Anda di halaman 1dari 27

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Pada masa transisi dari janin ke neonatus beberapa bayi membutuhkan intervensi dan
resusitasi. Kira-kira 10% bayi baru lahir memerlukan bantuan untuk memulai pernafasan saat
lahir dan kurang lebih 1% memerlukan resusitasi yang ekstensif (lengkap) untuk
kelangsungan hidupnya. Sebaliknya sekitar 90% bayi baru lahir mengalami transisi dari
kehidupan intrauterin ke ekstrauterin tanpa masalah. Dari sekitar 130136 juta kelahiran di
dunia, diperkirakan sekitar 510% kelahiran memerlukan intervensi saat lahir berupa
stimulasi taktil atau pembersihan jalan nafas, sekitar 36% memerlukan langkah awal dan
bantuan ventilasi, dan sekitar 1% membutuhkan resusitasi lanjut berupa intubasi, kompresi
dada, dan obat-obatan.1-4
Menurut World Health Organization (WHO) asfiksia perinatal merupakan masalah
yang menyebabkan tingginya tingkat morbiditas dan mortalitas pada neonatus, diperkirakan
insidensinya sekitar 49 juta kasus dari 130 juta kelahiran. Angka kematian bayi di Indonesia
saat ini adalah sebesar 34 per 1000 kelahiran hidup, dengan sepertiga dari kematian bayi
terjadi pada bulan pertama setelah kelahiran, dan 80% diantaranya terjadi pada minggu
pertama dengan penyebab utama kematian diantaranya adalah gangguan pernafasan akut dan
komplikasi perinatal. Dengan dilakukannya resusitasi neonatus dan perawatan pasca
resusitasi oleh dokter dan tenaga kesehatan profesional diharapkan dapat membantu usaha
pencapaian tujuan keempat dari Millenium Development Goals 2015, yaitu menurunkan
angka kematian anak.4
Bayi yang membutuhkan resusitasi saat lahir memiliki risiko untuk mengalami
perburukan kembali walaupun telah tercapai tanda vital yang normal. Ketika ventilasi dan
sirkulasi yang adekuat telah tercapai, bayi harus dipantau atau ditransfer ke tempat yang
dapat dilakukan monitoring penuh dan dapat dilakukan tindakan antisipasi, untuk
mendapatkan pencegahan hipotermia, monitoring yang ketat dan pemeliharaan fungsi
sistemik dan serebral. Selama transportasi, neonatus yang sakit kritis tersebut sangat rentan
terkena rangsang yang berbahaya, seperti suara, goncangan, dan ketidakstabilan temperatur,
dimana semua hal tersebut dapat menambah ketidakstabilan neonatus yang sedang berusaha
mempertahankan homeostasis tubuhnya.

Kematian neonatus di Indonesia masih tinggi. Kasus kegawatan bayi yang


memerlukan resusitasi banyak terjadi di ruang perawatan neonatus, kamar bersalin atau
kamar operasi, dan unit gawat darurat. Oleh karena itu tujuan dari pembuatan makalah ini
adalah untuk mengetahui bagaimana melakukan resusitasi pada neonatus, kapan perlu
dilakukan resusitasi dan penyulit yang terjadi ketika melakukan resusitasi pada neonatus.
1.2 Rumusan masalah
Apakah definisi resusitasi neonatus
Pada kondisi apa resusitasi pada neonatus diperlukan?
Kapan resusitasi pada nenonatus dilakukan?
Pada kondisi apa resusitasi pada neonatus dihentikan?
1.3 Tujuan
Untuk mengetahui definisi resusitasi neonatus
Untuk mengetahui pada kondisi seperti apa saja resusitasi pada neonatus

diperlukan
Untuk mengetahui kapan resusitasi neonatus dimulai dilakukan
Untuk mengetahui kapan resusitasi pada neonatus dihentikan

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Fisiologi bayi baru lahir


Transisi dari kehidupan janin intrauterin ke kehidupan bayi ekstrauterin, menunjukkan
perubahan sebagai berikut. Alveoli paru janin dalam uterus berisi cairan paru. Pada saat lahir
dan bayi mengambil nafas pertama, udara memasuki alveoli paru dan cairan paru diabsorpsi
oleh jaringan paru. Pada nafas kedua dan berikutnya, udara yang masuk ke alveoli bertambah
banyak dan cairan paru diabsorpsi sehingga kemudian seluruh jaringan paru berisi udara yang
mengandung oksigen. Aliran darah paru meningkat secara drastis. Hal ini disebabkan oleh
karena ekspansi paru yang membutuhkan tekanan puncak inspirasi dan tekanan akhir
ekspirasi yang lebih tinggi. Ekpansi paru dan peningkatan tekanan oksigen alveoli, keduanya,
menyebabkan penurunan resistensi vaskuler paru dan peningkatan aliran darah paru setelah
lahir. Aliran intrakardial dan ekstrakardial mulai beralih arah yang kemudian diikuti
penutupan duktus arteriousus. Kegagalan penurunan resitensi vaskuler paru menyebabkan
hipertensi pulmonal persisten pada bayi baru lahir, dengan aliran darah paru yang inadekuat
dan hipoksemia relatif. Ekspansi paru yang inadekuat menyebabkan gagal nafas.
2.2 Pengertian dan tujuan resusitasi pada neonatus
Resusitasi adalah usaha dalam memberikan ventilasi yang adekuat, pemberian
oksigen dan curah jantung yang cukup untuk menyalurkan oksigen kepada otak, jantung dan
alat-alat vital lainnya. Sedangkan neonatus adalah bayi baru lahir sampai usia 28 hari setelah
kelahiran. Neonatus dini adalah bayi baru lahir (0 hari) sampai 7 hari setelah lahir, dan
neonatus lanjut adalah bayi berusia 8 hari-28 hari setelah lahir. Resusitasi neonatus adalah
usaha untuk mengakhiri asfiksia dengan memberikan oksigenasi yang adekuat. Resusitasi
neonatus adalah serangkaian intervensi saat kelahiran untuk mengadakan usaha nafas dan
sirkulasi yang adekuat. Tujuan resusitasi pada neonatus adalah membuat bayi baru lahir stabil
dalam waktu selambat-lambatnya 1 jam sesudah lahir.3
Resusitasi pada bayi baru lahir adalah prosedur yang diaplikasikan pada BBL yang
tidak dapat bernapas secara spontan dan teratur pada saat lahir atau beberapa saat setelah
lahir.3

2.3 Persiapan resusitasi neonatus


Didalam setiap persalinan, penolong harus selalu siap melakukan tindakan resusitasi
bayi baru lahir. Kesiapan untuk bertindak dapat menghindarkan kehilangan waktu yang
3

sangat berharga bagi upaya pertolongan. Walaupun hanya beberapa menit tidak bernafas, bayi
baru lahir dapat mengalami kerusakan otak yang berat atau meninggal. Persiapan yang
diperlukan dalam resusitasi adalah:3
1. Persiapan Keluarga. Sebelum menolong persalinan, bicarakan dengan keluarga mengenai
kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi pada ibu dan bayinya, serta persiapan yang
dilakukan oleh penolong untuk membantu kelancaran persalinan dan melakukan tindakan
yang diperlukan.
2. Persiapan Tempat Resusitasi. Persiapan yang diperlukan meliputi ruang bersalin dan
tempat resusitasi. Gunakan ruangan yang hangat dan terang. Tempat resusitasi hendaknya
rata, keras, bersih dan kering, misalnya meja, atau diatas lantai beralas tikar, kondisi yang
rata diperlukan untuk mengatur posisi kapala bayi. Tempat resusitasi sebaiknya didekat
sumber pemanas (misalnya, lampu sorot) dan tidak banyak tiupan agin (jendela tau pintu
yang terbuka). Nyalakan lampu menjelang kelahiaran bayi.
3. Persiapan Alat Resusitasi. Sebelum menolong persalinan, selain peralatan persalinan,
siapkan juga alat-alat resusitasi dalam keadaan siap pakai. Sebelum memulai resusitasi,
peralatan dan obat harusup tersedia pada setiap persalinan. Peralatan dan obat harus
diperiksa, diuji, dan diyakinkan apakah dapat berfungsi dengan baik atau tidak.
a. Perlengkapan penghisap
Balon pengisap (bulb syringe), alat pengisap lendir
Pengisap mekanik dengan selangnya
Kateter pengisap (suction) nomor 5F, 6F, 8F, 10F, 12F, dan 14F
Pipa lambung atau Nasogastric Tube (NGT) nomor 8F dan spuit 20 mL
Pengisap mekonium/ konektor
b. Peralatan balon dan sungkup (mask)
Balon resusitasi yang dapat memberikan SpO 2 sampai kadar 90% sampai

100%
Sungkup sesuai ukuran
Sumber oksigen dengan pengatur aliran (ukuran sampai 10 L/menit) dan
selang oksigen

c. Peralatan intubasi
Laringoskop dengan daun lurus no. 00 dan no. 0 (untuk bayi kurang bulan) dan

no. 1 (untuk bayi cukup bulan).


Lampu cadangan dan baterai cadangan untuk laringoskop.
Endotracheal Tube (ETT) no. 2,5, 3,0, 3,5, 4,0 mm diameter internal.
Stilet.
Gunting
Plester atau alat fiksasi endotrakeal
Kapas alkohol
4

Alat pendeteksi CO2 atau kapnograf


Sungkup laring (LMA)
d. Alat untuk memberikan obat-obatan
Orogastic Tube no. 5F
Kateter umbilikal no. 3,5F, 5F
Three way stopcock
Spuit 1, 3, 5, 10, 20, 50 mL
Jarum ukuran 25, 21, 18 atau alat penusuk lain tanpa jarum
Handscoon steril, skalpel/gunting, larutan yodium, pita/plester/tape umbilikan
e. Lain-lain:
Handscoon dan alat pelindung lain
Alat pemancar panas atau sumber panas lainnya
Jam
Kain
Stetoskop untuk neonatus
Plester
Monitor jantung dan pulse oksimeter dengan probe serta elektrodanya
Oropharyngeal airway (0,00 dan ukuran 000 atau panjang 30, 40 dan 50 mm)
f. Untuk bayi kurang bulan
Sumber udara bertekanan
Pulse oksimeter dan probe oksimeter
Kantung plastik makanan (1 galon) atau pembungkus plastik yang dapat

4.

ditutup dan transparan


Alas pemanas kimia
Inkubator
Komunikasi dengan keluara merupakan hal penting. Pada setiap persalinan risiko tinggi,
diperlukan komunikasi antara para petugas yang merawat dan bertanggung jawab

terhadap ibu dan bayinya dengan ibu bayi, suami atau keluarga.
5. Petugas seharusnya endiskusikan rencana tatalaksana bayi dan memberikan informasi
kepada keluarga. Apabila keluarga sudah menyetujui tatalaksana atau tindakan yang akan
dilakukan, petugas meminta persetujuan tindakan medis secara tertulis.
6. Persiapan dan antisipasi untuk menjaga bayi tetap hangat. BBL mempunyai risiko
mengalami hipotermi yang menyebabkan peningkatan konsumsi oksigen dan kebutuhan
resusitasi. Karena itu, pencegahan kehilangan panas pada BBL merupakan hal penting,
bahkan pada bayi kurang bulan memerlukan upaya tambahan. Lingkungan atau ruangan
tempat melahirkan juga harus djaga suhunya supaya tidak menyebabkan bayi menderita
hipotermia.
Prinsip resusitasi yang berhasil adalah menilai dengan benar, mengambil keputusan
dengan tepat, melakukan tindakan dengan tepat dan cepat, dan mengevaluasi atau menilai
hasil tindakan.3
5

2.4 Kondisi yang memerlukan resusitasi neonatus dan faktor resiko


Sebagian besar (kurang lebih 80%) bayi baru lahir dapat bernafas spontan, sisanya
mengalami kegagalan bernafas karena berbagai sebab. Keadaan inilah yang disebut asfiksia
neonatorum. Pertolongan untuk bayi ini disebut resusitasi. Resusitasi diperlukan oleh
neonatus yang dalam beberapa menit pertama kehidupannya tidak dapat mengadakan
ventilasi efektif dan perfusi adekuat untuk memenuhi kebutuhan oksigenasi dan eliminasi
karbondioksida, atau bila sistem kardiovaskular tidak cukup dapat memberi perfusi secara
efektif kepada susunan saraf pusat, jantung dan organ vital lain. Penyebab terjadinya
oksigenasi yang tidak efektif dan perfusi yang tidak adekuat pada neonatus dapat berlangsung
sejak saat sebelum persalinan hingga masa persalinan.
Beberapa kondisi tertentu pada ibu hamil dapat menyebabkan gangguan sirkulasi
darah uteroplasenta sehingga pasokan oksigen ke bayi menjadi berkurang yang
mengakibatkan hipoksia bayi di dalam rahim dan dapat berlanjut menjadi asfiksia bayi baru
lahir. Beberapa faktor tertentu diketahui dapat menjadi penyebab terjadinya asfiksia pada bayi
baru lahir, diantaranya adalah:3,5
1. Faktor ibu: Pre-eklampsi dan eklampsi, pendarahan abnormal (plasenta previa atau
solusio plasenta), kehamilan lewat waktu (sesudah 42 minggu kehamilan), partus lama
(rigid serviks dan atonia/ insersi uteri), ruptur uteri yang memberat, kontraksi uterus yang
terus-menerus mengganggu sirkulasi darah ke plasenta, perdarahan banyak (plasenta
previa dan solutio plasenta).
2. Faktor tali pusat seperti lilitan tali pusat, tali pusat pendek, simpul tali pusat, prolapsus
tali pusat.
3. Faktor bayi seperti bayi prematur (sebelum 37 minggu kehamilan), persalinan dengan
tindakan (sungsang, bayi kembar, distosia bahu, ekstraksi vakum, ekstraksi forsep),
kelainan bawaan (kongenital), air ketuban bercampur mekonium (warna kehijauan).

Kondisi-kondisi yang memerlukan tindakan resusitasi adalah:


Sumbatan jalan napas : akibat lendir / darah / mekonium, atau akibat lidah yang jatuh ke

posterior.
Kondisi depresi pernapasan akibat obat-obatan yang diberikan kepada ibu misalnya obat

anestetik, analgetik lokal, narkotik, diazepam, magnesium sulfat, dan sebagainya


Kerusakan neurologis.
Kelainan / kerusakan saluran napas atau kardiovaskular atau susunan saraf pusat, dan /
atau kelainan-kelainan kongenital yang dapat menyebabkan gangguan pernapasan /
sirkulasi.
6

Syok hipovolemik misalnya akibat kompresi tali pusat atau perdarahan.


Resusitasi lebih penting diperlukan pada menit-menit pertama kehidupan. Jika

terlambat, bisa berpengaruh buruk bagi kualitas hidup individu selanjutnya.3


2.5 Menentukan apakah bayi perlu di resusitasi
Penilaian pada bayi yang terkait dengan penatalaksanaan resusitasi, dibuat
berdasarkan keadaan klinis.
2.5.1 APGAR score
Nilai Apgar pada umumnya dilaksanakan pada 1 menit dan 5 menit sesudah bayi lahir.
Akan tetapi, penilaian bayi harus dimulai segera sesudah bayi lahir. Apabila bayi memerlukan
intervensi berdasarkan penilaian pernafasan, denyut jantung atau warna bayi, maka penilaian
ini harus dilakukan segera. Intervensi yang harus dilakukan jangan sampai terlambat karena
menunggu hasil penilaian Apgar 1 menit. Keterlambatan tindakan akan membahayakan
terutama pada bayi yang mengalami depresi berat.3
Walaupun nilai Apgar tidak penting dalam pengambilan keputusan pada awal
resusitasi, tetapi dapat menolong dalam upaya penilaian keadaan bayi dan penilaian
efektivitas upaya resusitasi. Jadi nilai Apgar perlu dinilai pada 1 menit dan 5 menit.

Gambar 2.1 APGAR score

APGAR score pada menit kelima dan perbedaan antara APGAR score pada menit 1
dan ke 5 merupakan indeks untuk menilai efektivitas upaya resusitasi. Usia gestasi
merupakan faktor penting yang mempengaruhi APGAR SCORE karena elemen skor seperti
tonus, warna dan iritabilitas reflek sebagian bergantung pada maturitas fisiologi bayi. Bayi
7

prematur yang sehat tanpa tanda-tanda anoksia, asidemia, dan depresi nafas dapat memiliki
skor APGAR <7 hanya karena imaturitas organnya.
APGAR skor 8-10 umumnya dapat dicapai pada 90% neonatus. Dalam hal ini,
diperlukan suction oral dan nasal, mengeringkan kulit, dan menjaga temperatur tubuh tetap
normal. Reevaluasi kondisi neonatus dilakukan pada menit ke-5 pertama kehidupan. APGAR
skor 5-7 (asfiksia ringan). Neonatus ini akan merespon terhadap rangsangan dan pemberian
oksigen. Jika responnya lambat, maka dapat diberikan ventilasi dengan pemberian oksigen
80-100% melalui bag and mask. Pada menit ke-5 biasanya keadaannya akan membaik. Bayi
dengan APGAR skor 3-4 (asfiksia sedang) biasanya sianotik dan usaha pernafasannya berat,
tetapi biasanya berespon terhadap bag and mask ventilation dan kulitnya menjadi merah
muda. Apabila neonatus ini tidak bernafas spontan, maka ventilasi paru dengan bag and mask
akan menjadi sulit, karena terjadi resistensi jalan nafas pada saat melewati esofagus. Apabila
neonatus tidak bernafas atau pernafasannya tidak efektif, pemasangan pipa endotrakea
diperlukan sebelum dilakukan ventilasi paru. Hasil analisa gas darah seringkali abnormal
(PaO2 < 20 mmHg, PaCO2 > 60 mmHg, pHa 7,15). Apabila pH dan defisit basa tidak berubah
atau memburuk, diperlukan pemasangan kateter arteri umbilikalis dan jika perlu dapat
diberikan natrium bikarbonat. Bayi dengan APGAR skor 0-2 disebut menderita asfiksia berat
dan memerlukan resusitasi segera. Sebaiknya dilakukan intubasi dan kompresi dada segera.
2.5.2

Down score

Gambar
2.2 Down score

Evaluasi dengan menggunakan down score digunakan untuk mengevaluasi gawat


nafas. Apabila skor <4 neonatus mengalami distress pernapasan ringan sehingga
membutuhkan O2 nasal atau head box, apabila skor 4-5 maka neonatus mengalami distress
pernapasan moderate sehingga diperlukan CPAP nasal, dan apabila skor 6 maka diperlukan
analisa gas darah dan dipertimbangkan intubasi apabila perlu.
2.6 Penilaian bayi baru lahir
Diperkirakan 10% bayi baru lahir membutuhkan bantuan untuk bernapas pada saat
lahir dan 1% saja yang membutuhkan resusitasi yang ekstensif. Penilaian awal saat lahir
harus dilakukan pada semua bayi. Penilaian awal itu ialah: apakah bayi cukup bulan, apakah
bayi menangis atau bernapas, dan apakah tonus otot bayi baik. Jika bayi lahir cukup bulan,
menangis, dan tonus ototnya baik maka tidak perlu dilakukan resusitasi, cukup bayi
dikeringkan dan dipertahankan tetap hangat. Hal ini dilakukan dengan bayi berbaring di dada
ibunya dan tidak dipisahkan dari ibunya. Apabila ada satu dari tiga kriteria yang tidak
terpenuhi, maka perlu dilakukan resusitasi pada neonatus tersebut.
Diberikan waktu kira-kira 60 detik (the Golden Minute) untuk melengkapi langkah
awal, menilai kembali, dan memulai ventilasi jika dibutuhkan. Penentuan ke langkah berikut
didasarkan pada penilaian simultan dua tanda vital yaitu pernapasan dan frekuensi denyut
jantung. Setelah ventilasi tekanan positif (VTP) atau setelah pemberian oksigen tambahan,
penilaian dilakukan pada tiga hal yaitu frekuensi denyut jantung, pernapasan, dan status
oksigenasi. Setelah publikasi tahun 2005, telah diidentifikasi beberapa kontroversi dan pada
tahun 2010 dibuat kesepakatan. Berikut ini adalah rekomendasi utama untuk resusitasi
neonatus:3
1. Penilaian setelah langkah awal ditentukan oleh penilaian simultan dua tanda vital yaitu
frekuensi denyut jantung dan pernapasan. Oksimeter digunakan untuk menilai oksigenasi
karena penilaian warna kulit tidak dapat diandalkan.
2. Untuk bayi yang lahir cukup bulan sebaiknya resusitasi dilakukan dengan udara dibanding
dengan oksigen 100%.
3. Oksigen tambahan diberikan dengan mencampur oksigen dan udara (blended oxygen), dan
pangaturan konsentrasi dipantau berdasarkan oksimetri.
4. Bukti yang ada tidak cukup mendukung atau menolak dilakukannya pengisapan trakea
secara rutin pada bayi dengan air ketuban bercampur mekonium, bahkan pada bayi dalam
keadaan depresi (lihat keterangan pada Langkah Awal).
5. Rasio kompresi dada dan ventilasi tetap 3:1 untuk neonatus kecuali jika diketahui adanya
penyebab jantung. Pada kasus ini rasio lebih besar dapat dipertimbangkan.
9

6. Terapi hipotermia dipertimbangkan untuk bayi yang lahir cukup bulan atau mendekati
cukup bulan dengan perkembangan kearah terjadinya ensefalopati hipoksik iskemik
sedang atau berat, dengan protokol dan tindak lanjut sesuai panduan.
7. Penghentian resusitasi dipertimbangkan jika tidak terdeteksi detak jantung selama 10
menit. Banyak faktor ikut berperan dalam keputusan melanjutkan resusitasi setelah 10
menit.
8. Penjepitan talipusat harus ditunda sedikitnya sampai satu menit untuk bayi yang tidak
membutuhkan resusitasi. Bukti tidak cukup untuk merekomendasikan lama waktu untuk
penjepitan tali pusat pada bayi yang memerlukan resusitasi.

2.7 Langkah awal resusitasi


Langkah awal resusitasi ialah memberikan kehangatan dengan meletakkan bayi di
bawah pemancar panas, memposisikan bayi pada posisi menghidu/sedikit tengadah untuk
membuka jalan napas, membersihkan jalan napas jika perlu, mengeringkan bayi, dan
stimulasi napas. Membersihkan jalan napas:3

Jika cairan amnion jernih, pengisapan langsung segera setelah lahir tidak dilakukan
secara rutin, tetapi hanya dilakukan bagi bayi yang mengalami obstruksi napas dan
yang memerlukan VTP.

Jika terdapat mekonium, bukti yang ada tidak mendukung atau tidak menolak
dilakukannya pengisapan rutin pada bayi dengan ketuban bercampur mekonium dan
bayi tidak bugar atau depresi. Tanpa penelitian (RCT), saat ini tidak cukup data untuk
merekomendasikan perubahan praktek yang saat ini dilakukan. Praktek yang
dilakukan ialah melakukan pengisapan endotrakeal pada bayi dengan pewarnaan
mekonium yang tidak bugar. Namun, jika usaha intubasi perlu waktu lama dan/atau
tidak berhasil, ventilasi dengan balon dan sungkup dilakukan terutama jika terdapat
bradikardia persisten.
Setelah jalan nafas dibersihkan, keringkan bayi dan stimulasi. Pada bayi dengan berat

1500 gram, bayi langsung dibungkus plastik bening tanpa dikeringkan terlebih dahulu
kecuali wajahnya, kemudian dipasang topi. Bayi tetap dapat di stimulasi walaupun dipasang
topi. Stimulasi taktil dapat dilakukan dengan menepuk atau menjentik telapak kaki dengan
hati-hati, menggosok punggung atau perut. Melakukan rangsang taktil terus menerus pada
10

bayi yang apneu adalah berbahaya dan tidak boleh dilakukan. Setelah dilakukan stimulasi
atau rangsang pernapasan, posisikan kembali bayi dengan benar dan observasi pernapasan,
denyut jantung dan tonus otot.
2.8

Penilaian pernapasan
Setelah langkah awal selesai dilakukan dan bayi sudah diposisikan kembali, maka

dilakukan penilaian terhadap pernapasan, denyut jantung, tonus otot dan warna kulit.2,3

Apabila bayi tidak bernafas atau megap-megap saat bernafas atau denyut jantung
<100x/menit diberikan ventilasi tekanan positif dan dilakukan pemantauan saturasi
oksigen. Sebelum persalinan berlangsung, pada saat persiapan alat resusitasi, alat yang
akan dipakai untuk ventilasi tekanan positif dipasang dan dirangkai serta dihubungkan
dengan oksigen sehingga dapat memberikan kadar sampai 90-100%. Siapkan sungkup
dengan ukuran yang sesuai berdasarkan antisipasi ukuran atau berat bayi. Ukuran
sungkup yang tepat ialah yang dapat menutupi hidung, mulut, dan dagu. Dilakukan
pepompaan pada balon resusitasi dengan tekanan awal >30 cmH20 dan selanjutnya 15-20
cmH2O dengan frekuensi 40-60x/menit. VTP dilakukan selama 30 detik sebanyak 20-30
kali, dengan fase eskpirasi lebih lama daripada fase inspirasi. Setelah 30 detik ventilasi,
dilakukan penilaian frekuensi jantung. Apabila denyut jantung >100x per menit dan target
saturasi tercapai tanpa alat, maka lanjutkan ke perawatan obseravasi, apabila pasien
menggunakan alat maka lanjutkan ke perawatan pasca resusitasi.
Tabel 2.1 Target SpO2 pada saat lahir2

Waktu dari lahir


Target SpO2 preduktal
1 menit
60-70%
2 menit
65-85%
3 menit
70-90%
4 menit
75-90%
5 menit
80-90%
10 menit
85-90%
Apabila neonatus dapat bernapas spontan, perhatikan apakah neonatus mengalami distress
napas (takipneu, retraksi atau merintih) atau sianosis sentral persisten tanpa distress
napas. Apabila ada distress napas maka diberikan continuous positive airway pressure
(CPAP) dengan PEEP 5-8 cmH2O dan dilakukan pemantauan saturasi oksigen. Apabila
denyut jantung >100x per menit dan target saturasi tercapai tanpa alat, maka lanjutkan ke
11

perawatan obseravasi, apabila pasien menggunakan alat maka lanjutkan ke perawatan


pasca resusitasi. Apabila gagal CPAP, PEEP 8 cmH20 dan FiO2 >40% dengan distress
napas, maka pertimbangkan intubasi. Apabila terjadi sianosis sentral persisten tanpa
distress napas, pertimbangkan suplementasi oksigen dan lakukan pemantauan SpO2.
Apabila laju denyut jantung >100x per menit dan target saturasi oksigen tercapai tanpa
alat, lanjutkan ke perawatan observasi, jika dengan alat maka lanjutkan ke perawatan
resusitasi. Penggunaan oksimetri nadi (pulse oximetry) direkomendasikan jika resusitasi
diantisipasi, VTP diperlukan lebih dari beberapa kali napas, sianosis menetap, oksigen
tambahan diberikan.
Apabila setelah dilakukan resusitasi dengan VTP dan denyut jantung tetap
<100x/menit, perhatikan pengembangan dada, apakah adekuat atau tidak.2

Jika dada mengembang adekuat namun denyut jantung <60x/menit, maka dilakukan VTP
(oksigen 100%) + kompresi dada (3 kompresi tiap 1 nafas), pertimbangkan intubasi pada
langkah ini apabila VTP tidak efektif atau telah dilakukan selama 2 menit. Observasi
denyut jantung dan pernapasan setiap 30 detik.

Bila dada tidak mengembang adekuat, evaluasi posisi kepala bayi, obstruksi jalan nafas
ada atau tidak, kebocoran sungkup, tekanan puncak inspirasi cukup atau tidak.

Cara atau teknik melakukan kompresi dada adalah:3


a. Perlu 2 orang untuk bekerja sama melakukan kompresi dada yang efektif, satu menekan
dada dan yang lain melanjutkan ventilasi. Orang yang melakukan ventilasi mengambil
posisi di sisi kepala bayi agar sungkup wajah dapat ditempatkan secara efektif atau untuk
menstabilkan pipa endotrakeal dan memantau gerakan dada yang efektif.
b. Lokasi kompresi dada 1/3 bagian bawah tulang dada, yang terletak antara ujung tulang
dada dan garis khayal yang menghubungkan kedua areola mamae atau satu jari di bawah
garis khayal.
c. Dapat menggunakan 2 teknik yaitu teknik dengan ibu jari dan teknik dua jari. Apabila
menggunakan teknik ibu jari, kedua ibu jari di atas sternum depan jari lain melingkar di
bawah bayi menyangga tulang belakang/punggung. Posisi kedua ibu jari berdampingan
atau pada bayi kecil dapat saling susun. Ibu jari difleksikan pada sendi ruas jari dan
12

tekanan diberikan secara vertikal untuk menekan jantung yang terletak antar tulang dada
dan tulang belakang. Teknik ini mempunyai keuntungan dibandingkan dengan teknik dua
jari karena memperbaiki tekanan puncak sistolik dan perfusi koroner tanpa komplikasi.
Teknik ini mempunyai keterbatasan yaitu tidak dapat dilakukan secara efektif bila bayi
besar dan tangan penolong kecil dan lebih sulit bila diperlukan akses tali pusat untuk
memberi obat. Apabila menggunakan teknik dua jari, ujung jari tengah dan telunjuk atau
jari manis dari satu tangan digunakan untuk menekan. Kedua jari tegak lurus dinding
dada dan penekanan dengan ujung jari. Tangan lain harus digunakan untuk menopang
bagian belakang bayi sehingga penekanan pada jantung antara tulang dada dan tulang
belakang menjadi lebih efektif. Dengan tangan ke dua menopang bagian belakang, dapat
dirasakan tekanan dan dalamnya penekanan dengan lebih mudah. Teknik dua jari lebih
melelahkan dibandingkan dengan teknik dua ibu jari. Kompresi harus dilakukan dengan
hati-hati supaya tidak merusak organ di bawahnya.
Apabila telah dilakukan resusitasi seperti diatas dan denyut jantung setelah 30 detik
tetap <60x/menit, pertimbangkan cairan intravena dan obat.2

13

Gambar 2.3 Alur resusitasi neonatus1


2.9 Cara menilai frekuensi denyut jantung
Frekuensi denyut jantung dapat diperiksa dengan mendengarkan pulsasi jantung
dengan memakai stetoskop, atau meraba pulsasi pada pangkal tali pusat. Bila pulsasi tidak
teraba pada pangkal tali pusat, harus diperiksa dengan menggunakan stetoskop. Oskimetri
nadi dapat menunjukkan gambaran yang akurat dan berkesinambungan dari frekuensi denyur
jantung dalam satu menit setelah lahir.3,5
2.10 Penggunaan continious positive airway pressure
Banyak ahli merekomendasikan pemberian continuous positive airway pressure
(CPAP) pada bayi yang bernapas spontan tetapi mengalami kesulitan setelah lahir.
14

Penggunaan CPAP ini baru diteliti pada bayi prematur. Untuk bayi cukup bulan dengan gawat
napas, tidak ada cukup bukti untuk mendukung atau tidak mendukung penggunaan CPAP di
ruang bersalin.3
2.11 Alat untuk ventilasi
Alat untuk melakukan VTP untuk resusitasi neonatus adalah balon tidak mengembang
sendiri (balon anestesi), balon mengembang sendiri, atau T-piece resuscitator. Laryngeal
Mask Airway (LMA; sungkup larings) disebutkan dapat digunakan dan efektif untuk bayi
>2000 gram atau 34 minggu. LMA dipertimbangkan jika ventilasi dengan balon sungkup
tidak berhasil dan intubasi endotrakeal tidak berhasil atau tidak mungkin. LMA belum diteliti
untuk digunakan pada kasus air ketuban bercampur mekonium, pada kompresi dada, atau
untuk pemberian obat melalui trakea.2,3
2.12 Pemasangan intubasi endotrakeal
Indikasi intubasi endotrakeal pada resusitasi neonatus ialah pengisapan endotrakeal
awal dari bayi dengan mekonium dan tidak bugar, jika ventilsi dengan balon-sungkup tidak
efektif atau memerlukan waktu lama, jika dilakukan kompresi dada, untuk situasi khusus
seperti hernia diafragmatika kongenital atau bayi berat lahir amat sangat rendah.3
2.13 Kompresi dada
Indikasi kompresi dada ialah jika frekuensi denyut jantung kurang dari 60 per menit
setelah ventilasi adekuat dengan oksigen selama 30 detik. Untuk neonatus, rasio
kompresi:ventilasi tetap 3:1. Pernapasan, frekuensi denyut jantung, dan oksigenasi harus
dinilai secara periodik dan kompresi ventilasi tetap dilakukan sampai frekuensi denyut
jantung sama atau lebih dari 60 per menit.3
2.14 Medikasi
Obat-obatan jarang digunakan pada resusitasi bayi baru lahir. Bradikardi umumnya
disebabkan karena hipoksia dan ventilasi yang tidak adekuat. Apneu disebabkan oleh
oksigenasi yang tidak cukup pada batang otak. Otot jantung pada sejumlah kecil bayi
mungkin kekurangan oksigen dalam jangka panjang yang mengakibatkan berkurangnya
efektivitas kontraksi, meski mendapat perfusi darah yang mengandung banyak oksigen. Bayi
15

ini memerlukan epinefrin untuk merangsang jantungnya. Bila terjadi kehilangan darah akut,
perlu diberikan cairan penambah volume darah. Karena itu melakukan ventilasi yang adekuat
merupakan langkah yang terpenting untuk meningkatkan laju jantung.3
Bila laju jantung tetap <60 kali/menit walaupun telah dilakukan ventilasi adekuat
(dada bergerak pada inflasi) dan kompresi dada, obat perlu diberikan. kuat (dada bergerak
pada inflasi) dan kompresi dada, obat perlu diberikan. Karena obat diharapkan mempunyai
efek pada jantung maka secara ideal pemberian obat ialah secara cepat yaitu melalui kateter
vena umbilicalis. Namun, jika frekuensi denyut jantung kurang dari 60 per menit walaupun
telah diberikan ventilasi adekuat dengan oksigen 100% dan kompresi dada, pemberian
epinefrin atau pengembang volume atau keduanya dapat dilakukan.
Obat-obatan yang diberikan adalah:2,3

Epinefrin: adalah obat pemicu jantung yang meningkatkan kekuatan dan kontraksi otot
jantung dan mengakibatkan vasokonstriksi perifer, sehingga akan mengakibatkan
meningkatnya aliran darah melalui arteri koronaria dan aliran darah ke otak. Indikasi
pemberian epinefrin ialah bila frekuensi jantung <60x/menit setelah melakukan ventilasi
tekanan positif secara efektif selama 30 detik dan dilanjutkan ventilasi tekanan positif
serta kompresi dada secara terkoordinasi selama 30 detik. Epinefrin tidak diberikan
sebelum ventilasi adekuat karena waktu yang digunakan untuk pemberian epinefrin lebih
baik digunakan untuk ventilasi dan oksigenasi efektif. Epinefrin akan meningkatkan
beban dan konsumsi oksigen otot jantung, sehingga bila kekurangan oksigen akan
mengakibatkan kerusakan otot jantung. Dosis dan pemberian epinefrin direkomendasikan
epinefrin larutan 1:10.000 untuk bayi baru lahir diberikan secara intravena. Pemberian
melalui pipa endotrakeal lebih cepat tetapi cara ini mengakibatkan kadar dalam darah
lebih rendah dan tidak dapat diprediksi sehingga mungkin tidak efektif. Dosis epinefrin
ialah 0,1-0,3 ml/kgbb (setara dengan 0,01-0,03 mg/kgbb) larutan 1:10.000. Bila
diputuskan untuk memberikan epinefrin melalui pipa endotrakeal sementara jalur
intravena sedang disiapkan, pertimbangkan pemberian dosis lebih besar (0,3-1 ml/kgbb
atau setara dengan 0,003-0,1mg/kgbb). Bila obat diberikan secara intravena melalui
kateter, harus diikuti dengan pemberian 0,5-1,0 mL garam fisiologis untuk membilas obat
dan memastikan dapat mencapai sirkulasi darah. Setelah diberikan epinefrin, dan

16

frekuensi denyut jantung masih <60 kali/menit dalam waktu 30 detik, maka epinefrin
dapat diulang tiap 3-5 menit secara intravena.

Cairan penambah volume darah (plasma expander) diindikasikan bila bayi terlihat pucat,
ada bukti kehilangan darah dan respon resusitasi baik.

Pada beberapa kasus, dapat

disebabkan karena kehilangan darah ke sirkulasi maternal yang akan menunjukkan tandatanda syok tanpa ada bukti kehilangan darah yang berarti. Bayi yang mengalami syok
akan tampak pucat, CRT melambat dan nadi lemah. Cairan yang digunakan untuk
mengobati hipovolemia akut adalah cairan kristaloid isotonik yaitu larutan garam
fisiologis, ringer laktat, atau darah-O megatif. Dosis awal ialah 10 ml/kg dengan
kecepatan 5-10 menit secara intravena. Bila bayi menunjukkan perbaikan yang minimal
setelah pemberian dosis pertama, dapat diberikan tambahan lagi 10 ml/kgbb.

Nalokson diindikasikan bila bayi tetap mengalami depresi napas setelah frekuensi jantung
dan warna kulit menjadi normal dan ibu mendapat obat narkotika pada 4 jam sebelum
persalinan. Nalokson tidak diajurkan diberikan sebagai bagian dari resusitasi awal pada
BBL dengan depresi pernapasan di ruang bersalin. Nalokson juga tidak boleh diberikan
pada bayi dari ibu yang diduga menggunakan narkotik karena dapat menimbulkan
withdrawal sign. Dosis nalokson adalah 0,1 mg/kgbb diberikan secara intravena atau
intramuskular.

2.15 Intubasi endotrakeal


Intubasi diindikasikan untuk mengisap mekonium dalam trakea bila didapatkan ada
mekonium dalam air ketuban dan bayi tidak bugar. Selain itu diindikasikan untuk
meningkatkan efektivitas ventilasi bila setelah beberapa menit melakukan ventilasi balon dan
sungkup tidak efektif, untuk membantu koordinasi kompresi dada dan ventilasi, serta untuk
memaksimalkan efisiensi pada setiap ventilasi. Diindikasikan juga untuk memberikan obat
epinefrin bila diperlukan untuk merangsang jantung sambil menunggu akses intravena, selain
itu dilakukan pada bayi sangat kurang bulan untuk ventilasi dan atau pemberian surfaktan.3
Tabel 2.2 Ukuran dan panjang pipa endotrakea3
Berat (gram)

Umur kehamilan

Ukuran pipa

Dalamnya insersi dari

<1000

(minggu)
<28 minggu

(diameter mm)
2,5

bibir atas
6,5-7
17

1000-2000
2000-3000
>3000

3,0
28-34

3,0/3,5

7-8

34-38

3,5/4,0

8-9

>9
>38
Komplikasi dari intubasi endotrakeal adalah perforasi trakea, perforasi esofagus,
udema larings, posisi pipa tidak tepat, obstruksi atau penekukan pipa, trauma pada palatum
dan stenosis subglotis.
2.16 Perawatan pasca resusitasi
Penanganan pasca resusitasi pada neonatus yang mengalami asfiksia perinatal sangat
kompleks dan membutuhkan monitoring yang ketat dan tindakan antisipasi yang cepat,
karena bayi berisiko mengalami disfungsi multiorgan dan perubahan dalam kemampuan
mempertahankan homeostasis fisiologis. Deteksi dan intervensi dini terhadap gangguan
fungsi organ sangat mempengaruhi keluaran dan harus dilakukan di ruang perawatan intensif
untuk mendapatkan perawatan dukungan, monitoring, dan evaluasi diagnostik yang lebih
lanjut. Prinsip umum dari penanganan pasca resusitasi neonatus diantaranya melanjutkan
dukungan kardiorespiratorik, koreksi hipoglikemia, asidosis metabolik, abnormalitas
elektrolit, serta penanganan hipotensi. Dalam melaksanakan stabilisasi pasca resusitasi
neonatus terdapat acuan dalam melakukan pemeriksaan dan stabilisasi, yaitu S.T.A.B.L.E,
yang terdiri dari:3,6

S-SUGAR
Sugar adalah langkah untuk menstabilkan kadar gula darah neonatus. Hipoglikemia

adalah keadaan dimana kadar glukosa darah tidak dapat mencukupi kebutuhan tubuh.
Hipoglikemia berhubungan dengan keluaran neurologis yang buruk. Percobaan pada hewan
menunjukkan bahwa kejadian hipoglikemik yang bersamaan dengan hipoksik-iskemik
menunjukkan daerah infark yang lebih besar dan menunjukkan angka keselamatan yang lebih
rendah. Pada neonatus kadar glukosa darah harus dipertahankan pada kadar 50-110 mg/dl.
Beberapa langkah yang dapat dilakukan untuk stabilisasi gula darah neonatus adalah:

18

1. Memberikan makanan parenteral. Kebanyakan neonatus yang perlu ditransportasi terlalu


sakit untuk mentoleransi makanan peroral. Pada bayi sakit, sebaiknya menunda
pemberian makanan peroral karena bayi yang sakit seringkali mengalami distres
pernafasan, sehingga meningkatkan risiko terjadinya aspirasi isi lambung ke paru. Selain
itu ketika bayi mengalami distres pernafasan mereka memiliki koordinasi menghisap,
menelan dan bernafas yang buruk. Pada keadaan tertentu, misalnya infeksi dapat
memperlambat pengosongan isi lambung karena ileus intestinal. Isi gaster dapat
mengalami refluks ke esofagus dan teraspirasi ke paru. Pada bayi yang mengalami
asfiksia, kadar oksigen dan tekanan darah yang rendah, sehingga aliran darah ke usus
menurun sehingga meningkatkan risiko terjadinya jejas iskemik.
2. Memberikan glukosa melalui jalur intravena. Memberikan kebutuhan energi bagi bayi
yang sakit melalui cairan intravena yang mengandung glukosa merupakan komponen
penting dalam stabilisasi bayi, karena otak bayi memerlukan suplai glukosa yang cukup
untuk berfungsi dengan normal. Cairan yang mengandung glukosa harus segera diberikan
melalui jalur intravena kepada bayi sakit. Jalur intravena dapat diberikan di tangan, kaki
atau kulit kepala. Apabila jalur perifer sulit didapatkan maka dapat digunakan jalur vena
umbilikal untuk pemberian cairan dan obat-obatan.
3. Beberapa neonatus berisiko tinggi mengalami hipoglikemia. Bayi yang berisiko tinggi
mengalami hipoglikemia diantaranya adalah bayi prematur (usia kehamilan <37 minggu),
bayi kecil untuk masa kehamilan, berat badan lahir rendah, dan IUGR, bayi besar untuk
masa kehamilan, bayi dari ibu dengan diabetes mellitus, bayi yang sakit, bayi dari ibu
yang mendapat obat hipoglikemik atau diinfus glukosa saat persalinan.
Pemeriksaan gula darah diindikasikan dilakukan saat usia 30 menit pada bayi dengan
distres pernafasan, sepsis atau tidak dapat minum. Kemudian pemeriksaan gula darah
dilanjutkan tiap satu jam. Pada bayi dengan faktor risiko yang asimtomatik dan dapat minum,
pemeriksaan gula darah dilakukan pada usia 2 jam anda bayi mengalami hipoglikemia
diantaranya jitteriness, tremor, hipotermia, letargis, lemas, hipotonia, apnea atau takipnea,
sianosis, malas menetek, muntah, menangis lemah atau high pitched, kejang bahkan henti
jantung.

T-temperature

19

Hipotermia merupakan kondisi yang dapat dicegah dan sangat mempengaruhi


morbiditas

dan mortalitas, khususnya pada bayi prematur. Maka, usaha untuk

mempertahankan suhu normal bayi dan pencegahan hipotermia selama stabilisasi sangatlah
penting. Bayi yang berisiko tinggi mengalami hipotermia adalah bayi prematur, berat badan
rendah (khususnya berat badan kurang dari 1500 gram), bayi kecil untuk masa kehamilan,
bayi yang mengalami resusitasi yang lama, bayi yang sakit berat dengan masalah infeksi,
jantung, neurologis, endokrin dan bedah, bayi yang hipotonik akibat sedatif, analgesik, atau
anestesi. Konsep utama dalam pencegahan hipotermi pada bayi pasca resusitasi adalah
sebagai berikut:6
1. Pemeliharaan suhu badan normal harus diprioritaskan baik pada bayi sakit maupun sehat.
Untuk bayi sehat dapat dilakukan dengan menggunakan selimut hangat, menjauhkan kain
basah, meletakkan anak di dada ibu (skin to skin contact), menggunakan topi dan pakaian.
Pada bayi sakit biasanya bayi tidak menggunakan pakaian dan diletakkan di atas radiant
warmer untuk memudahkan observasi dan tindakan. Selama resusitasi dan stabilisasi,
risiko terjadinya stres dingin dan hipotermia sangat meningkat, sehingga usaha
pencegahan hipotermia harus ditingkatkan.
2. Bayi prematur dan berat badan rendah sangat rentan mengalami hipotermia. Bayi masih
memiliki kesulitan dalam mengatur keseimbangan antara produksi dan kehilangan panas,
terutama pada bayi prematur dan bayi kecil masa kehamilan. Hal ini disebabkan karena
perbandingan antara luas permukaan dan massa tubuh yang lebih besar, kulit imatur yang
lebih tipis, dan lemak coklat yang lebih sedikit. Masalah ini lebih berisiko pada bayi
dengan berat <1500 gram. Apabila kehilangan panas tidak dicegah, maka suhu tubuh akan
menurun dengan sangat cepat.
3. Bayi yang dilakukan resusitasi lama berisiko tinggi mengalami hipotermia.
Pada neonatus proses kehilangan panas dapat melalui beberapa mekanisme, antara
lain:6
a. Konduksi. Konduksi adalah proses kehilangan panas melalui kontak benda padat.
Misalnya kontak antara tubuh bayi dengan alas atau timbangan. Untuk mengurangi
risiko kehilangan panas secara konduksi dapat dilakukan dengan cara menghangatkan
alat-alat yang akan bersentuhan dengan bayi, misalnya alas, stetoskop, handuk, tangan
pemeriksa.
b. Konveksi. Konveksi adalah proses kehilangan panas melalui kontak dengan aliran
udara, misalnya aliran udara dari jendela, pintu, kipas angin, AC. Untuk mengurangi
20

kehilangan panas secara konveksi dapat dilakukan dengan cara menaikkan suhu
ruangan menjadi 25-280C (rekomendasi WHO), melapisi tubuh bayi prematur (berat
<1500 gram) dengan plastik polietilen dari dagu hingga kaki, serta mentransfer bayi
dengan menggunakan inkubator tertutup yang telah dihangatkan terlebih dahulu.
c. Evaporasi. Evaporasi adalah proses kehilangan panas melalui penguapan. Standar
internasional merekomendasikan untuk segera mengeringkan bayi dengan handuk
hangat setelah lahir untuk mengurangi kehilangan panas secara evaporasi, lapisi
permukaan tubuh bayi prematur dengan plastik polietilen untuk mencegah kehilangan
panas secara evaporasi dan konveksi, hangatkan suhu ruangan dan kurangi adanya
turbulensi udara yang melewati bayi.
d. Radiasi. Radiasi adalah proses kehilangan panas antara dua benda padat yang tidak
bersentuhan. Proses kehilangan panas melalui radiasi dapat dikurangi dengan cara
mempertahankan kehangatan suhu ruangan dan menjauhkan bayi dari jendela terbuka,
atau dengan meletakkan bayi di dalam inkubator.
Stres dingin yang berkepanjangan menyebabkan meningkatnya konsumsi oksigen dan
penggunaan

glukosa

yang

abnormal,

sehingga

dapat

menyebabkan

terjadinya

hipoglikemia,hipoksemia dan asidosis. Pada bayi yang mengalami hipotermia, bayi harus
dihangatkan sambil memonitor ketat tanda vital, kesadaran, dan status asam basa. Kecepatan
dalam menghangatkan suhu tubuh harus diatur sesuai dengan stabilitas dan toleransi bayi.

A-airway
Sebagian besar masalah neonatus yang ditransfer dari NICU adalah distres

pernafasan. Pada keadaan tertentu, gagal nafas dapat dicegah dengan memberikan dukungan
respiratorik sesuai dengan kebutuhan bayi, misalnya pemberian oksigen melalui nasal kanul,
ventilasi tekanan positif, intubasi endotrakeal, sampai bantuan ventilator. Evaluasi kondisi
bayi sesering mungkin dan catat hasil observasi. Pada beberapa keadaan membutuhkan
penilaian ulang tiap beberapa menit, sedangkan pada keadaan yang lebih ringan dapat dinilai
ulang tiap 1-3 jam. Hal yang harus dievaluasi dan dicatat:5
1. Laju nafas. Nilai normal laju nafas neonatus adalah 40-60 kali/menit. Laju nafas >60
kali/menit (takipnea) dapat disebabkan karena berbagai hal, dapat berhubungan dengan
kelainan di saluran respiratorik atau dari tempat lain. Laju nafas <40 kali/menit dapat
menandakan bahwa bayi mulai kelelahan, atau sekunder karena cedera otak (hipoksik

21

iskemik-ensefalopati, edema otak atau perdarahan intrakranial), obat-obatan (opioid), atau


syok.
2. Usaha nafas. Selain takipnea, tanda distres pernafasan lain diantaranya: Retraksi, dapat
dilihat didaerah suprasternal, substernal, interkostal, subkostal. Grunting, pernafasan
cuping hidung. Apnea, nafas megap-megap, atau periodic breathing.
3. Kebutuhan oksigen. Apabila bayi mengalami sianosis di udara ruangan dan distres
pernafasan ringan atau sedang, maka oksigen diberikan melalui hidung. Pada keadaan
bayi mengalami distres pernafasan berat, dapat diberikan tindakan yang lebih agresif
seperti Continous Positive Airway Pressure (CPAP), atau intubasi endotrakeal.
4. Saturasi oksigen. Saturasi oksigen harus dipertahankan agar di atas 90 %.
5. Analisis gas darah. Evaluasi dan interpretasi gas darah penting untuk menilai derajat
distres pernafasan yang dialami oleh bayi.
Dalam menentukan derajat distres pernafasan, penting untuk menilai laju pernafasan,
usaha nafas, kebutuhan oksigen, saturasi oksigen, rontgen dada dan analisis gas darah.
Berikut merupakan penilaian derajat distres pernafasan pada neonatus:
a. Ringan: nafas cepat tanpa membutuhkan oksigen tambahan, tanpa atau terdapat tanda
distres minimal.
b. Sedang: sianotik pada suhu kamar, terdapat tanda distres pernafasan dan analisis gas
darah yang abnormal.
c. Berat: sianosis sentral, berusaha kuat untuk bernafas, dan analisis gas darah yang
abnormal. Progresivitas distres pernafasan dari ringan, sedang menjadi berat dapat
terjadi dengan cepat, oleh karena itu pemantauan yang kontinyu dibutuhkan sehingga
penyediaan bantuan nafas dapat segera diberikan.

B-Blood pressure.
Curah jantung yang mencukupi diperlukan untuk mempertahankan sirkulasi. Cara

yang terbaik untuk mempertahankan sirkulasi adalah dengan memberikan cairan dan
elektrolit yang adekuat. Pada bayi sakit berat harus dipantau tanda-tanda syok. Syok adalah
keadaan dimana terjadi perfusi dan pengiriman oksigen ke organ vital yang inadekuat atau
suatu keadaan yang kompleks dari disfungsi sirkulasi yang berakibat terganggunya suplai
oksigen dan nutrien untuk memenuhi kebutuhan jaringan. Kegagalan dalam mengenali dan
menangani syok dapat berakibat gagal organ multipel dan kematian pada bayi, oleh karena itu
penanganan syok harus dilakukan secara agresif. Bayi yang mengalami syok dapat memiliki
tanda-tanda berikut ini:5,6

22

a. Usaha nafas. Takipnea, retraksi, pernafasan cuping hidung, grunting, apnea, gasping.
b. Nadi, Pada keadaan syok denyut nadi dapat melemah atau tidak teraba.
c. Perfusi perifer. Perfusi yang buruk akibat vasokonstriksi dan menurunnya curah jantung
memanjangnya waktu pengisian kapiler (>3 detik), mottling dan kulit teraba dingin.
Tanda perfusi yang adekuat diantaranya adalah waktu pengisian kapiler yang cepat, warna
tidak sianosis atau pucat, denyut nadi yang kuat, output urin yang adekuat dan kesadaran
yang baik.
d. Warna, Kulit bayi tampak sianosis atau pucat. Oksigenasi dan saturasi harus dievaluasi
secara berkala. Pemeriksaan gas darah juga dapat dilakukan untuk mengetahui adanya
asidosis respiratorik atau metabolik.
e. Frekuensi jantung. Frekuensi jantung normal adalah 120-160 kali/menit, namun dapat
bervariasi sekitar 80-200 kali/menit tergantung dari aktivitas bayi. Pada keadaan syok,
denyut jantung dapat berupa bradikardia (<100 kali/menit) yang disertai dengan adanya
tanda perfusi yang buruk, atau takikardia (>180 kali/menit).
f. Jantung. Evaluasi adanya murmur dan pembesaran jantung pada rontgen dada.
g. Tekanan darah. Tekanan darah saat syok dapat normal atau hipotensi. Hipotensi
merupakan tanda terakhir dari dekompensasi jantung. Hal lain yang harus dievaluasi
adalah tekanan nadi. Nilai normal tekanan nadi pada bayi cukup bulan adalah 25-30
mmHg, sedangkan pada bayi kurang bulan nilai normalnya adalah 15-25 mmHg. Tekanan
nadi yang sempit menunjukkan vasokonstriksi, gagal jantung atau curah jantung yang
rendah. Sedangkan tekanan nadi yang lebar dapat terjadi pada duktus arteriosus persisten
atau malformasi arteri vena.

L-Laboratory studies
Pemantauan elektrolit direkomendasikan pada neonatus yang mengalami kejang atau

usia>24 jam dan dalam keadaan tidak bugar. Elektrolit yang harus diperiksa adalah kadar
natrium, kalium dan kalsium. Selain itu perlu dilakukan juga pemeriksaan tanda infeksi,
karena sistem imun neonatus masih imatur dan berisiko tinggi untuk mengalami infeksi.
Tanda klinis sepsis diantaranya distres pernafasan, perfusi kulit yang abnormal, suhu yang
tidak stabil, denyut jantung dan tekanan darah yang abnormal, serta intolerasi terhadap
minum. Apabila dicurigai adanya sepsis berdasarkan klinis dan riwayat maternal, harus
dilakukan pemeriksaan kultur darah dan darah lengkap bila memungkinkan. Pemberian
antibiotik intravena tidak boleh ditunda apabila pemeriksaan kultur darah tidak dapat
dilakukan. Pada bayi yang sakit berat atau pada saat sebelum transportasi, antibiotik harus
diberikan sampai kemungkinan infeksi sudah tersingkirkan. Pemeriksaan laboratorium yang
dilakukan:6
23

a.

Sebelum transportasi. Pemeriksaan berikut (4-B) harus dilakukan sebelum dilakukan


transportasi: Blood count (pemeriksaan darah rutin), Blood culture (kultur darah), Blood

glucose (kadar glukosa darah), Blood gas (analisis gas darah).


b. Setelah transportasi Pemeriksaan laboratorium setelah transportasi tergantung dari
riwayat, faktor risiko, dan gejala klinis dari bayi. Pemeriksaan yang dapat dilakukan
diantaranya pemeriksaan C-reactive protein (CRP), elektrolit (natrium, kalium, kalsium),
fungsi ginjal (ureum, kreatinin), fungsi hati (SGOT, SGPT, bilirubin, pT, aPTT,
fibrinogen, D-dimer).

E-Emotional support
Keluarga dari bayi yang mengalami krisis biasanya akan mengalami rasa bersalah,

marah, tidak percaya, merasa gagal, tidak berdaya, takut dan depresi. Orang tua dari bayi
akan mengalami beberapa tahapan emosional dalam menghadapi keadaan bayinya, yaitu:6
1). Terkejut. Pada masa ini pikiran orang tua dipenuhi dengan berbagai pertanyaan, seperti
bagaimana nasib bayi selanjutnya? Bagaimana kehidupan mereka selanjutnya? Sehingga
orang tua akan sulit berpikir dengan jernih, dan perlu mendapatkan penjelasan mengenai
kondisi bayinya berulang kali.
2). Menyangkal. Pada masa ini orang tua tidak mempercayai kenyataan yang terjadi. Orang
tua cenderung mencari bukti-bukti lain yang dapat membuktikan bahwa keadaan tersebut
tidak benar.
3). Berkabung, sedih dan takut. Pada masa ini orang tua sudah mulai menerima bahwa
keadaan anaknya tidak seperti yang diharapkan, mulai merasa sedih dengan beban yang harus
mereka pikul, dan takut bahwa bayi mereka akan meninggal atau menjadi tidak normal. 4.
Marah dan merasa bersalah. Pada tahap selanjutnya orang tua akan merasa marah karena bayi
mereka sakit, marah mengapa hal tersebut terjadi pada mereka. Jadi pada tahap ini, karena
mereka tidak bisa marah kepada bayinya, mereka cenderung akan marah kepada orang-orang
yang ada di sekitarnya.
4). Tahap ekuilibrium dan terorganisir. Pada masa ini orang tua mulai mengerti mengenai
kondisi bayinya dan mulai berinteraksi dengannya. Tahapan-tahapan tersebut penting untuk
diketahui agar dapat lebih mengerti mengenai kondisi mereka dan dapat memberikan
dukungan emosi, serta menawarkan bantuan untuk membantu keluarga melewati masa
kritisnya. Keluarga sedapat mungkin memperoleh informasi secara kontinyu mengenai
24

perkembangan keadaan anaknya. Kontak sedini mungkin antara orang tua dengan anaknya
sangatlah penting. Dukungan emosi yang diberikan kepada keluarga dapat diberikan sebelum,
pada saat bahkan sesudah bayi ditransfer ke tempat yang lebih intensif. Setelah bayi
dilakukan resusitasi dan akan ditransfer ke tempat yang lebihintensif, orang tua bayi harus
diperbolehkan untuk melihat dan menyentuh bayi mereka dahulu. Apabila tidak
memungkinkan, maka sebelum dipindahkan, bayi disinggahkan terlebih dahulu ke kamar ibu
untuk mempertemukan mereka secara singkat. Sebaiknya keluarga diperbolehkan untuk
memotret atau merekam bayi. Hal ini dapat membantu menenangkan ibu yang akan berpisah
dengan bayinya. Pada saat akan ditransfer, orang tua harus mendapatkan penjelasan kembali
mengenai kondisi anak mereka. Penjelasan harus singkat dan mudah dimengerti agar orang
tua dapat mengerti. Orang tua juga harus diberikan kesempatan untuk bertanya apabila
terdapat hal yang tidak dimengerti. Penjelasan mengenai kondisi anak pertama kali harus
diberikan kepada orang tua bayi, tidak diperkenankan untuk memberitahukan mengenai
kondisi anak kepada orang lain, tanpa seijin orang tua. Setelah bayi ditransfer ke ruang
intensif, orang tua tetap harus mendapatkan dukungan. Salah satunya adalah dengan cara
membiarkan orang tua menengok bayinya serta membiarkan mereka mengetahui dan
memantau terus kondisi bayinya.
2.16 Penghentian resusitasi
Penghentian resusitasi dipertimbangkan jika tidak terdeteksi detak jantung selama 10
menit. Banyak faktor ikut berperan dalam keputusan melanjutkan resusitasi setelah 10 menit.
Dan resusitasi dapat tidak dilakukan pada kehamilan <23 minggu atau berat lahir <400 gram,
anensefalus, dan pada neonatus yang terbukti trisomi 13 dan 18.3,5

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Resusitasi pada bayi baru lahir adalah prosedur yang diaplikasikan pada BBL yang
tidak dapat bernapas secara spontan dan teratur pada saat lahir atau beberapa saat setelah
lahir. Tujuan resusitasi pada neonatus adalah membuat bayi baru lahir stabil dalam waktu
selambat-lambatnya 1 jam sesudah lahir. Nilai apgar berguna untuk memberikan informasi
25

mengenai status bayi secara keseluruhan dan respon terhadap resusitasi. Nilai ini tidak
dipakai untuk menentukan kapan dan bagaimana memulai resusitasi, langkah resusitasi yang
diperlukan, atau kapan menggunakannya. Penting untuk menilai faktor risiko intra dan
antepartum yang berhubungan dengan kebutuhan akan resusitasi. Prinsip resusitasi yang
berhasil adalah menilai dengan benar, mengambil keputusan dengan tepat, melakukan
tindakan dengan tepat dan cepat, dan mengevaluasi atau menilai hasil tindakan.
Penanganan pasca resusitasi lahir yang adekuat sangat penting untuk dilakukan karena
deteksi dan intervensi dini terhadap gangguan fungsi organ yang diakibatkan oleh proses
asfiksia akan sangat mempengaruhi keluaran dan harus dilakukan di ruang perawatan intensif
agar dapat dilakukan monitoring yang ketat dan evaluasi diagnostik lebih lanjut. Prinsip
umum dari penanganan pasca resusitasi neonatus diantaranya adalah pemantauan gula darah
(sugar), suhu (temperature), jalan nafas (airway), tekanan darah (blood pressure),
pemeriksaan laboratorium (laboratories) dan dukungan emosional kepada keluarga
(emotional support).

Daftar pustaka
1. Perlman JM. Wyllie J, Kattwinkle J, Atkins DL, Chameides L, Goldsmith JP, et al.
Neonatal resuscitation: 2010 International consensus on cardiopulmonary resuscitation
and emergency cardiovascular care science with treatment recommendations.
Circulation.2010;122.516-38.
2. Wyllie J, Kattwinkle J, Atkins D L, Chameides L, Goldsmith J P, et al. Neonatal
resuscitation: 2010 American Heart Association guidelines for cardiopulmonary
26

resuscitation and emergency cardiovascular care. American Academy of Pediatrics.


2010;126(5).p.1400-8.
3. Kosim MS, Yunanto A, Dewi R, Sarosa GI, et al. Buku ajar neonatologi. Edisi ke-1.
Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia;2012.h.103-25.
4. Finer N, Rich W. Neonatal resuscitation for the preterm infant: evidence versus practice.
Journal of perinatology:2010(30).p.57-66.
5. Darmasetiawati N. Resusitasi neonatus; konsensus 2010. Jakarta: PERINASIA;2012.
6. Rudy Firmansyah. Stabilisasi neonatus pasca resusitasi/pra-rujukan. Jakarta:
PERINASIA;2013.

27

Anda mungkin juga menyukai