Anda di halaman 1dari 7

Jalan Sosialisme Hugo Chavez Melalui Proyeksi Politik

Populisme
indoprogress.com/2016/07/jalan-sosialisme-hugo-chavez-melalui-proyeksi-politik-populisme/

Harian Indoprogress

SETELAH lebih tiga tahun wafatnya Presiden Venezuela Hugo Chavez dan rakyat Venezuela tengah menghadapi
krisis ekonomi yang mengkhawatirkan, kalangan sosialis agaknya enggan untuk membicarakan kembali tentang
Venezuela. Satu hal yang tak dapat dipungkiri, meskipun saat ini tengah menghadapi krisis sosial, pengalaman
sosialisme Venezuela yang diawali pada masa kepemimpinan Hugo Chavez menjelaskan bahwa masih
mungkinnya proyeksi politik demokrasi dibangun di luar model demokrasi liberal-kapitalisme pasar bebas. Karakter
demokrasi yang mampu memajukan partisipasi politik rakyat dalam urusan-urusan publik, membangun kesadaran
politik rakyat untuk mendemokratisasikan ruang-ruang ekonomi dan politik, serta menghantam kekuatan minoritas
ekonomi-politik oligarkhis yang menghalangi pemenuhan partisipasi politik rakyat dalam wilayah ekonomi dan
politik.
Pasca kemenangan Pemilu 1998, Hugo Chavez membawa Venezuela lepas dari desain neoliberalisme dan rezim
politik oligarkhis (tatanan rezim yang ditandai oleh aliansi bisnis-politik kelompok-kelompok minoritas elite yang
meminggirkan lapisan mayoritas kelas bawah) yang dibangun melalui pakta politik puntofujismo sejak 1958. Pakta
politik Puntofujisme adalah sebuah pakta kesepakatan elite politik pasca pemerintahan militer pasca-kemerdekaan,
yang menjaga kepentingan ekonomi-politik dari kalangan militer elite dominan partai, Gereja Katholik (di luar
pendukung teologi pembebasan), dan serikat dagang yang secara bertahap meminggirkan kepentingankepentingan dari kelas popular di Venezuela (Julia Buxton 2009, 149-151).
Tulisan ini menjelaskan bahwa jalan Chavez untuk membawa Venezuela menuju sosialisme dibangun melalui
trajektori politik populisme. Pengertian politik populisme dalam artikel ini diinspirasi oleh teoritisi Marxis asal
Argentina Ernesto Laclau (1977; 143-198) dalam karyanya Politics and Ideology in Marxist Theory. Di buku itu, ia
membahas terminologi populisme dalam kerangka analisis Marxis Gramscian. Melalui pendekatan analisis
diskursus, Laclau memahami populisme sebagai gerakan politik multi-kelas dan supra-kelas yang hadir dalam
momen politik rapuhnya hegemonik kekuatan politik dominan sehingga memberi peluang munculnya struktur

1/7

kesempatan politik baru bagi gerakan politik akar rumput yang dipimpin oleh pemimpin kharismatik untuk
mengartikulasikan wacana radikal anti-kemapanan. Populisme sendiri bukanlah sebuah ideologi politik dengan
tatanan nilai yang solid dan spesifik, karena ekspresi gerakan politik populisme bisa terartikulasikan dalam ekspresi
politik kanan, tengah maupun kiri, tergantung pada perimbangan formasi kelas dalam arena politik di suatu negara
dalam kondisi spesifik yang memunculkannya.
Populisme sendiri bukanlah sebuah ideologi politik yang spesifik dengan visi politik spesifik, namun sebuah teknik
politik yang dapat muncul dalam berbagai fenomena politik yang berbeda. Populisme dapat termanifes dalam
bentuk artikulasi fasisme Mussolini di Italia, Nazi di Jerman, dan saat ini oleh kekuatan politik Fasis Jean Marie Le
Pen di Prancis, maupun gerakan politik radikal kiri seperti Fidel Castro di Kuba maupun kepemimpinan revolusi
Bolivarian Hugo Chavez di Venezuela. Yang mempersatukan populisme dalam segenap ragam ekspresi dan
ideologi politiknya sebagai sebuah teknik politik adalah mereka semua menggunakan model mobilisasi politik yang
massif, menggunakan tradisi populis yang tertanam di akar rumput dan digerakkan oleh kepemimpinan figur
kharismatik yang memiliki kemampuan komunikasi politik yang handal, dan gerakan tersebut seringkali hadir ketika
kekuatan hegemoni kelas dominan sedang runtuh (Ernesto Laclau 1977, 147-148; DL Raby 2006, 241).
Yang membedakan karakter ideologis dari proyek politik populisme adalah inkorporasi gugatan popular-demokratik
(ekspresi politik demokratik akar rumput) dalam keseluruhan bangunan politik ideologis yang dikontrol oleh gerakan
massa yang dipimpin oleh kekuatan borjuasi di luar formasi dominan oligarkhis dalam rezim politik yang tengah
dilawan. Sebuah gerakan politik populis menjadi gerakan yang berkarakter reaktif dan bertendensi fasistik saat
proses inkorporasi tuntutan-tuntutan popular-demokratik dari bawah dimoderasi bagi kepentingan kelas borjuasi
atau dibelokkan dengan agenda-aganda xenophobic dan rasis, sehingga dikunci potensinya sebagai sebuah
gerakan perlawanan liberatif-demokratik (Ernesto Laclau 1977; 174).
Sementara sebuah gerakan politik populisme dapat bermetamorfosis menjadi sebuah gerakan radikal demokratik
yang membebaskan saat dalam perkembangannya terinkorporasi dalam kepentingan kekuatan sosial kaum
tertindas dan terkorespondensi dengan gerakan-gerakan sosial emansipatoris. Sehingga dalam momen krisis
politik, gerakan populisme bergerak menjadi gerakan revolusi demokratik yang mengaktualisasikan tuntutantuntutan tradisi popular kerakyatan menjadi sebuah gerakan pembebasan. Seperti diutarakan oleh Ernesto Laclau,
bahwa dalam gerakan populisme kiri-demokratik perjuangan kelas tertindas bertemu dengan artikulasi politik
berlawanan berbasis tradisi kerakyatan. Bertemunya artikulasi politik populisme yang berangkat dari tradisi akar
rumput dan proyek politik sosialisme bukanlah sebuah kemunduran dalam gerakan politik emansipatoris.
Persenyawaan politik ini merupakan langkah paling maju dalam sebuah proyek politik pembebasan. Dalam
perkembangan dialektisnya, sebuah agenda politik populisme-yang tidak terbelokkan oleh agenda politik reaktifrasis dan melayani kelas borjuasi dominan- akan menyatukan diskursus tentang rakyat dan diskursus kelas
tertindas, sehingga proyek politik sosialisme berakar dari artikulasi populistik, sementara aktualisasi tertinggi dari
populisme adalah sosialisme itu sendiri (Ernesto Laclau 1974; 174; DL Raby 2006; 241).

Politik Populisme-Demokratik Hugo Chavez


Karakter politik populisme yang bersendikan atas kepemimpinan figur yang kuat dan memiliki kemampuan
persuasif langsung kepada rakyat, penggunaan tradisi popular-demokratik dan politik mobilisasi arus bawah
memang melekat dalam gerakan politik Hugo Chavez Friaz dan lingkaran Bolivariannya. Namun demikian,
pengamat politik yang simpatik terhadap gerakan lingkaran Bolivarian dari Chavez seperti Sara C Motta (2009; 7677) membela Chavez dengan menolak karakter populisme dari gerakan tersebut. Menurut Motta, membaca gerakan
Chavez sebagai sebuah bentuk populisme hanya akan membatasi gerakan Chavez pada figur kharismatik Chavez
dan mengabaikan relasi negara-masyarakat, gerakan sosial yang menjadi tulang punggung politik dan transformasi
sosial substantif di Venezuela.
Hal yang dapat kita koreksi dari risalah yang membela gerakan Chavez dan menafikan populismenya adalah

2/7

terdapat interdependensi antara kepemimpinan politik dari Hugo Chavez dan gerakan sosial beserta kekuatan
rakyat militan yang mendukungnya. Adalah benar bahwa gerakan lingkaran Bolivarian bukan hanya tentang
kepemimpinan Chavez, namun juga rakyat Venezuela dan gerakan akar rumput progresif dari buruh, petani,
lingkungan dan perempuan yang menopangnya. Namun demikian, di tengah dominasi kekuatan politik oligarkhi
kepartaian di Venezuela (ditopang oleh dua partai AD dan COPEI) yang menerapkan resep ortodoksi neoliberal,
lingkaran Bolivarian tidak tampil sebagai kekuatan politik utama melalui gerakan yang spontan. Partisipasi politik
jutaan warga Venezuela dalam gerakan ekonomi-politik alternatif atas kekuasaan oligarkhis di Venezuela, diarahkan
oleh karakter kepemimpinan populis dari Hugo Chavez. Hugo Chavez memberikan arah kepemimpinan yang solid
bagi lingkaran Bolivarian, sementara partisipasi politik jutaan warga Venezuela dan gerakan-gerakan sosial
progresif menjadi benteng penguat bagi transformasi demokrasi sosialisme di Venezuela. Kepemimpinan politik dari
Hugo Chavez merepresentasikan, mengartikulasikan dan mengarahkan partisipasi jutaan warga Venezuela dalam
sebuah gerakan politik anti-oligarkhi, anti-neoliberalisme dan menuju politik demokratik sosialisme abad ke-21.
Sebelum menjelaskan diskursus populisme demokratik dari gerakan Bolivarian Hugo Chavez, ada baiknya
menguraikan bagaimana konteks sosial yang melatari tampilnya populisme di Venezuela di bawah kepemimpinan
Chavez. Mengapa revolusi Bolivarian tidak lahir dari tradisi mesin politik kepartaian yang solid, namun lahir dari
kepemimpinan populisme? Situasi struktural dan lingkungan politik seperti apa yang medasarinya? Uraian berikut
ini akan menjelaskan pertanyaan-pertanyaan di atas.
Semenjak runtuhnya Tembok Berlin dan tumbangnya rezim ortodoksi sosialisme di Uni Sovyet dan Eropa Timur,
kepercayaan publik atas politik sosialisme runtuh sejalan dengan tercapainya kesepakatan ortodoksi neoliberal dan
demokrasi liberal terbatas sebagai satu-satunya alternatif ekonomi-politik di seluruh dunia. Wilayah Amerika Latin
yang memiliki tradisi gerakan rakyat emansipatoris, juga tidak luput dari krisis politik kiri di tengah tercapainya
konsensus politik neoliberal.
Di Amerika Latin runtuhnya dukungan politik atas sosialisme ditandai oleh kekalahan Sandinista di Nikaragua
melalui Pemilu pada tahun 1990. Skenario The End of History ala Francis Fukuyama di Amerika Latin ini direkam
oleh tulisan Jorge Castaneda pada tahun 1994 berjudul Utopia Unarmed: The Latin American Left after the Cold
War. Sejak saat itu, bahkan di Amerika Latin yang memiliki tradisi gerakan kiri yang kuat, sosialisme kemudian
diidentikkan dengan birokrasi sentralistik, program pemborosan uang negara dan retorika keadilan yang menafikan
kebebasan liberal. Demam demokrasi liberal yang menjadi tiang penopang ekonomi neoliberal menjalar ke negaranegara Amerika Latin termasuk Venezuela. Adalah benar bahwa di tengah propaganda kekuatan hegemonik rezim
neoliberal, beberapa gugatan praksis politik muncul seperti gerakan Zapatista yang berkarakter anarko sindikalis
dan memperjuangkan politik otonomi yang berkarakter spontan. Namun demikian, dalam perkembangannya
militansi gerakan Zapatista hanya terbatas pada membangun otonomi wilayah Chiapas tanpa memberikan
perubahan politik signifikan bagi arah negara Meksiko. Sementara di Venezuela, partai berbasis kiri seperti Partido
Communista de Venezuela (PCV) dan Movimiento de Izquierda Revolucionaria (MIR) yang merupakan pecahan dari
partai populis tradisional AD (Accion Democratica), hanya bergerak di pinggiran politik dan tidak mampu menembus
arus utama politik Venezuela (Edgardo Lander 2008; 69).
Dalam kondisi lemahnya gerakan politik kepartaian yang memperjuangkan agenda politik kerakyatan, ortodoksi
neoliberalisme dan demokrasi liberal di Venezuela diakuisisi oleh kekuatan oligarkhi berbasis dua partai COPEI dan
AD, sukses meminggirkan aspirasi lapisan mayoritas rakyat miskin Venezuela. Pakta politik puntofujismo, yang
menjadi rumah bagi kekuatan oligarkhi di Venezuela, mengalami proses delegitimasi seiring dengan krisis sosial
setelah Venezuela menerapkan ortodoksi neoliberalisme. Krisis sosial-ekonomi dimulai semenjak masa
pemerintahan Carlos Andez Perez pada tahun 1989, ketika keuntungan ekonomi dari penjualan hasil minyak hanya
mampu membayar empat hari beban impor dan membayar hutang kepada IMF sebesar US$ 4,5 milyar. Pada
waktu yang bersamaan, tingkat kemiskinan naik dua kali lipat dari satu dekade sebelumnya, dari rumah tangga
miskin sebesar 27,6 persen mencapai 58,9 persen. Sementara itu angka statistik rumah tangga amat miskin juga
naik dari 7,4 persen satu dekade sebelumnya mencapai 26,9 persen. Selanjutnya formula ortodoksi neoliberal
berupa pengetatan fiskal, pembatasan peran negara bagi subsidi sosial dan transformasi ekonomi Venezuela

3/7

menuju ekonomi pasar bebas, seperti privatisasi institusi telekomunikasi nasional dan maskapai penerbangan
sebagai respons krisis tersebut tidak memberikan solusi terhadap krisis. Formula neoliberal yang dilakukan pada
masa pemerintahan Presiden Perez justru menstimulus pembangkangan sosial pada tahun 1989 yang dikenal
dengan konflik Caracazo, yang mendorong represi pemerintah besar-besaran dan korban jiwa sebesar 400 orang
(Julia Buxton 2009; 155).
Krisis pemerintahan Carlos Andez Perez berlanjut sampai tahun 1993, ketika parlemen Venezuela menjatuhkan
kabinetnya akibat skandal korupsi. Kejatuhan pemerintahan Andez dan naiknya rezim pemerintahan Rafael Caldera
dari Partai COPEI, melanjutkan kebijakan neoliberal di era sebelumnya. Setelah gagal menyelesaikan krisis
ekonomi seperti yang ia janjikan, maka pada tahun 1996 pemerintahannya menandatangani perjanjian hutang
dengan IMF sebesar US$ 1,4 Milyar untuk menutupi krisis perbankan. Segenap kebijakan ortodoksi neoliberal yang
diikuti dengan pembukaan pertambangan bagi sektor privat pada era tersebut tidak berhasil menyelesaikan krisis
ekonomi, bahkan tingkat kemiskinan naik sampai 77,1 persen pada tahun 1996 dengan angka kemiskinan ekstrim
menuju 45,1 persen. Krisis ekonomi ini diperparah dengan turunnya harga minyak pada saat momen elektoral
tahun 1998 tiba (Julia Baxton 2009; 157).
Krisis ekonomi dan pemiskinan struktural yang terjadi setelah lebih satu dekade Venezuela di bawah rezim
pemerintahan neoliberal, memberikan keyakinan pada mayoritas rakyat miskin Venezuela dan gerakan-gerakan
sosial bahwa kemiskinan dan jurang ketimpangan ini bukanlah momen terapi kejut sementara yang akan selesai
setelah masyarakat mampu beradaptasi dengan rezim pasar bebas. Kondisi pemiskinan ini dipandang sebagai
kondisi permanen yang dihadapi oleh masyarakat Venezuela apabila terus menerapkan formula ortodoksi neoliberal
(Edgardo Lander 2008; 72). Ketika kondisi krisis tidak terselesaikan di bawah pemerintahan partai-partai dominan
(COPEI dan AD), sementara di sisi lain artikulasi politik partai berideologi Marxis di Venezuela tidak mampu menarik
hati dan pikiran rakyat Venezuela, maka mayoritas rakyat miskin di sana mencari alternatif politik lain yang mampu
menyelesaikan problem kemiskinan struktural di luar paket konvensional Washington Consensus.
Di tengah pencarian rakyat miskin dan gerakan sosial Venezuela akan formula politik baru yang melampaui partai
Marxis klasik maupun kekuatan politik oligarkhis dominan, pilihan terhadap figur politik Kolonel Hugo Chavez-yang
pernah melakukan kudeta militer pada tahun 1992-mulai dilirik sebagai arahan baru gerakan politik pembebasan di
Venezuela. Setelah Chavez keluar dari penjara, ia kemudian membangun gerakan politik yang terformalisasikan
melalui pembentukan Partai Moviemiento Quinta Republica Party untuk mempersiapkan Pemilu tahun 1998. Yang
menarik dari artikulasi wacana populis Chavez adalah ia tidak melirik pada idiom-idiom marxisme-leninisme saat
menggugat kekuatan oligarkhis dan neoliberalisme sebagai kekuatan politik dominan. Meskipun ia mengakui
pentingnya Marxis sebagai metode analisis politik, Chavez lebih sering mengidentifikasi dirinya dengan visi
transformatif pembebasan dari ajaran Yesus Kristus dan menarik inspirasi politiknya dari figur pemersatu Amerika
Latin abad ke-19 Simon Bolivar dan pejuang sosialis Ernesto Che Guevara, yang telah menjadi legenda kolektif
rakyat miskin di wilayah Amerika Latin. Bahkan menyongsong Pemilu 1998, Chavez mengkritik formula neoliberal
dengan kerapkali menyerukan formula politik jalan ketiga yang melampaui pembelahan klasik kiri dan kanan
(Edgardo Lander 2008; 76-77; DL Raby 2006; 236).
Berbeda dengan kritik kalangan yang melihat populisme Chavez sebagai tawaran mesianistik yang membius rakyat
miskin, setelah lepas dari penjara Chavez berdialog dengan komunitas miskin Venezuela, membangun gerakan
sosial yang kemudian dikenal sebagai lingkaran Bolivarian dan menawarkan kontrak sosial konstitusi demokratik
baru. Alih-alih menawarkan mesianisme sebagai opium bagi rakyat miskin, formula pendidikan kesadaran kritis
yang dipelopori oleh Chavez saat blusukan ke kampung-kampung kumuh Venezuela lebih dekat pada model
pendidikan kaum tertindas ala Paulo Freire plus hasrat politik untuk merebut kekuasaan ala Fidel Castro.

4/7

Rapat anggota Dewan Komunal di El Manicomo, Caracas. Foto diambil dari www.venezuelanalysis.com

Momen Venezuela Menuju Sosialisme


Pada saat momen World Social Forum di Porto Allegre Brazil tahun 2005, Hugo Chavez berorasi panjang dan untuk
pertama kalinya mencanangkan bahwa Revolusi Bolivarian yang bertujuan tidak hanya melawan desain
neoliberalisme tapi untuk merealisasikan proyek Sosialisme abad ke-21. Dalam acara tersebut, Chavez
menegaskan bahwa adalah penting untuk mentransendensikan kapitalisme, namun kapitalisme tidak dapat
dilampaui melalui kapitalisme, kapitalisme hanya dapat dilampaui dengan proyek sosialisme, sosialisme abad ke21. Namun demikian dalam orasi terebut, Chavez sendiri tidak pernah memimpikan Venezuela sebagai negara
sosialisme dalam pengertian klasik. Sosialisme baru Chavez tak berniat untuk menghancurkan kepemilikan pribadi,
namun untuk memastikan bahwa negara melalui kedaulatannya ekonominya bekerja berdasarkan prinsip
kerjasama dengan bangsa-bangsa lain dapat memberikan kesejahteraan terbaik bagi rakyatnya (Iain Bruce 2008;
5).
Salah satu implementasi proyek sosialisme abad ke-21 dari Hugo Chavez adalah pendalaman program
nasionalisasi migas. Program nasionalisasi ekonomi dalam pengelolaan sumber daya alam yang dilakukan oleh
Chavez bukanlah model nasionalisasi ekonomi yang memberi peluang bagi praktik korupsi dan perburuan rente di
kalangan elite, seperti yang sering terjadi di negara otoritarian. Seperti yang diutarakan oleh wartawan progresif Iain
Bruce (2008) dalam The Real Venezuela bahwa program nasionalisasi ekonomi Chavez berusaha
mengombinasikan kekuatan industri minyak dan gas Venezuela dengan pemberdayaan komunitas lokal di setiap
wilayah-wilayah pedalaman. Kebijakan ini berusaha mengantisipasi proses-proses eksplorasi minyak yang
merugikan masyarakat sekitarnya. Model kebijakan ekonomi sumber daya alam era Chavez inilah yang kemudian
berpegang pada prinsip swadaya (self sufficient) dan pembangunan berbasis masyarakat (people based
development). Di bawah Chavez, Venezuela tengah membangun ekonomi produktif yang tidak bergantung pada
kekuatan sumber daya alam.

5/7

Apa yang dhasilkan dari program ekonomi politik kemandirian era Hugo Chavez bagi masyarakatnya? Politik
redistribusi pendapatan dari pemerintahan Hugo Chavez telah mengurangi secara drastis tingkat kemiskinan di
Venezuela dari 54 persen jumlah kemiskinan di seluruh rumah tangga menjadi separuhnya sekitar 26 persen pada
tahun 2008 akhir. Seluruh anak-anak miskin di perkampungan kumuh Venezuela memiliki akses terhadap
pendidikan gratis, 1,2 juta warga buta huruf berhasil dientaskan melalui program pendidikan massif, enam
universitas publik didirikan untuk menampung rakyat miskin. Selain itu di negara seluas kurang lebih Kalimantan
dan Sulawesi digabungkan ini, didirikan 11.000 klinik komunitas untuk menjamin warga terpenuhi perawatan
kesehatannya.
Selanjutnya program sosialisme abad ke-21 dari Hugo Chavez dicanangkan melalui proses demokratisasi arena
ekonomi-politik melalui pembentukan politik berbasis komunitas tetangga dan wilayah kerja, seperti pabrik-pabrik
dan ladang-ladang pertanian. Ide dasar dari politik sosialisme abad ke-21 sederhana, sekitar 200 keluarga baik di
perkotaan maupun 20 keluarga di pedesaan di tiap-tiap komunitas bertemu dalam rapat besar komunitas untuk
merencanakan kebutuhan komunitas mereka sehari-hari. Oleh Chavez, model lingkaran-lingkaran komunitas ini
yang menjadi sendi dasar dari lingkaran Bolivarian menjadi mesin politik utama dari transisi politik menuju
Sosialisme abad ke-21. Berdasarkan landasan lingkaran komunitas tadi, proyek politik sosialisme diperluas melalui
perjuangan mendemokratisasikan hubungan-hubungan kerja di pabrik-pabrik dengan menempatkan dewan-dewan
rakyat dari kelas pekerja sebagai penentu utama dalam rantai kerja ekonomi di setiap pabrik. Sementara di wilayah
pertanian, proyek sosialisme dilaksanakan melalui kebijakan reformasi tanah melalui kebijakan sosial untuk
kolektivisasi pertanian dan mendorong produktivitas pertanian untuk menyuplai komunitas lokal, restauran dan
ketahanan pangan negara (Iain Bruce 2008; 141).
Pendeknya bangunan sosialisme abad ke-21 ditopang oleh lima motor penggerak yaitu: pertama, ledakan dan
penyebaran kuasa komunitas. Dimana model-model lingkaran komunitas berbasis tetangga, pabrik dan pedesaan
diradikalisasi secara politis untuk mengawasi dinamika politik formal di Venezuela maupun ikut menentukan proses
kebijakan dari pemerintahan. Kedua, bentuk geometri kekuasaan baru, dimana institusi politik yang menentukan
dinamika politik bukanlah lembaga formal eksekutif dan legislatif namun dewan-dewan pabrik, komunitas tetangga
dan pertanian yang menjadi penopang dari program lingkaran Bolivarian. Ketiga, pendidikan politik dan penguatan
moral untuk memperjuangkan sosialisme dan nilai-nilai komunitas baru di masyarakat. Salah satu manifestasi dari
kerja ini adalah pendidikan sadar konstitusi Bolivarian di komunitas-komunitas. Keempat, penggunaan dekrit
presiden sebagai jalan politik untuk mendorong setiap perubahan-perubahan politik substansial. Kelima, reformasi
konstitusi secara berkelanjutan untuk mendorong ke arah politik sosialisme abad ke-21. Langkah-langkah tersebut
kemudian secara politis diperkuat dengan membangun pelembagaan politik partai sosialis di Venezuela. Langkah
konsolidasi ini dilakukan melalui proses penyatuan seluruh kekuatan politik maupun gerakan sosial pendukung
Chavez di bawah payung United Socialist Party of Venezuela (Partai Persatuan Sosialis Venezuela) (Julia Buxton
2009; 169).
Dinamika politik dan perkembangan gerakan politik Lingkaran Bolivarian dari Hugo Chavez memperlihatkan
karakter populisme yang khas dari kepemimpinan Hugo Chavez di Venezuela. Jalan populisme politik dari lingkaran
Bolivarian di bawah kepemimpinan Hugo Chavez menunjukkan bahwa dalam kasus Chavez, politik populisme bisa
berjalan seiring dengan proyek pendalaman demokrasi sekaligus proyek politik revolusi melawan kekuatankekuatan oligarkhis dan neoliberal di Venezuela. Karakter-karakter reaktif, xenophobic dan fasis tidak selalu identik
dengan artikulasi populisme. Bahkan tiga fase perjalanan kepemimpinan Hugo Chavez di Venezuela
memperlihatkan bahwa Chavez berhasil melepaskan diri dari jebakan pembelokan arah reaktif dari proyek
populisme dengan mendorong radikalisasi politik populismenya menuju perjuangan anti-oligarkhi, anti-neoliberal
dan menuju sosialisme abad ke-21.
Realitas krisis sosial-ekonomi yang tengah dihadapi oleh Venezuela saat ini, cenderung membuat publik untuk
mengesampingkan berbagai capaian-capaian progresif dari proyeksi politik sosialisme yang diinisiasi oleh Hugo
Chavez. Namun, satu hal yang dilupakan adalah bahwa di era kepemimpinan rezim sosialismelah, Rakyat
Venezuela untuk pertama kalinya mengalami partisipasi politik yang lebih dalam dan meluas dari sekedar model

6/7

demokrasi perwakilan yang dikuasai oleh oligarki. Pada era sosialismelah, warga Venezuela mendapatkan
kesempatan untuk memperbaiki kualitas hidup dan mendapatkan berkah dari kekayaan sumber daya alam yang
secara berdaulat dikuasai oleh negaranya.
Suatu pengalaman bernegara yang tidak pernah mereka temui di zaman pemerintahan sebelum Chavez
membangun proyeksi politik Lingkaran Bolivarian. Kenyataan krisis sosial yang tengah dihadapi oleh Venezuela
saat ini, tidak berarti bahwa proyeksi sosialisme telah kehilangan relevansinya. Momen ini justru merupakan momen
ujian bagi warga Venezuela untuk mengatasi krisis dan mendorong proyeksi sosialisme lebih kuat dan lebih
mendalam lagi.***

Penulis adalah Pengajar Departemen Politik FISIP Universitas Airlangga, Surabaya

7/7

Anda mungkin juga menyukai