Anda di halaman 1dari 46

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hubungan sosial dalam dunia Islam mencerminkan taraf perkembangan enokomi negara
yang bersangkutan, dan dengan majunya perkembangan ekonomi negara-negara tersebut
berangsur-angsur akan dipengaruhi oleh sikap dan perilaku dunia barat sehingga sering disebut
dengan masyarakat modern. Terdapat anggapan bahwa adanya pertentangan antara
perkembangan atau kemajuan dengan nilai-nilai tradisional. Dikalangan umat Islam terdapat
perbedaan pendapat mengenai pemahaman benar atau tidaknya pertentangan tersebut.
Padahal sesungguhnya Islam mengatur urusan dunia dan akhirat. Tetapi di sisi lain Islam
juga mengurus masalah ibadah, bagaimana mencari pahala dan amaliah-amaliah yang harus
dilakukan untuk melaksanakan kewajiban kepada Allah swt. Selain itu, Islam mengurus masalah
keduniaan yaitu mengenai cara memperoleh rezeki, cara bertransaksi dengan baik dan hukum
perniagaan yang sesuai dengan syariat Islam yang ternyata dapat memberikan keuntungan dan
kepuasan bagi semua pihak.
Namun, masyarakat luas masih merasa asing dengan wacana ini, karena anggapan
mereka yang melihat islam dari satu sisi saja yaitu dalam aspek ibadah hablum minallah, padahal
manusia juga harus memerhatikan aspek hablum minannas, dimana salah satunya manusia harus
melakukan transaksi dan perniagaan yang dapat mendukung sarana peribadatan mereka, bahkan
didalam beberapa surat didalam ayat Al-quran, mencari rezeki merupakan sebuah kewajiban
dan diperintah secara langsung oleh Allah swt.
B. Rumusan Masalah
Masalah yang akan penulis paparkan didalam makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Apa itu bisnis secara umum dan secara khusus?
2. Bagaimana konsep bisnis dalam Al-Quran?

BAB II
PEMBAHASAN
1. Pengertian Bisnis secara Umum dan Khusus
Bisnis adalah sebuah aktivitas yang mengarah pada peningkatan nilai tambah melalui
proses penyerahan jasa, perdagangan atau pengolahan barang (produksi). [1]Menurut Skinner,

bisnis adalah pertukaran barang, jasa, atau uang yang saling menguntungkan atau memberi
manfaat. Sedangkan menurut Anoraga dan Soegiastuti, bisnis adalah suatu organisasi yang
menjalankan aktivitas produksi dan penjualan barang atau jasa yang diinginkan oleh konsumen
untuk memperoleh profit.[2]
Yusanto dan Wijayakusuma mendefinisikan lebih khusus tentang bisnis Islami adalah
serangkaian aktivitas bisnis dalam berbagai bentuknya yang tidak dibatasi jumlah kepemilikan
hartanya (barang/jasa) termasuk profitnya, namun dibatasi dalam cara memperolehnya dan
pendayagunaan hartanya karena aturan halal dan haram.[3]
Dalam Al-Quran, bisnis berasal dari kata al-tijarah dan dalam bahasa arabtijaraha,
berawal dari kata dasar tajara, tajran wa tijarata, yang artinya berdagang atau berniaga. Menurut
ar-Raghib al-Asfahani dalam al-mufradat fi gharib al-Quran, at-Tijarah bermakna pengelolaan
harta benda untuk mencari keuntungan. Sedangkan menurut Ibnu Farabi, yang dikutip ar-Raghib,
fulanun tajirun bi kadza, berarti seseorang yang mahir dan cakap yang mengetahui arah dan
tujuan yang diupayakan dalam usahanya.[4]

2. Konsep Bisnis dalam Al-Quran


Al-Quran dalam mengajak manusia untuk mempercayai dan mengamalkan tuntutantuntutannya dalam segala aspek kehidupan seringkali menggunakan istilah-istilah yang dikenal
dalam dunia bisnis, seperti jual beli, untung rugi dan sebagainya. [5] Dalam konteks ini Al-Quran
menjanjikan;
Sesungguhnya Allah membeli dari orang-orang mukmin harta dan jiwa mereka dan
sebagai imbalannya mereka memperoleh syurga. Siapakah yang lebih menepati janjinya (selain)
Allah maka bergembiralah dengan jual-beli yang kamu lakukan itu. Itulah kemenangan yang
besar.[6]
Islam memberikan konsep bisnis sebagai sebuah amaliah yang dipahami sebagai
serangkaian aktivitas bisnis dalam berbagai bentuknya yang tidak dibatasi jumlah (kuantitas)
kepemilikan hartanya (barang/jasa) termasuk profitnya, namun dibatasi dalam cara perolehan
dan pendayagunaan hartanya (ada aturan halal dan haram). Maksudnya adalah Islam mewajibkan
setiap muslim, khususnya yang memiliki tanggungan untuk bekerja. Bekerja merupakan salah
satu sebab pokok yang memungkinkan manusia memiliki harta kekayaan. Untuk memungkinkan
manusia berusaha mencari nafkah, Allah swt. melapangkan bumi serta menyediakan berbagai
fasilitas yang dapat dimanfaatkan untuk mencari rizki.

Ada beberapa terma dalam al-Quran yang berkaitan dengan konsep bisnis. Diantaranya
adalah kata al Tijarah, al-baiu, tadayantum dan isytara.[7]
Terma tijarah, berawal dari kata dasar t-j-r, tajara, tajran wa tijaratan, yang bermakna
berdagang, berniaga. Dalam pengertian ini jual beli diperlihatkan dalam konteks sebagai aspek
bisnis yakni sebagai media mencari penghidupan.[8]
Terma Isytara, kata isytara disebut dalam Al-Quran sebanyak dua puluh lima kali.
Isytara dalam surah at-Taubah (9: 111) digunakan dalam pengertian membeli yaitu dalam
konteks

Allah

membeli

diri

dan

harta

orang-orang

mukmin.

Dengan

demikian,

terma Isytara mengandung makna transaksi antara manusia dengan Allah atau transaksi sesama
manusia yang dilakukan karena dan untuk Allah juga transaksi dengan tujuan keuntungan
manusia walaupun dengan menjual ayat-ayat Allah.[9]
Terma ini pada hakikatnya tidak semata-mata bersifat material dan hanya bertujuan
mencari keuntungan material semata, tetapi bersifat material sekaligus immaterial, bahkan lebih
meliputi dan mengutamakan hal yang bersifat immaterial dan kualitas. Aktivitas bisnis tidak
hanya dilakukan sesame manusia tetapi juga dilakukan dengan ketelitian dan kecermatan dalam
proses administrasi dan perjanjian-perjanjian dan bisnis tidak boleh dilakukan dengan cara
penipuan, kebohongan, hanya karena memperoleh keuntungan. Dalam konteks inilah Al-Quran
menawarkan keuntungan dengan suatu bursa yang tidak pernah mengenal kerugian.[10]
Dalam menguraikan konsep bisnis dalam al-Quran, Ahmad membaginya ke dalam tiga
pokok bahasan yaitu bisnis yang menguntungkan, bisnis yang merugi, dan pemeliharaan prestasi,
hadiah, dan hukuman.[11]
a.

Bisnis yang Menguntungkan


Dalam pandangan Al-Quran, bisnis yang menguntungkan itu mengandung tiga elemen dasar
yakni mengetahui investasi yang paling baik, membuat keputusan yang logis, sehat dan masuk
akal, dan mengikuti perilaku yang baik. Menurut Al-Quran, tujuan dari semua aktivitas manusia
hendaknya diniatkan untuk mencari keridhaan Allah karena hal ini merupakan puncak dari
seluruh kebaikan, tanpa kecuali dalam masalah bisnis. Cara untuk mencapai ridha itu adalah
dengan mempergunakannya dalam hal-hal yang baik disertai dengan niat yang ikhlas karena
Allah. Bisnis yang baik menurut Ahmad adalah meringankan, melonggarkan dan tidak menguber
para pengutang yang benar-benar tidak mampu mengembalikan secara tertulis. Perilaku seorang
kreditor yang demikian dianggap sebagai sesuatu perdagangan yang sangat menguntungkan.[12]

1) Investasi yang Paling Baik


Menurut Al-Quran, tujuan dari semua aktifitas manusia hendaknya diniatkan untukibtigha-i
mardhatillah (mencari keridhaan Allah), karena hal ini merupakan pangkal dari seluruh

kebaikan. Dengan demikian maka investasi dan kekayaan milik seseorang itu dalam hal-hal yang
benar tidak mungkin untuk dilewatkan penekanannya. Dalam ungkapan lain, investasi terbaik itu
adalah jika ia ditujukan untuk menggapai ridha Allah. Karena kekayaan Allah itu tanpa batas
dan tidak akan habis, maka merupakan pilihan terbaik untuk mencari dan memperoleh
keuntungan yang Allah janjikan dengan mengambil kesempatan-kesempatan yang ada. Di dalam
Al-Quran, kasih sayang Allah digambarkan sebagai sesuatu yang lebih baik dari segala
kenikmatan yang ada di dunia. Jika mardhatillah menempati prioritas paling puncak, tentu saja
investasi untuk mencapai itu menjadi investasi terbaik dari segala jenis investasi.[13]
2) Keputusan yang Logis, Sehat dan Masuk Akal
Agar sebuah bisnis sukses dan menghasilkan untung, hendaknya bisnis tersebut didasarkan
atas keputusan yang tepat, logis, bijak dan hati-hati. Menurut Al-Quran, bisnis yang
menguntungkan bukan hanya yang dapat dinikmati di dunia, tetapi juga dapat dinikmati di
akhirat dengan keuntungan yang jauh lebih besar. Karena kenikmatan dunia itu tidak ada apaapanya apabila dibandingkan dengan kenikmatan akhirat. Kebersihan jiwalah, bukan banyaknya
harta, yang akan membuat manusia sukses di alam akhirat.Itulah sebabnya mengapa Al-Quran
selalu menasihati manusia agar selalu mencari dan mengarahkan apa yang di lakukan untuk
mendapat pahala di akhirat, bahkan pada saat dia melakukan hal-hal yang bersifat duniawi
sekalipun.
3) Mengikuti Perilaku yang Baik atau Terpuji
Dalam Al-Quran, perilaku yang terpuji sangat dihargai dan dinilai sebagai investasi yang
sangat menguntungkan, karena hal ini akan mendatangkan kedamaian di dunia juga keselamatan
di akhirat. Indikator perilaku seseorang itu telah dipaparkan dalam Al-Quran, dimana setiap
orang beriman akan selalu meniru dan mengikuti jejak langkah Rasulullah dalam menjalani
kehidupanya di dunia.
Diantara perilaku terpuji yang direkomendasi Al-Quran agar memperoleh bisnis yang
menguntungkan adalah dengan mencari karunia secara sungguh-sungguh, serta mengharap
ampunan-Nya. Jalan untuk mendapat ampunan-Nya adalah dengan memberi maaf pada sesama
manusia; karena disamping akan mendapat ampunan, ia juga akan memperoleh ganjaran yang
besar dari Allah. Menepati janji dan kesepakatan juga merupakan indikator perilaku
terpuji, disamping membayar zakat dengan sempurna.
Menurut Al-Quran, bisnis yang menguntungkan adalah bisnis yang tidak hanya mengejar
keuntungan duniawi yang berjangka pendek dan untuk kepentingan sesaat, tetapi keuntungan
yang bisa dinikmati di akhirat yang kekal dan abadi. Oleh karena itu agar sebuah bisnis sukses

dan menghasilkan untung, hendaknya bisnis itu didasarkan atas keputusan yang sehat, bijaksana
dan hati-hati.
Selain itu Al-Quran memerintahkan pada orang-orang yang beriman untuk menjaga amanah
dan menjaga janjinya, memerintahkan mereka untuk adil dan moderat dalam perilaku mereka
terhadap Allah, begitu juga terhadap sesama manusia. Sebagai jaminan bahwa pelaku bisnis
berperilaku yang benar, Ahmad menegaskan bahwa seorang pelaku harus selalu ingat terhadap
Allah, terhadap ibadah ritualnya dan kewajibannya membayar zakat, sampai pada saat aktivitas
yang demikian sibuk dan cepat sekalipun. Dia harus menghentikan sejenak aktivitas bisnisnya
saat datang panggilan untuk shalat jumat dan kembali melakukannya setelah usai.[14]
Hai orang-orang yang beriman, apabila diseur untuk menunaikan sembahyang pada hari
jumat, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah swt dan tinggalkanlah jual-beli. Yang
demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. Apabila telah ditunaikan sembahyang
maka bertebaranlah di muka bumi; dan carilah karunia Allah swt dan ingatlah Allah banyakbanyak supaya kamu beruntung.[15]
Ayat ini memberi pengertian agar berbisnis (mencari kelebihan karunia Allah) dilakukan
setelah melakukan shalat dan dalam pengertian tidak mengesampingkan dan tujuan keuntungan
yang hakiki yaitu keuntungan yang dijanjikan Allah. Oleh karena itu, walaupun mendorong
melakukan kerja keras termasuk dalam berbisnis, Al-Quran menggarisbawahi bahwa dorongan
yang seharusnya lebih besar bagi dorongan bisnis adalah memperoleh apa yang berada di sisi
Allah.[16]
Dengan demikian menurut Ahmad, perilaku bisnis yang benar adalah yang sesuai dengan
ajaran Al-Quran dan implementasinya tidak saja baik terhadap sesama manusia, tetapi juga
harus selalu dekat terhadap Allah swt.[17]
b. Bisnis yang Merugi
Bisnis ini merupakan kebalikan dari bisnis yang pertama karena kekurangan ataupun
ketiadaan elemen-elemen dari bisnis yang menguntungkan menurut Al-Quran. Seluruh tindakan
serta transaksi yang memungkinkan untuk mendatangkan keuntungan akhirnya berbalik menjadi
bisnis yang merugikan. Kerugian ini diasumsikan sebagai yang merusakkan proporsi
perbendaharaan akhirat yang abadi diperdagangkan dengan kenikmatan dunia fana dan terbatas.
1) Investasi yang Tidak Baik
Menurut Al-Quran, diantara investasi yang dapat mengakibatkan pelakunya mengalami
kerugian, bahkan kehilangan modalnya sehingga terancam bangkrut total, adalah: menukar
akhirat dengan dunia; menjual ayat-ayat Allah dengan harga murah demi mendapat keuntungan

dunia yang kecil; menjual ideologi dan idealisme demi pragmatisme dan hedonisme tanpa peduli
lagi dengan pahala akhirat; terobsesi dan mengabdi pada dunia sehingga lalai dalam pengabdian
pada Allah; dan puncaknya adalah mengorbankan modalnya yang paling berharga yaitu
kehidupan itu sendiri, untuk sesuatu yang sia-sia.
2) Keputusan yang Tidak Logis, Tidak Sehat dan Tidak Masuk Akal
Tidak ada suatu kenaifan dalam kehidupan ini yang lebih besar dari sebuah keputusan yang
diambil dengan cara-cara yang tidak tepat, tidak logis dan tidak rasional. Al-Quran secara tegas
menyatakan bahwa keputusan yang tidak tepat dan tidak logis serta tidak masuk akal dalam
hidup ini akan mengakibatkan kerugian besar dan penyesalan yang panjang.
Diantara contoh pengambilan keputusan yang tidak tepat adalah: lebih mementingkan
kehidupan dunia daripada kehidupan akhirat; bergelimang dengan hal-hal yang khabits (kotor)
karena ingin cepat kaya; menggadaikan iman demi harta dan kekuasaan; terobsesi kemegahan
dunia dan menyepelekan nilai-nilai kebenaran dan hidayah; mencari pelindung selain Allah;
menjalankan bisnis yang menjauhkan dirinya dari jalan lurus yang telah ditunjukkan Allah; lebih
memprioritaskan bisnis entertainment daripada bisnis yang mengedukasi akal dan spiritual; dan
terlalu disibukkan dengan harta dan jabatan daripada mengingat Allah dan Hari Akhir.
3) Perilaku yang Tidak Baik atau Tidak Terpuji
Perilaku apapun yang Allah larang akan menjerumuskan pelakunya dalam kerugian yang
nyata. Al-Quran menyebutkan perilaku-perilaku yang tak terpuji itu bersamaan dengan
konsekuensinya yang akan merugikan dirinya di dunia maupun diakhirat. Perilaku yang tidak
terpuji menurut Al-Quran diantaranya: tidak mengimani dan menolak petunjuk Allah dalam AlQuran; menyembunyikan ayat-ayat Allah atau menjualnya dengan harga murah; menyakiti
perasaan orang lain dengan menyebut-nyebut sedekah atau kebaikannya kepada orang tersebut;
kikir dan merasa diri kaya raya; membelanjakan harta tidak sesuai dengan tuntunan Allah;
menjadi pengkhianat; terlibat dalam perjudian dan minuman keras; melakukan perbuatan keji
dan tidak terhormat; mengkhianati amanah dan kepercayaan; membangkang dan menolak
perintah Allah; tidak menghargai nilai-nilai moral yang diajarkan Al-Quran dalam berhubungan
dengan manusia; merusak kesepakatan dan perjanjian; tidak tahu berterima kasih; melakukan
perbuatan dosa; melakukan kejahatan dan pelanggaran hukum; melakukan praktek prostitusi;
bersikap arogan dan sombong; melakukan kebohongan publik dan sumpah palsu; memanipulasi
pembayaran zakat; dan berlaku curang dalam ukuran dan timbangan.
Selanjutnya, Ahmad menegaskan bahwa keputusan yang tidak sehat dalam hidup ini akan
mengakibatkan kerugian yang besar. Keputusan yang tidak sehat pada akhirnya akan melahirkan

perilaku jahat yang sangat dikutuk oleh Al-Quran. Mengkhianati amanah dan kepercayaan,
mengurangi ukuran dan timbangan adalah diantara sekian banyak contoh bisnis yang merugi
dalam Al-Quran.[18]
c.

Pemeliharaan Prestasi, Hadiah dan Hukuman


Didalam Al-Quran dijelaskan bahwa segala perbuatan (action) manusia tidak bisa lepas dari
sorotan dan rekaman Allah swt. Justru karena itu bagi siapapun yang melakukan prestasi yang
positif akan mendapat reward (pahala), sebaliknya prestasi negatif ia pantas mendapat hukuman
yang setimpal. Justru karena itu kepada manusia diingatkan empat hal yang sangat penting dalam
mengerjakan aktivitasnya di dunia.

1) Bahwasanya tidak ada kemungkinan untuk lari dari pengadilan di akhirat nanti;
2) Bahwasanya pengadilan yang akan dilakukan itu akan berjalan dengan sangat fair dan adil;
3) Bahwasanya pengadilan itu akan didasarkan pada bukti dan fakta yang tidak mungkin untuk
dibantah;
4) Bahwasanya manusia akan diganjar dan disiksa sesuai dengan amalnya di dunia.
Sudah pasti empat hal tersebut merangkung aktivitas kehidupan, tanpa kecuali aktivitas
bisnis. Para pelaku bisnis sangat penting untuk menyadari bahwa praktik bisnisnya tidaklah
berarti bebas nilai. Jika sekiranya menurut perasaannya, tindakan bisnis yang selama ini mereka
lakukan merugikan tidak diketahui oleh konsumen, atau bahkan yang menguntungkan tidak
mendapat pujian, semua itu kelak akan mendapat balasan di akhirat. Dengan peringatan
(warning) semacam itu bukan tidak mungkin para pelaku bisnis akan menanamkan bisnisnya
secara halal dan sah melalui keputusan yang tepat yang diimbangi dengan perilaku yang
dibenarkan secara syari.[19]

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan

Dalam al-Quran, bisnis disebut sebagai aktivitas manusia yang bersifat material juga
immaterial yang sekaligus dalamnya terdapat nilai-nilai etika bisnis. Dengan demikian suatu
bisnis dapat disebut bernilai, bila kedua tujuannya yaitu pemenuhan kebutuhan material dan
spiritual telah dapat terpenuhi secara seimbang. Hakikat bisnis adalah semua bentuk-bentuk
perilaku bisnis yang terbebas dari kandungan prinsip kebatilan, kerusakan dan kezaliman.
Sebaliknya terisi dengan nilai kesatuan, kehendak bebas, pertanggung-jawaban, keseimbangan
dan keadilan serta kebenaran (kebajikan dan kejujuran).
Islam memberikan konsep bisnis sebagai sebuah amaliah yang dipahami sebagai
serangkaian aktivitas bisnis dalam berbagai bentuknya yang tidak dibatasi jumlah (kuantitas)
kepemilikan hartanya (barang/jasa) termasuk profitnya, namun dibatasi dalam cara perolehan
dan pendayagunaan hartanya (ada aturan halal dan haram). Maksudnya adalah Islam mewajibkan
setiap muslim, khususnya yang memiliki tanggungan untuk bekerja. Bekerja merupakan salah
satu sebab pokok yang memungkinkan manusia memiliki harta kekayaan. Untuk memungkinkan
manusia berusaha mencari nafkah, Allah swt. melapangkan bumi serta menyediakan berbagai
fasilitas yang dapat dimanfaatkan untuk mencari rizki.
B. Saran
Dari beberapa penjelasan di atas tentang konsep bisnis dalam Al-Quran pasti tidak
terlepas dari kesalahan penulisan dan rangkaian kalimat dan penyusunan makalah. Penulis
menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan seperti yang diharapkan oleh para
pembaca dan khususnya pembimbing mata kuliah etika bisnis Islam. Oleh karena itu, penulis
mengaharap kepada parambaca dan dosen pembimbing mata kuliah ini dapat memberikan kritik
dan saran yang sifatnya membangun.

MEMAHAMI RUKUN DAN SYARAT SAHNYA JUAL BELI


Pada dasarnya hukum muamalah adalah mubah (diperbolehkan) sebagaimana yang
telah disepakati oleh mayoritas ulama fiqih dalam kitab-kitab mereka dengan
menetapkan sebuah kaidah fiqhiyah yang berbunyi Al-Ashlu Fil Asy-ya-i Wal Ayani AlIbahatu. Kaidah ini berlandaskan beberapa dalil syari, di antaranya adalah firman
Allah:


Dialah (Allah) yang menciptakan segala apa yang ada di bumi untukmu. (QS. AlBaqarah: 29)
Dan jual beli (perdagangan) adalah termasuk dalam katagori muamalah yang
dihalalkan oleh Allah, sebagaimana firman-Nya:

Dan Allah telah menghalalkan jual beli. (Q.S. Al Baqarah: 275).
Al-Hafizh Ibnu katsir dalam tafsir ayat diatas mengatakan: Apa-apa yang bermanfaat
bagi hamba-Nya maka Allah memperbolehkannya dan apa-apa yang
memadharatkannya maka Dia melarangnya bagi mereka.
Dari ayat ini para ulama mengambil sebuah kaidah bahwa seluruh bentuk jual beli
hukum asalnya boleh kecuali jual beli yang dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya. Yaitu
setiap transaksi jual beli yang tidak memenuhi syarat sahnya atau terdapat larangan
dalam unsur jual-beli tersebut.
PENGERTIAN JUAL BELI

Jual Beli bisa didefinisikan sebagai: Suatu transaksi pemindahan pemilikan suatu
barang dari satu pihak (penjual) ke pihak lain (pembeli) dengan imbalan suatu barang
lain atau uang.
Atau dengan kata lain, jual beli itu adalah ijab dan qabul,yaitu suatu proses penyerahan
dan penerimaan dalam transaksi barang atau jasa.
Islam mensyaratkan adanya saling rela antara kedua belah pihak yang bertransaksi.
Hadits riwayat Ibnu Hibban dan Ibnu Majah menjelaskan hal tersebut:


Sesungguhnya Jual Beli itu haruslah dengan saling suka sama suka.
Oleh karena kerelaan adalah perkara yang tersembunyi, maka ketergantungan hukum
sah tidaknya jual beli itu dilihat dari cara-cara yang nampak (dhahir) yang
menunjukkan suka sama suka, seperti adanya ucapan penyerahan dan penerimaan.
MACAM-MACAM JUAL BELI
Beberapa macam jual beli yang diakui Islam antara lain adalah:
1. Jual beli barang dengan uang tunai
2. Jual Beli barang dengan barang (muqayadlah/barter)
3. Jual beli uang dengan uang (Sharf)
4. Jual Utang dengan barang, yaitu jual beli Salam (penjualan barang dengan hanya
menyebutkan ciri-ciri dan sifatnya kepada pembeli dengan uang kontan dan barangnya
diserahkan kemudian)
5. Jual beli Murabahah ( Suatu penjualan barang seharga barang tersebut ditambah
keuntungan yang disepakati. Misalnya seseorang membeli barang kemudian
menjualnya kembali dengan keuntungan tertentu. Karakteristik Murabahah adalah si

penjual harus memberitahu pembeli tentang harga pembelian barang dan menyatakan
jumlah keuntungan yang ditambahkan pada biaya tersebut.
Untuk dapat mengetahui dan memahami bentuk-bentuk transaksi jual beli yang
dilakukan oleh umumnya manusia, apakah hukumnya sah atau tidak, penghasilan yang
diperolehnya halal atau tidak, maka berikut ini kami akan sebutkan rukun-rukun dan
syarat-syarat sahnya jual beli.
RUKUN JUAL BELI:
Jual beli memiliki 3 (tiga) rukun:
1.Al- Aqid (orang yang melakukan transaksi/penjual dan pembeli),
2. Al-Aqd (transaksi),
3. Al-Maqud Alaihi ( objek transaksi mencakup barang dan uang).
Masing-masing rukun memiliki syarat;
1. Al- Aqid (penjual dan pembeli) haruslah seorang yang merdeka, berakal (tidak gila),
dan baligh atau mumayyiz (sudah dapat membedakan baik/buruk atau najis/suci,
mengerti hitungan harga).
Seorang budak apabila melakukan transaksi jual beli tidak sah kecuali atas izin dari
tuannya, karena ia dan harta yang ada di tangannya adalah milik tuannya. Hal ini
berdasarkan sabda Nabi: Barangsiapa menjual seorang budak yang memiliki harta,
maka hartanya itu milik penjualnya, kecuali jika pembeli mensyaratkan juga membeli
apa yang dimiliki oleh budak itu. (HR. Bukhari dan Muslim).
Demikian pula orang gila dan anak kecil (belum baligh) tidak sah jual-belinya,
berdasarkan firman Allah:

Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian jika
menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka
serahkanlah kepada mereka harta-hartanya. (QS. An-Nisaa: 6).
Para ulama ahli tafsir mengatakan:Ujilah mereka supaya kalian mengetahui
kepintarannya, dengan demikian anak-anak yang belum memiliki kecakapan dalam
melakukan transaksi tidak diperbolehkan melakukannya hingga ia baligh. Dan di dalam
ayat ini juga Allah melarang menyerahkan harta kepada orang yang tidak bisa
mengendalikan harta.
2. Penjual dan pembeli harus saling ridha dan tidak ada unsur keterpaksaan dari pihak
manapun meskipun tidak diungkapkan.
Allah berfirman:



Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu
dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka
sama-suka di antara kamu. (Q.S. An-Nisaa: 29).
Rasulullah bersabda:


Sesungguhnya jual beli itu harus dilakukan dengan suka rela. (HR. Ibnu Majah II/737
no. 2185 dan Ibnu Hibban no. 4967)
Maka tidak sah jual-beli orang yang dipaksa. Akan tetapi di sana ada kondisi tertentu
yang mana boleh seseorang dipaksa menjual harta miliknya, seperti bila seseorang
memiliki hutang kepada pihak lain dan sengaja tidak mau membayarnya, maka pihak
yang berwenang boleh memaksa orang tersebut untuk menjual hartanya, lalu
membayarkan hutangnya, bila dia tetap tidak mau menjualnya maka dia boleh
melaporkan kepada pihak yang berwenang agar menyelesaikan kasusnya atau

memberikan hukuman kepadanya (bisa dengan penjara atau selainnya). Nabi bersabda:
Orang kaya yang sengaja menunda-nunda pembayaran hutangnya telah berbuat
zhalim. Maka dia berhak diberikan sanksi. (HR. Abu Daud)
Masalah: Hukum membeli barang dengan harga miring dari
seseorang yang butuh uang tunai karena kepepet (terpaksa)
Dalam masalah ini ada tiga pendapat para ulama fiqih, tetapi pendapat yang rojih
(terkuat) ialah yang mengatakan dibolehkan dan bahkan dianjurkannya jual beli seperti
ini dalam rangka membantu saudara seiman yang membutuhkan uang tunai
secepatnya. Juga dikarenakan tidak terdapat unsur keterpaksaan, karena orang ini akan
menjual barangnya kepada siapapun dengan harga miring. Namun sebagian ulama
dalam mazhab hanbali memakruhkan membeli barang tersebut meskipun transaksinya
sah.
Adapun hadits yang berbunyi:
- -

Bahwa Nabi shallallahu alaihi wasallam melarang membeli barang dari orang yang
sedang kepepet, adalah hadits dhoif (lemah), diriwayatkan oleh Abu Daud no. 3384.
(lihat Shohih Fiqhis Sunnah IV/271)
3. Al-Aqdu (transaksi/ijab-qabul) dari penjual dan pembeli.
Ijab (penawaran) yaitu si penjual mengatakan, saya jual barang ini dengan harga
sekian. Dan Qabul (penerimaan) yaitu si pembeli mengatakan, saya terima atau saya
beli.
Di dalam hal ini ada dua pendapat:
Pendapat pertama: Mayoritas ulama dalam mazhab Syafii mensyaratkan
mengucapkan lafaz ijab-qabul dalam setiap bentuk jual-beli, maka tidak sah jual-beli
yang dilakukan tanpa mengucapkan lafaz saya jual dan saya beli.

Pendapat kedua: Tidak mensyaratkan mengucapkan lafaz ijab-qabul dalam setiap


bentuk jual-beli. Bahkan imam Nawawi -pemuka ulama dalam mazhab Syafiimelemahkan pendapat pertama dan memilih pendapat yang tidak mensyaratkan ijabqabul dalam aqad jual beli yang merupakan mazhab maliki dan hanbali. (lihat.
Raudhatuthalibin 3/5).
Dalil pendapat kedua sangat kuat, karena Allah dalam surat An-Nisa hanya
mensyaratkan saling ridha antara penjual dan pembeli dan tidak mensyaratkan
mengucapkan lafaz ijab-qabul. Dan saling ridha antara penjual dan pembeli
sebagaimana diketahui dengan lafaz ijab-qabul juga dapat diketahui dengan adanya
qarinah (perbuatan seseorang dengan mengambil barang lalu membayarnya tanpa ada
ucapan apa-apa dari kedua belah pihak). Dan tidak ada riwayat dari nabi atau para
sahabat yang menjelaskan lafaz ijab-qabul, andaikan lafaz tersebut merupakan syarat
tentulah akan diriwayatkan. (lihat. Kifayatul akhyar hal.283, Al Mumti 8/106).
Imam Baijuri seorang ulama dalam mazhab Syafii- berkata, mengikuti pendapat
yang mengatakan lafaz ijab-qabul tidak wajib sangat baik, agar tidak berdosa orang
yang tidak mengucapkannya malah orang yang mengucapkan lafaz ijab-qabul saat
berjual beli akan ditertawakan (lihat. Hasyiyah Ibnu Qasim 1/507).
Dengan demikian boleh membeli barang dengan meletakkan uang pada mesin lalu
barangnya keluar dan diambil atau mengambil barang dari rak di super market dan
membayar di kasir tanpa ada lafaz ijab-qabul. Wallahu alam.
3. Al-Maqud Alaihi ( objek transaksi mencakup barang dan uang ).
Al-Maqud Alaihi memiliki beberapa syarat:
A.Barang yang diperjual-belikan memiliki manfaat yang dibenarkan syariat, bukan najis
dan bukan benda yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya.
Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda:


Sesungguhnya Allah apabila mengharamkan atas suatu kaum untuk memakan sesuatu,
maka Dia pasti mengharamkan harganya. (HR. Abu Dawud dan Baihaqi dengan sanad
shahih)
Oleh karena itu tidak halal uang hasil penjualan barang-barang haram sebagai berikut:
Minuman keras dengan berbagai macam jenisnya, bangkai, babi, anjing dan patung.
Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda:

Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya mengharamkan jual beli khamer, bangkai, babi
dan patung. (HR. Bukhari dan Muslim)
Dalam hadist yang lain riwayat Ibnu Masud beliau berkata:
Sesungguhnya Nabi Saw melarang (makan) harga anjing, bayaran pelacur dan hasil
perdukunan. (HR. Bukhari dan Muslim)
Termasuk dalam barang-barang yang haram diperjual-belikan ialah Kaset atau VCD
musik dan porno. Maka uang hasil keuntungan menjual barang ini tidak halal dan
tentunya tidak berkah, karena musik telah diharamkan Allah dan rasul-Nya. Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam bersabda:

Akan ada diantara umatku sekelompok orang yang menghalalkan zina, sutera, khamr
dan alat musik. (HR. Bukhari no.5590)
B. Barang yang dijual harus barang yang telah dimilikinya. Dan kepemilikan sebuah
barang dari hasil pembelian sebuah barang menjadi sempurna dengan terjadinya
transaksi dan serah-terima.

Diriwayatkan dari Hakim bin Hizam, dia bertanya kepada Nabi shallallahu alaihi
wasallam tentang seseorang yang datang ke tokonya untuk membeli suatu barang,
kebetulan barang tersebut sedang tidak ada di tokonya, kemudian dia mengambil uang
orang tersebut dan membeli barang yang diinginkan dari toko lain, maka Nabi
shallallahu alaihi wasallam menjawab:


jangan engkau jual barang yang tidak engkau miliki! (HR. Abu Daud II/305no.3503)
Dan tidak boleh hukumnya menjual barang yang telah dibeli namun belum terjadi
serah-terima barang.
Diriwayatkan dari Hakim bin Hizam, ia berkata, aku bertanya kepada rasulullah, jualbeli apakah yang diharamkan dan yang dihalalkan? Beliau bersabda, hai keponakanku!
Bila engkau membeli barang jangan dijual sebelum terjadi serah terima. (HR. Ahmad)
C. Barang yang dijual bisa diserahkan kepada sipembeli,
maka tidak sah menjual mobil, motor atau handphone miliknya yang dicuri oleh orang
lain dan belum kembali. Demikian tidak sah menjual burung di udara atau ikan di
kolam yang belum di tangkap, hal ini sebagaimana sabda Nabi shallallahu alaihi
wasallam yang diriwayatkan Abu Said, ia berkata: Sesungguhnya Nabi shallallahu
alaihi wasallam melarang membeli hamba sahaya yang kabur. (HR.Ahmad)
D. Barang yang diperjual-belikan dan harganya harus diketahui oleh pembeli dan
penjual.
Barang bisa diketahui dengan cara melihat fisiknya, atau mendengar penjelasan dari si
penjual, kecuali untuk barang yang bila dibuka bungkusnya akan menjadi rusak seperti;
telur, kelapa, durian, semangka dan selainnya. Maka sah jual beli tanpa melihat isinya
dan si pembeli tidak berhak mengembalikan barang yang dibelinya seandainya didapati
isi rusak kecuali dia mensyaratkan di saat akad jual-beli akan mengembalikan barang

tersebut bilamana isinya rusak atau si penjual bermaksud menipu si pembeli dengan
cara membuka sebuah semangka yang bagus, atau jeruk yang manis rasanya dan
memajangnya sebagai contoh padahal dia tahu bahwa sebagian besar semangka dan
jeruk yang dimilikinya bukan dari jenis contoh yang dipajang. Maka ini termasuk jualbeli gharar (penipuan) yang diharamkan syariat. Karena nabi shallallahu alaihi wa
sallam melarang jual beli yang mengandung unsur gharar (ketidak jelasan/penipuan).
(HR. Muslim)
Adapun harga barang bisa diketahui dengan cara menanyakan langsung kepada si
penjual atau dengan melihat harga yang tertera pada barang, kecuali bila harga yang
ditulis pada barang tersebut direkayasa dan bukan harga sesungguhnya, ini juga
termasuk jual-beli gharar (penipuan). wallahu alamu bish-showab.
Demikianlah penjelasan singkat tentang rukun dan syarat sahnya jual beli. Semoga
dapat difahami dan bermanfaat bagi kita semua. Amiin.
BAB III
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Islam sebagai suatu ajaran tentang sistem kehidupan yang meliputi hubungan
antara Pencipta (al-khaliq) dengan seluruh ciptaan-Nya (makhluk) dan antar ciptaan itu
sendiri pada dasarnya dapat didekati melalui dua sumber utama, yaitu sumber wahyu (alQuran dan al-Hadist) dan sumber ilmu pengetahuan.
Konsep Islam bersifat proporsional dan dinamis ke suatu tatanan masyarakat yang
harmonis, seimbang, adil dan sejahtera penuh limpahan rahmat sang al-khaliq. Konsep
ekonomi pembangunan dalam Islam terus diperlukan pengkajian melalui cara menggali
kaidah-kaidah dalam ilmu ekonomi Islam dengan tetap berpedoman pada dua sumber
utama wahyu.
Seiring dengan dinamika era globalisasi khususnya dinamika Keislaman yang kian kini
semakin mengalami berbagai macam persoalan baik dari segi persaingan perbankan yang

kian kemari semakin banyak dan semakin berkompetensi khususnya dalam dunia hokum
maka hal ini telah mendorong terus meningkat dan semakin kompleknya tuntutan yang
mesti dilakukan khususnya bagi lembaga lembaga perbankan terlebih bagi lembaga
lembaga perbankan yang kurang memenuhi standar kapabelitas dan profesionalitas civitas
akademik / keilmuan .Maka dari semua itu tuntutan terhadap penyiapan sumber daya
manusia yang handal sungguh sangat dtuntut sebagi sarana penyeimbang arus global yang
semakin memanas.
Dalam konteks islam selain penguatan paradigma, prespektif diskripsi perbankan yang
handal dan kompeten sungguh sangat diperlukan sehingga seorang nasabah akan mampu
memandang kedepan tentang tantangan dan tuntutan yang mesti
ia persiapkan.Dalam rangka itulah makalah Ekonomi Syariah : Dalam Tinjauan Islam
diharapkan membantu pemahaman tentang ekonomi islam itu sendiri dan juga diharapkan
dengan makalah ini akan semakin memperkaya prespektif dan khazanah keilmuan tentang
dunia perekonomian juga realitas kehidupan perbankan secara luas.
B. Rumusan Masalah
1. Apakah pengertian dari muamalah?
2. Apa asas-asas ekonomi dalam Islam?
3. Bagaimana penerapan transaksi dalam islam?
4. Bagaimana kerja sama ekonomi dalam islam?
5. Bagaimana ketentuan hukum Islam tentang jual beli?
C. Tujuan Penulisan
Penulisan makalah ini bertujuan untuk :
1. Memahami mengenai muamalah.
2. Mengetahui dan memahami apa saja asas-asas transaksi ekonomi di
dalam islam.
3. Setelah memahami mengenai asas-asas transaksi ekonomi dalam islam,
di harapkan dapat menerapkannya di dalam kehidupan kita.
4. Memahami mengenai kerja sama ekonomi dalam islam.
D. Sistematika Penulisan
Dalam bab ini akan dijelaskan mengenai subbab-subbab yang terdapat di dalam makalah
ini, yaitu :

1)

Bab I

Dalam bab ini penulis membicarakan mengenai latar belakang dibuatnya makalah ini,
menjelaskan berbagai masalah yang akan dibahas dalam makalah ini, tujuan penulis
membuat makalah ini, serta sistematika penulisan.
2)

Bab II

Di dalam bab ini penulis mencoba untuk menjelaskan serta memecahkan masalah-masalah
yang berkaitan dengan tema yang diambil oleh penulis. Dan mencoba menjawab dari
rumusan-rumusan masalah yang terdapat di dalam Bab I.
3)

Bab III

Dalam bab ini penulis mencoba untuk menarik kesimpulan dari apa yang telah dijelaskan di
dalam bab II. Penulis juga menuliskan kata penutup serta mencantumkan dari buku atau
blog apa saja materi itu diambil.
BAB II
TRANSAKSI EKONOMI DALAM ISLAM
A.

Pengertian Muamalah

Muamalah adalah bagian dari hukum Islam yang berkaitan dengan hak dan harta yang
muncul dari transaksi antara seseorang dengan orang lain, atau antara seseorang dengan
badan hukum atau antara badan hukum yang satu dengan badan hukum yang lainnya.
B.

Asas-asas Transaksi Ekonomi dalam Islam

Transaksi ekonomi adalah pejanjian atau akad dalam bidang ekonomi. Dalam setiap
transaksi ada beberapa prinsip dasar (asas-asas) yang diterapkan syara, yaitu:
1. Setiap transaksi pada dasarnya mengikat orang (pihak) yang melakukan
transaksi, kecuali apabila transaksi itu menyimpang dari hukum syara.,
Pihak-pihak yang bertransaksi harus memenuhi kewajiban yang telah
disepakati dan tidak boleh saling mengkhianati.

Surah Al-Maidah, 5: 1
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu. dihalalkan bagimu
binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu. (yang demikian itu) dengan tidak
menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah
menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya.

1. Syarat-syarat transaksi dirancang dan dilaksanakan secara bebas teteapi


penuh tanggung jawab, tidak menyimpang dari hukum syara dan adab
sopan santun.
2. Setiap transaksi dilakukan secara sukarela, tanpa ada paksaan dari pihak
mana pun.
Surah An-Nisa, 4: 29
ygrt %!$# (#qYtB#u w (#q=2s? N3s9uqBr& M6oY t/ $
@t69$$/ Hw) br& cq3s? otpgB `t <#t s? N3ZiB 4 wur (#q=F)s?
N3|Rr& 4 b) !$# tb%x. N3/ $VJmu
Artinya:Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu
dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka samasuka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah adalah
Maha Penyayang kepadamu.

1. Islam mewajibkan agar setiap transaksi, dilandasi dengan niat yang baik
dan ikhlas karena Allah SWT, sehingga terhindar dari segala bentuk
penipuan, kecurangan, dan penyelewengan. Hadis Nabi SAW
menyebutkan: Nabi Muhammad SAW melarang jual beli yang
mengandung unsure penipuan. (H.R. Muslim)
2. Adat kebiasaan atau urf yang tidak menyimpang dari syara, boleh
digunakan untuk menentukan batasan atau kriteria-kriteria dalam
transaksi.

C. Penerapan Transaksi Ekonomi Dalam Islam


1. Jual Beli
a. Pengertian Dasar Hukum dan Hukum Jual Beli
Jual beli adalah persetujuan saling mengikat antara penjual (yakni pihak yang
menyerahkan/ menjual barang) dan pembeli (pihak yang membayar/ membeli barang yang
dijual).
Jual beli sebagai sarana tolong menolong sesama manusia, di dalam Islam mempunyai
dasar hukum dari Al-Quran dan Hadist. Seperti dalam Al-Quran Surah An-Nisa, 4: 29.
Mengacu kepada ayat Al-Quran dan Hadist, hukum jual beli adalah mubah (boleh). Namun
pada situasi tertentu, hukum jual beli bisa berubah menjadi sunnah, haram, dan makruh.
b. Rukun dan Syarat Jual Beli
Rukun dan syarat jual beli adalah ketentuan-ketentuan dalam jual beli yang harus dipenuhi
agar jual belinya dihukumi sah menurut syara.

Syarat bagi orang yang melaksanakan akad jual beli :

1)

Berakal

2)

Balig

3)

Berhak mengunakan hartanya.

Allah SWT berfirman :


wur (#q?s? u!$ygx9$# N3s9uqBr& L9$# @yy_ !$# /3s9 $VJu
% Ndq%$#ur $pk Ndq.$#ur (#q9q%ur Nlm; Zwqs% $]r B

Artinya :

Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum Sempurna akalnya, harta
(mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan.
berilah mereka belanja dan Pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka
kata-kata yang baik.

Sigat atau ucapan ijab dan Kabul

Ulama fikih sepakat, bahwa unsur utama dalam jual beli adalah kerelaan antara penjual dan
pembeli. Karena kerelaan itu berada dalam hati, maka harus diwujudkan melalui
ucapan ijab (dari pihak penjual) dan Kabul (dari pihak pembeli.

Syarat barang yang diperjualbelikan :

1)
Barang yang diperjualbelikan sesuatu yang halal. Barang haram tidak sah
diperjualbelikan.
2)

Barang itu ada manfaatnya.

3)

Barang itu ada di tempat, atau tidak ada tetapi sudah tersedia di tempat lain.

4)

Barang itu merupakan milik si penjual atau di bawah kekuasaannya.

5)
Barang itu hendaklah di ketahui oleh pihak penjual dan pembeli dengan jelas, baik
zatnya, bentuk dan kadarnya, maupun sifat-sifatnya.

1)

Syarat bagi nilai tukar barang yang dijual :


Harga jual yang disepakati penjual dan pembeli harus jelas jumlahnya.

2)
Nilai tukar barang itu dapat diserahkan pada waktu transaksi jual beli, walaupun
secara hukum, misalnya menggunakan cek atau kartu kredit.
3)
Apabila jual beli dilakukan secara barter atau Al-Muqayadah, maka nilai tukarnya tidak
boleh dengan barang haram.
c. Khiyar
Khiyar ialah hak memilih bagi penjual dan pembeli untuk meneruskan jual-belinya atau
membatalkan karena adanya suatu hal. Hukum Islam membolehkan hak khiyar agar tidak
terjadi penyesalan bagi penjual maupun pembeli.

Adapun khiyar itu bermacam-macam, yaitu :


1)
Khiyar majelis ialah khiyar yang berlangsung selama penjual dan pembeli masih
berada di tempat jual beli.
2)
Khiyar syarat ialah khiyar yang dijadikan sebagai syarat pada waktu akad jual
beli. Khiyar syaratdibolehkan dengan ketentuan tidak boleh lebih dari tiga hari tiga malam
semenjak akad.
3)
Khiyar aib (khiyar cacat) maksudnya pembeli mempunyai hak pilih, untuk
mengurungkan akad jual belinya karena terdapat cacat pada barang yang dibelinya.
d. Macam-macam Jual Beli
Jual beli dapat dilihat dari beberapa sudut pandang, antara lain :
1)
Jual beli yang sah dan tidak terlarang yaitu jual beli yang terpenuhi rukun-rukun dan
syaratnya.
2)
Jual beli yang terlarang dan tidak sah (batil) yaitu jual beli yang salah satu atau
seluruh rukunnya atau jual beli itu pada dasr dan sifatnya tidak disyariatkan. Contoh :
- Jual beli sesuatu yang termasuk najis
- Jual beli air mani hewan ternak
- Jual beli yang mengandung unsur kecurangan dan penipuan.
3)

Jual beli yang sah tapi terlarang (fasid), terjadi karena sebab-sebab berikut:

- Merugikan si penjual
- Mempersulit peredaran barang
- Merugikan kepentingan umum
2. Simpan Pinjam

Rukun dan syarat pinjam meminjam menurut hukum Islam adalah sebagai berikut :
1)
Yang berpiutang dan yang berutang, syaratnya sudah balig dan berakal sehat. Yang
berpiutang, tidak boleh meminta pembayaran melebihi pokok piutang. Sedangkan
peminjam tidak boleh melebihi atau menunda-nunda pembayaran utangnya.
2)
Barang (uang) yang diutangkan atau dipinjamkan adalah milik sah dari yang
meminjamkan. Pengembalian utang atau pinjaman tidak boleh kurang nilainya, bahkan
sunah bagi yang berutang mengembalikan lebih dari pokok hutangnya.
3. Ijarah
a. Pengertian
Ijarah berasal dari bahasa Arab yang artinya upah , sewa, jasa, atau imbalan.
Definisi ijarah menurut ulama mazhab SyafiI adalah transaksi tertentu terhadap suatu
manfaat yang dituju, bersifat mubah dan bisa dimanfaatkan dengan imbalan tertentu.
b. Dasar Hukum Ijarah
Dasar hukum ijarah berasl dari Al-Quran dan Hadist. Al-Quran yang dijadikan
dasar hukumijarah adalah Q.S Az-Zukhruf, 43:32, Q.S At-Talaq, 65:6, Q.S Al-Qasas, 28:26.
Allah SWT berfirman dalam Q.S Al-Qasas, 28:26 :
Ms9$s% $yJg1yn) Mt/rt nftG$# ( c) u yz `tB |
NyftG$# qs)9$# BF{$#
Artinya :
Salah seorang dari kedua wanita itu berkata: Ya bapakku ambillah ia sebagai orang yang
bekerja (pada kita), Karena Sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk
bekerja (pada kita) ialah orang yang Kuat lagi dapat dipercaya.
Hadist yang dijadikan dasar hukum ijarah adalah hadist dari Ibnu Umar r.a yang
artinya Berikanlah upah/ jasa kepada orang yang kamu pekerjakan sebelum kering
keringatnya (H.R. Abu Yala, Ibnu Majah, Tabrani, dan Tirmizi).

c. Macam-macam Ijarah
1)
Ijarah yang bersifat manfaat, seperti sewa-menyewa. Apabila manfaat itu termasuk
manfaat yang dibolehkan syarat untuk dipergunakan, maka ulama fikih sepakat boleh
dijadikan objek sewa-menyewa.
2)
Ijarah yang bersifat pekerjaan ialah dengan cara mempekerjakan seseorang untuk
melakukan suatu pekerjaan.
d. Rukun dan Syarat Ijarah
Syarat-syarat akad (transaksi) Ijarah adalah sebagai berikut :
1)

Kedua orang yang bertransaksi sudah balig dan berakal sehat.

2)

Kedua pihak bertransaksi dengan kerelaan, artinya tidak terpaksa atau dipaksa.

3)

Barang yang akan disewakan diketahui kondisi dan manfaatnya oleh penyewa.

4)

Objek ijarah bisa diserahkan dan dipergunakan secara langsung dan tidak bercacat.

5)

Objek ijarah merupakan sesuatu yang dihalalkan syara.

6)

Hal yang disewakan tidak termkasuk suatu kewajiban bagi penyewa.

7)

Objek ijarah adalah sesuatu yang bisa disewakan.

8)
Upah/ sewa dalam transaksi ijarah harus jelas, tertentu, dan sesuatu yang bernilai
harta.
Rukun-rukun ijarah menurut jumhur ulama adalah sebagai berikut :
1)

Orang yang berakal

2)

Sewa/ imbalan

3)

Manfaat

4)

Sigat atau ijab Kabul


e. Berakhirnya Akad Ijarah

Karena ijarah bersifat mengikat, kecuali ada cacat atau barang tersebut tidak bisa
dimanfaatkan, maka hal-hal yang dapat menyebabkan berakhirnya akad ijarah adalah
sebagai berikut :
1)

Objek ijarah hilang atau musnah.

2)

Habisnya tanggang waktu yang disepakati dalam akad/ taransaksi ijarah.

D. Kerjasama Ekonomi dalam Islam


1. Syirkah
Syirkah berarti perseroan atau persekutuan, yaitu pearsekutan antara dua orang atau lebih
yang bersepakat untuk bekerjasama dalam suatu usaha, yang keuntungan atau hasilnya
untuk mereka bersama.
Termasuk syirkah yang sesuai dengan ketentuan syara, apabila syirkah itu dilaksanakan
dengan niat ikhlas karena Allah, sabar, tawakal, jujur, saling percayaantara sesama anggota
syarikat, dan bersih dari unsur-unsur kecurangan atau penipuan.
Syirkah dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu:
1. a.
Syarikat harta (syarikat inan)
Syarikat harta yaitu akad dari dua orang atau lebih untuk berkongsi pada harta
yang ditentukan dengan maksud untuk memperoleh keuntungan. Adapun rukun
dalam syarikat harta itu adalah :
1)

Sigat atau lafal akad (ucapan perjanjian)

2)

Angota-angota syarikat

3)

Pokok atau modal dan pekerjaan

Dalam kehidupan modern, bentuk daripada syarikat harta misalnya Firma, C.V
(Commanditaire Venootschaf), P.T (Perseroan Terbatas).
1. Syarikat kerja
Syarikat kerja adalah gabungan dua orang atau lebih untuk bekerjasama dalam
suatu jenis pekerjaan dengan ketentuan bahwa hasil dari pekerjaan dibagikan kepad
seluruh anggota syarikat sesuai dengan perjanjian.
Manfaat syarikat kerja adal;ah sebagai berikut :
1)

Menjalin hubungan persaudaraan, khususnya sesama anggota syarikat.

2)

Memenuhi kebutuhan dan meningkatkan kesejahteran anggota syarikat.

3)

Menyelesaikan dengan baik pekerjaan-pekerjaan besar.

4)
Melahirkan kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, dalam bidang
ekonomi, dan kebudayaan, serta bidang keamanan dan pertahanan.
2. Mudarabah
Menurut istilah, mudarabah atau qirad adalah pemberian modal dari pemilik modal
kepada seseorang yang akan memperdagangkan modal dengan ketentuan bahwa untungrugi ditanggung bersama sesuai dengan perjanjian antara keduanya pada waktu akad.
Hukum melakukan mudarabahitu dibolehkan (mubah), bahkan dianjurakan
oleh syara karena di dalamnya terdapat unsure tolong-menolong dalam kebaikan.
Rukun dalam mudarabah atau qirad adalah :
1)
Muqrid (pemilik modal) dan muqtarid (yang menjalankan modal), hendaknya sudah
balig, berakal sehat dan jujur.
2)

Uang atau barang yang dijadikan modal harus diketahui jumlahnya.

3)

Jenis usaha dan tempatnya hendaknya disepakati bersama.

4)
Besarnya keuntungan bagi masing-masing pihak, hendaknya sesuai dengan
kesepakatan pada waktu akad.
5)

Muqtarid hendaknya bersikap jujur (amanah).

3. Muzaraah, Mukhabarah, dan Musaqah


a. Muzaraah dan Mukhabarah
Muzaraah ialah paruhan hasil sawah atau ladang antara pemilik dan penggarap,
sedangkan benihnya berasal dari pemilik. Jika benihnya berasal dari penggarap
disebut mukhabarah.
Muzaraah dan mukharabah diperbolehkan dalam Islam dan sesuai dangan
ketentuan syara dalam pelaksaannya tidak ada unsur kecurangan dan pemaksaan.
Ketentuan yang harus dipenuhi dalamMuzaraah dan mukharabah yaitu :
1)

Pemilik dan pengarap harus balig, berakal sehat, dan amanah.

2)
Ladang yang digarap betul-betul milik orang yang menyerahkan ladangnya untuk
digarap.
3)

Hendaknya ditentukan lamanya masa pengarapan.

4)

Pembagian hasil ditentukan berdasarkan musyawarah antara dua belah pihak.

5)
Kedua belah pihak hendaknya menaati ketentuan-ketentuan yang sudah disepakati
bersama.
1. b. Musaqah
Musaqah adalah paruhan hasil kebun antara pemilik dan penggarap yang besar
bagian masing-masingnya sesuai dengan perjanjian pada saat akad.

Ada hadist yang menyebutkan bahwa Rasulallah SAW pernal melaksanakan Musaqah.
Berikut kutipan arti hadist tersebut :
Dari Ibnu Umar : Sesungguhnya Nabi SAW telah menyerahkan kebun miliknya, kepada
penduduk Khaibar agar dipelihara oleh mereka dengan perjanjian, mereka akan diberi
sebagian dari hasilnya baik dari buah-buahan atau hasil tanaman (palawija). (H.R. Muslim)
4. Sistem Perbankan yang Islami
Sistem perbankan yang Islami maksudnya adalah system perbankan yang berdasar dan
sesuai dangan ajaran Islam yang dapat dirujuk pada Al-Quran dan Hadist. Sistem
perbankan yang Islami dikelola oleh Bank Syariah, yaitu lembaga yang usaha pokoknya
memberikan kredit dan jasa lain dalam lalu lintas pembayaran, serta peredaran uanng yang
pengoperasiannya disesuaikan dengan syariat Islam.
5. Sistem Asuransi yang Islami
Menurut bahasa, kata asuransi (Arab : At-Tamin) berarti pertanggungan. Sedangkan
menurut istilahasuransi adalah akad antara penanggung dan yang mempertanggungkan
sesuatu.
Ulama fikih sepakat bahwa asuransi dibolehkan dangan catatan cara kerjanya sesuai
dengan ajaran Islam, yaitu ditegakkannya prinsip keadilan, dihilangkannya
unsur maisir (untung-untungan), perampasan hak dan kezaliman serta bersih dari riba.
BAB III
PENUTUP
A.

Kesimpulan

Berdasarkan uraian pada bab sebelumnya yaitu mengenai Hukum Islam


tentang Muamalah.Dari uraian pembahasan diatas,penulis dapat mengambil beberapa
kesimpulan sebagai berikut:
1. Muamalah adalah bagian dari hukum Islam yang berkaitan dengan hak
dan harta yang muncul dari transaksi antara seseorang dengan orang

2.

1.

2.

3.

4.

lain, atau antara seseorang dengan badan hukum atau antara badan
hukum yang satu dengan badan hukum yang lainnya.
Asas-asas transaksi ekonomi dalam islam ada 5 macam:
A. Setiap transaksi pada dasarnya mengikat orang (pihak) yang
melakukan transaksi, kecuali apabila transaksi itu menyimpang dari
hukum syara., Pihak-pihak yang bertransaksi harus memenuhi
kewajiban yang telah disepakati dan tidak boleh saling
mengkhianati.(Surah Al-Maidah, 5: 1)
B. Syarat-syarat transaksi dirancang dan dilaksanakan secara bebas
teteapi penuh tanggung jawab, tidak menyimpang dari
hukum syara dan adab sopan santun
C. Setiap transaksi dilakukan secara sukarela, tanpa ada paksaan dari
pihak mana pun.(Surah An-Nisa, 4: 29)
Islam mewajibkan agar setiap transaksi, dilandasi dengan niat yang baik
dan ikhlas karena Allah SWT, sehingga terhindar dari segala bentuk
penipuan, kecurangan, dan penyelewengan. Hadis Nabi SAW
menyebutkan: Nabi Muhammad SAW melarang jual beli yang
mengandung unsure penipuan. (H.R. Muslim)
Adat kebiasaan atau urf yang tidak menyimpang dari syara, boleh
digunakan untuk menentukan batasan atau kriteria-kriteria dalam
transaksi.(H.R Sa-Sayuti)
Transaksi ekonomi islam hendaknya diterapkan dalam setiap kegiatan
ekonomi.Misalnya dalam jual beli,simpan pinjam,dan sewa menyewa.
A. Jual beli adalah Jual beli adalah persetujuan saling mengikat antara
penjual (yakni pihak yang menyerahkan/ menjual barang) dan
pembeli (pihak yang membayar/ membeli barang yang dijual).
B. Pinjam meminjam atau utang piutang dalam koperasi.biasanya
dengan cara si peminjam atau yang berutang membayar utangnya
secara diangsur atau dicicil
C. Ijarah Ijarah berasal dari bahasa Arab yang artinya upah , sewa,
jasa, atau imbalan. Definisi ijarah menurut ulama mazhab SyafiI
adalah transaksi tertentu terhadap suatu manfaat yang dituju,
bersifat mubah dan bisa dimanfaatkan dengan imbalan tertentu.
Asas-asas transaksi ekonomi dalam islam itu hendaknya diterapkan dalam
jual beli serta kerja sama ekonomi yang
islami.Seperti syirkah,mudarabah,muzaraah,mukhabarah,musaqah,usaha
perbankan yang islami dan asuransi islam.

B.

A. Syirkah berarti perseroan atau persekutuan, yaitu pearsekutan


antara dua orang atau lebih yang bersepakat untuk bekerjasama
dalam suatu usaha, yang keuntungan atau hasilnya untuk mereka
bersama.
B. Menurut istilah, mudarabah atau qirad adalah pemberian modal
dari pemilik modal kepada seseorang yang akan memperdagangkan
modal dengan ketentuan bahwa untung-rugi ditanggung bersama
sesuai dengan perjanjian antara keduanya pada waktu akad.
Hukum melakukan mudarabah itu dibolehkan (mubah), bahkan
dianjurakan oleh syara karena di dalamnya terdapat unsure tolongmenolong dalam kebaikan.
C. Muzaraah ialah paruhan hasil sawah atau ladang antara pemilik
dan penggarap, sedangkan benihnya berasal dari pemilik. Jika
benihnya berasal dari penggarap disebutmukhabarah.
D. Musaqah adalah paruhan hasil kebun antara pemilik dan penggarap
yang besar bagian masing-masingnya sesuai dengan perjanjian
pada saat akad. Ada hadist yang menyebutkan bahwa Rasulallah
SAW pernal melaksanakan Musaqah. Berikut kutipan arti hadist
tersebut :
E. Sistem perbankan yang Islami maksudnya adalah system
perbankan yang berdasar dan sesuai dangan ajaran Islam yang
dapat dirujuk pada Al-Quran dan Hadist. Sistem perbankan yang
Islami dikelola oleh Bank Syariah, yaitu lembaga yang usaha
pokoknya memberikan kredit dan jasa lain dalam lalu lintas
pembayaran, serta peredaran uanng yang pengoperasiannya
disesuaikan dengan syariat Islam.
F. Menurut bahasa, kata asuransi (Arab : At-Tamin) berarti
pertanggungan. Sedangkan menurut istilah asuransi adalah akad
antara penanggung dan yang mempertanggungkan sesuatu.
SARAN

Berdasarkan kesimpulan yang telah penulis kemukakan diatas.selanjutnya prnulis


mengajukan saran-saran.adapun saran-saran yang dapat penulis kemukakan adalah
Dalam melakukan setiap kegiatan ekonomi hendaknya kita menerapkan syariat-syariat
islam agar kegiatan ekonomi atau transaksi yang kita lakukan sesuai dengan ajaran islam
dan agar kegiatan tersebut mendapat ridho dari Allah SWT.

BAB IV
I. PENGERTIAN ETIKA BISNIS
Etika Bisnis merupakan cara untuk melakukan kegiatan bisnis, yang mencakup seluruh
aspek yang berkaitan dengan individu, perusahaan dan juga masyarakat. Etika Bisnis dalam
suatu perusahaan dapat membentuk nilai, norma dan perilaku karyawan serta pimpinan dalam
membangun hubungan yang adil dan sehat dengan pelanggan/mitra kerja, pemegang saham,
masyarakat.
II. INDIKATOR ETIKA BISNIS
Dari berbagai pandangan tentang etika bisnis, beberapa indikator yang dapat dipakai
untuk menyatakan apakah seseorang dan suatu perusahaan telah melaksanakan etika
bisnis dalam kegiatan usahanya antara lain adalah: Indikator ekonomi; indikator peraturan khusus
yang berlaku; indikator hukum; indikator ajaran agama; indikator budaya dan indikator etik dari
masing-masing pelaku bisnis.
1. Indikator Etika bisnis menurut ekonomi adalah apabila perusahaan atau pebisnis telah melakukan
pengelolaan sumber daya bisnis dan sumber daya alam secara efisien tanpa merugikan
masyarakat lain.
2. Indikator etika bisnis menurut peraturan khusus yang berlaku. Berdasarkan indikator ini
seseorang pelaku bisnis dikatakan beretika dalam bisnisnya apabila masing-masing pelaku
bisnis mematuhi aturan-aturan khusus yang telah disepakati sebelumnya.
3. Indikator etika bisnis menurut hukum. Berdasarkan indikator hokum seseorang atau suatu
perusahaan dikatakan telah melaksanakan etika bisnis apabila seseorang pelaku bisnis
atau suatu perusahaan telah mematuhi

segala

norma hukum

yang

berlaku

dalam

menjalankan kegiatan bisnisnya.


4. Indikator etika

berdasarkan

ajaran

agama.

Pelaku bisnis

dianggap beretika bilamana

dalam pelaksanaan bisnisnya senantiasa merujuk kepada nilai- nilai ajaran agama yang
dianutnya.
5. Indikator etika berdasarkan nilai budaya. Setiap pelaku bisnis baik secara individu maupun
kelembagaan telah menyelenggarakan bisnisnya dengan mengakomodasi nilai-nilai budaya dan
adat istiadat yang ada disekitar operasi suatu perusahaan, daerah dan suatu bangsa.

6. Indikator etika bisnis menurut masing-masing individu adalah apabila masing-masing pelaku
bisnis bertindak jujur dan tidak mengorbankan integritas pribadinya.
III. PRINSIP ETIKA DALAM BERBISNIS
Secara umum, prinsip-prinsip yang dipakai dalam bisnis tidak akan pernah lepas dari
kehidupan keseharian kita. Namun prinsip-prinsip yang berlaku dalam bisnis sesungguhnya
adalah implementasi dari prinsip etika pada umumnya.
1. Prinsip Otonomi
Orang bisnis yang otonom sadar sepenuhnya akan apa yang menjadi kewajibannya dalam
dunia bisnis. la akan sadar dengan tidak begitu saja mengikuti saja norma dan nilai moral yang
ada, namun juga melakukan sesuatu karena tahu dan sadar bahwa hal itu baik, karena semuanya
sudah dipikirkan dan dipertimbangkan secara masak-masak. Dalam kaitan ini salah satu contohnya
perusahaan memiliki kewajiban terhadap para pelanggan,diantaranya adalah:
(1) Memberikan produk dan jasa dengan kualitas yang terbaik dan sesuai dengan tuntutan mereka;
(2) Memperlakukan pelanggan secara adil dalam semua transaksi, termasuk pelayanan yang tinggi
dan memperbaiki ketidakpuasan mereka;
(3) Membuat setiap usaha menjamin mengenai kesehatan dan keselamatan pelanggan, demikian
juga kualitas Iingkungan mereka, akan dijaga kelangsungannyadan ditingkatkan terhadap
produk dan jasa perusahaan;
(4) Perusahaan harus menghormati martabat manusia dalam menawarkan, memasarkan dan
mengiklankan produk.
Untuk bertindak otonom, diandaikan ada kebebasan untuk mengambil keputusan dan
bertindak berdasarkan keputusan yang menurutnya terbaik. karena kebebasan adalah unsur hakiki
dari prinsip otonomi ini. Dalam etika, kebebasan adalah prasyarat utama untuk bertindak secara
etis, walaupun kebebasan belum menjamin bahwa seseorang bertindak secara otonom dan etis.
Unsur lainnya dari prinsip otonomi adalah tanggungjawab, karena selain sadar akan
kewajibannya dan bebas dalam mengambil keputusan dan tindakan berdasarkan apa yang
dianggap baik, otonom juga harus bisa mempertanggungjawabkan keputusan dan tindakannya (di
sinilah

dimung-kinkan

bertanggungjawabmerupakan

adanya
ciri

pertimbangan
khas

dari

moral).

makhluk

Kesediaan

bermoral,

dan

tanggungjawab disini adalah tanggung jawab pada diri kita sendiri dan juga tentunya
pada stakeholder
.

2. Prinsip Kejujuran
Bisnis tidak akan bertahan lama jika tidak ada kejujuran, karena kejujuran merupakan modal
utama untuk memperoleh kepercayaan dari mitra bisnis-nya, baik berupa kepercayaan komersial,
material, maupun moril. Kejujuran menuntut adanya keterbukaan dan kebenaran. Terdapat tiga
lingkup kegiatan bisnis yang berkaitan dengan kejujuran:
1. Kejujuran relevan dalam pemenuhan syarat-syarat perjanjian dan kontrak. Pelaku bisnis disini
secara a priori saling percaya satu sama lain, bahwa masing-masing pihak jujur melaksanakan
janjinya. Karena jika salah satu pihak melanggar, maka tidak mungkin lagi pihak
yang dicuranginya mau bekerjasama lagi, dan pihak pengusaha lainnya akan tahu dan tentunya
malas berbisnis dengan pihak yang bertindak curang tersebut.
2. Kejujuran relevan dengan penawaran barang dan jasa dengan mutu dan harga yang baik.
Kepercayaan konsumen adalah prinsip pokok dalam berbisnis. Karena jika ada konsumen
yang merasa tertipu, tentunya hal tersebut akan rnenyebar yang menyebabkan konsumen
tersebut beralih ke produk lain.
3. Kejujuran

relevan

yaitu antara pemberi

dalam

hubungan

kerja

intern

dalam

suatu

perusahaan

kerja dan pekerja, dan berkait dengan kepercayaan. Perusahaan akan

hancur jika kejujuran karyawan ataupun atasannya tidak terjaga.


3. Prinsip Keadilan
Prinsip ini menuntut agar setiap orang diperlakukan secara sama sesuai dengan aturan
yang adil dan kriteria yang rasional objektif dan dapat dipertanggungjawabkan. Keadilan
berarti tidak ada pihak yang dirugikan hak dan kepentingannya. Salah satu teori mengenai
keadilan yang dikemukakan oleh Aristoteles adalah:
1. Keadilan legal. Ini menyangkut hubungan antara individu atau kelompok masyarakat dengan
negara. Semua pihak dijamin untuk mendapat perlakuan yangsama sesuai dengan hukum
yang berlaku. Secara khusus dalam bidang bisnis, keadilan legal menuntut agar Negara
bersikap netral dalam memperlakukan semua pelaku ekonomi, negara menjamin kegiatan bisnis
yang sehat dan baik dengan mengeluarkan aturan dan hukum bisnis yang berlaku secara sama
bagi semua pelaku bisnis.
2. Keadilan komunitatif. Keadilan ini mengatur hubungan yang adil antara orang yang satu dan
yang lain. Keadilan ini menyangkut hubungan vertikal antara negara dan warga negara, dan
hubungan horizontal antar warga negara. Dalam bisnis keadilan ini berlaku sebagai kejadian
tukar, yaitu menyangkut pertukaran yang fair antara pihak-pihak yang terlibat.

3. Keadilan distributif. Atau disebut juga keadilan ekonomi, yaitu distribusi ekonomi yang merata
atau dianggap adil bagi semua warga negara. Dalam dunia bisnis keadilan ini berkaitan dengan
prinsip perlakuan yang sama sesuai dengan aturan dan ketentuan dalam perusahaan yang juga
adil dan baik.
4. Prinsip Saling Menguntungkan
Prinsip ini menuntut agar semua pihak berusaha untuk saling mengun tungkan satu sama
lain. Dalam dunia bisnis, prinsip ini menuntut persaingan bisnis haruslah bisa melahirkan
suatu win-win situation.
5. Prinsip Integritas Moral
Prinsip ini menyarankan dalam berbisnis selayaknya dijalankan dengan tetap menjaga nama
baiknya dan nama baik perusahaan.
Dari kelima prinsip yang tentulah dipaparkan di atas, menurut Adam Smith, prinsip
keadilanlah yang merupakan prinsip yang paling penting dalam berbisnis. Prinsip ini menjadi
dasardan jiwa dari semua aturan bisnis, walaupun prinsip lainnya juga tidak akan terabaikan.
Karena menurut Adam Smith, dalam prinsip keadilan khususnya keadilan komutatif
berupa no harm, bahwa sampai tingkat tertentu, prinsip ini telah mengandung semua prinsip
etika bisnis lainnya. Karena orang yang jujur tidak akan merugikan orang lain, orang yang mau
saling menguntungkan dengan pibak Iain, dan bertanggungjawab untuk tidak merugikan orang
lain tanpa alasan yang diterima dan masuk akal.

BAB V
Pengertian Agama Secara Umum Merumuskan pengertian agama bukan suatu perkara
mudah, dan ketidak sanggupan manusia untuk mendefinisikan agama karena disebabkan
oleh persoalan-persoalan yang berkaitan dengan kepentingan mutlak dan tidak dapat
ditawar-tawar lagi, karena itu tidak mengherankan jika secara internal muncul pendapatpendapat yang secara apriori menyatakan bahwa agama tertentu saja sebagai satusatunya agama samawi, meskipun dalam waktu yang bersamaan menyatakan bahwa
agama samawi itu meliputi Islam, Kristen dan Yahudi. Sumber terjadinya agama terdapat
dua katagori, pada umumnya agama Samawi dari langit, agama yang diperoleh melalui
Wahyu Illahi antara lain Islam, Kristen dan Yahudi.-dan agama Wadi atau agama bumi
yang juga sering disebut sebagai agama budaya yang diperoleh berdasarkan kekuatan
pikiran atau akal budi manusia antara lain Hindu, Buddha, Tao, Khonghucu dan berbagai
aliran keagamaan lain atau kepercayaan. Dalam prakteknya, sulit memisahkan antara
wahyu Illahi dengan budaya, karena pandangan-pandangan, ajaran-ajaran, seruan-seruan
pemuka agama meskipun diluar Kitab Sucinya, tetapi oleh pengikut-pengikutnya dianggap
sebagai Perintah Illahi, sedangkan pemuka-pemuka agama itu sendiri merupakan bagian
dari budaya dan tidak dapat melepaskan diri dari budaya dalam masa kehidupannya,
manusia selalu dalam jalinan lingkup budaya karena manusia berpikir dan berperilaku.
Beberapa acuan yang berkaitan dengan kata Agama pada umumnya; berdasarkan
Sansekerta yang menunjukkan adanya keyakinan manusia berdasarkan Wahyu Illahi dari
kata A-GAM-A, awalan A berarti tidak dan GAM berarti pergi atau berjalan, sedangkan
akhiran A bersifat menguatkan yang kekal, dengan demikian agama: berarti pedoman
hidup yang kekal Berdasarkan kitab, SUNARIGAMA yang memunculkan dua istilah; AGAMA
dan UGAMA, agama berasal dari kata A-GA-MA, huruf A berarti awang-awang, kosong
atau hampa, GA berarti genah atau tempat dan MA berarti matahari, terang atau
bersinar, sehingga agama dimaknai sebagai ajaran untuk menguak rahasia misteri Tuhan,
sedangkan istilah UGAMA mengandung makna, U atau UDDAHA yang berarti tirta atau air
suci dan kata GA atau Gni berarti api, sedangkan MA atau Maruta berarti angin atau
udara sehingga dalam hal ini agama berarti sebagai upacara yang harus dilaksanakan
dengan sarana air, api, kidung kemenyan atau mantra. Berdasarkan kitab SADARIGAMA
dari bahasa sansekerta IGAMA yang mengandung arti I atau Iswara, GA berarti Jasmani
atau tubuh dan MA berarti Amartha berarti hidup, sehingga agama berarti Ilmu guna
memahami tentang hakikat hidup dan keberadaan Tuhan. Agama Untuk Manusia Atau
Manusia Untuk Agama? April 13, 2007 oleh Cahaya Islam Mereka menyadari akan tuntutan
di masa modern, yakni manusia menginginkan segala sesuatu. Termasuk manusia
menginginkan agama. Padahal menurut pandangan klasik, mereka memandang manusia
untuk agama. Mereka mengatakan bahwa didalam pandangan klasik terhadap agama,
manusia memandang tinggi agama dan akidah. Dengan dalil ini, manusia menjunjung
tinggi akidah dan menjadikan jiwa lahiriyah mereka tiada bernilai, serta dengan mudah
mereka akan mengorbankan jiwanya itu demi agama. Adapun di masa modern, manusia
menempatkan dirinya lebih tinggi atas akidahnya. Ini tidak berarti bahwa manusia akan

mengorbankan dirinya demi akidahnya, juga tidaklah menjadikan jiwanya terbunuh atas
dasar akidah yang dianutnya.
Tiada diragukan di masa modern bahwa
manusia lebih terhormat atas pemikirannya. Hal ini dapat ditinjau dari: Pertama,
argumentasi apa yang meletakkan manusia lebih terhormat atas pemikirannya? Kedua,
apakah juga demikian halnya menurut pandangan klasik atau bertentangan? Adapun di
masa modern manusia telah menemukan kehormatan dirinya dan meletakkan kedudukan
rendah atas pemikirannya, dari sisi akibat perkara yang terlupakan oleh manusia. Dari
sisi lain, sebagai akibat dari pengetahuan manusia yang telah hilang kebenarannya.
Manusia modern, menyakini pengetahuan yang nisbi, hingga tidak mungkin berharap
pemikirannya tersebut akan bernilai dan akan sampai pada titik terendah dari manusia.
Jika manusia menemukan sebuah hakikat dari pemikirannya, akan mengantarkannya
pada kemuliaan dan terjaga kehormatannya. Hingga mungkin akan menjadikan
pemikirannya lebih mulia dari dirinya.Adapun pemikiran klasik yang tersebar, telah
menemukan nilainya yang sangat berharga dalam sejarah manusia. Tidaklah hal tersebut
berlaku atas pemikiran di masa modern. Oleh karenanya, terdapat sebuah kesalahan atas
misi pengajaran yang disampaikan di masa modern, yakni pada masa sebelum
pembaharuan Eropa, mempengaruhi misi pengajaran yang disampaikan atas semua
budaya dan negara. Sehingga akan memaksakan kesulitan yang sama atas semua hukum
yang berlaku di Eropa pada abad pertengahan. Ini adalah hasil sebuah makar yang
diciptakan oleh para atheis, yang menjadikannya sebuah fenomena di dunia modern, yang
mengharuskan penyelesaiannya. Tujuan Agama Kami di sini tidak mampu
mengisyaratkan berbagai pemikiran klasik. Tetapi, kami akan menerangkan hal-hal yang
berhubungan dengan pemikiran klasik menurut pendapat kami. Pada masa datangnya
budaya Islam, turunnya kitab-kitab suci dan diutusnya para Rasul yang mengantarkan
manusia menuju jalan kesempurnaan. Hal ini sangatlah jelas, bahwa agama adalah
petunjuk Tuhan Yang Penyayang dan Pemberi Hidayat kepada manusia hingga
menyampaikan manusia pada kesempurnaan yang diinginkan. Tujuan agama adalah
memberikan petunjuk pada manusia, sehingga dengan kekuatan petunjuk agama akan
menyampaikannya menuju ke-haribaan Ilahi.
Jika demikian, maka agama adalah
perantara dalam membantu tugas manusia untuk merealisasikan tujuan mulianya.
Dengan dasar ini, tidaklah mungkin digambarkan bahwa bagaimana mungkin ketika
agama muncul manusia menjadikan tebusan dan pengorbanan pada dirinya. Jika
seandainya manusia tidak berpegang pada prinsip agama, tidak menjadikan
kesempurnaan kekuatan ruh agama. Maka tidak akan menyampaikannya ke tujuan agama.
Jika manusia tanpa memperdulikan petunjuk agama dan agama hanya sebagai identitas
lahirnya akan menjerumuskannya ke jurang kehancuran, dan yang pantas di sebut atheis.
Dalam pandangan Islam yang murni, agama sebagai jalan kebenaran dan keselamatan.
Agama sebagai jalan menyampaikan pada tujuan dan kesempurnaan realitas wujud yang
paling tinggi. Agama sebagai rantai dan penyambung antara Alam Malaikat dan Alam
Malakut. Agama datang, hingga menjadikan manusia yang berasal dari kedalaman tanah
menuju ke singgasana langit. Agama sebagai pengobat rasa takut kita. Agama sebagai
pelindung terhadap berbagai kesulitan yang mendasar dari alam natural. Agama adalah

bagian penting dari kehidupan manusia. Agama yang merubah ketakutan akan mati pada
manusia menjadikannya sebagai sebuah harapan kehidupan yang abadi. Dari sini,
tidaklah kita menjadikan dalil ojektif diatas, kita ingin berbicara tentang agama
menurut pandangan Islam murni. Mengidentitaskan ikatan agama dengan manusia. Begitu
juga dengan memperhatiakan semua permasalahan di atas dengan tujuan manusia. Agama
yang membantu tugas manusia untuk keselamatannya. Sebelumnya, terdapat sebuah
pertanyaan: jika demikian, mengapa melalui perantara agama, jiwa manusia perlu
dikorbankan, dan mengapa melalui penjagaan atas agama jiwa suci manusia diberikan
dan mengantarkannya ke jalan syahadah ? dan mengapa ada budaya menjemput syahadah
dalam agama, khususnya agama Islam ? Motivasi Manusia Sebelum memaparkan hal di
atas, perlu untuk memperhatikan beberapa mukaddimahnya. Setiap perkara yang
dilakukan oleh manusia, tidaklah terlepas dari dua hal: apakah perkara yang dilakukan
tersebut berdasarkan kebenaran atau berdasarkan maslahat ? Dengan kata lain, motivasi
(dorongan) kerja manusia ada dua bentuk: mencari sebuah kebenaran dan berfikir secara
maslahat. Ketika saya mengerjakan shalat, apakah saya telah menemukan Tuhan yang
memang layak disembah ? atau melalui jalan ini Dia ingin disembah (motivasi mencari
kebenaran) atau dengan sebab tadi, shalat akan menjadikan keselamatan baginya
(motivasi berfikir maslahat). Jika saya tidak berkata bohong. Dengan dalil ini, berbohong
adalah salah (menuntut kebenaran). Atau dengan dalil tadi, berbohong menyebabkan
azab yang pedih (motivasi berfikir secara maslahat). Berdasarkan dua prinsip tadi kita
akan memberikan dua jawaban atas pertanyaan-pertanyaan di atas: 1. Mencari
Kebenaran
Pencari kebenaran terbentuk dari tiga perkara: 1. Kecenderungan 2.
Pandangan 3. Metode. Hakekat pencari kebenaran akan ditemukan sesuai dengan tiga
bentukan ini: 1. Aliran kebenaran. 2. Kebenaran yang yakin. 3. Kebenaran sebagai tolak
ukur. Manusia dalam mencari kebenaran melalui tiga bentuk yang berada dalam dirinya,
yakni hati sebagai pusatnya niat atau maksud dan mencintai dan membenci manusia. Otak
yang mana sebagai pusat pandangan-pandangan manusia. Fenomena sebagai tempat
metode-metode amal perbuatan dan tingkah laku manusia untuk menetapkan sebuah
hakekat. Cinta dan benci pada manusia hanya berdasarkan kebenaran dan hakekat (aliran
kebenaran), selain dari keyakinan-keyakinan yang benar maka iman tidak bisa
didatangkan dan juga menerima setiap keyakinan yang benar (kebenaran yang yakin) dan
selalu berdiri dengan kebenaran dan sebab-sebabnya. Dan dalam sisi pengamalan, mereka
tidak akan berpaling. Dan prilaku mereka hanya berdasarkan atas hakekat (kebenaran
sebagai tolak ukur). Ali as sebagai tauladan pencari kebenaran
Tauladan tertinggi
manusia sebagai pencari kebenaran adalah Ali Bin Abu Thalib as, yang mana didalam
segala sesuatu berpegang pada kebenaran, dan tidaklah mencintai sesuatu selain
kebenaran. Walaupun di dalam kewilayahan dan pemerintahan. Jika hal tesebut bukan
sebuah kebenaran, maka atas salah satu bagian dari sepatunya adalah sesuatu yang
sedikit lebih berharga (khutbah 33). Setiap seorang akan mengetahui bahwa beliau adalah
orang yang paling mulia diantara rakyat yang mana kebenaran di sisinya lebih ia cintai
dari segala sesuatu (aliran kebenaran). Tidaklah menghukumi sesuatu menurut
keyakinannya selain kebenaran dan kenyataan. Dan mengenal kebenaran setiap saat

serta tidak berhenti waktunya di dalam kebenaran (khutbah 4). Dalam sisi amal
perbuatan, selalu dalam lingkaran kebenaran. Tidaklah hadir dalam dirinya suatu
kebohongan untuk mendapatkan kedudukan khilafah ( dalam musyawarah pemilihaan
setelah khilafah kedua), orang-orang kuat di sisi beliau menjadi lemah sehingga mereka
mengembalikan haknya (khutbah 37), beliau mengingatkan dengan bersumpah atas nama
Tuhan bahwa untuk kebenaran dan kebebasan dari cengkraman kebatilan. Dan dalam
setiap sesuatu yang dicampuradukkan dengan kebatilan, hendaklah hal tersebut diperangi
(khutbah 104), dalam tolak ukur kebenarannya hingga dengan perkembangannya terhadap
para penuntut hak lebih dan yang keliru memaksa beliau melakukan tiga peperangan
yang tidak inginkan, yang mengakibatkan jiwa beliau sendiri melayang atas dasar
keadilan. Pengorbanan di Jalan Kebenaran
Ini adalah keadaan seseorang yang
telah menemukan dan berpegang teguh kebenaran. Jika halnya seseorang telah
menemukan kebenaran. Jika ia ingin mendapatkan kebenaran, haruslah juga berbuat
demikian. Apakah hakikat nilai penemuan kebenaran tidak ada, sehingga badan manusia
perlu dikorbankan? Tentunya kesempurnaan manusia selalu tegar dalam kebenaran dan
berperang demi kebenaran ? tidaklah dari sisi kemanusiaan kita mempunyai tolak ukur
kebenaran? Manusia adalah pencari kebenaran, kemanusiaan itu sendiri dalam kelompok
pandangan kebenaran, kebenaran yang yakin dan kebenaran sebagai tolak ukur. Oleh
karenanya, dalam penilaian esensi ini mengorbankan ikatan kemanusian secara materi
pada dirinya. 2. Berfikir maslahat
Seseorang yang melakukan perbuaatannya
berdasarkan prinsip maslahat, harus memulai dengan pengenalan terhadap maslahat
pribadinya. Kemudian akan mengetahui maslahat apa yang paling baik bagi rakyat. Dan
bagaimana akan mendapatkan maslahat itu, melalui jalan apa yang bisa menjauhkan diri
dari perkara yang membahayakan serta akan mendekatkan pada perkara yang
menguntungkan. Pada dasarnya, sesuatu apa yang menguntungkan dan permasalahan apa
yang merugikan. Seseorang yang berpegang pada agama akan mengetahui bahwa Tuhan
Yang Maha Bijaksana dan Penyayang mengetahui maslahat sesuatu dan menginginkannya.
Oleh karenanya, paling tingginya tingkat maslahat pada-Nya akan menjamin suatu
kebaikan dalam ruang lingkup agama. Apabila bagian dari maslahat ke depan dan yang
terlewati tidak diketahui maka lebih diutamakan maslahat di dalam ketetapan agama dan
maslahat terhadap amal perbuatan atasnya. Dikarenakan berpegang pada agama sebagai
jalan keselamatan dan mengantarkan pada kebahagian dunia dan akhirat.
Alhasil, orang beragama akan menanti sebuah pengorbanan untuk mengantarkannya pada
keselamatan. Dan ini adalah perbuatan orang-orang yang berakal dan kemanusiaan.
Dikarenakan, akan menjamin maslahat manusia pada jalan ini. Benar, akan hilang
sebagian maslahat dunia, akan tetapi akan mendatangkan kebaikan yang abadi. Apakah
jual beli dan perdagangan yang lebih besar dan menguntungkan dari hal ini? Allah Swt
dalam al-quran berfirman: Hai orang-orang yang beriman, sukakah kamu Aku tunjukkan
suatu perniagaan yang dapat menyelamatkan kamu dari azab yang pedih. Yaitu beriman
kepada Allah dan Rasul-Nya dan berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwamu. Itulah
yang lebih baik bagi kamu jika kamu mengetahui. (Shaf ayat 10 dan11) Setiap dua
individu manusia melalui jalan ini mampu mengantarkan jalan menuju maslahat akhirat

dan mendapatkan keselamatan atas dirinya serta dengan dalil ini juga akan mendapatkan
ketenangan dunia. Agama seperti tali yang telah disambungkan dari puncak gunung,
sehingga para pendaki dengan perantara tali tersebut mampu untuk naik ke atas gunung,
sebagai pengaman dari jatuh atau kecelakaan serta sebagai alat bantu naik. Begitu juga
agama sebagai tali Allah yang kuat, dengan berpegang dengannya mampu mengantarkan
kepada puncak keselamatan dan mendapatkan kebaikan-kebaikan yang pasti dan abadi
serta telah bergerak pada puncak keamanan dan ke- tenangan jiwa. Yakni, juga seiring
dengan ketenangan duniawi serta kebahagiaan akhirat: Barang- siapa yang berpegang
pada (agama) Allah maka sesungguhnya ia telah diberi petunjuk ke jalan yang lurus.
Dan berpeganglah kalian pada tali(agama) Allah dan janganlah bercerai berai (surat
Al-Imran ayat 101 dan 103).
Adapun jika disandarkan pada maslahat kelompok:
Agama, khususnya agama Islam. Adalah agama untuk masyarakat dan juga bermanfaat
atas sebuah masyarakat yang berjalan menurut maslahat-maslahat dunianya, juga
melalui jalan agama akan menjamin maslahat-maslahat tersebut (alhasil, pembahasan di
atas berhubungan dengan agama). Pengorbanan untuk menjaga maslahat
Dari sisi ini
mampu diterima secara rasional, yang mana agama akan menjamin maslahat bagi
manusia. Pengorbanan pada jalan agama sangatlah berarti. Jika masyarakat ingin
memperoleh maslahat ini maka harus berpegang pada agama. Untuk menjaga agama
harus memberikan sumbangan yang diperlukan. Terkadang sumbangan itu berupa jiwa
manusia. Dari sisi ini haruslah menjaga bahwa sumbangan yang telah diberikan tidaklah
harus mendapatkan faedah yang dihasilkan. Seorang komandan pasukan akan berfikir
mengenai tujuannya dalam berperang, menjaga jiwa kelompoknya dan menyelamatkan
mereka dari serangan musuh. Jika tidak dipimpin, maka pasukannya akan banyak yang
terbunuh. Adapun seorang komandan mampu menyelamatkan mereka, dan untuk
menyelamatkan mereka semua haruslah menjaga perintahnya. Dan ini adalah rasional,
bahwa mereka mengorbankan beberapa oranga dari anggota pasukan untuk menjaga dan
menyelamatkan yang lain.dan memikul tanggungjawab penjagaan atas perintah
komandan serta menjaga keselamatan dirinya sebelum ajal menjemputnya. Benar,
bahwasaanya seorang komandan untuk menyelamatkan pasukannya, tidaklah
kebalikannya. Adapun untuk merealisasikan perkara ini terkadang dianggap perlu yang
menjadikan ketaatan beberapa anggota pasukan kepada komandannya, hingga dengan
menjadikan ia tetap hidup demi keselamatan pasukannya. Olehkarena itu, dengan dasar
berfikir atas maslahat duniawi juga merupakan sebuah aturan yang ada pada agama, juga
perhitungan untung dan ruginya haruslah dengan ketelitian, hingga pengorbanan di jalan
agama mempunyai makna dan kematian menuju syahadah atas orang-orang yang
dimuliakan di jalan agama, pada dasarnya adalah jalan untuk menjamin maslahatmaslahat manusia. Begitu juga dengan kelanggengan agama ini dapat menjamin maslahatmaslahat mereka. Untuk itu, dorongan memperkuat sisi ruhani syahadah bukanlah
dengan pengertian penilaian yang tidak berharga atas jiwa manusia. Akan tetapi,
mempersiapkan pada diri manusia untuk menjamin maslahat atas dirinya Kesempurnaan
manusia melalui jalan pengorbanan. Oleh karenanya, tidak ada satu ketetapan atas dalil
yang disebutkan yang mampu mengklaim bahwa jiwa manusia tidak bernilai. Atau

manusia melakukan pengorbanan demi agama. Atas dasar ini bahwa yang mengatas
namakan agama, bukanlah dengan dalil lain sebagai sebuah kebenaran atau maslahat atas
diri manusia.
Jika menjadikan pengorbanan di jalan agama sebagai sebuah wasiat.
Dalam kenyataannya, hal tersebut dalam berwasiat untuk kesempurnaan dirinya dan
menyampaikannya menuju jalan kebahagiaan. Permintaan atas syahadah bukanlah tanpa
nilai. Akan tetapi, sampai pada satu tingkatan hingga batasan yang mana Tuhan dengan
dalil ruhaniyah syahadah ini, membanggakannya atas para malaikat. Para syahid dan
pembela di jalan agama, mereka sendiri akan mendapatkan kebahagiaan yang abadi,
bumi terjaga, juga kelestarian agama serta akan mempersiapkan kepada kebahagiaan
yang lain.

BAB VI

IBADAH KHUSUS DAN IBADAH UMUM


Allah SWT mencipta jin manusia hanya semata-mata untuk mengabdikan diri kepada Allah
SWT. Tiada tujuan lain. Kalau manusia terpesong dari tujuan asal mengapa manusia
dijadikan, maka itu adalah percanggahan dari apa yang ditegaskan oleh Allah SWT melalui
firmanNya yang bermaksud "Tidak aku jadikan jin dan manusia melainkan untuk
menyembahku" (Az-Zariyat: 56)
Perbuatan menyembah dan mengabdikan diri kepada Allah SWT itulah yang diistilahkan
sebagai ibadah. Dengan erti kata yang lain melalui perintah itu, Allah SWT menuntut agar
manusia sentiasa beribadah kepadaNya. Manusia tidak boleh sama sekali berbuat sesuatu
dalam hidupnya kecuali untuk beribadah kepada Allah SWT. Manusia di larang daripada
mencipta atau melencongkan kehidupan dari pengabdian itu.
Sesuatu pekerjaan atau perbuatan itu akan dinamakan ibadah sekiranya mendatangkan
pahala. Tidak kiralah apa jenis pekerjaan atau perbuatan asalkan ada meritnya di Akhirat
nanti maka itu dinamakan ibadah.
Ibadah itu ada dua jenis iaitu ibadah khusus dan ibadah umum. Sama ada ibadah khusus,
lebih-lebih lagi ibadah umum tidak secara otomatik ada merit di Akhirat nanti apabila
dilaksanakan. Merit sesuatu pekerjaan atau perbuatan itu bergantung kepada syaratsyaratnya yang secara otomatik akan berpahala sekiranya memenuhi syarat-syaratnya.
Apa yang jelas ialah ibadah khusus sekalipun tidak mudah memperolehi pahala, apatah lagi
ibadah umum.
1. Ibadah khusus
Ini merupakan amalan sudah ditetapkan oleh Allah SWT atau ada syarat, peraturan, tertib
dan sah batalnya. Ibadah khusus ini ada yang wajib dan ada yang sunat saja tarafnya.

Rata-rata umat Islam telah maklum jenis amalan atau ibadah khusus ini seperti yang ada
dalam rukun Islam ,wirid, zikir,membaca Al Quran, berdoa dan sebagainya
Ibadah khusus yang memang telah di syariatkan ini pun kadangkala tidak mendapat
pahala. Mungkin syarat rukun dan sah batalnya telah terpenuhi namun andainya di celah
oleh berbagai niat sampingan maka Allah SWT tidak beri pahala. Umpamanya sewaktu
ibadah itu ada niat yang bercabang atau untuk tujuan duniawi, riya' atau menunjuk-nunjuk,
kerana politik, kerana malu dan sebagainya.
2. Ibadah umum
Ini termasuk sebahagiannya bertarafkan fardhu kifayah dan sebahagian yang hukum
asalnya harus atau mubah sahaja. Ibadah umum ini skopnya sangat luas yang mencakupi
atau merangkumi seluruh pekara yang berkaitan kehidupan manusia. Sebanyak mana
keperluan manusia maka seluruhnya merupakan skop ibadah umum. Ertinya seluruh
perkara berkaitan manusia itulah saluran mendapatkan pahala atau merit Akhiratnya.
Namun demikian merit Akhirat itu hanya tercapai apabila memenuhi 5 syarat. Tidak kiralah
dibidang apa pun, sama ada tidur baring, gerak diam, terlangkup terlentang hatta menguap,
kentut atau masuk tandas sekalipun akan menjadi ibadah. Apatah lagi terhadap persoalan
yang lebih besar seperti pembangunan, kemajuan, ekonomi, sains dan teknologi, IT,
pertanian, pendidikan, kesihatan, pemerintahan, penerangan, perhubungan dan lain-lain.
Lima syarat tersebut iaitu:
1. Niat mesti benar-benar kerana Allah SWT dan niat itu tidak berubah atau tidak terpesong
sepanjang pekerjaan tersebut.
2. Perlaksanaan mesti mengikut syariat atau tidak boleh bercampur aduk dengan perlakuan
mungkar dan maksiat.
3. Natijah mesti untuk kebaikan. Kalau hasil sesuatu pekerjaan itu mendatangkan mudarat
atau haram maka tidak menjadi ibadah.
4. Pekerjaan yang tidak bercanggah dengan syariat yakni sekurang-kurang perkara harus
atau mubah.
5. Dalam tempoh perlaksanaan pekerjaan tersebut tidak meninggalkan perkara pokok dari
ajaran Islam (rukun Iman dan rukun Islam) dan yang bersangkutan dengan fardhu ain.
Tanpa menempuh lima syarat di atas janganlah sewenang-wenangnya mendakwa sesuatu
perbuatan atau pekerjaan itu sebagai ibadah. Sebaliknya ia akan menjadi sia-sia sahaja
tanpa sebarang nilai di sisi Allah SWT.

BAB VII
A. PENGERTIAN QIYAS
1. Secara bahasa
Qiyas berasal dari bahasa arab yaitu yang artinya hal mengukur, membandingkan, aturan. Ada
juga yang mengartikan qiyas dengan mengukur sesuatu atas sesuatu yang lain dan kemudian
menyamakan antara keduanya. Ada kalangan ulama yang mengartikan qiyas sebagai mengukur
dan menyamakan.
2. Secara istilah
Pengertian qiyas menurut ahli ushul fiqh adalah menerangkan hukum sesuatu yang tidak ada
nashnya dalam al-Quran dan hadits dengan cara membandingkannya dengan sesuatu yang
ditetapkan hukumnya berdasarkan nash. Definisi lain dari qiyas menurut ahli ushul fiqh adalah
menyamakan sesuatu yang tidak ada nash hukumnya dengan sesuatu yang ada nash hukumnya
karena adanya persamaan illat hukum.
Menurut istilah ushul fiqh, sebagaimana dikemukakan Wahbah al-Zuhaili, qiyas adalah
menghubungkan atau menyamakan hukum sesuatu yang tidak ada ketentuan hukumnya dengan
sesuatu yang ada ketentuan hukumnya karena ada illat antara keduanya. Ibnu Subki
mengemukakan dalam kitab Jamu al-Jawami, qiyas adalah menghubungkan sesuatu yang
diketahui kepada sesuatu yang diketahui karena kesamaan dalam illat hukumnya menurut mujtahid
yang menghubungkannya.
Selain pengertian di atas, banyak lagi pengertian qiyas lainnya diantaranya menanggungkan
sesuatu yang diketahui kepada sesuatu yang diketahui dalam hal menetapkan hukum pada
keduanya atau meniadakan hukum dari keduanya disebabkan ada hal yang sama diantara
keduanya dalam penetapan hukum atau peniadaan hukum.
Berdasarkan pengertian-pengertian qiyas yang disebutkan di atas, maka dapat disimpulkan
pengertian qiyas adalah menetapkan hukum suatu kejadian atau peristiwa yang tidak ada dasar
nashnya dalam al-Quran dan sunnah dengan cara membandingkannya kepada suatu kejadian atau
peristiwa yang lain yang telah ditetapkan hukumnya berdasarkan nash karena ada persamaan illat
antara kedua kejadian atau peristiwa itu.
B. DALIL QIYAS.
Dalam menempatkan qiyas sebagai dalil untuk menishbathkan hukum, ulama berbeda pendapat.
Jumhur ulama menerima dan menggunakan qiyas sebagai dalil dalam urutan keempat, yaitu
sesudah al-Quran, Sunnah, dan Ijma. Banyak ayat al-Quran yang bisa dijadikan sebagai dasar
perintah melakukan qiyas, salah satunya adalah:
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara
kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada
Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari
kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (QS. an-Nisa : 59)
Dalam ayat di atas terdapat urutan tentang pengambilan hukum. Yaitu mentaati Allah (hukum dalam
al-Quran), mentaati rasul (hukum dalam Sunnah) dan mentaati pemimpin (hasil ijma para ulama).
Sedangkan kata terakhir dalam ayat tersebut adalah
(Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah dan
Rasul) berarti perintah untuk mengikuti qiyas dalam hal-hal terdapat perbedaan.
Dalam ayat yang lain Allah berfirman:

Artinya: Dia-lah yang mengeluarkan orang-orang kafir di antara ahli Kitab dari kampung-kampung
mereka pada saat pengusiran yang pertama. kamu tidak menyangka, bahwa mereka akan keluar
dan merekapun yakin, bahwa benteng-benteng mereka dapat mempertahankan mereka dari (siksa)
Allah; Maka Allah mendatangkan kepada mereka (hukuman) dari arah yang tidak mereka sangkasangka. dan Allah melemparkan ketakutan dalam hati mereka; mereka memusnahkan rumah-rumah
mereka dengan tangan mereka sendiri dan tangan orang-orang mukmin. Maka ambillah (Kejadian
itu) untuk menjadi pelajaran, Hai orang-orang yang mempunyai wawasan.(QS. al-Hasyr : 2)
Pada ayat di atas terdapat perkataan:
(Maka ambillah (Kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, Hai orang-orang yang mempunyai
wawasan), maksudnya ialah: Allah SWT memerintahkan kepada manusia agar membandingkan
kejadian yang terjadi pada diri sendiri kepada kejadian yang terjadi pada orang-orang kafir itu. Jika
orang-orang beriman melakukan perbuatan seperti perbuatan orang-orang kafir itu niscaya mereka
akan memperoleh azab yang serupa. Hal itu berarti qiyaskanlah keadaanmu kepada keadaan
mereka.
Dalam hadits dari ibnu Abbas menurut riwayat an- NasaI. Nabi berkata: Bagaimana pendapatmu
bila bapakmu berhutang, apakah engkau akan membayarnya? dijawab oleh si penanya (alKhatasamiyah), Ya, memang. Berkata nabi, hutang terhadap Allah lebih patut untuk dibayar.
Hadits di atas adalah tanggapan atas persoalan si penanya yang bapaknya bernazar untuk haji
tetapi meninggal dunia sebelum sempat mengerjakan haji. Ditanyakannya kepada nabi dengan
ucapannya, Bagaimana kalau saya yang menghajikan bapak saya itu?. Keluarlah jawaban nabi
seperti yang tersebut di atas.
Dalam hadits itu nabi memberikan taqrir (pengakuan/penetapan) kepada sahabatnya yang
menyamakan hutang kepada Allah dengan hutang kepada manusia. Bahkan nabi menambahkan
bahwa hutang kepada Allah yaitu haji, lebih patut untuk dibayar.
Sementara kalangan yang menolak qiyas juga mengemukakan beberapa alasan untuk memperkuat
pendapat mereka, diantaranya:
- Bahwa qiyas dibangun atas dasar zanni atau praduga semata.
- Sebahagian sahabat mencela sekali orang yang menetapkan pendapat semata-mata berdasarkan
akal pikiran.
C. RUKUN DAN SYARAT QIYAS
Berdasarkan defenisi bahwa qiyas ialah mempersamakan hukum suatu peristiwa yang tidak ada
nashnya dengan hukum suatu peristiwa yang ada nashnya karena illat serupa, maka rukun qiyas
ada empat macam, yaitu:
1. al-Ashl.
Ashl adalah masalah yang telah ditetapkan hukumnya dalam al-Quran ataupun Sunnah. Ia disebut
pula dengan maqis alaih (tempat mengqiyaskan) dan maha al-hukm ijal-musyabbah bihm yaitu
wadah yang padanya terdapat hukum untuk disamakan dengan wadah yang lain.
Adapun syarat-syarat ashl adalah:
- Hukum ashl adalah hukum yang telah tetap dan tidak mengandung kemungkinan dinasakhkan
- Hukum itu ditetapkan berdasarkan syara
- Ashl itu bukan merupakan furu dari ashl lainnya
- Dalil yang menetapkan illat pada ashl itu adalah dalil khusus, tidak bersifat umum
- Ashl itu tidak berubah setelah dilakukan qiyas
- Hukum ashl itu tidak keluar dari kaidah-kaidah qiyas.

2. Furu
Fara yang berarti cabang, yaitu suatu peristiwa yang belum ditetapkan hukumnya karena tidak ada
nash yang dapat dijadikan sebagai dasarnya. Fara disebut juga maqis (yang diukur) atau
musyabbah (yang diserupakan) atau mahmul (yang dibandingkan).
Adapun syarat-syarat furu adalaha:
- Tidak bersifat khusus, dalam artian tidak bisa dikembangkan kepada furu
- Hukum al-ashl tidak keluar dari ketentuan-ketentuan qiyas
- Tudak ada nash yang menjelaskan hukum furu yang ditentukan hukumnya
- Hukum al-ashl itu lebih dahulu disyariatkan daripada furu
3. Hukum ashl
Illat yaitu suatu sebab yang menjadikan adanya hukum sesuatu. Dengan persamaan inilah baru
dapat diqiyaskan masalah kedua (furu) kepada masalah yang pertama (ashl) karena adanya suatu
sebab yang dapat dikompromikan antara asal dengan furu.
Adapun syarat-syarat hukum al-Ashl adalah:
- Illatnya sama pada illat yang ada pada ashl, baik pada zatnya maupun pada jenisnya
- Hukum ashl tidak berubah setelah dilakukan qiyas
- Hukum furu tidak mendahului hukum ashl
- Tidak ada nash atau ijam yang menjelaskan hukum furu itu.
4. Illat
Illat secara bahasa berarti sesuatu yang bisa merubah keadaan, misalnya penyakit disebut illat
karena sifatnya merubah kondisi seseorang yang terkena penyakit. Menurut istilah, sebagaimana
dikemukakan Abdul Wahhab Khallaf, illat adalah suatu sifat pada ashl yang mempunyai landasan
adanya hukum .
Adapun cara untuk mengetahui illat adalah melalui dalil-dalil al-Quran atau Sunnah, baik yang tegas
maupun yang tidak tegas, mengetahui illat melalui ijma, dan melalui jalan ijtihad.
Adapun syarat-syarat illat adalah:
- illat harus berupa sifat yang jelas dan tampak
- illat harus kuat
- harus ada korelasi (hubungan yang sesuai) antara hukum dengan sifat yang menjadi illat
- sifat-sifat yang menjadi illat yang kemudian melahirkan qiyas harus berjangkauan luas, tidak
terbatas hanya pada satu hukum tertentu
- tidak dinyatakan batal oleh suatu dalil
D. MACAM-MACAM QIYAS
1. Dari segi kekuatan illat
- Qiyas aulawi, yaitu qiyas yang berlakunya hukum pada furu lebih kuat dari pemberlakuan hukum
pada ashl karena kekuatan illat pada furu.
- Qiyas musawi, yaitu qiyas yang berlakunya hukum pada furu sama keadaannya dengan
berlakunya hukum pada ashl karena kekuatan illatnya sama
- Qiyas adwan, yaitu qiyas yang berlakunya hukum pada furu lebih lemah dibandingkan dengan
berlakunya hukum pada ashl meskipun qiyas tersebut memenuhi persyaratan.
2. Dari segi kejelasan illatnya
- Qiyas jali, yaitu qiyas yang illatnya ditetapkan dalam nash bersamaan dengan penetapan hukum
ashl
- Qiyas khafi, yaitu qiyas yang illatnya tidak disebutkan dalam nash.
3. Dari segi keserasian illat dengan hukum

- Qiyas muatssir, yaitu qiyas yang illat penghubung antara ashl dengan furu ditetapkan dengan nash
yang sharih atau ijma
- Qiyas mulaim, qiyas yang illat hukum ashl dalam hubungannya dengan hukum haram adalah
dalam bentuk munasib mulaim.
4. Dari segi dijelaskan atau tidaknya illat dalam qiyas itu
- Qiyas mana, yaitu qiyas yang meskipun illatnya tidak dijelaskan dalam qiyas namun antara ashl
dengan furu tidak dapat dibedakan, sehingga furu itu seolah-olah ashl itu sendiri
- Qiyas illat, yaitu qiyas yang illatnya dijelaskan dan illat tersebut merupakan pendorong bagi
berlakunya hukum dalam ashl.
- Qiyas dilalah, yaitu qiyas yang illatnya bukan pendorong bagi penetapan hukum itu sendiri, namun
ia merupakan keharusan bagi illat yang memberi petunjuk akan adanya illat.

Anda mungkin juga menyukai