Seiring waktu, edema semakin meluas, disertai dengan pembentukan asites, efusi pleura,
dan edema genital. Gangguan gastrointestinal, seperti diare, sering timbul dalam perjalanan
penyakit sindrom nefrotik (Wila, 2002).
5. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik yang dilakukan harus disertai pemeriksaan berat badan, tinggi badan,
lingkar perut dan tekanan darah. Akan tampak adanya edema periorbita atau palpebra serta
edema pretibial yang bersifat pitting edema. Pada pemeriksaan abdomen mungkin ditemukan
tanda-tanda hepatomegali akibat sintesis albumin yang meningkat. Selain itu, dapat ditemukan
ascites, efusi pleura, hingga edema genital (Alatas et al., 2005).
6. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan, antara lain (Alatas et al., 2005):
a. Urinalisis, dan bila perlu biakan urin. Hal ini dilakukan untuk menyingkirkan diagnosis
ISK. Bila terjadi hematuria mikroskopik (>20 eritrosit/LPB) dicurigai adanya lesi
glomerular (misal glomerulosclerosis fokal).
b. Protein urin kuantitatif, dapat berupa urin 24 jam atau rasio protein/kreatinin pada urin
pertama pagi hari, atau menggunakan dipstick.
c. Pemeriksaan darah, antara lain:
- Darah tepi lengkap
- Kadar albumin dan lipid/kolesterol plasma
- Kadar ureum, kreatinin, serta klirens kreatinin dengan cara klasik atau dengan rumus
-
Schwartz
Kadar komplemen C3 bila ada kecurigaan Lupus Eritematosus sistemik, pemerikaan
juga dapat ditambah dengan komplemen C4, ANA (Anti nuclear antibody) dan anti ds-
DNA
7. Diagnosis Banding
Diagnosis banding untuk anak dengan edema antara lain (Kliegman et al., 2007):
- Edema renal: Glomerulonefritis akut atau kronis
- Edema non-renal: penyakit hepar, penyakit jantung congenital
- Penyakit autoimun (misal, lupus erimatosus sistemik)
- Malnutrisi protein.
8. Penatalaksanaan
Bila diagnosis sindrom nefrotik telah ditegakkan, sebaiknya jangan tergesa-gesa memulai
terapi kortikosteroid, karena remisi spontan dapat terjadi pada 5-10% kasus (Alatas et al.,
2005).
Bengkak yang diawali pada kedua kelopak mata kemudian menyebar ke perut dan
kedua kaki.
-
Pada pemeriksaan fisik ditemukan: Edema palpebra (+/+), ascites, dan edema
pretibial (+/+)
Dari beberapa poin di atas, maka definisi Sindroma nefrotik terpenuhi. Keluhan bengkak di
seluruh tubuh yang dibuktikan dengan pemeriksaan fisik, yaitu edema palpebra, ascites, dan
edema pretibial (pitting edema). Kemudian hasil pemeriksaan laboratorium darah dan urin juga
turut menunjang diagnosis sindroma nefrotik, yaitu hipoalbuminemia, hiperkolesterolemia, dan
proteinuria. Tidak adanya kondisi hipertensi, serta tidak ditemukannya hematuria pada
pemeriksaan mikroskopis urindapat menyingkirkan diagnosis banding glomerulonefritis akut
pasca infeksi streptococcus yang sering terjadi pada anak-anak. Meskipun memang, pada
pasien ini keluhan bengkak juga disertai dengan batuk dan pilek.
Pasien anak dalam kasus ini perlu diobservasi dan dirawat inap karena perlunya tirah
baring akibat edema anasarka yang mengganggu aktivitas (berjalan). Sehingga, anak perlu
mendapat terapi diuretic untuk mengurangi kondisi edema yang terjadi. Selama pengobatan
diuretic perlu pemantauan kemungkinan hipokalemia, alkalosis metabolic, atau kehilangan
cairan intravascular berat. Selain itu, perawatan di rumah sakit juga bertujuan untuk pengaturan
diet yang sangat penting pada kasus ini. Diet protein normal (2 g/kg BB/hari) dan diet rendah
garam (1-2 g/hari) perlu diperhatikan pada anak selama masih menderita edema anasarka.
Selain itu, kondisi hipoalbuminemia (1.43 g/dl) yang dialami anak dalam kasus ini juga perlu
mendapatkan penanganan khusus dengan infuse albumin konsentrat.
Sambil melakukan perbaikan kondisi umum pasien anak tersebut, terapi dengan steroid
dapat dimulai. Terapi dengan prednison diberikan selambat-lambatnya 14 hari setelah
diagnosis sindrom nefrotik ditegakkan. Pengobatan inisial prednisone (2 mg/kgBB/hari)
diberikan selama 4 minggu untuk menginduksi remisi, lalu dilanjutkan dosis rumatan selama 4
minggu pula. Selain terapi steroid, beberapa kasus sindrom nefrotik pada anak juga
memerlukan antibiotik profilaksis karena penderita SN cenderung mudah terinfeksi, misal
selulitis dan peritonitis.
4. Plan :
Diagnosis Kerja : Edema anasarka e.c Sindrom Nefrotik
Tonsilofaringitis akut
Terapi :
IVFD D5% 5 tpm makro
Pembatasan intake cairan 800 cc/hari
Inj. Ceftriaxon 650 mg/12 jam
Inj. Ranitidine 0,5 cc/12 jam
Inj. Furosemide 15 mg/12 jam
Per oral:
Prednisone 5 mg 4 3 3
Ambroxol sirup 3 x cth 1
Pendidikan :
Tujuan edukasi pada pasien sindrom nefrotik dan keluarga :
Mengenal perjalanan penyakit dan pengobatan.
Melaksanakan pengobatan yang maksimal.
Mencapai aktivitas yang optimal serta mengurangi tingkat kekambuhan.
Secara umum bahan edukasi yang harus diberikan adalah :
Pengetahuan dasar tentang sindrom nefrotik dan penyebabnya.
Cara pencegahan perburukan penyakit serta berbagai pengobatan yang diberikan.
Tentang pola makan dan minum yang perlu diperhatikan selama anak masih
mengalami bengkak.
Anjuran untuk tetap rutin kontrol ke poliklinik anak RS selama pengobatan steroid.
ini
sebenarnya
memerlukan
konsultasi
ke
bagian
Rehabilitasi
Periode
Setiap hari
Setiap kali kunjungan
FOLLOW UP
27 Agustus 2014
Subyektif
Objektif
30 Agustus 2014
Planning
29 Agustus 2014
Assesment
Terapi
28 Agustus 2014
Sindrom Nefrotik
Tonsilofaringitis akut
IVFD D5% 5 tpm makro
Inj. Ceftriaxon 2 x 650 mg
Inj. Ranitidine 2 x amp
Inj. Furosemide 2 x 15 mg
Peroral:
Prednisone 5 mg 4 3 3
Ambroxol sirup 3 x cth 1
Parasetamol 3 x 250 mg (k/p)
Sindrom Nefrotik
Tonsilofaringitis akut
IVFD D5% 5 tpm makro
Transfusi Albumin 100 cc
Inj. Ceftriaxon 2 x 650 mg
Inj. Ranitidine 2 x amp
Inj. Furosemide 2 x 15 mg
Peroral:
Prednisone 5 mg 4 3 3
Ambroxol sirup 3 x cth 1
Parasetamol 3 x 250 mg (k/p)
Sindrom Nefrotik
Tonsilofaringitis akut
IVFD D5% 5 tpm makro
Inj. Ceftriaxon 2 x 650 mg
Inj. Ranitidine 2 x amp
Inj. Furosemide 2 x 15 mg
Peroral:
Prednisone 5 mg 4 3 3
Codein tablet 3 x 10 mg
Parasetamol 3 x 250 mg (k/p)
Ambroxol sirup 3 x cth 1
Vitamin Bplex 3 x 1
Awasi keadaan umum, balance
cairan dan TTV
Sindrom Nefrotik
Tonsilofaringitis akut
IVFD D5% 5 tpm makro
Inj. Ceftriaxon 2 x 650 mg
Inj. Ranitidine 2 x amp
Inj. Furosemide 3 x 15 mg
Peroral:
Prednisone 5 mg 4 3 3
Codein tablet 3 x 10 mg
Parasetamol 3 x 250 mg (k/p)
Ambroxol sirup 3 x cth 1
Vitamin Bplex 3 x 1
Awasi keadaan umum, balance
cairan dan TTV
FOLLOW UP
31 Agustus 2014
Subyektif
Objektif
3 September 2014
Planning
2 September 2014
Assesment
Terapi
1 September 2014
Sindrom Nefrotik
Tonsilofaringitis akut
IVFD D5% 5 tpm makro
Inj. Ceftriaxon 2 x 650 mg
Inj. Ranitidine 2 x amp
Inj. Furosemide 3 x 15 mg
Peroral:
Prednisone 5 mg 4 3 3
Codein tablet 3 x 10 mg
Parasetamol 3 x 250 mg (k/p)
Ambroxol sirup 3 x cth 1
Vitamin Bplex 3 x 1
Sindrom Nefrotik
Tonsilofaringitis akut
IVFD KAEN 3A 10 tpm
Inj. Ceftriaxon 2 x 650 mg
Inj. Ranitidine 2 x amp
Inj. Furosemide 3 x 20 mg
Peroral:
Prednisone 5 mg 4 3 3
INH tablet 1 x 200 mg
Codein tablet 3 x 10 mg
KSR tablet 3 x
Vitamin Bplex 3 x 1
Parasetamol 3 x 250 mg (k/p)
Ambroxol sirup stop
Awasi keadaan umum, balance
cairan dan TTV
Sindrom Nefrotik
Tonsilofaringitis akut
IVFD KAEN 3A 10 tpm
Inj. Ceftriaxon 2 x 650 mg
Inj. Ranitidine 2 x amp
Inj. Furosemide 3 x 20 mg
Peroral:
Prednisone 5 mg 4 3 3
INH tablet 1 x 200 mg
Codein tablet 3 x 10 mg
KSR tablet 3 x
Vitamin Bplex 3 x 1
Parasetamol 3 x 250 mg (k/p)
Awasi keadaan umum, balance
cairan dan TTV
Sindrom Nefrotik
Tonsilofaringitis akut
IVFD KAEN 3A 10 tpm
Inj. Ceftriaxon 2 x 650 mg
Inj. Ranitidine 2 x amp
Inj. Furosemide 3 x 20 mg
Peroral:
Prednisone 5 mg 4 3 3
INH tablet 1 x 200 mg
Codein tablet 3 x 10 mg
KSR tablet 3 x
Vitamin Bplex 3 x 1
Parasetamol 3 x 250 mg (k/p)
Awasi keadaan umum, balance
cairan dan TTV
FOLLOW UP
4 September 2014
Subyektif
Objektif
Assesment
Terapi
Planning
5 September 2014
Sindrom Nefrotik
Tonsilofaringitis akut
IVFD KAEN 3A 10 tpm
Inj. Ceftriaxon 2 x 650 mg
Inj. Ranitidine 2 x amp
Inj. Furosemide 3 x 20 mg
Peroral:
Prednisone 5 mg 4 3 3
INH tablet 1 x 200 mg
Codein tablet 3 x 10 mg
KSR tablet 3 x
Vitamin Bplex 3 x 1
Parasetamol 3 x 250 mg (k/p)
Awasi keadaan umum, balance
cairan dan TTV
Sindrom Nefrotik
Tonsilofaringitis akut
Terapi Pulang:
Prednisone 5 mg 4 3 3
INH tablet 1 x 200 mg
KSR tablet 3 x
Vitamin Bplex 3 x 1
BLPL
10
ANALISA KASUS
Pada pasien ini ditegakan diagnosis Sindroma Nefrotik dengan gizi kurang, berdasarkan hasil auto-anamnesa dan allo-anamnesa,
pemeriksaan fisik, pemeriksaan khusus dan pemeriksaan penunjang berikut didapatkan :
Sindroma Nefrotik
Anamnesis
Bengkak seluruh tubuh sejak 1 hari SMRS, pada awalnya bengkak dimulai dari kelopak mata, wajah, kedua tungkai, dan perut.
Riwayat didiagnosis sindroma nefrotik pada usia 8 tahun, riwayat di rawat di RS karena sindroma nefrotik
Pemeriksaan Fisik
1. Kesadaran compos mentis , GCS : E4M6V5
2. Ku : tampak sakit sedang, oedem anasarka
3. Tanda vital : TD : 120/90
4. Mata : oedem palpebra +/+ ()
5. Wajah : oedem
6. Abdomen :
Perkusi : shifting dullness (+)
11
Lingkar abdomen = 68 cm
7. Ekstremitas : pitting edema pada ekstremitas bawah
8. Genitalia : oedem skrotum (+)
Pemeriksaan Penunjang
Didapatkan hasil sebagai berikut :
1. Proteinuria, dimana didapatkan kadar protein dalam urin positif dan gejala klinis oedem anasarka pada pasien
Tanggal 7 Juli 2015
Proteinuria +4
Proteinuria +1
Oedem Anasarka
Proteinuria
Hipoalbuminemia
Hiperkolestrolemia
12
Dikatakan Sindroma Nefrotik karena pasien mengalami keluhan seperti ini yang muncul tiba-tiba tanpa didahului suatu penyakit atau riwayat
penggunaan obat-obatan yang berkaitan dengan sindrom nefrotik sekunder. Pada pasien ini, pemeriksaan urin terakhir didapatkan (+1) namun
pasien pulang karena indikasi sosial yaitu menghadapi hari raya idul fitri, seharusnya belu bisa dipulangkan karena masih belum mengalami
remisi (protein urin +1, maka pasien dipulangkan dengan edukasi untuk patuh berobat dan rutin kontrol ke poli anak.
13
TINJAUAN PUSTAKA
SINDROMA NEFROTIK
Definisi
14
Sindrom nefrotik, adalah salah satu penyakit ginjal yang sering dijumpai pada anak, merupakan suatu kumpulan gejala-gejala klinis yang
terdiri dari proteinuria masif, hipoalbuminemia, hiperkolesterolemia serta edema . Yang dimaksud proteinuria masif adalah apabila didapatkan
proteinuria sebesar 50-100 mg/kg berat badan/hari atau lebih. Albumin dalam darah biasanya menurun hingga kurang dari 2,5 gram/dl. Selain
gejala-gejala klinis di atas, kadang-kadang dijumpai pula hipertensi, hematuri, bahkan kadang-kadang azotemia
Epidemiologi
Sindrom nefrotik yang tidak menyertai penyakit sistemik disebut sindroma nefrotik primer. Penyakit ini ditemukan 90% pada kasus anak.
Apabila ini timbul sebagai bagian daripada penyakit sistemik atau berhubungan dengan obat atau toksin maka disebut sindroma nefrotik
sekunder. Insidens penyakit sindrom nefrotik primer ini 2 kasus per-tahun tiap 100.000 anak berumur kurang dari 16 tahun, dengan angka
prevalensi kumulatif 16 tiap 100.000 anak. Insidens di Indonesia diperkirakan 6 kasus per-tahun tiap 100.000 anak kurang dari 14 tahun. Rasio
antara lelaki dan perempuan pada anak sekitar 2:1. Laporan dari luar negeri menunjukkan 2/3 kasus anak dengan SN dijumpai pada umur kurang
dari 5 tahun.
Pasien sindrom nefrotik primer secara klinis dapat dibagi dalam tiga kelompok :
a) Kongenital
b) Responsif steroid, dan
c) Resisten steroid
Bentuk kongenital ditemukan sejak lahir atau segera sesudahnya. Umumnya kasus-kasus ini adalah SN tipe Finlandia, suatu penyakit
yang diturunkan secara resesif autosom. Kelompok responsive steroid sebagian besar terdiri atas anak-anak dengan sindroma nefrotik kelainan
minimal (SNKM). Pada penelitian di Jakarta diantara 364 pasien SN yang dibiopsi 44,2% menunjukkan KM. kelompok tidak responsive steroid
atau resisten steroid terdiri atas anak-anak dengan kelainan glomerolus lain. Disebut sindroma nefrotik sekunder apabila penyakit dasarnya
15
adalah penyakit sistemik karena obat-obatan, allergen, dan toksin, dll. Sindroma nefrotik dapat timbul dan bersifat sementara pada tiap penyakit
glomerolus dengan keluarnya protein dalam jumlah yang cukup banyak dan cukup lama.
Etiologi
Secara klinis sindrom nefrotik dibagi menjadi 2 golongan, yaitu :
1. Sindrom nefrotik primer, faktor etiologinya tidak diketahui.
Dikatakan sindrom nefrotik primer oleh karena sindrom nefrotik ini secara primer terjadi akibat kelainan pada glomerulus itu sendiri
tanpa ada penyebab lain. Golongan ini paling sering dijumpai pada anak. Termasuk dalam sindrom nefrotik primer adalah sindrom nefrotik
kongenital, yaitu salah satu jenis sindrom nefrotik yang ditemukan sejak anak itu lahir atau usia di bawah 1 tahun.
Kelainan histopatologik glomerulus pada sindrom nefrotik primer dikelompokkan menurut rekomendasi dari ISKDC (International Study
of Kidney Disease in Children). Kelainan glomerulus ini sebagian besar ditegakkan melalui pemeriksaan mikroskop cahaya, dan apabila
diperlukan, disempurnakan dengan pemeriksaan mikroskop elektron dan imunofluoresensi. Tabel di bawah ini menggambarkan klasifikasi
histopatologik sindrom nefrotik pada anak berdasarkan istilah dan terminologi menurut rekomendasi ISKDC (International Study of Kidney
Diseases in Children, 1970) serta Habib dan Kleinknecht (1971).
Tabel 1. Klasifikasi kelainan glomerulus pada sindrom nefrotik primer
16
17
Penyakit metabolik atau kongenital: diabetes mellitus, amiloidosis, sindrom Alport, miksedema.
Infeksi : hepatitis B, malaria, schistosomiasis, lepra, sifilis, streptokokus, AIDS.
Toksin dan alergen: logam berat (Hg), penisillamin, probenesid, racun serangga, bisa ular.
Penyakit sistemik bermediasi imunologik: lupus eritematosus sistemik, purpura Henoch-Schnlein, sarkoidosis.
Neoplasma : tumor paru, penyakit Hodgkin, tumor gastrointestinal.
18
Patofisiologi
Reaksi
glomerulus
kehilangan
Proteinuria (albuminuria)
Proteinuria (albuminuria) masif merupakan penyebab utama terjadinya sindrom nefrotik, namun penyebab terjadinya proteinuria belum
diketahui benar. Salah satu teori yang dapat menjelaskan adalah hilangnya muatan negatif yang biasanya terdapat di sepanjang endotel
kapiler glomerulus dan membran basal. Hilangnya muatan negatif tersebut menyebabkan albumin yang bermuatan negatif tertarik keluar
menembus sawar kapiler glomerulus. Terdapat peningkatan permeabilitas membrane basalis kapiler-kapiler glomeruli, disertai peningkatan
filtrasi
protein
plasma
dan
akhirnya
terjadi
proteinuria(albuminuria).
19
Beberapa
faktor
yang
turut
menentukan
derajat
Hipoalbuminemia
Plasma mengandung macam-macam protein, sebagian besar menempati ruangan ekstra vascular (EV). Plasma terutama terdiri dari albumin
yang berat molekul 69.000. Hepar memiliki peranan penting untuk sintesis protein bila tubuh kehilangan sejumlah protein, baik renal
maupun non renal. Mekanisme kompensasi dari hepar untuk meningkatkan sintesis albumin, terutama untuk mempertahankan komposisi
protein dalam ruangan ekstra vascular(EV) dan intra vascular(IV).
NORMAL
Sintesis albumin dalam hepar normal
SINDROM NEFROTIK
sintesis albumin meningkat
20
IV
EV
EV
IV
Walaupun sintesis albumin meningkat dalam hepar, selalu terdapat hipoalbuminemia pada setiap sindrom nefrotik. Keadaan
hipoalbuminemia ini mungkin disebabkan beberapa faktor :
o kehilangan sejumlah protein dari tubuh melalui urin (prooteinuria) dan usus (protein losing enteropathy)
o katabolisme albumin, pemasukan protein berkurang karena nafsu makan menurun dan mual-mual
o utilisasi asam amino yang menyertai penurunan faal ginjal
Bila kompensasi sintesis albumin dalam hepar tidak adekuat, plasma albumin menurun, keadaan hipoalbuminemia. Hipoalbuminemia ini
akan diikuti oleh hipovolemia yang mungkin menyebabkan uremia pre-renal dan tidak jarang terjadi oligouric acute renal failure. Penurunan
faal ginjal ini akan mengurangi filtrasi natrium Na+ dari glomerulus (glomerular sodium filtration) tetapi keadaan hipoalbuminemia ini akan
bertindak untuk mencegah resorpsi natrium Na+ kedalam kapiler-kapiler peritubular. Resorpsi natrium na+ secara peasif sepanjang Loop of
Henle bersamaan dengan resorpsi ion Cl- secara aktif sebagai akibat rangsangan dari keadaan hipovolemia. Retensi natrium dan air H2O
yang berhubungan dengan system rennin-angiotensin-aldosteron (RAA) dapat terjadi bila sindrom nefrotik ini telah memperlihatkan tandatanda aldosteronisme sekunder. Retensi natrium dan air pada keadaan ini (aldosteronisme) dapat dikeluarkan dari tubuh dengan pemberian
takaran tinggi diuretic yang mengandung antagonis aldosteron.
21
Edema
Hipoalbuminemia menyebabkan penurunan tekanan onkotik dari kapiler-kapiler glomeruli, diikuti langsung oleh difusi cairan kejaringan
interstisial, klinis dinamakan sembab. Penurunan tekanan onkotik mungkin disertai penurunan volume plasma dan hipovolemia.
Hipovolemia menyebabkan retensi natrium dan air. Proteinuria masih menyebabkan hipoalbuminemia dan penurunan tekanan onkotik dari
kapiler-kapiler glomeruli dan akhirnya terjadi sembab. Mekanisme sembab dari sindrom nefrotik dapat melalui jalur berikut :
-
Jalur langsung/direk
Penurunan tekanan onkotik dari kapiler glomerulus dapat langsung menyebabkan difusi cairan ke dalam jaringan interstisial dan
dinamakan sembab.
22
sebagai usaha kompensasi tubuh untuk menjaga agar volume dan tekanan intravaskuler tetap normal. Retensi cairan selanjutnya
mengakibatkan pengenceran plasma dan dengan demikian menurunkan tekanan onkotik plasma yang pada akhirnya mempercepat
ekstravasasi cairan ke ruang interstitial. Selain itu retensi natrium dan air juga menimbulkan peningkatan tekanan darah karena
peningkatan volume inravaskuler yang meningkatkan preload jantung.
Berkurangnya volume intravaskuler merangsang sekresi renin yang memicu rentetan aktivitas aksis renin-angiotensin-aldosteron
dengan akibat retensi natrium dan air, sehingga produksi urine menjadi berkurang, pekat dan kadar natrium rendah. Hipotesis ini dikenal
dengan teori underfill. Dalam teori ini dijelaskan bahwa peningkatan kadar renin plasma dan aldosteron adalah sekunder karena hipovolemia.
Tetapi ternyata tidak semua penderita sindrom nefrotik menunjukkan fenomena tersebut. Beberapa penderita sindrom nefrotik justru
memperlihatkan peningkatan volume plasma dan penurunan aktivitas renin plasma dan kadar aldosteron, sehingga timbullah konsep baru
yang disebut teori overfill. Menurut teori ini retensi renal natrium dan air terjadi karena mekanisme intrarenal primer dan tidak tergantung
pada stimulasi sistemik perifer. Retensi natrium renal primer mengakibatkan ekspansi volume plasma dan cairan ekstraseluler. Pembentukan
edema terjadi sebagai akibat overfilling cairan ke dalam kompartemen interstitial. Teori overfill ini dapat menerangkan volume plasma yang
meningkat dengan kadar renin plasma dan aldosteron rendah sebagai akibat hipervolemia. Pembentukan sembab pada sindrom nefrotik
merupakan suatu proses yang dinamik dan mungkin saja kedua proses underfill dan overfill berlangsung bersamaan atau pada waktu
berlainan pada individu yang sama, karena patogenesis penyakit glomerulus mungkin merupakan suatu kombinasi rangsangan yang lebih dari
satu.
Hiperlipidemia muncul akibat penurunan tekanan onkotik, disertai pula oleh penurunan aktivitas degradasi lemak karena hilangnya aglikoprotein sebagai perangsang lipase. Apabila kadar albumin serum kembali normal, baik secara spontan ataupun dengan pemberian infus
albumin, maka umumnya kadar lipid kembali normal.
23
Manifestasi Klinis
Apapun tipe sindrom nefrotik, edema tampak pada sekitar 95% anak dengan sindrom nefrotik. Seringkali sembab timbul secara lambat
sehingga keluarga mengira sang anak bertambah gemuk. Pada fase awal sembab sering bersifat intermiten; biasanya awalnya tampak pada
daerah-daerah yang mempunyai resistensi jaringan yang rendah (misal, daerah periorbita, skrotum atau labia). Akhirnya sembab menjadi
menyeluruh dan masif (anasarka).
24
Sembab berpindah dengan perubahan posisi, sering tampak sebagai sembab muka pada pagi hari waktu bangun tidur, dan kemudian
menjadi bengkak pada ekstremitas bawah pada siang harinya. Bengkak bersifat lunak, meninggalkan bekas bila ditekan (pitting edema). Pada
penderita dengan sembab hebat, kulit menjadi lebih tipis dan mengalami oozing. Sembab biasanya tampak lebih hebat pada pasien SNKM
dibandingkan pasien-pasien GSFS atau GNMP. Hal tersebut disebabkan karena proteinuria dan hipoproteinemia lebih hebat pada pasien SNKM.
Gangguan gastrointestinal sering timbul dalam perjalanan penyakit sindrom nefrotik. Diare sering dialami pasien dengan sembab masif
yang disebabkan sembab mukosa usus. Hepatomegali disebabkan sintesis albumin yang meningkat, atau edema atau keduanya. Pada beberapa
pasien, nyeri perut yang kadang-kadang berat, dapat terjadi pada sindrom nefrotik yang sedang kambuh karena sembab dinding perut atau
pembengkakan hati. Nafsu makan menurun karena edema. Anoreksia dan terbuangnya protein mengakibatkan malnutrisi berat terutama pada
pasien sindrom nefrotik resisten-steroid. Asites berat dapat menimbulkan hernia umbilikalis dan prolaps ani.
Oleh karena adanya distensi abdomen baik disertai efusi pleura atau tidak, maka pernapasan sering terganggu, bahkan kadang-kadang
menjadi gawat. Keadaan ini dapat diatasi dengan pemberian infus albumin dan diuretik.
Anak sering mengalami gangguan psikososial, seperti halnya pada penyakit berat dan kronik umumnya yang merupakan stres
nonspesifik terhadap anak yang sedang berkembang dan keluarganya. Kecemasan dan merasa bersalah merupakan respons emosional, tidak saja
pada orang tua pasien, namun juga dialami oleh anak sendiri. Kecemasan orang tua serta perawatan yang terlalu sering dan lama menyebabkan
perkembangan dunia sosial anak menjadi terganggu. Manifestasi klinik yang paling sering dijumpai adalah sembab, didapatkan pada 95%
penderita. Sembab paling parah biasanya dijumpai pada sindrom nefrotik tipe kelainan minimal (SNKM). Bila ringan, sembab biasanya terbatas
pada daerah yang mempunyai resistensi jaringan yang rendah, misal daerah periorbita, skrotum, labia. Sembab bersifat menyeluruh, dependen
dan pitting. Asites umum dijumpai, dan sering menjadi anasarka. Anak-anak dengan asites akan mengalami restriksi pernafasan, dengan
kompensasi berupa tachypnea. Akibat sembab kulit, anak tampak lebih pucat.
25
Hipertensi dapat dijumpai pada semua tipe sindrom nefrotik. Penelitian International Study of Kidney Disease in Children (SKDC)
menunjukkan 30% pasien SNKM mempunyai tekanan sistolik dan diastolik lebih dari 90th persentil umur.
Tanda utama sindrom nefrotik adalah proteinuria yang masif yaitu > 40 mg/m 2/jam atau > 50 mg/kg/24 jam; biasanya berkisar antara 110 gram per hari. Pasien SNKM biasanya mengeluarkan protein yang lebih besar dari pasien-pasien dengan tipe yang lain.
Reaksi Ag-ab
Peradangan glomerulus
Proteinuria
Hipoalbuminemia
Tekanan osmotik
Lipid serum
26
Kapiler menurun
meningkat
Transudasi ke
Dalam interstisium
hipovolemia
ADH meningkat
GFR menurun
aldesteron
meningkat
Retensi
Na+ & H2O
edema
27
Hipoalbuminemia merupakan tanda utama kedua. Kadar albumin serum < 2.5 g/dL. Hiperlipidemia merupakan gejala umum pada
sindrom nefrotik, dan umumnya, berkorelasi terbalik dengan kadar albumin serum.
Kadar kolesterol LDL dan VLDL meningkat, sedangkan kadar kolesterol HDL menurun. Kadar lipid tetap tinggi sampai 1-3 bulan
setelah remisi sempurna dari proteinuria. Hematuria mikroskopik kadang-kadang terlihat pada sindrom nefrotik, namun tidak dapat dijadikan
petanda untuk membedakan berbagai tipe sindrom nefrotik. Fungsi ginjal tetap normal pada sebagian besar pasien pada saat awal penyakit.
Penurunan fungsi ginjal yang tercermin dari peningkatan kreatinin serum biasanya terjadi pada sindrom nefrotik dari tipe histologik yang bukan
SNKM.
Tidak perlu dilakukan pencitraan secara rutin pada pasien sindrom nefrotik. Pada pemeriksaan foto toraks, tidak jarang ditemukan adanya
efusi pleura dan hal tersebut berkorelasi secara langsung dengan derajat sembab dan secara tidak langsung dengan kadar albumin serum. Sering
pula terlihat gambaran asites. USG ginjal sering terlihat normal meskipun kadang-kadang dijumpai pembesaran ringan dari kedua ginjal dengan
ekogenisitas yang normal.
Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.
I.
Anamnesis
Keluhan yang sering ditemukan adalah bengkak di kedua kelopak mata, perut, tungkai, atau seluruh tubuh dan dapat disertai jumlah urin
yang berkurang. Keluhan lain juga dapat ditemukan seperti urin berwarna kemerahan.
28
II.
Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik sindrom nefrotik dapat ditemukan edema di kedua kelopak mata, tungkai, atau adanya asites dan edema
skrotum/labia. Kadang-kadang ditemukan hipertensi.
III.
Pemeriksaan penunjang
Pada urinalisis ditemukan proteinuria masif (3+ sampai 4+), dapat disertai hematuria. Pada pemeriksaan darah didapatkan
hipoalbuminemia (< 2,5 g/dl), hiperkolesterolemia, dan laju endap darah yang meningkat, rasio albumin/globulin terbalik. Kadar ureum
dan kreatinin umumnya normal kecuali ada penurunan fungsi ginjal.
Diagnosis Banding
Sembab non-renal : gagal jantung kongestif, gangguan nutrisi, edema hepatal.
Glomerulonefritis akut
Lupus sistemik eritematosus.
Penyulit
29
Tabel 2. Istilah yang menggambarkan respons terapi steroid pada anak dengan sindrom
Penatalaksanaan
nefrotik
Remisi
Kambuh
memulai
terapi
kortikosteroid,
Kambuh < 2 kali dalam masa 6 bulan, atau < 4 kali dalam periode 12
bulan.
Responsif-steroid
Dependen-steroid
Protokol Pengobatan
Resisten-steroid
in
Children
(ISKDC)
Responder lambat
Nonresponder awal
Nonresponder lambat
30
pemberian
prednison
oral
(induksi)
sebesar 60 mg/m2/hari dengan dosis maksimal 80 mg/hari selama 4 minggu, kemudian dilanjutkan dengan dosis rumatan sebesar 40 mg/m 2/hari
secara selang sehari dengan dosis tunggal pagi hari selama 4 minggu, lalu setelah itu pengobatan dihentikan.10
A.
antihipertensi.
o Terapi prednison sebaiknya baru diberikan selambat-lambatnya 14 hari setelah diagnosis sindrom nefrotik ditegakkan untuk memastikan apakah
penderita mengalami remisi spontan atau tidak. Bila dalam waktu 14 hari terjadi remisi spontan, prednison tidak perlu diberikan, tetapi bila
dalam waktu 14 hari atau kurang terjadi pemburukan keadaan, segera berikan prednison tanpa menunggu waktu 14 hari.
31
B.
32
33
34
Prognosis
Prognosis umumnya baik, kecuali pada keadaan-keadaan sebagai berikut :
Menderita untuk pertamakalinya pada umur di bawah 2 tahun atau di atas 6 tahun.
Disertai oleh hipertensi.
Disertai hematuria.
Termasuk jenis sindrom nefrotik sekunder.
Gambaran histopatologik bukan kelainan minimal.
Pada umumnya sebagian besar (+ 80%) sindrom nefrotik primer memberi respons yang baik terhadap pengobatan awal dengan steroid, tetapi
kira-kira 50% di antaranya akan relapse berulang dan sekitar 10% tidak memberi respons lagi dengan pengobatan steroid
35
Hipoalbumin
Kadar albumin yang redah/atau dibawah nilai normal atau keadaan dimana kadar albumin serum <3,5 g/dL.
Klasifikasi
Defisiensi albumin atau hipoalbumin dibedakan berdasarkan selisih atau jarak dari nilai normal kadar albumin serum, yaitu 3,5-5 g/dL
atau total kandungan albumin dalam tubuh 300-500 gram. Klasifikasi hipoalbuminemia adalah sebagai berikut:
a. Hipoalbuminemia ringan: 3,5-3,9 g/dL
b. Hipoalbuminemia sedang: 2,5-3,5 g/dL
c. Hipoalbuminemia berat: < 2,5 g/dL
Etiologi
Hipoalbuminemia dapat disebabkan oleh masukan protein yang rendah, pencernaan atau absobsi protein yang tidak adekuat dan
peningkatan kehilangan protein dapat ditemukan pada pasien dengan kondisi medis kronis dan akut, yaitu: KEP, kanker, Peritonitis, Luka bakar,
Sepsis, Luka akibat pre atau post operasi, Penyakit hati yang akut atau penyakit hati kronis, Penyakit ginjal, Penyakit saluran cerna kronik,
Radang atau infeksi tertentu, DM dan TBC paru.
36
DAFTAR PUSTAKA
1. Chesney RW. The idiopathic nephrotic syndrome. Curr Opin Pediatr 2009;11:158-61.
2. International Study of Kidney Disease in Children. Nephrotic syndrome in children. Prediction of histopathology from clinical and
laboratory chracteristics at time of diagnosis. Kidney Int 1998 13:159.
3. Wila Wirya IG. Sindrom nefrotik. In: Alatas H, Tambunan T, Trihono PP, Pardede SO, editors. Buku Ajar Nefrologi Anak. Edisi-2.
Jakarta: Balai Penerbit FKUI 2002. pp. 381 426.
4. Feehally J, Johnson RJ. Introduction to Glomerular Disease: Clinical Presentations. In: Johnson RJ, Feehally J, editors. Comprehensive
Clinical Nephrology. London: Mosby; 2002; p.5:21.1-4.
5. Wila Wirya IGN. Penelitian beberapa aspek klinis dan patologi anatomis sindrom nefrotik primer pada anak di Jakarta. Disertasi. Jakarta:
Universitas Indonesia 2002.
6. Noer MS. Sindrom Nefrotik. In: Putra ST, Suharto, Soewandojo E, editors. Patofisiologi Kedokteran. Surabaya: GRAMIK FK
Universitas Airlangga. 1997. p. 137 46.
7. A Report of the International Study of Kidney Disease in Children. The primary nephrotic syndrome in children: Identification of patients
with minimal change nephrotic syndrome from initial response to prednison. J Pediatr 1991;98:561.
8. Kaysen GA. Proteinuria and the nephrotic syndrome. In: Schrier RW, editor. Renal and electrolyte disorders. 4 th edition. Boston: Little,
Brown and Company 2002; pp. 681 726.
37
9. Travis L. Nephrotic syndrome. Emed J [on line] 2002, 3: 3 [2002 Mar 18] [(20) : screens]. Available from:
http//www.emedicine.com/PED/topic1564.html
10. Behrman Richard E, Kliegman Robert, Nelson Waldo E, Vaughan Victor C. nelson textbook of pediatrics. 17th edition. EGC. Jakarta:
2000
11. Rahajoe. NN, dkk. Buku Ajar Respirologi Anak Edisi 1 cetakan Pertama IDAI; Jakarta: IDAI 2002; p.350 365.
38