Anda di halaman 1dari 73

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Manusia merupakan makluk sosial (zoonpoliticoon), sehingga tidak
bisa hidup tanpa adanya manusia lainnya. Sejak lahir manusia telah dilengkapi
dengan naluri untuk hidup

bersama dengan orang lain. Naluri untuk hidup

bersama dengan orang lain mengakibatkan hasrat yang kuat untuk hidup teratur 1.
Demikian pula diantara wanita dan pria itu saling membutuhkan, saling mengisi,
saling berkaitan, tidak bisa dilepaskan antara satu dengan yang lainnya. Dan
rasanya tidak sempurna hidupnya seorang wanita tanpa didampingi seorang pria
sekalipun dia beralaskan emas dan permata, demikian sebaliknya tidak akan
sempurna hidup seorang pria tanpa kehadiran wanita sebagai pelengkapnya.
Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang
wanita sebagai suami istri untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Ikatan lahir adalah hubungan formal
yang dapat dilihat karena dibentuk menurut undang-undang, yang mengikat
kedua pihak dan pihak lain dalam masyarakat sedangkan Ikatan batin adalah
hubungan tidak formal yang dibentuk dengan kemauan bersama yang sungguhsungguh mengikat kedua pihak.

Soejono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, (CV Rajawali, Jakarta:1982) hlm.9

Ikatan perkawinan merupakan ikatan suci yang berdasarkan nilai-nilai


ketuhanan untuk membentuk keluarga sakinah dan mawaddah. Ikatan
perkawinan bukan saja ikatan perdata tetapi ikatan lahir batin antara seorang
suami dengan seorang isteri. Perkawinan tidak lagi hanya sebagai hubungan
jasmani tetapi juga merupakan hubungan batin. Pergeseran ini mengesankan
perkawinan selama ini hanya sebatas ikatan jasmani ternyata juga mengandung
aspek yang lebih subtantif dan berdimensi jangka panjang. Ikatan yang
didasarkan pada hubungan jasmani itu berdampak pada masa yang pendek
sedangkan ikatan lahir batin itu lebih jauh. Dimensi masa dalam ini dieksplisitkan
dengan tujuan sebuah perkawinan yakni untuk membangun sebuah keluarga
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.2
Hukum perkawinan merupakan bagian integral dari syariat Islam, yang
tidak terpisahkan dari dimensi akidah dan akhlak islami. Diatas dasar inilah
hukum perkawinan ingin mewujudkan perkawinan di kalangan orang muslim
menjadi perkawinan yang bertauhid dan berakhlak, sebab perkawinan semacam
inilah yang bisa diharapkan memiliki nilai transedental dan sakral untuk
mencapai tujuan perkawinan yang sejalan dengan tujuan syariat Islam.3
Ketentuan-ketentuan mengenai perkawinan menurut syariat Islam
mengikat kepada setiap muslim, dan setiap muslim perlu menyadari bahwa
didalam perkawinan terkandung nilai-nilai ubudiyah. Karena itu, ikatan
2

Amir Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta,
Kencana Prenada Media Group, 2006), hlm. 46
3

M. Anshary MK, Hukum Perkawinan di Indonesia, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2010),

hlm. 10

perkawinan diistilahkan dalam Al quran dengan mitsaaqan ghaliza, suatu


ikatan yang mengandung nilai ubudiyah, maka memperhatikan keabsahannya
menjadi hal yang menjadi sangat prinsipil.4
Di Indonesia sejak tahun 1974 telah di undangkan suatu undang-undang
tentang perkawinan yang dikenal dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan. Materi undang-undang tersebut merupakan kumpulan
tentang hukum munakahat yang terkandung didalam Al quran, Sunnah
Rasulullah, dan kitab-kitab fiqih klasik kontemporer, yang telah berhasil diangkat
oleh sistem hukum nasional Indonesia dari hukum normatif menjadi hukum
tertulis dan hukum positif yang mempunyai kekuatan mengikat dan memaksa
kepada seluruh rakyat Indonesia, termasuk umat muslim Indonesia.5
Dengan dikeluarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan maka dimensi hukum telah masuk keranah perkawinan. UndangUndang ini merupakan sebuah bentuk aspirasi hukum dan sosial sebagai
landasan berhukum untuk menuju Modren Society and Responsive Law.
Berkaitan dengan itu, salah satu fungsi hukum adalah untuk kesejahteraan hidup
manusia, disamping kepastian hukum. Sehingga hukum boleh dikatakan bahwa
berhukum adalah sebagai medan dan perjuangan manusia dalam konteks mencari
kebahagiaan hidup.6

4
5

Ibid, hlm. 11
Ibid, hlm. 12

Sabian Usman, Dasar-Dasar Sosilogi Hukum Makna Dialog Antara Hukum dan
Masyarakat, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), hlm. 5

Bila perkawinan telah dilansungkan, maka mereka telah berjanji dan


bersedia akan membangun suatu rumah tangga yang damai dan teratur, akan
sehidup semati, sesakit dan sesenang, merunduk sama bungkuk, melompat sama
tinggi, kebukit sama mendaki, kelereng sama menurun, berenang sama basah,
terampai sama kering, terapung sama hanyut sehingga mereka menjadi suatu
keluarga. Sesaat perkawinan sedang berlansung, kedua pihak kedudukannya akan
berubah. Pihak pria menjadi kepala keluarga dan pihak wanita sebagai ibu rumah
tangga. Pada saat itulah timbul hak dan kewajiban masing-masing7.
Dalam kenyataanya, tujuan perkawinan itu banyak tercapai secara tidak
utuh. Tercapainya itu baru mengenai pembentukan keluarga atau pembentukan
rumah tangga, karena dapat diukur secara kuantitatif. Sedangkan predikat
bahagia dan kekal belum, bahkan tidak tercapai sama sekali. Akan tetapi,
hubungan lahir itu ada kemungkinan tidak dapat kekal. Pada suatu waktu dapat
terjadi putusnya hubungan, baik tidak sengaja maupun sengaja dilakukan karena
suatu sebab yang mengganggu berlanjutnya hubungan itu. Perkawinan dapat
putus, karena:
a. Kematian
b. Perceraian
c. Atas keputusan pengadilan.

Djamali Abdoel, Pengantar Hukum Indonesia, (Jakarta, Rajawali Pers, 2005) , hlm. 158

Putus karena kematian merupakan suatu proses terakhir dalam melaksanakan


kodrat manusia. Namun, putus karena

perceraian dan atau atas keputusan

pengadilan merupakan sebab yang dicari-cari.8 Putusnya hubungan perkawinan


yang menimbulkan masalah adalah putusnya hubungan perkawinan karena
perceraian dan karena putusan pengadilan.
Dengan sifat kekal abadinya perkawinan maka putusnya suatu
perkawinan selain daripada kematian merupakan suatu pengecualian dan terpaksa
harus dilakukan. Seorang hakim yang dihadapkan pada persoalan pemutusan
perkawinan maka sebelum hakim tersebut menjatuhkan putusan akan menjadi
suatu kewajiban baginya untuk berusaha mencoba mendamaikan kedua belah
pihak.
Menurut ketentuan Pasal 39 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
ditegaskan bahwa perceraian hanya dapat dilakukan didepan sidang pengadilan
setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan
kedua belah pihak.9
Walaupun perceraian adalah urusan pribadi atas kehendak bersama atau
kehendak salah satu pihak yang seharusnya tidak perlu adanya campur tangan
dari pemerintah, namun untuk menghindarkan tindakan sewenang-wenang
terutama dari pihak suami dan juga demi kepastian hukum, maka perceraian
harus melalui lembaga pengadilan.
8
9

Ibid, Hal. 159


Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional, Cet. 3, (Jakarta: Rineka Cipta, 2005), hlm.

116.

Penjelasan umum Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menyebutkan


mengenai azas perkawinan bahwa tujuan perkawinan adalah untuk membentuk
keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan KeTuhanan Yang Maha Esa.
Dengan demikian Undang-Undang menganut prinsip untuk mempersukar
terjadinya perceraian, harus ada alasan-alasan tertentu serta dilakukan di depan
sidang pengadilan. Jadi pada prinsipnya suatu perkawinan adalah untuk
selamanya, namun Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tidak menutup
kemungkinan untuk terjadinya suatu perceraian dengan syarat-syarat tertentu.
Tingginya kasus perceraian antara suami dan isteri di Kabupaten Rokan
Hulu dari tahun ke tahun mengalami peningkatan yang sangat signifikan. Dari
total 394 perkara yang ditangani oleh Pengadilan Agama, 277 kasus diantaranya
adalah masalah perceraian. Umumnya kasus terjadi karena pertikaian yang
disebabkan oleh masalah ekonomi dan moral. Pertikaian yang terus menerus dan
suami yang tidak bertanggung jawab sehingga timbul gugatan cerai oleh isteri.10
Sebagai sebuah gambaran, ada beberapa hal faktor meningkatnya
perceraian di Banjarmasin ialah karena mudahnya menjatuhkan cerai, wanita
yang semakin mandiri secara ekonomi, perkawinan paksa, persamaan gender, dan
lainnya. Meningkatnya kesadaran hukum dan pengetahuan publik terhadap
prosedur perceraian di pengadilan di Banjarmasin menjadikan perceraian
semakin banyak dilakukan secara legal formal.11
10

Riau Pos, Hari Kamis Tanggal 7 Januari 2010 hlm. 14

11

Dikutip dari www.pa-amuntai.pta-banjarmasin.go.id dengan judul posting Tren


Perceraian terus Meningkat, Mengapa? Yang diakses pada tanggal 15 April 2010

Kabupaten Rokan Hulu dengan julukan kota seribu suluk, ini menandakan
bahwasanya nilai-nilai keagamaan didalam kehidupan masyarakatnya sangat
kental sekali. Syariat Islam menjadi pedoman dan landasan dalam menjalankan
kehidupan sehari-hari sehingga ada pepatah adat yang mengatakan adat bersendi
syara, syara bersendi kitabullah. Namun seiring dengan perkembangan zaman,
nilai-nilai tersebut mulai longgar dan ditinggalkan masyarakat sehingga
merebaknya penyakit-penyakit masyarakat seperti perjudian, prostitusi dan
tingginya angka kriminalitas.
Kentalnya penerapan nialai agama ditengah-tengah masyarakat kabupaten
Rokan hulu maka didalam salah satu misi pemerintahannya tahun 2011 ini ialah
ingin mengaktualisasikan nilai-nilai agama dan budaya dalam kehidupan
masyarakat di Kabaten Rokan Hulu sehingga terbentuk masyarakat madani yang
sejahtera, adil dan makmur.
Salah satu dampak terhadap ditinggalkannya nilai-nilai agama dalam
kehidupan masyarakat tersebut ialah dengan makin meningkatnya perceraian di
Kabupaten Rokan Hulu. Tingginya angka perceraian ini harus mendapatkan
tanggapan pihak yang berwenang, sebab akan menimbulkan dampak yang lebih
besar dikemudian hari seperti banyaknya anak-anak korban perceraian orang
tuanya mengalami gangguan psikologis sehingga menganggu perkembangan
jiwanya kedepan.
Anak selain mempunyai hak untuk dihormati dan dilindungi juga
memiliki hak untuk mendapatkan perlakuan yang sesuai dengan perkembangan

psikologisnya. Anak secara alamiah sebagai makluk tuhan membutuhkan


perlakuan dan lingkungan yang kondusif bagi perkembangan potensinya,
sehingga tercerabutnya anak dari keadaan demikian berpotensi menghambat
pencapaian kesejahteraan jiwa dan perkembangan yang optimal.12
BP4 sebagai lembaga mitra Departemen Agama bertugas membantu
dalam meningkatkan mutu perkawinan dengan mengembangkan gerakan
keluarga sakinah. di era pasca reformasi saat ini peran BP4 sangat diperlukan
untuk menciptakan iklim yang kondusif dalam upaya mewujudkan keluarga yang
sakinah mawaddah warahmah.
Untuk melaksanakan misi tersebut, upaya BP4 memberikan pelayanan
langsung kepada masyarakat berupa penasihatan, pembinaan, pelestarian, mediasi
dan advokasi perkawinan serta memberikan dorongan kepada segenap tokoh
masyarakat, ormas Islam, Konselor dan Penasihat Perkawinan untuk lebih
proaktif memberikan bimbingan dan penyuluhan tentang pentingnya eksistensi
keluarga yang bahagia kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Masalah-masalah yang muncul akhir-akhir ini terkait dengan perkawinan
dan keluarga berkembang pesat antara lain; tingginya angka perceraian,
kekerasan dalam rumah tangga, kasus perkawinan sirri, perkawinan mutah,
poligami, dan perkawinan di bawah umur meningkat tajam yang sangat
berpengaruh terhadap eksistensi kehidupan sebuah keluarga.

12

Warta Hukum dan Perundang-Undangan Vol. 8 No. 2, Agustus 2007, Yuli fajar Susetyo,
Mengembangkan Perilaku Mengajar Yang Humanis, Jakarta, hlm. 26

Oleh sebab itu, dan seiring dengan meningkatnya populasi penduduk dan
keluarga, maka BP4 perlu menata kembali peran dan fungsinya agar lebih sesuai
dengan kondisi dan perkembangan terkini. Untuk menjawab persoalan tersebut,
BP4 harus menyiapkan seluruh perangkat pelayanan termasuk SDM, sarana dan
prasarana yang memadai.
Tuntutan BP4 ke depan peran dan fungsinya tidak sekadar menjadi
lembaga penasihatan tetapi juga berfungsi sebagai lembaga mediator dan
advokasi. Selain itu BP4 perlu mereposisi organisasi demi kemandirian
organisasi secara profesional, independen dan bersifat profesi sebagai pengemban
tugas dan mitra kerja Departemen Agama dalam mewujudkan keluarga sakinah,
mawaddah, warahmah.
Sebagai konsekwensi dari kemandirian dan profesionalitas, maka BP4
mengemban tugas yang tidak kecil serta mempunyai tantangan yang besar
terhadap permasalahan keluarga yang semakin berkembang, perlu sumber daya
manusia yang dibutuhkan terkait dengan mediasi, advokasi dan konsultan
perkawinan. Hal ini bertujukan bagi peningkatan pelayanan organisasi yang
bersifat responsif terhadap segala persoalan perkawinan dan keluarga yang
muncul dalam masyarakat.
Berdasarkan uraian diatas, maka punulis tertarik untuk melakukan
penenlitian dengan judul Tingginya Tingkat Perceraian di Kabupaten Rokan
Hulu di Tinjau dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang masalah di atas, maka dapat
ditetapkan masalah pokok dalam penelitian ini ialah :
1. Bagaimana peranan dan hambatan BP4 dalam menanggulangi
tingginya tingkat perceraian di Kabupaten Rokan Hulu?
2. Apa upaya Hakim Pengadilan Agama dalam Mendamaikan pihak
yang mengajukan perceraian di Pengadilan Agama Rokan Hulu?
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan Penelitian
a.

Untuk mengetahui peranan dan hambatan BP4 dalam menanggulangi


tingginya tingkat perceraian di Kabupaten Rokan Hulu.

b. Untuk mengetahui upaya Hakim Pengadilan Agama dalam mendamaikan


pihak yang mengajukan perceraian di Pengadilan Agama Rokan Hulu.
2. Kegunaan Penelitian
a. Untuk menambah ilmu pengetahuan dibidang hukum bagi penulis terhadap
permasalahan hukum di Kabupaten Rokan Hulu.
b. Untuk memberikan sumbangan ilmu pengetahuan bagi masyarakat dan
bagi perguruan tinggi sebagai bahan penelitian lebih lanjut terhadap objek
yang sama.

10

c. Untuk mencari solusi permasalahan yang timbul dalam penelitian ini yang
melibatkan instansi terkait, sehingga supremasi hukum bisa ditegakkan.

D. Kerangka Teori
Menururt Undang-Undang Nomor 1 Tahun Tahun 1974 Tantang
Perkawinan secara jelas menyebutkan bahwasanya Perkawinan ialah ikatan lahir
batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan
tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa.13
Tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia
berdasarkan ke-Tuhanan Yang Maha Esa serta dapat melanjutkan generasi dan
memperoleh keturunan. Akan tetapi dalam kenyataannya tidak sedikit
perkawinan yang putus karena terjadinya perceraian. Pasangan suami isteri
kadang harus menghadapi masalah di dalam kehidupan rumah tangga mereka,
besar kecilnya persoalan yang dihadapi tergantung dari pandangan dan cara
mereka menyelesaikan persoalan tersebut, tidak sedikit dari pasangan suami isteri
merasa bahwa perkawinan mereka sudah tidak dapat dipertahankan lagi dan
kemudian mereka memutuskan untuk mengakhiri masalah rumah tangga mereka
dengan jalan perceraian, tanpa melalui sidang pengadilan, maka secara hukum
perceraian tersebut dianggap tidak sah. Maka oleh itu setiap perkawinan yang sah

13

Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

11

dan telah tercatat hanya dapat diakhiri dengan perceraian yang harus dilakukan
didepan sidang pengadilan.14
Menurut Ruri Setiawan hukum menikah didalam agama Islam itu ada lima.
1. Pernikahan yang wajib hukumnya Menikah itu wajib hukumnya bagi
seorang yang sudah mampu secara finansial dan juga sangat beresiko
jatuh ke dalam perzinaan. Hal itu disebabkan bahwa menjaga diri dari
zina adalah wajib. Maka bila jalan keluarnya hanyalah dengan cara
menikah, tentu saja menikah bagi seseorang yang hampir jatuh ke dalam
jurang zina wajib hukumnya. Imam Al-qurtubi berkata bahwa para ulama
tidak berbeda pendapat tentang wajibnya seorang untuk menikah bila dia
adalah orang yang mampu dan takut tertimpa resiko zina pada dirinya.
Dan bila dia tidak mampu, maka Allah SWT pasti akan membuatnya
cukup dalam masalah rezekinya, sebagaimana firman-Nya : Dan Yang
menciptakan semua yang berpasang-pasangan dan menjadikan untukmu
kapal dan binatang ternak yang kamu tunggangi. (QS.An-Nur : 33)
2. Pernikahan Yang Sunnah Hukumnya Sedangkan yang tidak sampai
diwajibkan untuk menikah adalah mereka yang sudah mampu namun
masih tidak merasa takut jatuh kepada zina. Barangkali karena memang
usianya yang masih muda atau pun lingkungannya yang cukup baik dan
kondusif. Orang yang punya kondisi seperti ini hanyalah disunnahkan
untuk menikah, namun tidak sampai wajib. Sebab masih ada jarak tertentu
yang menghalanginya untuk bisa jatuh ke dalam zina yang diharamkan
Allah SWT. Bila dia menikah, tentu dia akan mendapatkan keutamaan
yang lebih dibandingkan dengan dia diam tidak menikahi wanita. Paling
tidak, dia telah melaksanakan anjuran Rasulullah SAW untuk
memperbanyak
jumlah
kuantitas
umat
Islam.
Dari Abi Umamah bahwa Rasulullah SAW bersabda,"Menikahlah, karena
aku berlomba dengan umat lain dalam jumlah umat. Dan janganlah
kalian menjadi seperti para rahib nasrani. (HR. Al-Baihaqi 7/78) Bahkan
Ibnu Abbas ra pernah berkomentar tentang orang yang tidak mau menikah
sebab orang yang tidak sempurna ibadahnya.
3. Pernikahan Yang Haram Hukumnya Secara normal, ada dua hal utama
yang membuat seseorang menjadi haram untuk menikah. Pertama, tidak
mampu memberi nafkah. Kedua, tidak mampu melakukan hubungan
seksual. Kecuali bila dia telah berterus terang sebelumnya dan calon
istrinya itu mengetahui dan menerima keadaannya. Selain itu juga bila
14

Florence Vidya Widjaja, Penetapan Hak Asuh Anak di Bawah Umur Akibat Putusnya
Perkawinan Karena Perceraian Orang Tuanya Menurut UU No.1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan,(Jakarta: Tesis Program Kenotariatan Universitas Indonesia, 2006), hlm. 43

12

dalam dirinya ada cacat pisik lainnya yang secara umum tidak akan
diterima oleh pasangannya. Maka untuk bisa menjadi halal dan
dibolehkan menikah, haruslah sejak awal dia berterus terang atas
kondisinya itu dan harus ada persetujuan dari calon pasangannya. Seperti
orang yang terkena penyakit menular dimana bila dia menikah dengan
seseorang akan beresiko menulari pasangannya itu dengan penyakit.
Maka hukumnya haram baginya untuk menikah kecuali pasangannya itu
tahu kondisinya dan siap menerima resikonya. Selain dua hal di atas,
masih ada lagi sebab-sebab tertentu yang mengharamkan untuk menikah.
Misalnya wanita muslimah yang menikah dengan laki-laki yang berlainan
agama atau atheis. Juga menikahi wanita pezina dan pelacur. Termasuk
menikahi wanita yang haram dinikahi (mahram), wanita yang punya
suami, wanita yang berada dalam masa iddah. Ada juga pernikahan yang
haram dari sisi lain lagi seperti pernikahan yang tidak memenuhi syarat
dan rukun. Seperti menikah tanpa wali atau tanpa saksi. Atau menikah
dengan niat untuk mentalak, sehingga menjadi nikah untuk sementara
waktu yang kita kenal dengan nikah kontrak.
4. Pernikahan Yang Makruh Hukumnya Orang yang tidak punya penghasilan
sama sekali dan tidak sempurna kemampuan untuk berhubungan seksual,
hukumnya makruh bila menikah. Namun bila calon istrinya rela dan
punya harta yang bisa mencukupi hidup mereka, maka masih dibolehkan
bagi mereka untuk menikah meski dengan karahiyah. Sebab idealnya
bukan wanita yang menanggung beban dan nafkah suami, melainkan
menjadi tanggung jawab pihak suami. Maka pernikahan itu makruh
hukumnya sebab berdampak dharar bagi pihak wanita. Apalagi bila
kondisi demikian berpengaruh kepada ketaatan dan ketundukan istri
kepada suami, maka tingkat kemakruhannya menjadi jauh lebih besar.
5. Pernikahan Yang Mubah HukumnyaOrang yang berada pada posisi tengahtengah antara hal-hal yang mendorong keharusannya untuk menikah
dengan hal-hal yang mencegahnya untuk menikah, maka bagi hukum
menikah itu menjadi mubah atau boleh. Tidak dianjurkan untuk segera
menikah namun juga tidak ada larangan atau anjuran untuk
mengakhirkannya. Pada kondisi tengah-tengah seperti ini, maka hukum
15
nikah baginya adalah mubah.
Menurut Al-Hadad setidaknya ada sepuluh alasan pentingnya ikrar talak
didepan pengadilan. Empat yang terpenting adalah16 :
15

Dikutip dari www.rurisetiawan.blogspot.com dengan judul posting Hukum Pernikahan


Dalam Islam yang diakses pada tanggal 15 Oktober 2010.
16

Al Haddad, Wanita dalam Syariat dan Masyarakat, terj. M. Adid Bisri, (Jakarta:
Pustaka Firdaus, 1993) hlm. 87

13

1. Kehadiran Pengadilan adalah untuk meluruskan segala tindakan yang


melenceng untuk disesuaikan dengan ajaran Islam. Dalam kasus talak
seorang suami sebelum menjatuhkan talak harus berpikir mendalam
tentang dampak yang ditimbulkan oleh keputusannya itu sehingga ia
menjadi lebih hati-hati dan rasional.
2. Melalui proses pengadilan diharapkan penggunanaan hak talak dilakukan
secara benar dan diterapkan hanya dalam kondisi darurat.
3. Pengadilan sebenarnya berfungsi sebagai hakam seperti yang dianjurkan
oleh syariat Islam.
4. Pengadilan diharapkan dapat berperan menjamin hak-hak masing-masing
pihak sebagai akibat dari perceraian, misalnya jaminan ganti rugi dalam
talak dan mutah.
Menurut M. Yahya Harahap asas-asas yang dipandang cukup prinsip dalam
Undang-Undang Perkawinan adalah:
1.

2.

3.

4.

Menampung segala kenyataan-kenyataan yang hidup dalam


masyarakat bangsa Indonesia dewasa ini. Undang-undang
Perkawinan menampung didalamnya segala unsur-unsur
ketentuan hukum agama dan kepercayaan masing-masing.
Sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman. Maksud dari
perkembangan zaman adalah terpenuhinya aspirasi wanita
yang
menuntut
adanya
emansipasi,
disamping
perkembangan sosial ekonomi, ilmu pengetahuan teknologi
yang telah membawa implikasi mobilitas sosial di segala
lapangan hidup dan pemikiran.
Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga bahagia
yang kekal. Tujuan perkawinan ini dapat dielaborasi
menjadi tiga. Pertama, suami-isteri saling Bantu membantu
serta saling lengkap melengkapi. Kedua, masing-masing
dapat mengembangkan kepribadiannya dan untuk
pengembangan kepribadian itu suami-isteri harus saling
membantu. Ketiga, tujuan terakhir yang ingin dikejar oleh
keluarga bangsa Indonesia ialah keluarga bahagia yang
sejahtera spiritual dan material.
Kesadaran akan hukum agama dan keyakinan masingmasing warga negara bangsa Indonesia yaitu perkawinan
harus dilakukan berdasarkan hukum agama dan kepercayaan
masing-masing. Hal ini merupakan crusial point yang
hampir menenggelamkan undang-undang ini. Disamping itu
perkawinan harus memenuhi administratif pemerintahan
dalam bentuk pencatatan (akta nikah).

14

5.

Undang-undang perkawinan menganut azas monogami


akan tetapi tetap terbuka peluang untuk melakukan poligami
selama hukum agamanya mengizinkannya.
Hukum perkawinan dan pembentukan keluarga dilakukan
oleh pribadi-pribadi yang telah matang jiwa dan raganya.

6.
7.

Kedudukan suami isteri dalam kehidupan keluarga adalah


seimbang, baik dalam kehidupan rumah tangga maupun
dalam pergaulan masyarakat.17
Perceraian dianggap telah terjadi, beserta segala akibat-akibat hukumnya

sejak saat pendaftaran pada kantor pencatat perceraian di Pengadilan Negeri,


kecuali bagi mereka yang beragama Islam terhitung sejak jatuhnya putusan
Pengadilan Agama yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.18
Didasarkan Pasal 39 ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974,
ditegaskan bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan.
Hal ini merupakan salah satu cara untuk mempersulit terjadinya perceraian sesuai
dengan prinsip hukum Perkawinan Nasional. Hal ini dinyatakan pula oleh
Hilman Hadikusuma yang berpendapat bahwa :19
Salah satu prinsip dalam hukum Perkawinan Nasional ialah
mempersulit terjadinya perceraian (cerai hidup), karena perceraian
berarti gagalnya tujuan perkawinan untuk membentuk keluarga yang
bahagia, kekal dan sejahtera, akibat perbuatan manusia. Lain halnya
dengan terjadinya putus perkawinan karena kematian yang merupakan
takdir dari Tuhan Yang Maha Esa yang tidak dapat dielakkan oleh
manusia.

17

Op. Cit. Amir Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, hlm. 52

18

Martiman Prodjohamidjojo, Tinjauan Mengenai Undang-Undang Perkawinan, (Jakarta:


Indonesia Legal Publishing, 2003), hal. 54
19

Hilman Kusuma, Hukum Adat Dalam Yurisprudensi, Hukum Kekeluargaan


Perkawinan, Perwarisan, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1993), hlm. 160

15

Ditegaskan didalam Penjelasan Pasal 39 ayat 2 Undang-Undang Nomor 1


Tahun 1974, bahwa alasan-alasan yang dapat dijadikan dasar untuk perceraian
adalah sebagai berikut:
1.

Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk,


pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar
disembuhkan.
Salah satu pihak meninggalkan yang lain selama dua tahun
berturut-turut tanpa izin pihak yang lain dan tanpa alasanalasan yang sah atau karena hal lain diluar kemauannya.
Salah satu pihak mendapat hukuman penjara lima tahun
atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan
berlansung.
Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan
berat yang membahayakan terhadap pihak lain.
Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang
mengakibatkan tidak dapat menjalankan kewajibannya
sebagai suami isteri.

2.
3.
4.
5.

6.

Antara suami dan isteri terus menerus terjadi


perselisihan/pertengkaran dan tidak ada harapan akan
rukun lagi dalam rumah tangga.20
Bahwa untuk meningkatkan kualitas perkawinan menurut ajaran Islam

diperlukan bimbingan dan penasihatan perkawinan secara terus-menerus dan


konsisten agar dapat mewujudkan rumah tangga/keluarga yang sakinah
mawaddah warahmah. Sejak BP4 di dirikan pada tanggal 3 Januari 1960 dan
dikukuhkan oleh KeputusanMenteri Agama Nomor 85 tahun 1961 diakui bahwa
BP4 adalah satu-satunya Badan yang berusaha dibidang Penasihatan Perkawinan
dan Pengurangan Perceraian. Fungsi dan Tugas BP4 tetap konsisten
melaksanakan Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dan
Peraturan Perundang lainnya tentang Perkawinan, oleh karenanya fungsi dan

20

Op. Cit., Prodjohamidjojo, hlm. 42

16

peranan BP4 sangat diperlukan masyarakat dalam mewujudkan kualitas


perkawinan.21
BP4 mempunyai upaya dan usaha sebagai berikut:
1. Memberikan bimbingan, penasihatan dan penerangan
mengenai nikah, talak, cerai, rujuk kepada masyarakat baik
perorangan maupun kelompok;
2. Memberikan bimbingan tentang peraturan perundangundangan yang berkaitan dengan keluarga;
3. Memberikan bantuan mediasi kepada para pihak yang
berperkara di pengadilan agama.
4. Memberikan bantuan advokasi dalam mengatasi masalah
perkawinan, keluarga dan perselisihan rumah tangga di
peradilan agama;
5. Menurunkan terjadinya perselisihan serta perceraian,
poligami yang tidak bertanggung jawab, pernikahan di
bawah umur dan pernikahan tidak tercatat;
6. Bekerjasama dengan instansi, lembaga dan organisasi yang
memiliki kesamaan tujuan baik di dalam maupun di luar
negeri;
7. Menerbitkan dan menyebarluaskan majalah perkawinan dan
keluarga, buku, brosur dan media elektronik yang dianggap
perlu;
8.
Menyelenggarakan
kursus
calon/pengantin,
penataran/pelatihan, diskusi, seminar dan kegiatan-kegiatan
sejenis-yang berkaitan dengan perkawinan dan keluarga;
9. Menyelenggarakan pendidikan keluarga untuk peningkatkan
penghayatan dan pengamalan nilai-nilai keimanan,
ketaqwaan dan akhlaqul karimah dalam rangka membina
keluarga sakinah;
10.Berperan aktif dalam kegiatan lintas sektoral yang
bertujuan membina keluarga sakinah;
11. Meningkatkan upaya pemberdayaan ekonomi keluarga;
12. Upaya dan usaha lain yang dipandang bermanfaat untuk
kepentingan organisasi serta bagi kebahagiaan dan
kesejahteraan keluarga.22
E. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
21
22

Muqaddimah Anggaran Dasar BP4 yang merupakan Hasil Munas BP4 ke XIV 2009
Pasal 6 Anggaran Dasar BP4 Tahun 2009

17

Penelitian yang penulis lakukan adalah penelitian yuridis sosiologis. Yakni


penelitian tentang pelaksanaan berlakunya hukum positif yaitu UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
2. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian yang penulis pilih untuk melakukan penelitian terhadap
permasalahan yang telah penulis tetapkan adalah di Kabupaten Rokan Hulu
Provinsi Riau. Adapun pemilihan lokasi penelitian ini adalah karena tingginya
tingkat perceraian di Kabupaten Rokan Hulu.
3. Populasi dan Sampel
a. Populasi
Populasi adalah keseluruhan unit penelitian yang mempunyai sifat
tertentu didalam penelitian. Adapun yang menjadi populasi dalam
penelitian ini adalah :
1. Ketua Pengadilan Agama Kabupaten Rokan Hulu.
2. Kepala Kantor Kementrian Agama Kabupaten Rokan Hulu.
3. Ketua BP4 di Kabupaten Rokan Hulu.
b. Sampel
Untuk memudahkan penulis dalam melakukan penelitian maka penulis
menentukan sampel, dimana sampel merupakan bagian dari keseluruhan

18

populasi yang dijadikan objek penelitian penulis, sampel dapat mewakili


dari seluruh populasi.
Dalam menentukan sampel pada penelitian ini, penulis lakukan dengan
menggunakan metode sensus, yaitu menetapkan sampel berdasarkan
jumlah populasi yang ada karena jumlah populasinya sedikit, serta penulis
juga menggunakan purposive sampling dengan cara jumlah sampel dicari
dan dipilih serta disesuaikan dengan keadaan lapangan, diharapkan dapat
mewakili seluruh jumlah populasi.

TABEL I.1
Populasi dan Sampel
No

Jenis Populasi

Populasi

Sampel

100

1.

Ketua Pengadilan Tinggi


Kabupaten Rokan Hulu

Agama

2.

Kepala Kantor Kementrian Agama di


Kabupaten Rokan Hulu

3.

Ketua BP4 se Kabupaten Rokan Hulu

16

100
1
8

50%

19

JUMLAH

18

10

4. Sumber Data
a. Data Primer, yaitu data yang penulis peroleh secara lansung melalui
responden dengan cara melakukan penelitian dilapangan mengenai
hal-hal yang bersangkutan dengan masalah yang diteliti.
b. Data Sekunder, yaitu data yang penulis peroleh melalui kepustakaan
dengan

membaca

literatur-literatur

dan

peraturan

perundang-

undangan yang berlaku yang ada hubungannya dengan permasalahan


yang diteliti.
c. Data Tersier, yaitu data-data yang penulis dapat dari ensiklopedi,
kamus dan lainnya.
5. Teknik pengumpulan Data
Guna mendapatkan dan mengumpulkan data yang dibutuhkan dalam
penelitian ini, penulis lakukan dengan beberapa metode, antara lain:
a. Observasi, yaitu pengumpulan data yang penulis lakukan dengan
cara pengamatan lapangan terhadap obyek penelitian.
b. Wawancara terstruktur, yaitu pengumpulan data dengan cara
menanyakan lansung pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan
dengan masalah yang

diteliti kepada responden, dimana

20

sebelumnya penulis mempersiapkan daftar pertanyaan yang


hendak dipertanyakan kepada responden.
c. Kajian Kepustakaan, yaitu metode pengumpulan data dengan cara
membaca literature-literatur kepustakaan yang berkaitan erat
dengan permasalahan yang diteliti, baik berupa buku-buku bacaan
maupun peraturan perundang-undangan yang berlaku.
6. Analisis Data
Setelah data terkumpul secara keseluruhannya, maka proses selanjutnya
adalah menganalisa data tersebut. Analisa data dilakukan dengan
deskriptif analitis dengan teknik analisa tabulasi dan uraian. Selanjutnya
data tersebut dihubungkan dengan pendapat ahli tentang sebab musabab
tingginya angka perceraian di Kabupaten Rokan Hulu untuk ditarik
kesimpulan dengan metode deduktif.
BAB II
TINJAUAN UMUM
A. Keadaan Umum Wilayah Hukum Kabupaten Rokan Hulu.
1. Keadaan Geografis
Rokan hulu merupakan Kabupaten di Provinsi Riau, yang terletak di
Barat Laut Pulau Sumatra pada 1000 1010 52 Bujur Timur dan 00 15 10 30
Lintang Utara. Kabupaten yang diberi julukan Negeri Seribu Suluk ini

21

mempunyai luas wilayah 7. 449. 85 Km2 dan berbatasan lansung dengan: Sebelah
Utara, berbatasan dengan Provinsi Sumatra Utara dan Kabupaten Rokan Hilir.
Sebelah Barat, berbatasan dengan Provinsi Sumatra Utara dan Sumatra Barat.
Sebelah Timur, berbatasan dengan Kabupaten Kampar, Bengkalis dan Siak.
Sebelah Selatan, berbatasan dengan Provinsi Sumatra Barat.

23

2. Administrasi
Kabupaten Rokan Hulu dengan kota Pasir Pengaraian sebagai Ibukota
Kabupaten, mudah untuk dicapai dari kota-kota lain, berjarak sekitar 180 Km
dari Pekanbaru, ibukota Provinsi Riau. Kabupaten Rokan Hulu, merupakan
sebuah kabupaten baru yang merupakan hasil pemekaran dengan kabupaten
Kampar. Berdiri pada tanggal 12 Oktober 1999 berdasarkan Undang-Undang
Nomor 53 Tahun 1999. secara administrasi terdiri dari 14 Kecamatan 8
Kelurahan dan 126 Desa.
3. Sejarah Kabupaten Rokan Hulu
Sebelum penjajahan Belanda, wilayah Rokan Hulu terbagi menjadi dua
wilayah; wilayah Rokan Kanan yang terdiri dari Kerajaan Tambusai, Kerajaan
Rambah dan Kerajaan Kepenuhan, dan wilayah Rokan Kiri yang terdiri dari
Kerajaan Rokan IV Koto, Kerajaan Kunto Darussalam serta beberapa kampung
dari Kerajaan Siak (Kewalian negeri Tandun dan kewalian Kobun), kerajaankerajaan ini sekarang yang disebut dengan Lima Lukah. Dalam kerajaan tersebut
23

Humas Pemkab Rokan Hulu

22

di atas dikendalikan oleh Kerapatan Ninik sedangkan penyelenggaraan


pemerintahan kekampung-kampung diselenggarakan oleh Penghulu Adat, mashur
dikenal rakyat kata-kata yang berbunyi Raja itu dikurung dikandangkan oleh
Ninik Mamak.
Kemudian pada tahun 1905 kerajaan-kerajaan dalam dua wilayah tersebut
mengikat perjanjian dengan Belanda dan dari pihak Belanda diakuilah berdirinya
kerajaan-kerajaan itu sebagai Landschap serta setiap peraturan kerajaan
mendapat pengesahan dari perwakilan Belanda barulah dapat dijalankan. Pada
masa Penjajahan Belanda ini banyak tokoh-tokoh Islam yang anti penjajahan
seperti Tuanku Tambusai (Pahlawan Nasional), Tuanku Syekh Abdul Wahab
Rokan, Sultan Zainal Abidinsyah dan lainya yang berjuang menentang
penjajahan. Perjuangan ini dibuktikan dengan adanya benteng tujuh lapis,
beberapa kubu kecil yang namanya masih lekat sebagai nama desa tertentu
seperti, Kubu jua, Kubu manggis, Kubu joriang, dan lain-lain.
Pada masa Jepang, pemerintahan berjalan seperti biasanya namun setelah
beberapa raja ditangkap oleh Jepang maka pemerintahan dijalankan oleh Kuncho
yang diangkat oleh Jepang. Kemudian dimasa kemerdekaan, Lanschap dimasa
Belanda dan KU dimasa Jepang dijadikan Kecamatan yang dikepalai oleh Camat
sampai saat sekarang kedua wilayah Rokan Kiri dan Rokan Kanan telah
disatukan menjadi Kabupaten Rokan Hulu dengan ibu negeri Pasir pengarayan.

24

24

Diakses dari www.rokanhulu.go.id pada tanggal 30 Mei 2010

23

4. Topografi dan Iklim


Kabupaten Rokan Hulu berada pada

ketinggian 70 86 meter dari

permukaan laut. Disebelah barat kabupaten mempunyai kontur tanah yang


bergelombang yang merupakan bagian pegunungan Bukit Barisan (15 %)
sedangkan bagian besar lainnya (85 %) merupakan daratan rendah yang subur,
terdapat 3 buah sungai besar yaitu Rokan Kiri, Rokan Kanan dan Sungai Sosah.
Wilayah Kabupaten Rokan Hulu memiliki 3 sungai besar disamping
beratus-ratus sungai kecil yang dijadikan masyarakat tempatan sebagai sumber
kehidupan sehari-hari. Sungai Rokan Kanan, Sungai Rokan Kiri dan Batang
Sosah yang bermuara ke Sungai Rokan Bagian Hilir dengan panjang lebih kurang
100 km, kedalaman rata-rata 6 m serta lebar 92 m. Daerah Rokan Hulu
merupakan daerah dataran rendah sampai sedang yang terletak dibagian timur
deretan Bukit Barisan dengan ketinggian bekisar 5 - 1125 dpl. Dari berbagai
bukit di deretan Bukit Barisan yang dikenal oleh masyarakat Rokan Hulu adalah
Bukit Simerah Lembu atau Simolombu yang bagi sang petualang alam selalu
mendambakan bungkulan bukit itu untuk dapat diraih.
Dengan kondisi seperti tersebut diatas, menjadikan daerah Kabupaten
Rokan Hulu kaya akan sumber daya alam hingga tidak berlebihan pula Rokan
Hulu merupakan tempat yang menarik bagi para pialang kebun untuk
menanamkan modalnya di daerah ini. Disamping keindahan alam, Kabupaten
Rokan Hulu kaya dengan budaya yang unik dari berbagai kelompok etnis yang
tinggal di daerah ini sejak tahun 1979 setelah dijadikan sebagai salah satu daerah

24

tujuan transmigrasi oleh Pemerintah RI. Penduduk Rokan Hulu ramah tamah
dengan budaya melayu yang adaptif akan memberikan kenyamanan anda untuk
berkunjung selagi tidak bertentangan dengan agama yang dikenal dengan
Melayu identik dengan Islam Selamat Datang di Rokan Hulu Bumi Bermalu,
Negeri Seribu Suluk, Semoga anda senang di negeri ini.
Kabupaten Rokan Hulu tergolong daerah beriklim tropis dengan
temperatur udara berkisar antara 220 310 C. Terdapat dua musim yaitu musim
hujan dan musim kemarau. Ada musim kemarau umumnya terjadi antara bulan
Maret sampai dengan Agustus sedangkan musim hujan terjadi September sampai
dengan Januari.

5. Masyarakat
Penduduk Rokan Hulu merupakan kesatuan dari berbagai macam suku
dan ragam budaya. Sebagian besar merupakan keturunan suku Melayu Rokan
dan Mandailing. Selain itu terdapat pula suku Minang Kabau, Jawa, Sunda dan
masih terdapat adanya masyarakat terasing yaitu suku Bonai dan suku Sakai, dua
suku pertama dan suku terakhir merupakan suku asli Rokan Hulu.
Masyarakat Rokan Hulu sangat kuat memegang teguh budaya dan tradisi
kesehariannya. Hukum adat masih berpengaruh dalam kehidupan bermasyarakat,
terlihat dengan upacara perkawinan, penyambutan tamu negeri dan acara budaya
lainnya.

25

B. Gambaran Umum Pengadilan Agama Kabupaten Rokan Hulu


Berdasarkan surat keputusan Menteri Agama RI Nomor 34 Tahun 1972,
pada kalimat berikut menyebutkan antara lain: Menetapkan membentuk
Pengadilan Agama/Mahkamah Syariah Pasir Pangarayan, yang kondisinya pada
saat itu sebagai cabang dari Pengadilan Agama/Syariah Pekanbaru, dan sebagai
pimpinan Ketua Pengadilan/Syariah Pekanbaru adalah Bapak Drs. H. Abbas
Hassan, yang juga merangkap sebagai Ketua Pengadilan Agama/Mahkamah
Syariah Pasir Pangarayan secara definitif pada tanggal 28 Agustus 1975.

25

Sejak saat itu Pengadilan Agama Pasir Pangarayan telah melakukan


tugasnya sesuai dengan wewenang yang diberikan kepadanya seperti yang diatur
dalam ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1957.
Untuk membantu pelaksanaan tugas sehari-hari, Ketua Drs. H. Abbas
Hassan dibantu oleh beberapa orang tenaga Hakim Honorer masing-masing
bernama, M. Saleh KUA, A. Jabal, Hasanuddin, Pakih Mukhtar dan M. Bakar.
Dan dibantu pula oleh seorang Panitera bernama: Sorat M, yang dahulunya dari
pegawai Kantor Departemen Agama Kabupaten Kampar pindah ke Pengadilan
Agama Pasir Pangarayan.
Sejak berdirinya Pengadilan Agama Pasir Pangarayan telah menjalankan
tugasnya dihari kerja yang bertempat dirumah penduduk yang bernama Habibah

25

Hasil wawancara dengan Ketua Pengadilan Agama Kabupaten Rokan Hulu pada
tanggal 22 Mei 2010

26

dengan Hak sewa, kemudian kantor pindah tempat di Kantor Wali Nagari
Rambah.

26

Adapun Daftar nama Ketua Pengadilan Agama Pasir Pangarayan adalah:


1. Drs. H. Abbas Hasan

(1972-1976)

2. Drs. Damanhuri

(1979-1998)

3. Drs. Aceng Rukhiyat

(1999-2000)

4. Drs. Sy. Effendi Srg

(2000-2005)

5. Drs. Nurmujib, MH

(2005 Sekarang)

27

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan


Agama Bab III tentang Kekuasaan Pengadilan, Pasal 49 Ayat (1), menentukan
bahwa Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan
menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang
beragama Islam di bidang:
a. Perkawinan;
b. Kewarisan, dan hibah, yang dilakukan berdasarkan hukum Islam;
c. Wakaf dan sedekah.

26

Ibid
27

Ibid

27

Penjelasan Pasal 49 Ayat (2) menentukan bahwa yang dimaksud dengan


bidang hukum perkawinan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan adalah:
1. Izin beristeri lebih dari seorang;
2. Izin melansungkan perkawinan bagi orang yang belum berusia 21
(dua puluh satu) tahun, dalam hal orang tua atau wali atau keluarga
dalam garis lurus ada perbedaan pendapat;
3. Dispensasi kawin;
4. Pencegahan perkawinan;
5. Penolakan perkawinan oleh Pegawai Pencatat Nikah;
6. Pembatalan perkawinan;
7. Gugatan kelalaian atas kewajiban suami atau isteri;
8. Perceraian karena talak;
9. Gugatan perceraian;
10. Penyelesaian harta bersama;
11. Mengenai penguasaan anak-anak;
12. Ibu dapat memikul biaya pemeliharaan dan pendidikan anak bilamana
bapak seharusnya bertanggung jawab tidak memenuhinya;
13. Penentuan kewajiban memberi biaya penghidupan oleh suami kepada
bekas isteri atau penetuan suatu kewajiban bagi bekas isteri;
14. Putusab tentang sah atau tidaknya seorang anak;
15. Putusan tentang pencabutan kekuasaan orang tua;
16. Pencabutan kekuasaan wali;
17. Penunjukan orang lain sebagai wali oleh pengadilan dalam hal
kekuasaan seorang wali dicabut.
18. Menunjuk seorang wali dalam hal seorang anak yang belum cukup
umur 18 (delapan belas) tahun yang ditinggal kedua orang tuanya
padahal tidak ada penunjukan wali oleh orang tuanya;
19. Pembebanan kewajiban ganti rugi terhadap wali yang telah
menyebabkan kerugian atas harta benda anak yang dibawah
kekuasaanya;
20. Penetapan asal usul seorang anak;
21. Putusan tentang hal penolakan pemberian keterangan untuk
melakukan perkawinan campuran;
22. Pernyataan tentang sahnya perkawinan yang terjadi sebelum UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 dan dijalankan menurut peraturan yang
lain.
Pada masa Kemerdekaan, Pengadilan Agama atau Mahkamah Islam
Tinggi yang telah ada tetap berlaku berdasarkan aturan peralihan. Selang tiga

28

bulan berdirinya Departemen Agama yang dibentuk melalui Keputusan


Pemerintah Nomor 1/SD, Pemerintah mengeluarkan Penetapan Nomor 5/SD
tanggal 25 Maret 1946 yang memindahkan semua urusan mengenai Mahkamah
Islam Tinggi dari Departemen Kehakiman kepada Departemen Agama. Sejak saat
itulah peradilan agama menjadi bagian penting dari Departemen Agama.

28

C. Gambaran Umum Mengenai BP4


1. Sekilas Awal Berdirinya BP4
Badan Penasihatan, Pembinaan dan Pelestarian Perkawinan (BP4) yang
dahulu bernama Badan Penasihatan Perkawinan Perselisihan dan Perceraian
(BP4) merupakan badan semi resmi pemerintah yang bertugas membantu
DepartemenAgama

dalam

bidang

pembangunan

keluarga.

Kelahirannya

dilatarbelakangi tingginya angka perceraian. Semula bersifat sektoral, kemudian


disatukan dengan nama Badan Penasihatan Perkawinan dan Penyelesaian
Perceraian melalui Surat Keputusan Menteri Agama Nomor 85 Tahun 1961.
kemudian disusul dengan Keputusan Menteri Agama Nomor 30 Tahun 1977.

28

Anshori Abdul Ghofur, Peradilan Agama di Indonesia Pasca UU Nomor 3 Tahun


2006, (Yogyakarta: UII Press, 2007), Hal. 19

29

Dimana dalam Keputusan Menteri Agama tersebut ditegaskan mengenai


kedudukan dan tugas BP4, yaitu sebagai berikut,
BP4 merupakan satu-satunya badan yang bertugas menunjang
sebagian tugas Departemen Agama dalam hal ini Ditjen Bimas Islam
dan Urusan Haji dalam bidang penasihatan perkawinan, perselisihan
dan perceraian, namun bukan organisasi struktural Departemen
Agama dan kedudukannya bersifat semi resmi yang mendapat
subsidi dari pemerintah karena sifat keanggotaannya tidak mengikat.
Dalam situasi dan kondisi semacam ini BP4 tetap melaksanakan
tugas dan mengembangkan misi untuk meningkatkan mutu
29
perkawinan dan mewujudkan keluarga bahagia sejahtera.
Sejarah pertumbuhan organisasi BP4, dimulai dengan adanya organisasi
BP4 di Bandung tahun 1954. kemudian di Jakarta dengan nama Panitia
Penasihatan Perkawinan dan Penyelesaian Perceraian (P5), di Jawa Tengah dan
Jawa Timur dengan nama BP4 dan di Daerah Istimewa Yogyakarta dengan nama
Badan Kesejahteran Rumah Tangga (BKRT). Sebagai pelaksanaan keputusan
konferensi Departemen Agama di Tretes tanggal 25-30 Juni 1955, maka
disatukanlah organisasi tersebut dengan nama Badan Penasihatan Perkawinan
kemudian berdasarkan Keputusan Menteri Agama Nomor 30 Tahun 1977 tentang
Penegasan Pengakuan BP4 sebagai satu-satunya badan penunjang sebagaian tugas
Departemen Agama dalam Penasihatan Perkawinan, Perselisihan Rumah Tangga
dan Perceraian, maka kepanjangan BP4 diubah menjadi Badan Penasihat
Perkawinan, Perselisihan dan Perceraian.

30

29

BP4 Pusat, Hasil-Hasil Musyawarah nasional BP4 VII dan PITNAS IV, (Jakarta: BP4
Pusat, 1986), hal. 118
30

Badan Penasihatan, Pembinaan dan Pelestarian Perkawinan (BP4), Hasil Munas BP4
XIII/2004 dan Pemilihan Ketua Sakinah Teladan Tingkat Nasional, Jakarta, 14 17 Agustus

30

Beberapa alasan yang menjadi landasan filosofi didirikannya BP4 tercantum


dalam mukaddimah Anggaran Dasar BP4 yang memuat inti motivasi dan
semangat berdirinya BP4, diantaranya sebagai berikut:

31

Pertama, berdasarkan firman Allah SWT QS. Ar-Ruum ayat 21:


Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan
untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan
merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan Nya diantaramu rasa kasih
sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat
tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.
Dari ayat diatas dapat diambil kesimpulan bahwa manusia, yaitu laki-laki
dan perempuan dianjurkan untuk membentuk keluarga (menikah), agar tercipta
ketentraman dan tumbuhnya rasa kasih sayang.
Kedua, bahwa untuk mewujudkan rumah tangga sejahtera dan bahagia,
diperlukan adanya bimbingan yang terus menerus dan berkesinambungan dari
para Korps Penasihat.
Ketiga, diperlukan adanya Korps Penasihat Perkawinan yang berakhlak
tinggi dan berbudi nurani bersih sehingga dapat melaksanakan tugas dengan baik.
Sedangkan sendi dasar operasionalnya yang berlandaskan peri kehidupan
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa dalam pembentukan rumah tangga yang
menjadi sendi dasar negara, dibebankan kepada Kementrian Agama, yaitu dengan
melaksanakan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1946 Tentang Pengawasan dan
31

Sumayya, Peranan BP4 Dalam Upaya Mencegah Perkawinan Usia Muda, (Skripsi
Sarjana Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2006), hal. 31

31

Pencatatan NTR (Nikah, Thalaq dan Rujuk) yang berlaku menurut Agama
Islam.

32

Tugas pemerintah sebagaimana dijelaskan dalam Undang-Undang tersebut


adalah hanya mengawasi dan mencatatkan perkawinan, sementara pemeliharaan
dan perawatan kelestarian perkawinan diserahkan kepada pasangan suami isteri.
Dengan kata lain dalam hal penyelesaian krisis dalam rumah tangga bukan
merupakan tugas lansung dari Departemen Agama, apalagi Undang-Undang
Perkawinan waktu itu baru dalam tahap persiapan.

33

BP4 tentunya tidak lahir tanpa sebab, tentu saja ada beberapa alasan yang
mendorong dilahirkannya organisasi yang bergerak dalam bengkel rumah
tangga tersebut. Beberapa faktor yang mendorong berdirinya BP4 menurut Drs.
Zubaidah Muchtar adalah : Tingginya angka perceraian, banyaknya perkawinan
dibawah umur dan terjadinya praktek poligami yang tidak sehat serta sewenangwenang.

34

2. Kedudukan BP4 pada Pengdilan Agama Maupun Departemen Agama


Kedudukan BP4 saat ini terpisah dari Pengadilan Agama. Namun, sebelum
tahun 1955 antara BP4 dan Pengadilan Agama saling berkaitan, terutama
32

BP4 Pusat, BP4 Pertumbuhan dan Perkembangan, (Jakarta: BP4 Pusat, 1977), hal. 13
33

Ibid, hal. 14

34

BP4 Pusat, Tantangan Baru BP4 Setelah 37 Tahun Berkiprah, Perkawinan dan
Keluarga XXV, (Jakarta: BP4 Pusat, 1997), hal. 8

32

mengenai kewenangan mengeluarkan Akta Cerai ada di BP4, sehingga BP4 dapat
mengetahui jumlah perceraian yang terjadi di wilayah BP4 tersebut. Sekarang
antara BP4 dengan Pengadilan Agama sudah terpisah dan tidak ada hubungan
koordinasi. Penerbitan Akta Cerai merupakan wewenang Pengadilan Agama.
BP4 berada dalam struktur Departemen Agama, khususnya di bawah
Direktorat Urusan Agama dan Pembinaan Syariah. Pada Departemen Agama,
tedapat BP Pusat yang membawahi BP4 Tingkat Provinsi, kemudian BP4 tingkat
kota, dan lingkup terkecil adalah BP4 tingkat kecamatan yang berada disetiap
Kantor Urusan Agama.
3. Peran dan Tugas BP4
Secara formil tujuan BP4 dirumuskan untuk mempertinggi nilai
perkawinan dan terwujudnya rumah tangga sejahtera bahagia menurut tuntunan
Islam ( Anggaran Dasar BP4 Pasal 3). Ada 2 (dua) hal yang saling berkaitan
menjadi tujuan organisasi BP4, yaitu:
d.

Mempertinggi nilai perkawinan.

e.

Terwujudnya rumah tangga sejahtera bahagia menurut tuntunan Islam.

35

Tujuan pertama dapat diartikan bersifat umum. Yaitu agar nilai


perkawinan bersifat luhur, sesuai dengan norma yang sebenarnya. Sementara
dalam kondisi masyarakat sekarang banyak terjadi samen leven atau kumpul kebo,
35

BP4 Pusat, Op.Cit., hal. 130

33

yaitu hidup bersama tanpa adanya pernikahan yang sah, maka tujuan ini adalah
aktual.
Tujuan kedua lebih bersifat praktis dan individual. Yaitu setiap perkawinan
harus sejahtera sifatnya dan bukan sebaliknya menimbulkan neraka bagi
masing-masing pihak. Lembaga keluarga adalah kesatuan dari beberapa pribadi
yang masing-masing sebagai manusia bebas dengan beragam sifat dan karakter.
Dalam keadaan demikian, tanpa bimbingan dan suri tauladan akan mudah
melahirkan sengketa sebagai akibat dari masing-masing pihak yang ingin
dominant atau tidak memperhatikan pihak lain.
Anggaran Dasar BP4 Pasal 4, memberi 5 cara penting sebagai usaha
menuju tercapainya tujuan diatas, yaitu:
(1). Memberikan nasihat dan penerangan tentang pernikahan, thalak, cerai dan
rujuk kepada pihak yang akan melakukannya.
(2). Mengurangi terjadinya perceraian dan poligami.
(3). Memberi bantuan dalam menyelesaikan kesulitan-kesulitan perkawinan dan
perselisihan rumah tangga menurut hukum agama.
(4). Menerbitkan buku/brosur dan menyelenggarakan kursus-kursus, penataran,
diskusi, seminar dan sebagainya.
(5). Bekerja sama dengan instansi/lembaga yang bersamaan tujuannya didalam
dan luar negeri.

34

Selain kelima bentuk usaha tersebut, juga dimungkinkan adanya usahausaha lain yang bermanfaat untuk untuk tujuan BP4. BP4 memiliki keanggotaan
yang terdiri atas: (1) tokoh-tokoh organisasi wanita dan pria, (2). Pejabat-pejabat,
tenaga ahli atau tokoh perorangan yang diperlukan (pasal 5 Anggaran Dasar BP4).
Para anggota BP4 dapat disebut sebagai Counselor BP4.
Counselor BP4 tidak hanya melayani suami atau isteri yang sudah
berkelahi sedemikian lama atau hebatnya sehingga mereka sudah memikirkan
untuk bercerai. Hendaknya BP4 tidak membatasi hanya pada mengurus
perselisihan-perselisihan yang sudah terjadi saja, melainkan melancarkan suatu
program kegiatan tentang bagaimana suami dan isteri dapat dididik dan dibina
sehingga mereka sendiri dapat mewujudkan hubungan yang harmonis.
BP4 selanjutnya mendidik dan menatar para suami dan istri agar dapat
mengatasi konflik dan menghindari terjadinya konflik, sehingga dapat
mengurangi terjadinya konflik. Para suami dan isteri hendaknya juga diberi ilmu
dan kebijaksanaan tentang bagaimana mengelola konflik (apabila ternyata konflik
tidak dapat dihindarkan), dan manajemen menyelesaikan konflik dengan baik,
agar tidak meninggalkan luka dan dapat memulihkan keharmonisan dan kasih
saying antara suami dan istri.

35

BAB III
TINJAUAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974
A. Perkawinan Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.
Perkawinan merupakan ikatan suci antara seorang pria dan wanita, yang
saling mencintai dan menyayangi. Sudah menjadi kebutuhan hidup mendasar,
bila setiap insan akan menikah. Umumnya, setiap orang berniat untuk menikah
sekali seumur hidup saja. Tidak pernah terbesit bila dikemudian hari harus
bercerai, lalu menikah lagi dengan orang lain, atau memilih untuk tetap sendiri.
Namun pada kenyataannya justru bukan demikian. Tidak sedikit pasangan suamiisteri,

yang

akhirnya

harus

memilih

berpisah

alias

bercerai.

Faktor

36

ketidakcocokan dalam sejumlah hal, berbeda persepsi serta pandangan hidup,


paling tidak menjadi beberapa penyebab terjadinya perceraian.

Undang-Undang

Nomor

Tahun

1974

36

tentang

Perkawinan

mendefenisikan perkawinan merupakan ikatan lahir batin antara seorang pria dan
seorang wanita sebagai suami isteri. Dengan tujuan membentuk keluarga yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Perkawinan di
Indonesia menganut asas monogami terbuka, artinya dalam suatu perkawinan
seorang pria hanya boleh mempunyai seorang isteri, begitu juga sebaliknya.
Kecuali pengadilan memberikan izin kepada seorang pria tersebut, untuk beristeri
lebih dari seorang, itupun bila dikehendaki oleh pihak-pihak terkait. Serta
memenuhi syarat-syarat yang telah ditetapkan, baik menurut syarat alternatif
maupun kumulatif.
Sebuah perkawinan dapat dilaksanakan bila memenuhi ketentuan dan
syarat-syarat sebagai berikut:

37

1. Perkawinan didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai. Sekalipun


perkawinan terjalin karena sistem perjodohan, sebelumnya tetap harus
mendapat persetujuan dari kedua calon mempelai.
2. untuk melansungkan perkawinan, seseorang yang belum mencapai umur
21 tahun harus mendapat izin terlebih dahulu, dari kedua orang tuanya
36
37

Budi Susilo, Prosedur Gugatan cerai, (Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2007) hal. 1
Ibid, Hal. 15

37

yang masih hidup. Apabila kedua orang tuanya yang dimaksud telah
meninggal dunia, atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan
kehendaknya, maka ijin diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau
keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus
ke atas, selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat
menyatakan kehendaknya. Lebih dari itu, dalam sistem perkawinan di
Indonesia umur minimal yang diperkenankan untuk melaksanakan
perkawinan adalah 19 tahun untuk pria dan 16 tahun untuk wanita.
3. Calon mempelai pria dan wanita tidak terbukti memiliki:
a. hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah ataupun ke
atas.
b. Hubungan darah dalam garis keturunan menyamping. Yaitu, antara
saudara, antara seorang dengan saudara orangtua dan antara
seorang dengan saudara neneknya.
c. Hubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri menantu dan
ibu/bapak tiri.
d. Hubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara
susuan dan bibi/paman susuan.
e. Hubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau kemenakan
dari isteri, dalam hal seorang suami beristeri lebih dari seorang.
f. Hubungan lain yang diatur menurut ketentuan agamanya, atau
peraturan lain yang berlaku.

38

4. Seorang yang masih terikat tali perkawinan dengan orang lain, tidak dapat
melakukan perkawinan lagi. Kecuali diperkenankan menurut agamanya,
serta mendapat ijin dari pengadilan. Itupun, jika sebelumnya mendapat
persetujuan dari seluruh pihak yang bersangkutan.
5. Apabila suami dan isteri yang telah bercerai, kawin lagi satu dengan yang
lain dan bercerai lagi untuk yang kedua kalinya, maka diantara mereka
tidak boleh dilansungkan perkawinan lagi. Sepanjang hukum masingmasing agama dan kepercayaan yang bersangkutan tidak menentukan
lain.
Kemudian, perkawinan dinyatakan sah apabila dilakukan menurut hukum
masing-masing agama dan kepercayaan yang bersangkutan. Serta dicatatkan
menurut peraturan perundangan yang berlaku. Akibat hukum yang ditimbulkan
sebuah perkawinan adalah sebagi berikut:
1. Terkait dengan hak dan kedudukan, suami dan isteri adalah seimbang.
2. Terkait dengan kedudukan anak, dimana anak adalah sah apabila
dilahirkan dalam atau sebagai akibat dari perkawinan yang sah.
3. Terkait dengan harta benda dalam perkawinan. Yaitu, setelah
perkawinan akan terjadi percampuran harta yang didapat menjadi
harta bersama. Kecuali atas harta bawaan maupun harta perolehan,
itupun harus didasarkan pada perjanjian pemisahan harta.
Tujuan utama pencatatan perkawinan adalah demi mewujudkan ketertiban
administrasi perkawinan dalam masyarakat disamping untuk menjamin tegaknya

39

hak dan kewajiban suami isteri. Hal ini merupakan politik hukum negara yang
bersifat preventif untuk mengkoordinasi masyarakatnya demi terwujudnya
ketertiban dan keteraturan dalam sistem kehidupan, termasuk dalam masalah
perkawinan yang diyakini tidak luput dari berbagai ketidakteraturan dan
pertikaian antara suami isteri. Karena itu keterlibatan penguasa/negara dalam
mengatur perkawinan dalam bentuk pencatatan merupakan suatu keharusan.
Di Indonesia walaupun telah ada peraturan perundang-undangan tentang
perkawinan yang secara tegas mengatur masalah keharusan mendaftarkan
perkawinan secara resmi pada pegawai pencatat nikah, tetapi tampaknya
kesadaran masyarakat akan hukum dan pentingnya suatu pencatatan perkawinan,
masih dapat dibilang rendah. Hal ini terlihat dari banyaknya dijumpai prakek
nikah sirri yang dilakukan dihadapan Kyai, tengku, modin, ustadz dan
sebagainya.

38

Masalah pencatatan perkawinan di Indonesia diatur dalam beberapa pasal


peraturan perundang-undangan berikut ini. Pasal 2 Ayat (2) Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 mengatur : Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pencatatan dilakukan oleh
Pegawai Pencatat Nikah (PPN) sebagaimana dimaksud oleh Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 1954 tentang Pencatat Nikah, Talak dan Rujuk. Sedangkan tata
cara pencatatannya berpedoman kepada ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 9
Tahun 1975. Selanjutnya, Pasal 10 Ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 1975
38

Op. Cit. H. M. Ansyari MK, Hal. 18

40

menentukan bahwa perkawinan dilaksanakan di hadapan Pegawai Pencatat


yang dihadiri oleh dua orang saksi. Fungsi pencatatan disebutkan pada angka
4.b. Penjelasan umum Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974: Pencatatan tiaptiap perkawinan adalah sama halnya dengan pencatatan peristiwa-peristiwa
penting dalam kehidupan seseorang, misalnya kelahiran, kematian yang
dinyatakan dalam surat-surat keterangan, suatu akta yang juga di muat dalam
daftar pencatatan

B. Perceraian Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974


Tentang perkawinan tidak hanya mengatur tentang perkawinan tetapi
mengatur pula masalah perceraian, begitu pula peraturan organiknya seperti
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975. Peraturan tersebut tidak hanya
diperuntukkan bagi golongan penduduk yang beragama Islam, tetapi juga bagi
golongan yang bukan beragama Islam. Dan khusus bagi umat Islam pada tahun
1991 telah dikeluarkan Inpres Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum
Islam, yang isinya di samping penambahan norma hukum baru dan merupakan
penegasan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan sebelumnya.

39

39

Ibid, Hal. 75

41

Suatu hal yang harus diakui bahwa bidang perkawinan dalam hukum
Islam memiliki kompleksitas masalah yang tidak sederhana. Oleh karena itu,
penanganan dan penyelesaian sengketa perkawinan, khususnya perceraian tidak
boleh harus melibatkan kebijakan pemerintah/negara. Hal ini karena rumah
tangga merupakan unit terkecil suatu negara, jika rumah-rumah tangga disuatu
negara itu teratur, harmonis, bermoral, terpogram dan tertata rapi, maka akan
nampak dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Karena itu, keterlibatan
pemerintah/negara merupakan keharusan.

40

Dalam Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang


Perkawinan, dicantumkan enam prinsip mengenai perkawinan. Keenam prinsip
tersebut ialah sebagai berikut:
(a). Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan
kekal.
(b). Suatu perkawinan baru dinyatakan sah bilamana dilakukan manurut
hukum agama dan kepercayaan masing-masing dan dicatatkan
sebagai tindakan administratif.
(c). Perkawinan menganut azas monogami.
(d). Untuk melansungkan perkawinan calon mempelai harus sudah
sampai usia nikah, yaitu 19 tahun bagi pria dan 16 tahun bagi
wanita.
(e). Mempersukar terjadinya perceraian, dan untuk suatu perceraian
harus ada alasan tertentu dan harus dilakukan didepan sidang
pengadilan.
(f). Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan
kedudukan suami baik dalam kehidupan rumah tangga maupun
41
dalam pergaulan masyarakat.

40
41

Ibid, Hal. 76
Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

42

Dalam pasal 65 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 yang telah


diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Jo Pasal 39 UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 ditegaskan bahwa: Perceraian hanya dapat
dilakukan di depan sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan
berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak. Selanjutnya di
dalam angka 7 Penjelasan umum Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989
ditegaskan bahwa: Undang-Undang Perkawinan bertujuan antara lain
melindungi kaum wanita pada umumnya dan pihak isteri pada khususnya..
Dalam fikih klasik, Jumhur Ulama berpendapat bahwa hak mutlak untuk
menjatuhkan talak ada pada suami. Karena itu, kapan saja dan dimana saja
seorang suami ingin menjatuhkan talak terhadap isterinya, baik ada saksi atau
tidak, baik ada alasan atau tidak, talak yang dijatuhkan itu hukumnya sah.

42

Bahkan Jumhur ulama mengatakan bahwa talaknya seorang suami yang


dijatuhkan dalam keadaan mabuk pun dihukum sah.

43

Tetapi, para ulama jumhur

berpendapat pula bahwa sekalipun hak telak secara mutlak ada pada suami, Islam
juga memberi hak talak bagi isteri untuk menuntut cerai melalui khulu terhadap
suami yang telah keluar dari tabiatnya.

42
43

44

Ensiklopedi Islam, Jilid 5, (Penerbit Ichtiar Baru Van Hoeve; Jakarta) 1994, Hal. 55
Ibid

44

Di Indonesia, hak istri untuk menuntut cerai selain fasakh dan khulu (talak khuli =
Talak yang dijatuhkan suami berdasarkan khulu yang telah disepakati) ditambah lagi yaitu taklik
talak (cerai dengan putusan pengadilan berdasarkan sighat taklik talak yang diucapkan suami
sesaat setelah selesai akad nikah) lihat Pasal 116 huruf (g) Kompilasi Hukum Islam.

43

Memberikan hak talak kepada suami adalah ketentuan dari al-Quran.

45

Dalam membicarakan hak mutlak talak, para ulama hampir selalu membicarakan
masalah hak-hak seorang isteri apabila di talak oleh suaminya. Tetapi, dalam hal
ini para ulama kita sekarang cenderung hanya mensosialisasikan kepada umat
melalui dakwah dan khutbahnya mengenai hak otoriter suami untuk menjatuhkan
talak terhadap isterinya. Akibatnya, kita dapat menyaksikan bahwa banyak suami
dengan amat mudah dan tanpa beban menjatuhkan talak terhadap isterinya
sesukanya tanpa memperhatikan kewajibannya terhadap isterinya sebagai akibat
talak yang ia jatuhkan.
Peraturan perundang-undangan tentang perkawinan di Indonesia juga
memberikan hak mutlak kepada seorang suami untuk mentalak isterinya, tetapi
dengan ketentuan:
a. Perceraian harus dilakukan didepan sidang Pengadilan;
b. Perceraian harus disertai dengan alasan-alasan sebagaimana telah
diatur undang-undang;
c. Mengikuti prosedur sebagaimana diatur dalam Pasal 66 dst.
Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 dan ketentuan perundangundangan lainnya.
Hukum perkawinan di Indonesia mengatur bahwa perceraian itu harus
dilakukan di depan sidang pengadilan, dan tidak diakui perceraian yang
dilakukan di luar pengadilan. Dalam Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor
7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama dijelaskan bahwa Undang-Undang
45

Al-Quran Surat al-Baqarah [2]: 229, Talak (yang dapat diruju) itu dua kali (setelah
itu suami dapat) menahan dengan baik atau menceraikan dengan baik.

44

Perkawinan bertujuan antara lain untuk melindungi kaum wanita pada umumnya
dan pihak isteri pada khususnya. Disamping itu secara yuridis undang-undang
tersebut bertujuan adalah untuk mendapatkan suatu kepastian hukum.
Suatu perceraian yang dilakukan diluar pengadilan, sama halnya dengan
suatu perkawinan yang dilakukan dengan tidak mencatatkannya. Ia tidak diakui
oleh hukum dan, oleh karenanya, tidak dilindungi hukum. Lebih tegas lagi dapat
dikatakan bahwa perceraian yang dilakukan diluar pengadilan tidak mempunyai
kekuatan hukum (no legal force). Oleh karena itu, hukum menganggapnya tidak
pernah ada (never existed). Suatu perceraian yang dilakukan diluar pengadilan
akan menimbulkan kesukaran bagi si istri atau bahkan bagi si suami. Hal itu
karena hampir dapat dipastikan bahwa dalam setiap talak yang dijatuhkan oleh
suami terhadap isterinya diluar pengadilan, suami tidak pernah memperhitungkan
hak-hak siteri sebagai akibat dari perceraian tersebut, semisal nafkah iddah,
nafkah madiyah, mutah dan pembagian harta bersama. Selain dari itu, tidak ada
suatu penilaian tentang apakah talak yang dijatuhkan oleh suami itu benar-benar
didasarkan kepada suatu alasan yang dibenarkan oleh agama, yang intinya adalah
karena suatu kesalahan dari pihak isteri.
Salah satu prinsip Undang-Undang Perkawinan adalah mempersulit
terjadinya perceraian.

46

Seorang suami yang diberi hak mutlak untuk mentalak

isterinya tidak semena-mena dapat menggunakan haknya. Hak seorang suami


untuk mentalak isterinya dapat terjadi bilamana didasarkan kepada alasan-alasan
perceraian sebagaimana diatur dalam Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 9
46

Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam Di Dunia Islam,(Jakarta: PT. Raja
Grafindo, 2004), Hal. 169-161

45

Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 jo Pasal


116 Kompilasi Hukum Islam.
Pasal 19 PP Nomor 9 Tahun 1975 berbunyi: Perceraian dapat terjadi
karena alasan:
a.

Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat,


penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan.

b.

Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun


berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau
karena hal lain diluar kemampuannya.

c.

Salah satu pihak mendapat hukuman 5 (lima) tahun atau hukuman


yang lebih berat setelah perkawinan berlansung.

d.

Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat


yang membahayakan pihak lain.

e.

Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat
tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau isteri.

f.

Antara suami atau isteri terus menerus terjadi perselisihan dan


pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam
rumah tangga.
Sedangkan didalam rumusan Kompilasi Hukum Islam ditambah dua

item lagi, yaitu:


g.

Suami melanggar taklik talak.

h.

Murtad yang menyebabkan terjadinya ketidakrukunan dalam rumah


tang.

46

Kalau diperhatikan ketentuan Pasal 66 dst. Undang-Undang Nomor 7


Tahun 1989 dan Pasal 14 dst. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 serta
ketentuan perundang-undangan lainnya tentang pemeriksaan perkara perceraian
dipersidangan, bahwa suatu suatu perceraian, apakah cerai talak (suami yang
mengajukan permohonan) atau gugat cerai (isteri yang mengajukan gugatan),
gugatan atau permohonannya harus diajukan ke Pengadilan yang disertai alasanalasan tersebut diatas. Alasan-alasan yang dapat diajukan sebagai dasar
permohonan talak (gugatan perceraian) harus sesuai dengan ketentuan undangundang, dan hakim baru menjatuhkan putusan yang berisi memberi izin kepada
suami untuk menjatuhkan talak terhadap isterinya (dalam kasus cerai talak)
setelah ada keyakinan terpenuhinya alasan-alasan perceraian.

47

Terhadap kasus permohonan cerai talak dari pihak suami, hukum


memerintahkan kepada majelis hakim yang mengadili perkara tersebut untuk
mewajibkan kepada bekas suami memberikan biaya penghidupan dan/atau
menentukan kewajiban bagi bekas bekas isterinya.

48

Dalam Pasal 149 Kompilasi

Hukum Islam lebih tegas lagi disebutkan bahwa, bila mana perkawinan putus
karena talak, maka bekas suami wajib memberikan kepada bekas isterinya:
a. Mutah yang layak berupa uang atau barang.
b. Nafkah iddah yang meliputi nafkah, tempat tinggal (maskan)
dan perlengkapan hidup (kiswah).
47

Dalam Pasal 39 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 ditegaskan: Untuk
melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami isteri itu tidak akan dapat
hidup rukun sebagai suami-isteri.
48

Pasal 41 huruf (c) UU. Nomor 1 Tahun 1974

47

c. Melunasi mahar yang belum terbayar.


d. Biaya hadhanah/ biaya pemeliharaan untuk anak-anaknya
yang belum mencapai umur 21 tahun.
Dari uraian diatas dapat dilihat bahwa urgensi perceraian harus di depan
sidang pengadilan adalah untuk mewujudkan kemaslahatan dan untuk menjamin
hak-hak suami isteri secara adil dan bertimbal balik, tidak ada pihak yang merasa
dirugikan, dan tercapai tata cara perceraian sebagaimana dikehendaki oleh alQuran dalam Surat al-Baqarah [2]: 299 diatas.
Bagi sebagian umat Islam Indonesia aturan mengenai perceraian ini
merupakan ganjalan yang relative masih besar atau sekurang-kurangnya masih
menjadi tanda tanya yang belum terjawab, karena dirasakan tidak sejalan dengan
kesadaran hukum yang selama ini berkembang, yaitu aturan fikih klasik. Aturan
fikih mengizinkan perceraian atas dasar kerelaan kedua belah pihak, atau atas
inisiatif suami atau juga inisiatif isteri secara sepihak, bahkan perceraian boleh
dilakukan tanpa campur tangan lembaga peradilan. Aturan perceraian yang tertera
dalam UUP ini serta aturan pelaksanaan lainnya dirasakan terlalu jauh
perbedaannya dengan kesadaran hukum yang ada ditengah masyarakat muslim
sehingga menimbulkan kesulitan dilapangan.
Harus diakui, sebagaimana yang disampaikan Al Yasa, bahwa
Undang-Undang Perkawinan tersebut merupakan hasil kompromi antara mereka
yang berusaha menjauhkan atau setidak-tidaknya tidak menganggap penting
kedekatan hukum nasional dengan ajaran Islam disatu pihak
49

49

dengan wakil dan

Prof. Dr. Al Yasa Abu Bakar, MA, dalam Mimbar Hukum, Nomor 40 Tahun 1998,

Hal. 57.

48

tokoh umat Islam yang berusahan mendekatkan ajaran Islam dengan aturan
negara, sehingga terwujud hukum nasional yang betul-betul sesuai dengan
kesadaran hukum yang sekaligus memberikan kepuasan batin kepada masyarakat
muslim Indonesia dipihak yang lain.

50

Sebelum tahun 1974, proses perkara cerai talak di Indonesia kebanyakan


masih berpedoman pada ketentuan-ketentuan hukum yang diajarkan oleh kitabkitab fikih klasik. Masalah talak adalah hak penuh seorang suami, sifat
perkaranya pun seolah-olah voluntair. Akibatnya, terjadi proses yang sangat
diskriminatif. Isteri tidak diberi hak untuk membela diri. Kesempatan bicara
dalam proses persidangan hanya oleh suami. Pengadilan Agama seakan-akan
melegitimasi tindakan sewenang-wenang suami terhadap isteri. Perkosaan hukum
dan isteri semacam ini tidak pantas untuk dipertahankan, jika umat Islam
menginginkan terwujudnya keteraturan dan ketertiban. Kehadiran undangundang perkawinan, Undang-Undang tentang Peradilan Agama Nomor 7 Tahun
1989 yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006, dan
kompilasi Hukum Islam, bertujuan untuk menertibkan praktik yang tidak layak
diatas. Proses perkara yang selama ini dianggap voluntair, ditingkatkan menjadi
kontentius.

51

Suami sebagai penggugat dan isteri sebagai tergugat. Perceraian

harus dilandasi alasan logis sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-

50

Ibid

51

M. Yahya Harahap, Kedudukan, Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, , (Jakarta:


Penerbit Sinar Grafika,2005) Hal. 47

49

undangan. Keterlibatan pemerintah yang selama ini dianggap tidak perlu,


menjadi mutlak.
Perlu disadari, bahwa Negara Indonesia sebagai negara yang berdasarkan
atas hukum (rechtstaat), hukum mempunyai status dan kedudukan yang sangat
menentukan kehidupan ketatanegaraan. Konsekuensi

logis dari kenyataan

tersebut adalah keharusan adanya tatanan/perangkat hukum yang mampu


mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara secara nasional.
Hukum mempunyai tugas untuk menjamin adanya kepastian hukum
dalam masyarakat. Hukum menjaga dan mencegah agar setiap orang tidak main
hakim sendiri. Setiap sengketa, apakah sengketa rumah tangga atau sengketa
mengenai harta dan lainnya, harus diselesaikan melalui proses hukum di
pengadilan berdasarkan hukum yang berlaku. Kecuali itu, oleh karena setiap
orang terikat oleh hukum, setiap perbuatan mereka harus sesuai dengan peraturan
hukum yang berlaku.

BAB IV
PEMBAHASAN

A.

Peranan

dan Hambatan BP4 dalam menanggulangi tingginya

tingkat perceraian di Kabupaten Rokan Hulu.

50

Di Indonesia sejak tahun 1974 telah di undangkan suatu undang-undang


tentang perkawinan yang dikenal dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan. Materi undang-undang tersebut merupakan kumpulan
tentang hukum munakahat yang terkandung didalam Al quran, Sunnah
Rasulullah, dan kitab-kitab fiqih klasik kontemporer, yang telah berhasil diangkat
oleh sistem hukum nasional Indonesia dari hukum normatif menjadi hukum
tertulis dan hukum positif yang mempunyai kekuatan mengikat dan memaksa
kepada seluruh rakyat Indonesia, termasuk umat muslim Indonesia.

52

Dengan dikeluarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang


Perkawinan maka dimensi hukum telah masuk keranah perkawinan. UndangUndang ini merupakan sebuah bentuk aspirasi hukum dan sosial sebagai
landasan berhukum untuk menuju Modren Society and Responsive Law.
Berkaitan dengan itu, salah satu fungsi hukum adalah untuk kesejahteraan hidup
manusia, disamping kepastian hukum. Sehingga hukum boleh dikatakan bahwa
berhukum adalah sebagai medan dan perjuangan manusia dalam konteks mencari
53

kebahagiaan hidup.

BP4 sebagai mitra Departemen Agama bertugas membantu dalam


meningkatkan mutu perkawinan dengan mengembang keluarga sakinah. Di era
reformasi sekarang ini peran BP4 sangat diperlukan untuk menciptakan iklim
52

M. Anshary MK, Hukum Perkawinan di Indonesia, , Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2010, hal.

10.
53

Sabian Usman, Dasar-Dasar Sosilogi Hukum Makna Dialog Antara Hukum dan Masyarakat, ,
Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2009, hal. 5

51

yang kondusif dalam upaya keluarga sakinah

mawaddah warahmah. Untuk

melaksanakan misi tersebut BP4 berupaya memberikan pelayanan lansung


kepada masyarakat berupa penasihatan, pembinaan, pelestarian, mediasi dan
advokasi perkawinan serta memberikan dorongan kepada segenap tokoh
masyarakat, ormas Islam, Konselor dan Pensehatan Perkawinan untuk lebih pro
aktif memberikan bimbingan dan penyuluhan tentang pentingnya eksistensi
keluarga yang bahagian kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Di Kecamatan Rambah Samo Kabupaten Rokan Hulu peranan BP4 sangat
kurang sekali. Minimnya pengetahuan masyarakat terhadap BP4 karena
kurangnya sosialisasi sehingga masyarakat kurang mengetahui fungsi dari BP4
itu sendiri. Sebahagian besar masyarakat hanya mengetahui tugas BP4 sebatas
memberi nasehat bagi calon pengantin. Kalau berbicara dalam tataran idialnya
tugas BP4 juga harus memberikan nasehat bagi pasangan suami isteri yang ingin
bercerai, sehingga tingkat perceraian bisa diminimalisir. Akibat kurangnya
pengetahuan masyarakat tentang tugas-tugas pokok dari BP4, maka pasangan
yang akan melakukan perceraian lansung ke Pengadilan Agama atau ke ninik
mamak/tokoh masyarakat untuk menyelesaikan masalah keluarga mereka, oleh
sebab itu BP4 kurang berfungsi.

54

Minimnya pengetahuan masyarakat terhadap BP4 karena ninik mamak/


tokoh masyarakat sangat berperan penting dalam menyelesaikan setiap
permasalahan yang ada ditengah masyarakat. Bagi calon pengantin yang ingin

54

Hasil wawancara dengan H. Rusli, S. Ag Ketua BP4 Kecamatan Rambah Samo


Kabupaten Rokan Hulu pada tanggal 15 Juli 2010.

52

menikah secara resmi, mereka mengetahui peranan BP4. Tetapi dikarenakan


banyaknya pernikahan yang tidak melalui lembaga Negara yang resmi maka
mereka tidak mengetahui peranan BP4.
Selain itu, kurangnya pengetahuan masyarakat terhadap BP4 dikarekan
tidak adanya bantuan dari pemerintah, sosialisasi mengenai BP4 ke masyarakat
hanya melalui ceramah-ceramah agama. Dukungan dari pemerintah hanya ada
ketika melaksanakan nikah massal, dan hal ini sangat jarang sekali dilakukan.
Hambatan-hambatan lainnya yakni kurangnya personil di BP4 tersebut serta tidak
adanya kerjasama dengan Pengadilan Agama.

55

Budaya masyarakat yang masih tabu untuk mengkonsultasikan masalah


keluarga mereka juga masih menambah kurang efektifnya kinerja BP4 ditengahtengah masyarakat. Sebagian masyarakat merasa malu untuk berkonsultasi ke
BP4 untuk mengkonsultasikan permasalannya.

56

Walaupun ditengah keterbatasan yang ada, keberadaan BP4 harus tetap


dipertahankan dan difungsikan kembali dengan tujuan awalnya. Salah satu upaya
nya ialah dengan meningkatkan kesejahteraan

57

anggota BP4 serta meningkatkan

sumber daya manusianya, yakni dengan menempatkan orang-orang yang

55

Hasil wawancara dengan Gustaman, S. Ag Ketua BP4 Kecamatan Rambah Hilir pada
tanggal 16 Juli 2010.
56

Hasil wawancara dengan Marthillevi Saleh, S. Ag Ketua BP4 Kecamatan Rambah


pada tanggal 17 juli 2010.
57

Hasil wawancara dengan Samsuar, S. Ag Ketua BP4 Kecamatan Rambah Hilir pada
tanggal 18 Juli 2010.

53

mempunyai keahlian seperti ahli Psikologi dan ahli konseling, sehingga hasil
konsultasi dengan BP4 bisa memuaskan pihak-pihak yang berkonsultasi.
Selama menjabat sebagai Ketua BP4 Kecamatan Rambah Samo,
H. Rusli S. Ag hanya menerima 5 Pasangan suami isteri yang ingin melakukan
perceraian, yang mana hanya 1 pasangan saja yang gagal bercerai, selainnya
diteruskan ke pengadilan Agama.

58

Sedangkan di Kecamatan Rambah hanya ada

tiga masalah perkawinan yang dikonsultasikan pada BP4 dan semuanya dapat
didamaikan dengan baik dan mereka tidak jadi bercerai.

59

Adapun upaya-upaya yang telah dilakukan BP4 untuk mengurangi


perceraian adalah dengan memanggil pihak-pihak yang terkait didalam
perceraian, lalu memberikan nasehat-nasehat agar tidak terjadi perceraian.
Kemudian melakukan penyuluhan setiap ada kesempatan kepada masyarakat
bahwa perceraian itu dibenci oleh Allah SWT, mempersiapkan pasangan yang
akan melakukan pernikahan yaitu memberi nasehat-nasehat, supaya rumah
tangga mereka tidak gagal ditengah jalan atau bercerai dengan bimbingan kursus
pengantin (Suscatin) baik dari segi agama, adat istiadat yang berkembang di
masyarakat maupun Undang-Undang tentang perkawinan.

60

Lemahnya peranan lembaga BP4 ditengah-tengah masyarakat

harus

mendapatkan perhatian yang serius dari Pemerintah. Diperlukan upaya-upaya


tertentu agar peranan BP4 bisa efektif ditengah masyarakat, sehingga tingkat
58

Op. Cit., H. Rusli, S. Ag

59

Op. Cit., Marthivelli Saleh, S. Ag

60

Ibid

54

perceraian bisa dikurangi dan semua permasalahan keluarga bisa di konsultasikan


untuk dicarikan jalan keluar dengan cara-cara yang baik.
Salah satu tujuan dibentuknya BP4 adalah untuk membentuk keluarga
sakinah mawaddah warahmah, sehingga terciptanya masyarakat madani yang
akan membawa Indonesia pada sebuah peradaban. Fungsi dan Tugas BP4 tetap
konsisten melaksanakan UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dan Peraturan
Perundang lainnya tentang Perkawianan, oleh karenanya fungsi dan peranan BP4
sangat diperlukan masyarakat dalam mewujudkan kualitas perkawinan. Namun,
apabila banyak keluarga yang pecah akibat perceraian maka akan berdampak
besar bagi perkembangan anak dan keluarga disekitarnya.
BP4 merupakan sebuah organisasi dari Kementrian Agama dan
merupakan suatu hal yang tidak bisa dipisahkan. Karena itu merupakan salah satu
tugas pokok Kementrian Agama untuk melakukan reformasi di tubuh BP4, baik
reformasi kelembagaan maupun reformasi yang bersifat personal.

61

Kurangnya kerja sama antara BP4 dengan Pengadilan menjadi hambatan


bagi BP4 dalam menjalankan tugas-tugasnya. Seharusnya Pengadilan Negeri
sebelum memeriksa kasus perceraian memerintahkan kepada pasangan yang
hendak bercerai untuk berkonsultasi ke BP4. Tetapi hal ini terbentur oleh Perma
No. 1 Tahun 2008 yang memerintahkan hakim untuk menempuh jalur mediasi

61

Hasil wawancara dengan Drs. H. Idrus Nasution, Kasubbag Kementrian Agama


Kabupaten Rokan Hulu pada tanggal 17 Juli 2010.

55

dahulu sebelum di ajukan ke meja persidangan. Hakim lansung menjadi mediator


terhadap masalah tersebut.

62

Tingginya tingkat perceraian di Kabupaten Rokan Hulu menjadi tanda


bahwa tidak terealisasinya tujuan dari UU Nomor 1 Tahun 1970 tentang
Perkawinan. Apabila di tinjau dari pendapat Lawrence Meir Friedman, hukum
memiliki tiga aspek agar bisa berjalan dengan baik ditengah-tengah masyarakat,
yakni: (1) Structure (tatanan kelembagaan dan kinerja lembaga); (2) Substance
(materi hukum); (3) Legal Culture (budaya hukum).

63

Apabila dianalisa

menggunakan teori Lawrence Meir Freidmen, tingginya tingkat perceraian di


Kabupaten Rokan Hulu permasalahannya terletak pada Structure (tatanan
kelembagaan dan kinerja lembaga) serta Legal Culture (budaya hukum).

B. Upaya Hakim Pengadilan Agama Dalam Mendamaikan Pihak Yang


Mengajukan Perceraian Di Pengadilan Agama Rokan Hulu.
Hukum sebagai perlindungan kepentingan manusia harus dilaksanakan.
Pada umumnya kita semuanya melaksanakan hukum. Bahkan seringkali tanpa
kita sadari kita melaksanakan hukum. Hanya dalam hal terjadi pelanggaran
hukum atau sengketa, pelaksanaan atau penegakan hukum diserahkan kepada
penguasa, dalam hal ini kekuasaan kehakiman. Dalam hal ada pelanggaran

62

Ibid

63

Lawrence Meir Friedmen, American Law: An Introduction (New York: W.W Norton
and Company, 1984) yang mana penulis kutip dari ceramah pengukuhan guru besar Sayta
Arinanto, Politik Pembangunan Hukum Nasional Dalam Era Pasca Reformasi, Fakultas Hukum
Universitas Indonesia, Jakarta, 2006.

56

hukum pelaksanaan atau penegakannya merupakan monopoli kekuasaan


kehakiman.

64

Tingginya tingkat perceraian di Kabupaten Rokan Hulu mendapat


perhatian yang serius dari semua pihak. Dengan maraknya terjadi perceraian
ditengah masyarakat menjadi sebuah tanda (sign) adanya pergeseran nilai-nilai
yang hidup ditengah masyarakat Kabupaten Rokan Hulu. Untuk mereduksi
pergeseran nilai-nilai tersebut maka peranan lembaga-lembaga tertentu sangat
diharapkan. Untuk mengurangi tingginya upaya perceraian maka upaya dari
Pengadilan

Agama

selaku

pemegang

kewenangan

dalam

memutuskan

perkawinan sangat diperlukan.


Setiap hakim bertanggung jawab atas perbuatannya di bidang hukum
(peradilan). Tanggung jawab tersebut dibedakan antara tanggung jawab undangundang (publik) dan tanggung jawab moral. Tanggung jawab moral undangundang adalah tanggung jawab hakim kepada penguasa (negara) karena telah
melaksanakan peradilan berdasarkan perintah undang-undang. Tanggung jawab
moral adalah tanggung jawab hakim selaku manusia kepada Tuhan Yang Maha
Esa yang telah memberinya amanat supaya melaksanakan peradilan berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa.

65

Upaya hakim untuk mencegah terjadinya

perceraian merupakan tanggung jawab terhadap undang-undang dan tanggung


jawab moral.
64

Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, (Liberty; Yogyakarta,


2001), hal. 135
65

Abdul Kadir Muhammad, Etika Profesi Hukum, (Bandung; PT. Citra Aditya Bakti,
2006) , Hal. 131

57

Penyebab tingginya tingkat perceraian di Kabupaten Rokan Hulu rata-rata


penyebabnya ialah faktor ekonomi, perselingkuhan dan kekerasan dalam rumah
tangga. Sebelum para pihak mengajukan perkaranya ke pengadilan, para hakim di
pengadilan Agama Kabupaten Rokan Hulu selalu mengupayakan perdamaian
diantara para pihak yang ingin bercerai. Hakim di Pengadilan Agama juga selalu
mengusahakan agar kedua belah yang akan bercerai untuk menempuh
penyelesaian diluar persidangan seperti mediasi, tetapi di Kabupaten Rokan Hulu
belum ada mediator yang bersertifikat jadi para hakim Pengadilan Agamalah
yang sebagai mediatornya pada siding pertama.

66

Proses persidangan yang berjalan di Pengadilan Agama Kabupaten Rokan


Hulu sama dengan semua Pengadilan Agama yang Indonesia. Pada tahun 2009
yang banding berjumlah 5, sedangkan pada tahun 2010 hingga saat ini baru
berjumlah 3 orang. Perselisihan yang terjadi mengenai harta gono gini, yang
mana salah satu pihak jarang mau yang mengalah. Sedangkan untuk masalah hak
asuh anak biasanya jatuh pada ketangan ibu karena anak-anaknya berusia
dibawah umur dan masih perlu bimbingan dari ibunya.
Tingkat pengetahuan masyarakat Rokan Hulu tentang menyelesaikan
perceraian di Pengadilan Agama masih sangat minim. Masyarakat Kabupaten
Rokan Hulu sebagian besar menikah dan bercerai tidak melalui lembaga
pemerintahan. Yang mana sebagian besar masyarakat ini berdiam dibagian
pelosok kabupaten. Mereka banyak menikah dan bercerai melalui ninik mamak

66

Hasil wawancara dengan Drs. Nur Mujib, MH. Ketua Pengadilan Agama Kabupaten
Rokan Hulu pada tanggal 17 Juli 2010.

58

tanpa memiliki buku nikah yang resmi dan melakukan proses perceraian begitu
saja tanpa proses pengadilan.
Bagi masyarakat yang mengerti akan fungsi lembaga Negara tersebut,
mereka melakukan pernikahan dan perceraian melalui lembaga negara dan
mereka mengerti fungsi dari lembaga-lembaga negara yang berwenang
menangani permasalahan tersebut. Kalau menikah mereka pergi ke Kantor
Urusan Agama (KUA) yang mana sebelum melaksanakan pernikahan mereka
diberi nasehat terlebih dahulu oleh BP4 supaya mereka yang menikah dapat
mewujudkan tujuan dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan sedangkan kalau bercerai ke Pengadilan Agama yang sebelumnya
sudah diberi nasehat perdamaian oleh mediator agar tidak terjadi perceraian.
Semenjak keluarnya Perma Nomor 1 Tahun 2008, para pihak yang akan
bercerai di Pengadilan Agama diperintahkan untuk menyelesaikan secara mediasi
oleh mediator. Apabila para pihak meminta menyelesaikannya melalui ninik
mamak pucuk suku maka diserahkan pada ninik mamak. Bahkan ninik mamak
juga ikut bersidang di Pengadilan Agama.
Sebelum adanya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan
Agama, hubungan antara BP4 dan Pengadilan Agama saling berkaitan. Ketika itu
peraturan yang berlaku masih UU Perkawinan dan PP nya, sehingga hukum acara
yang berlaku belum ada. Jdi sebelum ke Pengadilan Agama, suami isteri yang
berselisih mendatangi BP4 terlebih dahulu. Dan waktu itu sebelum UU berlaku,
putusan perceraian dikukuhkan di Pengadilan Negeri, dan Akta Cerai yang
mengeluarkan adalah BP4, sementara Pengadilan Agama mengeluarkan SKT3

59

(Surat Keterangan Telah Terjadinya Talak) dan kemudian surat itulah yang
dipergunakan untuk menebus Akta Cerai di BP4 yang terdapat di KUA setiap
kecamatan. Kemudian pemerintah mengatur agar proses perceraian menjadi
singkat dan dipermudah. Sebab perceraian memerlukan biaya besar, termasuk
adanya biaya pungutan liar di dalam proses selama dari BP4 kemudian
Pengadilan Agama hingga Pengadilan Negeri.
Sekarang angka perceraian lebih banyak karena biaya perceraian murah
dan prosesnya singkat hanya di Pengadilan Agama saja. Bagi orang yang tidak
mampu juga disediakan biayanya oleh negara. Sebenarnya negara tidak
bermaksud untuk mempermudah perceraian, tetapi untuk tertib hukum. Apabila
dahulu banyak yang ditinggal suaminya tidak dapat berbuat apa-apa, jika suami
menikah lagi. Sementara isteri perlu mengeluarkan biaya yang tinggi untuk
bercerai. Setelah ada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 praktis lansung ke
Pengadilan Agama dan Akta Cerai lansung dikeluarkan oleh Pengadilan Agama,
putusan pun tidak lagi dikukuhkan di Pengadilan Negeri.
Pihak Pengadilan Agama, termasuk hakim-hakimnya seharusnya lebih
terbuka menerima BP4 sebagai lembaga penasihatan perkawinan, terutama pada
saat menawarkan mediasi dari luar Pengadilan Agama, yaitu dengan
menyebutkan salah satu lembaga mediasi perkawinan di luar pengadilan adalah
BP4. Hakim seharusnya lebih bijaksana dalam memberikan kebebasan dan
pilihan lembaga mediasi terutama lembaga mediasi di luar Pengadilan seperti
BP4. Alasan Hakim tidak menyebutkan BP4 sebagai salah satu lembaga mediasi

60

di luar pengadilan menurut hemat penulis, adalah suatu tindakan yang kurang
bijaksana.
Menurut Ketua Pengadilan Pengadilan Agama Kabupaten Rokan Hulu,
tingginya angka perceraian di Kabupaten Rokan Hulu lebih disebabkan oleh
masalah-masalah sosial yang ada ditengah masyarakat. Untuk itu untuk
menghadapi semua masalah-masalah tersebut ialah dengan meningkatkan iman
dan taqwa kepada Allah SWT agar pasangan suami isteri dapat menjalankan
67

kehidupan keluarganya sesuai dengan jalur-jalur yang benar.

Perceraian merupakan salah satu sebab putusnya perceraian. Undang-Undang


perkawinan menyebutkan adanya 16 hal penyebab perceraian. Penyebab
perceraian tersebut lebih dipertegas dalam rujukan Pengadilan Agama, yaitu
Kompilasi Hukum Islam (KHI), dimana yang pertama adalah melanggar hak dan
kewajiban.
Dalam hukum Islam, hak cerai terletak pada suami. Oleh karena itu di
Pengadilan Agama maupun pengadilan Negeri ada istilah Cerai Talak. Sedangkan
putusan pengadilan sendiri ada yang disebut sebagai cerai gugat. Disinilah letak
perbedaannya. Bahkan ada perkawinan yang putus karena lian, khuluk, fasikh
dan sebagainya. Putusan pengadilan ini akan ada berbagai macam produknya.
Pada penyebab perceraian, pengadilan memberikan legal formal, yaitu
pemberian surat sah atas permohonan talak dari suami. Surat talak tersebut
diberikan dengan mengacu pada alasan-alasan sebagaimana diatur dalam pasal 39
ayat (2), dimana salah satu pihak melanggar hak dan kewajiban. Sehingga,
67

Ibid

61

walaupun surat talak tersebut sah secara hukum, namun tidak ada kata
kesepakatan diantara dua pihak untuk bercerai. Sebagai contoh, apabila seorang
suami menjatuhkan talak satu kepada istrinya, maka talak satu yang diucapkan
tersebut harus dilegalkan telebih dahulu di depan pengadilan. Karena pada
dasarnya secara syari, talak tidak boleh diucapkan dalam keadaan emosi.
Sehingga, melalui proses legalisasi di depan pengadilan, terdapat jenjang waktu
bagi suami untuk merenungkan kembali talak yang telah terucap.
Saat ini Pengadilan Agama memberikan sarana mediasi. Di pengadilan
sekarang sudah dimulai sejak adanya Surat Edaran dari Mahkamah Agung No, 1
Tahun 2002. Seluruh hakim di Pengadilan Agama benar-benar harus
mengoptimalkan lembaga mediasi tersebut. Melalui mediasi tersebut, banyak
permohonan talak yang ditolak oleh Pengadilan Agama, dengan beberapa alasan.
Pertama, karena tidak sesuai dengan ketentuan UU. Kedua, mungkin dari
positanya obscuur atau kabur, dan antara posita dan petitumnya bertentangan.
Misalnya, istri minta cerai, tetapi dia minta nafkah juga. Sedangkan dalam alasan
perceraiannya, si istri menyebutkan bahwa suaminya tidak memberi nafkah
selama beberapa bulan berturut-turut.
Lembaga mediasi yang mulai dioptimalkan sejak tahun 2003, membawa
banyak hasil positif. Lembaga mediasi ini selalu berpulang pada syari. AlQuran selalu kembali pada lembaga hakam itu. Jadi, hakam dari pihak suami
dan hakam dari pihak istri. Jadi, setiap perkara yang bisa diarahkan dengan
menggunakan lembaga hakam dan mengarah pada syiqoq, sebisa mungkin
menggunakan lembaga mediasi.

62

Alasan-alasan cerai yang disebutkan oleh UU Perkawinan yang pertama


tentunya adalah apabila salah satu pihak berbuat yang tidak sesuai dengan syariat.
Atau dalam UU dikatakan disitu, bahwa salah satu pihak berbuat zina, mabuk,
berjudi, terus kemudian salah satu pihak meninggalkann pihak yang lain selama
dua tahun berturut-turut. Apabila suami sudah meminta izin untuk pergi, namun
tetap tidak ada kabar dalam jangka waktu yang lama, maka istri tetap dapat
mengajukan permohonan cerai melalui putusan verstek. Selain itu, alasan cerai
lainnya adalah apabila salah satu pihak tidak dapat menjalankan kewajibannya,
misalnya karena frigid atau impoten. Alasan lain adalah apabila salah satu pihak
(biasanya suami) melakukan kekejaman.
Kompilasi Hukum Islam (KHI) menambahkan satu alasan lagi, yaitu
apabila salah satu pihak meninggalkan agama atau murtad. Dalam hal salah stau
pihak murtad, maka perkawinan tersebut tidak langsung putus. Perceraian
merupakan delik aduan. Sehingga apabila salah satu pasangan tidak keberatan
apabila pasangannya murtad, maka perkawinan tersebut dapat terus berlanjut.
Pengadilan Agama hanya dapat memproses perceraian apabila salah satu pihak
mengajukan permohonan ataupun gugatan cerai.
Tata cara pengajuan permohonan dan gugatan perceraian merujuk pada
Pasal 118 HIR, yaitu bisa secara tertulis maupun secara lisan. Apabila suami
mengajukan permohonan talak, maka permohonan tersebut diajukan di tempat
tinggal si istri. Sedangkan apabila istri mengajukan gugatan cerai, gugatan
tersebut juga diajukan ke pengadilan dimana si istri tinggal. Dalam hal ini, kaum
istri memang mendapatkan kemudahan sebagaimana diatur dalam hukum Islam.

63

Setelah cerai, maka bagi istri berlaku masa tunggu (masa iddhah), yaitu selama
tiga nulam sepuluh hari. Sedangkan bagi wanita yang sedang hamil, maka masa
iddhah nya adalah sampai dia melahirkan. Masa idhah tersebut berlaku ketika
putusan hakim berkekuatan hukum tetap. Sedangkan untuk kasus cerai talak,
maka masa iddhah berlaku setelah permohonan talak suami dilegalkan oleh
Pengadilan Agama.
Apabila masa iddhah telah lewat dan mantan suami istri ingin kembali
rujuk, maka mereka pun dapat kembali rujuk, namun harus dilihat jenis talaknya
terlebih dahulu. Secara umum, talak artinya adalah kembali. Terdapat dua jenis
talak, yaitu talak Bain dan talak Raji. Talak Raji adalah talak yang diucapkan
oleh suami, dan apabila ingin rujuk dalam masa iddhah, maka tidak perlu ada
akad nikah baru. Cukup adanya pernyataan dari pihak suami bahwa mereka
sudah rujuk. Sedangkan untuk talak Bain, yaitu perceraian karena diajukan oleh
sang istri. Talak Bain terdiri atas dua jenis, yaitu Bain Kubro dan Bain sugro.
Talak Bain Kubro dapat diupayakan rujuk, namun harus melalui penghalalan
(muhalil). Sedangkan untuk Bain Sugro terlepas dari adanya masa masa iddhah
atau tidak, tetap harus melalui akad nikah untuk rujuk dan harus melewati prosesi
pernikahan sebagaimana awal menikah dulu. Secara umum, masyarakat hanya
mengenal istilah talak sebatas sebutan talak satu, talak dua dan talak tiga. Talak
yang dijatuhkan oleh suami disebut sebagai cerai talak. Sedangkan talak yang
diajukan oleh istri dinamakan cerai gugat. Jadi sebenarnya ada dua jenis talak.
Dari kedua talak ini, akan ada beberapa produk talak.

64

Produk Cerai talak adalah Talak Raji, dimana untuk rujuk tidak harus
melalui akad baru. Rujuk dalam Talak Raji cukup hanya dengan pernyataan
suami bahwa dia telah rujuk dengan sang istri. Sedangkan produk cerai gugat
adalah talak Bain, sebagaimana yang telah diuraikan di atas. Dalam Talak Bail
Kubro, terdapat Lian dan dzihar. Lian artinya adalah sumpah seorang suami dan
istri bahwa satu sama lain telah berzina. Jadi, masing-masing pihak telah siap
dengan konsekuensi dan azhab dari Allah, apabila memang benar mereka
berbohong.
Sedangkan dzihar adalah tindakan suami yang mempersamakan istrinya
dengan ibu kandungnya. Dalam syariat sama saja dengan mencampuri ibunya.
Oleh karena itu, Lian merupakan perbuatan yang harus diceraikan dengan talak
Bain Kubro. Dalam hal muhalil, maka si muhalil wajib kumpul dengan istrinya
tanpa

basa

basi.

Muhalil

tidak

boleh

disertai

dengan

mutah.

Dalam hal sang istri ingin mengajukan gugatan, maka hal utama yang harus
dipersiapkan oleh sang istri adalah surat gugatan. Sedangkan untuk cerai talak,
kurang lebih sama. Namun yang perlu dipersiapkan oleh sang suami bukan
gugatan, melainkan permohonan untuk melegalkan talak yang sudah terucap.
Alasan untuk mengajukan cerai talak dan cerai gugat kurang lebih sama.
Hanya saja dalam cerai talak ada satu perbedaan, yaitu seorang istri yang nusyuz,
artinya seorang istri yang tidak taat kepada suami. Apabila setelah bercerai baik
suami maupun istri ingin rujuk kembali, maka peristiwa rujuk tersebut akan
tercatat dalam lembar terakhir buku nikah. Demikian halnya apabila para pihak
memiliki perjanjian pranikah, maka perjanjian tersebut akan tercatat dalam

65

lembar terakhir buku nikah itu juga, dengan sepengetahuan instansi yang
berwenang, yaitu KUA.
Dampak dari suatu perceraian selain mengenai masalah harta, juga
mengenai masalah hak wali anak, yaitu bisa terhadap pemeliharaan anak atau hak
hadhonah. Masalah lain yang juga cukup pelik adalah masalah pemberian nafkah,
yaitu sampai kapankah suami wajib memberikan nafkah terhadap mantan istri
setelah mereka bercerai? Apabila talak tersebut datang dari pihak suami, maka
suami wajib menafkahi istri sampe masa iddhah nya selesai. Dalam hal talak,
maka salah satu pihak dapat mengajukan tuntutan mengenai hak haddhonah dan
juga mengenai harta secara bersamaan.
Permasalahan unik lainnya dalam Pengadilan Agama adalah apabila
pasangan suami sitri menikah secara Islam. Namun ditengah bahtera rumah
tangga, mereka pindah agama. Beberapa tahun kemudian mereka bercerai.
Kembali kepada UU Perkawinan UU No.1 Tahun 1974 UU Perkawinan serta
merujuk kembali pada UU NO. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, telah
diatur secara lex specialis bahwa pengadilan agama menyelesaikan menerima
menyelesaikan dan memeriksa serta menyelesaikan perkara-perkara khususnya
tentang masalah berkaitan perceraian yang dilakukan pernikahannya secara
agama Islam. Sehingga walaupun di tengah perkawinan mereka telah pindah
agama dan memutuskan untuk bercerai, maka perkara perceraian tersebut
diselesaikan di Pengadilan Agama sepanjang pernikahan mereka dilaksanakan
secara Islam.

66

Banyak

pasangan yang membuat

perjanjian pranikah mengenai

pemisahan harta. Biasanya masing-masing pihak baik istri maupun suami


membuat perjanjian pranikah yang secara garis besar isinya adalah tidak adanya
percampuran harta. Sehingga apabila mereka meutuskan untuk bercerai, maka
baik istri maupun suami tetap berhak atas harta yang mereka peroleh selama
perkawinan tanpa mengkhawatirkan adanya upaya pengambilalihan oleh pihak
lain. Apabila mereka bercerai, maka perjanjian pranikah tersebut dapat langsung
dieksekusi, yaitu setelah perkara percerain telah memiliki putusan yang
berkekuatan hukum tetap.

BAB V

67

PENUTUP
A. Kesimpulan
1. BP4 memiliki peran sebagai berikut: mendidik dan membei penerangan
kepada suami

dan isteri agar dapat menjadi keluarga yang sakinah,

mawaddah dan rahmah; mendidik para suami dan isteri mengatasi krisis
rumah tangga; memberikan nasehat kepada para suami dan isteri yang sudah
terlibat dalam suatu perselisihan. Tugas pokok BP4 adalah memberikan
benatuan advokasi dan mencegah terjadinya perceraian, menyebarluaskan
majalah perkawinan dan informasi mengenai keluarga kepada masyarakat.
Kedudukan BP4 di luar Pengadilan Agama, namun berada dibawah
Departemen

Agama.

BP4

di

Kabupaten

Pasir

pangaraian

belum

melaksanakan peran dan tugasnya dengan efektif, karena belum terorganisasi


secara baik, terutama system administrasi dan kredibilitas para penasehat. Hal
ini dapat mempengaruhi tingkat kepercayaan masyarakat kepada BP4. Karena
masyarakat mungkin saja enggan untuk mendatangi BP4 karena hal tersebut.
Sosialisasi terhadap keberadaan BP4 masih kurang, sehingga masyarakat
belum mengenal BP4 dan tidak dapat memanfaatkan pelayanan konsultasi
BP4.
2. Hakim-hakim di Pengadilan Agama tidak menjadikan hasil konsultasi BP4
sebagai bahan rujukan dalam memutuskan perkara perceraian. Hakim akan
melihat fakta yang ada, seperti melihat para pihak dapat didamaikan atau
tidak. Ketika awal siding hakim membebaskan bagi suami atau isteri untuk

68

melakukan mediasi baik didalam maupun diluar pengadilan. Seharusnya


hakim perlu menjadikan hasil penasihatan BP4 sebagai tambahan
pertimbangan dalam memutus perkara perselisihan rumah tangga atau
perceraian.

B. Saran
Sesungguhnya visi dan misi serta peran dan tugas BP4 sangatlah mulia,
ingin mewujudkan masyarakat Indonesia menjadi keluarga yang sakinah, namun
dalam hal pelaksanaan belum efektif dan optimal, untuk itu penulis menyarankan
kepada BP4 di Kabupaten Rokan Hulu:
1. Menyinergikan internal lembaga BP4 sehingga menjadi BP4 yang solid
dan dapat dipercaya oleh masyarakat di Kabupaten Rokan Hulu.
2. Merapikan sistem administrasi BP4 sehingga mendaparkan kepercayaan
diri dalam BP4 dan menambah kepercayaan masyarakat kepada BP4
sebagai lembaga penasihatan perkawinan.
3. Mengupayakan kepada Departemen Agama Republik Indonesia untuk
menganggarkan biaya untuk pengembangan BP4.
4. Melakukan sosialisasi dan promosi kepada masyarakat mengenai
pelayanan konsultasi BP4.
5. Melakukan kerja sama dengan para psikolog, ahli komunikasi, atau para
ahli lainnya untk meningkatkan kredibilitas korps perkawinan BP4.

69

6. Melakukan kerja sama atau hubungan koordinasi dengan pihak Dewan


Kemakmuran Mesjid (DKM) di seluruh Kabupaten Rokan Hulu, agar
dapat memperluas jaringan dan mempermudah terlaksanya penasihatan
perkawinan.

Sehingga

apabila

masyarakat

yang

membutuhkan

penasihatan atau konsultasi perkawinan, pertolongan pertamanya adalah


dengan mendatangi pengurus DKM di Masjid yang terdekat dengan
tempat tinggalnya.
7. Melakukan kerja sama atau kesepakatan dengan pihak Pengadilan Agama
untuk mengarahkan para suami isteri yang hendak bercerai agar terlebih
dahulu berkonsultasi kepada BP4.
Saran bagi Pengadilan Agama:
1. Diharapkan dapat open-minded dalam melakukan kerja sama dengan
Kantor Kementrian Agama di Kabupaten Rokan Hulu bersama mengenai
rencana kerjasama dalam upaya menurunkan perceraian dengan bantuan
penasihatan lembaga BP4.
2.

Mewujudkan penyuluhan hukum mengenai perceraian dan akibatnya


bagi suami, istri dan anak, sehingga masyarakat akan memahami betul
akibat dan konsekwensi dari perceraian.

Saran bagi Kementrian Agama Kabupaten Rokan Hulu:

70

1. kepengurusan BP4 Kabupaten Rokan Hulu hendaknya lebih beragam lagi,


seperti dari kalangan psikolog, ahli hukum perkawinan, ahli sosiologi
bukan hanya dari kalangan pemerintah Kota Rokan Hulu saja.

71

DAFTAR PUSTAKA
B. Buku-Buku
Al Haddad, Wanita dalam Syariat dan Masyarakat, terj. M. Adid Bisri, Jakarta:
Pustaka Firdaus, 1993
Al Yasa Abu Bakar, MA, Mimbar Hukum, Nomor 40 Tahun 1998
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia,
Jakarta; Kencana Prenada Media Group, 2006
Djamali Abdoel, Pengantar Hukum Indonesia, Jakarta; Rajawali Pers, 2005
Ensiklopedi Islam, Jilid 5, Penerbit Ichtiar Baru Van Hoeve; Jakarta, 1994
Ghofur, Anshori Abdul., Peradilan Agama di Indonesia Pasca UU Nomor 3
Tahun 2006, Yogyakarta: UII Press, 2007.
Lawrence Meir Friedmen, American Law: An Introduction (New York: W.W
Norton and Company, 1984)
Hilman Kusuma, Hukum Adat Dalam Yurisprudensi, Hukum Kekeluargaan
Perkawinan, Perwarisan, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1993
Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam Di Dunia Islam, Jakarta: PT.
Raja Grafindo, 2004
Muhammad, Abdul Kadir, Etika Profesi Hukum, Bandung; PT. Citra Aditya
Bakti, 2006.
M. Anshary MK, Hukum Perkawinan di Indonesia, Yogyakarta; Pustaka Pelajar, ,
2010
Martiman, Prodjohamidjojo, Tinjauan Mengenai Undang-Undang Perkawinan,
Jakarta: Indonesia Legal Publishing, 2003.
Mertokusumo, Sudikno.,
Yogyakarta, 2001.

Mengenal

Hukum

Suatu

Pengantar,

Liberty;

M. Yahya Harahap, Kedudukan, Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, ,


Jakarta: Penerbit Sinar Grafika,2005
Soekanto, Soejono., Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, Jakarta: Rajawali Pers, 1982

72

Susilo, Budi., Prosedur Gugatan cerai, (Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2007)


Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional, Cet. 3, Jakarta: Rineka Cipta, 2005
Usman Sabian, Dasar-Dasar Sosilogi Hukum Makna Dialog Antara Hukum dan
Masyarakat, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009
Vidya Widjaja Florence, Penetapan Hak Asuh Anak di Bawah Umur Akibat
Putusnya Perkawinan Karena Perceraian Orang Tuanya Menurut UU
No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan,Jakarta: Tesis Program
Kenotariatan Universitas Indonesia, 2006

Media Massa
Warta Hukum dan Perundang-Undangan Vol. 8 No. 2, Agustus 2007, Yuli fajar
Susetyo, Mengembangkan Perilaku Mengajar Yang Humanis, Jakarta
Riau Pos, Hari Kamis Tanggal 7 Januari 2010

Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
Peraturan Mahkama Agung Nomor 1 Tahun 2008
Kompilasi Hukum Islam

Internet
www.pa-amuntai.pta-banjarmasin.go.id dengan judul posting Tren Perceraian
terus Meningkat, Mengapa? Yang diakses pada tanggal 15 April 2010
www.rokanhulu.go.id diakses pada tanggal 30 Mei 2010

73

Anda mungkin juga menyukai