran mediastinum kearah kontralateral dan
selanjutnya bahkan akan mendesak paru kontralateral yang berakibat sangat menurunnya
kapasitas ventilasi.
Kerusakan jaringan paru dengan terbukannya alveoli, memungkinkan terjadinya
emfisem subkutis, akibat penyebaran udara yang keluar dari alveoli dan menyusup masuk
kedalam jaringan interstisial paru menuju mediastinum, dan selanjutnya menyebar
melalui media subkutis. Emfisema subkutis ini dapat menyebar secara umum keseluruh
permukaan tubuh dan sangat kentara dengan Penggelembungan skrotum atau labiya
mayora.