PENDAHULUAN
Acquired immunodeficiency syndrome (AIDS) adalah sindroma dengan gejala
penyakit infeksi oportunistik atau kanker tertentu akibat menurunnya sistem kekebalan tubuh
oleh infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV). Virus masuk kedalam tubuh manusia
terutama melalui perantara darah , semen, dan sekret vagina. Sebagian besar (75%) penularan
terjadi melalui hubungan seksual. HIV awalnya dikenal dengan nama Lymphadenopathy
associated virus (LAV) merupakan golongan retrovirus dengan materi genetik ribonucleic
acid (RNA) yang dapat diubah menjadi deoxyribonucleic acid (DNA) untuk diintegrasikan
ke dalam sel pejamu dan di program membentuk gen virus. Virus ini cenderung menyerang
sel jenis tertentu, yaitu sel-sel yang mempunyai antigen permukaan CD4, terutama Limfosit T
yang memegang peranan penting dalam mengatur dan mempertahankan sistem kekebalan
tubuh.
Infeksi HIV memberikan gambaran klinik yang tidak spesifik dengan spektrum yang
lebar, mulai dari infeksi tanpa gejala (asimptomatik) pada stadium awal sampai pada gejalagejala yang berat pada stadium yang lebih lanjut. Setelah diawali dengan infeksi akut,maka
dapat terjadi infeksi kronik asimptomatik selama beberapa tahun disertai replikasi virus
secara lambat. Kemudian, setelah terjadi penurunan sistem imun yang berat, maka terjadi
berbagai infeksi oportunistik dan dapat dikatakan pasien telah masuk pada keadaan AIDS.
Perjalanan penyakit lambat dan gejala-gejala AIDS rata-rata baru timbul 10 tahun sesudah
infeksi pertama, bahkan bisa lebih lama lagi.
Transmisi vertikal merupakan penyebab tersering infeksi HIV pada bayi dan anakanak di Amerika Serikat. Transmisi HIV dari ibu kepada janin dapat terjadi intrauterin (510%), saat persalinan (10-20%) dan pasca persalinan (5-20%). Kelainan yang dapat terjadi
pada janin adalah berat badan lahir rendah, bayi lahir mati, partus preterm, dan abortus
spontan. Tingkat infeksi HIV pada perempuan hamil di negara-negara Asia diperkirakan
belum melebihi 3-4%, tetapi epideminya berpotensi untuk menjadi lebih besar. Penelitian
prevalensi HIV pada ibu hamil di daerah miskin di Jakarta pada tahun 1999-2001 oleh
Kharbiati mendapatkan angka prevalensi sebesar 2,86%.
BAB II
HIV PADA KEHAMILAN
2.1.
Definisi
Virus penyebab adalah HIV merupakan virus yang secara progresif menghancurkan
sel-sel darah putih, sehingga melemahkan kekebalan manusia dan menyebabkan AIDS.
Orang yang terinfeksi virus ini menjadi rentan terhadap infeksi ataupun mudah terkena
tumor/kanker. Pada awalnya penularan HIV/AIDS di Indonesia terjadi melalui penularan
secara
horisontal
yaitu
melalui
cairan
tubuh
saat
terjadi
kontak
seksual
(heteroseksual/homoseksual) atau transfusi darah. Setelah itu, mulai terjadi penularan secara
vertikal yaitu dari ibu yang positif HIV/AIDS ke bayi. Pada tahun 2010, sekitar 390.000
anak-anak di bawah 15 tahun terinfeksi HIV. Sekitar 95% anak/bayi/neonatus yang positif
HIV/AIDS tertular dari ibunya.1,3,4 Salah satu intervensi untuk mencegah penularan dari ibu
penderita HIV/AIDS kepada bayinya yaitu melalui program PMTCT (Prevention of Mother
To Child Transmission of HIV). PMTCT ini sangat penting karena penularan HIV pada anak
sebagian besar (90%) terjadi secara vertikal, dan hanya sebagian kecil (10%) sisanya melalui
transfusi darah atau penggunaan jarum suntik yang tidak steril. 1,2
2.2.
Epidemiologi
Di banyak negara berkembang, HIV merupakan penyebab utama kematian perempuan usia
reproduksi. Pada tahun 2010 diperkirakan terdapat 57.000 ibu hamil terinfeksi HIV di
regional Asia Tenggara. Negara dengan high-burden penularan infeksi HIV dari ibu ke anak
seperti India, Thailand, Myanmar dan Indonesia menunjukan estimasi insidens HIV diantara
ibu hamil cenderung tetap selama lima tahun terakhir. Jumlah anak kurang dari 15 tahun yang
terinfeksi HIV sebesar 87.000 dengan estimasi infeksi HIV baru sebesar 48.000. Data
estimasi UNAIDS/WHO (2009) juga memperkirakan 22.000 anak di wilayah Asia-Pasifik
terinfeksi HIV dan tanpa pengobatan, setengah dari anak yang terinfeksi tersebut akan
meninggal sebelum ulang tahun kedua.2
Di Indonesia, infeksi HIV merupakan salah satu masalah kesehatan utama dan salah
satu penyakit menular yang dapat mempengaruhi kematian ibu dan anak. Human
Immunodeficiency Virus (HIV) telah ada di Indonesia sejak kasus pertama ditemukan tahun
1987. Sampai saat ini kasus HIV-AIDS telah dilaporkan oleh 341 dari 497 kabupaten/kota di
33 provinsi. Selain itu, Indonesia adalah salah satu negara di Asia dengan epidemi HIV/AIDS
2
yang berkembang paling cepat (UNAIDS, 2008) dan merupakan negara dengan tingkat
epidemi HIV terkonsentrasi, karena terdapat beberapa daerah dengan prevalensi HIV lebih
dari 5% pada subpopulasi tertentu dan prevalensi HIV tinggi pada populasi umum 15-49
tahun terjadi di Provinsi Papua dan Papua Barat (2,4%).4
2.3.
Etiologi
Virus HIV adalah retrovirus yang dulu disebut LAV (Lymphadenopathy Associated Virus)
HTLV III (Human T cell Lymphotropic Virus III) HIV tipe I dan II. LAV yang ditemukan
oleh Montagnier dkk. pada tahun 1983 di Perancis, sedangkan HTLV-III ditemukan oleh
Gallo di Amerika Serikat pada tahun berikutnya. Virus yang sama ini ternyata banyak
ditemukan di Afrika Tengah.1
Secara morfologik, virus ini berbentuk bulat, terdiri dari bagian inti (core) yang
berbentuk silindris dan selubung (envelope) yang berstruktur lipid bilayer yang membungkus
bagian core, dimana didalam core ini terdapat RNA virus ini. Karena informasi genetik virus
ini berupa RNA, maka virus ini harus mentransfer informasi genetiknya yang berupa RNA
menjadi DNA sebelum diterjemahkan menjadi protein-protein. Dan untuk tujuan ini HIV
memerlukan enzim reverse transkriptase.5
HIV merupakan virus yang secara progresif menghancurkan sel-sel darah putih,
sehingga melemahkan kekebalan manusia dan menyebabkan AIDS. Pada awalnya penularan
HIV/AIDS di Indonesia terjadi melalui penularan secara horisontal yaitu melalui cairan tubuh
saat terjadi kontak seksual (heteroseksual/homoseksual) atau transfusi darah. Setelah itu,
mulai terjadi penularan secara vertikal yaitu dari ibu yang positif HIV/AIDS ke bayi. 1,6,7 Salah
satu intervensi untuk mencegah penularan dari ibu penderita HIV/AIDS kepada bayinya yaitu
melalui program PMTCT (Prevention of Mother To Child Transmission of HIV). PMTCT ini
sangat penting karena penularan HIV pada anak sebagian besar (90%) terjadi secara vertikal
dan hanya sebagian kecil (10%) sisanya melalui transfusi darah atau penggunaan jarum
suntik yang tidak steril.
Penularan Prenatal
Penularan perinatal merupakan penularan dari ibu ODHA (Orang Dengan HIV AIDS) kepada
janin pada masa perinatal. Angka penularan pada masa kehamilan berkisar sekitar 5 10%,
saat persalinan sekitar 10 20% dan saat menyusui sekitar 30 - 45% bila disusui sampai 2
tahun. Penularan pada masa menyusui terjadi pada minggu minggu pertama menyusui,
terutama bila ibu baru terinfeksi saat menyusui.8
Bila ibu ODHA tidak menyusui bayinya, maka kemungkinan bayinya terinfeksi HIV
sekitar 15 30%, bila menyusui sampai 6 bulan kemungkinan terinfeksi 25 35%, dan bila
masa menyusui diperpanjang sampai 18 24 bulan maka resiko terinfeksi meningkat menjadi
30 45 %.
Pada kebanyakan wanita yang terinfeksi HIV, penularan tidak dapat melalui plasenta.
Umumnya darah ibu tidak bercampur dengan darah bayi, sehingga tidak semua bayi yang
dikandung ibu dengan HIV positif tertular HIV saat dalam kandungan. Plasenta bahkan
melindungi janin dari HIV, namun perlindungan ini dapat rusak bila ada infeksi virus, bakteri
ataupun parasit pada plasenta atau pada keadaan dimana daya tahan ibu sangat rendah.
Pada proses persalinan, terjadi kontak antara darah ibu, maupun lendir ibu dan bayi,
sehingga virus HIV dapat masuk ke dalam tubuh bayi. Semakin lama proses persalinan
berlangsung, kontak antara bayi dengan cairan tubuh ibu semakin lama, resiko penularan
semakin tinggi. ASI dari ibu yang terinfeksi HIV mengandung HIV dalam konsentrasi yang
lebih rendah dari yang ditemukan dalam darahnya, sehingga ibu dengan infeksi HIV
dianjurkan tidak menyusui bayinya dan diganti dengan susu pengganti ASI. Frekuensi
penularan melalui asi dari ibu ke bayi mencapai sekitar 15% dari populasi.8
4
2.5.
Seorang ibu yang terinfeksi HIV dengan kehamilan memiliki resiko untuk menularkan HIV
ke bayinya, yaitu:
A. Faktor Ibu
1. Jumlah virus (viral load)
Jumlah virus HIV dalam darah ibu saat menjelang atau saat persalinan dan jumlah
virus dalam air susu ibu ketika ibu menyusui bayinya sangat mempengaruhi penularan
HIV dari ibu ke anak. Risiko penularan HIV menjadi sangat kecil jika kadar HIV
rendah (kurang dari 1.000 kopi/ml) dan sebaliknya jika kadar HIV di atas 100.000
kopi/ml.
2. Jumlah sel CD4
Ibu dengan jumlah sel CD4 rendah lebih berisiko menularkan HIV ke bayinya.
Semakin rendah jumlah sel CD4 risiko penularan HIV semakin besar.
3. Status gizi selama hamil
Berat badan rendah serta kekurangan vitamin dan mineral selama hamil
meningkatkan risiko ibu untuk menderita penyakit infeksi yang dapat meningkatkan
jumlah virus dan risiko penularan HIV ke bayi.
Rekomendasi
hamil yang terinfeksi
HIV-AIDS
dilakukan :
Kehamilan 36 minggu
menunggu
hasil
diputuskan
seksio
sesarea,
seksio
diteruskan.
mendapat
antiretrovirus
Kadar HIV tetap di atas 1000
kehamilan
yang
meningkat,
seperti
infeksi
diputuskan
seksio
sesarea,
seksio
AIDS yang:
diberikan:
Sedang
mendapat
antiretrovirus
minggu ke 36 kehamilan.
cara
persalinan
harus
seksio
sesarea elektif
Namun
datang
pada
pecah.
elektrode
kepala,
monitor
Bayi
sebaiknya
mendapat
tinggi pada ibu terinfeksi HIV dengan gejala yang sangat berat dibanding ibu
terinfeksi HIV tanpa gejala. Beratnya keadaan penyakit ibu ditentukan dengan
menggunakan kriteria klinis dan jumlah partikel virus yang terdapat dalam plasma,
serta keadaan imunitas ibu. Ibu dengan gejala klinis penyakit AIDS yang sangat jelas
(dengan gejala berbagai penyakit oportunistik), jumlah muatan virus di dalam tubuh
>1000/mL, dan jumlah limfosit <200-350/mL dianggap menderita penyakit AIDS
sangat berat dan harus mendapat pengobatan antiretrovirus.5,9,10
c. Ibu yang menderita penyakit infeksi lain pada genitalia juga mempunyai risiko tinggi
untuk menularkan HIV-1 kepada bayinya. Misalnya, ibu yang menderita penyakit
sifilis atau penyakit genitalia ulseratif yang lain (seperti Herpes Simplex, infeksi
Cytomegalovirus (CMV), infeksi bakteri pada genitalia), juga mempunyai risiko
penularan vertikal lebih tinggi.5,9,10
d. Ibu yang mempunyai kebiasaan yang tidak baik mempunyai risiko tinggi untuk
menularkan infeksi HIV-1 kepada bayinya. Berdasarkan hasil penelitian, para ibu
yang merokok mempunyai risiko untuk menularkan HIV-1. Penularan vertikal juga
sering terjadi pada ibu pengguna obat terlarang. Demikian juga, ibu yang melakukan
hubungan seksual tanpa alat pelindung, terutama dengan pasangan yang bergantiganti, juga mempunyai risiko tinggi dalam penularan vertikal.9,10
2. Intrapartum:
a. Kadar maternal HIV-1 cerviko vaginal ,proses persalinan, pecah ketuban kasep,
persalinan prematur, penggunaan fetalscalp electrode, penyakit ulkus genitalia aktif,
laserasi vagina,korioamnionitis, dan episiotomi.
b. Proses persalinan bayi juga menentukan terjadinya risiko penularan vertikal. Bayi
yang lahir per vaginam dengan tindakan invasif seperti tindakan forsep, vakum,
penggunaan elektrode pada kepala janin dan episiotomi, mempunyai risiko lebih
tinggi untuk tertular HIV-1.5
c. Ibu yang menderita penyakit infeksi lain pada genitalia juga mempunyai risiko tinggi
untuk menularkan HIV-1 kepada bayinya. Misalnya, ibu yang menderita penyakit
sifilis atau penyakit genitalia ulseratif yang lain (seperti Herpes Simplex, infeksi
Cytomegalovirus (CMV), infeksi bakteri pada genitalia), juga mempunyai risiko
penularan vertikal lebih tinggi.10
3. Post partum melalui menyusui:
a. Telah diketahui air susu ibu degan infeksi HIV mengandung proviral HIV dan virus
bebas lainnya, sebagai faktor pertahanan seperti antibody terhadap HIV dan
glikoprotein yang menghambat ikatan HIV dengan CD4+. Kebanyakan kasus
9
penularan terjadi pada wanita yang diketahui negatif terhadap HIV akan tetapi
penularan terjadi saat pemberian air susu ibu. Sebetulnya pada ibu dengan infeksi
HIV, pemberian air susu ibu beresiko kecil untuk terjadi penularan oleh karena
terdapatnya antibodi terhadap HIV, bagaimanapun juga di Negara berkembang,
makanan formula menjadikan bayi memiliki resiko tinggi terkena infeksi yang lain,
air susu ibu merupakan pilihan terbaik. Pemilihan pemberian makanan pada bayi
dengan 2 strategi sebagai pencegahan penularan dari ibu kebayinya postnatal, dengan
pemberian zidovudine sebagai profilaksis selama 38 minggu. Ternyata didapatkan
pemberian air susu ibu dengan zidovudine sebagai profilaksis tidak efektif seperti
pemberian susu formula, akan tetapi bermakna dalam menurunkan angka kematian
pada 7 bulan pertama kehidupan, disimpulkan bahwa penularan postnatal dari infeksi
virus HIV-1 lewat pemberian air susu ibu dapat diturunkan dengan intervensi
pemberian ARV saat perinatal .5
b. Bayi yang diberikan ASI mempunyai risiko lebih tinggi daripada bayi yang diberi
susu formula atau makanan campuran (mixed feeding). Risiko akan lebih tinggi lagi
bila payudara ibu terinfeksi atau lecet (mastitis yang tampak secara klinis ataupun
subklinis). Di negara berkembang penularan melalui air susu ibu (ASI) cukup
memegang peranan penting. Sebagian besar masalah payudara dapat dicegah dengan
teknik menyusui yang baik. 10
4. Kehamilan dan cara melahirkan.
a. Resiko penularan terjadi pada kondisi korioamnionitis dan penyakit menular seksual.
Hal ini berhubungan dengan gangguan pertahanan pada plasenta dan kecenderungan
lahir prematur, serta dapat meningkatkan viral load pada organ genital. Disamping itu
pemilihan cara melahirkan, lamanya persalinan,kapan pecahnya ketuban, dan saat
proses kelahiran berjalan seorang bayi dapat terpapar darah ibu. Inflamasi pada daerah
serviks dan uretritis dapat meningkatkan deteksi sel yang terinfeksi HIV-A.8
b. Beberapa studi telah mempelajari penularan secara vertikal dari ibu kebayinya,
penularan melalui plasenta juga telah dipublikasikan. Terdapat beberapa faktor dari
ibu, diantaranya, viral load, antibody neutralizing, atau aktifitas sel T sitotoksik,
peranan plasenta melalui ekpresi FasL atau faktor tumor nekrosis berhubungan
dengan kejadian apoptosis menginduksi ligand atau ekspresi Apo2L dan faktor
plasenta seperti korioamnionitis, aktifitas supresi HIV, atau faktor fetus seperti
antibodi neutralizing atau HIV sel T spesifik sitotoksik.8
10
2.6.
Penatalaksanaan
1. Penanganan ante partum
a. Konseling
Pada konseling, ibu hamil diajak berkomunikasi dua arah dengan memberikan
informasi mengenai HIV dan hubungannya dengan kehamilan, tanpa mengarahkan,
dimana kemudian ibu hamil ini dapat mengambil keputusan mengenai kehamilannya dan
persalinannya. Pada kehamilan trimester pertama, konseling perlu dilakukan dengan
intensif untuk memutuskan apakah kehamilan akan diteruskan atau tidak.9
b. Pemberian obat anti virus
Tujuan
utama
pemberian
antiretrovirus
pada
kehamilan
adalah
menekan
Persalinan perabdomen
Syarat :
campuran hingga usia 24 bulan. Ibu pengidap HIV harus di sarankan mencegah kehamilan
berikutnya dengan alat kontrasepsi.9
4. ART pada kehamilan
Antiretrovirus direkomendasikan untuk semua wanita yang terinfeksi HIV-AIDS yang
sedang hamil untuk mengurangi resiko transmisi perinatal. Hal ini berdasarkan bahwa resiko
transmisi perinatal meningkat sesuai dengan kadar HIV ibu dan resiko transmisi dapat
diturunkan hingga 20% ( dari 25% menjadi 8%) dengan terapi antiretrovirus. 1,3
Tujuan
utama
pemberian
antiretrovirus
pada
kehamilan
adalah
menekan
15
Kategori C : Pada penelitian hewan ditemukan efek samping pada janin (teratogenik atau
embrisiodal atau lainnya) dan belum terdapat penelitian kontrol pada wanita
hamil atau belum terdapat penelitian efek samping obat pada hewan ataupun
wanita hamil. Obat kategori ini hanya diberikan jika keuntungannya melebihi
resiko potensial pada janin.
Kategori D : Terdapat bukti positif resiko efek samping pada janin manusia, namun
keuntungan pada wanita hamil dapat diterima dibandingkan resikonya terutama
untuk penyelamatan jiwa.
Berdasarkan pedoman PMTCT WHO 2010, pemberian ARV dimulai pada semua wanita
hamil dengan jumlah CD4 < 350 sel/mm3 atau stadium klinis 3 dan 4.
Tabel 4. Syarat Pemberian ART menurut PMTCT 2010
Stadium
Klinik WHO
1
2
3
4
Tidak Tersedia
Tes CD4
Tidak diobati
Tidak diobati
Diobati
Diobati
jika
jumlah
sel
CD4
<
350/mm3
Diobati tanpa memandang jumlah sel
CD4
ii.
iii.
b. Bayi
i.
ii.
2. Profilaksis Opsi B
a. Ibu:Triple ARV mulai 14 minggu hingga 1 minggu lepas ASI
16
b. Bayi:VP/AZT setiap hari sejak lahir hingga umur 4-6 minggu tanpa memandang
pemberian ASI atau tidak.
Menurut WHO tahun 2012, pemberian ARV mencakup dua options, yang keduanya harus
mulai lebih awal pada kehamilan, pada usia kehamilan 14 minggu atau segera mungkin
setelah ibu hamil.11
a. Opsi A, yaitu dua kali sehari pemberian AZT (zidovudin) untuk ibu dan untuk bayi
dengan pemberian salah satu dari AZT atau NVP selama enam minggu setelah lahir jika
bayi tidak menyusui. Jika bayi sedang menyusui, NVP harian profilaksis bayi harus
dilanjutkan selama satu minggu setelah berakhirnya periode menyusui.
b. Opsi B, yaitu pemberian ketiga jenis obat profilaksis untuk ibu yang dipakai selama
kehamilan dan selama menyusui serta untuk bayi pemberian NVP sekali sehari atau AZT
dua kali sehari selama empat sampai enam minggu setelah lahir.11
Tabel 5. Pemberian Antiretroviral pada ibu hamil dengan berbagai Situasi
Klinis
NO
1
Situasi klinis
ODHA dengan indikasi Terapi ARV
dan kemungkinan hamil atau sedang
hamil
3
4
5
Rekomendasi pengobatan
(paduan untuk ibu)
AZT + 3TC + NVP atau
TDF + 3TC(atau FTC) +
NVP
Hindari EFV pada trimester
pertama
AZT + 3TC + EVF* atau
TDF + 3TC (atau FTC) +
EFV*
Lanjutkan paduan (ganti
dengan NVP atau golongan
PI jika sedang
menggunakan EFV pada
trimester I)
Lanjutkan dengan ARV
yang sama selama dan
sesudah persalinan
ARV mulai pada minggu ke
14 kehamilan
Paduan sesuai dengan butir 1
Segera Mulai Terapi ARV
OAT yang sesuai tetap
diberikan
17
Keterangan :
*: Efavirenz tidak boleh diberikan pada ODHA hamil trimester pertama
Bayi
Bila diberikan ASI: NVP hingga 1 minggu lepas ASI
Tanpa pemberian ASI: AZT atau NVP x 6 minggu
Profilaksis Opsi B
Bayi: NVP/AZT setiap hari sejak lahir hingga umur 4-6 minggu tanpa
memandang pemberian ASI atau tidak.
Dosis obat :
AZT 4 mg/kgBB- setiap 12 jam
NVP 2 mg/kgBB (dosis tunggal)
Vaksinasi bayi
Setiap anak, termasuk yang terlahir dari ibu yang HIV-positif, seharusnya diberi
vaksinasi baku seperti anak lain. Vaksinasi ini boleh termasuk vaksin BCG yang
dapat diberi pada anak beberapa hari setelah lahir. Namun, bila ditunda, sebaiknya
vaksinasi BCG tidak diberikan pada anak yang menunjukkan gejala AIDS, misalnya
kurang bertumbuh, atau sering terkena infeksi.
Pemberian pengobatan secara dini dikaitkan dengan manfaat pencegahan klinis HIV,
keadaan ini dapat meningkatkan kelangsungan hidup dan mengurangi kejadian infeksi HIV
pada tingkat masyarakat. Pada pedoman WHO 2013 merekomendasikan bahwa program HIV
nasional yaitu memberikan ART bagi semua orang dengan diagnosis HIV konfirmasi dengan
jumlah CD4 500 sel/mm3, Pedoman ini memberikan prioritas untuk memulai ART bagi
mereka dengan penyakit HIV berat atau jumlah CD4 350 cells/mm3. Hal ini juga
dianjurkan untuk memulai ART pada orang dengan penyakit TB aktif dan koinfeksi HBV
dengan penyakit hati yang berat, semua wanita hamil dan menyusui dengan HIV, semua anak
dengan usia lima tahun hidup dengan HIV dan semua orang dengan HIV dalam hubungan
serodiskordan, tanpa memandang jumlah CD4.14
5.2 Pemberian ARV Pada Ibu Hamil & Menyusui
Rekomendasi Terbaru
1.
Semua wanita hamil dan menyusui dengan HIV harus memulai triple ARV yang harus
dipertahankan selaa terdapat risiko penularan dari ibu ke anak. Wanita yang memenuhi
kriteria diatas dan mendapatkan pengobatan ARV harus dilanjutkan seumur hidup.14
2.
Untuk alasan program dan operasional, semua wanita hamil dan menyusui dengan HIV
harus memulai ARV sebagai pengobatan seumur hidup. 14
3.
Di beberapa negara, pada wanita yang tidak memenuhi syarat untuk pemberian ARV
disarankan untuk menghentikan rejimen ARV selama risiko penularan dari ibu ke anak
risiko telah berhenti.14
Tabel 6. Rekomendasi Awal Pemberian ART Pada Remaja, Orang Dewasa, Ibu Hamil
dan Menyusui dan Anak-anak.14
19
20
Latar Belakang
Obat ARV yang digunakan untuk wanita hamil dan menyusui dengan HIV bertujuan
untuk menjaga kesehatan ibu dan mencegah anak terinfeksi. Manfaat lainnya untuk
mencegah penularan HIV secara seksual. Pedoman WHO PMTCT 2010 merekomendasikan
penggunaan ARV seumur hidup untuk perempuan yang memenuhi syarat dalam pengobatan
(berdasarkan kriteria kelayakan 2010, yaitu jumlah CD4 350 sel/mm3 atau berdasarkan
WHO stadium klinis penyakit 3 atau 4 ) dan pemberian ARV profilaksis untuk PMTCT bagi
wanita dengan HIV yang tidak memenuhi syarat untuk mendapatkan pengobatan. Bagi
mereka yang tidak memenuhi syarat untuk dua rejimen profilaksis yang direkomendasikan
adalah Opsi A, yaitu AZT untuk ibu selama kehamilan, dan dosis tunggal NVP ditambah
AZT dan 3TC untuk ibu saat melahirkan dan dilanjutkan selama seminggu postpartum, dan
"Opsi B" yaitu (triple obat ARV) bagi ibu selama kehamilan dan selama menyusui.
Profilaksis direkomendasikan untuk dimulai sedini mungkin, yaitu pada usia kehamilan 14
minggu, dan pilihan penggunaan profilaksis dilakukan selama empat sampai enam minggu
21
peripartum, yaitu diberikan obat NVP atau AZT untuk bayi, terlepas dari apakah ibu sedang
menyusui.14
Pada tahun 2011, di Malawi dilaksanakan program pendekatan terbaru untuk terapi ARV,
yaitu pemberian terapi ARV seumur hidup bagi semua ibu hamil dan menyusui dengan HIV
tanpa melihat jumlah CD4 atau status klinis, program tersebut dimasukkan dalam "Opsi B+".
Pedoman 2013 merekomendasikan terapi ARV (triple ARV) untuk semua ibu hamil dan
menyusui dengan HIV selama periode risiko penularan dari ibu ke bayi dan terapi ARV
digunakan seumur hidup. Opsi A tidak lagi dianjurkan.14
Lini Pertama Pemberian ART Untuk Ibu Hamil dan Menyusui dan Obat ARV Pada
Bayi
Rekomendasi Terbaru
1. Dosis tetap kombinasi dari TDF + 3TC (atau FTC) + EFV yang direkomendasikan
sebagai lini pertama ART pada wanita hamil dan menyusui adalah diberikan sekali sehari,
termasuk wanita hamil pada trimester pertama kehamilan dan wanita usia reproduksi.
Rekomendasi ini berlaku untuk pengobatan seumur hidup dan pemberian ART untuk
PMTCT dan kemudian dihentikan.14
2. Bayi dari ibu yang mendapatkan ART dan sedang menyusui harus mendapatkan terapi
profilaksis dengan NVP harian selama enam minggu. Jika bayi menerima makanan
pengganti, mereka harus diberikan terapi profilaksis harian selama empat sampai enam
minggu dengan NVP harian (atau AZT dua kali sehari). Profilaksis pada bayi harus
dimulai pada saat lahir atau ketika didapatkan HIV saat postpartum.14
Tabel 8. Pemberian Lini Pertama ART untuk Remaja, Dewasa, Ibu Hamil dan
Menyusui dan Anak-anak.14
22
Latar Belakang
23
Berdasarkan pedoman WHO tahun 2010 pada PMTCT direkomendasikan bahwa terdapat
empat pilihan rejimen yang berbeda untuk wanita hamil dan menyusui dengan HIV, yaitu :
AZT + 3TC atau TDF + 3TC (atau FTC) ditambah NVP atau EFV. Pemberian obat NVP
dikhawatirkan karena dapat memberikan efek toksik pada wanita hamil, maka rejimen yang
dianjurkan adalah triple ARV pada PMTCT yaitu : AZT + 3TC atau TDF + 3TC (atau FTC) +
EFV sebagai rejimen NNRTI. Rejimen alternatif adalah AZT + 3TC ditambah LPV/r atau
ABC.14
Berdasarkan pedoman WHO 2010 direkomendasikan bahwa pemberian profilaksis yaitu
NVP (atau AZT) selama empat sampai enam minggu sebagai post exposure profilaksis
diberikan kepada semua bayi baru lahir dari ibu yang menerima rejimen triple ARV bertujuan
untuk keperluan pengobatan dan pencegahan. Pemberian profilaksis NVP harian pada bayi
baru lahir dan selama menyusui direkomendasikan jika ibu tidak menerima pengobatan triple
ARV.14
Alasan & Bukti Pendukung
Rejimen lini pertama yang ideal untuk wanita hamil dan menyusui dengan HIV yaitu
tersedia sebagai kombinasi dosis tetap, aman bagi wanita hamil dan menyusui dan pada bayi
mereka. Rejimen TDF + 3TC (atau FTC) + EFV tersedia sebagai kombinasi dosis tetap sekali
sehari dan merupakan rekomendasi rejimen lini pertama untuk orang dewasa karena mudah
terjangkau. Keselamatan pada bayi merupakan isu penting untuk wanita hamil dan menyusui
dan pada bayi mereka serta wanita yang akan hamil. Meskipun data menyebutkan bahwa
pemberian EFV dan TDF digunakan terbatas pada ibu hamil, lebih banyak data telah tersedia
sejak tahun 2010 dan memberikan peningkatan jaminan untuk merekomendasikan TDF +
3TC (atau FTC) + EFV sebagai lini pertama rejimen ARV untuk wanita hamil dan
menyusui.14
Tabel 9. Dosis Rekomendasi Pemberian Profilaksis Pada Bayi Baru lahir : NVP.14
Infant age
Daily dosing
Birtha to 6 weeksb
1. Birthweight 2000-2499 g
2. Birthweight 2500 g
> 6 weeks to 6 monthsc
> 6 months to 9 months
> 9 months until breastfeeding
ends
10 mg once daily
15 mg once daily
20 mg once daily
30 mg once daily
40 mg once daily
a infants weighing <2000 g should receive mg/kg dosing; the suggested starting dose is 2 mg/kg once daily.
b recommended for 6 weeks, but 4 weeks may be considered in setting with replacement feeding.
c dosing beyond 6 weeks of age in special situations in which prolonged dosing of to 12 weeks should be considered (such as the mother
24
had limited ART and not being likely to be virally suppressed;the infants is identified as HIV exposed after birth and is breastfeeding.
This is based on the dosing required to sustain exposure among infants of>100ng/ml with the least dose change
Tidak ada data baru menginformasikan perubahan dalam rekomendasi pada profilaksis
pada bayi. Untuk bayi menyusui, dianjurkan pemberian NVP selama enam minggu, karena
bayi menerima makanan pengganti empat sampai enam minggu, pemberian NVP atau AZT
tetap direkomendasikan. Jika terjadi efek toksisitas dari NVP pada bayi maka harus dilakukan
penghentian obat, obat tersebut dapat digantikan dengan 3TC. Beberapa studi telah aman
digunakan profilaksis bayi selama menyusui dengan 3TC.14
Aturan pengobatan Alternatif: toksisitas, intoleransi atau kurangnya ketersediaan
rejimen yang direkomendasikan. 14
AZT direkomendasikan sebagai NRTI alternatif bagi wanita yang tidak hamil dan
yang tidak bisa menerima TDF. Mengingat bahwa AZT bersifat aman pada wanita hamil dan
menyusui. Untuk wanita yang tidak hamil dan yang tidak bisa menggunakan EFV, yang
direkomendasikan adalah NNRTI alternatif, yaitu NVP. Namun, karena ART (triple ARV)
sekarang dianjurkan untuk wanita hamil dan menyusui tidak memandang jumlah CD4,
kekhawatiran pemberian NVP tetap tinggi pada ibu hamil dengan jumlah CD4 yang tinggi.
14
25
Meskipun pedoman 2010 menyatakan bahwa manfaat dari NVP sangat berisiko untuk
wanita dengan jumlah CD4 250-350 sel/mm3. Data keamanan pada perempuan dengan
jumlah CD4 350 sel/mm3 sangat terbatas, dan telah ditemukan efek toksik pada hepar
yang mengancam nyawa ketika NVP digunakan setelah terpapar infeksi HIV dengan jumlah
CD4 yang tinggi. Namun, tinjauan sistematis baru-baru ini menyebutkan bahwa risiko
toksisitas nevirapin pada wanita hamil menunjukkan frekuensi efek samping yang tidak
lebih tinggi dari populasi dewasa umumnya.14
Tabel 11. Perbedaan Pemberian ARV Profilaksis Pada Ibu dan Bayi Berdasarkan
Skenario Klinik.14
26
Tabel 12. Algoritma Rekomendasi untuk Wanita Hamil dan Menyusui Menurut WHO
2013. 14
Tabel 13. Algoritma Rekomendasi untuk Wanita Hamil dan Menyusui Menurut WHO
2013. 14
27
14. Algoritma Rekomendasi 2013 Penatalaksanaan HIV pada Remaja dan Dewasa.14
28
2.7.
29
Pada bayi pemeriksaan serologis standar seperti IgG anti-HIV dan Western Blot tidak dapat
digunakan untuk menegakkan diagnosis sebelum usia 18 bulan. Hal ini disebabkan masih
dapat ditemukannya IgG anti-HIV ibu yang melewati plasenta di darah bayi, bahkan sampai
usia 24 bulan. Sedangkan IgA dan IgM anti-HIV tidak dapat melewati plasenta, sehingga
dapat digunakan untuk konfirmasi diagnosis bila ditemukan pada bayi. Akan tetapi,
sensitivitas kedua pemeriksaan ini masih rendah. 4
Pada bayi di bawah usia 18 bulan, pemeriksaan yang dapat dilakukan antara lain
kultur HIV, teknik PCR (Polymerase chain Reaction) untuk mendeteksi DNA atau RNA HIV
dan deteksi antigen p24.2 Infeksi HIV ditegakkan bila dua sample dari dua kali pemeriksaan
yang berbeda dengan kultur, DNA HIV atau RNA HIV menunjukkan hasil positif. Disebut
tidak terinfeksi bila dua macam sampel tes yang berbeda menunjukkan hasil negatif. 2,4
Pada bayi usia 18 bulan keatas, infeksi HIV ditegakkan jika pemeriksaan antibodi
menetap atau bayi meninggal akibat penyakit terkait HIV. Disebut tidak terinfeksi bila dua
kali pemeriksaan antibodi menunjukkan negatif. Pemeriksaan antibodi ini kemudian
dilanjutkan dengan konfirmasi pemeriksaan Western Blot.2
Di Indonesia untuk mendefinisikan kasus HIV pada anak dipakai kriteria
WHO/UNAIDS:5
Anak berumur 18 bulan atau kurang :
Ditemukan 2 gejala mayor yang berkaitan dan 2 gejala minor dengan ibu yang HIV positif.
Gejala ini bukan disebabkan oleh keadaan lain yang tidak berkaitan dengan infeksi HIV.
Anak berumur diatas 18 bulan :
Menunjukkan tes HIV yang positif dan sekurang-kurangnya didapatkan 2 gejala mayor dan 2
gejala minor dibawah ini dengan ibu HIV positif dan gejala tersebut bukan disebabkan oleh
keadaan lain yang tidak berkaitan dengan infeksi HIV.
Gejala mayor :
1. Berat badan menurun atau gagal tumbuh
2. Diare terus menerus atau berulang dalam waktu lebih dari 1 bulan
3. Demam terus menerus atau berulang dalam waktu lebih dari 1 bulan
4. Infeksi saluran pernafasan bagian bawah yang parah atau menetap
Gejala minor :
30
BAB 3
KESIMPULAN
31
HIV/AIDS adalah suatu sindrom defisiensi imun yang ditandai oleh adanya infeksi
oportunistik dan atau keganasan yang tidak disebabkan oleh defisiensi imun primer atau
sekunder atau infeksi kongenital melainkan oleh human immunodeficiency virus. Penyebab
dari virus ini adalah dari retrovirus golongan retroviridae, genus lenti virus. Terdiri dari HIV1 dan HIV-2.
HIV dapat menular dari ibu ke bayi, namun kebanyakan penularan terjadi saat
persalinan (waktu bayinya lahir). Selain itu, bayi yang disusui oleh ibu terinfeksi HIV dapat
juga tertular HIV. Ada beberapa faktor risiko yang meningkatkan kemungkinan bayi
terinfeksi HIV. Yang paling mempengaruhi adalah viral load (jumlah virus yang ada di dalam
darah) ibunya, namun risiko penularan lebih tinggi pada saat persalinan, karena bayi
tersentuh oleh darah dan cairan vagina ibu waktu melalui jalan lahir. Intervensi untuk
membantu persalinan yang dapat melukai bayi, misalnya vakum, dapat meningkatkan risiko.
Karena air susu ibu (ASI) dari ibu terinfeksi HIV mengandung HIV, juga ada risiko penularan
HIV melalui menyusui.
Pemeriksaan laboratorium yang dapat dipakai untuk membantu menegakkan
diagnosis adalah yang dapt menemukan virus atau partikelnya dalam tubuh seorang bayi.
Meskipun beberapa tes dapat mendeteksi HIV di tubuh bayi pada usia dini, tes tersebut
(seperti tes PCR) belum secara luas tersedia di Indonesia. Adapun pemeriksaan penunjang
yang dilakukan adalah pemeriksaan serologi HIV. Pemeriksaan antibodi HIV paling banyak
menggunakan metoda ELISA/EIA (enzyme linked immunoadsorbent assay). Pemeriksaan
ELISA harus menunjukkan hasil positif 2 kali (reaktif) dari 3 test yang dilakukan, kemudian
dilanjutkan dengan pemeriksaan konfirmasi yang biasanya dengan memakai metoda Western
Blot. ELISA yang sangat sensitif dan Western Blot yang sangat spesifik mutlak dilakukan
untuk menentukan apakah seseorang positif AIDS.
World Health Organization (WHO) menyebutkan bahwa PMTCT (programmes of the
Prevention of Mother to Child Transmission), dapat menurunkan penularan vertikal HIV, juga
menghubungkan wanita dengan infeksi HIV, anak, serta keluarganya, untuk memperoleh
pengobatan, perawatan, serta dukungan.
DAFTAR PUSTAKA
32
1. Setiawan IM. Tatalaksana Pencegahan Penularan Vertikal dari Ibu Terinfeksi HIV ke
Bayi yang Dilahirkan. Maj Kedokt Indon, Vol : 59, No: 10. 2009. P:489-94
2. Ditjen PP & PL Kementrian Kesehatan. Laporan Perkembangan Situasi HIV & AIDS di
Indonesia Triwulan 2 Tahun 2011. 2011. Jakarta: Ditjen PP & PL Kementrian Kesehatan.
3. World Health Organization. Antiretroviral Drugs for Treating Pregnant Woman and
Preventing HIV Infections in Infant 2010 Version. 2010. Austria: Department of
HIV/AIDS WHO.
4. AVERT. Preventing Mother to Child Transmision of HIV (PMTCT). [online] 2011. [cited
3 Jan 2014]. Avalaible from: http://www.avert.org/motherchild.htm.
5. Gondo HK. Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Bayi. 2009. Surabaya: Fakultas
Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma.
6. Romadona N.F. Penyakit HIV/AIDS pada Anak. [online] 2010. [cited 2 Jan 2014].
Available
from:
http://repository.upi.edu/operator/upload/pro_2011_iecs_nur_aids_pada_anakx.pdf.
7. Altfeld M. And Walker B.D. Acute HIV-1 Infection. In : HIV Medicine. Paris: Flying;
2007. P. 34-7.
8. Preiser W and Korsman S. HIV Testing. In : HIV Medicine. Paris: Flying; 2007. P. 41-51.
9. Catie, Womens Health. HIV and Pregnancy : General Information. [cited 2 Jan 2014];
Available from: www.catie.ca.
10. USAIDS. Prevention of Mother to Child Transmision (PMTCT) of HIV. [online] 2011.
[cited 2 Jan 2014]. Avalaible from: http://www.usaid.org.
11. Esiru G. The New National Guidelines (2010) for PMTCT and Infant Feeding in The
Context of HIV. [online] 2011. [cited 29 Disember 2013]. Avalaible from:
http://www.aidsmap.com/New-WHO-guidelines-on-PMTCT-and-infantfeeding/page/1436978/
12. Family Health International. Preventing Mother to Child Transmission of HIV, A Strategic
Framework. Arlington, University of North Carolina. 2004. p. 1-10.
13. Medik DBPP. Pedoman Diagnosis Laboratorium Bayi dan Anak Usia Kurang dari 18
Bulan Terpapar HIV. In: Indonesia KR, editor. Jakarta,2009. p. 1-10.
14. World Health Organization. Consolidated guidelines on the use of antiretroviral drugs for
treating and preventing HIV infection. Departement of HIV/AIDS, WHO. 2013. Avalaible
from: http://www.who.int/hiv/pub/guidelines/arv2013/download/en/
33