Tempe merupakan bahan makanan hasil fermentasi kacang kedelai atau jenis kacangkacangan lainnya menggunakan jamur Rhizopus oligosporus dan Rhizopus oryzae. Bahan yang
biasa digunakan dalam pembuatan tempe adalah kacang kedelai. Tujuan dari percobaan ini adalah
membuat tempe dari kacang kedelai dan kacang merah serta mengetahui pengaruh bahan dasar,
media pembungkus, banyaknya ragi, dan pengeringan terhadap pembuatan tempe.
Tempe mempunyai ciri-ciri berwarna putih, tekstur kompak dan flavor spesifik. Tempe
mengandung berbagai nutrisi yang diperlukan oleh tubuh seperti protein, lemak, karbohidrat, dan
mineral. Hal-hal yang mempengaruhi dalam pembuatan tempe adalah bibit tempe yang digunakan
harus masih aktif, kondisi lingkungan pendukung, proses pengelupasan kulit, dsb.
Bahan yang digunakan untuk membuat tempe adalah kacang kedelai, kacang merah, ragi
tempe, plastik, daun pisang, daun jati, dan kertas karton. Langkah kerja yang pertama mencuci
kacang kedelai dan kacang merah kemudian mengupas kulitnya sampai bersih. Setelah bersih dari
kulitnya, direbus selama 30 menit kemudian dikeringkan pada suhu ruangan dan suhu 50 oC pada
oven. Kacang dicampur dengan ragi tempe dibungkus dengan pembungkus yang berbeda kemudian
disimpan selama 2 hari. Respon yang diamati adalah tekstur miseloim, warna, dan aroma tempe.
Dari hasil percobaan didapat pada variabel 1 (kedelai, pembungkus daun pisang, dan ragi
1%) mendapat nilai 3,3,3 untuk warna, tekstur, dan aroma pada hari ke 3 dengan penurunan berat
0,96 dan 0,93. Pada variabel 4 (kedelai, pembungkus plastik, ragi 1%) mendapat nilai 3,2,3 untuk
warna, tekstur, dan aroma pada hari ke 3 dengan penurunan berat 0,99 dan 0,98. Pada variabel 6
(kedelai, pembungkus daun jati, ragi 1%) mendapat nilai 3,3,4 untuk warna, tekstur, dan aroma
pada hari ke 3 dengan penurunan berat 0,91 dan 0,85. Pada variabel 8 (kedelai, pembungkus
kertas karton, ragi 1%) mendapat nilai 2,3,3 untuk warna, tekstur, dan aroma pada hari ke 3
dengan penurunan berat 0,88 dan 0,77.
Kesimpulan yang didapat adalah pertambahan waktu fermentasi akan menyebabkan
penurunan berat tempe, bahan baku yang paling sesuai untuk pembuatan tempe (dari variabel
percobaan kami) adalah kacang kedelai, pembungkus yang paling baik untuk digunakan adalah
daun jati karena pada daun jati terdapat antosianin sebagai antioksidan, ragi yang dibutuhkan
adalah 2% dari berat tempe, dan pengeringan pada suhu 60 0 C lebih baik daripada pengeringan
biasa dengan suhu ruangan. Sebagai saran, pada saat pengeringan, tempe dihamparkan dengan
ketinggian 1 sampai 2 cm, pada saat pemberian ragi, diusahakan agar pemberian ragi tersebut
merata, pemberian aerasi pada pembungkus jangan terlalu besar karena menyebabkan oksigen
yang masuk terlalu banyak, dan sebaiknya saat inkubasi digunakan suhu ruangan.
BAB I
PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang
Tempe merupakan bahan makanan hasil fermentasi kacang kedelai atau jenis kacangkacangan lainnya menggunakan jamur Rhizopus oligosporus dan Rhizopus oryzae. Bahan yang
biasa digunakan dalam pembuatan tempe adalah kacang kedelai. Tempe mempunyai ciri-ciri
berwarna putih, tekstur kompak dan flavor spesifik. Tempe mengandung berbagai nutrisi yang
diperlukan oleh tubuh seperti protein, lemak, karbohidrat, dan mineral.
Bahan dasar untuk membuat tempe adalah bahan baku, pembungkus, dan air. Hal-hal
yang mempengaruhi dalam pembuatan tempe adalah bibit tempe yang digunakan harus masih
aktif, kondisi lingkungan pendukung, proses pengelupasan kulit, dsb. Tempe yang mempunyai
kualitas baik memiliki tekstur yang lembut dan antar kacang-kacangan terikat erat menjadi satu
dalam miselium putih, aromanya berbau khas tempe dan tidak menghasilkan ammonia
berlebihan, warnanya kuning, dan tidak menghasilkan rasa manis berlebihan. Manfaat tempe
adalah untuk mengatasi diare, menurunkan tekanan darah, dsb.
I.2. Tujuan Percobaan
1. Membuat tempe dari kacang kedelai dan kacang merah
2. Mengetahui pengaruh bahan dasar, media pembungkus, banyaknya ragi, dan pengeringan
terhadap pembuatan tempe
I.3. Manfaat Percobaan
1. Mahasiswa mampu membuat tempe dari kacang kedelai dan kacang merah
2. Mahasiswa mampu mengetahui pengaruh bahan dasar, media pembungkus, banyaknya ragi,
dan pengeringan terhadap pembuatan tempe
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1. Sejarah dan Pengertian Tempe
Sejarah Jawa kuno yang ditulis oleh Ranggasutrasno (dikutip:Astuti et al.) mencatat
awal mula pembuatan tempe sebagai produk fermentasi menggunakan ragi tempe dan
termasuk dalam pola makan sehari-hari pada populasi di Jawa Tengah sejak tahun 1700.
Kurun waktu setelah itu tempe yang dibuat dari kacang kedelai (soybean, glycine max,
glycine soya) telah dimanfaatkan sebagai pengganti atau penambah sumber protein hewani
atau nabati dalam pola makanan sehari hari.
Tempe merupakan bahan makanan hasil fermentasi kacang kedelai atau jenis kacangkacangan lainnya menggunakan jamur Rhizopus oligosporus dan Rhizopus oryzae. Bahan
yang biasa digunakan dalam pembuatan tempe adalah kacang kedelai. Biji kedelai tersusun
atas tiga komponen utama, yaitu kulit biji, daging (kotiledon), dan hipokotil dengan
perbandingan 8:90:2. Sedangkan komposisi kimia kedelai adalah 40,5% protein, 20,5%
lemak, 22,2% karbohidrat, 4,3% serat kasar, 4,5% abu, dan 6,6% air (Snyder and Kwon,
1987).
Tempe mempunyai ciri-ciri berwarna putih, tekstur kompak dan flavor spesifik. Warna
putih disebabkan adanya miselia jamur yang tumbuh pada permukaan biji kedelai. Tekstur
yang kompak juga disebabkan oleh miselia-miselia jamur yang menghubungkan antara bijibiji kedelai tersebut. Tempe mengandung berbagai nutrisi yang diperlukan oleh tubuh seperti
protein, lemak, karbohidrat, dan mineral. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa zat gizi
tempe lebih mudah dicerna, diserap, dan dimanfaatkan tubuh. Hal ini dikarenakan kapang
yang tumbuh pada kedelai menghidrolisis senyawa-senyawa kompleks menjadi senyawa
sederhana yang mudah dicerna oleh manusia seperti protein yang di ubah menjadi asam
amino (Kasmidjo, 1990).
Sepotong tempe mengandung berbagai unsur bermanfaat, seperti karbohidrat, lemak,
protein, serat, vitamin, enzim, daidzein, genisten, serta komponen antibakteri bermanfaat
untuk kesehatan. Selain itu, pada tempe juga terjadi peningkatan nilai gizi seperti kadar
vitamin B2, vitamin B12, niasin, dan asam pantorenat. Bahkan hasil analisis, gizi tempe
menunjukkan kandungan niasin sebesar 1.13 mg/100 gram berat tempe yang dapat dimakan.
Kandungan ini meningkat kurang lebih 2 kali lipat setelah kedelai difermentasi menjadi
tempe.
II.2. Landasan Teori
Teori Rhizopus oryzae
Inokulum yang biasa digunakan dalam pembuatan tempe adalah Rhizopus oryzae. Klasifikasi
Rhizopus oryzae menurut Germain (2006) adalah sebagai berikut:
Kingdom : Fungi
Divisio
: Zygomycota
Class
: Zygomycetes
Ordo
: Mucorales
Familia
: Mucoraceae
Genus
: Rhizopus
Species
: Rhizopus oryzae
Menurut Soetrisno (1996) sifat-sifat jamur Rhizopus oryzae yaitu koloni berwarna putih
berangsur-angsur menjadi abu-abu; stolon halus atau sedikit kasar dan tidak berwarna hingga
kuning kecoklatan; sporangiofora tumbuh dari stolon dan mengarah ke udara, baik tunggal
atau dalam kelompok (hingga 5 sporangiofora); rhizoid tumbuh berlawanan dan terletak pada
posisi yang sama dengan sporangiofora; sporangia globus atau sub globus dengan dinding
berspinulosa (duri-duri pendek), yang berwarna coklat gelap sampai hitam bila telah masak;
kolumela oval hingga bulat, dengan dinding halus atau sedikit kasar; spora bulat, oval atau
berbentuk elips atau silinder; suhu optimal untuk pertumbuhan 35 0C, minimal 5-70C dan
maksimal 440C. Berdasarkan asam laktat yang dihasilkan Rhizopusoryzae termasuk mikroba
heterofermentatif (Kuswanto dan Slamet, 1989).
-
5. Kain lap yang kotor dapat sebagai sumber kontaminan, sehingga kegagalan proses dapat
terjadi, karena kapang yang kita berikan kalah bersaing dengan mikroba kontaminan.
6. Pemilihan jenis pembungkus tertentu perlu mendapat perlakuan khusus dalam
penggunaannya, misalnya jika digunakan daun pisang umumnya tidak perlu dilubangi,
karena udara tetap masih dapatberpenetrasi kedalam tempe, namun jika digunakan plastik
yang umumnya kedap udara, maka perlu dilubangi terlebih dahulu sehingga udara dapat
masuk kedalam tempe, karena mikroba tempe adalahaerob artinya mikroba tersebut
memerlukan oksigen untuk kehidupan dan pertumbuhannya.
-
Air
Air merupakan kebutuhan yang sangat penting dalam industri tempe (rata-rata
kebutuhan antara kedelai : air = 1: 12 ), yang berguna untuk perendaman, perebusan,
pencucian, dll. Air yang digunakan hendaknya yang memenuhi persyaratan air untuk industri
pangan atau untuk air minum.
Umumnya kapang tempe tumbuh baik pada kondisi air yang sedikit mengandung klorin
dan mineral. Namun perlu diingat bahwa air yang mendapatkan perlakuan klorinasi yang
terlalu kuat dan juga air yang kesadahannya tinggi dapat menyebabkan kegagalan proses
pembuatan tempe, karena kapang tempe dapat terhambat pertumbuhannya atau bahkan mati
pada air yang berkadar klorin dan bersadah tinggi, karena klorin merupakan bahan yang
tergolong zat antimikroba/ desinfektan.
menggumpal ).
Kondisi lingkungan pendukung yang terdiri dari suhu 30C, pH awal 6.8, kelembaban
nisbi 70-80%.
Proses pengelupasan kulit dimaksudkan untuk mempercepat proses fermentasi agar
berjalan dengan baik karena adanya kulit kedelai yang dapat menghambat proses
penetrasi miselium Rhizopus.
Fermentasi akan berjalan baik pada kisaran suhu hangat ruangan karena proses insersi
lag phase membutuhkan suhu yang cukup. Jika suhu dibawah 25oC dapat mempercepat
Aspergillus flavus dan Mycotoxin yang beracun.
Warna kuning khas tempe merupakan hasil biosintesis -carotene dan Rhizopus
Tekstur : lembut dan antar kacang-kacangan terikat erat menjadi satu dalam
miseliumputih
Aroma
Warna
Rasa
dasar tempe
: mengandung spora Rhizopus oligosporus sebagai
c. Air
mengatasi diare.
Mengandung zat besi, flafoid yang bersifat antioksidan sehingga menurunkan tekanan
darah.
Mengandung superoksida desmutase yang dapat mengendalikan radikal bebas, baik bagi
penderita jantung.
Penanggulangan anemia. Anemi ditandai dengan rendahnya kadar hemoglobin karena
kurang tersedianya zat besi (Fe), tembaga (Cu), Seng (Zn), protein, asam folat dan
: Plant Kingdom
Divisio
: Spermatophyta
Subdivisio
: Angiospermae
Kelas
: Dicotyledonae
Subkelas
: Calyciflorae
Ordo
: Rosales (Leguminales)
Famili
: Leguminosae (Papilionaceae)
Subfamili
: Papilionoideae
Genus
: Phaseolus
Spesies
: Phaseolus vulgaris L
Berbagai jenis kacang-kacangan secara umum memiliki kandungan protein yang tinggi,
begitu juga dengan kacang merah. Kacang merah mampu memberikan protein yang setara
dengan daging, walaupun jenis protein yang terkandung di dalamnya adalah jenis protein tidak
lengkap. Namun, setidaknya ada terdapat 1 Asam Amino Essensial pada kacang merah,
sehingga mampu membantu melengkapi kekurangan komponen protein (Asam amino) pada
kacang merah. Dalam 100 gr kacang merah kering, mampu menyumbangkan 4 gr serat, yang
terdiri atas campuran serat larut dan serat tak larut. Serat larut berfungsi menurunkan
konsentrasi kolesterol dan gula darah. Serat larut mengalami proses fermentasi dalam usus
besar, kemudian menghasilkan asam-asam lemak rantai pendek, yang dapat menghambat
sintesis kolesterol hati.
Kacang merah hampir bebas lemak jenuh dan kolesterol, dan memiliki Indeks Glikemik
(IG) atau angka untuk mengukur efek makan terhadap konsentrasi gula darah yang rendah,
yaitu 22-32. Di dalam usus, kacang merah 14 dicerna secara lambat, sehingga gula darah
meningkat lebih lama dan insulin sebagai hormon pengatur metabolisme karbohidrat yang
dibutuhkan lebih sedikit dibandingkan dengan kebanyakan makanan yang kaya karbohidrat
Tabel 2.1. Kandungan Gizi 100 gr Kacang Merah
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
Kandungan protein dalam kedelai kuning bervariasi antara 31-48% sedangkan kandungan
lemaknya bervariasi antara 11-21%. Antosianin kulit kedelai mampu menghambat oksidasi
LDL kolesterol yang merupakan awal terbentuknya plak dalam pembuluh darah yang akan
memicu berkembangnya penyakit tekanan darah tinggi dan berkembangnya penyakit jantung
koroner.
Komposisi kimiawi kedelai kering per 100 g biji dapat di lihat pada tabel di bawah ini:
Tabel 2.2. Komposisi Kimiawi Kedelai Kering per 100 gr Biji
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Komposisi
Kalori (kkal)
Protein (g)
Lemak (g)
Karbohidrat (g)
Kalsium (mg)
Forfor (mg)
Besi (mg)
Vitamin A (SI)
Vitamin B1 (mg)
Air (g)
Jumlah
331,0
34,9
18,1
34,8
227,0
585,0
8,0
110,0
1,1
7,5
BAB III
METODOLOGI PERCOBAAN
III.1. Bahan dan Alat yang digunakan
III.1.1. Bahan yang digunakan
- Kacang kedelai 9 x @80 gram
- Kacang merah 9 x @80 gram
- Ragi tempe
- Daun pisang
III.1.2. Alat yang digunakan
- Panci
- Kain
- Kompor listrik
- Plastik
- Daun jati
- Kertas karton
Panci
Kain
Kompor Listrik
Variabel tetap:
- Jumlah basis bahan baku sebanyak 80 gram
- Aerasi kurang lebih 2 cm
- Inkubasi 48 jam
Variabel kontrol:
- Pembungkus: plastik, kertas karton, daun pisang, dan daun jati
- Bahan baku: kacang merah dan kacang kedelai
- Ragi tempe: 1% V dan 2% V
- Pengeringan: biasa dan dioven pada suhu 50o C selama 10 menit
6. Kacang kedelai akan mendingin jika tampak kering ( tidak kering lagi ) maka sudah bisa
diinokulasi.
7. Menambahkan ragi tempe.
8. Mengaduk sampai rata.
9. Membungkus dengan pembungkus ( sesuai variabel ), inkubasi selama 3 hari.
10. Mencatat dan mengamati perubahan setiap harinya ( berat, warna, aroma, tekstur miselium
pada tempe ).
BAB IV
HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN
IV.1. Hasil Percobaan
Tabel IV.1.1. Pengamatan Fermentasi Tempe pada Hari ke 0, ke 1 dan ke 2
Skala Pengamatan
Massa Tempe (gram)
Var
Tekstur
Miselium
Warna
Keterangan
Aroma
Hari ke
0
Kedelai,
pembungkus daun
pisang, ragi 1%
93,41
89,45
86,47
Kedelai,
pembungkus daun
pisang, ragi 2%,
pengeringan biasa
87,87
83,20
74,54
Kedelai,
pembungkus daun
pisang, ragi 2%,
pengeringan oven
90,51
87,89
84,50
Kedelai,
pembungkus
plastik, ragi 1%
80,68
80,15
79,68
Kedelai,
pembungkus
plastik, ragi 2%
81,77
81,09
80,48
Kedelai,
pembungkus daun
jati, ragi 1%
101,8
92,92
86,26
Kedelai,
pembungkus daun
jati, ragi 2%
94,88
82,2
72,45
Kedelai,
pembungkus kertas
karton, ragi 1%
85,02
75,09
65,88
Kedelai,
pembungkus kertas
karton, ragi 2%
85,87
75,01
64,41
10
Kacang merah,
pembungkus daun
pisang, ragi 1%
24,1
21,64
20,17
11
Kacang merah,
pembungkus daun
pisang, ragi 2%,
pengeringan biasa
97,05
89,19
84,34
12
Kacang merah,
pembungkus daun
pisang, ragi 2%,
pengeringan oven
93,89
88,48
84,40
13
Kacang merah,
pembungkus
plastik, ragi 1%
80,92
77,83
76,16
14
Kacang merah,
pembungkus
plastik, ragi 2%
82,30
79,11
77,23
15
Kacang merah,
pembungkus daun
jati, ragi 1%
97,05
79,01
72,74
16
Kacang merah,
pembungkus daun
jati, ragi 2%
94,14
84,82
79,04
17
Kacang merah,
pembungkus kertas
karton, ragi 1%
90,68
75,22
66,59
18
Kacang merah,
pembungkus kertas
karton, ragi 2%
93,90
78,87
70,98
Keterangan :
Parameter Warna
1
: warna masih seperti bahan baku
2
: warna sedikit berubah menjadi putih
3
: warna putih mulai mendominasi
4
: hampir seperti warna tempe
5
: warna seperti tempe
Parameter Tekstur Miselium
1
: 0% - 20%
2
: 21% - 40%
3
: 41% - 60%
4
: 61% - 80%
5
: 81% - 100%
Parameter Warna
1
: bau khas bahan baku
2
: sedang
3
: cukup
4
: baik
5
: seperti bau tempe
IV.2. Pembahasan
IV.2.1. Pengaruh Waktu terhadap Penurunan Berat Tempe
Dalam percobaan yang kami lakukan, demi memperoleh tempe dengan variasi hasil
tertentu kami menggunakan beberapa jenis pembungkus sebagai pembandingya. Pembungkus
yang dipakai antara lain daun pisang, plastik bening, daun jati, dan kertas karton. Untuk
mengetahui pengaruh waktu fermentasi tempe terhadap berat tempe yang dihasilkan maka kami
mengambil empat contoh variabel sebagai perbandingan, yaitu variabel 1 (bahan baku kacang
kedelai, pembungkus daun pisang dan konsentrasi ragi 1% berat), variabel 4 (bahan baku
kacang kedelai, pembungkus plastik dan konsentrasi ragi 1 berat), variabel 6 (bahan baku
kacang kedelai, pembungkus daun jati dan konsentrasi ragi 1% berat), dan variabel 8 (bahan
baku kacang kedelai, pembungkus kertas karton dan konsentrasi ragi 1% berat).
1.2
1
0.8
Berat (gram)
Variabel 1
0.6
Variabel 4
0.4
Variabel 6
Variabel 8
0.2
0
0
0.5
1.5
Hari Ke-
2.5
Pada variabel 8 dengan pembungkus kertas karton terjadi penurunan berat menjadi 0,88
berat tempe di hari pertama dan pada hari kedua menjadi 0,75 berat tempe. Oleh panelis
kondisi fisik tempe pada hari inokulasi (hari ke-0) dinilai sama, yaitu 1 untuk semua parameter.
Pada hari pertama fermentasi, untuk warna dinilai 2, tekstur miselium dinilai 3 dan aroma
dinilai 3. Sedangkan pada hari kedua fermentasi, untuk warna dinilai 2, tekstur miselium dinilai
3 dan aroma dinilai 3. Dari grafik penurunan terlihat bahwa pada variabel 8 mengalami selisih
penurunan yang sangat tajam. Berat tempe yang berkurang tajam ini bukan disebabkan aktifitas
jamur, melainkan karena adanya pembusukan yang terjadi akibat pengaruh kertas
pembungkus. Metabolisme jamur tempe mneghasilkan air dan bersifat eksotermis sebagaimana
kebanyakan fermentasi aerob. Air yang seharusnya keluar justru terserap ke dalam serat kertas
sehingga membuat keadaan sistem menjadi panas dan sangat lembab. Jika suhu inkubasi terlalu
tinggi maka jamur rhizopustidak dapat bekerja secara optimal dan bahkan tidak dapat tumbuh.
Suhu maksimum yang dapat ditoleransi oleh jamur tempe adalah sekitar 42 0C. Disamping itu
kondisi yang lembab justru akan menyebabkan bahan baku kedelai terdegradasi atau
membusuk.
(Ratna Stia Dewi dan Saefuddin Aziz, 2011)
Dari uraian di atas maka pada dasarnya semua variabel memiliki kesamaan dalam
prosesnya, yakni bertambahnya waktu fermentasi akan mengakibatkan berat tempe berkurang.
Berkurangnya berat tempe terutama disebabkan oleh aktifitas enzim protease dalam ragi tempe.
Enzim protease tergolong ke dalam kelas hidrolase yang membutuhkan air untuk melakukan
aktifitasnya. Hal inilah yang menyebabkan berat tempe berkurang akibat kadar air dalam tempe
juga berkurang.
(Ace Baehaki, dkk.,2012)
IV.2.2. Pengaruh Bahan Baku
Dalam percobaan, kami juga menggunakan beberapa jenis bahan baku sebagai
pembanding untuk memperoleh variasi hasil tempe. Bahan yang digunakan yaitu kacang
kedelai dan kacang merah. Untuk mengetahui pengaruh bahan baku pada tempe yang
dihasilkan maka kami mengambil contoh variabel 1 (bahan baku kacang kedelai, pembungkus
daun pisang dan konsentrasi ragi 1% berat) dan variabel 10 (bahan baku kacang merah,
pembungkus daun pisang dan konsentrasi ragi 1% berat).
Pada variabel 1 dengan bahan baku kacang kedelai terjadi penurunan berat menjadi 0,96
berat tempe di hari pertama dan pada hari kedua menjadi 0,93 berat tempe. Oleh panelis
kondisi fisik tempe pada hari inokulasi (hari ke-0) dinilai sama, yaitu 1 untuk semua parameter.
Pada hari pertama panelis memberikan nilai 2 untuk semua parameter. Begitupun pada hari
kedua fermentasi, panelis juga memberikan nilai yang sama untuk semua parameter, yaitu nilai
3. Kondisi ini disebabkan oleh kandungan komponen komponen gizi yang terdapat dalam
kedelai utamanya protein. Kadar protein suatu bahan umumnya dinyatakan dalam unsur N
dengan koreksi faktor konversi tertentu. Jamur rizhopusoligosporus adalah jamur yang
membutuhkan senyawa sumber nitrogen sebagai penunjang kehidupannya. Dengan tingginya
kandungan protein dalam kedelai maka kebutuhan jamur untuk berkembang juga sangat
terpenuhi. Jika dilihat dari gambar 4.2, kondisi fisik tempe terlihat cukup bagus. Struktur antar
butir kedelai yang terbentuk nampak kompak, hampir mendekati tempe yang diharapkan. Hal
ini juga dipengaruhi oleh lapisan kulit luar kedelai yang tipis yang menyebabkan penetrasi hifa
menjadi optimal dan miselium jamur cepat berkembang.
(Kasmidjo, 1990)
(Nur Hidayat, 2012)
Pada variabel 10 dengan bahan baku kacang merah terjadi penurunan berat menjadi 0,90
berat tempe di hari pertama dan pada hari kedua menjadi 0,84 berat tempe. Oleh panelis
kondisi fisik tempe pada hari inokulasi (hari ke-0) dinilai sama, yaitu 1 untuk semua parameter.
Pada hari pertama panelis memberikan nilai 1 untuk semua parameter. Begitupun pada hari
kedua fermentasi, panelis juga memberikan nilai yang sama untuk semua parameter, yaitu nilai
2.
Tabel 4.2. Komposisi Zat Gizi per 100 gr
Kacang Kedelai
Merah
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Komposisi
Kalori (kkal)
Protein (g)
Lemak (g)
Karbohidrat (g)
Kalsium (mg)
Forfor (mg)
Besi (mg)
Vitamin A (SI)
Vitamin B1 (mg)
Air (g)
Jumlah
331,0
34,9
18,1
34,8
227,0
585,0
8,0
110,0
1,1
7,5
No
Jumlah
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Kandungan Gizi
Energi/kalori, kal
35,00
Protein, g
2,40
Lemak, g
0,20
Karbohidrat, g
7,70
Kalsium, g
6,50
Fosfor, g
4,40
Serat, g
1,20
Besi, g
1,10
Vitamin A, SI
630,00
Vitamin (Thiamine),
0,08
11
mg
Vitamin (Riboflavin),
12
13
14
Tempe dengan bahan baku kacang merah
0,10
mg
Vitamin (Niacin), mg
0,70
Vitamin C, mg
19,00
Air, g
89
ini hampir tidak jauh berbeda dengan tempe
berbahan baku kedelai. Hanya saja hingga waktu fermentasi sudah mencapai 48 jam (2 hari)
miselium yang terbentuk belum mencapai seperti yang diharapkan (Gambar 4.3). Fenomena
seperti ini disebabkan oleh karakter kulit kacang merah yang jauh lebih tebal dibanding kedelai
sehingga penetrasi hifa tidak dapat dilakukan secara optimal dan pertumbuhan miselium
menjadi lambat. Namun hal ini bukan berarti seandainya waktu fermentasi ditambahkan maka
miselium akan mencapai kondisi yang diharapakan. Jika perlakuan yang demikian diterapkan
justru akan membuat kapang tempe akan mati dan selanjutnya akan tumbuh bakteri atau
mikroba perombak protein yang berakibat pada busuknya tempe.
(Sarwono, 2005)
Dengan melihat uraian pada tiap variabel pembanding maka dapat disimpulkan bahwa
bahan baku yang paling sesuai untuk pembuatan tempe (dari variabel percobaan kami) adalah
kacang kedelai. Kedelai memang merupakan bahan baku tempe yang paling lazim digunakan.
Selain memberikan cita rasa yang khas, kandungan protein kedelai yang sangat tinggi membuat
kedelai menjadi bahan baku yang paling sesuai untuk pertumbuhan jamur tempe bila kita
kaitkan dengan enzim enzim yang bekerja saat proses fermentasi oleh jamur rhizopus
oligosporus. Diantara enzim enzim tersebut yang aktifitasnya paling tinggi adalah enzim
protease dan lipase. Protease sendiri berguna dalam menyederhanakan protein protein yang
terkandung dalam kedelai sehingga lebih mudah dimanfaatkan oleh tubuh. Sedangkan lipase
berfungsi untuk mengemulsikan lemak yang juga terkandung dalam kedelai. Jika kandungan
protein dan lemak keduanya cukup tinggi maka nilai manfaat tempe berbahan baku kedelai
juga menjadi lebih tinggi.
(Nur Hidayat, 2011)
IV.2.3. Pengaruh Pembungkus
Dalam percobaan, kami juga menggunakan beberapa jenis pembungkus sebagai
pembanding untuk memperoleh variasi hasil tempe. Media yang digunakan yaitu daun pisang,
plastik bening, daun jati, dan kertas karton. Untuk mengetahui pengaruh pembungkus pada
tempe yang dihasilkan maka kami mengambil empat contoh variabel sebagai perbandingan,
yaitu variabel 1 (bahan baku kacang kedelai, pembungkus daun pisang dan konsentrasi ragi 1%
berat), variabel 4 (bahan baku kacang kedelai, pembungkus plastik dan konsentrasi ragi 1%
berat), variabel 6 (bahan baku kacang kedelai, pembungkus daun jati dan konsentrasi ragi 1%
berat), serta variabel 8 (bahan baku kacang kedelai, pembungkus kertas karton dan konsentrasi
ragi 1% berat).
1%)
1%)
ragi 1%)
Pada variabel 1 dengan bahan baku kacang kedelai terjadi penurunan berat menjadi 0,96
berat tempe di hari pertama dan pada hari kedua menjadi 0,93 berat tempe. Oleh panelis
kondisi fisik tempe pada hari inokulasi (hari ke-0) dinilai sama, yaitu 1 untuk semua parameter.
Pada hari pertama panelis memberikan nilai 2 untuk semua parameter. Begitupun pada hari
kedua fermentasi, panelis juga memberikan nilai yang sama untuk semua parameter, yaitu nilai
3. Bila kita amati gambar 4.4 maka terlihat kondisi fisik tempe cukup bagus. Kondisi seperti ini
disebabkan karena daun pisang memiliki tekstur permukaan yang halus, licin dan cukup porus
serta tidak menyebabkan air hasil metabolisme jamur tertahan di dalamnya yang dapat
mengakibatkan pembusukan. Selain itu daun pisang dapat memberikan aroma tambahan yang
khas pada tempe yang dihasilkan dan telah dipakai secara umum dalam industri pembuatan
tempe sejak dahulu.
Pada variabel 4 dengan pembungkus plastik terjadi penurunan berat menjadi 0.99 berat
tempe di hari pertama dan pada hari kedua menjadi 0,98 berat tempe. Oleh panelis, kondisi
fisik tempe pada hari inokulasi (hari ke-0) dinilai sama, yaitu nilai 1 untuk semua parameter.
Pada hari pertama fermentasi panelis memberikan nilai 2 untuk semua parameter. Sedangkan
pada hari kedua fermentasi, untuk warna dinilai 3, tekstur miselium dinilai 2 dan aroma dinilai
3. Dari gambar 4.5 nampak bahwa tempe variabel 4 terlihat sedikit berbeda dibanding variabel
1 (gambar 4.4). Perbedaan ini disebabkan karena proses fermentasinya. Fermentasi pada tempe
bersifat aerob obligat sehingga sangat membutuhkan oksigen untuk pertumbuhan jamurnya.
Karena plastik merupakan media yang tidak berpori mengingat fungsinya juga sebagai
penampung volume zat cair maka hal ini menyebabkan proses fermentasi tempe tidak berjalan
lancar sehingga hasilnya tidak seoptimal tempe yang menggunakan daun pisang.
(Kusharyanto dan Budiyanto, 1995)
Pada variabel 6 dengan pembungkus daun jati terjadi penurunan berat menjadi 0,91 berat
tempe di hari pertama dan pada hari kedua menjadi 0,85 berat tempe. Oleh panelis kondisi fisik
tempe pada hari inokulasi (hari ke-0) dinilai sama, yaitu 1 untuk semua parameter. Pada hari
pertama fermentasi, untuk warna dinilai 3, tekstur miselium dinilai 2, dan aroma dinilai 3.
Sedangkan pada hari kedua fermentasi, untuk warna dinilai 3, tekstur miselium dinilai 3, dan
aroma dinilai 4. Dari gambar 4.6 dapat diamati bahwa dengan menggunakan daun jati sebagai
pembungkus menghasilkan hasil yang paling baik dari 3 variabel yang lain. Kondisi seperti ini
disebabkan karena pada daun jati pada inkubasi 24 jam jamur tumbuh cepat hal ini dikarenakan
pada permukaan daun jati juga terdapat jamur. Jamur bertumbuh dengan cepat disebabkan
karena cahaya yang kurang karena kami menyimpan tempe di dalam lemari dan tempatnya
lembab / kurang udara. Dalam daun jati terdapat kandungan antosianin yang berperan sebagai
antioksidan. Antosianin ini merupakan sub-tipe senyawa organik dari flavonoid. Senyawa ini
sering digunakan dalam pengawetan buah. Karena kandungan antisianin ini menyebabkan
pembusukan sulit terjadi.
( I Putu Gede Eka Handrayana Putra,2014)
(Wahyu Iswara, 2014)
Pada variabel 8 dengan pembungkus kertas karton terjadi penurunan berat menjadi 0,88
berat tempe di hari pertama dan pada hari kedua menjadi 0,75 berat tempe. Oleh panelis
kondisi fisik tempe pada hari inokulasi (hari ke-0) dinilai sama, yaitu 1 untuk semua parameter.
Pada hari pertama fermentasi, untuk warna dinilai 2, tekstur miselium dinilai 3 dan aroma
dinilai 3. Sedangkan pada hari kedua fermentasi, untuk warna dinilai 2, tekstur miselium dinilai
3 dan aroma dinilai 3. Dari gambar 4.7 dapat diamati bahwa dengan menggunakan kertas
karton sebagai pembungkus memberikan hasil terburuk dibanding dua variabel yang lain.
Fenomena ini disebabkan karena adanya pembusukan yang terjadi akibat pengaruh kertas
pembungkus. Metabolisme jamur tempe menghasilkan air dan bersifat eksotermis sebagaimana
kebanyakan fermentasi aerob. Air yang seharusnya keluar justru terserap ke dalam serat kertas
sehingga membuat keadaan sistem menjadi panas dan sangat lembab. Jika suhu inkubasi terlalu
tinggi maka jamur rhizopustidak dapat bekerja secara optimal dan bahkan tidak dapat tumbuh.
Suhu maksimum yang dapat ditoleransi oleh jamur tempe adalah sekitar 42 0C. Disamping itu
kondisi yang lembab justru akan menyebabkan bahan baku kedelai terdegradasi atau
membusuk.
(Ratna Stia Dewi dan Saefuddin Aziz, 2011)
IV.2.4. Pengaruh Berat Ragi
Dalam percobaan, kami juga memberikan takaran ragi yang berbeda sebagai pembanding
untuk memperoleh variasi hasil tempe. Pemberian ragi kami bedakan dengan kadar 1% berat
tempe dan 2% berat tempe. Untuk mengetahui pengaruh takaran ragi pada tempe yang
dihasilkan maka kami mengambil dua contoh variabel sebagai perbandingan, yaitu variabel 1
(bahan baku kacang kedelai, pembungkus daun pisang dan konsentrasi ragi 1% berat) serta
variabel 2 (bahan baku kacang kedelai, pembungkus daun pisang dan konsentrasi ragi 2%
berat).
Pada variabel 1 dengan bahan baku kacang kedelai terjadi penurunan berat menjadi 0,96
berat tempe di hari pertama dan pada hari kedua menjadi 0,93 berat tempe. Oleh panelis
kondisi fisik tempe pada hari inokulasi (hari ke-0) dinilai sama, yaitu 1 untuk semua parameter.
Pada hari pertama panelis memberikan nilai 2 untuk semua parameter. Begitupun pada hari
kedua fermentasi, panelis juga memberikan nilai yang sama untuk semua parameter, yaitu nilai
3.
Pada variabel 2 dengan pembungkus daun pisang terjadi penurunan berat menjadi 0.95
berat tempe di hari pertama dan pada hari kedua menjadi 0,85 berat tempe. Oleh beberapa
panelis kondisi fisik tempe juga dinilai dengan parameter yang telah ditentukan, meliputi
warna, tekstur miselium yang terbentuk dan aroma. Pada hari inokulasi (hari ke-0) panelis
menilai 1 untuk semua parameter. Pada hari pertama panelis memberikan nilai 2 untuk semua
parameter. Sedangkan pada hari kedua fermentasi, untuk warna dinilai 2, tekstur miselium
dinilai 3 dan aroma dinilai 3.
Melalui hasil pengamatan dan penilaian dari kedua variabel pembanding maka boleh
dikatakan bahwa kedua sampel sama baik. Dari segi warna, tekstur dan aroma keduanya
mendapat penilaian yang cukup. Ragi yang dibutuhkan untuk pembuatan tempe berdasarkan
referensi adalah sebanyak 2% dari kedelai yang dimasak. Mengacu pada referensi tersebut
maka variabel 2 adalah yang paling sesuai. Pada proses inokulasi diharapkan menggunakan
ukuran atau acuan yang jelas, sebab apabila ragi yang ditambahkan terlalu berlebih, tentu
menjadi tidak ekonomis. Demikian juga sebaliknya apabila ragi yang ditambahkan kurang,
tentu akan menghambat proses fermentasi. Namun, kebutuhan ragi untuk pembuatan tempe ini
berbeda-beda untuk setiap pembuat tempe. Biasanya, perbedaan jumlah ragi tempe ini
dipengaruhi oleh suhu udara. Pada suhu udara normal, biasanya pembuat tempe yang memasak
100 kg kedelai memberikan ragi sebanyak tujuh sendok makan. Jika suhunya dingin, ragi bisa
ditambah sebanyak satu sendok makan lagi.
(Siti Miskah, dkk., 2009)
IV.2.5. Pengaruh Pengeringan
Dalam percobaan, kami juga mengeringkan dengan suhu yang berbeda sebagai
pembanding untuk memperoleh variasi hasil tempe. Pemberian ragi kami bedakan dengan
pengeringan dengan suhu ruangan dan pengeringan oven dengan suhu 500. Untuk mengetahui
pengaruh pengeringan pada tempe yang dihasilkan maka kami mengambil dua contoh variabel
sebagai perbandingan, yaitu variabel 2 (bahan baku kacang kedelai, pembungkus daun pisang,
konsentrasi ragi 2% berat, dan pengeringan pada suhu ruangan) serta variabel 3 (bahan baku
kacang kedelai, pembungkus daun pisang, konsentrasi ragi 2% berat, dan pengeringan oven
dengan suhu 500).
Pada variabel 2 dengan pembungkus daun pisang terjadi penurunan berat menjadi 0.95
berat tempe di hari pertama dan pada hari kedua menjadi 0,85 berat tempe. Oleh beberapa
panelis kondisi fisik tempe juga dinilai dengan parameter yang telah ditentukan, meliputi
warna, tekstur miselium yang terbentuk dan aroma. Pada hari inokulasi (hari ke-0) panelis
menilai 1 untuk semua parameter. Pada hari pertama panelis memberikan nilai 2 untuk
semua parameter. Sedangkan pada hari kedua fermentasi, untuk warna dinilai 2, tekstur
miselium dinilai 3 dan aroma dinilai 3.
Pada variabel 3 dengan pembungkus daun pisang terjadi penurunan berat menjadi 0.97
berat tempe di hari pertama dan pada hari kedua menjadi 0,93 berat tempe. Oleh beberapa
panelis kondisi fisik tempe juga dinilai dengan parameter yang telah ditentukan, meliputi
warna, tekstur miselium yang terbentuk dan aroma. Pada hari inokulasi (hari ke-0) panelis
menilai 1 untuk semua parameter. Pada hari pertama panelis memberikan nilai 2 untuk
semua parameter. Begitupun pada hari kedua fermentasi, panelis juga memberikan nilai
yang sama untuk semua parameter, yaitu nilai 2.
Melalui hasil pengamatan dan penilaian dari kedua variabel pembanding maka
diperoleh variabel 2 yang dikeringkan dengan suhu ruangan memiliki hasil yang lebih baik
daripada dengan oven pada suhu 500. Pada refferensi, suhu pengeringan yang baik adalah
600 C dengan oven. Prinsip kerja oven yaitu menggunakan udara kering dengan kelembutan
relatif rendah dengan tekanan rendah sehingga P bexar karena tekanan dalam bahan tinggi.
Dalam oengeringan, oven tidak hanya menguapkan air saja, melainkan juga menguapkan
senyawa bukan air misalnya senyawa volatil yang berat jenisnya lebih rendah daripada air.
Adanya senyawa volatil yang ikut menguap akan menyebabkan air tidak menguap
seluruhnya tetapi justru menyebabkan kandungan airnya relatif tetap. Pengeringan dengan
oven memiliki hasil yang lebih baik daripada dikeringkan secara biasa.
Pada percobaan kami mendapatkan hasil pengeringan biasa lebih baik daripada
pengeringan oven hal ini disebabkan karena pada suhu pengeringan oven sebesar 50 0 C,
sedangkan pada refferensi, suhu yang baik menggunakan oven adalah 600C. Hal inilah yang
menyebabkan pengeringan menggunakan oven lebih buruk hasilnya daripada pengeringan
biasa.
(Paula Kartika Dewi W, 2006)
BAB V
PENUTUP
V.1. Kesimpulan
1. Pertambahan waktu fermentasi akan menyebabkan penurunan berat tempe. Hal ini
disebabkan karena aktifitas enzim protease dalam ragi tempe. Enzim protease
tergolong ke dalam kelas hidrolase yang membutuhkan air untuk melakukan
aktifitasnya.
2. Bahan baku yang paling sesuai untuk pembuatan tempe (dari variabel percobaan
kami) adalah kacang kedelai.
3. Pembungkus yang paling baik untuk digunakan adalah daun jati karena jamur akan
tumbuh cepat dan pada daun jati juga sudah terdapat jamur.
4. Ragi yang dibutuhkan adalah 2% dari berat tempe.
5. Pengeringan pada suhu 600 C lebih baik daripada pengeringan biasa dengan suhu
ruangan.
V.2. Saran
1. Pada saat pengeringan, tempe dihamparkan dengan ketinggian 1 sampai 2 cm.
2. Pada saat pemberian ragi, diusahakan agar pemberian ragi tersebut merata.
3. Pemberian aerasi pada pembungkus jangan terlalu besar karena menyebabkan oksigen
yang masuk terlalu banyak.
4. Sebaiknya saat inkubasi digunakan suhu ruangan.
DAFTAR PUSTAKA
Alrasyid, Harun. Jurnal "Peranan Isoflavon Tempe KEdelai, Fokus pada Obesitasdan
Komorbid".
Baehaki, Ace.,dkk. 2012. Isolasi Bakteri dan Karakterisasi Protease dari Sumber Air Rawa
Indralaya. Palembang :Program Studi Teknologi Hasil Perikanan, Fakultas Pertanian
Universitas Sriwijaya.
Dwinaningsih, Erna Ayu. 2010. Jurnal "Karakteristik Kimia dan Sensori Tempe Dengan Bahan
Baku Kedelai/Beras Dan Penambahan Angkak Serta Variasi Lama Fermentasi".
Hayati, Salma. 2009. Jurnal "Pengaruh Waktu Fermentai terhadap Kualitas Tempe dari Biji
Nangka
Sumatera Utara.
Hidayat, Nur. 2012. Bahanajar :Fermentasi Tempe. Universitas Brawijaya.
Iswara, Wahyu. 2014. Jurnal "Fermentasi Tempe".
Kurninawan, Agus. 2014. Jurnal "Tempe". Universitas Diponegoro.
Miskah, Siti, dkk. 2009. Jurnal "Pengaruh Penambahan Ekstrak Bonggol dan Kulit Nanas Pada
Proses Fermentasi Tempe."
Ningrum, Marlinda Retno Budya. 2012. Jurnal : Pengembangan Produk Cake dengan Substitusi
Kacang Merah. Universitas Negeri Yogyakarta.
SP,Supriyono. Jurnal "Memproduksi Tempe".
Stia, Ratna Dewi dan Saefuddin Aziz. 2011. Jurnal Penelitian : Isolasi Rhizopus Oligosporus
pada Beberapa Inokulum Tempe di Kapbupaten Banyumas. Fakultas Biologi Universitas
Jenderal Soedirman.
W, Paula Kartika Dewi. 2006. Jurnal : Pengaruh Lama Fermentasi dan Suhu Pengeringan Terhadap
Jumlah Asam Amino Lisin dan Karakter Fisiko-Kimia Tepung Tempe.Universitas Katolik
Soegijapranata.