Anda di halaman 1dari 12

1.

Defenisi
Merupakan salah satu gambaran klinik penyakit glomerular yang ditandai dengan
proteinuria massif >3,5 g/24 jam/1,73 m2 luas permukaan tubuh/hari), hipoalbuminemia <3
g/dl, edema anasarka, hiperlipidemia, lipiduria, dan hiperkoagulabilitas (Paduan Pelayanan
Medik, 2009)
2. Etiologi
a. Penyebab Primer
Umumnya tidak diketahui kasusnya dan terdiri atas sindrom nefrotik idiopatik
(SNI) atau yang sering disebut juga SN primer yang bila berdasarkan gambaran dari
histopatologinya, dapat terbagi menjadi ( Kodner C, 2009)

1. Kelainan minimal (KM)


2. Glomerulosklerosis (GS)

Glomerulosklerosis fokal segmental (GSFS)

Glomerulosklerosis fokal global (GSFG)

3. Glomerulonefritis proliferatif mesangial difus (GNPMD)


4. Glomerulonefritis proliferatif mesangial difus eksudatif
5. Glomerulonefritis kresentik (GNK)
6. Glomerulonefritis membrano-proliferatif (GNMP)

GNMP tipe I dengan deposit subendotelial

GNMP tipe II dengan deposit intramembran

GNMP tipe III dengan deposit transmembran/subepitelial

7. Glomerulopati membranosa (GM)

8. Glomerulonefritis kronik lanjut (GNKL)

b. Penyebab Sekunder
Timbul sebagai akibat dari suatu penyakit sistemik atau sebagai akibat dari
berbagai sebab yang nyata seperti misalnya efek samping obat. Penyebab yang
sering dijumpai adalah infeksi, keganasan, penyakit jaringan penyambung
(connective tissue diseases), obat atau toksin, dan akibat penyakit sistemik
Infeksi
-

HIV, hepatitis virus B dan C

Sifilis, malaria, skistosoma

Tuberculosis, lepra

Keganasan
-

Adenokarsinoma paru, payudara, kolon, limfoma Hodgkin,


multiple mieloma, dan karsinoma ginjal.

Penyakit jaringan penghubung


-

SLE, artritis reumatoid, MCTD (mixed connective tissue


diseases)

Efek obat dan toksin


-

Obat antiinflamasi nonsteroid, preparat emas, penisilinamin,


probenesid, air raksa, captopril, dan heroin

Lain-lain

Diabetes mellitus, amiloidosis, preeklamsia, rejeksi alograf


kronik, refluk vesikoureter, atau sengatan lebah

.
3.

Patofisiologi
Reaksi antigen antibody menyebabkan permeabilitas membran basalis
glomerulus meningkat dan diikuti kebocoran sejumlah protein (albumin). Tubuh
kehilangan albumin lebih dari 3,5 gram/hari menyebabkan hipoalbuminemia, diikuti
gambaran

klinis

sindrom

nefrotik

seperti

edema,

hiperalbuminemia

dan

hiperkolesterolemi.
Patofisiologi beberapa gejala dari sindrom nefrotik :
a. Proteinuria (albuminuria)
Proteinuria (albuminuria) masif merupakan penyebab utama terjadinya sindrom
nefrotik, namun penyebab terjadinya proteinuria belum diketahui benar. Salah satu
teori yang dapat menjelaskan adalah hilangnya muatan negatif yang biasanya terdapat
di sepanjang endotel kapiler glomerulus dan membran basal. Hilangnya muatan
negatif tersebut menyebabkan albumin yang bermuatan negatif tertarik keluar
menembus sawar kapiler glomerulus. Terdapat peningkatan permeabilitas membran
basalis kapiler-kapiler glomeruli, disertai peningkatan filtrasi protein plasma dan
akhirnya terjadi proteinuria (albuminuria). Beberapa faktor yang turut menentukan
derajat proteinuria (albuminuria) sangat komplek
-

Konsentrasi plasma protein

Berat molekul protein

Electrical charge protein

Integritas barier membran basalis

Electrical charge pada filtrasi barrier

Reabsorpsi, sekresi dan katabolisme sel tubulus

Degradasi intratubular dan urin

b. Hipoalbuminemia

Plasma mengandung macam-macam protein, sebagian besar menempati ruangan


ekstra vascular (EV). Plasma terutama terdiri dari albumin yang berat molekul 69.000.
Hepar memiliki peranan penting untuk sintesis protein bila tubuh kehilangan sejumlah
protein, baik renal maupun non renal. Mekanisme kompensasi dari hepar untuk
meningkatkan sintesis albumin, terutama untuk mempertahankan komposisi protein
dalam ruangan ekstra vascular (EV) dan intra vascular (IV).

NORMAL

SINDROM NEFROTIK

Sintesis albumin dalam hepar normal

IV

EV

sintesis albumin meningkat

IV

EV

Walaupun sintesis albumin meningkat dalam hepar, selalu terdapat hipoalbuminemia


pada setiap sindrom nefrotik. Keadaan hipoalbuminemia ini mungkin disebabkan
beberapa faktor :
-

kehilangan sejumlah protein dari tubuh melalui urin (prooteinuria) dan usus
(protein losing enteropathy).

Katabolisme albumin, pemasukan protein berkurang karena nafsu makan


menurun dan mual-mual.

Utilisasi asam amino yang menyertai penurunan faal ginjal.

Bila kompensasi sintesis albumin dalam hepar tidak adekuat, plasma albumin
menurun, keadaan hipoalbuminemia. Hipoalbuminemia ini akan diikuti oleh
hipovolemia yang mungkin menyebabkan uremia pre-renal dan tidak jarang terjadi

oligouric acute renal failure. Penurunan faal ginjal ini akan mengurangi filtrasi
natrium Na+ dari glomerulus (glomerular sodium filtration) tetapi keadaan
hipoalbuminemia ini akan bertindak untuk mencegah resorpsi natrium Na+ kedalam
kapiler-kapiler peritubular. Resorpsi natrium Na+ secara pasif sepanjang Loop of
Henle bersamaan dengan resorpsi ion Cl- secara aktif sebagai akibat rangsangan dari
keadaan hipovolemia. Retensi natrium dan air H2O yang berhubungan dengan system
rennin-angiotensin-aldosteron (RAA) dapat terjadi bila sindrom nefrotik ini telah
memperlihatkan tanda-tanda aldosteronisme sekunder. Retensi natrium dan air pada
keadaan ini (aldosteronisme) dapat dikeluarkan dari tubuh dengan pemberian takaran
tinggi diuretik yang mengandung antagonis aldosteron (Hull, 2008).

c. Edema
Hipoalbuminemia menyebabkan penurunan tekanan onkotik dari kapiler-kapiler
glomeruli, diikuti langsung oleh difusi cairan kejaringan interstisial, klinis dinamakan
edema. Penurunan tekanan onkotik mungkin disertai penurunan volume plasma dan
hipovolemia. Hipovolemia menyebabkan retensi natrium dan air.
Proteinuria masih menyebabkan hipoalbuminemia dan penurunan tekanan onkotik
dari kapiler-kapiler glomeruli dan akhirnya terjadi edema.
Mekanisme edema dari sindrom nefrotik dapat melalui jalur berikut :
a. Jalur langsung/direk
Penurunan tekanan onkotik dari kapiler glomerulus dapat langsung menyebabkan
difusi cairan ke dalam jaringan interstisial dan dinamakan edema.
b. Jalur tidak langsung/indirek
Penurunan tekanan onkotik dari kepiler glomerulus dapat menyebabkan penurunan
volume darah yang menimbulkan konsekuensi berikut:
-

Aktivasi system rennin angiotensin aldosteron


Kenaikan plasma rennin dan angiotensin akan menyebabkan rangsangan
kelenjar adrenal untuk sekresi hormone aldosteron. Kenaikan konsentrasi hormone

aldosteron akan mempengaruhi sel-sel tubulus ginjal untuk mengabsorbsi ion natrium
sehingga ekskresi ion natrium menurun.
-

Kenaikan aktivasi saraf simpatetik dan circulating cathecolamines.


Kenaikan aktivasi saraf simpatetik dan konsentrasi katekolamin, menyebabkan
tahanan atau resistensi vaskuler glomerulus meningkat. Kenaikan tahanan vaskuler
renal ini dapat diperberat oleh kenaikan plasma rennin dan angiotensin (Kodner,
2009).

d. Hiperlipidemia
Kolesterol serum, very low density lipoprotein (VLDL), low density lipoprotein,
trigliserida meningkat, sedangkan high density lipoprotein (HDL) dapat meningkat,
normal, atau menurun. Hal ini disebabkan peningkatan sintesis lipid di hepar dan
penurunan katabolisme di perifer (penurunan pengeluaran lipoprotein, VLDL,
kilomikron, dan intermediate density lipoprotein dari darah). Peningkatan sintesis
lipoprotein lipid distimulasi oleh penurunan albumin serum dan penurunan tekanan
onkotik (Prodjosudjadi, 2006)

4. Manifestasi Klinis
Gejala utama yang ditemukan adalah (Mansjoer,2000) (Askandar, 2007)
1. Proteinuria masif. Proteinuria > 40 mg/m2/jam atau > 50 mg/kg/24 jam atau > 3,5
g/hari pada dewasa atau 0,05 g/kg BB/hari pada anak-anak. Biasanya berkisar
antara 1-10 gram per hari. Pasien SNKM biasanya mengeluarkan protein yang
lebih besar dari pasien-pasien dengan tipe yang lain.
2. Hipoalbuminemia. Hipoalbuminemia merupakan tanda utama kedua pada sindrom
nefrotik. Disebut hipoalbuminemia apabila kadar albumin serum < 2,5 g/dl.
3. Edema anasarka. Edema terutama jelas pada kaki, namun dapat ditemukan edema
muka, asites, dan efusi pleura.
4.

Hiperlipidemia, umumnya ditemukan hiperkolesterolemia. Kadar kolesterol LDL


dan VLDL meningkat, sedangkan kadar kolesterol HDL menurun. Kadar lipid tetap
tinggi sampai 1-3 bulan setelah remisi sempurna dari proteinuria.

5. Hiperkoagulabilitas; yang akan meningkatkan risiko trombosis vena dan arteri.

5.

Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang (Chakra Putra, 2010)
1. Anamnesis
Keluhan yang sering ditemukan adalah sembab di ke dua kelopak mata, perut,
tungkai, atau seluruh tubuh dan dapat disertai jumlah urin yang berkurang. Keluhan
lain juga dapat ditemukan seperti urin berwarna kemerahan
2. Pemeriksaan fisis
Pada pemeriksaan fisik sindrom nefrotik dapat ditemukan edema di kedua
kelopak mata, tungkai, atau adanya asites dan edema skrotum/labia. Kadang-kadang
ditemukan hipertensi
3. Pemeriksaan penunjang
Pada urinalisis ditemukan proteinuria masif (3+ sampai 4+), dapat disertai
hematuria. Pada pemeriksaan darah didapatkan hipoalbuminemia (< 2,5 g/dl),
hiperkolesterolemia, dan laju endap darah yang meningkat, rasio albumin/globulin
terbalik. Kadar ureum dan kreatinin umumnya normal kecuali ada penurunan fungsi
ginjal, USG renal tampak tanda-tanda glomerulonefritis kronik, biopsi ginjal
diindikasikan pada anak dengan sindroma nefrosis kogenital, resisten steroid,
dependen steroid, serta terdaspat manifestasi nefritik signifikan ( Davin, 2011)

6. Diagnosis Banding
Diagnosis banding pada sindrom nefrotik adalah sebagai berikut (Chakra Putra, 2010)
1. Sembab nonrenal: gagal jantung kongestif, gangguan nutrisi, dan edema hepatal.
2. Glomerulonefritis akut.
3. Lupus sistemik eritematosus.
7.

Tatalaksana
Penatalaksanaan sindrom nefrotik dapat dikelompkkan menjadi (Yogiantoro, 2001)

1. Sindrom nefrotik serangan pertama


a.

Perbaiki keadaan umum penderita :


-

Diet tinggi kalori, tinggi protein, rendah garam, rendah lemak. Rujukan ke
bagian gizi diperlukan untuk pengaturan diet terutama pada pasien dengan
penurunan fungsi ginjal.

Tingkatkan kadar albumin serum, kalau perlu dengan transfusi plasma atau
albumin konsentrat.

Berantas infeksi.

Lakukan work-up untuk diagnostik dan untuk mencari komplikasi.

Berikan terapi suportif yang diperlukan: Tirah baring bila ada edema anasarka.
Diuretik diberikan bila ada edema anasarka atau mengganggu aktivitas. Jika ada
hipertensi, dapat ditambahkan obat antihipertensi.

b. Terapi prednison sebaiknya baru diberikan selambat-lambatnya 14 hari setelah


diagnosis sindrom nefrotik ditegakkan untuk memastikan apakah penderita
mengalami remisi spontan atau tidak. Bila dalam waktu 14 hari terjadi remisi
spontan, prednison tidak perlu diberikan, tetapi bila dalam waktu 14 hari atau
kurang terjadi pemburukan keadaan, segera berikan prednison tanpa menunggu
waktu 14 hari.
2.

Sindrom nefrotik kambuh (relapse)


a. Berikan prednison sesuai protokol relapse, segera setelah diagnosis relapse
ditegakkan.
b. Perbaiki keadaan umum penderita.
-

Sindrom nefrotik kambuh tidak sering


Sindrom nefrotik kambuh tidak sering adalah sindrom nefrotik yang kambuh <
2 kali dalam masa 6 bulan atau < 4 kali dalam masa 12 bulan.

Induksi
Prednison dengan dosis 60 mg/m2/hari (2 mg/kg BB/hari) maksimal 80
mg/hari, diberikan dalam 3 dosis terbagi setiap hari selama 3 minggu.

Rumatan
Setelah 3 minggu, prednison dengan dosis 40 mg/m2/48 jam, diberikan
selang sehari dengan dosis tunggal pagi hari selama 4 minggu. Setelah 4
minggu, prednison dihentikan.

Sindrom nefrotik kambuh sering

Sindrom nefrotik kambuh sering adalah sindrom nefrotik yang kambuh > 2
kali dalam masa 6 bulan atau > 4 kali dalam masa 12 bulan.

Induksi
Prednison dengan dosis 60 mg/m2/hari (2 mg/kg BB/hari) maksimal 80
mg/hari, diberikan dalam 3 dosis terbagi setiap hari selama 3 minggu.

Rumatan
Setelah 3 minggu, prednison dengan dosis 60 mg/m2/48 jam, diberikan
selang sehari dengan dosis tunggal pagi hari selama 4 minggu. Setelah 4
minggu, dosis prednison diturunkan menjadi 40 mg/m 2/48 jam diberikan
selama 1 minggu, kemudian 30 mg/m2/48 jam selama 1 minggu,
kemudian 20 mg/m2/48 jam selama 1 minggu, akhirnya 10 mg/m 2/48 jam
selama 6 minggu, kemudian prednison dihentikan.
Diet untuk pasien SN adalah 35 kal/kgBB/hari. Sebagian besar terdiri dari
karbohidrat. Dianjurkan diet protein normal 0,8-1 g/kgBB/hari. Untuk mengurangi
edema diberikan diet rendah garam (1-2 gram natrium/hari) disertai diuretik
(furosemid 40 mg/hari atau golongan tiazid) dengan atau tanpa kombinasi dengan
potassium sparing diuretic (spironolakton). Obat penghambat enzim konversi
angiotensi (angiotensin converting enzyme inhibitors) dan antagonis reseptor
angiotensin II (angiotensin II receptor antagonist) dapat menurunkan tekanan darah
dan kombinasi keduanya mempunyai efek aditif dalam mengurangi proteinuria (Lydia
& Marbun, 2014).
Dislipidemia

pada

Sindroma

Nefrotik

belum

secara

meyakinkan

meningkatkan risiko penyakit kardiovaskular, tetapi bukti klinis dalam populasi


menyokong pendapat perlunya mengontrol keadaan ini. Obat penurun lemak
golongan statin seperti simvastatin, pravastatin, dan lovastatin dapat menurunkan
kolesterol LDL, trigliserida, dan meningkatkan kolestrol HDL (Lydia & Marbun,
2014).
8. Komplikasi
Komplikasi yang dapat ditimbulkan pada sindrom nefrotik adalah sebagai berikut
(Muhammad Sjaifullah, 2006)
1. Shock akibat sepsis, emboli atau hipovolemia

2. Trombosis akibat hiperkoagulabilitas


3. Infeksi
4. Hambatan pertumbuhan
5. Gagal ginjal akut atau kronik
6. Efek samping steroid, misalnya sindrom Cushing, hipertensi, osteoporosis, gangguan
emosi dan perilaku.

9. Prognosis
Prognosis umumnya baik, kecuali pada keadaan-keadaan sebagai berikut (Muhammad
Sjaifullah, 2006)
1. Menderita untuk pertama kalinya pada umur di bawah 2 tahun atau di atas enam
tahun.
2. Disertai oleh hipertensi.
3. Disertai hematuria.
4. Termasuk jenis sindrom nefrotik sekunder.
5. Gambaran histopatologik bukan kelainan minimal.
Sebagian besar (+ 80%) sindrom nefrotik primer memberi respons yang baik
terhadap pengobatan awal dengan steroid, tetapi kira-kira 50% di antaranya akan relapse
berulang dan sekitar 10% tidak memberi respons lagi dengan pengobatan steroid.

DAFTAR PUSTAKA
Chakra Putra, 2010. Syndroma Nefrotik. Karya Tulis Ilmiah, Retrivied September 28,
2015 from https://www.scribd.com/doc/126927511/Sindroma-Nefrotik
Hull RP., Goldsmith DJ., Nephrotic syndrome in adults. BMJ, 2008;336:1185-9.
Kodner C., Nephrotic syndrome in adults: diagnosis and management. American
Family Physician, 2009;80(10):1129-1134
Lydia, A., & Marbun, M. B. 2014. Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: InternaPublishing
Noer, Muhammad Sjaifullah, Ninik Soemyarso. 2006. Sindrom Nefrotik. Bag/ SMF
Ilmu Kesehatan Anak, Fakultas Kedokteran UNAIR. Surabaya, Indonesia.

PB PAPDI, 2009. Paduan Pelayanan Medik. Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit


Dalam Indonesia, Jakarta. 2009. Hal : 160-162
Prodjosudjadi, Wiguno. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I. Edisi IV. Pusat
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Jakarta, Indonesia.999-1003
Roth KS, Amaker BH, Chan JCM. Nephrotic Syndrome : Pathogenesis and
Management. Pediatr Rev 2002;23:237-44

Yogiantoro M. The Management of Nephrotic Syndrome. Dalam : Adi S, Setiawan PB,


Yogiantoro M, Pranawa, Tjokroprawiro, penyunting. Pendidikan Kedokteran
Berkelanjutan XVI. Surabaya 18-19 Agustus 2001. h.95-111

Anda mungkin juga menyukai