PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pterigium merupakan pertumbuhan fibrovaskular konjungtiva yang bersifat
degeneratif dan invasif. Pterigium berbentuk segitiga dan mempunyai penampakan
seperti daging yang tumbuh dari arah temporal maupun nasal konjungtiva menuju
kornea pada arah intrapalpebra. Asal kata pterigium dari bahasa Yunani, yaitu pteron
yang artinya wing atau sayap. Hal ini mengacu pada pertumbuhan pterigium yang
berbentuk sayap pada konjungtiva bulbi (Lisegang 2004).
Kasus Pterigium yang tersebar di seluruh dunia sangat bervariasi, tergantung
pada lokasi geografisnya, tetapi lebih banyak di daerah beriklim panas dan kering.
Faktor yang sering mempengaruhi adalah daerah dekat ekuator. Prevalensi juga
tinggi pada daerah berdebu dan kering (Jerome 2011).
Pterigium dapat tidak memberikan keluhan atau akan memberikan keluhan
mata iritatif, gatal, merah, sensasi benda asing dan mungkin menimbulkan astigmat
atau obstruksi aksis visual yang akan memberikan keluhan gangguan penglihatan
(Fisher 2014)
Dalam makalah kasus panjang ini penulis akan melaporkan sebuah laporan
kasus dengan pasien yang mengalami pterigium grade II dan III mata kiri di Rumah
Sakit Siful Anwar.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apakah definisi pterigium?
2. Bagaimana cara mendiagnosa pterigium?
3. Bagaimana penatalaksanaan pterigium?
1.3 Tujuan
Tujuan penulisan laporan kasus ini adalah:
1. Mengetahui definisi pterigium
2. Mengetahui diagnosa pterigium
3. Mengetahui penatalaksanaan pterigium
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Pterigium
Pterigium berasal dari bahasa Yunani yaitu Pteron yang artinya sayap
(wing). Pterigium didefinisikan
sebagai
pertumbuhan
jaringan
fibrovaskuler
atau
di
daerah
kornea
(Lisegang
2004).
2.2 Epidemiologi
Pterigium tersebar di seluruh dunia, tetapi lebih banyak di daerah iklim panas
dan kering. Prevalensi juga tinggi di daerah berdebu dan kering. Faktor yang sering
mempengaruhi adalah daerah dekat dengan ekuator yaitu daerah <37 0 lintang utara
dan selatan dari ekuator. Prevalensi tinggi sampai 22 % di daerah dekat ekuator dan
<2 % pada daerah di atas lintang 400 (Laszuarni et al. 2009)
Di Amerika Serikat, kasus pterigium sangat bervariasi tergantung pada lokasi
geografisnya. Sebuah hubungan terdapat antara peningkatan prevalensi dan daerah
yang terkena paparan ultraviolet lebih tinggi di bawah garis lintang sehingga dapat
disimpulkan penurunan angka kejadian di lintang atas dan peningkatan relatif angka
kejadian di lintang bawah. Pasien di bawah umur 15 tahun jarang terjadi pterigium.
Prevalensi pterigium meningkat dengan umur, terutama dekade ke 2 dan 3 kehidupan.
Insiden tinggi pada umur antara 20-49 tahun. Pterigium rekuren sering terjadi pada
umur muda dibandingkan dengan umur tua. Laki-laki 4 kali lebih berisiko daripada
perempuan dan berhubungan dengan merokok, pendidikan rendah dan riwayat
paparan lingkungan di luar rumah (Jerome 2011)
2.3 Etiologi
Hingga saat ini etiologi pasti pterigium masih belum diketahui secara
pasti. Beberapa faktor resiko pterigium antara lain adalah paparan ultraviolet,
mikro trauma kronis pada mata, infeksi mikroba atau virus. Selain itu beberapa
kondisi kekurangan fungsi lakrimal film. konjungtivitis kronis dan defisiensi
vitamin A juga berpotensi menimbulkan pterigium (Lazuarni et al. 2009). Selain
itu ada juga yang mengatakan bahwa etiologi pterigium merupakan suatu
2.5 Anatomi
2.5.1 Konjungtiva
Konjungtiva merupakan membran mukosa yang transparan dan tipis
yang membungkus permukaan posterior kelopak mata (konjungtiva palpebralis)
dan
permukaan
anterior
sklera
(konjungtiva
bulbaris).
Konjungtiva
yang sangat banyak. Pembuluh limfe konjungtiva tersusun didalam lapisan superfisial
dan profundus dan bergabung dengan pembuluh limfe palpebra membentuk pleksus
limfatikus. Konjungtiva menerima persarafan dari percabangan nervus trigeminus yaitu
nervus oftalmikus. Saraf ini memiliki serabut nyeri yang relatif sedikit (Nemeth 2009).
2.5.2 Kornea
Kornea merupakan jaringan yang transparan dan avaskuler yang
membentuk permukaan anterior bola mata. Sifat kornea yang avaskuler
membuat kornea mendapatkan nutrisinya dari jaringan di sekitarnya. Sumber
nutrisi utama kornea adalah glukosa dan oksigen. Kornea juga merupakan
jaringan yang memiliki serabut saraf sensorik terbanyak (300-400 serabut
saraf), yang berasal dari nervus trigeminus (James et al 2007).
Kornea dalam bahasa latin cornum artinya seperti tanduk merupakan
selaput bening mata dengan ketebalan kornea dibagian sentral hanya 0,5 mm,
yang terdiri dari lima lapisan, yaitu lapisan epitel, lapisan Bowman, stroma,
membran descemet, dan lapisan endotel (Biswell 2000).
1. Lapisan epithel
merupakan lapisan sel yang menutupi permukaan kornea.
Lapisan ini terdiri dari 5-6 lapisan sel tipis, sel polygonal dan sel gepeng
yang saling tumpang tindih yang akan cepat berdegenerasi bila kornea
mengalami trauma.
Tebal lapisan epitel kira-kira 0,05 mm.
2. Membrane Bowman
merupakan membran jernih yang aseluler terletak dibawah lapisan epitel.
Merupakan lapisan kolagen yang tidak teratur seperti stroma dan berasal
3. Stroma
merupakan lapisan kornea yang paling tebal mencakup sekitar 90% dari
ketebalan kornea.
Bagian ini tersusun dari lamellae fibril-fibril kolagen (Biswell 2000)
4. Membrane Descemet
adalah sebuah membran elastik yang jernih tampak amorf pada
pemeriksaan mikroskopik elektron dan merupakan membran basalis dari
endotel kornea.
Membran ini berkembang terus seumur hidup dan mempunyai tebal 40
mm (Biswell 2000)
5. Lapisan Endotel
berasal dari mesotelium
terdiri atas satu lapis sel berbentuk heksagonal dengan tebal antara 20
40 mm
lapisan endotel melekat erat pada membran descemet
Endotel dari kornea ini dibasahi oleh aqueous humor.
Lapisan endotel berbeda dengan lapisan epitel karena tidak mempunyai
daya regenerasi (Biswell 2000)
Permeabilitas dari kornea ditentukan oleh epitel dan endotel yang
kering, inflamasi, daerah angin kencang dan debu atau faktor iritan lainnya.
Pengeringan lokal dari kornea dan konjungtiva yang disebabkan kelainan tear
film menimbulkan pertumbuhan fibroplastik baru merupakan salah satu teori
(Coroneo 1999).
Sinar ultraviolet, angina dan debu dapat mengiritasi permukaan mata.
Hal ini akan menganggu proses regenerasi jaringan konjungtiva dan diganti
dengan pertumbuhan jaringan fibrous yang berlebih. Pertumbuhan ini biasanya
progresif dan melibatkan sel-sel kornea sehingga menyebabkan pterigium.
Epitel pada mata lebih sensitive terhadap sinar ultraviolet dibandingkan dengan
jaringan lain misalnya kulit. Hal ini karena lapisan epitel pada mata tidak
mempunyai keratin. Kerusakan jaringan pada mata yang lebih lanjut dapat
menstimulasi pertumbuhan jaringan baru.
Ultraviolet adalah mutagen untuk p53 tumor supresor gene pada limbal basal
stem cell. Tanpa apoptosis, transforming growth factor-beta diproduksi dalam jumlah
berlebihan dan menimbulkan proses kolagenase meningkat. Sel-sel bermigrasi dan
angiogenesis. Akibatnya terjadi perubahan degenerasi kolagen dan terlihat jaringan
subepitelial
fibrovaskular.
Jaringan
subkonjungtiva
terjadi
degenerasi
elastoik
dengan cat untuk jaringan elastic akan tetapi bukan jaringan elastic yang
sebenarnya, oleh karena jaringan ini tidak bisa dihancurkan oleh elastase.
Pada epitel ditemukan epitel konjungtiva ireguler, kadang-kadang berubah
menjadi epitel gepeng berlapis. Pada puncak pterigium, epitel kornea meninggi
dan pada daerah ini membran Bowman menghilang. Terdapat degenerasi
stroma yang berproliferasi sebagai jaringan granulasi yang penuh pembuluh
darah. Degenerasi ini menyebuk ke dalam kornea serta merusak membran
Bowman dan stroma kornea bagian atas. Pterigium juga dapat muncul sebagai
degenerasi stroma konjungtiva dengan penggantian oleh serat elastis yang
tebal dan berliku-liku. Fibroblas aktif pada ujung pterigium menginvasi lapisan
Bowman kornea dan diganti dengan jaringan hialin dan elastis.
2.7 Klasifikasi Pterygium
1. Pterygium Simpleks : jika terjadi hanya di nasal/temporal saja
2. Pterygium dupleks : jika terjadi di nasal dan temporal
Klasifikasi berdasarkan gejala klinis
1. Infamasi
stroma
Deposit partikel; besi, bintik warna kecoklatan dipermukaan/ditepi jaringan
pterigium
2. non inflamasi
Pemakaian air mata artifisial : untuk membasahi permukaan ocular. Air mata
artifisial akan memberikan pelumasan pada permukaan mata pasien dengan
Iritasi
Gangguan gerak bola mata
Post operasi
-
Sikatrik kornea
Erosi kornea
Scleral tinning
Astigmatisme
Pseudopterigium
Pingekulae
BAB III
LAPORAN KASUS
3.1
Identitas
Nama
: Tn. I
Usia
: 43 tahun
Jenis kelamin
: Laki-laki
Alamat
: Ngajum, Malang
Pekerjaan
: Petani
Status
Pendidikan
: Menikah
: SMP
10
Suku
: Jawa
Agama
: Islam
No. Register
: 11280xxx
Tgl. Kunjungan
3.2
Anamnesa
3.2.1
Keluhan utama:
: 10 Maret 2016
Pemeriksaan optamologi
Okuli Dekstra
5/5 plano
Okuli Sinistra
5/12 cc c+0,75 x 90 5/5 f
Visus
Gerakan Bola Mata
Ortophoria
Ortophoria
Kedudukan Bola Mata
(-)
Jaringan fibrovaskuler (+), CI
Konjungtiva bulbi
Jernih
Dalam, flare (-), cell (-)
Kornea
Rad line
Rad line
Iris
Jernih
Jernih
Lensa
n/p
n/p
TIO
11
OD
3.4
Diagnosis
3.5
Terapi
3.6
OS
Prognosis
12
Visam
: dubia et bonam
Sanam
: dubia et bonam
Vitam
: dubia et bonam
Kosmetik
: dubia et bonam
3.8
Okuli Sinistra
5/12
Visus
Gerakan Bola Mata
Ortophoria
Ortophoria
Kedudukan Bola Mata
Jernih
Kornea
Dalam, flare (-), cell (-)
Rad line
Rad line
Iris
Jernih
Jernih
Lensa
n/p
n/p
TIO
Diagnosa:
Foto post OP
13
Planning therapy
Tobro ed 6x1 OS
Asam mefenamat 3x1 tab
BAB IV
PEMBAHASAN
Pada kasus pterigium, keluhan utama dapat bermacam-macam, pada
pasien ini keluahan utama adalah tumbuh selaput merah sebelah kiri dan terus
tumbuh kearah mata yang berwarna hitam. Pada teorinya pasien dengan
pterigium datang dengan berbagai macam keluhan yaitu, mata tumbuh selaput
merah dan terus tumbuh kearah mata yang berwarna hitam, mengganjal, mata
14
merah, kadang juga didapatkan nerocoh, gatal dan berair. Pada pasien
didapatkan mata kiri tumbuh selaput merah keputihan tumbuh kearah mata yan
berwarna hitam, dirasakan mengganjal, kadang terasa gatal, dan mata dirasa
kering. Dari anamnesa juga didapatkan pasien bekerja sebagai petani yang
jarang memakai topi. Faktor resiko utama pasien dengan pterigium adalah
paparan sinar ultraviolet, dengan pasien bekerja sebagai petani, selalu terapar
sinar matahari dan terpapar angina, debu yang juga merupakan faktor resiko.
Selain itu faktor resiko lainnya adalah riwayat keturunan dan tinggal diwilayah
subtropis atao tropis.
Pada pemeriksaan optamologi, pada konjungtiva terdapat jaringan
fibrovaskular pada bagian nasal mata kiri dan pada kornea terdapat apeks dari
jaringan fibrovaskular pada mata kiri. Sesuai dengan paofisiologi terbentuknya
pterigium adalah ditandai dengan degenerasi elastik kolagen dan proliiferasi
fibrovaskular, dengan permukaan yang menutupi epithelium. Sinar ultraviolet,
angina dan debu dapat mengiritasi permukaan mata. Hal ini akan menganggu
proses regenerasi jaringan konjungtiva dan diganti dengan pertumbuhan
jaringan fibrous yang berlebih. Pertumbuhan ini biasanya progresif dan
melibatkan sel-sel kornea sehingga menyebabkan pterigium. Epitel pada mata
lebih sensitive terhadap sinar ultraviolet dibandingkan dengan jaringan lain
misalnya kulit. Hal ini karena lapisan epitel pada mata tidak mempunyai keratin.
Kerusakan jaringan pada mata yang lebih lanjut dapat menstimulasi
pertumbuhan jaringan baru. Ultraviolet adalah mutagen untuk p53 tumor
supresor gene pada limbal basal stem cell. Tanpa apoptosis, transforming
growth factor-beta diproduksi dalam jumlah berlebihan dan menimbulkan
proses kolagenase meningkat. Sel-sel bermigrasi dan angiogenesis. Akibatnya
terjadi perubahan degenerasi kolagen dan terlihat jaringan subepitelial
fibrovaskular. Jaringan subkonjungtiva terjadi degenerasi elastoik proliferasi
jaringan vaskular bawah epithelium dan kemudian menembus kornea.
Kerusakan pada kornea terdapat pada lapisan membran bowman oleh
pertumbuhan jaringan fibrovaskular, sering disertai dengan inflamasi ringan.
Beberapa klasifikasi untuk pterigium dapat dibedakan dari letaknya,
pada nasal/temporal yang disebut pterigium simpleks atau nasal dan temporal
yang disebut pterigium dupleks. Pada pasien ini merupakan pterigium simpleks,
karena hanya satu sisi saja yaitu hanya di nasal saja. Sedangkan klasifikasi
15
menurut gejala klinis pada pasien ini adalah yang non inflamasi, karena hanya
terdapat vaskularisasi pada dua pembuluh darah yang melebar. Untuk
klasifikasi pterigium menurut stadiumnya, pada pasien ini adalah stadium 2,
karena kepala jaringan pterigium berada di kornea diantara limbus dan
pertengahan jarak limbus ke tepi pupil.
Tidak diperlukan pemeriksaan penunjang pada pterigium, namun apa
bila ragu-ragu dengan menyingkirkan beberapa diagnosis banding seperti
pseudopterigium dan pingekulae, dapat dilakukan beberapa tes. Untuk
menyingkirkan pseudopterigium dapat dilakukan dengan menggunakan sonde
dari bawah jaringan fibrovaskuler apakah dapat tembuh atau tidak, apabila
tembus merupakan pseudopterigium, apabila tidak tembus merupakan
pterigium.
Penatalaksanaan pterigium tergantung dari stadium pterigium, kondisi
klinis pasien, adakah komplikasi atau penyulit pada pasien. Untuk stadium 1,
belum memerlukan tindakan operasi, cukup dengan observasi, pemberian air
mata artifisial untuk mencegah mata kering, memakai pelindung seperti kaca
mata hitam dan topi apabila keluar rumah, observasi selama 3 bulan.
Sedangan untuk stadium 2 ke atas dapat dilakukan dengan pembedahan.
Teknik pembedahan pada pterigium bermacam-macam, ada teknik Bare Sclera
yaitu hanya memotong pterigiumnya saja tanpa menambal untuk graftnya,
penyembuhan luka pasca oprasi dengan teknik ini cukup lama. Terdapat juga
Amniotic Membrane Suspesion, dengan menggunakan amnion dari pasien
sendiri yaitu serum darah untuk menutup luka bekas oprasi, namun tingkat
kegagalan penutupan luka dengan metode ini sangat tinggi. Sampe sekarang
yang sering digunakan adalah Conjungtival Limbal Graft, yaitu dengan cara
memotong jaringan fibrovaskuler, kemudian membuat graft dari sclera superior,
dengan menambalnya. Teknik CLG ini tingkat keberhasilannya lebih tinggi
dibandingnya dengan teknik yang lainnya.
Tindakan selanjutnya yang penting adalah memberikan edukasi pada
pasien, bahwa pterigium yang sudah dioperasi dapat muncul kembali,
tergantung dari kondisi pasien, kegiatan pasien diluar ruangan, apabila pasien
sebagai petani, mengurangi aktivitas di sawah, atau menggunakan topi lebar
dan kaca mata hitam, memberikan air mata artivisial untuk mencegah mata
kering.
16
BAB V
KESIMPULAN
17
operasi
pasien
diberikan
obat
Levofloksasin
ed
6x1
OS,
18