Anda di halaman 1dari 19

BAB II

PEMBAHASAN
2.1 PAJAK PENGHASILAN PASAL 21
1.

Pengertian PPh Pasal 21


Adalah pajak yang dipotong oleh pemberi kerja atas penghasilan sehubungan dengan

pekerjaan, jasa, atau kegiatan dengan nama dan dalam bentuk apapun yang diterima atau
diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri, atau pasal ini mengatur pemotongan pajak
untuk orang yang berkeja pada satu peusahaan dan di wajibkan mengisi SPT tahunan.
2.

Berikut ini adalah imbalan pekerjaan, jasa, atau kegiatan dengan nama dan dalam bentuk

apapun yang diterima oleh Wajib Pajak Orang Pribadi dalam negeri:
a) Pegawai tetap, berupa penghasilan yang bersifat teratur maupun tidak teratur.
b) Pegawai tidak tetap atau tenaga kerja lepas, berupa upah harian, upah mingguan, upah
satuan, upah borongan atau upah yang dibayarkan secara bulanan.
c) Penerima pensiun secara teratur berupa uang pensiun atau penghasilan lainnya
d) Pemutusan hubungan kerja dan penghasilan sehubungan dengna pensiun yang diterima
secara sekaligus berupa uang pesangon, uang manfaat pensiun, tunjangan hari tua atau jaminan
hari tua, dan pembayaran lain yang sejenis.
e)
Bukan pegawai, antara lain berupa honorarium, komisi, fee, dan imbalan sejenis dengan
nama dan dalam bentuk apapun sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan
kegiatan yang dilakukan.
f) Peserta kegiatan, antara lain berupa uang saku, uang representasi, uang rapat, honorarium,
hadiah atau penghargaan dengan nama dan dalam bentuk apapun, dan imbalan sejenis dengan
nama apapun.
g) Penghasilan berupa natura dan/atau kenikmatan oleh bukan Wajib Pajak, Wajib Pajak yang
dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final atau Norma Penghitungan Khusus (deemed
profit).
3.
Pemotong Pajak PPh Pasal 21
a)
Pemberi kerja yang terdiri dari orang pribadi atau badan, baik merupakan pusat maupun
cabang, perwakilan atau unit yang membayar gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan
pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk apapun, sebagai imbalan sehubungan dengan
pekerjaan atau jasa yang dilakukan oleh pegawai atau bukan pegawai.
b)
Bendahara atau pemegang kas pemerintah, termasuk bendahara atau pemegang kas pada
pemerintah Pusat termasuk instansi TNI/POLRI, Pemerintah Daerah, instansi atau lembaga

pemerintah, lembaga-lembaga, negara lainnya, dan Kedutaan Besar Republik Indonesia dil luar
negeri, yang membayarkan gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain dengan
nama dan dalam bentuk apapun sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa, dan kegiatan.
c)
Dana pensiun, badan penyelenggara jaminan sosial tenaga kerja, dan badan-badan lain
yang membayar uang pensiun dan tunjangan hari tua atau jaminan hari tua.
d) Orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas serta badan yang
membayar
e)
Honorarium atau pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan jasa dan/atau
kegiatan yang dilakukan oleh orang pribadi dengan status Subjek Pajak dalam negeri, termasuk
tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas dan bertindak untuk dan atas namanya sendiri,
bukan untuk dan atas nama persekutuannya.
Honorarium atau pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan kegiatan dan jasa
yang dilakukan oleh orang pribadi dengan status Subjek Pajak luar negeri.
Honorarium atau imbalan lain kepada peserta pendidikan, pelatihan, dan magang.
f)
Penyelenggara kegiatan, termasuk badan pemerintah, organisasi yang bersifat nasional dan
internasional, perkumpulan, orang pribadi serta lembaga lainnya yang menyelenggarakan
kegiatan, yang membayar honorarium, hadiah, atau penghargaan dalam bentuk apapun kepada
Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri berkenaan dengan suatu kegiatan.
4. Yang tidak termasuk sebagai pemberi kerja yang mempunyai kewajiban untuk melakukan
pemotongan PPh pasal 21 adalah :
a)
Kantor perwakilan Negara asing
b)
Organisasi-organisasi internasional yang telah ditetapkan oleh Menteri Keuangan
c)
Pemberi kerja orang pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas
yang semata-mata mempekerjakan orang pribadi untuk melakukan pekerjaan rumah tangga atau
pekerjaan bukan dalam rangka melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas.
5.

Wajib Pajak PPh 21

a)

Pegawai

b)

Penerima uang pesangon, pensiun atau uang manfaat pensiun, tunjangan hari tua, atau

jaminan hari tua, termasuk ahli warisnya.


c)

Bukan pegawai yang menerima atau memperoleh penghasilan sehubungan denga

pekerjaan, jasa, atau kegiatan, antara lain meliputi:

Tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas, yang terdir dari pengacara, akuntan, arsitek,

dokter, konsultan, notaries, penilai, dan aktuaris.

Pemain musik, pembawa acara, penyanyi, pelawak, bintang film, bintsng sinteron, bintang

iklan, sutradara, kru film, foto model, peragawan/peragawati, pemain drama, penari, pemahat,
pelukis, dan seniman lainnya.

Olahragawan

Penasehat, pengajar, pelatih, penceramah, penyuluh, dan moderator.

Pengarang, peneliti, dan penerjemah.

Pemebri jasa dalam segala bidang termasuk teknik computer dan sisitem aplikasinya,

telekomunikasi, elektronika, fotografi, ekonomi, dan social serta pemebri jasa keapda suatu
kepanitiaan.

Agen iklan

Pengawa atau pengelola proyek

Pembawa pesanan atau yang menemukan langganan atau yang menjadi perantara.

Petugas penjaja barang dagangan

Petugas dinas luar asuransi

Distributor perusahaan umtilevel marketing atau direct selling dan kegiatan sejenis

lainnya.
d)

Peserta kegiatan yang menerima atau memperoleh penghasilan sehubungan dengan

keikutsertaannya dalam suatu kegiatan, antar alain meliputi :


e)

Peserta perlombaan dalam sehala bidang, antara lain perlombaan olahraga, seni,

ketangkasan, ilmu pengetahuan, teknologi dan perlombaan lainnya.


f)

Peserta rapat, konferensi, siding, pertemuan, atau kunjungan kerja.

g)

Peserta atau anggota dalam suatu kepanitiaan sebagai penyelenggara kegiatan tertentu.

h)

Peserta pendidikan, pelatihan, dan magang.

i)

Peserta kegiatan lainnya.

6.

Tidak termasuk Wajib Pajak PPh Pasal 21

a)

Pejabat perwakilan diplomatic dan konsulat atau pejabat lain dari Negara asing, dan orang-

orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada dan bertempat tinggal bersama
mereka, dengan syarat bukan warga Negara Indonesia dan di Indonesia tidak menerima atau

memperoleh penghasilan lain di luar jabatan atau pekerjaannya tesebut, serta Negara yang
bersangkutan memberikan perlakuan timbale balik.
b)

Pejabat perwakilan organisasi internasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1)

huruf c Undang-Undang Pajak Penghasilan, yang telah ditetapkan oleh Menteri Keuangan,
dengan syarat bukan ewarga Negara Indonesia dan tidak menjalankan usaha atau kegiatan atau
pekerjaan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia.
7.

Objek Pajak PPh Pasal 21

Penghasilan yang dipotong adalah:


a)

Penghasilan yang diterima atasu diperoleh pegawai tetap, baik berupa penghasilan yang

bersifat teratur maupun tidak teratur.


b)

Penghasilan yang diterima atau diperoleh penerima pensiun secara teatur berupa uang

pensiun atau penghasilan sejenisnya.


c)

Penghasilan sehubungan dengan pemutusan hubungan kerja dan penghasilan sehubungan

dengan pensiun yang diterima secra sekaligus berupa uang pesangon, uang manfaat pensiun,
tunjangan hari tua atau jaminan hari tua, damn pembayaran lain sejenis.
d)

Penghasilan pegawai tidak tetap atau tenaga kerja lepas, berupa upah harian, upah

mingguan, upah satuan, upah borongan atau upah yang dibayarkan secara bulanan.
e)

Imbalan kepada bukan pegawai, antara lain berupa honorarium, komisi, fee, dan imbalan

sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan.


f)

Imbalan kepada peserta kegiatan, antara lain berupa uang saku, uang representasi, uang

rapat, honorarium, hadiah atau penghargaan dengan anma dan dalam bentuk apapun, dan
ombalan sejenis dengan nama apapun.
g)

Penerimaan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan lainnya dengan nama dan dalam

bentuk apapun yang diberikan oleh :

Bukan Wajib Pajak

Wajib Pajak yang dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final atau

Wajib Pajak yang dikenakan Pajak Penghasilan berdasarkan norma penghitungan khusus

(deemed profit).
8.

Bukan Objek Pemotongan PPh Pasal 21

Berikut ini yang bukan merupakan objek pemotongan PPh Pasal 21:

a)

Pembayaran manfaat atau santunan asuransi dari perusahaan asuransi sehubungan dengan

asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi beasiswa.
b)

Penerimaan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan dalam bentuk apng diberikan

apapun yang diberikan oleh Wajib Pajak atau pemerintah, kecuali yang diberikan oleh bukan
Wajib Pajak, Wajib Pajak yang dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final atau Norma
Perhitungan Khusus (deemed profit).
c)

Iuran pensiun yang dibayarkan kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh

Menteri Keuangan, iuran tunjangan hari tua atau iuran jaminan hari tua kepada badan
penyelenggara tunjangan hari tua atau badan penyelenggara jaminan sosial tenaga kerja yang
dibayar oleh pemberi kerja.
d)

Zakat yang diterima oleh orang pribadi yang berhak dari badan atau lembaga amil zakat

yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah, atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib
bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia dan diterima oleh orang pribadi yag berhak dari
lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah.
e)

Beasiswa, yang memenuhi persyaratan sebagai berikut:


penghasilan berupa beasiswa yang diterima atau diperoleh WNI dari Wajib Pajak pemberi

beasiswa dalam rangka mengikuti pendidikan formal dan atau informal di dalam negeri maupun
di luar negeri.

ketentuan beasiswa tersebut tidak berlaku apabila penerima beasiswa mempunyai

hubungan istimewa dengan pemilik, komisaris, direksi atau pengurus dari Wajib Pajak pemberi
beasiswa.

Komponen beasiswa terdiri dari biaya pendidikan yang dibayarkan ke sekolah (tuition

fee), biaya ujian, biaya penelitian yang berkaitan dengan bidang studi yang diambil, biaya untuk
pembelian buku, dan/atau biaya hidup yang wajar sesuai dengna daerah lokasi tempat belajar.
9.

Tarif Pajak dan Penerapannya untuk Wajib Pajak yang memiliki NPWP

a)

Penghitungan Pemotongan PPh Terhadap Penghasilan Pegawai Tetap

o Dengan Gaji Bulanan


Contoh :

Sanusi pada tahun 2009 bekerja pada perusahaan PT Madju dengan memperoleh gaji sebulan Rp
2.500.000 dan membayar iuran pensiun sebesar Rp 100.000. Sanusi menikah tetapi belum
mempunyai anak.
Penghitungannya sebagai berikut:
Gaji sebulan

Rp 2.500.000

Pengurangan:
1)

Biaya jabatan:

5% x Rp 2.500.000
2)

Rp 125.000

Iuran pensiun

Rp 100.000

Jumlah pengurangan

(Rp 225.000)

Penghasilan netto sebulan

Rp 2.275.000

Penghasilan netto setahun (12xRp 2.275.000)

Rp 27.300.000

PTKP setahun
-untuk WP sendiri

Rp 15.840.000

-tambahan WP kawin

Rp 1.320.000

Jumlah PTKP

(Rp 17.160.000)

Penghasilan Kena Pajak setahun

Rp 10.140.000

PPh Pasal 21 terutang 5% x Rp 10.140.000

Rp

507.000

PPh pasal 21 sebulan Rp 507.000 : 12

Rp

42.250

o Dengan gaji Mingguan dan Gaji Harian


Contoh:
Toni Wijaya pegawai pada perusahaan PT Samudra dengan memperoleh gaji mingguan sebesar
Rp 500.000 . Toni kawin dan mempunyai seorang anak. PT Samudra masuk program Jamsostek,
premi Jaminan Kecelakaan Kerja dan premi Jaminan Kematian dibayar oleh pemberi kerja
dengan jumlah masing-masing setiap bulan sebesar 1% dan 0,3% dari gaji. PT Samudra
membayar iuran Jaminan Hari Tua setiap bulan sebesar 3,7% dari gaji dan Toni membayar iuran
pensiun Rp 10.000 dan Jaminan Hari Tua sebesar 2% dari gaji.
Penghitungannya sebagai berikut :

Penghasilan sebulan (4x500.000)

Rp 2.000.000

Premi JKK (1%x2.000.000)

Rp

20.000

Premi JKM (0.3%x2.000.000)

Rp

6.000

Penghasilan bruto sebulan

Rp 2.026.000

Pengurangan
1)

Biaya jabatan (5%x 2.026.000)

Rp 101.300

2)

Iuran pensiun

Rp 10.000

3)

Iuran JHT (2%x2.000.000)

RP 40.000

Jumlah pengurangan

(Rp 151.300)

Penghasilan netto sebulan

Rp 1.874.700

Penghasilan netto setahun (12x1.874.700)

Rp 22.496.400

PTKP
-untuk WP

Rp 15.840.000

-tambahan karena menikah

Rp 1.320.000

-tambahan seorang anak

Rp 1.320.000

Jumlah PTKP

(Rp 18.480.000)

Penghasilan Kena Pajak setahun

Rp 4.016.400

Pembulatan

Rp 4.016.000

PPh Pasal 21 setahun 5%x4.016.000

Rp

243.050

PPh Pasal 21 sebulan (243.050 : 12)

Rp

20.254

PPh Pasal 21 sehari

Rp

779

b)

(20.254 :26)

Penerima Pensiun Berkala yang Dibayarkan Secara Bulanan

Contoh :
Wijaya seorang pegawai yang sudah pensiun dengan dana pensiun sebulan Rp 3.000.000. Wijaya
sudah menikah dan memiliki 2 orang anak
Perhitungannya sebagai berikut :
Pensiun sebulan

Rp 3.000.000

Pengurangan :
Biaya pensiun 5% x 3.000.000

(Rp 150.000)

Penghasilan neto sebulan

Rp 2.850.000

Penghasilan netto setahun (12x2.850.000)

Rp 34.200.000

PTKP
-untuk WP sendiri

Rp 15.840.000

-tambahan karena menikah

Rp 1.320.000

-tambahan untuk 2 anak

Rp 2.640.000

Jumlah PTKP

(Rp 19.800.000)

Penghasilan Kena Pajak

Rp 14.400.000

PPh Pasal 21 setahun 5% x 14.400.000

Rp

720.000

PPh Pasal 21 sebulan 720.000 : 12

RP

60.000

c)

Pegawai Tidak Tetap atau Tenaga Kerja Lepas yang Dibayarkan secara Bulanan

Contoh :
Budi bekerja pada perusahaan elektronik dengan dasar upah harian yang dibayarkan bulanan.
Dalam bulan Maret 2009, Budi hanya bekerja 20 hari kerja dan upah sehari adalah Rp 120.000.
Budi menikah tetapi belum memiliki anak .
Penghitungan PPh sebagai berikut :
Upah Maret 2009 (20 x 120.000)

Rp 2.400.000

Penghasilan neto setahun (12 x 2.400.000)

Rp 28.800.000

PTKP
-untuk WP sendiri

Rp 15.840.000

-tambahan karena menikah

Rp 1.320.000

Jumlah PTKP

(Rp 17.160.000)

Penghasilan Kena Pajak

Rp 11.640.000

PPh Pasal 21 setahun 5% x 11.640.000

Rp

582.000

PPh Pasal 21 sebulan (582.000:12)

Rp

48.500

Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh pegawai tidak tetap atau tenaga kerja lepas

berupa upah harian, upah mingguan, upah satuan, upah borongan, dan uang saku harian,
sepanjang penghasilan tidak dibayarkan secara bulanan, tarof lapisan pertama Pasal 17 UU PPh
(5%) diterapkan atas :
a)

Jumlah penghasilan bruto sehari yang melebihi Rp 150.000 atau

b)

Jumlah penghasilan bruto dikurangi PTKP yang sebenarnya dalam hal jumlah penghasilan

kumulatif dalam satu bulan kalender telah melebihi Rp 1.320.000


Dalam hal jumlah penghasilan kumulatif dalam satu bulan kalender telah melebihi Rp 6.000.000,
PPh Pasal 21 dihitnung dengan menerapkan tarof Pasal 17 UU PPh ataqs jumlah Penghasilan
Kena Pajak yang disetahunkan.

a)

Tarif berdasarkan pasal 17 UU PPh diterapkan atas jumlah kumulatif dari


Penghasilan Kena Pajak sebesar jumlah penghasilan bruto dikurangi PTKP, yang diterima

atau diperboleh bukan pegawai (selain tenaga ahli), yang menerima imbalan yang bersifat
berkesinambungan yang memenuhi ketentuan :
o Yang bersangkutan telah mempunyai NPWP
o Hanya memperoleh penghasilan dari hubungan kerja dengan Pemotong PPh Pasal 21
o Tidak memperoleh penghasilan lainnya.
o PPh Pasal 21 = (penghasilan bruto-PTKP) x tarif Pasal 17 UU PPh
o Jika tidak memenuhi syarat maka PPh Pasal 21 = Penghasilan bruto x tariff Ps 17
b)

50% dari jumlah penghasilan bruto yang diterima atau diperoleh tenaga ahli yang

melakukan pekerjaan bebas, yang terdiridari pengacara, akuntan, arsitek, dokter, konsultan,
notaris, penilai, dan aktuaris
PPh Pasal 21 = (50% x Penghasilan bruto) x tarif pasal 17
c)

Jumlah penghasilan bruto berupa honorarium atau imbalan yang bersifat tidak teratur yang

diterima atau diperoleh anggota dewan komisaris atau dewan pengawas yang tidak merangkap
sebagai pegawai tetap pada perusahaan yang sama.
PPh Pasal 21 = penghasilan bruto x tariff Ps 17
d)

Jumlah penghasilan bruto berupa jasa produksi, tantiem, gratifikasi, bonus atau imbalan lain

yang bersifat tidak teratur yang diterima atau diperoleh mantan pegawai
PPh Pasal 21 = penghasilan bruto x 17
e)

Jumlah penghasilan bruto berupa penarikan dana pensiun oleh peserta program pensiun

yang masih berstatus sebagai pegawai, dari dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh
Menteri Keuangan
PPh pasal 21= penghasilan bruto x tariff pasal 17

10. Tarif Pemotongan PPh Bagi Penerima Penghasilan yang Tidak Punya NPWP
Bagi penerima penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 yang tidak memilikiNPWP, dikenakan
pemotongan PPh Pasal 21 dengan tarif lebih tinggi 20% daripada tariff yang diterapkan terhadap
Wajib Pajak yang memiliki NPWP. Artinya jumlah PPh yang harus dipotong sebesar 120 %dari
jumlah PPh Pasal 21 yang seharusnya dipotong dalam hal yang bersangkutan memiliki NPWP.
Pemotongan ini hanya berlaku untuk pemotongan PPh Pasal 21 yang bersifat tidak final.
Uang Pesangon adalah penghasilan yang dibayarkan oleh pemberi kerja termasuk Pengelola
Dana Pesangon Tenaga Kerja kepada pegawai, dengna nama dan dalam bentuk apapun,
sehubungan dengan berakhirnya masa kerja atau terjadi pemutusan hubungan kerja, termasuk
uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak.
Dalam peraturan baru tersebut, ada penyesuaian tarif PPh untuk uang pesangon, uang pensiun,
tabungan hari tua, dan jaminan hari tua dari perusahaan. Adapun tarif baru tersebut adalah
sebagai berikut:
a)

Atas penghasilan bruto sampai dengan Rp. 50 juta, tarifnya 0%;

b)

Atas penghasilan bruto diatas Rp. 50 juta sampai dengan Rp. 100 juta, tarifnya 5%;

c)

Atas penghasilan bruto diatas Rp. 100 juta sampai dengan Rp. 500 juta, tarifnya 15%.

d)

Atas penghasilan bruto diatas Rp. 500 juta, tarifnya 25%.

Sedangkan tarif PPh Pasal 21 atas penghasilan berupa Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari
Tua, atau Jaminan Hari Tua ditentukan sebagai berikut:
a)

atas penghasilan bruto sampai dengan Rp. 50 juta, dikenakan tarif 0%;

b)

atas penghasilan bruto di atas Rp. 50 juta, dikenakan tarif 5%.

catatan : penghailan bruto adalah penghasilan bersih di tambah tunjangan dan upah dalam 1
bulan
2.2 PAJAK PENGHASILAN PASAL 22
Pengertian
Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 adalah PPh yang dipungut oleh:
1.

Bendaharawan Pemerintah Pusat/Daerah, instansi atau lembaga pemerintah dan

lembaga-lembaga negara lainnya, berkenaan dengan pembayaran atas penyerahan barang;


2.

Badan-badan tertentu, baik badan pemerintah maupun swasta berkenaan dengan

kegiatan di bidang impor atau kegiatan usaha di bidang lain.


Pemungut & Objek PPh Pasal 22

1.

Bank Devisa dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC), atas impor barang;

2.

Direktorat Jenderal Anggaran (DJA), Bendaharawan Pemerintah Pusat/ Daerah yang

melakukan pembayaran, atas pembelian barang;


3.

BUMN/BUMD yang melakukan pembelian barang dengan dana yang bersumber dari

belanja negara (APBN) dan atau belanja daerah (APBD);


4.

Bank Indonesia (Bl), Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), Badan Urusan

Logistik (BULOG), PT. Telekomunikasi Indonesia (Telkom), PT. Perusahaan Listrik Negara
(PLN), PT. Garuda Indonesia, PT.Indosat, PT. Krakatau Steel, Pertamina dan bank-bank
BUMN yang melakukan pembelian barang yang dananya bersumber baik dari APBN
maupun dari non APBN;
5.

Industri semen, industri rokok putih, industri kertas, industri baja dan industri otomotif,

yang ditunjuk oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak, atas penjualan hasil produksinya di
dalam negeri;
6.

Pertamina serta badan usaha lainnya yang bergerak dalam bidang bahan bakar minyak

jenis premix, super TT dan gas, atas penjualan hasil produksinya.


7.

Industri dan eksportir perhutanan, perkebunan, pertanian, dan perikanan, yang ditunjuk

oleh Kepala Kantor Pelayanan Paja, atas pembelian bahan-bahan untuk keperluan industri
atau ekspor mereka dari pedagang pengumpul.
III. Tarif PPh Pasal 22
Atas impor :
1.

yang menggunakan Angka Pengenal Importir (API), 2,5% (dua setengah persen) dari

nilai impor;
2.

yang tidak menggunakan API, 7,5% (tujuh setengah persen) dari nilai impor;

3.

yang tidak dikuasai, 7,5% (tujuh setengah persen) dari harga jual lelang.

1.

Atas pembelian barang yang dilakukan oleh DJA, Bendaharawan Pemerintah,

BUMN/BUMD (angka II butir 2,3, dan 4) sebesar 1,5% (satu setengah persen) dari harga
pembelian dan tidak final.
2.

Atas penjualan hasil produksi (angka II butir 5) ditetapkan berdasarkan Keputusan

Direktur Jenderal Pajak, yaitu:


o Kertas = 0.1% x DPP PPN (Tidak Final)
o Semen = 0.25% x DPP PPN (Tidak Final)

o Baja = 0.3% x DPP PPN (Tidak Final)


o Rokok = 0.15% x Harga Bandrol (Final)
o Otomotif = 0.45% x DPP PPN (Tidak Final)
3.

Atas penjualan hasil produksi atau penyerahan barang oleh Pertamina dan badan usaha

lainnya yang bergerak dalam bidang bahan baker minyak jenis premix, super TT dan gas
adalah sebagai berikut:
Jenis

Bahan SPBU

Swastanisani SPBU Pertamina (%

Bakar

(% dari penjualan)

dari penjualan)

Premium

0,3

0,25

Solar

0,3

0,25

Premix/ Super TT

0,3

0,25

Minyak Tanah

0,3

Gas LPG

0,3

Pelumas
0,3
Catatan: Pungutan PPh Pasal 22 kepada penyalur /dealer/agen, bersifat final. Atas pembelian
bahan-bahan untuk keperluan industri atau ekspor dari pedagang pengumpul (angka II butir
7) ditetapkan sebesar 0,5 % dari harga pembelian.
IV. Pengecualian Pemungutan PPh Pasal 22
1.

Impor barang dan atau penyerahan barang yang berdasarkan ketentuan peraturan

perundang-undangan tidak terutang PPh, dinyatakan dengan Surat Keterangan Bebas (8KB).
2.

Impor barang yang dibebaskan dari Bea Masuk dan atau Pajak Pertambahan Nilai;

dilaksanakan oleh DJBC.


3.

Impor sementara jika waktu impornya nyata-nyata dimaksudkan untuk diekspor

kembali, dan dilaksanakan oleh Dirjen BC.


4.

Pembayaran atas pembelian barang oleh pemerintah yang jumlahnya paling banyak Rp.

1.000.000,- (satu juta rupiah) dan tidak merupakan pembayaran yang terpecah-pecah.
5.

Pembayaran untuk pembelian bahan bakar minyak, listrik, gas, air minum/PDAM,

benda-benda pos.
6.

Emas batangan yang akan di proses untuk menghasilkan barang perhiasan dari emas

untuk tujuan ekspor, dinyatakan dengan SKB.


7.

Pembayaran/pencairan dana Jaring Pengaman Sosial oleh Kantor Perbendaharaan dan

Kas Negara.

8.

Impor kembali (re-impor) yang memenuhi syarat yang ditentukan oleh Direktorat

Jenderal Bea dan Cukai.


9.

Pembayaran untuk pembelian gabah dan atau beras oleh Bulog.

V. Saat Terutang dan Pelunasan/Pemungutan PPh Pasal 22


1. Atas impor barang terutang dan dilunasi bersamaan dengan saat pembayaran Bea Masuk.
Dalam hal pembayaran Bea Masuk ditunda atau dibebaskan, maka PPh Pasal 22 terutang dan
dilunasi pada saat penyelesaian dokumen Pemberitahuan Impor Barang (PIB);
2.

Atas pembelian barang (angka II butir 2,3, dan 4) terutang dan dipungut pada saat

pembayaran;
3.

Atas penjualan hasil produksi (angka II butir 5) terutang dan dipungut pada saat

penjualan;
4.

Atas penjualan hasil produksi (angka II butir 6) dipungut pada saat penerbitan Surat

Perintah Pengeluaran Barang (Delivery Order);


5.

Atas pembelian bahan-bahan (angka II butir 7) terutang dan dipungut pada saat

pembelian.
VI.Tata Cara Pemungutan, Penyetoran, dan Pelaporan PPh Pasal 22
1.

PPh Pasal 22 atas impor barang (angka II butir 1) disetor oleh importer dengan

menggunakan formulir Surat Setoran Pajak, Cukai dan Pabean (SSPCP). PPh Pasal 22 atas
impor barang yang dipungut oleh DJBC harus disetor ke Bank Persepsi atau Kantor Pos dan
Giro dalam jangka waktu 1(satu) hari setelah pemungutan pajak dan dilaporkan ke KPP
secara mingguan paling lambat 7 (tujuh) hari setelah batas waktu penyetoran pajak berakhir.
2.

PPh Pasal 22 atas pembelian barang (angka II butir 2 dan 3) disetor oleh pemungut atas

nama dan NPWP Wajib Pajak ke Bank Persepsi atau Kantor Pos dan Giro secara kolektif
pada hari yang sama dengan pelaksanaan pembayaran atas penyerahan barang. Pemungut
menerbitkan bukti pungutan rangkap tiga, yaitu:
o lembar pertama untuk pembeli;
o lembar kedua sebagai lampiran laporan bulanan ke Kantor Pelayanan Pajak;
o lembar ketiga untuk arsip Pemungut Pajak yang bersangkutan, dan dilaporkan ke KPP
paling lambat 14 (empat belas ) hari setelah masa pajak berakhir.
3.

PPh Pasal 22 atas pembelian barang (angka II butir 4) disetor oleh pemungut atas nama

Wajib Pajak ke Bank Persepsi atau Kantor Pos dan Giro paling lambat tanggal 10 (sepuluh)

bulan takwim berikutnya dengan menggunakan formulir SSP dan menyampaikan SPT Masa
ke KPP paling lambat 20 (dua puluh) hari setelah masa pajak berakhir.
4.

PPh Pasal 22 atas penjualan hasil produksi (angka II butir 5 dan 7) disetor oleh

pemungut atas nama wajib pajak ke Bank Persepsi atau Kantor Pos dan Giro paling lambat
tanggal 10 (sepuluh) bulan takwim berikutnya dengan menggunakan formulir SSP. Pemungut
menyampaikan SPT Masa ke KPP paling lambat 20 (dua puluh) hari setelah masa pajak
berakhir.
5.

PPh Pasal 22 atas penjualan hasil produksi (angka II butir 6) disetor sendiri oleh Wajib

Pajak ke Bank Persepsi atau Kantor Pos dan Giro sebelum Surat Perintah Pengeluaran
Barang (delivery order) ditebus dengan menggunakan SSP. Pemungut wajib menerbitkan
bukti pemungutan PPh Ps. 22 rangkap 3 yaitu:
o lembar pertama untuk pembeli;
o lembar kedua sebagai lampiran laporan bulanan kepada Kantor Pelayanan Pajak;
o lembar ketiga untuk arsip Pemungut Pajak yang bersangkutan.
Pelaporan dilakukan dengan cara menyampaikan SPT Masa ke KPP setempat paling lambat
20 (dua puluh) hari setelah Masa Pajak berakhir.
catatan : yaitu pasal yang mengatur tentang bidang usaha lain, penyerahan barang kepada
pemerintah yang menggunakan PBN / APBD
2.3 PAJAK PENGHASILAN PASAL 23
Pengertian
Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 23 adalah pajak yang dipotong atas penghasilan yang
berasal dari modal, penyerahan jasa, atau hadiah dan penghargaan, selain yang telah dipotong
PPh Pasal 21.
Pemotong dan Penerima Penghasilan yang Dipotong PPh Pasal 23
1. Pemotong PPh Pasal 23:
1.

badan pemerintah;

2.

Wajib Pajak badan dalam negeri;

3.

penyelenggaraan kegiatan;

4.

bentuk usaha tetap (BUT);

5.

perwakilan perusahaan luar negeri lainnya;

6.

Wajib Pajak Orang pribadi dalam negeri tertentu, yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal

Pajak.
2. Penerima penghasilan yang dipotong PPh Pasal 23:
1.

WP dalam negeri;

2.

BUT

Tarif dan Objek PPh Pasal 23


1.

15 % dari jumlah bruto atas:

a)

dividen, bunga, dan royalti;

b)

hadiah dan penghargaan selain yang telah dipotong PPh pasal 21.

2.

15 % dari jumlah bruto dan final atas bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi,

yang jumlahnya melebihi Rp. 240.000,00 setiap bulan.


3.

5% dari perkiraan penghasilan neto atas sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan

penggunaan harta. Tarif, perkiraan penghasilan neto, dan objeknya adalah:


a)

15 % x 10 % dari jumlah bruto atas sewa penggunaan harta khusus kendaraan angkutan

darat.
b)

15 % x 30 % dari jumlah bruto atas sewa lainnya (tidak termasuk sewa tanah dan

bangunan).
4.

15 % dari perkiraan penghasilan netto atas Imbalan jasa. Tarif, perkiraan penghasilan

neto dan objek imbalan jasa adalah:


a)

15 % x 30 % dari jumlah bruto imbalan jasa teknik dan jasa manajemen dan jasa konsultan

kecuali konsultansi kontruksi


b)

15% x 26 2/3% dari jumlah bruto (yang dibayarkan seluruhnya termasuk pemberian jasa

dan pengadaan material/barang) imbalan jasa perencanaan konstruksi, jasa pengawasan


konstruksi;
c)

15% x 30% dari jumlah bruto jasa penilai, jasa aktuaris, jasa akuntasi, jasa perancang, jasa

pengeboran (jasa drilling) di bidang penambang minyak dan gas bumi (migas), kecuali yang
dilakukan oleh bentuk usaha tetap, jasa penunjang di bidang penambangan migas, jasa
penambangan dan jasa penunjang di bidang penambang selain migas, jasa penunjang di bidang
penerbang dan Bandar udara, jasa penebangan hutan, jasa pengelolaan limbah, jasa penyedia
tenaga kerja, jasa perantara, jasa perantara, jasa di bidang perdagangan surat-surat berharga,
kecuali yang dilakukan oleh Bursa Efek, KSEI dan KPEI, jasa kostudian/penyimpanan/

penitipan. Kecuali yang dilakukan KSEI, jasa pengisian suara, jasa mixing film, jasa sehubungan
dengan software computer, termasuk perawatan, pemeliharaan dan perbaikan.
d)

15% x 30% dari jumlah bruto imbalan jasa instalasi / pemasangan :

1.

Jasa instalasi/pemasangan mesin,

2.

jasa instalasi / pemasangan peralatan listrik / telepon/air/ gas/ AC/TV kabel

Kecuali yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang ruang lingkup pekerjaannya di bidang konstruksi
dan mempunyai izin/sertifikat sebagai pengusaha konstruksi;
e)

15% x 30% dari jumlah bruto imbalan jasa perawatan/ pemeliharaan/ perbaikan :

1.

Jasa perawatan / pemeliharaan / perbaikan mesin,listrik /telepon /air / gas / AC / TV kabel;

2.

Jasa perawatan / pemeliharaan / perbaikan peralatan;

3.

Jasa perawatan / pemeliharaan / perbaikan bangunan;

Kecuali yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang ruang lingkup pekerjaanya di bidnag konstruksi
dan mempunyai izin/sertifikat sebagai pengusaha konstruksi.
f)

15 % x 13 1/3 % dari jumlah bruto (yang dibayarkan seluruhnya termasuk pemberian jasa

dan pengadaan material/barang) imbalan jasa pelaksanaan konstruksi termasuk jasa perawatan/
pemeliharaan/

perbaikan

bangunan,

jasa

instalasi/pemasangan

mesin,

listrik/

telepon/air/gas/AC/TV kabel yang dilakukan Wajib Pajak pengusaha Konstruksi yang


mempunyai izin/sertifikasi sebagai pengusaha konstruksi.
g)

5 % x 20 % dari jumlah bruto imbalan jasa maklon, jasa penyelidikan dan keamanan, jasa

penyelenggaraan kegiatan/event organizer, jasa pengepakan.


h)

15 % x 20 % dari jumlah bruto imbalan jasa penyediaan tempat dan/atau waktu dalam

media massa, media luar ruang atau media lain untuk penyampaian informasi
i)

5 % x 10 % dari jumlah bruto imbalan jasa pembasmian hama dan jasa pembersihan

/cleaning service.
j)

15 % x 10 % dari jumlah bruto (yang dibayarkan seluruhnya termasuk pemberian jasa dan

pengadaan material/barang) imbalan Jasa katering


Penghitungan PPh Pasal 23 terutang menggunakan jumlah Bruto tidak termasuk PPN.
Dikecualikan dari Pemotongan PPh Pasal 23
1.

Penghasilan yang dibayar atau terutang kepada bank;

2.

Sewa yang dibayar atau terutang sehubungan dengan sewa guna usaha dengan hak opsi;

3.

Dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai WP

dalam negeri, koperasi, BUMN/BUMD, dari penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan
dan bertempat kedudukan di Indonesia dengan syarat:
1.

dividen berasal dari cadangan laba yang ditahan;

2.

bagi perseroan terbatas, BUMN/D, kepemilikan saham pada badan yang memberikan

dividen paling rendah 25% (dua puluh lima persen) dari jumlah modal yang disetor dan harus
mempunyai usaha aktif di luar kepemilikan saham tersebut;
4.

Bunga obligasi yang diterima atau diperoleh perusahaan reksa dana selama 5 (lima)

tahun pertama sejak pendirian perusahaan atau pemberian ijin usaha;


5.

Bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan komanditer yang

modalnya tidak terbagi atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan, firma dan kongsi;
6.

SHU koperasi yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggotanya;

7.

Bunga simpanan anggota koperasi yang tidak melebihi jumlah Rp.240.000.00 setiap

bulan.
Saat Terutang, Penyetoran, dan SPT Masa PPh Pasal 23
1.

PPh Pasal 23 terutang pada akhir bulan dilakukannya pembayaran atau akhir bulan

terutangnya penghasilan yang bersangkutan, tergantung peristiwa yang terjadi terlebih dahulu.
2.

PPh Pasal 23 disetor oleh Pemotong Pajak paling lambat tanggal sepuluh bulan takwim

berikutnya setelah bulan saat terutang pajak.


3.

SPT Masa disampaikan ke Kantor Pelayanan Pajak setempat, paling lambat 20 hari

setelah Masa Pajak berakhir.


Bukti Pemotong PPh Pasal 23
Pemotong Pajak harus memberikan Bukti Pemotongan PPh Pasal 23 kepada Wajib Pajak Orang
Pribadi atau badan yang telah dipotong PPh Pasal 23.
catatan : pasal ini mengatur tentang pemotongan pajak untuk jasa
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pajak secara bebas dapat dikatakan sebagai suatu kewajiban warga negara berupa
pengabdian serta peran aktif warga negara dan anggota masyarakat untuk membiayai berbagai

keperluan negara dalam Pembangunan Nasional, tanpa adanya imbalan secara langsung yang
pelaksanaannya diatur dalam Undang-Undang Perpajakan untuk tujuan kesejahteraan bangsa dan
negara. Dengan semakin berkembangnya kondisi usaha dan bisnis baik ditingkat nasional
maupun internasional, maka penghasilan yang diterima wajib pajak badan dalam negeri juga
meningkat. Badan atau perusahaan merupakan subjek pajak dalam negeri dimana wajib pajak
badan ini

merupakan penyumbang bagi penerimaan negara dari sektor pajak yaitu pajak

penghasilan badan.Pajak penghasilan pasal 21,22,23,24,25,dan 26.


Dalam hal menjalankan usaha, suatu badan atau perusahaan harus membuat pembukuan untuk
menunjang kegiatan usahanya. Sama halnya dalam perpajakan, pembukuan juga wajib dibuat
oleh wajib pajak yang berbentuk badan untuk mempermudah menghitung pajaknya. Dalam
makalah ini akan dibahas mengenai wajib pajak badan, kewajiban dan hak wajib pajak badan
dalam perpajakan dan cara penghitungan pajak dari wajib pajak badan.

Contoh latar belakang


:

Pajak adalah iyuran wajib yang dipungut oleh pemerintah dari masyarakat
(wajib pajak) untuk menutupi pengeluaran rutin negara dan biaya

pembangunan tanpa balas jasa yang dapat ditunjuk secara langsung. Pajak
mempunyai banyak golongan ataupun jenisnya, yang salah satunya yaitu
pajak penghasilan (PPh). Seseorang ataupun badan yang mempunyai
penghasilan pasti akan dipungut pajak dari penghasilan tersebut, oleh
karena itu, sangat penting untuk mengetahui apa saja dan bagaimana
perhitungan pajak penghasilan (PPh) pasal 4 ayat 2.

Anda mungkin juga menyukai