Anda di halaman 1dari 14

Raden Dicky Johar P.

071411231030 Ekonomi Politik Internasional Ujian Akhir Semester

Analisis Keinginan Kaum Euroscepticism Britania Raya untuk Keluar dari


Uni Eropa dalam Sudut Pandang Ekonomi Politik Internasional

R. Dicky Johar Pribadi


071411231030

ABSTRACT
Globalization that facilitates the movement of goods, services, investment, and human
mobilization, has led to the integration of international political economy. Integration in a
global area itself can be found in the trinity of international financial institution, including
the World Bank, World Trade Organization (WTO), and the International Monetary Fund
(IMF). Since the WTO came into existence in 1995, the number of regional trade agreements
has grown rapidly. Those regional trades generally started from free trade area to economic
union. Then, the economic union for monetary and fiscal policy integration can be seen from
the regionalism of European Union (EU). EU that is considered as a popular model of
regionalism in the world, is able to become a stepping stone for global negotiation and its
member states in order to accomodate their national interests. However, the development of
the EU does not always run smoothly. On the last June 23, 2016, Britain did the voting to
determine whether staying or leaving EU. The British Euroscepticism considers that EU does
not give significant implications for the United Kingdom's economic-politic. In the end, the
Brexit (British Exit) voting was sucessfully happened with the results of the majority voice to
leave EU.
Keywords: Brexit, British Euroscepticism, regionalism, globalization, European Union

Globalisasi yang memudahkan perpindahan barang, jasa, investasi, dan mobiliasasi


manusia telah mendorong terjadinya integrasi ekonomi politik internasional. Integrasi di
payung global sendiri dapat ditemukan pada tiga trinitas institusi keuangan internasional,
meliputi World Bank, World Trade Organization (WTO), serta International Monetary Fund
(IMF). Semenjak munculnya WTO di tahun 1995, perjanjian perdagangan regional kemudian
tumbuh semakin cepat. Perdagangan regional tersebut umumnya berawal dari perdagangan
pasar bebas yang lalu dapat menciptakan penyatuan ekonomi. Penyatuan ekonomi berupa
integrasi kebijakan moneter dan fiskal sendiri dapat dilihat dari regionalisme Uni Eropa.
Uni Eropa yang dianggap merupakan model populer regionalisme di dunia, mampu menjadi
batu loncatan bagi negosiasi global serta negara-negara anggotanya dalam mengakomodasi
kepentingan nasionalnya. Namun demikian, perkembangan Uni Eropa tidak selalu berjalan
secara mulus. Tanggal 23 Juni 2016 lalu, Britania Raya melakukan pengambilan suara
untuk menetukan tetap tinggal atau melakukan referendum dari Uni Eropa. Kaum British
Euroscepticism menganggap bahwa Uni Eropa tidak banyak berimplikasi secara signifikan
terhadap ekonomi-politik Britania Raya. Pemungutan suara Brexit (British Exit) pun pada
akhirnya sukses dilaksanakan dengan hasil mayoritas untuk keluar dari Uni Eropa.
Kata-Kata Kunci: Brexit, British Euroscepticism, regionalisme, globalisasi, Uni Eropa

Raden Dicky Johar P. 071411231030 Ekonomi Politik Internasional Ujian Akhir Semester

Pada dasarnya, ekonomi politik internasional merupakan salah satu kajian dasar dari ilmu
Hubungan Internasional. Ekonomi internasional sendiri sebenarnya mulai banyak dibicarakan
dalam ranah hubungan internasional tepatnya pada masa perang dingin (Ravenhill, 2008: 18).
Selanjutnya, ekonomi politik internasional dan ekonomi internasional pun kemudian
dianggap memiliki perbedaan mendasar atas konsepsi umum yang dibangun. Sebagaimana
namanya, studi ekonomi internasional hanya mengembangkan kajian-kajian ekonomi di
bidang mikro dan makro saja (Hennida, 2016). Sebagai contoh mudahnya adalah interaksi
pasar domestik dan internasional yang berkaitan dengan distribusi, produksi, dan konsumsi
secara sederhana. Sedangkan studi ekonomi politik internasional sendiri, memiliki cakupan
yang lebih luas karena interaksi yang dibahas tidak hanya hal ekonomi saja, melainkan juga
permainan power di lingkup internasional. Pada cakupan internasional tersebut, penggunaan
kapasitas aktor mampu pula melibatkan institusi-intitusi dalam hubungan internasional,
seperti misalnya WTO, IMF, dan World Bank (Ravenhill, 2008: 20). Menurut Ravenhill
(2008: 19) sendiri, ekonomi politk internasional dapat dimengerti sebagai bidang studi yang
memfokuskan kajiannya terhadap hubungan timbal balik antara power negara dan sektor
swasta dalam alokasi kelangkaan sumber daya. Pengertian tersebut kemudian tidak jauh
berbeda dengan yang sempat dinyatakan oleh akademisi Hubungan Internasional dari
Amerika Serikat, Robert Gilpin. Gilpin (dalam Leiteritz, 2005: 52) mengatakan bahwa
ekonomi politik internasional cukup berbeda dengan konsepsi tunggal dari ekonomi. Pada
awalnya, ekonomi politik internasional yang berkembang di Amerika Serikat lebih
menitikberatkan distribusi power dalam ekonomi global serta potensi suatu negara untuk
terlibat dalam kerjasama (Ravenhill, 2008: 20). Oleh karena itu, dapat dilihat bahwa
kecenderungan Amerika Serikat dalam kebijakan politik ekonomi internasionalnya kemudian
adalah menjadi hegemoni dan juga membuka pasar bebas pada perekonomian global.
Berbicara mengenai perekonomian global, tentunya akan berkaitan pula dengan kehadiran
dari fenomena globalisasi. Derasnya arus globalisasi setelah perang dingin dianggap mampu
memberikan implikasi yang besar terhadap tatanan dunia ke segala bidang, baik politik
maupun ekonomi. Dalam bidang politik sendiri, power dan legitimasi dalam hubungan
internasional tidak hanya terpusatkan pada aktor-aktor negara saja. Aktor-aktor bukan negara
kemudian juga ikut campur dalam pembuatan keputusan domestik maupun internasional.
Selanjutnya, globalisasi juga dianggap meningkatkan saling ketergantungan antar negara
(Gilpin, 2001: 5). Dengan demikian, interaksi negara setelah perang dingin banyak dilakukan
dengan alasan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi internasional. Globalisasi dalam

Raden Dicky Johar P. 071411231030 Ekonomi Politik Internasional Ujian Akhir Semester

bidang ekonomi kemudian berhasil melancarkan perpindahan manusia, barang, dan jasa tanpa
memedulikan batas-batas negara yang ada. Gilpin (2001: 5) menyebutkan bahwa titik balik
dari perubahan dalam ekonomi dunia sendiri terjadi pada tahun 1987, tepatnya ketika
Amerika Serikat bersama aliansinya menggunakan potensi konflik ekonomi untuk
mempertahankan kerjasama politik dan juga keamanan. Di samping itu, kerjasama ekonomi
dan politik dalam era globalisasi kini dapat juga dilihat dari adanya regionalismeregionalisme yang mulai marak terjadi di seluruh dunia. Regionalisme mampu dianggap
sebagai batu loncatan bagi negara-negara anggota yang terlibat. Di sisi lain, regionalisme
juga disebut-sebut dapat menjadi batu sandungan bagi negara-negara angggota. Dalam tulisan
kali ini sendiri, penulis membahas terkait salah satu regionalisme di dunia, yakni Uni Eropa,
yang pada akhir-akhir ini mendapatkan guncangan akibat adanya pemungutan suara oleh
Britania Raya untuk keluar dari regionalisme di Eropa tersebut. Lantas, mengapa sebenarnya
Britania Raya menginginkan untuk keluar dari Uni Eropa? Bukankah regionalisme Uni Eropa
dapat menjadi batu loncatan bagi negosiasi global serta Britania Raya sendiri? Untuk
menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, penulis menggunakan teori integrasi ekonomi
politik internasional dengan model regionalisme sebagai pisau analisisnya.
Model Populer Integrasi Ekonomi Politik Internasional: Regionalisme Uni Eropa
Globalisasi di era kontemporer telah mempermudah pergerakan arus barang, investasi modal
asing, serta mobilisasi manusia untuk berpindah melawati batas-batas teritorial negara yang
ada. Menurut Smith & Baylis (2001: 7), globalisasi sendiri merupakan proses peningkatan
interaksi atau hubungan antar masyarakat ke dalam satu bagian besar dunia global yang
menimbulkan efek terhadap orang-orang yang jauh sekalipun. Dunia global yang dimaksud
tersebut memiliki cakupan yang begitu luas, seperti dalam bidang politik, ekonomi, sosial,
dan budaya yang kemudian semakin terhubung dan saling memiliki pengaruh satu sama lain.
Semakin terhubung dan berpengaruhnya antara satu aktor ke aktor yang lain dalam hubungan
internasional dapat diwujudkan dengan adanya integrasi pada ekonomi politik internasional.
Berbagai rezim dan institusi internasional tumbuh dan dapat dicontohkan dengan adanya
trinitas dalam ekonomi politik internasional yang meliputi World Bank, World Trade
Organization (WTO), serta International Monetary Fund (IMF) (Winham, 2008: 144). Rezim
yang mengatur perekonomian dan perdagangan internasional tersebut kemudian dianggap
mendapatkan banyak kritik karena peraturan yang diterapkannya dirasa tidak terlalu
menguntungkan bagi negara-negara tertentu, khususnya developing countries. Di saat yang
bersamaan, integrasi ekonomi dan politik antara negara-negara kawasan juga semakin giat

Raden Dicky Johar P. 071411231030 Ekonomi Politik Internasional Ujian Akhir Semester

digencarkan melihat realitas mulai populernya regionalisme-regionalisme di berbagai benua.


Hal tersebut dapat dilihat dari integrasi atau penyatuan ekonomi seperti Uni Eropa hingga
integrasi ekonomi yang masih bertaraf free trade area atau custom union seperti NAFTA,
Mercosur, ASEAN, dan lain sebagainya.
Untuk mengetauhi konsepsi sebenarnya mengenai regionalisme itu sendiri, berikut penulis
tuliskan pengertian dari regionalisme. Menurut Fawcett (2005), regionalisme sendiri
sebetulnya memiliki perbedaan konsepsi dengan istilah region dan regionalisasi. Region atau
wilayah sendiri adalah adalah konsep kesatuan kawasan atau zona yang di dalamnya terdapat
aktor-aktor dengan kesamaan seperti, kedekatan wilayah, politik, sosial, dan budaya, serta
bahkan ideologi. Aktor-aktor yang memiliki kesamaan-kesamaan tadi kemudian dianggap
memiliki peluang untuk bekerjasama dalam suatu wadah dalam organisasi kawasan. Berbeda
dengan regionalisme, regionalisasi kemudian dimengerti sebagai proses dinamika yang
terjadi dalam kawasan tertentu untuk melakukan kerjasama, terutama dalam perkembangan
ekonomi kawasan (Ravenhill, 2008: 174). Kerjasama kawasan tersebut tidak selalu bermula
atau hanya didasari oleh isu ekonomi saja. Dalam praktiknya regionalisasi dapat memperluas
kesempatan kerjasama di bidang lainnya, mengingat terdapat luberan (spill over) terhadap
isu-isu lain, seperti politik, sosial, dan keamanan. Terakhir, Fawcett (2005) menjelaskan
bahwa regionalisme sendiri adalah sebuah entitas baru yang merupakan hasil dari
regionalisasi dalam kawasan tertentu dengan memuat kebijakan-kebijakan di dalamnya.
Salah satu model integrasi ekonomi politik internasional dalam lingkup regional yang begitu
populer di dunia adalah Uni Eropa. Pembentukan regionalisme di Eropa sendiri memiliki
sejarah panjang hingga mampu mencapai penyatuan ekonomi pada tahap integrasi moneter.
Ravenhill (2008: 174) dalam tulisannya yang berjudul Regionalism menyebutkan bahwa
terdapat empat tahap dalam integrasi regional. Tahap-tahap yang disebutkan oleh Ravenhill
kemudian dapat merepresentasikan pola penyatuan ekonomi di organisasi regional Eropa.
Pertama, terdapat tahap free trade area yang memiliki ketentuan untuk menghapuskan
hambatan tarif dan non tarif kepada para anggota. Suatu negara kemudian bebas dalam
menentkan tarif di luar anggota perdagangan bebas (Ravenhill, 2008: 174). Penghapusan tarif
tersebut sebenarnya dimaksud untuk memperlancar pergerakan barang dan jasa diantara
anggota-anggota kawasan free trade yang terlibat. Dalam kasus integrasi regional di Eropa
sendiri, Eropa memulai membentuk kawasan perdagangan bebas sejak didirikannya
European Coal and Steel Community (ECSC) pada tahun 1950 (Europa, 2016). Pendirian
ECSC tersebut merupakan langkah awal dalam kerjasama ekonomi di bidang perdagangan

Raden Dicky Johar P. 071411231030 Ekonomi Politik Internasional Ujian Akhir Semester

batu bara dan baja untuk menjami perdamaian di antara negara-negara pendirinya, yakni
Belgia, Perancis, Jerman, Italia, Luksemburg, dan Belanda. Selanjutnya, tahap selanjutnya
yang dijelaskan oleh Ravenhill (2008: 174) adalah customs union. Menurutnya, customs
union dapat melampaui penghapusan hambatan perdagangan dalam kawasan untuk
mengadopsi seperangkat kebijakan impor dari negara-negara di luar kawasan. Perkembangan
integrasi regional Eropa selanjutnya memasuki tahap common market. Hal tersebut ditandai
dengan pembentukan European Economic Community (EEC) pada tahun 1957 yang
bersamaan dengan dibentuknya European Atomic Energy Community atau dikenal juga
sebagai Euratom (Europa, 2016). EEC sendiri merupakan sebuah custom union yang juga
mengijinkan untuk pergerakan bebas buruh dan kapital dalam kerjasama regional. Tahap
keempat atau terakhir, terdapat economic union yang merupakan gabungan dari common
market dan penggabungan nilai mata uang atau moneter, fiskal, dan kebijakan sosial
(Ravenhill, 2008: 174). Integrasi pada tahap ini sampai sekarang hanya mampu dicapai oleh
Uni Eropa.
Memang pada dasarnya kemunculan Uni Eropa ini berakar dari Komunitas Batu Bara dan
Baja yang hanya merupakan organisasi berbentuk kawasan perdagangan bebas. Di tahun
1970-an sendiri, Eropa dilanda dengan krisis ekonomi besar-besaran akibat lemahya
kebijakan dan kerjasama dalam integrasi organisasi kawasan Eropa yang kemudian juga
diperparah dengan naiknya harga minyak di dunia (Awesti, 2009: 41). Keadaan tersebut
sendiri sering dikenal oleh akademisi Ilmu Hubungan Internasional sebagai Eurosclerosis
yang menunjukkan bahwa negara-negara Eropa terkena penyakit berupa, meningkatnya
masyarakat pengangguran, lesunya perdagangan kawasan Eropa, serta perkembangan
ekonomi secara stagnan. Semenjak itu, Komunitas Ekonomi Eropa selanjutnya membuat
perjanjian untuk lebih mengeratkan kerjasama regional Eropa dengan penandatanganan
Single European Act tahun 1986 (Awesti, 2009: 39). Dengan adanya Single European Act
tersebut, Eropa lantas membangun suatu single market serta rencana untuk menyatukan nilai
mata uang negara-negara anggota. Di saat yang bersamaan, Komunitas Ekonomi Eropa juga
menggait negara-negara Eropa lainnya untuk tergabung dalam common market di Eropa
tersebut. Britania Raya dan Irlandia sendiri kemudian bergabung pada Januari tahun 1973
(Europa, 2016). Hingga perkembangannya sampai pembentukan Uni Eropa, negara-negara
anggota Komunitas Ekonomi Eropa mengikuti penandatangan Perjanjian Maastricht di tahun
1993 dan Perjanjian Amsterdam tahun 1999. Dalam pembentukan Uni Eropa tersebut,
organisasi regional Eropa diharapkan mampu meningkatkan kerjasama keamanan dan

Raden Dicky Johar P. 071411231030 Ekonomi Politik Internasional Ujian Akhir Semester

pertahanan negara-negara anggotanya di samping membangun penyatuan ekonomi dan


moneter Eropa (Europa, 2016). Pada tahun 1999, Uni Eropa berhasil mendirikan Bank
Sentral Eropa serta menerapkan nilai mata uang Euro kepada beberapa negara anggota Uni
Eropa sendiri. Walaupun demikian, implementasi penggunaan mata uang Euro sebenarnya
tidak diterapkan di seluruh negara Uni Eropa yang termasuk Britania Raya.
Dalam kasus Uni Eropa tersebut, globalisasi dianggap mampu memunculkan isu-isu
internasional yang mengarah pada konvergensi dan divergensi. Untuk mengakomodasi
berbagai isu dalam negara-negara suatu kawasan, regionalisme kemudian disebut
memberikan akomodasi terhadap masalah-masalah yang condong memiliki kharakteristik
kesamaan. Akibatnya, terdapat konvergensi dengan berupa regionalisme yang memberikan
standardisasi untuk membentuk struktur, proses, dan performa yang sama. Isu divergensi
kemudian muncul ketika regionalisme dianggap memberikan diskriminasi terhadap
perdagangan bebas di luar negara-negara anggota. Namun demikian, Ravenhill (2008: 176)
menyebutkan bahwa regionalisme sebenarnya tidak menentang nilai-nilai integrasi ekonomi
politik internasional dalam intitusi seperti General Agreement on Tarrifs and Trade (GATT)
atau yang sekarang menjadi WTO. Regionalisme selanjutnya dianggap merupakan upaya
liberalisasi untuk membuka pasar di tingkat yang lebih kecil dengan prinsip-prinsip
perdagangan internasional free flow. Di samping itu, regionalisme sebagaimana Uni Eropa
sebagai model percontohan organisasi kawasan di dunia memiliki beberapa kelebihan dalam
mengakomodasi kepentingan negara-negara anggota, terutama dalam hal ekonomi dan politi
Uni Eropa merupakan Batu Loncatan bagi Negosiasi Global dan Britania Raya?
Britania Raya merupakan salah satu anggota dari Uni Eropa sejak tahun 1973. Masuknya
Britania Raya dalam organisasi kawasan Komunitas Ekonomi Eropa yang kemudian menjadi
Uni Eropa tersebut tentunya didasari untuk menunjang kepentingan nasionalnya. Pada tahun
1950-an, pendapatan perkapita Gross Domestic Product (GDP) Britania Raya mampu sukses
mencapai sepertiga lebih besar dari pada GDP enam negara pendiri Uni Eropa lainnya
(Campos & Coricelli, 2015). Namun demikian, perekonomian Britania Raya di tahun 1970an merosot menjadi 10 persen di bawah GDP negara-negara anggota Uni Eropa. Dengan
demikian, Britania Raya mencoba bergabung di Uni Eropa pada tahun 1973 untuk
memperbaiki ketidakstabilan ekonominya. Masuknya Britania Raya ke dalam Uni Eropa
sebenarnya juga didorong oleh faktor-faktor yang berkaitan dengan politik, seperti turunnya
De Gaulle (presiden Perancis) yang sempat memberikan veto terhadap proposal

Raden Dicky Johar P. 071411231030 Ekonomi Politik Internasional Ujian Akhir Semester

bergabungnya Britania Raya, kemenangan Heath sebagai perdana menteri Britania Raya yang
mampu mendaftarkan Britania Raya sebagai anggota Uni Eropa, serta ketidakmampuan
commonwealth Britania Raya untuk bersaing dalam perkembangan ekonomi (Campos &
Coricelli, 2015).
Ravenhill (2008: 178-180) sendiri menyebutkan bahwa adanya motivasi politik untuk masuk
dalam perjanjian perdagangan regional bisa saja terjadi karena dilandasi oleh hal-hal berikut.
Pertama, kerjasama regional dalam bidang ekonomi dapat menumbuhkan confidence
building bagi negara-negara yang terlibat. Hal tersebut dapat dilihat dari kasus didirikannya
integrasi regional di Eropa yang mendorong negara-negara Eropa untuk membangun dari
keterpurukan

pasca Perang Dunia Kedua melalui peningkatan kepercayaan dalam

bekerjasama.Kedua, kerjasama ekonomi regional dapat meluas pada agenda pembahasan isu
non tradisional. Pendirian Uni Eropa sendiri memang diawali dengan perdagangan atau isu
ekonomi saja, namun perkembangannya hingga sekarang, Uni Eropa juga banyak membahas
masalah-masalah imigran, terorisme, dan sebagainya. Berikutnya, regionalisme juga
dianggap sebagai alat untuk bernegosiasi. Milward (1992, dalam Ravenhill: 179) percaya
bahwa negosiasi yang terjadi pada pembentukan Komunitas Ekonomi Eropa tahun 1957
didasari oleh keinginan negara-negara Eropa untuk meningkatkan pengaruh mereka dalam
melawan Amerika Serikat pada pertemuan GATT selanjutnya (Ravenhill, 2008: 179).
Keempat, regionalisme juga dianggap sebagai sebuah mekanisme untuk meningkatkan
kredibilitas ekonomi domestik. Nyatanya, memang banyak arus penanaman modal asing yang
tertarik pada negara-negara Eropa ketika negara-negara tersebut tergabung menjadi anggota
dalam Uni Eropa. Sejak tahun masuknya ke dalam Uni Eropa, penanaman modal asing dari
negara-negara Eropa terhadap Britania Raya serta sebaliknya dapat semakin meningkat.
Puncaknya pada tahun 1999, nilai penanaman modal asing secara langsung di Britania Raya
dapat mencapai hingga 341,2 milyar poundsterling (UK Government, 2005: 10). Kelima,
regionalisme juga tentunya dipercaya mampu memberikan pilihan untuk melakukan
liberalisasi di tingkat global maupun regional. Keenam atau terakhir, kerjasama regional
dianggap mempermudah proses negosiasi dan implementasi perjanjian mengingat tidak
melibatkan banyak negara yang beragam (Ravenhill, 2008: 180). Oleh karena itu, negaranegara dalam Uni Eropa, bahkan negara besar seperti Britania Raya sekalipun, condong harus
menyamakan kebijakannya dalam menghadapi isu-isu kawasan.
Di samping itu, Ravenhill (2008: 201-202) kemudian menyebutkan bahwa regionalisme
tentunya juga didasari oleh motivasi-motivasi ekonomi, seperti halnya berikut ini. Pertama,

Raden Dicky Johar P. 071411231030 Ekonomi Politik Internasional Ujian Akhir Semester

regionalisme merupakan alasan untuk pilihan di samping kerjasama multilaterlisme tingkat


global. Menurut Ravenhill (2008: 201), regionalisme dapat memproteksi sektor yang tidak
mampu bertahan di tingkat global. Sebagaimana sejarah Britania Raya ketika masuk Uni
Eropa, perekonomian Britania Raya harus berkompetisi dengan negara-negara besar seperti
Jerman, Perancis, dan bahkan Amerika Serikat pada tahun 1970-an. Dengan demikian,
Britania Raya lebih memilih untuk melakukan kerjasam regional dalam rangka menjaga
stabilitas ekonominya bersama negara-negara dalam kawasan Eropa lainnya. Selanjutnya,
regionalisme juga dipercaya memberikan kesempatan untuk melakukan integrasi lebih dalam
(Ravenhill, 2008: 202). Hal tersebut dikarenakan negara-negara yang memiliki kesamaan
identitas atau kedekatan wilayah dianggap memiliki isu atau permasalahan-permasalahan
yang kurang lebih sama. Seperti misalnya saja, isu tenaga kerja yang terjadi di Eropa. Dengan
adanya regionalisme semacam Uni Eropa, Britania Raya dapat mengirimkan tiga perempat
juta tenaga kerja untuk tinggal di negara-negara Eropa lainnya (CBI, 2013). Dengan
demikian, free movement of labour juga dapat memberikan kesempatan terhadap masyarakat
Britania Raya untuk mendapatkan pekerjaan lebih luas lagi di lingkup Eropa.
Berikutnya, regionalisme menurut Bhagwati (1991, dalam Ravenhill, 2008: 200) dianggap
mampu menjadi stepping stone atau batu loncatan bagi negara-negara anggotanya.
Menurutnya, terdapat lima argumen bahwa integrasi regional dapat memfasilitasi negosiasi
global. Pertama, negosiasi global yang melibatkan kelompok-kelompok regional dianggap
dapat mengurangi jumlah aktor yang terlibat. Selanjutnya, untuk mencapai kesepakatan
dalam organisasi regional dirasa lebih mudah mengingat integrasi terjadi lebih mendalam
(Ravenhill, 2008: 200). Kesepakatan dari organisasi regional kemudian dapat dilanjutkan
menjadi model perjanjian global, sebagaimana Uni Eropa menjadi model populer
regionalisme. Ketiga, perjanjian regional dianggap pula dapat meningkatkan daya saing
industri domestik yang membuka jalan untuk liberalisasi secara penuh. Hal tersebut dapat
dilihat bahwa daya saing produk-produk negara Uni Eropa semakin tinggi semenjak adanya
integrasi kawasan, walaupun Britania Raya merupakan negara pertama yang memulai
revolusi industri. Keempat, perjanjian regional dapat memperbaiki posisi finansial dan
kepentingan export-oriented suatu negara. Britania Raya semenjak menjadi anggota Uni
Eropa sendiri tidak hanya menjadi sasaran penanaman modal asing ke dalam dan keluar,
namun juga mampu memasarkan produk-produknya secara lebih luas. Melalui negosiasi dan
perdagangan single market dalam Uni Eropa, perusahaan-perusahaan Britania Raya mampu
memiliki akses secara penuh hingga dapat mencapai keuntungan sebesar 24 triliun dolar

Raden Dicky Johar P. 071411231030 Ekonomi Politik Internasional Ujian Akhir Semester

Amerika Serikat pada tahun 2013 (CBI, 2013). Terakhir, perjanjian regional juga dianggap
memberikan kemudahan bagi perusahaan-perusahaan di Eropa untuk membuka pasar
asingnya, mengingat regionalisme mendorong adanya akses perdagangan regional yang
setara. CBI (2013) melaporkan bahwa perdagangan antara Britania Raya dengan negaranegara di Eropa dapat meningkat sebanyak 50 persen semenjak Uni Eropa ditetapkan. Di
tahun 2009, ekspor industri milik Britania Raya terhadap anggota-anggota negara di Uni
Eropa lainnya mampu mencapai hingga 293 milyar dolar Amerika Serikat. Di tahun yang
sama, Britania Raya juga banyak mengimpor di berbagai sektor kesehatan dan social care,
seperti obat-obatan kimia, sejumlah 161 milyar dolar Amerika Serikat (CBI, 2013). Oleh
karena itu, keterlibatan Britania Raya dalam regionalisme Uni Eropa sebenarnya memberikan
peluang-peluang besar bagi Britania Raya sendiri untuk bekerjasama lebih erat dengan
negara-negara Eropa lainnya, khususnya di bidang ekonomi dan politik.
Keinginan Britania Raya untuk Keluar dari Uni Eropa
Di tahun 2015, European Comission (dalam Economist, 2016) melakukan penelitian untuk
menilai seberapa tingkat kepercayaan masyarakat dalam suatu negara yang merupakan
anggota Uni Eropa terhadap regionalisme Uni Eropa sendiri. Hasilnya pun, Britania Raya
merupakan negara kedua dari 11 negara yang memiliki suara dengan tingkat kepercayaan
minim terhadap Uni Eropa. Hanya sebesar 30 persen masyarakat Britania Raya menilai
bahwa Uni Eropa banyak memberikan implikasi terhadap negaranya sendiri. Di era tahun
1990-an sendiri, sebenarnya telah beredar kaum-kaum yang skeptis (British Euroscepticism)
terhadap keterlibatan Britania Raya dalam Uni Eropa. Kaum-kaum skeptis tersebut disokong
oleh suatu partai bernama Eurosceptic UK Independence Party atau juga dikenal sebagai
UKIP (Economist, 2016). Dalam perkembangannya, keberadaan para kaum British
Euroscepticism tersebut semakin menyebar dan mampu mengancam stabilitas pemerintahan
di Britania Raya sendiri. Sejak tahun 1990-an, mereka meminta kepada perdana menteri
Britania Raya untuk melakukan pemungutan suara atau voting terkait referendum Britania
Raya dari Uni Eropa. Sebetulnya, sudah bertahun-tahun pemerintah Britania Raya telah
menjanjikan pemungutan suara referendum Britania Raya dari Uni Eropa atau yang dikenal
sebagai Brexit tersebut. Namun, pelaksanaan pemungutan suara untuk mengetahui apakah
Britania Raya layak menetap atau justru meninggalkan Uni Eropa baru dilaksanakan pada era
Perdana Menteri David Cameron (Economist, 2016).

Raden Dicky Johar P. 071411231030 Ekonomi Politik Internasional Ujian Akhir Semester

Keberadaan kaum skeptis sebagaimana British Euroscepticism menunjukkan bahwa


regionalisme tidak selalu dianggap membawa implikasi positif kepada anggota-anggota
negaranya yang terlibat. Di samping menjadi batu loncatan bagi suatu negara, regionalisme
ternyata juga dapat menjadi batu sandungan atau stumbling blocks pula. Menurut Ravenhill
(2008: 201) perjanjian regional dapat membawa ketidaksinambungan terhadap liberalisasi
global karena faktor-faktor berikut. Pertama, keberadaan regionalisme memperbesar
pengaruh perbedaan kekuasaan dalam hubungan perdagangan internasional. Maksudnya,
regionalisme mampu menciptakan diskriminasi terhadap negara-negara bukan anggotanya.
Hal tersebut kemudian banyak terjadi di organisasi-organisasi kawasan yang pertumbuhan
perekonomiannya masih kurang maju. Bila hal tersebut terjadi, maka akibatnya perdagangan
liberalisasi akan berkembang secara minim. Kedua, reginalisme menyebabkan pengalihan
kelangkaan sumber daya alam dalam pasar negosiasi global (Ravenhill, 2008: 201). Hal
tersebut dapat dilihat bahwa eksklusivitas suatu regional mampu menjauhkan dari negosisasi
perdagangan global. Sebagai contoh, Uni Eropa memiliki standardisasi yang berbeda dengan
regionalisme lain. Akibatnya, negara-negara regionalisme lain akan kesusahan dalam
menjalin kerjasama dagang bila tidak mengikuti standard dari Uni Eropa sendiri. Berikutnya,
Ravenhill (2008: 201) juga mengumpamakan regionalisme dapat menjadi spaghetti bowl
karena banyaknya kepentingan dan rezim-rezim yang mampu tumpang tindih dalam tingkat
regional serta global. Sepeti misalnya saja penerapan Euro bagi negara-negara anggota di Uni
Eropa. Penerapan Euro kemudian tidak diberlakukan di seluruh anggota Uni Eropa, seperti
Britania Raya, sehingga menyebabkan tumpang tindihnya kebijakan-kebijakan yang telah
dibuat bersama. Keempat, negara-negara regionalisme juga dianggap condong untuk memilih
liberalisasi dalam rangka membuka pasar domestiknya dibandingkan liberalisasi di tingkat
global. Bila dilihat dari kegiatan perdagangan negara Britania Raya sendiri, Uni Eropa
merupakan partner kerjasama terbesar dibandingkan dengan negara-negara lainnya
(Workman, 2016). Padahal, belum tentu kerjasama perdagangan hanya sebatas intra-regional
saja. Dengan demikian, para kaum British Euroscepticism dalam hal ini lebih memilih untuk
menmbuat perjanjian perdagangan sendiri agar lebih leluasa. Terakhir, regionalisme juga bisa
saja menumbuhkan proteksionisme regional dan resisten politik terhadap liberalisasi dalam
tingkat global.
Terlepas dari pernyataan bahwa regionalisme mampu menjadi batu sandungan bagi anggotaanggotanya maupun liberalisasi global, kaum British Euroscepticism sendiri kemudian
mampu berhasil mempengaruhi hasi pemungutan suara agar Britania Raya meninggalkan

Raden Dicky Johar P. 071411231030 Ekonomi Politik Internasional Ujian Akhir Semester

regionalisme

Uni

Eropa.

Berikut

merupakan

poin-poin

mengapa

kaum

British

Euroscepticism menginginkan untuk lepas dari Uni Eropa. Pertama, kabar terkait referendum
atau Brexit sebenarnya telah muncul sejak 40 tahun lalu (Time, 2016). Kaum British
Euroscepticism pada umumnya berasal dari partai buruh yang memang menolak free market
union sejak awal. Menurut para buruh tersebut, bergabungnya Britania Raya dalam Uni
Eropa hanya merupakan permainan kapitalisme global saja. Selanjutnya, terdapat pula
penilaian bahwa Uni Eropa tidak mampu mengakomodasi kepentingan-kepentingan nasional
negara. Hal tersebut dapat dilihat dari biaya yang dikeluarkan oleh Britania Raya untuk Uni
Eropa begitu besar dibandingkan apa yang didapatkan. Surat kabar The Week (2016)
menyebutkan bahwa tahun lalu Britania Raya harus membayar sebesar 8,5 milyar
poundsterling untuk membership fee. Uang sebesar itu dianggap merupakan tujuh persen dari
anggaran belanja pemerintah untuk menunjang akses kesehatan nasional tiap tahunnya. Di
samping itu, kaum British Euroscepticism juga percaya bahwa membangun perjanjian
perdagangan sendiri dianggap akan lebih bebas dari pada harus mengikuti peraturanperaturan yang mengikat dalam Uni Eropa sendiri. Dalam sudut pandang politik sendiri,
kaum British Euroscepticism percaya bahwa keterlibatan Britania Raya dalam Uni Eropa
mengaruskan Britania Raya untuk memberikan sebagaian kontrol legitimasi dan
kedaulatannya untuk kebijakan bersama dengan negara-negara anggota Uni Eropa lainnya
(The Week, 2016). Hal tersebut selanjutnya berkaitan dengan isu selanjutnya, yakni terkait
permasalahan imigran. Hukum Uni Eropa disebut-sebut menyebabkan banyak masyarakat
dari negara-negara lain masuk ke dalam Britania Raya secara mudah. Peraturan dalam Uni
Eropa memang mendorong adanya pergerakan manusia secara mudah untuk mendapatkan
pekerjaan, terutama bagi masyarakat Eropa Timur yang kemudian masuk ke Britania Raya.
The Week (2016) menyebutkan bahwa terdapat 942.000 masyarakat dari Eropa Timur yang
bekerja di Britania Raya. Angka imigran yang begitu besar tersebut kemudian membuat para
kaum British Euroscepticism menjadi takut akan isu keamanan dan kehilangan pekerjaannya
karena semakin kompeten dan terintegrasinya masyarakat Eropa. Alhasil, faktor-faktor
tersebut berhasil mendorong masyarakat Britania Raya untuk memilih meninggalkan Uni
Eropa dalam pemungutan suara yang dilakukan pada tanggal 23 Juni 2016 lalu. Dari hasil
voting, terdapat 52 persen suara memilih untuk meninggalkan Uni Eropa serta sisanya
memilih untuk tetap bergabung (Time, 2016). Setelah pemungutan suara selesai
dilaksanakan, mata uang Britania Raya (Poundsterling) sendiri bahkan jatuh ke titik paling
rendah sejak tahun 1985. Hal tersebut tentunya menunjukkan bahwa terdapat pula pengaruh
atau dampak terhadap keinginan Britania Raya untuk keluar dari Uni Eropa.

Raden Dicky Johar P. 071411231030 Ekonomi Politik Internasional Ujian Akhir Semester

Kesimpulan
Ekonomi politik internasional merupakan salah satu kajian dalam ilmu Hubungan
Internasional yang membahas keterkaitan negara, pasar, maupun institusi-institusi ekonomi
dan perdagangan internasional. Dalam perkembangannya, globalisasi telah menciptakan
sebuah integrasi yang mendorong arus lalu lintas perdagangan barang, jasa, dan mobilisasi
manusia secara mudah. Integrasi dalam ekonomi politik internasional sendiri dapat dilihat
melalui adanya rezim-rezim internasional, seperti GATT yang kemudian menjadi WTO. Di
samping itu, model integrasi regional juga kian populer diterapkan di era kontemporer oleh
negara-negara di dunia. WTO sendiri tidak melarang pembentukan regionalisme karena
dianggap memiliki prinsip-prinsip free flow perdagangan internasional dan upaya liberasasi
yang memang diterapkan dalam institusi internasional tersebut. Salah satu model
regionalisme yang menjadi percontohan dunia adalah Uni Eropa. Uni Eropa pada awalnya
sendiri berasal dari Komunitas Batu Bara dan Baja yang hanya berfokus pada kegiatan
perdagangan dan ekonomi intra-kawasan. Seiring dengan perkembangannya, Komunitas
tersebut menjadi Komunitas Ekonomi Eropa dan bahkan mampu menyatukan kebijakan
moneter dan fiskalnya di bawah payung Uni Eropa seperti sekarang. Terlepas dari
pembentukan regionalisme Uni Eropa, Britania Raya sebagai salah satu anggota sejak tahun
1973 baru saja melakukan pemungutan suara untuk keluar dari Uni Eropa. Hasilnya pun,
lebih dari 50 persen masyarakat Britania Raya memilih untuk meninggalkan Uni Eropa.
Kaum British Euroscepticism yang merupakan anti-Uni Eropa tersebut menganggap bahwa
regionalisme di Eropa tersebut tidak mampu mengakomodasi kepentingan-kepentingan
nasional Britania Raya sendiri. Selain itu, mereka juga menganggap bahwa kedaulatan
Britania Raya sendiri harus dibagi mengingat terdapat penyatuan kebijakan untuk tingkat
supranational. Dengan demikian, kaum British Euroscpeticism semakin percaya bahwa
dengan terlibatnya Britania Raya dalam Uni Eropa, maka Britania Raya tidak dapat banyak
mengatur kebijakan politik dan ekonominya secara lebih bebas. Bila Britania Raya telah
menyelesaikan proses referendum dari Uni Eropa, lantas perekonomian dan perdangan
Britania Raya dan Uni Eropa akan mengalami gejolak yang kemudian juga mampu
mempengaruhi ekonomi politik internasional.

Raden Dicky Johar P. 071411231030 Ekonomi Politik Internasional Ujian Akhir Semester

Daftar Pustaka
Buku dan Artikel dalam Buku
Fawcett, Louise., 2005. Regionalism from an Historical Perspective, dalam Farrel, Mary et.
al., Global Politics of Regionalism Theory and Practice. London: Pluto Press.
Gilpin, Robert, 2001. The New Global Economic Order, dalam Global Political Economic
Understanding the International Economic Order. Priceton: Priceton
University Press. Hal. 3-24.
Leiteritz, Ralf J, 2005. International Political Economy: The State of the Art. Bogota:
Colombia Internacional. Hal. 50-63.
Ravenhill, John, 2008. Regionalism, dalam Global Political Economy. Oxford: Oxford
University Press. Hal. 172-209.
Smith, Steve dan John Baylis, 2001. Introduction, dalam Baylis, John dan Steve Smith
(eds.). The Globalization of World Politics. 2nd edition. Oxford: Oxford University
Press. Hal 5-27.
Winham, Gilbert R, 2008. The Evolution of the Global Trade Regime, dalam Ravenhill,
John, Global Political Economy. Oxford: Ofxord University Press. Hal. 137-171.
Artikel Jurnal dan Jurnal Elektronik
Awesti, Anil, 2009. The Myth of Eurosclerosis: European Integration in the 1970s
[online]. dalam
http://www.academia.edu/669935/The_Myth_of_Eurosclerosis_European_Integrati
o

n_in_the_1970s [diakses 25 Juni 2016].

Artikel Online
Campos, Nauro F., dan Fabrizio Coricelli, 2015. Why did Britain join the EU? A new
insight from economic history [online]. dalam
http://voxeu.org/article/britain-s-eu-membership-new-insight-economichistory

[diakses tanggal 25 Juni 2016].

Raden Dicky Johar P. 071411231030 Ekonomi Politik Internasional Ujian Akhir Semester
CBI, 2013. Benefits of EU membership outweigh costs [online]. dalam
http://news.cbi.org.uk/reports/our-global-future/factsheets/factsheet-2benefits-of-eu-

membership-outweigh-costs/ [diakses 25 Juni 2016].

Europa, 2016. The Founding Fathers of the EU [online]. dalam


http://europa.eu/about-eu/eu-history/index_en.htm [diakses 25 Juni 2016].
Media Massa Online
Economist, 2016. The roots of Euroscepticism [online]. dalam
http://www.economist.com/news/britain/21694557-why-britons-are-warierother-eur

opeans-eu-roots-euroscepticism [diakses 25 Juni 2016].

The Week, 2016. EU referendum pros and cons: Should Britain vote to leave
Europe?

[online]. dalam http://www.theweek.co.uk/eu-referendum [diakses

25 Juni 2016].
Time, 2016. These 3 Facts Explain Why the U.K. Held the Brexit Referendum
[online].

dalam

http://time.com/4381184/uk-brexit-european-union-

referendum-cameron/

[diakses 25 Juni 2016].

Lain-Lain.
Hennida,

Citra,

2016.

What

is

International

Political

Economy?,

materi

disampaikan

pada mata kuliah Ekonomi Politik Internasional pada tanggal

1 Maret 2016.

Universitas Airlangga.

UK

Government,

2005.

EU

Membership

and

FDI

[online].

dalam

https://www.gov.uk/government/uploads/system/uploads/attachment_data/file/22
096

6/foi_eumembership_fdi.pdf [diakses 25 Juni 2016].

Workman, Daniel, 2015. United Kingdoms Top Import Partners [online]. dalam
http://www.worldstopexports.com/united-kingdoms-top-importpartners/ [diakses 25

Juni 2016].

Anda mungkin juga menyukai