Anda di halaman 1dari 12

UNDERGROUND COAL GASIFICATION (UCG)

Outline :
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.

Pendahuluan
Teknologi UCG
Manfaat Lingkungan UCG
Potensi Resiko Lingkungan UCG
Metode UCG
Feasibilitas UCG di Indonesia
Analisis Design Proses UCG di Blok Sekayu, Formasi Muara Enim, Sumatera Selatan

1. Pendahuluan
Batubara merupakan salah satu sumber energi alternatif yang paling penting di Indonesia,
mengingat sumberdaya batubara Indonesia sangat menjanjikan. Menurut Badan Geologi (2012),
Jumlah sumber daya batubara ada sekitar 161 milyar ton dan apabila dieksploitasi pada tingkat
produksi seperti saat ini, diperkirakan dapat mencapai antara 150 200 tahun. Sebesar 120 milyar ton
batubara tersebut dapat ditambang secara terbuka (open pit) dan sisanya menggunakan metode
tambang bawah tanah (40,3 milyar ton). Potensi tersebut akan lebih besar lagi bila dihitung sampai
kedalaman 1000 m dpl. Meskipun demikian, dalam pemanfaatan batubara ini pemerintah khawatir
tentang polusi yang disebabkan oleh pembakaran batu bara dan kerusakan lingkungan yang berkaitan
dengan pertambangan. Oleh karena itu potensi ini perlu dikembangkan dengan teknologi yang ramah
lingkungan, salah satunya adalah dengan underground coal gasification (UCG). Teknologi ini
berpotensi untuk dikembangkan di Indonesia, karena selain dikenal
dengan clean energy technologies juga sesuai dengan karakteristik batubara Indonesia yang umumnya
berkualitas rendah. Di samping dapat mengintensifkan pemanfaatan batubara pada kedalaman yang
tidak menguntungkan untuk di
Mengingat penerapan teknologi UCG ini belum berkembang di Indonesia dan sebagai upaya
untuk mengoptimalkan penggunaan batubara peringkat rendah, maka dalam melakukan penerapan
teknologi ini perlu terlebih dahulu mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi desain UCG.
Menurut Bowen (2008), ada tujuh faktor yang mempengaruhi desain UCG, yaitu: kondisi lapisan
batubara (tebal, kedalaman, kemiringan dan permeabelitas); sifat-sifat batubara (kadar abu,
kandungan karbon, komposisi kimia); kondisi lapisan batuan pengapit (geologi, hidrologi,
geomekanika, dan drilling properties); kondisi operasional (komposisi injeksi, laju alir, tekanan,
layout sumur); produk gas; proses efisiensi dan interaksi UCG dengan lingkungan. UCG
mengkonversi batubara secara in-situ menjadi produk gas, umumnya dikenal sebagai gas sintesis (CO
dan H2) atau syngas melalui reaksi kimia yang sama dengan gasifiers permukaan. Gasifikasi
mengubah hidrokarbon menjadi syngas pada suhu dan tekanan tinggi yang dapat digunakan sebagai
bahan bakar pembangkit listrik, bahan baku kimia, bahan bakar cair. Gasifikasi memberikan
banyakkesempatan untuk pengendalian pencemaran, terutama berkenaan dengan emisi sulfur, oksida
nitrat, dan merkuri. UCG dapat meningkatkan sumber daya batubara yang tersedia untuk pemanfaatan
yang lebih efisien dan sebagai bentuk pemanfaatan batubara yang tak mungkin ditambang karena
kondisi geologi dan keekonomisan (Burton, dkk., 2004).
Pengeboran dianggap sebagai salah satu dari Pengeboran dianggap sebagai salah satu dari
langkah utama dalam melakukan eksploitasi batubara dengan UCG. Selama pengembangannya dua

model geometri pengeboran UCG telah diaplikasikan yaitu Linked vertical wells (LVW) dan
controlled-retraction injection point (CRIP). Model yang pertama dilakukan dengan pemboran dua
sumur vertikal sebagai injeksi dan sumur produksi yang kemudian keduanya dihubungkan. Uji coba
lapangan dari LVW menunjukkan terjadinya penurunan kualitas gas yang dihasilkan, terkait dengan
hilangnya gas dan panas yang keluar melalui overburden (Gourden, 2009). Sedangkan metode yang
berikutnya (CRIP), titik. injeksi bergerak mengikuti arah pembakaran yang terjadi (Cena, dkk., 1984).
Reaksi dimulai dari dekat sumur produksi dan batubara yang berada di antara sumur injeksi dan
produksi akan habis membentuk rongga (caving), udara yang diinjeksikan melalui coil tubing
digerakkan secara terkendali. Kedua model ini sangat bergantung pada permeabilitas alami dari
lapisan batubara untuk menyalurkan gas ke dan dari zona pembakaran atau terjadi peningkatan
permeabilitas yang diciptakan melalui reversed combustion, kanal dalam lapisan batubara, atau akibat
hydraulic fracturing (Creedy & Garner, 2004).
Pada prosesnya, batubara yang berada di bawah tanah ini bereaksi dengan udara atau oksigen
dan uap air yang diinjeksikan untuk membentuk gas, cairan, dan abu sebagai residunya (Sinha, 2007).
Komponen yang diinjeksikan akan bereaksi dengan batubara untuk membentuk gas bakar yang
dibawa menuju ke permukaanmelalui sumur produksi gas. Kemudian gas tersebut dibersihkan melalui
proses filterisasi dan digunakan sebagai bahan bakar atau bahan baku kimia (Creedy et.al, 2001).
Produser gas merupakan campuran dari gas bakar (karbon monoksida, hidrogen, dan metana) dan gas
yang tak terbakar (karbondioksida, nitrogen, dan uap air), Sinha, (2007). Proses UCG hampir serupa
dengan proses gasifikasi pada reaktor di permukaan. Meskipun reaktor gasifikasinya berada di bawah
tanah, namun rangkaian prosesnya lebih singkat dibandingkan dengan gasifikasi permukaan (Gambar
1). Sekarang UCG dimanfaatkan bagi sumber daya batubara yang tidak layak secara ekonomi untuk
ditambang (Hattingh, 2008) atau tidak dapat ditambang dengan metode yang ramah lingkungan
(Sinha, 2007). Secara prinsip, metode ini akan mengurangi resiko dari penambangan dan
meminimalkan aktivitas perusakan lingkungan (Schrider & Whieldon, 1977). Menurut Hattingh
(2008), implementasi teknologi UCG dilakukan dengan enam tahapan, yaitu : mencari potensi
batubara yang akan diolah dengan teknologi UCG; pengeboran; membuat jalur penghubung antar dua
lubang bor; pembakaran batubara;. injeksi oksigen atau udara dan uap air; dan melakukan ekstraksi
gas sintesis. Selanjutnya gas bertekanan akan mengalir keluar melalui lobang bor menuju ke
permukaan.

5. Keuntungan UCG
Proses UCG mempunyai beberapa keuntungan
lain :
Membutuhkan lahan yang relatif lebih kecil dibandingkan dengan tambang konvensional
keselamatan dan kesehatan kerja lebih terjamin
Tidak perlu memindahlan tanah atas (overburden)
Batubara yang semula tidak bisa ditambang karena terlalu dalam dapat dikonversi menjadi gas
Tidak membutuhkan unit pencucian batubara
Tidak memerlukan rehabilitasi lahan yang signifikan
Biaya operasi fasilitas UCG relatif lebih rendah karena tidak perlu reaktor gasifikasi, pengolahan
dan pengangkutan batubara serta penanganan limbah abu batubara
Emisi CO2 lebih rendah karena berkurangnya unit proses
Tidak perlu tempat penyimpanan batubara bersih

Tidak terdapatnya abu terbang (fly ash)


Tidak ada emisi gas metan dan tempat buangan (Disposal)
Kandungan sulfur > 0,001%: (GTL), efisiensi dan mengurangi emisi udara.
Pengurangan emisi gas rumah kaca sebesar 25 % (UCG syngas digunakan untuk pembangkit
listrik).
partikulat emisi rendah, kebisingan dan dampak visual pada permukaan;
Penurunan emisi hidrokarbon sebesar 43 % (mesin diesel). menurunkan resiko pencemaran air
permukaan; sedikit menggunakan transportasi;
6. Potensi Resiko Lingkungan
a. Kebocoran Gas (Gas Lost)
Apabila tekanan operasional di dalam reaktor gasifikasi lebih besar dari pada tekanan
hidrostatik yang ada di sekitar formasi batuan (Po >> Ph), maka akan terjadi potensi adanya kebocoran
gas dari zona reaktor gasifikasi UCG (caving) ke formasi batuan disekitarnya. Kebocoran gas ini
biasanya terjadi selama proses gasifikasi berlangsung.

b. Masuknya Aliran Air Tanah (Water Influx)


Apabila tekanan operasional di dalam reaktor gasifikasi lebih kecil dari pada tekanan
hidrostatik yang ada di sekitar formasi batuan (P o << Ph), maka akan terjadi potensi masuknya air
tanah dari formasi batuan disekitarnya ke zona reaktor gasifikasi UCG (caving) melalui rekahanrekahan yang terbentuk. Potensi masuknya air tanah ini biasanya terjadi setelah proses gasifikasi
berlangsung (Post Gasification). (Lihat Gambar 5). Dengan masuknya air ke reaktor gasifikasi UCG
disatu sisi akan terjadi proses pencucian abu (ash leaching region) dan disisi lain akan terjadi aliran
air tanah keluar formasi batuan hal ini akan berpotensi terjadinya kontaminasi air tanah. Potensi
terjadinya kontaminasi air tanah ini dapat diminimalisasi melalui upaya pencegahan dan pengendalian
operasional yang efektif, hal ini untuk mencegah migrasi kontaminan lebih jauh dari daerah tersebut
(Shu-qin dkk, 2007).
Untuk menghindari adanya potensi resiko masukan air tanah dan terjadinya kebocoran gas di
zona reaktor gasifikasi UCG, maka sebelum dilakukan proses injeksi oksigen (steam) di sumur bor
injeksi perlu diketahui terlebih dahulu besarnya tekanan hidrostatik (P h) di sekitar zona reaktor
gasifikasi UCG. Setelah itu baru dilakukan proses injeksi oksigen dengan tekanan yang dikontrol
besarnya, sehingga antara tekanan operasional (P o) dan tekanan hidrostatitik (Ph) dapat diupayakan

mendekati keseimbangan. Pengontrolan kedua tekanan tersebut perlu dilakukan selama dan sesudah
proses gasifikasi UCG selesai.

c. Pencegahan Resiko Kontaminasi Air Tanah


Pada dasarnya resiko pencemaran air tanah dapat dicegah atau diminimasi kemungkinan
terjadinya dengan melakukan, antara lain; Pemilihan lokasi yang tepat sesuai dengan kondisi
struktur geologi yang dipersyaratkan UCG (menghindari adanya patahan dan kontak dengan lapisan
akuifer).
Lapisan batuan pengapit atau lapisan atas (overburden) dan lapisan bawah (underburden) batubara
harus bersifat kedap air (impermeable) dan kuat (Sinha, 2007).
- Menjaga keseimbangan antara tekanan hidrostatik (P h) dan tekanan operasional (Po), panas,
keterdapatan air tanah, lapisan batubara.
Monitoring terhadap proses pembakaran (UCG cavity).
Pencegahan terjadinya bocoran gas dan air tanah baik karena adanya rongga-rongga liar dan
terjadinya runtuhan.
Hindari adanya patahan dan lapisan aquifer yang terpotong oleh proses UCG.
Mengatur (kontrol) tekanan operasional (P o) dan tekanan hidrostatitik (Ph) di sekitar zona reaktor
gasifikasi UCG.
Sedangkan untuk mencegah kontaminasi pada air permukaan perlu dibuatkan infrastruktur dan
sistem pengelolaan air (water treatment management) di permukaan dengan baik, yaitu dengan
membuat saluran air (drainage system) dan kolam pengendap (settling pond) sebelum air dibuang ke
sungai.

d. Terjadinya Penurunan Permukaan Tanah (Subsidence)


Potensi resiko terjadinya penurunan permukaan tanah (subsidence) pada proses UCG adalah
sama dengan penurunan permukaan tanah baik pada kegiatan tambang terbuka dan tambang bawah
permukaan sehingga penanganannya adalah sama. Terjadinya penurunan permukaan tanah tersebut
tergantung pada beberapa faktor antara lain (Lihat Gambar 8) : kondisi batubara, ketebalan lapisan,
kedalaman lapisan batubara, kekuatan lapisan batuan di atasnya dan lebar batubara yang diekstraksi
dengan gasifikasi. Setelah faktor-faktor ini dipahami, maka operasi UCG dapat dirancang untuk
meminimalkan kemungkinan terjadinya penurunan permukaan tanah (subsidence). Untuk itu
pemilihan lokasi yang tepat untuk UCG sangat dipengaruhi oleh kondisi strukutur geologi, khususnya
dipilih jenis lapisan batuan/tanah yang keras (impermeable) baik pada lapisan di atas (overburden)
maupun pada lapisan di bawahnya (underburden)

5. Metode UCG
UCG terdiri dari 2 metode secara umum yaitu Shaft method dan Shaftless method.
Pemilihan metode didasarkan pada berbagai jenis faktor termasuk lokasi lapisan batubara dan
ketersediaan infrastruktur bawah permukaan tanah. Shaftless method merupakan metode UCG dengan
pengeboran dari permukaan tanah lalu menginjeksikan reaktan ke batubara yang terletak dekat dengan
permukaan agar terjadi gasifikasi. Sedangkan shaft method merupakan metode UCG dengan
pembuatan infrastuktur bawah permukaan tanah lalu menginjeksikan reaktan ke batubara yang
terletak pada kedalaman tertentu yang jauh dari permukaan tanah agar terjadi gasifikasi. Pemilihan
metode UCG yang tepat untuk diterapkan di Indonesia adalah shaft method karena kemelimpahan
batubara pada kedalaman yang jauh dari permukaan di Indonesia.
UCG dilakukan dengan cara membuat dua buah sumur vertikal yang diberi nama sumur
injeksi dan sumur produksi sedalam lapisan batubara yang akan digasifikasi (>150m) dilanjutkan
dengan proses peningkatan permeabilitas batubara. Proses ini dilakukan agar oksigen dari sumur
injeksi dapat melewati lapisan batubara menuju sumur produksi. Ada dua cara yang paling umum
untuk meningkatkan permeabilitas batubara yaitudengan proses reverse combustion (air
pressurization) dan dengan pemboran horizontal (Directional Drilling).
A. reverse combustion (air pressurization)
Cara ini diawali dengan pembuatan dua buah sumur yaitu sumur produksi (P) dan sumur injeksi
(I) sampai kedalaman lapisan batubara yang akan digasifikasi (Gambar 4a). Selanjutnya dilakukan
penyalaan batubara yang diikuti injeksi udara tekanan tinggi sehingga gas panas hasil pembakaran
dapat mencapai sumur produksi (Gambar 4b). Injeksi udara tekanan tinggi dialihkan dari sumur
injeksi ke sumur produksi untuk lebih mempercepat proses peningkatan permeabilitas (Gambar 4c).
Dengan dialihkannya lokasi injeksi udara diharapkan, panas pada sumur injeksi dapat cepat menjalar
ke sumur produksi atau mengikuti arah datangnya udara. Aliran udara akan otomatis meningkat bila
permeabilitas batubara sudah bertambah besar. Bila permeabilitas batubara dianggap sudah cukup
maka injeksi udara dialihkan dari sumur produksi ke sumur injeksi, kompresor tekanan tinggi diganti
ke compressor tekanan lebih rendah dan proses gasifikasi batubara siap dilakukan.

B.

Pengeboran Horizontal (Horizontal Drilling)


Peningkatan permeabilitas lapisan batubara dapat dilakukan dengan pengeboran horizontal.
Pengalaman aplikasi teknologi ini di dunia migas akan sangat bermanfaat untuk pengembangan UCG
terutama UCG pada lapisan batubara yang dalam (>400m). Kemajuan teknologi pemboran di dunia
migas seperti penggunaan sensor yang dipasang dekat dengan mata bor dan peralatan komunikasi
yang menginformasikan data bawah tanah ke operator di permukaan menjadikan pemboran horizontal
dapat dilakukan lebih presisi. Pemboran horizontal dapat dilakukan menggunakan alat pemboran
konvensional dan coiled tubing drilling(CTD). Penggunaan CTD diperkirakan akan lebih berkembang
karena sifatnya yang multi fungsi.Coiled tubing adalah suatu selang/pipa yang terbuat dari bahan
khusus yang elastis sehingga dapat digulung tetapi mampu untuk menahan suhu dan tekanan tinggi.
Coiled tubing di samping dapat dipakai untuk pengeboran juga dapat dipakai untuk membawa burner
menuju permukaaan batubara dalam rangka proses penyalaan batubara, mengalirkan oksigen ke
lapisan batubara yang akan digasifikasi, memperbesar lobang bor (work over) dan lain-lain.

6. Feasibilitas UCG di Indonesia


a. Sumber Daya Batubara UCG
Pendekatan saat ini untuk pengembangan UCG di Indonesia difokuskan pada lapisan batubara
di kedalaman medium, yaitu sekitar 250 500 meter dari permukaan. Perhitungan sumber daya
batubara untuk UCG, telah dilakukan dan dari 11 cekungan batubara (Gambar 3), yang ada di
Indonesia, ada lima cekungan yang memenuhi batasan ketebalan dan kedalaman batubara, yaitu
cekungan Ombilin (3 lapisan batubara), cekungan Sumatera Selatan (5 lapisan batubara), cekungan
Barito (7 lapisan batubara), cekungan Kutai (7 lapisan batubara) dan Asamasam (2 lapisan batubara).
Jumlah sumber daya batubara untuk UCG Indonesia, berdasarkan perhitungan tim Puslitbang
Teknologi Mineral dan Batubara sebanyak 796 milyar ton (Tabel 2). Hal ini menunjukkan potensi
yang berlimpah untuk dapat dikembangkan melalui teknologi ini.

Gambar 3. Cekungan batubara Indonesia ( ARI, 2003)

Berdasarkan data pada tabel 2, cekungan yang memiliki potensi batubara UCG terbesar
adalah cekungan sumatera selatan. Maka dari itu pendirian lokasi UCG akan dilakukan di
cekungan sumatera selatan. Cekungan sumatera selatan terdiri dari beberapa blok batubara
yang secara rinci disajikan dalam tabel dibawah ini:

Berdasarkan data diatas diambil blok sekayu sebagai lokasi UCG karena memiliki potensi
batubara yang terbesar.

b. Karakteristik Batuan dan Batubara Indonesia


Meskipun jumlah sumber daya batubara berlimpah, faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan
adalah kondisi lapisan batubara, sifat sifat batubara, kondisi lapisan batuan pengapit, kondisi
operasional dan yang lainnya menjadi hal utama yang perlu diperhatikan. Karakteristik batuan dan
batubara ini menjadi prasyarat dalam memilih lokasi untuk pemboran produksi dan injeksi pada
aktivitas UCG. Bila mengacu pada beberapa tulisan terdahulu (Bell, dkk., 2011; Blinderman &
friedman, 2006; Bowen, 2008; Burton, dkk., 2008; da Gama, 2010; Drzewiecki, 2012), dapat
disimpulkan bahwa beberapa parameter utama yang perlu diperhatikan lebih awal seperti pada Tabel
5, dan bila memperhatikan kondisi batubara Indonesia, semua parameter tersebut dapat terpenuhi.

Untuk kondisi kekuatan batuan pengapit batubara Indonesia (seperti yang ditunjukkan pada
Tabel 7 dan 8), maka hal penting yang perlu dilakukan segera adalah menilai kemampuan batuan
pengapit tersebut terhadap kemungkinan kebocoran yang mengakibatkan keluar atau masuknya air
tanah ke dalam reaktor. Untuk kasus kekuatan batuan seperti pada Tabel 7 dan 8, menunjukkan bahwa
batuan pengapit lemah,namun kedap air (impermeable).
Teknologi untuk membuat rongga pembakaran bawah tanah telah dikembangkan dan hal yang
tidak bisa lepas adalah teknik pengeboran yang sesuai dengan kondisi perlapisan batuan dan batubara
setempat. Selain itu metode yang diaplikasikan untuk menghubungkan dua sumur injeksi dan
produksi juga tak lepas dari kondisi bawah permukaan dan rongga antara dua sumur ini akan menjadi
reaktor gasifikasi. Ada tiga metode yang telah dikembangkan, yaitu udara bertekanan (air
pressurization) yang telah berhasil diaplikasikan di Chinchilla (Australia) dan Rusia, UCG dalam
tambang (in seam UCG) yang diaplikasikan di Cina dan pemboran berarah yang diaplikasikan
Amerika dan Eropa. Pada Bila membandingkan dari ketiga metode tersebut, yang tidak mungkin
dilakukan di Indonesia adalah metode UCG dalam tambang, karena hampir tidak ada yang
mengembangkan UCG dalam tambang. Satu-satunya tambang batubara bawah tanah yang masih ada
di Indonesia yaitu di Sawah Lunto, Sumatera Barat dan inipun karena struktur geologi yang kompleks
maka UCG tidak cocok untuk dikembangkan disini, khawatir terjadi kebocoran gas ke permukaan.
Sedangkan bila menggunakan metode udara bertekanan, dikhawatirkan terjadi kebocoran reaktor
akibat batuan pengapit batubara Indonesia pada umumnya lemah, namun hal ini perlu pengetahuan

litologi batuan setempat. Bila ditinjau kepraktisan dalam pengembangan UCG, metode ini cukup
praktis dan tidak mahal. Oleh karena jarak antar titik bor tidak boleh terlalu jauh maka metode ini
sulit bersaing secara komersial.
Alternatif yang cukup realistis untuk dikembangkan di Indonesia adalah menggunakan
teknologi pemboran berarah (directional drill). Di samping kemampuan SDM Indonesia sudah
banyak menguasainya, juga teknologi ini kemungkinan besar cocok untuk kondisi lapisan batuan
khususnya untuk batuan pengapit batubara di Indonesia. Dengan cara ini akan lebih memungkinkan
untuk mendapatkan gasifikasi yang berkelanjutan pada jarak sumur injeksi dan produksi yang > 200
m. Untuk skala komersial, metode ini lebih dapat mengefisienkan proses gasifikasi, sehingga batubara
persatuan luas lebih banyak termanfaatkan. Saat ini dikembangkan metodegasifikasi yang dapat
mengendalikan proses pembakaran dengan melakukan injeksibergerak menggunakan coil tubing unit
(CTU). Metode ini lebih dikenal dengan CRIP (Controlled Retractable Injection Procedure). Secara
komersial diperkirakan metode ini akan berkembang pesat.

7. Analisis Design Proses UCG di Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan


Tahapan proses UCG:
1. Vertical drilling untuk pembuatan Injection Well dan Production Well sampai kedalaman 250 m.
2. Horizontal drilling untuk meningkatkan permaebilitas batubara yang terletak antara injection well
dengan production well menggunakan coiled tubing drilling (CTD). Batubara dengan
permaebilitas yang tinggi ini lebih lanjut disebut georeactor karena batubara yang terletak
sepanjang injection well dan production well akan menjadi lokasi terjadinya gasiffikasi.

Gasifikasi dalam georeactor terjadi selama injeksi oksigen, udara, dan steam dari injection well
dapat sampai pada ujung production well.
3. Udara panas diumpankan dari injection well ke georeactor untuk mengeringkan batubara dari
moisture content menjadi batubara kering.

4. Batubara diignisi menggunakan CTD yang dilengkapi burner dalam rangka penyalaan batubara
yang diikuti dengan reaksi pirolisis sebagai berikut:

5. Injeksi Oksigen (kemurnian: 95%) dan steam (P=3 Bar) dari injection well ke georeactor sehingga
terjadi oksidasi char dan volatile matter menghasilkan Karbondioksida dan air.

Reaksi oksidasi ini bersifat sangat eksotermis sehingga meningkatkan suhu sistem sampai 1200
1400 0C dan menjadi penyedia energi untuk reaksi gasifikasi yang bersifat endotermis. Reaksi
gasifikasi yang terjadi:

Dan reaksi lain sebagai berikut:

Reaksi-reaksi tersebut terjadi secara simultan dan menyebabkan terbentuk rongga pembakaran pada
georeactor (Cavity). Cavity ini terus tumbuh seiring berjalannya waktu dari production well sampai
injection well sehingga diperlukan sistem injeksi oksigen dan steam yang bergerak dan terkendali,
metode injeksi ini disebut CRIP (controlled retraction of ignition point). Metode CRIP ini
memungkinkan injeksi oksigen dan steam bergerak mundur ke arah injection well seiring tumbuhnya
cavity sampai ujung injection well. Pertumbuhan cavity ini dipengaruhi oleh kinetika reaksi kimia,
transfer massa, transfer panas, dan juga turbulensi aliran fluida. Ketika pertumbuhan cavity telah
maksimum maka proses gasifikasi harus dilanjutkan pada georeactor selanjutnya dengan proses yang
sama.

6. Gas yang terbentuk pada berbagai reaksi pada georeactor memiliki suhu dan teknan yang tinggi
sehingga ada gaya archimedes yang mendesak gas-gas ini untuk bergerak ke atas melalui
production well menjadi gas hasil yang kemudian disebut raw gas.
7. Raw gas yang terbentuk harus dimurnikan terlebih dahulu untuk bisa mendapatkan syn gas yang
sesuai dengan spesifikasi masuk reaktor sintesis metanol. Alat pemurnian raw gas sebagai berikut:
a. Cooler untuk menurunkan suhu raw gas sehingga aman untuk material alat pemisah
b. Dust Cyclone untuk memisahkan raw gas dari partikulat beru debu-debu halus.
c. Condenser untuk memisahkan raw gas dari air dengan proses kondensasi steam superheated pada
kondisi operasi saturasi steam.
d. Scrubber / Knock Out Drum untuk memisahkan fasa cair dan gas. (embunan air)
e. Electrode-tarring untuk memisahkan senyawa tar yang terikut dari hasil pembakaran batubara
f. Absorber-stripper untuk memisahkan H2S dari raw gas dengan solvent refrigerated methanol (T=40 0C) menghasilkan syn gas dengan pengotor berupa CO2, N2, dan CH4.
g. Water-Gas Shifting untuk mengatur komposisi mol CO/H 2 dengan mereaksikan CO dengan steam
menghasilkan gas H2 sehingga fraksi CO akan berkurang dan fraksi H 2 akan bertambah.
Komposisi mol akhir syn gas masuk reaktor sintesis metanol adalah 1:2.

Anda mungkin juga menyukai