Anda di halaman 1dari 27

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
A. DEFINISI
Sistemik Lupus Eritematosus adalah sebuah penyakit autoimun yang menyerang berbagai
jaringan dan organ tubuh. Istilah lupus eritematosus sistemik dapat diartikan secara bahasa
sebagai gigitan serigala, mungkin istilah ini muncul dari adanya gejala klinis yaitu ruam
pada wajah penderita SLE yang perjalanan penyakitnya sudah lama dan belum mendapat
terapi. Secara istilah, SLE dapat didefinisikan sebagai suatu penyakit yang bersifat episodik,
multisistem dan autoimun ditandai dengan adanya proses inflamasi yang meluas pada
pembuluh darah dan jaringan ikat, serta munculnya antinuklear-antibodi (ANA) pada
pemeriksaan penunjang, terutama antibodi untuk double-stranded DNA (dsDNA). Karena
beragamnya organ yang dapat terkena, dan karena sulitnya dalam menegakkan diagnosis,
SLE seringkali disebut sebagai penyakit seribu wajah (masquerader, The Great Imitators).
2,4,5

B. ETIOLOGI
Etiologi SLE belum diketahui secara pasti, namun ada faktor predisposisi secara genetik
yang dapat menyebabkan penyakit ini. Diperkirakan SLE, layaknya penyakit autoimun lain,
muncul pada seseorang yang secara genetis rentan terpapar satu atau beberapa faktor
pencetus yang ada di lingkungan. SLE berhubungan dengan munculnya HLA-haplotype
spesifik yang diwariskan: a) allel A1, B8, DR3, dan C4a muncul umumnya pada kulit putih.
b) DR2 ditemukan pada penderita SLE yang afro-amerika. Antigen HLA A11, B8 dan B35
masing-masing memliki hubungan dengan SLE. Keluarga maupun sanak saudara memiliki
peningkatan insidens terhadap penyakit yang berhubungan dengan disfungsi atau disregulasi
sistem

imun

(misal:

imunodefisiensi

primer,

dan

keganasan

limforetikuler),

hipergammaglobulinemia, RF, ANA dan penyakit autoimun lainnya.4


Sebenarnya, apa yang menyebabkan berbagai kelainan imunologi yang ditemukan pada
SLE yaitu disfungsi sel T, produksi autoantibodi, pembentukan kompleks imun,
hipokomplementemia yang akhirnya menyebabkan kerusakan jaringan sampai saat ini belum

dapat dipastikan. Beberapa fakta telah ditemukan tetapi belum merupakan suatu hipotesis
yang mencakup semuanya. Agaknya etiologi SLE merupakan multifaktor.1
Beberapa hal yang disepakati berperan pada SLE adalah: 1,6,7
1. Faktor genetik sebagai predisposisi, didukung oleh adanya beberapa fakta:
- SLE ditemukan pada 70% kembar identik
- Frekuensi penemuan genotipe HLA-DR3 dan DR2 meningkat
- Frekuensi pasien SLE pada anggota keluarga yang lain juga meningkat
2. Faktor hormonal, didukung oleh fakta bahwa:
- Pasien perempuan jauh lebih banyak, terutama pada masa pubertas dan pasca
pubertas
- Pada binatang percobaan, yaitu tikus NZB/W yang dibuat menderita SLE. Bila
pada yang betina diberi hormon androgen, gejala lupus akan membaik.
Sebaliknya pada tikus jantan akan menyebabkan gejala SLE bertambah jelek.
3. Beberapa faktor pencetus yang dilaporkan menyebabkan kambuhnya SLE adalah,
stress fisik maupun mental, infeksi, paparan ultraviolet dan obat-obatan. Banyak
obat2 telah dilaporkan dapat memicu SLE. Namun, lebih dari 90% nya terjadi sebagai
efek samping dari salah satu dari obat2 berikut: hydralazine (digunakan untuk
hipertensi), quinidine dan procainamide (digunakan untuk irama jantung abnormal),
fenitoin (digunakan untuk epilepsi), isoniazid (Nydrazid, Laniazid, digunakan untuk
tuberculosis), d-penicillamine (digunakan untuk rheumatoid arthtritis). Obat-obatan
ini diketahui menstimulasi sistem imun dan menyebabkan SLE. Untungnya, SLE
yang dipicu obat-obatan jarang (kurang dari 5% dari seluruh pasien SLE) dan
biasanya membaik jika obat-obat tersebut dihentikan
4. Virus sebagai penyebab SLE pernah mendapat perhatian besar oleh karena ditemukan
struktur retikular intrasitoplasma yang menyerupai agregat intrasel miksovirus. Tetapi
ternyata kemudian dibantah dan sampai sekarang masih tetap dianggap tidak ada
bukti nyata virus sebagai etiologi.
C. EPIDEMIOLOGI
Lupus adalah penyakit yang langka, namun tidak jarang. Kejadian lupus jarang pada anak
usia sekolah, namun frekuensinya meningkat pada remaja.

SLE terjadi pada 6 dari 1.000.000 orang dibawah umur 15 tahun, dengan 17% orang
dengan SLE muncul gejala pada usia kurang dari 16 tahun dan 3,5% diantaranya mulai pada
usia kurang dari 10 tahun. Pada individu dibawah 20 tahun, sekitar 73% didiagnosis SLE
pada umur lebih dari 10 tahun. Ini membuat SLE dikelompokkan sebagai penyakit pada usia
remaja. SLE dapat muncul pada pria maupun wanita, dari etnis manapun, berapapun usianya.
Namun diagnosis SLE 4,3 kali lebih sering muncul pada anak perempuan dibandingkan lakilaki. Perbedaan ini tidak nyata sampai usia 9 tahun keatas, ketika beberapa penelitian
menunjukkan perbandingan perempuan : laki-laki sebanyak 10:1 pada akhir usia remaja.
Dalam hal etnis, lupus lebih sering muncul pada penduduk Afrika, penduduk asli Amerika,
Hispanik dan Asia, dibandingkan dengan ras Kaukasia. 2,3,4
D. PATOGENESIS 1,8
SLE adalah penyakit autoimun yang mengenai multipel organ. Kadang-kadang, yang
menonjol hanya satu organ tubuh yang terkena, misalnya ginjal pada nefritis lupus, tetapi
lambat laun organ-organ lain akan menyusul. Gambaran klinis yang ditemukan terjadi akibat
terbentuknya autoantibodi terhadap berbagai macam antigen jaringan. Autoantibodi yang
paling banyak ditemukan adalah terhadap inti sel, yaitu terhadap DNA tubuh sendiri berupa
anti DNA double stranded (ds-DNA), juga anti DNA single stranded (ss-DNA).
Gangguan imunitas pada SLE ditandai oleh persistensi limfosit B dan T yang bersifat
autoreaktif. Autoantibodi yang terbentuk akan berikatan dengan autoantigen membentuk
kompleks imun yang mengendap berupa depot dalam jaringan. Akibatnya akan terjadi
aktivasi komplemen sehingga terjadi reaksi inflamasi yang menimbulkan lesi di tempat
tersebut.
Faktor keluarga yang kuat terutama pada keluarga dekat. Resiko meningkat 25-50% pada
kembar identik dan 5% pada kembar dizygotic, diduga menunjukkan kaitannya dengan faktor
genetik. Penyakit lupus disertai oleh petanda penyakit genetik seperti defisiensi herediter
komplemen (seperti C1q, C1r, C1s, C4 dan C2) dan imunoglobulin (IgA), atau
kecenderungan jenis fenotip HLA (-DR2 dan -DR3). Faktor imunopatogenik yang berperan
dalam SLE bersifat multipel, kompleks dan interaktif.
Jumlah sel B meningkat pada pasien dengan lupus yang aktif dan menghasilkan
peningkatan kadar antibodi dan hipergamaglobulinemia. Jumlah sel B yang memproduksi

IgG di darah perifer berkorelasi dengan aktivitas penyakit. Aktivasi sel B poliklonal
disebabkan oleh antigen eksogen, antigen yang merangsang proliferasi sel B atau
abnormalitas intrinsik dari sel B. Antibodi IgG anti-dsDNA dengan afinitas tinggi juga
merupakan karakteristik, yang disebabkan oleh hipermutasi somatik selama aktivasi sel B
poliklonal yang diinduksi oleh faktor lingkungan seperti virus atau bakteri.
Selain memproduksi autoantibodi, sel B juga mempengaruhi presentasi antigen dan
respon diferensiasi sel Th. Gangguan pengaturan produksi autoantibodi disebabkan gangguan
fungsi CD8+, natural killer cell dan inefisiensi jaringan idiotip-antiidiotip. Imunoglobulin
mempunyai struktur tertentu pada bagian determinan antigenik yang disebut idiotip, yang
mampu merangsang respons pembentukan antibodi antiidiotip. Sebagai respons tubuh
terhadap peningkatan kadar idiotip maka akan dibentuk antiidiotip yang bersifat spesifik
terhadap berbagai jenis struktur determin antigen sesuai dengan jenis idiotip yang ada. Secara
teoritis mungkin saja salah satu dari antiidiotip mempunyai sifat spesifik antigen diri hingga
dengan pembentukan berbagai antiidiotip dapat timbul aktivitas autoimun. Persistensi antigen
dan antibodi dalam bentuk kompleks imun juga disebabkan oleh pembersihan yang kurang
optimal dari sistem retikuloendotelial. Hal ini disebabkan antara lain oleh kapasitas sistem
retikuloendotelial dalam membersihkan kompleks interaksi antara autoantibodi dan antigen
yang terlalu banyak. Dengan adanya kadar autoantibodi yang tinggi, pengaturan produksi
yang terganggu dan mekanisme pembersihan kompleks imun yang terganggu akan
menyebabkan kerusakan jaringan oleh kompleks imun.
Selama perjalanan penyakit lupus tubuh membuat beberapa jenis autoantibodi terhadap
berbagai antigen diri. Di antara berbagai jenis autoantibodi yang paling sering dijumpai pada
penderita lupus adalah antibodi antinuklear (autoantibodi terhadap DNA, RNA,
nukleoprotein, kompleks protein-asam nukleat). Umumnya titer anti-DNA mempunyai
korelasi dengan aktivitas penyakit lupus.
Beberapa antibodi antinuklear mempunyai aksi patologis direk, yaitu bersifat sitotoksik
dengan mengaktifkan komplemen, tetapi dapat juga dengan mempermudah destruksi sel
sebagai perantara bagi sel makrofag yang mempunyai reseptor Fc imunoglobulin. Contoh
klinis mekanisme terakhir ini terlihat sebagai sitopenia autoimun. Ada pula autoantibodi
tertentu yang bersifat membahayakan karena dapat berinteraksi dengan substansi
antikoagulasi, diantaranya antiprotrombinase (antibodi terhadap glikoprotein trombosit),

sehingga dapat terjadi trombositopenia, dan trombosis disertai perdarahan. Antibodi


antinuklear telah dikenal pula sebagai pembentuk kompleks imun yang sangat berperan
sebagai penyebab vaskulitis.
Autoantibodi pada lupus tidak selalu berperan pada patogenesis ataupun bernilai sebagai
petanda imunologik penyakit lupus. Antibodi antinuklear dapat ditemukan pada bukan
penderita lupus, atau juga dalam darah bayi sehat dari seorang ibu penderita lupus. Selain itu
diketahui pula bahwa penyakit lupus ternyata tak dapat ditularkan secara pasif dengan serum
penderita lupus.
Adanya keterlibatan kompleks imun dalam patogenesis SLE didasarkan pada adanya
kompleks imun pada serum dan jaringan yang terkena (glomerulus renal, tautan dermisepidermis, pleksus koroid) dan aktivasi komplemen oleh kompleks imun menyebabkan
hipokomplemenemia selama fase aktif dan adanya produk aktivasi komplemen.
Beberapa kompleks imun terbentuk di sirkulasi dan terdeposit di jaringan, beberapa
terbentuk insitu (suatu mekanisme yang sering terjadi pada antigen dengan afinitas tinggi,
seperti dsDNA). Komponen C1q dapat terikat langsung pada dsDNA dan menyebabkan
aktivasi komplemen tanpa bantuan autoantibodi.
Kompleks imun menyebabkan lesi inflamasi melalui aktivasi kaskade komplemen.
Akibatnya terdapat faktor kemotaktik (C3a, C5a), adanya granulosit dan makrofag sehingga
terjadi inflamasi, seperti vaskulitis. Beberapa faktor terlibat dalam deposit kompleks imun
pada SLE, antara lain banyaknya antigen, respon autoantibodi yang berlebih dan penurunan
pembersihan kompleks imun karena inefisiensi atau kelelahan sistem retikuloendotelial.
Penurunan fungsi ini dapat disebabkan oleh penurunan reseptor komplemen CR1 pada
permukaan sel. Pada lupus nefritis, lesi ginjal mungkin terjadi karena mekanisme pertahanan
di daerah membran basal glomerulus, yaitu ikatan langsung antara antibodi dengan membran
basal glomerulus, tanpa intervensi kompleks imun.
Pasien dengan SLE aktif mempunyai limfositopenia T, khususnya bagian CD4+ yang
mengaktivasi CD8+ (T-supressor) untuk menekan hiperaktif sel B. Terdapat perubahan (shift)
fenotip sitokin dari sel Th0 ke sel Th2. Akibatnya sitokin cenderung untuk membantu
aktivasi sel B melalui IL-10, IL-4, IL-5 dan IL-6.
Autoantibodi yang terdapat pada SLE ditujukan pada antigen yang terkonsentrasi pada
permukaan sel apoptosis. Oleh karena itu abnormalitas dalam pengaturan apoptosis

mempunyai peranan penting dalam patogenesis SLE. Pada SLE terjadi peningkatan apoptosis
dari limfosit. Selain itu, terjadi pula persistensi sel apoptosis akibat defek pembersihan
(clearance). Kadar C1q yang rendah mencegah ambilan sel apoptosis oleh makrofag.
Peningkatan ekspresi Bcl-2 pada sel T dan protein Fas pada CD8+ mengakibatkan
peningkatan apoptosis dan limfositopenia.
Meskipun hormon steroid (sex hormone) tidak menyebabkan LES, namun mempunyai
peranan penting dalam predisposisi dan derajat keparahan penyakit. Penyakit LES terutama
terjadi pada perempuan antara menars dan menopause, diikuti anak-anak dan setelah
menopause. Namun, studi oleh Cooper dkk menyatakan bahwa menars yang terlambat dan
menopause dini juga dapat mendapat LES, yang menandakan bahwa pajanan estrogen yang
lebih lama bukan risiko terbesar untuk mendapat LES.
Adanya defisiensi relatif hormon androgen dan peningkatan hormon estrogen merupakan
karakteristik pada SLE. Anak-anak dengan SLE juga mempunyai kadar hormon FSH
(Follicle-stimulating hormone), LH (Luteinizing hormone) dan prolaktin yang meningkat.
Pada perempuan dengan SLE, juga terdapat peningkatan kadar 16 alfa hidroksiestron dan
estriol. Frekuensi SLE juga meningkat saat kehamilan trimester ketiga dan postpartum. Pada
hewan percobaan hormon androgen akan menghambat perkembangan penyakit lupus pada
hewan betina, sedangkan kastrasi prapubertas akan mempertinggi angka kematian penderita
jantan.
Fakta bahwa sebagian kasus bersifat sporadis tanpa diketahui faktor predisposisi
genetiknya belum dapat diungkapkan secara jelas, menunjukkan faktor lingkungan juga
berpengaruh. Infeksi dapat menginduksi respon imun spesifik berupa molecular mimicry
yang mengacau regulasi sistem imun.
E. MANIFESTASI KLINIS
Penyakit ini seringkali diawali dengan gejala yang samar-samar, seperti demam, fatigue,
dan kehilangan berat badan. Tanda dan gejala yang muncul pada anak tidaklah sama dengan
pada dewasa. Lupus yang dimulai pada masa anak-anak biasanya secara klinis lebih berat.
Pada penyakit yang sudah lanjut dan berbulan bulan sampai tahunan barulah menunjukkan
manifestasi klinis yang lebih spesifik dan lengkap serta cenderung melibatkan multiorgan. 2,6

Dua gejala yang sering muncul pada anak adalah ruam kulit dan arthritis. Ruam malar
yang khas, atau disebut butterfly rash (ruam kupu-kupu) muncul akibat adanya sensitifitas
yang berlebihan terhadap cahaya matahari (photosensitive) dan dapat memburuk dengan
adanya infeksi virus atau stress emosional. Ruam ini tidak sakit dan tidak gatal. Jumlah ruam
menjadi sedikit pada lipatan nasolabial dan kelopak mata. Ruam lain biasanya muncul pada
telapak tangan, serta telapak kaki. Ruam malar dapat sembuh sempurna tanpa parut dengan
terapi. Mungkin terdapat ulkus pada membran mukosa. Rambut dapat berubah menjadi lebih
kering dan rapuh, bahkan sampai alopesia. Arthritis seringkali muncul, dan dapat berlanjut
menjadi pembengkakan sendi jari-jari tangan atau kaki. 2,4,7

Gambar 1: Butterfly rash (ruam kupu-kupu / malar rash) pada anak dengan lupus

Manifestasi kulit didapatkan pada lupus diskoid dan biasanya dapat menyebabkan parut.
Pada lupus diskoid, hanya kulit yang terlibat. Ruam kulit pada lupus diskoid sering
ditemukan pada wajah dan kulit kepala. Biasanya berwarna merah dan mempunyai tepi lebih
tinggi. Ruam ini biasanya tidak sakit dan tidak gatal, tetapi parutnya dapat menyebabkan
kerontokan rambut permanen. 5%-10% pasien dengan lupus diskoid bisa menjadi SLE. 7

Gambar 2: Ruam pada lupus diskoid

Manifestasi klinis lain adalah petekie dan perdarahan karena trombositopenia. Pada anak
mungkin tidak ada gejala sistemik lain selain itu, dan biasanya didiagnosis sebagai
Idiopathic Thrombocytopenic Purpura (ITP). Kelainan neurologis dapat pula ditemukan pada
sebagian anak. Umumnya gejala berupa nyeri kepala yang tidak spesifik. Akhir-akhir ini,
khorea lebih umum ditemukan sebagai manifestasi klinis dari SLE daripada demam
reumatik. Ensefalopati, myelitis atau polineuropati jarang ditemukan. Fenomena Raynaud
sering ditemukan pada anak dengan lupus, biasanya dihubungkan dengan krioglobulin. 2,4
Diagnosis SLE biasanya mulai dipertimbangkan pada seorang anak dengan sakit lebih
dari satu minggu yang tidak diketahui sebabnya. Umumnya anak didiagnosis dengan suspect
infeksi virus sebelum akhirnya diagnosis lupus ditegakkan, walaupun sangat sedikit infeksi
virus yang gejalanya lebih dari seminggu, dan kebanyakan infeksi lain biasanya sudah dapat
ditentukan sebabnya dalam minggu pertama. Anak dengan demam dan kehilangan berat
badan seringkali dipikirkan adanya keganasan atau penyakit inflamasi kronis lain (misal:
Crohn disease, atau vaskulitis sistemik). 2
Tabel 1: Manifestasi klinis SLE (yang dicetak tebal: paling sering ditemukan)5

Keadaan umum

Mudah lelah
Demam dan malaise
Penurunan berat badan
Limfadenopati

Kulit

Ruam kupu-kupu dengan fotosensitifitas


Alopesia
Lesi diskoid
Lesi pada kuku
Lupus tumidus
Lupus kutaneus subakut
Purpura vaskulitis

Muskuloskeletal

Arthritis / arthralgia non-erosif


Tenosinovitis
Miopati
Nekrosis avaskular

Sistem Pencernaan

Ulserasi oral dan nasal


Anoreksia, penurunan berat badan, nyeri perut difus
Dismotilitas esofagus
Kolitis

Hepato-splenomegali
Pankreatitis
Protein losing enteropathy / sindrom malabsorbsi

Kardiovaskuler

Fenomena Raynaud
Perikarditis
Lesi valvular
Lesi vaskulitik
Trombophlebitis
Kelainan konduksi jantung
Miokarditis
Endokarditis Libman-Sacks
Accelerated coronary artery disease
Gangren perifer

Sistem Pernapasan

Pleuritis, efusi pleura


Subklinis (hanya kelainan pada tes fungsi paru)
Pneumonitis, infiltrat pulmoner, atelektasis
Perdarahan
Paru menyusut (disfungsi diafragma)
Pneumotoraks

Sistem Persarafan

Migrain
Depresi / cemas
Psikosis organik
Kejang
Neuropati saraf pusat dan saraf tepi
Khorea
Kelainan serebrovaskular

Sistem Penglihatan

Retinopati, cotton wool spots


Papiloedema

Ginjal

Glomerulonefritis
Hipertensi
Gagal ginjal

Hematologi

Anemia hemolitik dengan Coombs positif


Trombositopenia
Sindrom antifosfolipid

Endokrin

Hipo / hipertiroidism

Diagnosis lupus sering hampir dapat dipastikan pada keadaan lupus yang berat. Pada
kasus yang lebih ringan, seringkali dokter kesulitan untuk menegakkan diagnosis. American
College of Rheumatology (ACR) membuat kriteria untuk klasifikasi SLE.
Tabel 2: Kriteria ACR (American College of Rheumatology) Revisi 1997, untuk Klasifikasi
Lupus Eritematosus Sistemik 2
Ruam malar (butterfly rash)
Ruam diskoid-lupus
Fotosensitif
Ulkus pada oral atau nasal
Arthritis non-erosif
Nefritis
Proteinuria >0,5 g/hari
Silinder selular
Ensefalopati
Kejang
Psikosis
Pleuritis atau perikarditis
Kelainan hematologi
Anemia hemolitik
Leukopenia
Limfopenia
Trombositopenia
Pemeriksaan imunoserologis positif
Antibodi terhadap dsDNA
Antibodi terhadap Smith nuclear antigen
Antibodi antifosfolipid (+), berdasarkan:
Antibodi IgG atau IgM antikardiolipin
Lupus antikoagulan
Positif palsu pada tes serologis untuk sifilis dalam waktu 6 bulan
Tes antinuklear antibodi (ANA) positif

Jika didapatkan 4 dari 11 kriteria diatas kapanpun dalam masa observasi penyakit,
diagnosis SLE dapat dibuat dengan sensitivitas 96% dan spesifisitas 96%.
F. BENTUK-BENTUK LUPUS
F. 1. Nefritis Lupus
Lebih dari 80% anak dengan lupus memiliki bukti adanya keterlibatan ginjal pada suatu
masa dalam penyakitnya. Bahkan bila pada semua pasien lupus dilakukan pemeriksaan
biopsi ginjal dan diperiksa dengan mikroskop imunofloresensi akan ditemukan kelainan pada
hampir semua kasus meskipun pada pemeriksaan urinalisisnya belum ada kelainan (silent
NL). 5,8
Gambaran klinis pasien nefritis lupus sangat bervariasi, karena kelainan patologi
anatomik ginjal pada NL dapat mengenai berbagai struktur parenkim ginjal, yaitu
glomerulus, tubulus dan pembuluh darah. Mulai dari tanpa kelainan pada urinalisis, atau
hanya edema, proteinuria/hematuria ringan sampai gambaran klinis yang berat yaitu sindrom
nefrotik, glomerulonefritis yang disertai penurunan fungsi ginjal yang progresif, atau
hipertensi yang dapat disertai ensefalopati hipertensif. 1
Diagnosis 1
Untuk menegakkan diagnosis NL maka haruslah ditemukan dulu adanya SLE pada
pasien. Diagnosis SLE dilakukan berdasarkan kriteria ACR yang telah direvisi pada tahun
1997 seperti yang telah disampaikan diatas.
Diagnosis ditegakkan bila ditemukan > 4 dari 11 kriteria. Pada pemeriksaan laboratorium
pada sebagian besar pasien NL ditemukan sel LE atau LE reaksi (+), peninggian LED,
penurunan kadar komplemen C3, C4, dan komplemen total (CH50), peninggian kadar
antibodi antinuklear dan adanya antibodi terhadap DNA double-stranded (ds-DNA). Pada
pemeriksaan urinalisis dapat ditemukan hematuria, proteinuria, dan macam-macam silinder,
antara lain: torak, sel darah merah, dan sel darah putih. Derajat proteinuria sering berkorelasi
dengan beratnya penyakit dan dapat mencapai kadar proteinuria pada sindrom nefrotik yaitu
>40 mg/jam/m2. Pemeriksaan darah tepi juga bervariasi, yaitu dapat berupa leukositosis atau
leukopenia, dengan atau tanpa trombositopenia. Apabila ditemukan anemia, perlu diperiksa

uji coombs untuk melihat adanya anemia hemolitik autoimun. NL dengan anemia dilaporkan
mempunyai prognosis yang kurang baik dan umumnya progresif.
Pemeriksaan lain yang kadang-kadang positif yaitu uji reumatoid dan serologi terhadap
sifilis yang merupakan reaksi positif palsu. Pemeriksaan laboratorium yang perlu dilakukan
pada pasien nefritis lupus ataupun lupus eritematosus sistemik pada umumnya dapat dilihat
pada tabel 3.
Tabel 3. Pemeriksaan Laboratorium pada NL / SLE1
1. Urinalisis
2. Darah tepi, termasuk LED
3. Proteinuria kuantitatif 24 jam atau rasio protein/kreatinin pada urin sewaktu
4. Pemeriksaan fungsi ginjal
- darah ureum dan kreatinin
- klirens ureumdan kreatinin
5. Kimia darah
- albumin, globulin, kolesterol
6. Pemeriksaan khusus
- sel LE
- komplemen darah (C3, C4, CH50)
- C-reaktif protein (CRP)
- Antibodi anti ds-DNA
- Uji coombs
- Uji serologi sifilis
- Serum imunoglobulin, terutama IgG
- krioglobulin
7. Biopsi ginjal
Bila memungkinkan dapat diperiksa anti Ro, anti Sm, dan anti kardiolipin (anti
fosfolipid).
Gambaran Patologi Anatomi (PA)1
Gambaran PA pada NL sampai saat ini berdasarkan pada klasifikasi WHO.

Tabel 3. Klasifikasi Histopatologi NL Menurut WHO1


Tipe I

Normal
a. Normal pada semua pemeriksaan
b. Normal dengan pemeriksaan mikroskop cahaya, tetapi ditemukan deposit
pada pemeriksaan mikroskop imun

Tipe II

Glomerulonefritis mesangial
a. Pelebaran daerah mesangium dengan/tanpa hiperselular ringan
b. Hiperselular sedang

Tipe III

Glomerulonefritis proliferatif fokal segmental


a. Dengan lesi nekrosis aktif
b. Dengan lesi sklerosis aktif
c. Dengan lesi sklerosis

Tipe IV

Glomerulonefritis proliferatif difus


a. Tanpa lesi segmental
b. Dengan lesi nekrosis aktif
c. Dengan lesi sklerosis aktif
d. Dengan lesi sklerosis

Tipe V

Glomerulonefritis membranosa
a. Murni
b. Disertai gambaran tipe II (a atau b)

Tipe VI

Glomerulonefritis sklerosis kronik

Biopsi ginjal terindikasi pada semua pasien nefritis lupus, dengan kata lain pada pasien
SLE dengan kelainan urinalisis atau gejala NL yang lain yaiu hipertensi, peningkatan kadar
ureum/kreatinin darah. Klasifikasi histopatologi ginjal diperlukan untuk: 1. Memastikan
diagnosis NL, 2. Menetapkan klasifikasi pasien NL, 3. Menetapkan jenis pengobatan, 4.
Menetapkan prognosis, 5. Menilai keberhasilan pengobatan (dengan biopsi ulang).
Tipe I Glomerulus normal

Pengertian normal disini termasuk adanya penambahan sedikit matriks dan sel mesangial
pada pemeriksaan mikroskop cahaya. Pada tipe I bila dilakukan pemeriksaan
imunofluoresensi akan ditemukan deposit granular IgG, C3, C4, Clq, kadar IgA dan IgM di
mesangium. Juga pada mikroskop elektron dapat ditemukan deposit elektron dense di
mesangium. Gambaran ini ditemukan pada 6% NL.
Tipe II Glomerulonefritis mesangeal
Pada pemeriksaan mikroskop cahaya ditemukan penambahan matriks dan sel mesangial
yang jelas. Pada pemeriksaan dengan mikroskop imuofluoresensi dan elektron kelainan yang
ditemukan sama dengan tipe I. Tipe I ditemukan pada 20% NL.

Tipe III Glomerulonefritis proliferatif fokal segmental


Pada pemeriksaan mikroskop cahaya ditemukan proliferasi sel mesangial dan endotel
yang bersifat fokal dan segmental. Selain itu pada beberapa tempat (fokal) dapat terlihat
nekrosis fibrinoid, infiltrasi sel neutrofil, dan penebalan membran basal. Pada pemeriksaan
dengan mikroskop imunofluoresensi ditemukan deposit granular IgG, C3, C4, Clq, kadangkadang IgM dan IgA di daerah mesangial dan beberapa dinding kapiler. Pada pemeriksaan
mikroskop elektron, terlihat deposit electron dense pada daerah mesangial dan di beberapa
tempat subendotel dan subepitel. Tipe III ditemukan pada 23% NL.
Tipe IV Glomerulonefritis proliferatif difus
Pada pemeriksaan mikroskop cahaya ditemukan proliferasi sel difus mesangial dan
endotel pada semua glomerulus. Pada beberapa kasus dijumpai proliferasi sel epitel
glomerulus dan pembentukan kresen fibroepitelial yang dapat mencapai lebih dari 50%. Juga
dapat terlihat nekrosis fibrinoid disertai infiltrasi sel neutrofil di glomerulus. Membran basal
glomerulus menebal dan menunjukkan gambaran lesi wire loop eosinofilik. Hal ini
disebabkan adanya deposit subendotel yang besar dan difus. Kadang-kadang dapat terlihat
arteritis pada arteri dan trombosis pada kapiler glomerulus. Pada pemeriksaan mikroskop

imunofloresensi akan terlihat gambaran deposit granular di mesangium dan sepanjang


dinding kapiler terdiri atas IgG, C3, C4, Clq, kadang-kadang IgA dan IgM.
Kresen epitel memberi warna positif dengan fibrin. Pada pemeriksaan dengan mikroskop
elektron, dijumpai deposit electron dense di mesangium dan daerah subendotel, kadang juga
subepitel. Tipe IV dijumpai pada 40% pasien NL.
Tipe V Glomerulonefritis membranosa
Pada pemeriksaan mikroskop cahaya dijumpai gambaran seperti pada nefropati
membranosa idiopatik yaitu tidak adanya proliferasi sel dan ditemukan penebalan membran
basal. Pada pewarnaan perak dapat dijumpai gambaran sisir (spike). Pada pemeriksaan
imunofluoresensi ditemukan deposit granular IgG, C3, C4, Clq, disepanjang dinding kapiler
glomerulus. Pada pemeriksaan mikroskop elektron, ditemukan deposit elektron dense di
daerah subepitel kapiler glomerulus dan kadang-kadang di daerah mesangial dan subendotel.
Tipe V ditemukan pada kurang dari 10%.
Tipe VI Glomerulosklerosis
Glomerulosklerosis adalah gambaran akhir dari kerusakan ginjal pada NL yang bersifat
ireversibel. Secara morfologik, akan terlihat gambaran penambahan matriks mesangial,
sklerosis glomerulus, atrofi tubulus, sklerosis vaskular, dan fibrosis interstisial. Tipe VI
ditemukan pada 0,7%.
Berbeda dengan gambaran patologi anatomi pada penyakit glomerulus lainnya antara lain
sindrom nefrotik idiopatik pada NL dapat terjadi perubahan morfologi glomerulus dari tipe
yang ringan menjadi yang berat atau sebaliknya. Perubahan dari bentuk ringan tipe II dapat
menjadi tipe IV bila tidak diobati, sedangkan dengan terapi tipe IV proliferatif difus dapat
berubah menjadi tipe II mesangial atau tipe V membranosa yang lebih ringan.
Biopsi kulit akhir-akhir ini mendapat perhatian baik pada NL maupun SLE karena dapat
dipakai dalam diagnosis banding dengan penyakut reumatoid lain dan membedakan NL
dengan granulopati idiopatik. Pada lupus ditemukan deposit granuler pada pertemuan daerah
dermis dan epidermis. Deposit tersebut dengan teknik imunofluoresensi terdiri atas IgG, C3,
properdin dan antibodi DNA. Ada laporan terdapat korelasi antara beratnya gambaran

histolologi ginjal dan gambaran deposit di kulit, tetapi ini belu dapat dikonfirmasi peneliti
lain.
Korelasi antara gambaran patologi anatomi dan klinis1
Pada umumnya, terdapat kerelasi yang kuat antara gambaran PA dan klinis. Pasien
dengan gambaran PA glomerulus normal (tipe I) dan mesangeal (tipe II) menunjukkan
presentasi klinis yang ringan yaitu urinalisis normal atau minimal dan fungsi ginjal yang
normal. Gambaran PA proliferatif difus (tipe IV) biasanya menunjukkan gambaran PA
glomerulonefritis akut atau sindrom nefrotik dengan hipertensi dan gagal ginjal. Bila tipe IV
ini disertai kresen yang > 50% akan disertai gagal ginjal progresif (glomerulonefritis
progresif cepat). Pasien dengan gambaran PA tipe V GN membranosa menunjukkan
gambaran klinis sindrom nefrotik yang bersifat menahun, hipertensi, dan penurunan fungsi
ginjal yang perlahan-lahan (progresif lambat). Tipe V glomerulosklerosis merupakan stadium
lanjut NL yang diakhiri dengan gagal ginjal terminal.
F. 2. Lupus Diskoid
Sebesar 2 sampai 3% lupus diskoid terjadi pada usia dibawah 15 tahun. Lesi kulit diskoid
pada pasien anak terdiri dari bercak eritema yang menimbul dengan adherent keratotic
scaling dan follicular plugging, pada lesi lama dapat terjadi parut atrofi dan banyak muncul
pada kulit yang sering terkena sinar matahari, sebagaimana halnya pada pasien dewasa. Lesi
diskoid sering menyebabkan timbulnya jaringan parut dan dapat kambuh kembali jika pasien
terpapar sinar ultraviolet. Sekitar 7% lupus diskoid akan menjadi SLE dalam waktu 5 tahun.
Walaupun belum ada penelitian yang menyebutkan lupus diskoid dapat berkembang menjadi
SLE pada anak, namun presentasi lupus diskoid pada anak yang cukup jarang harus
mendapatkan perhatian dari dokter yang merawat. Hasil pemeriksan laboratorium
menunjukkan adanya antibodi antinuclear (ANA) yang disertai peningkatan kadar IgG yang
tinggi dan leukopeni ringan. Bukti klinis dan laboratoris lain yang menunjukkan adanya
penyakit sistemik penting untuk memantau progresifitas penyakit ini menjadi SLE. 3,8
F. 3. Sistem Saraf Pusat

Gejala SSP muncul pada 20 30% pada anak dan dewasa dengan SLE, dan dapat
melibatkan gejala-gejala neurologis atau psikiatrik. Tidak seperti manifestasi penyakit lain,
keterlibatan SSP dapat terlihat di tahun pertama penyakit pada 75-85% pasien yang akan
berkembang menjadi penyakit SSP. Gejala SSP bervariasi mulai dari disfungsi serebral
global dengan kelumpuhan dan kejang sampai gejala fokal seperti nyeri kepala dan
kehilangan memori. Gejala neuropsikiatrik ada pada 33 60% pasien SLE dewasa dengan
kelainan SSP. Resiko pada wanita delapan kali lebih besar daripada pria, dan resiko tertinggi
ada pada wanita kulit hitam. Diagnosa lupus SSP ini membutuhkan evaluasi untuk
menyingkirkan ganguan psikososial reaktif, infeksi, dan metabolik. Disarankan untuk
mengkonsultasikan hal ini dengan ahli psikiatri.
Secara klinis, ada banyak kemiripan SLE dengan gejala SSP pada anak dan dewasa.
Diantaranya psikosis, depresi, organic brain syndrome, dan disfungsi kognitif. Gangguan
motorik (khorea) lebih sering pada anak, mungkin berhubungan dengan adanya antibodi antifosfolipid. Nyeri kepala juga sering menjadi gelaja dari SLE namun penyebab nyeri kepala
lain juga tidak kalah banyaknya. Nyeri kepala ini harus dibuktikan bukan berasal dari
kelainan intrakranial, biasanya disebabkan oleh trombosis vena serebralis dan hipertensi
intrakranial. Trombosis vena serebralis bisanya terkait dengan antibodi antifosfolipid. Bila
diagnosa lupus serebralis sudah diduga, konfirmasi dengan CT Scan perlu dilakukan. 3,8
F. 4. Arthritis Lupus
Artritis nonerosif pada dua atau lebih persendian perifer, ditandai dengan nyeri tekan,
bengkak atau efusi. Pada lebih dari 90% pasien anak, seringkali muncul poliarthritis yang
mengenai sendi-sendi besar maupun kecil. Arthritis biasanya lebih mudah untuk diterapi,
dibandingkan dengan kelainan organ lain pada SLE. Tidak seperti reumatoid arthritis,
arthritis SLE terasa sangat nyeri, dan nyeri yang dirasakan pasien tidak sebanding dengan
temuan klinisnya yang terlihat ringan. Pemeriksaan radiologi pada sendi yang terkena,
menunjukkan osteopenia tanpa adanya perubahan pada tulang sendi. Anak dengan RA sendi
poliartikular beberapa tahun kemudian dapat menjadi LES. 3
F. 5. Serositis Lupus (pleuritis, perikarditis)

Riwayat nyeri pleura atau terdengar pleural friction rub atau terdapat efusi pleura pada
pemeriksaan fisik, menunjukkan adanya pleuritis pada pasien. Nyeri pleura adalah nyeri dada
yang tajam, yang diperburuk oleh batuk, menarik nafas dalam dan perubahan tertentu posisi
tubuh. Atau dapat pula muncul sebagai perikarditis, dibuktikan dengan EKG atau terdengar
pericardial friction rub atau terdapat efusi perikardial pada pemeriksaan fisik. 7,8
F. 6. Fenomena Raynaud
Ditandai oleh keadaan pucat, disusul oleh sianosis, eritema dan kembali hangat. Terjadi
karena disposisi kompleks imun di endotelium pembuluh darah dan aktivasi komplemen
lokal.8
F. 7. Gangguan Darah
Terdapat salah satu diantara kelainan darah ini: 1) Anemia hemolitik dengan
retikulositosis, 2) Leukopenia < 4000/mm3 pada > 1 pemeriksaan, 3) Limfopenia <
1500/mm3 pada > 2 pemeriksaan, 4) Trombositopenia < 100.000/mm3 tanpa adanya
intervensi obat.8
G. LUPUS NEONATUS 6,9
Lupus neonatus, merupakan komplikasi kehamilan yang mengenai janin pada ibu dengan
SLE. Bayi-bayi yang terkena dapat menderita ruam, trombositopenia atau blokade jantung
kongenital, kelainan hepar dan berbagai manifestasi sistemik lainnya Sindrom lupus neonatus
dianggap disebabkan oleh faktor-faktor maternal pada janin, tetapi patogenesis yang tepat
belum pasti.
Untuk menegakkan diagnosis lupus neonatus, The Research Registry for Neonatal Lupus
memberikan dua kriteria sebagai berikut :
1. Adanya antibodi 52 kD SSA/Ro, 60 kD SSA/Ro atau 48 kD SSB/La pada serum ibu.
2. Adanya blok jantung atau rash pada kulit neonatus. Kelainan konduksi jantung/blok
jantung kongenital ditemukan 1 diantara 20 000 kelahiran hidup (0,005%), tergantung
dari adanya anti SSA/Ro atau anti SSB/La. Apabila antibodi tersebut ditemukan pada
penderita LES maka risiko bayi mengalami blok jantung kongenital berkisar antara 1,5%

sampai 20% dibandingkan bila antibodi tersebut tidak ada yaitu sekitar 0,6% dengan
distribusi yang sama antara bayi laki dan wanita.
Patogenesis blok jantung kongenital neonatus pada penderita LES dengan anti SSA/Ro
dan Anti SSB/La positip belum jelas diketahui. Mekanisme yang dipercaya saat ini adalah
adanya transfer antibodi melalui plasenta yang terjadi pada trimester ke dua yang
menyebabkan trauma imunologik pada jantung dan sistem konduksi jantung janin. Sekali
terjadi tranfer antibodi ini maka kelainan yang terjadi bersifat menetap dan akan manifes
pada saat bayi lahir. Usaha untuk menghentikan transfer antibodi ini ke janin seperti
pemberian kortiokosteroid, gammaglobulin intravena atau plasmaparesis telah gagal
mencegah kejadian blok jantung kongenital neonatal. Oleh karena itu pemeriksaan antibodi
ini sangat penting untuk seorang ibu yang menderita SLE dan ingin hamil.7
H. PENATALAKSANAAN
Telah disebutkan bahwa angka mortalitas pada pasien lupus pada dekade terakhir ini telah
mengalami banyak perbaikan. Hal ini terutama disebabkan karena penggunaan obat
kortikosteroid dan sitostatik. Gejala ekstra renal akan cepat menghilang pada pemberian
kortikosteroid. Pada pasien dengan gejala ekstra-renal ringan, tidak diperluka terapi
kortikosteroid, cukup diberi obat salisilat, anti malaria (hidroksi klorokuin), atau obat anti
inflamasi non steroid. 1
Jenis penatalaksanaan ditentukan oleh beratnya penyakit. Luas dan jenis gangguan organ
harus ditentukan secara hati-hati. Dasar terapi adalah kelainan organ yang sudah terjadi.
Adanya infeksi dan proses penyakit bisa dipantau dari pemeriksaan serologis. Monitoring
dan evaluasi bisa dilakukan dengan parameter laboratorium yang dihubungkan dengan
aktivitas penyakit.
Penyakit SLE adalah penyakit kronik yang ditandai dengan remisi dan relaps. Terapi
suportif tidak dapat dianggap remeh. Edukasi bagi orang tua dan anak penting dalam
merencanakan program terapi yang akan dilakukan. Edukasi dan konseling memerlukan tim
ahli yang berpengalaman dalam menangani penyakit multisistem pada anak dan remaja, dan
harus meliputi ahli reumatologi anak, perawat, petugas sosial dan psikologis. Nefrologis
perlu dilibatkan pada awal penyakit untuk pengamatan yang optimal terhadap komplikasi

ginjal. Demikian pula keterlibatan dermatologis dan nutrisionis juga diperlukan. Perpindahan
terapi ke masa dewasa harus direncanakan sejak remaja.2,3

H. 1. Kortikosteroid
Prednison hampir selalu menjadi pilihan dalam penatalaksanaan SLE. Meskipun efek
samping jangka panjang kortikosteroid banyak, obat ini dianggap yang terbaik untuk nefritis
lupus dan SLE pada umumnya. Harus dipertimbangkan pada anak, bahwa efek samping
kortikosteroid jangan sampai lebih buruk daripada penyakitnya itu sendiri. Hal ini dapat
menyebabkan anak menjadi tidak mau melanjutkan terapi yang dijalaninya. 1,2
Karena efek sampingnya yang banyak, dosisnya harus dikurangi segera setelah muncul
perbaikan secara klinis dan pemeriksaan laboratorium. Pada permulaan penyakit anak
biasanya diberikan jadwal minum obat prednison tiga kali sehari. Pada pertengahan, dosis
diturunkan namun tetap dilanjutkan. 2
Pemberian awal kortikosteroid dimulai dari dosis tinggi, yaitu 2 mg/kgBB/hari atau 60
mg/m2/hari (maksimum 80 mg.hari) dan diturunkan secara bertahap; bila terdapat perbaikan
gejala penyakit, proteinuria, fungsi ginjal, normalisasi komplemen darah, dan penurunan titer
anti ds-DNA. Penurunan dosis berlangsung selama 4-6 minggu. Dosis prednison diturunkan
secara bertahap sampai 5-10 mg/hari atau 0,1-0,2 mg/kgBB dan dipertahankan selama 4-6
minggu. Bila tidak terjadi relaps, pemberian steroid diuah manjadi selang sehari dan
diberikan pada pagi hari. Bila timbul relaps, dosis dinaikkan lagi menjadi 2 mg/kgBB/hari.1
Efek samping yang paling mengganggu pada usia remaja terutama adalah peningkatan
berat badan. Penggunaan dosis rendah harian kortikosteroid dengan dosis tinggi intermitten
intravena disertai suplementasi vitamin D dan kalsium bisa mempertahankan densitas
mineral tulang. Fraktur patologis jarang terjadi pada anak SLE. Resiko fraktur bisa dicegah
dengan intake kalsium dan program exercise yang lebih baik. Melalui program alternate,
efek samping steroid pada pertumbuhan bisa dikurangi. Sebelum menetapkan efek obat,
penyebab endokrin seperti tiroiditis dan defisiensi hormon pertumbuhan harus dieksklusi.
Nekrosis avaskuler bisa terjadi pada 10-15% pasien LES anak yang mendapat steroid dosis
tinggi dan jangka panjang.8 Pada beberapa anak, pota tidur dapat terganggu karena pengaruh
kortikosteroid. Sebagian anak menjadi lebih hiperaktif, moody, dan sulit memulai tidur. Hal

ini dapat diatasi dengan memberikan kortikosteroid malam hari lebih awal. Beberapa anak
dengan terapi kostikosteroid dosis tinggi mengalami peningkatan dalam frekuensi BAK
malam hari sehingga sulit untuk memulai tidur kembali. Jika ada efek negatif seperti ini,
dosis kortikosteroid dapat disesuaikan. Beberapa efek samping kortikosteroid dapat dilihat
pada tabel 4.
Tabel 4. Efek Samping Kortikosteroid 2
Efek samping
Rekomendasi
Peningkatan nafsu makan dan berat Diet rendah garam dan lemak. Konsultasi gizi
badan, moon face

bila perlu

Acne
Gangguan mood

Krim anti-acne topikal


Diskusikan dengan anak dan angota keluarga
yang lain bahwa terkadang perubahan mood

Pertumbuhan lebih lambat

ini sulit untuk dikontrol.


Beri pengertian tentang

Osteopenia
Avaskular nekrosis (AVN)

mengejar ketinggalan dalam pertumbuhannya


Suplemen kalsium dan vitamin D
Lakukan roentgen atau MRI, konsultasikan

Mudah terkena infeksi

kepada dokter ahli ortopedi


Vaksinasi pneumonia dan varisella jika anak

Tekanan darah meningkat


Katarak

tidak sedang menderita cacar


Monitor berkala, obat antihipertensi bila perlu
Biasanya tidak mempengaruhi penglihatan.

Peningkatan resiko atherosklerosis

Konsultasikan kepada dokter spesialis mata


Cek profil lipid sebelum terapi kortikosteroid

kearusan

anak

maupun hidroklorokuin.
H. 2. Hidroklorokuin
Hidroklorokuin mulai diberikan sebagai terapi standar, digunakan pada lupus derajat
sedang atau sebagai kombinasi dengan obat lain pada lupus yang berat. Ada beberapa studi
menunjukkan pemakaian obat ini secara berkala dapat menurunkan resiko kekambuhan
penyakit. Hidroklorokuin juga memiliki efek pada lipid plasma dan dapat menurunkan resiko
komplikasi kadriovaksular. Pemakaian jangka panjang

Hidroklorokuin dapat menyebabkan retinopati, namun resiko ini dapar diminimalisasi dengan
mengatur pemberian tidak lebih dari 6 mg/kgBB/hari. 2
H. 3. Asam asetilsalisilat dan obat-obat AINS
Asetil salisilat dosis rendah (3-5 mg/kgBB/hari) dapat digunakan sebagai profilaksis
episode trombositopeni. Biasanya digunakan pada anak dengan antibodi antifosfolipid yang
tinggi dan/atau anak dengan lupus antikoagulan.
Anti inflamasi non steroid (AINS) digunakan untuk gejala dan tanda pada
muskuloskeletal, yang dapat menjadi parah secara tiba-tiba pada anak dengan terapi
kortikosteroid dosis sedang atau tinggi. AINS juga dapat mengobati serositis. 2
H. 4. Obat-obatan Imunosupresif
Pengobatan dengan agen imunosupresan (sitostatik) dipakai dalam kombinasi dengan
kortikosteroid. Obat yang paling sering dipakai adalah siklofosfamid dan azatioprin.
Indikasi pemakaian obat sitostatik adalah:
-

Bila dengan kortikosteroid hasil yang didapat tidak memuaskan untuk mengontrol
penyakit

Bila timbul efek samping pada penggunaan kortikosteroid, misalnya hipertensi

Bila NL berat yaitu NL proliferatif difus, sejak awal diberikan kombinasi


kortikosteroid dan sitostatik.

Biasanya obat sitistatik diberikan secara oral, tetapi akhir-akhir ini dilaporkan
penggunaan sitistatik secara parenteral yaitu siklofosfamid dengan cara pulse terapi yaitu
dengan memberi bolus intravena 0,5-1 gram/m2 secara infus selama 1 jam. Pada hari
pemberian infus anak dianjurkan sering kencing untuk mencegah timbulnya komplikasi
sistitis hemoragik.
Lehman dkk (1989) melaporkan hasil baik dengan pemberian pulse siklofosfamid sekali
sebulan selama 6-12 bulan dengan hasil perbaikan fungsi ginjal pada NL proliferasi difus.
Dosis yang dipakai adalah 500 mg/m2 pada bulan pertama, 750 mg/m2 pada bulan kedua dan
selanjutnya 1 gram/m2 (dosis maksimal 40 mg/kgBB). Pada pasien dengan kelainan fungsi
ginjal atau hepar hanya dipakai dosis 500 mg/m2. Bila jumlah leukosit <2000/m2 dosis tidak
boleh dinaikkan, dan bila <1000/m2 dosis diturunkan 125 mg/m2.1

H. 5. Plasmapharesis
Telah digunakan bertahun-tahun pada lupus yang refrakter. Terkadang ada manfaatnya
terutama bila dikombinasi dengan kortikosteroid dosis tingi dan siklofosfamid. Namun ini
bukanlah terapi yang efektif.2
H. 6. Splenektomi
Untuk anak dengan sitopenia refrakter yang tidak responsif dengan terapi standar untuk
idiopatik trombositopenia, splenektomi biasanya menjadi efektif. Namun hal ini
meningkatkan resiko terjadinya sepsis, terutama dari kuman-kuman salmonella dan
pneumokokus.2
H. 7. Transplantasi Sumsum Tulang atau Sel Punca
Transplantasi Sumsum Tulang atau Sel Punca secara autologous atau alogenik lebih
efektif pada pasien dewasa. Terdapat angka morbiditas dan mortalitas yang tinggi dengan
pendekatan terapi semacam ini, sehingga ini merupakan pilihan terakhir. 2

I. MEMONITOR PERJALANAN PENYAKIT


Memonitor SLE tidaklah mudah. Ada beberapa faktor yang harus diperatikan dan
kesemuanya harus diperhitungkan sebelum keputusan terapi dilakukan. Pemeriksaan
laboratorium sangat penting dan sebaiknya dikerjakan secara rutin. Pemeriksaan
laboratorium termasuk: hematologi, ESR (erytrocyte sedimentation rate), C3, C4, anti dsDNA (kuantitatif), SGOT, SGPT, LDH, albumin, kreatinin, dan urinalisis. Pemeriksaan ini
sebaiknya dilakukan setiap 2-4 minggu sekali saat mulai terdiagnosis, sampai 2 bulan sekali
ketika penyakit sudah dapat dikontrol.
Ada beberapa skor yang bertujuan mengontrol penyakit. Beberapa diantaranya adalah
SLE Disease Activity Index (SLEDAI), Lupus Activity Index (LAI), the European
Consensus Lupus Activity Measurement (ECLAM), Systemic Lupus Activity Measure

(SLAM) dan British Isles Lupus Assessment Group (BILAG). Skor-skor ini sensitif pada
perubahan perjalanan penyakit.2
I. 1. Proteksi Terhadap Matahari
Pajanan pada sinar matahari atau sumber lain yang ada sinar ultraviolet (terutama UV-A
atau UV-B) dapat menyebabkan kekambuhan ruam pada lupus dan juga gejala sistemik
seperti nyeri sendi dan fatigue. bisa juga menyebabkan serangan pertama. Jadi, untuk
menghindari pajanan yang terus menerus dengan sinar UV, setiap pasien atau siapapun juga
harus menggunakan topi atau krim tabir surya. Pasien yang menggunakan krim tabir surya
secara rutin (SPF 15 atau yang lebih besar) memiliki resiko lebih rendah untuk terkena lupus
nefritis, trombositopenia, dan membutuhkan lebih sedikit dosis siklofosfamid. Setiap anak
dengan SLE sebaiknya selalu menggunakan krim tabir surya setiap hari pada seluruh kulitnya
yang terpajan sinar matahari (kecuali telinga) tidak hanya pada siang hari, karena awan tidak
dapat menghilangkan sinar UV. 2,4
I. 2. Imunisasi 2
Anak dengan SLE memiliki resiko tinggi terkena infeksi bakteri dan virus. Pada anakanak ini seharusnya dilakukan semua jenis imunisasi yang diwajibkan namun tidak boleh
yang mengandung vaksin hidup.
- Vaksin cacar (varicella) dianjurkan untuk semua anak yang belum pernah terinfeksi
virus varicella-zoster. Termasuk kedalam vaksin hidup (live vaccine) sehingga harus
diberikan sebelum terapi dengan kortikosteroid dimulai.
- Vaksin pneumokokus dianjurkan untuk semua anak pada saat diagnosis SLE
ditegakkan, dan setiap 5 tahun. Infeksi pneumokokus yang invasif sering terjadi pada
anak dengan SLE.
- Vaksin influenza. Anak SLE yang di imunisasi dengan vaksin influenza memiliki respon
antibodi yang protektif, walaupun jumlahnya lebih sedikit dari anak yang normal.
-

Vaksin Haemophilus influenza (Hib) dan meningokokus dianjurkan pada setiap anak
dengan SLE.

I. 3. Diet dan Olahraga 2,10

Diet seimbang dengan masukan kalori yang sesuai. Sebenarnya tidak ada diet khusus
untuk pasien SLE, namun karena adanya kenaikan berat badan akibat penggunaan obat
glukokortikoid, maka perlu dihindari makanan junk food atau makanan mengandung tinggi
sodium dan tinggi garam untuk menghindari kenaikan berat badan berlebih. Pasien lupus
sebaiknya tetap beraktivitas normal. Olah raga diperlukan untuk mempertahankan densitas
tulang dan berat badan normal. Tetapi tidak boleh berlebihan karena lelah dan stress sering
dihubungkan dengan kekambuhan.
J. PROGNOSIS 8
Penyakit lupus berevolusi secara spontan dengan bangkitan serangan diselingi oleh fase
remisi, dengan masa dan kualitas yang bervariasi. Menurut Sibley, bangkitan diartikan
sebagai eksaserbasi atau perkembangan tanda atau keluhan baru yang memerlukan perubahan
terapi. Fase remisi sebetulnya merupakan bentuk klinis yang kurang ganas dengan gangguan
predominan pada sendi dan kulit. Beberapa faktor telah dikenal dapat menimbulkan
bangkitan aktivitas lupus di luar masa evolusi spontan, yaitu pajanan sinar ultraviolet,
infeksi, beberapa jenis obat tertentu seperti misalnya antibiotik yang membentuk siklus
aromatik (penisilin, sulfa, tetrasiklin), garam emas, fenotiazin, dan antikonvulsan, serta
kehamilan.
Pada masa reaktivasi yang mendadak, gambaran penyakit berubah bervariasi dari bentuk
yang semula jinak dapat menjadi ganas dengan komplikasi viseral. Sebaliknya, bentuk yang
ganas dapat dikontrol atau seperti sembuh di bawah pengobatan.
SLE memiliki angka survival untuk masa 10 tahun sebesar 90%. Penyebab kematian
dapat langsung akibat penyakit lupus, yaitu karena gagal ginjal, hipertensi maligna,
kerusakan SSP, perikarditis, sitopenia autoimun. Tetapi belakangan ini kematian tersebut
semakin menurun karena perbaikan cara pengobatan, diagnosis lebih dini, dan kemungkinan
pengobatan paliatif seperti hemodialisis lebih luas.
Penyebab kematian lain dapat ditimbulkan oleh efek samping pengobatan, misalnya pada
penyakit ateromatosa (infark miokard, gagal jantumg, aksiden vaskular serebral iskemik)
akibat kortikoterapi; atau neoplasma (kanker, hemopati) akibat pemakaian obat
imunosupresan; atau oleh keadaan defisiensi imun akibat penyakit lupus. Frekuensi kejadian
ini makin meningkat karena harapan hidup (survival) penderita lupus lebih panjang.

Infeksi dan sepsis merupakan penyebab kematian utama pada lupus, bukan hanya akibat
kortikoterapi tetapi juga karena defisiensi imun akibat penyakit lupusnya itu sendiri.
Pengurangan risiko infeksi hanya dapat dilakukan dengan pencegahan terhadap semua
sumber infeksi serta deteksi dini terhadap infeksi.
Secara skematis evolusi penyakit lupus memperlihatkan 2 puncak kejadian kematian,
yaitu satu puncak prekoks akibat komplikasi viseral yang tidak terkontrol, dan satu puncak
lain yang lebih jauh akibat komplikasi kortikoterapi.
Pada tahun 1980-1990, 5-year survival rates sebesar 83%-93%. Beberapa peneliti
melaporkan bahwa 76%-85% pasien LES dapat hidup selama 10 tahun sebesar 88% dari
pasien mengalami sedikitnya cacat dalam beberapa organ tubuhnya secara jangka panjang
dan menetap.

DAFTAR PUSTAKA
1. Alatas, Husein, dkk. 2004. Buku Ajar Nefrologi Anak Edisi 2. Jakarta: Balai Penerbit
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
2. Malleson, Pete dan Jenny Tekano. 2007. Diagnosis and Management of Systemic Lupus
Erythematosus in Children. From: Journal of Pediatric and Child Health 18:2. Published
by Elsevier Ltd.
3. Gitelman, Marisa Klein, etc. 2002. Systemic Lupus Erythematosus in Childhood. From
Journal: Rheumatic Disease Clinics of North America. Published by WBS.
4. Rudolph, Abraham M, etc. 1996. Rudolph Pediatrics. USA: Appleton & Lange.
5. Webb, Nicholas and Robert Postlethwaite. 2003. Clinical Paediatric Nephrology 3rd
Edition. USA: Oxford University.
6. Kusuma, Anak Agung Ngurah Jaya. 2007. Lupus Eritematosus Sistemik pada Kehamilan.
Dari: Jurnal Penyakit Dalam vol 8 no. 2. Diterbitkan oleh: Divisi Feto Maternal SMF
Obstetri dan Ginekologi FK Unud/RSUP Sanglah, Denpasar.
7. Panca, Widianto. 2009. Systemic Lupus Erythematosus (SLE). Available on:
http://widiantopanca.blogdetik.com/systemic-lupuserythematosus. Accessed at: January,
17th 2010.
8. Judarwanto, Widodo. 2009. Lupus Eritematosus Sistemik pada Anak. Available on:
http://childrenclinic.wordpress.com/sle-anak. Accessed at: January, 17th 2010.
9. Nelson, Waldo E, etc. 2000. NELSON Ilmu Kesehatan Anak Edisi 15. Jakarta: EGC
10. Anonim.

2008.

Lupus

Eritematosus

Sistemik.

http://www.klikdokter.com/sle. Accessed at: January, 17th 2010.

Available

on:

Anda mungkin juga menyukai