Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

.1 Latar Belakang
Bronkiektasis adalah suatu keadaan bronkus atau bronkiolus yang melebar
akibat hilangnnya sifat elastisitas dinding otot bronkus yang dapat disebabkan
oleh obstruksi dan peradangan yang kronis, atau dapat pula disebabkan oleh
kelainan kongenital yang dikenal sebagai sindrom Kartagener, yaitu sindrom yang
terdiri atas bronkiektasis, sinusitis, dan destrokardia.1
Di negara-negara Barat, insidens bronkiektasis diperkirakan sebanyak
1,3% diantara populasi. Insidens bronkiaktasi cenderung menurun dengan adanya
kemajuan pengobatan antibiotik.2
Di Indonesia belum ada laporan tentang angka-angka yang
pasti mengenai penyakit ini. Kenyataannya penyakit ini cukup
sering ditemukan di rumah sakit dan di klinik-klinik dan diderita
oleh laki-laki maupun perempuan. Penyakit ini dapat diderita
mulai sejak anak-anak, bahkan dapat merupakan kelainan
kongenital. 2

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1

Definisi
Bronkiektasis didefenisikan sebagai suatu keadaan dimana

terdapat dilatasi ireversibel dari bronkus. Faktor penyebab utama


kemungkinannya adalah obstruksi yang menyebabkan dilatasi
bronkial

di

bagian

distal

dan

infeksi

yang

menyebabkan

kerusakan permanen dinding bronkus.3


Bronkiektasis

digambarkan

sebagai

kombinasi

proses

kongenital dan didapat yang dikarakteristikkan oleh inflamasi


yang mengakibatkan penggantian mukosa bronkial oleh jaringan
parut fibrosa. Proses ini menimbulkan destruksi bronkus dan
dilatasi permanen bronkus serta bronkiolus.4

2.2 Etiologi
1. Kelainan Kongenital
Dalam hal ini bronkiektasis terjadi sejak individu masih dalam kandungan.
Faktor genetik atau faktor pertumbuhan dan perkembangan fetus memegang peran
penting. Bronkiektasis yang timbul kongenital mempunyai ciri sebagai berikut :

a. Bronkiektasis mengenai hampir seluruh cabang bronkus pada satu


atau kedua paru.
b. Bronkiektasis kongenital sering menyertai penyakit-penyakit
kongenital lainnya, misalnya: Mucoviscidosis (Cystic pulmonary
fibrosis), sindroma kartagener (Bronkiektasis kongenital, sinusitis,
paranasal dan sinus inversus), hipo atau agamaglobulinemia,
bronkiektasis pada anak kembar satu telur (anak yang satu dengan
bronkiektasis,

ternyata

saudara

kembarnya

juga

menderita

bronkiektasis), bronkiektasis sering bersamaan dengan kelainan


kongenital berikut:
- Tidak adanya tulang rawan bronkus
- Penyakit jantung bawaan
- Kifoskoliosis kongenital
2. Kelainan Didapat
Bronkiektasis sering merupakan kelainan didapat dan kebanyakan
merupakan akibat proses berikut:
a. Infeksi
Bronkiektasis sering terjadi sesudah seseorang anak menderita
pneumonia yang sering kambuh dan berlangsung lama. Pneumonia ini
umumnya merupakan komplikasi pertusis maupun influenza yang
diderita semasa anak, tuberculosis paru dan sebagainya.
b. Obstruksi Bronkus
Ostruksi bronkus yang dimaksudkan disini dapat disebabkan oleh
berbagai macam sebab:
- Korpus alienum
- Karsinoma bronkus
- Tekanan dari luar lainnya terhadap bronkus

Menurut penelitian para ahli diketahui bahwa adanya infeksi ataupun


obstruksi bronkus tidak selalu secara nyata (automatis) menimbulkan
bronkiektasis. Oleh karenanya diduga mungkin masih ada faktor
intrinsik ikut berperan dalam timbulnya bronkiektasis. 2
2.3 Patofisiologi
Patogenesis bronkiektasis tergantung faktor penyebabnya. Apabila
bronkiektasis timbul kongenital, patogenesisnya tidak diketahui, diduga erat
hubungannya dengan faktor genetik serta faktor pertumbuhan dan perkembangan
fetus dalam kandungan. Pada bronkiektasis yang didapat, patogenesisnya diduga
melalui beberapa mekanisme. Ada beberapa faktor yang diduga ikut berperan,
antara lain:
-

Faktor obstruksi bronkus


Faktor infeksi pada bronkus atau paru
Faktor adanya beberapa penyakit tertentu seperti fibrosis paru,

asthmatic pulmonary eosinophilia


Faktor intrinsik dalam bronkus atau paru.

Patogenesis pada kebanyakan bronkiektasis yang didapat, diduga melalui


dua mekanisme, yaitu:
1. Permulaannya didahului adanya faktor infeksi bakteri
Mula-mula karena adanya infeksi pada bronkus atau paru, kemudian
timbul bronkiektasis. Mekanisme kejadinnya sangat rumit. Secara ringkas dapat
dikatakan bahwa infeksi pada bronkus atau paru, akan diikuti proses destruksi
dinding bronkus daerah infeksi dan kemudian timbul bronkiektasis.
2. Permulaannya didahului adanya obstruksi bronkus

Adanya obstruksi bronkus oleh beberapa penyebab (misalnya tuberculosis


kelenjar limfe pada anak, karsinoma bronkus, korpus alienum dalam bronkus)
akan diikuti terbentuknya bronkiektasis. Pada bagian distal obstruksi biasanya
akan terjadi infeksi dan destruksi bronkus, kemudian terjadi bronkiektasis.
Pada bronkiektasis didapat, pada keadaan yang amat jarang, dapat terjadi
atau timbul setelah masuknya bahan kimia korosif (biasanya bahan hidrokarbon)
kedalam saluran nafas, dan karena terjadinya aspirasi berulang bahan/cairan
lambung kedalam paru.
Bronkiektasis merupakan penyakit paru yang mengenai bronkus dan
sifatnya kronik. Keluhan- keluhan yang timbul juga berlangsung kronik dan
menetap. Keluhan- keluhan yang timbul berhubungan erat dengan:
- Luas atau banyaknya bronkus yang terkena
- Tingkatan beratnya penyakit
- Lokasi bronkus yang terkena
- Ada atau tidak adanya komplikasi lanjut
Pada bronkiektasis, keluhan-keluhan biasanya timbul sebagai akibat
adanya beberapa hal berikut:
-

Adanya kerusakan dinding bronkus


Adanya kerusakan fungsi bronkus
Adanya akibat lanjut bronkiektasis atau komplikasi dan sebagainya

Kerusakan dinding bronkus berupa dilatasi dan distorsi dinding bronkus,


kerusakan elemen elastik, tulang rawan, otot-otot polos, mukosa dan silia.
Kerusakan tersebut akan menimbulkan stasis sputum , gangguan ekspetorasi,
gangguan refleks batuk dan sesak nafas. 2
2.4

Manifestasi Klinis

Keluhan biasanya berupa sesak, batuk kronis dengan sekret yang banyak
dan kental, sering disertai bau nafas tak sedap (fetor). kadang-kadang bercampur
darah (hemoptisis). Pada pemeriksaan fisik ditemukan suara nafas yang kasar dan
ronki basah kasar. 1
2.5

Pemeriksaan Diagnostik

1. Foto Thorax
Tampak gambaran berupa bronkovaskular yang kasar yang umumnya
terdapat di lapangan bawah paru, atau gambaran garis-garis translusen yang
panjang menuju ke hilus dengan bayangan konsolidasi disekitarnya (tram-line/
tram-track, kadang-kadang juga bisa berupa bulatan-bulatan translusen yang
sering dikenal sebagai gambaran sarang tawon (honey comb appearance).1

Sumber : Perera, P.L dan Screaton, N.J. Radiological Features Of Bronchiectasis. UK :


European Respiratory Monograph. Hal ; 44-54. 2011.5

2. Bronkografi
Sering bronkiektasis yang dicurigai tidak ditemukan kelainan pada
pemeriksaan foto thorax polos, untuk itu perlu dilakukan pemeriksaan
bronkografi. Pemeriksaan bronkogram selain dapat menentukan adanya
bronkiektasis, juga dapat menentukan bentuk-bentuk bronkiektasis seperti bentuk
silindris (tubulus, fusiform), sakuler (kistik) dan varikosis.1

3.

CT-Scan Thorax HRCT (High Resolution Computed Tomography)


CT-Scan dengan resolusi tinggi dengan jelas memperlihatkan dilatasi

bronkus dan penebalan dinding bronkus. Hasil temuan khas berupa tanda signet
ring yaitu bronkus berdinding tebal yang tampak lebih besar dari pembuluh darah
sekitarnya.6

2.6 Penatalaksanaan Bronkiektasis


Pengelolaan pasien bronkiektasis terdiri atas dua kelompok yaitu
pengobatan konservatif dan pengobatan pembedahan. Pengobatan konservatif
terdiri atas pengelolaan umum, pengelolaan khusus dan pengelolaan simtomatik.
1. Pengobatan Konservatif

Pengelolaan Umum
Pengelolaan umum ditujukan terhadap semua pasien bronkoektasis,
meliputi :
a. Menciptakan lingkungan yang baik dan tepat bagi pasien. Contoh :
1. Membuat ruangan hangat, udara ruangan kering.
2. Mencegah/menghentikan merokok.
3. Mencegah/menghindari debu, asap dan sebagainya.
b. Memperbaiki drainase sekret bronkus.
Cara yang baik dikerjakan sebagai berikut :
1. Melakukan drainase postural, tindakan ini merupakan cara yang paling
efektif untuk mrngurangi gejala, tetapi harus dikerjakan secara terus
menerus. Pasien diletakkan dengan posisi tubuh sedemikian rupa
sehingga dapat dicapai drainase sputum secara maksimal. Tiap kali
melakukan drainase postural dikerjakan selama 10-20 menit dan tiap hari
dikerjakan 2 sampai 4 kali. Prinsip drainase postural ini adalah usaha
mengeluarkan sputum (sekret bronkus) dengan bantuan gaya gravitasi.
Umtuk keperluan tersebut, posisi tubuh saat dilakukan drainase postural
harus disesuaikan dengan letak kelainan bronkoektasisnya. Tujuan
membuat posisi tubuh seperti yang dipilih tadi adalah untuk
menggerakkan sputum dengan pertolongan gaya gravitasi agar menuju ke
hilus paru bahkan mengalir sampai ke tenggorok sehingga mudah di
batukkan ke luar. Drainase postural tiap kali dikerjakan selama 10-20
menit atau sampai sputum tidak keluar lagi. Apabila dengan mengatur

posisi tubuh pasien seperti tersebut di atas belum diperoleh drainase


sputum secara maksimal dapat dibantu dengan tindakan memberikan
ketukan jari pada punggung pasien (tabotage).
2. Mencairkan sputum yang kental. Hal ini dapat dilakukan dengan jalan,
misalnya inhalasi uap air panas atau dingin (menurut keadaan),
menggunakan obat-obatan mukolitik dan perbaikan hidrasi tubuh.
3. Mengatur posisi tempat tidur pasien. Posisi tempat tidur pasien sebaiknya
diatur sedemikian rupa sehingga posisi tidur pasien dapat memudahkan
drainase sekret bronkus. Hal ini dapat dicapai misalnya dengan
mengganjal kaki tempat tidur bagian kaki pasien (disesuaikan menurut
kebutuhan) sehingga diperoleh posisi pasien yang sesuai untuk
memudahkan drainase sputum.
4. Mengontrol infeksi saluran nafas. Adanya infeksi saluran nafas akut
(ISPA) harus diperkecil dengan jalan mencegah pemajanan kuman.
Apabila telah ada infeksi (ISPA) harus diberantas dengan antibiotik yang
sesuai agar infeksi tidak berkelanjutan. Apabila ada sinusitis harus
disembuhkan.
Pengelolaan Khusus
a. Kemoterapi pada bronkiektasis
Kemoterapi pada bronkiekatsis dapat digunakan :
1. Secara kontinyu untuk mengontrol infeksi bronkus (ISPA).
2. Untuk pengobatan eksaserbasi infeksi akut pada bronkus/paru.
3. Atau keduanya.

10

Kemoterapi di sini menggunakan obat antibiotik tertentu (terpilih).


Pemilihan antibiotik mana yang harus dipakai sebaiknya harus berdasarkan hasil
uji sensitivitas kuman terhadap antibiotik atau menggunakan pengobatan
antibiotik secara empirik.
Walaupun kemoterapi jelas kegunaannya pada pengelolaan bronkoektasis,
tidak setiap pasien harus diberikan antibiotik. Antibiotik hanya diberikan kalau
diperlukan saja, yaitu apabila terdapat eksaserbasi infeksi akut. Antibiotik
diberikan hanya selama 7-10 hari, terapi tunggal atau kombinasi beberapa
antibiotik, sampai kuman penyebab infeksi terbasmi atau sampai terjadi konversi
warna sputum yang semula berwarna kuning/hijau menjadi mukoid (jernih putih).
Selanjutnya ada yang memberikan dosis pemeliharaan. Ada yang
berpendapat bahwa kemoterapi dengan antibiotik ini apabila akan berhasil akan
mengurangi gejala batuk, jumlah sputum dan gejala lainnya terutama pada saat
ada eksaserbasi akut, tetapi keadaan ini hanya bersifat sementara.
b. Drainase sekret dengan bronkoskop
Cara ini penting dikerjakan terutama pada permulaan perawatan pasien.
Keperluannya antara lain adalah untuk :
1. Menentukan dari mana asal sekret (sputum).
2. Mengidentifikasi stenosis atau obstruktif bronkus.
3. Menghilangkan obstruksi bronkus dengan suction drainage daerah
obstruksi tadi (misalnya pada pengobatan atelektasis paru).
Pengelolaan Simtomatik
Pengobatan lain yang perlu ditambahkan adalah pengobatan simtomatik.
Sesuai dengan namanya, pengobatan ini hanya diberikan kalau timbul simtom
yang mungkin mengganggu atau membahayakan pasien.

11

Pengobatan obstruksi bronkus. Apabila ditemukan tanda obstruksi bronkus


yang diketahui dari hasil uji faal paru (% VEP1< 70%) dapat diberikan
obat bronkodilator. Sebaiknya sewaktu dilakukan uji faal paru dan
diketahui adanya tanda obstruksi saluran nafas sekaligus dilkukan tes
terhadap obat bronkodilator. Apabila tes bronkodilator positif, pasien perlu

diberikan obat bronkodilator tersebut.


Pengobatan hipoksia. Pada pasien yang mengalami hipoksia (terutama
pada saat terjadinya eksaserbasi infeksi akut) perlu diberikan oksigen.
Apabila pada pasien telah terdapat komplikasi bronkitis kronik, pemberian

oksigen harus hati-hati, harus dengan aliran rendah (cukup 1 liter/menit).


Pengobatan hemoptisis. Apabila terjadi hemoptisis, tindakan yang perlu
segera diberikan adalah upaya menghentikan perdarahan tersebut. Kadangkadang sulit menghentikan perdarahan ini. Telah banyak dilaporkan oleh
para peneliti hasil pengobatan hemoptisis ini dengan obat-obatan
hemostatik. Dicatat hasilnya sangat baik (memuaskan), walaupun sulit
diketahui mekanisme kerja obat-obatan tersebut dalam menghentikan
perdarahan. Apabila perdarahan cukup banyak (masif), mungkin
merupakan perdarahan arterial yang memerlukan tindakan operatif segera
untuk menghentikan perdarahannya, dan sementara harus diberikan

transfusi darah untuk mengganti darah yang telah hilang.


Pengobatan demam. Pada pasien yang mengalami eksaserbasi infeksi akut
sering terdapat demam, lebih-lebih kalau terjadi septikemia. Pada keadaan
ini selain perlu diberikan antibiotik yang sesuai, dosis cukup, perlu
diberikan obat antipiretik seperlunya.

2. Pengobatan Pembedahan
12

Tujuan pembedahan yaitu mengangkat (reseksi) segmen/lobus paru yang


terkena (terdapat bronkiektasis).
Indikasi pembedahan :
1. Pasien bronkoektasis yang terbatas dan resektabel, yang tidak
berespon terhadap tindakan-tindakan konservatif yang adekuat.
Pasien perlu dipertimbangkan untuk operasi.
2. Pasien bronkoektasis yang terbatas, tetapi sering mengalami infeksi
berulang atau hemoptisis yang berasal dari daerah tersebut. Pasien
dengan hemoptisis masif seperti ini mutlak perlu tindakan operasi.
Kontaindikasi :
1. Pasien bronkoektasis dengan PPOK
2. Pasien bronkoektasis berat.
3. Pasien bronkoektasis dengan komplilkasi korpulmonal kronik
dekompensata.
Syarat-syarat operasi :
1. Kelainan (bronkoektasis) harus terbatas dan resektabel.
2. Daerah paru yang terkena telah mengalami perubahan yang
ireversibel.
3. Bagian paru yang lain harus masih baik, misalnya tidak boleh ada
bronkiektasis atau bronkitis kronik.
Cara operasi :
1. Operasi elektif : pasien-pasien yang memenuhi indikasi dan tidak
terdapat kontraindikasi, yang gagal dalam pengobatan konservatif

13

dipersiapkan secara baik untuk operasi. Umumnya operasi


barhasilbaik apabila syarat dan persiapan operasinya baik.
2. Operasi paliatif : ditujukan pada pasien dengan bronkiektasis yang
mengalami

keadaan

gawat

darurat

paru, misalnya

terjadi

hemoptisis masif (perdarahan arterial) yang memenuhi syaratsyarat dan tidak terdapat kontraindikasi operasi. Oleh karena
persiapan kurang baik, biasanya cara ini jarang memberikan hasil
yang baik.
Persiapan operasi :
1. Pemeriksaan faal paru : pemeriksaan spirometri, analisis gas darah
(kalau perlu), pemeriksaan bronkospirometri (uji fungsi paru
regional).
2. Scanning dan USG (bila ada fasilitasnya).
3. Meneliti ada tidaknya kontraindikasi operasi pada pasien.
4. Memperbaiki keadaan umum pasien.2
Penatalaksanaan

bronkiektasis

bertujuan

untuk

mengupayakan

pengeluaran dan mengurangi sekresi dahak dengan cara drainase postural serta
mencegah terjadinya infeksi. Upaya drainase dahak tergantung pada jumlah dahak
yang diproduksi, namun sebaiknya dilakukan paling tidak dua kali sehari, yaitu
pada saat bangun tidur di pagi hari dan pada saat akan tidur malam. Sering kali
diperlukan penggetaran dinding dada agar dahak mudah keluar yaitu dengan cara
memukul punggung.

14

Infeksi

pada

bronkoektasis

memerlukan

pemberian

antibiotik.

Kortikosteroid perlu diberikan pada pasien yang disertai obstruksi saluran


pernafasan.
Pada bronkiektasis yang parah, mungkin diperlukan pembedahan paru,
yaitu berupa reseksi bagian yang rusak. Selain itu, juga dapat dilakukan
transplantasi kedua buah paru pada pasien yang berumur di bawah 60 tahun yang
mempunyai FEV1 kurang dari 30% dari predicted.7

2.7 Pencegahan Bronkiektasis


Timbulnya bronkiektasis sebenarnya dapat dicegah, kecuali pada bentuk
kongenital tidak dapat dicegah. Menurut kepustakaan dicatat beberapa usaha
untuk pencegahan terjadinya bronkiektasis, antara lain2 :
1) Pengobatan dengan antibiotik atau cara-cara lain secara tepat
terhadap semua bentuk pneumonia yang timbul pada anak, akan
dapat mencegah (mengurangi) timbulnya bronkiektasis.
2) Tindakan vaksinasi terhadap pertusis dan lain-lain (influenza,
pneumonia) pada anak dapat pula diartikan sebahgai tindakan
preventif terhadap timbulnya bronkiektasis.
2.8

Prognosis
Prognosis pasien bronkiektasis tergantung berat ringannya serta luasnya

penyakit waktu pasien berobat pertama kali. Pemilihan pengobatan secara tepat
(konservatif ataupun pembedahan) dapat memperbaiki prognosis penyakit.2
15

Pada kasus-kasus berat dan tidak diobati prognosisnya jelek, survivalnya


tidak akan lebih dari 5-15 tahun. Kematian pasien tersebut biasanya karena
pneumonia, empiema, payah jantung kanan, hemoptisis, dan lain-lain.pada kasuskasus tanpa komplikasi bronkitis kronis berta dan difus biasanya disabilitasnya
yang ringan.2

BAB III
KESIMPULAN

Bronkiektasis adalah suatu kelainan yang permanen dimana terjadi dilatasi


bronkus. Pada bronkus yang rusak adalah otot bronkusnya sehingga bronkus
kehilangan fleksibilitasnya. Selain itu pada bronkus dapat pula terjadi luka yang
dapat menimbulkan infeksi sehingga menyebabkan fibroblas membentuk jaringan
parut di bronkus. Ciri khas dari bronkiektasis ini adalah batuk kering lama (dry
bronkiektasis) , hemoptosis (50-70% kasus), lemas, penurunan berat badan,
mialgia, dispneu, mengi, demam berulang, nyeri dada pleuritik
Tindakan pencegahan infeksi adalah dengan fisioterapi (postural drainage).
Bila terjadi infeksi, maka dapat diberikan antibiotik berdasarkan test resistensi.
Antibiotik adalah merupakan pilihan utama. Pemilihan antibiotik didapatkan

16

berdasrakan atas hasil tes resistensi bakteri. Kuman yang seringa menginfeksi
bronkiektasis adalah Haemophilus Influenza dan Strepcococcus Pneumoni.

RUJUKAN

Rasad, Sjahrar. Radiologi Diagnostik. Edisi Kedua. Jakarta: Departemen

Radiologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia RSCM. Hal: 110. 2015.


Rahmatullah P. Bronkiektasis. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi

3
4

V. Jakarta : Balai Penerbit FK UI. Hal 2297-2304. 2009.


Patel, P.R. Lecture Notes Radiologi. Edisi Kedua. Jakarta : EMS. 2006.
Tambayong, J. Patofisiologi : Gangguan Fungsi Pernafasan. Jakarta : EGC.

Hal : 103. 2000.


Perera, P.L dan Screaton, N.J. Radiological Features Of Bronchiectasis. UK :

6
7

European Respiratory Monograph. Hal ; 44-54. 2011.


Davey, Patrick. Medicine At a Glance. Jakarta : Erlangga. Hal ; 91-92. 2005.
Djojodibroto, Darmanto. Respirologi (Respiratory Medicine). Jakarta : EGC.
2009.

17

Anda mungkin juga menyukai