Anda di halaman 1dari 55

PENDAHULUAN

Tidak ada spesialisasi di dunia kedokteran yang dipenuhi dengan


kegawatdaruratan selain obstetri. Obstetri adalah bidang yang istimewa karena
ada dua pasien yang harus diperhatikan dan dirawat, ibu dan bayinya atau fetus.
Terapi yang diberikan pada salah satu dari pasien tersebut akan sangat
berpengaruh dalam menentukan terapi pasien lainnya. Tidak jarang keputusan
yang diambil harus mengorbankan salah satunya. Sekitar 529.000 wanita di
seluruh dunia meninggal karena kehamilan dan komplikasi persalinan, dan satu
wanita meninggal setiap menit. Indonesia adalah salah satu negara yang masih
terus berupaya untuk menurunkan angka kematian ibu. Angka kematian ibu di
Indonesia tidak mengalami penurunan yang berarti dalam 15 tahun terakhir, di
mana mencapai 225 pada tahun 2000. Saat ini kita menargetkan angka kematian
ibu menurun menjadi 112 dan 20 untuk perbandingan angka kematian neonatus
menurut Millenium Development Goals. 1,2
Secara global

80%

kematian

ibu

tergolong

pada

kematian ibu

langsung, yaitu perdarahan (25% biasanya perdarahan pasca persalinan), sepsis


(15%), hipertensi dalam kehamilan (12%), partus macet (8%), komplikasi aborsi
tidak aman (13%), dan sebab lain (8%). Komponen kehamilan, komplikasi, atau
kematian ini secara lengkap dipengaruhi oleh lima determinan antara, yaitu status
kesehatan, status reproduksi, akses terhadap pelayanan kesehatan, perilaku
kesehatan, dan faktor lain yang tidak diketahui. UNICEF (1991) menemukan
bahwa layanan kesehatan primer hanya mampu mengurangi angka kematian
sekitar 20%, sedangkan sistem rujukan yang efektif bisa menurunkan hingga
80%.

Hal ini juga mengungkapkan bahwa banyaknya penundaan rujukan

menyebabkan 80% kematian ibu terjadi di rumah sakit rujukan. 2,3


Kasus gawat darurat obstetri adalah kasus obstetri yang apabila tidak
segera ditangani akan berakibat kesakitan yang berat, bahkan kematian ibu dan
janinnya. Kasus ini menjadi penyebab utama kematian ibu, janin, dan bayi baru
lahir. Tata laksana awal sangat penting untuk dilakukan di layanan primer sebelum
1

pasien dirujuk. Bantuan hidup dasar pada pasien gawat darurat mencakup
resusitasi ABC : airway, breathing, dan circulation. Pasien harus dinilai dengan
cepat dan memperoleh

informasi sebanyak mungkin serta melakukan

pemeriksaan fisis yang cepat

dan

tepat. Apakah

keadaan umumnya baik?

Apakah pasien dalam keadaan syok? Bila terdapat perdarahan yang massif,
berikan resusitasi cairan IV double line. Apakah pasien (dan bayinya)
membutuhkan oksigen? Apa pemeriksaan penunjang yang dibutuhkan? Perlukah
dilakukan transfusi?1,3
1.Airway
Pada pemeriksaan awal, bila ditemukan penderita yang sadar yang dapat
berbicara untuk sementara dapat menjamin adanya airway yang baik, karena itu
tindakan yang pertama adalah berusaha berbicara dengan penderita.Gangguan
dalam menjawab pertanyaan menunjukkan gangguan kesadaran, gangguan jalan
napas atau

gangguan pada pernafasan.11Pada keadaan penderita yang masih

bernafas, mengenali ada tidaknya sumbatan jalan napas dapat dilakukan dengan
cara look, listen and feel.4

Gambar 1. Look-Listen-Feel (LLF) Dilakukan Secara Simultan

1) Lihat (look)
Apakah penderita mengalami agitasi atau kesadarannya menurun.
Agitasi

memberi

kesan

adanya

hiperkarbia.

Sianosis

menunjukkan

hipoksemia. Lihat adanya retraksi dan penggunaan otot-otot napas tambahan.4


2) Dengar (listen)
Adanya suara-suara abnormal. Pernapasan yang berbunyi (napas
tambahan) adalah pernapasan tersumbat. Suara mendengkur (snoring),
2

berkumur (gurgling), dan bersiul (crowing sound, stridor) mungkin


berhubungan dengan sumbatan parsial pada faring dan laring. 4
3) Raba (feel)
Rasakan apakah ada hembusan udara ekspirasi atau tidak, dengan
menggunakan pipi. Rasakan pula ada tidaknya getaran di leher sewaktu
bernafas.4
Permasalahan
Obstruksi jalan napas mungkin parsial atau lengkap dan dapat
ditemukan pada pasien sadar atau tidak sadar. Penyebab utama obstruksi jalan
napas bagian atas adalah lidah yang jatuh ke belakang dan menutup
nasofarings. Selain itu bekuan darah, muntahan, edem atau trauma juga dapat
menyebabkan obstruksi tersebut.11Terjadinya sumbatan jalan napas dapat
menyebabkan kematian jika kurang dari 4 menit tidak segera diberi
pertolongan. Masalah yang dapat terjadi pada jalan napas adalah:4
1. Sumbatan total: makanan atau benda asing yang mengganjal atau
menghalangi jalan napas (choking).
2. Sumbatan parsial: biasanya akan terdengar seperti mendengkur (snoring),
berkumur (gargling), stridor (crowing). Penyebabnya ialah:4
a) Lidah jatuh ke belakang pada korban tidak sadar
b) Perdarahan atau banyaknya sekret dan edema larynx yang masih
proses (belum terjadi edema total).
Penanganan
Penilaian bebasnya airway dan baik-tidaknya pernapasan harus
dikerjakan dengan cepat dan tepat.
1) Head Tilt-Chin Lift
Bebaskan jalan nafasdari sumbatan pangkal lidah dengan satu tangan
di dahi korban. Doronglah dahi ke belakang agar kepala menengadah dan
mulut sedikit terbuka. Pertolongan dapat ditambah dengan mengangkat dagu.14

Gambar 2. Teknik head tilt, chin liftJawThrust


Pada korban yang tidak sadar posisi kepala cenderung fleksi. Akibat
fleksi ini, menyebabkan terjadinya sumbatan akibat pangkal lidah jatuh
kebelakang. Posisi kepala fleksi, jalan nafas buntu fleksi ekstensi. Jalan nafas
bebas karena kepala diposisikan ekstensi dengan Head tilt, Chin lift.4
Jika dengan ekstensi kepala, penarikan mandibula ke depan dan
membuka mulut pasien yang dikenal sebagai triple airway maneuver masih
belum berhasil, maka perlu dipikirkan adanya sumbatan jalan napas.4

Gambar 3. Teknik Jaw Thrust


Jika yang terjadi adalah sumbatan jalan napas total, maka yang dapat
dilakukan adalah:4
1. Back blow
2. Abdominal thrust
3, Chest trust

Jika terjadi sumbatan jalan napas parsial yang dapat dilakukan adalah:4
4

a. Penanganan tanpa alat


Cross finger dan Finger sweep
Jika terdengar suara snoring maka dilakukan pengecekan langsung
dengan cara cross-finger untuk membuka mulut (menggunakan 2 jari,
yaitu ibu jari dan jari telunjuk tangan, ibu jari mendorong rahang atas ke
atas, telunjuk menekan rahang bawah ke bawah). Lihatlah apakah ada
benda yang menyangkut di tenggorokan korban. Pindahkan benda
tersebut. Jari-jari tangan menahan mandibula, ibu jari digunakan untuk
menahan pangkal lidah, sedangkan tangan yang lain digunakan untuk
menahan benda yang menyebabkan obstruksi.4

Gambar 4. Cross Finger dan Finger Sweep


b. Penanganan dengan Menggunakan Alat
1) Pipa nasofaringeal

Gambar 5. Pipa Nasofaringeal

2) Pipa orofaringeal

Gambar 6. Pipa Orofaringeal


2. Breathing
Breathing adalah

pernafasan yang disertai ventilasi. Pernapasan

normal sangat penting untuk mempertahankan hidup. Korban yang terengahengah atau tidak bernapas normal dan tidak responsif membutuhkan
resusitasi.4
Pemeriksaan
Penyebab pernafasan tidak efektif dari onset akut pernapasan mungkin
tidak ada atau tidak efektif sebagai akibat dari:4
1.
Depresi langsung atau kerusakan pada pusat kendali pernapasan
otak.
2.
3.

Obstruksi jalan napas bagian atas.


Kelumpuhan atau gangguan pada saraf dan / atau otot-otot

pernapasan
Masalah yang mempengaruhi paru-paru.
Pemeriksaannya berupa :
1. Look, melihat gerakan dari perut bagian bawah / dada bagian atas
2. Listen, mendengarhembusan udara dari hidung dan mulut.
3. Feel, untuk merasakan gerakan dari perut dan dada.
4.

Jika korban tidak sadar, tidak responsif dan tidak bernapas normal
setelah jalan napas telah dibuka dan dibersihkan, penyelamat harus segera
memulai penekanan dada dan kemudian menyelamatkan pernapasan. Berikan
30 kompresi dan kemudian dua napas memungkinkan sekitar satu detik untuk
inspirasi masing-masing mengikuti Australian Resuscitation Council and New
Zealand Resuscitation Council Basic Life Support Flowchart. Jika tidak mau
atau tidak dapat melakukan ventilasi, tim penyelamat harus terus kompresi.4
Permasalahan
Tanda distres nafas:4
1. Nafas dangkal dan cepat.
2. Gerak cuping hidung (flaring nostril)
3. Tarikan sela iga (retraksi).
4. Tarikan otot leher (tracheal tug).
5. Nadi cepat.
6. Hipotensi.
7. Vena leher distensi.
6

8. Sianosis (tanda lambat).


Penanganan
1) Ventilasi mouth to mouth
Pelaksanaan pernapasan buatan dari mulut ke mulut melalui tahapan
sebagai berikut : 4
1. Pasien ditelentangkan.
2. Bersihkan mulut, hidung dan tenggorokkan korban.
3. Kepala korban ditengadahkan ke atas, satu tangan penolong diletakkan di
bawah leher dan satu tangan di dahi.
4. Leher korban kemudian diangkat ke atas dan dahinya ditekan ke bawa,
untuk membuka jalan napas.
5. Isap udara sebanyak-banyaknya ke dalam paru-paru sendiri (penolong),
kemudian hembuskan ke dalam mulut korban yang sudah terbuka dengan
cukup kuat.
6. Usahakan jangan sampai ada udara yang bocor ke luar, dengan menutup
hidung korban dengan jari.
7. Perhatikan dada korban, apabila berkembang berarti udara masuk paruparu. Pada saat itu mulut penolong dilepaskan dari korban.
8. Hembuskan sebanyak 12-15 kali permenit, sambil selalu memperhatikan
apakah rongga dada bergerak.
9. Bila perut korban mengembung, tekanlah sekali-kali bagian sebelah kiri
dari perutnya untuk mengeluarkan udara dari lambung.

Gambar 7 Mouth to mouth


2) Ventilasi Mouth to Nose
Metode ventilasi dari mulut ke hidung dapat digunakan di mana
penyelamat memilih ketika rahang korban erat terkatup. Teknik untuk mulut
ke hidung sama dengan mulut ke mulut kecuali untuk menyegel jalan napas.
Tutup mulut korban dengan tangan mendukung rahang dan mendorong bibir
bersama-sama dengan ibu jari.4
7

Gambar 8. mouth to nose


3) Ventilasi Mouth to Mask
Resusitasi mulut ke masker adalah metode pernapasan yang
menghindari kontak mulut ke mulut dengan menggunakan masker resusitasi.
Tim penyelamat harus mengambil tindakan pencegahan dan keselamatan
ketika sumber daya layak dan kapan tersedia untuk melakukannya, terutama
jika korban diketahui memiliki infeksi serius. 4

Gambar 9. mouth to stoma


4) Pemberian Oksigen
Cara pemberian oksigen dapat dengan:4
1. Kanula hidung; dengan kanula hidung fraksi oksigen (FiO2)
yang dapat dicapai 30-40 %. Flow rate yang diberikan cukup 24 liter, sebab pemberian flow rate yang lebih dari 4 liter tidak
akan menambah FiO2 lebih dari 40 %, bahkan hanya
pemborosan oksigen, akan menyebabkan iritasi mukosa hidung
dan kurang nyaman bagi pasien.
2. Sungkup sederhana; Sungkup ini dirancang untuk menambah
kadar oksigen pada udara pernapasan pasien, umumnya untuk
meningkatkan kadar oksigen dengan konsentrasi sedang. Fraksi
oksigen yang dapat dicapai yaitu 40 60 %. Flow rate yang
diberikan 4- 12 L/menit.
3. Sungkup dengan reservoir

rebreathing; Seperti halnya

sungkup sederhana namun dengan sungkup yang memakai


reservoir rebreathing diharapkan tekanan partial oksigen pada
8

inspirasi dapat lebih tinggi. Fraksi oksigen yang dapat dicapai


yaitu 40-80 %.Flow rate yang diberikan untuk mencapai FiO2
yang tinggi yaitu 10-12 L/menit.
4. Sungkup dengan reservoir non rebreathing; Tidak berbeda
dengan sungkup yang lain, hanya saja pada pemakaian sungkup
dengan reservoir non rebreathing ini dapat dicapai tekanan
partial oksigen pada inspirasi lebih tinggi yaitu 90 %.
Digunakan aliran oksigen 10-12 L/menit
3. Circulation
Circulation adalah mempertahankan sirkulasi bersama dengan
tindakan untuk menghentikan perdarahan (control of hemorrhage).4
Pemeriksaan
Penilaian fungsi sirkulasi secara cepat dapat dilakukan dengan manilai
kesadaran, warna kulit dan nadi. manghentikan perdarahan luar dapat
dikerjakan selama survey primer.4
Memastikan ada tidaknya denyut jantung pasien ditentukan dengan
meraba arteri karotis didaerah leher pasien/korban dengan cara dua atau tiga
jari penolong meraba pertengahan leher sehingga teraba trakea, kemudian
digeser ke arah penolong kira-kira 1-2 cm, raba dengan lembut selam 5 10
detik. Bila teraba penolong harus memeriksa pernafasan, bila tidak ada nafas
berikan bantuan nafas 12 kali/menit. Bila ada nafas pertahankan airway
pasien/korban.4

Gambar 10.Cara meraba nadi carotis


Permasalahan

Perdarahan merupakan penyebab utama kematian setelah trauma.


Perdarahan dianggap sebagai penyebab hipotensi pada satu trauma sebelum
dapat dibuktikan penyebab yang lain. Perlu penilaian secara cepat dan akurat
terhadap status hemodinamik pasien.Gangguan sirkulasi yang mengancam
jiwa terutama jika terjadi henti jantung dan syok, yakni:4
1. Diagnosis henti jantung ditegakkan dengan tidak adanya denyut nadi karotis
dalam waktu 5 10 detik. Henti jantung dapat disebabkan kelainan jantung
(primer) dan kelainan di luar jantung (sekunder) yang harus segera
dikoreksi.
2. Diagnosis syok secara cepat dapat ditegakkan dengan tidak teraba atau
melemahnya nadi radialis/nadi karotis, pasien tampak pucat, ekstermitas
teraba dingin,berkeringat dingin dan memanjangnya waktu pengisian
kapiler (capilary refill time > 2 detik).
Tanda-tanda sirkulasi normal:4
1.
2.
3.
4.
5.
6.

Perfusi perifer : teraba hangat, kering.


Warna akral : pink/merah muda.
Capillary refill time : < 2 detik.
Denyut nadi < 100.
Tekanan darah sistole > 90-100.
Produksi urine 1 ml/kgBB/jam.

Tanda klinis syok:4


1. Kulit telapak tangan dingin, pucat, basah.
2. Capillary refill time > 2 detik.
3. Nafas cepat.
4. Nadi cepat > 100.
5. Tekanan darah sistole < 90-100.
6. Kesadaran : gelisah sampai dengan koma.
7. Pulse pressure menyempit.
8. JVP rendah.
9. Produksi urin < 0,5 ml/kgBB/jam.
Perkiraan besarnya tekanan darah sistolik jika nadi teraba di:4
1. Radialis : > 80 mmHg.
10

2. Femoralis : > 70 mmHg.


3. Carotis : > 60 mmHg.
Penanganan
Bila

sirkulasi

tidak

adekuat,

maka

langkah-angkah

yang

perlu

dipertimbangkan adalah :
-

Hentikan sumber perdarahan

Resusitasi cairan

Bila didapatkan henti napas dan henti jantung, lakukan RJP

Langkah melakukan RJP : 4


1. Lakukan 30 kali pijat jantung dengan diselingi 2 kali nafas buatan ini
berulang selama 2 menit.
2. Setelah 2 menit (7-8 siklus) raba nadi leher30 : 2.
3. Bila masih belum teraba denyutnadi leher, lanjutkan 30 x pijatjantung dan
2x nafas buatan. Ini merupakan satu siklus.
4. Setelah lima siklus, dapat diperiksa kembali apakah sudah ada denyut
jantung. Bila belum ada, ulangi kembali siklus sampaidatang bantuan atau
ambulans.

Gambar 11. RJP pada orang dewasa

11

1. Hiperemesis gravidarum
Hiperemesis gravidarum adalah muntah berlebihan sehingga
memengaruhi keadaan umum

dan mengganggu pekerjaan sehari-hari,

berat badan menurun, dehidrasi, dan terdapat aseton dalam urin yang
umumnya terjadi pada awal kehamilan sampai umur kehamilan 20
minggu. 3,4
Klasifikasi3,5 :
Tingkat I: muntah terus-menerus, timbul intoleransi terhadap makanan
dan minuman, berat badan menurun, nyeri epigastrium. Nadi
meningkat sampai 100 kali per menit dan tekanan darah menurun.
Mata cekung, lidah kering, turgor kulit menurun, dan produksi urin

mulai berkurang
Tingkat II : gejala lebih berat, segala yang dimakan dan diminum
dimuntahkan, haus hebat, subfebril, nadi cepat dan lebih dari 100-140
kali per menit, tekanan darah sistolik kurang dar 80 mmHg, apatis,
kulit pucat, kadang ikterus, asetonuria, bilirubinuria, berat badan cepat

menurun
Tingkat III : mulai terjadi gangguan kesadaran (delirium, koma),
muntah berkurang atau berhenti, tetapi dapat terjadi ikterus, sianosis,
nistagmus,

gangguan

jantung,

bilirubinuria,

dan

proteinuria.

Hiperemesis derajat III merupakan suatu kegawatdaruratan obstetri.


Tatalaksana
Untuk pasien rawat jalan dianjurkan untuk makan dengan porsi kecil tapi
sering, dan berhenti sebelum kenyang dan hindari bau, makanan, dan suplemen
yang merangsang muntah seperti makanan berlemak,berbumbu, dan tablet
Fe..Jika hal ini gagal dapat diberikan antiemetik seperti

proklorperazin,

metoklopramid untuk meredakan mual muntah. Untuk keluhan hiperemesis


yang berat pasien dianjurkan untuk istirahat di rumah sakit. 3,5
a. Rehidrasi dan stabilkan kondisi hemodinamik
b. 10 mg pridoksin ditambah 12,5 mg doxylamine per 8 jam
c. Berikan vitamin B1,B2,B6 masing-masing 50 100 mg/hari/infus
d. Vitamin B12 200 mikrogram/hari/infus
e. Diet hiperemesis
f. pantau urin output
2. Aborsi
12

Abortus adalah ancaman pengeluaran hasil konsepsi sebelum umur


kehamilan 20 minggu atau berat janin kuraang dari 500 gram. Adanya
bercak perdarahan pada trimester pertama kehamilan secara klinis
diartikan sebagai pertanda aborsi pada 20-25% wanita hamil, dan 50% dari
persentase tersebut akan berakhir dengan abortus spontan. Abortus spontan
adalah abortus yang terjadi tanpa tindakan, sedangkan abortus yang terjadi
dengan tindakan yang sengaja dilakukan disebut abortus provokatus.
Lebih dari 80% abortus spontan didapatkan pada usia kehamilan kurang
dari 12 minggu. 3,6
Etiologi
Penyebab paling sering untuk aborsi adalah sebagai berikut: 3,6
a. Faktor genetik (mendelian, multifaktor, myotonic dystrophy)
b. Kelainan kongenital uterus (anomali duktus Mulleri, septum uterus,
uterus bikorni, inkompetensi servik,mioma uteri, sindrom Asherman)
c. Autoimun
d. Defek fase luteal
e. Infeksi
f. Hematologik
g. Lingkungan
Abortus imminens
Disebut juga abortus mengancam karena merupakan abortus
tingkat awal dan merupakan ancaman terjadinya abortus. Ditandai dengan
perdarahan pervaginam, ostium uteri masih tertutup dan hasil konsepsi
masih baik di dalam kandungan. Tidak ada keluhan yang cukup berarti
dikeluhkan oleh pasien, kecuali perut terasa sedikit mulas dan perdarahan
pervaginam. Ukuran uterus masih sesuai usia kehamilan, plano tes masih
positif. Pemeriksaan USG diperlukan untuk mengetahui pertumbuhan
janin dan mengetahui apakah telah terjadi pelepasan plasenta atau belum.
Periksa denyut jantung janin dan gerakan janin. 3,6
Penatalaksanaaan berupa tirah baring hinggga perdarahan berhenti.
Dapat

diberikan

spasmolitik

dan

progesteron.

Penderita

boleh

dipulangkan setelah tidak terjadi perdarahan dan tidak boleh berhubungan


seksual selama kurang lebih dua minggu. 3,5
Abortus inkomplit
Pada abortus inkomplit sebagian hasil konsepsi telah keluar dari
kavum uteri dan sebagian lagi masih tertinggal di uterus. Ukuran uterus
13

lebih kecil dari usia kehamilan. Pada pemeriksaan vagina, kanalis


servikalis masih terbuka, teraba jaringan dalam kavum uteri atau menonjol
pada ostium uteri eksternum, perdarahan dapat terus berlangsung hingga
pasien bisa jatuh dalam keadaaan anemia atau syok hemoragik sebelum
sisa jaringan konsepsi dikeluarkan. Bila ragu untuk menegakkan diagnosis,
pemeriksaan USG didapatkan kantong gestasi sulit dikenali, di kavum
uteri tampak massa hiperechoic yang bentuknya tidak beraturan. 3,5
Hasil konsepsi harus segera dikeluarkan secara manual bila terjadi
perdarahan hebat untuk memperbaiki kontraksi uterus. Selanjutnya
dilakukan tindakan kuretase. Pascatindakan diberikan uterotonika dan
antibiotik. 3,5
Abortus komplit
Seluruh hasil konsepsi telah keluar dari kavum uteri pada usia
kehamilan kurang dari 20 minggu dan berat janin kurang dari 500 gram.
Ostium uteri telah tertutup, uterus mengecil, perdarahan sedikit, ukuran
uterus tidak sesuai usia kehamilan. Pemeriksaan urin masih positif hingga
7 10 hari setelah abortus. 3,5
Pasien dengan abortus komplit tidak memerlukan tata laksana
khusus. Bila diperlukan, pasien dapat diberikan roboransia atau hematenik.
Pemberian uterotonika tidak perlu diberikan. 3,5
3. Preeklamsia berat dan eklamsia
Hipertensi dalam kehamilan ditemukan sekitar 10% pada wanita
hamil di seluruh dunia. Preeklamsia berat merupakan kegawatdaruratan
obstetri yang membutuhkan penanganan segera. Dikatakan preeklamsia
berat apabila ditemukan tekanan darah sistolik 160mmHg atau tekanan
darah diastolik 110 mmHg disertai proteinuria 5gr/24 jam atau +3
dengan pemeriksaan kualitatif, oligouria < 500cc/24 jam dan dapat juga
ditemukan penurunan visus, penurunan kesadaran, edem paru,sianosis,
nyeri epigastrium, trombositopeni, dan gangguan visus hepar.1,3
Eklamsia merupakaan kasus akut pada penderita preeklamsia yang
disertai dengan kejang menyeluruh dan koma. Sama halnya dengan
preeklamsia, eklamsia dapat timbul pada ante, intra, dan postpartum.3,5
Faktor risiko3,5
14

1. Primigravida
2. Hiperplasentosis, misalnya : mola hidatidosa, kehamilan multiple,
diabetes mellitus, hidrops fetalis, bayii besar.
3. Umur yang ekstrim
4. Riwayat preeklamsia sebelumnya, riwayat preeklamsi dalam keluarga
5. Obesitas
Penatalaksanaan3,5,7
a. Tirah baring, miring ke kiri
b. Monitoring balance cairan, lakukan koreksi cairan bila terdapat tandatanda edem paru.
c. Pemberian obat anti kejang. WHO merekomendasikan magnesium sulfat
sebagai obat anti kejang yang paling efektif dan murah. Cara pemberian
MgSO4 adalah sebagai berikut :
Loading dose : 4 gr MgSo4 dilarutkan dengan akuades diberikan
intravena selama 15 menit
Maintenance dose : infuse 6 gr dalam larutan RL/6 jam
Bila dengan pemberian MgSO4 kejang masih berlanjut, diazepam dapat
digunakan sebagai alternatif pilihan.
d. Pemberian obat antihipertensi. Nifedipin 10 20 mg per oral, diulangi
setelah 30 menit , maksimum 120 mg dalam 24 jam
e. Pemberian glukokortikoid untuk pematangan paru bila usia kehamilan 3234 minggu
f. Terminasi kehamilan dilakukan bila usia kehamilan 37 minggu, ada
tanda-tanda impending, kegagalan terapi, dan

terdapat tanda-tanda

sidroma HELLP. Pada janin didapatkan fetal distress, oligohidramnion.


4. PERDARAHAN ANTEPARTUM
Perdarahan antepartum yang berbahaya umumnya
bersumber pada kelainan

plasenta.

Hal

perdarahan yang bersumber pada kelainan


lebih banyak, sehingga dapat mengganggu

ini

disebabkan

plasenta

biasanya

sirkulasi O2 dan

CO2 serta nutrisi dari ibu kepada janin. Sedangkan

perdarahan

yang tidak bersumber pada kelainan plasenta seperti kelainan


serviks biasanya relatif tidak berbahaya. Oleh karena itu,
pada setiap

perdarahan antepartum pertama-tama harus

15

selalu dipikirkan bahwa hal itu

bersumber

pada

kelainan

plasenta (Wiknjosastro, 2005)


Perdarahan antepartum diklasifikasikan menjadi :
1. PLASENTA PREVIA 3,5,8
Plasenta previa adalah letak plasenta yang abnormal
yaitu pada

segmen bawah rahim yang dapat menutupi

sebagian atau seluruh Ostium

uteri internum (OUI), plasenta

previa terjadi setelah usia kehamilan > 20

minggu.

Angka

kejadiannya meningkat seiring dengan bertambahnya usia


pasien, multiparitasdan riwayat seksio sesar sebelumnya.
Faktor

Resikoyang dapat menyebabkan terjadinya plasenta

previa adalah 3,8


a. Riwayat plasenta previa (4-8%).
b. Kehamilan pertama setelah sectio caesar.
c. Multiparitas (5% kejadian pada grandemultipara).
d. Usia ibu tua.
e. Kehamilan kembar.
f. Riwayat kuretase abortus.
g. Merokok.

Pendarahan antepartum akibat plasenta previa terjadi


sejak kehamilan 10 minggu saat segm en bawah uterus
membentuk dari mulai melebar serta menipis, umumnya
terjadi pada trismester ketiga karena segmen bawah
uterus lebih banyak mengalami perubahan pelebaran
segmen

bawah

uterus

dan

pembukaan

servik

menyebabkan sinus uterus robek karena lepasnya plasenta


dari dinding uterus atau karena robekan sinus marginalis
dari plasenta. Pendarahan tidak dapat dihindarkan karena
ketidak mampuan serabut otot

segmen bawah uterus

untuk berkontraksi seperti pada plasenta letak normal.


16

Klasifikasi plasenta8
1. Lateral/low lying (tipe I) plasenta Plasenta yang
letaknya abnormal pada segmen bawah uterus,
tapi belum sampai menutupi pembukaan jalan
lahir. Pinggir plasenta berada kira-kira 3 atau 4 cm
diatas pinggir pembukaan, sehingga tidak akan
teraba pada pembukaan jalan lahir.
2. Plasenta previa marginalis (tipe II) : Pinggir bawah
plasenta berada tepat pada pinggir ostium uteri
internum
3. Plasenta previa

parsialis/lateralis

(tipe

III)

Sebagian ostium uteri intemum tertutup oleh


plasenta.
4. Plasenta previa totalis (tipe IV) : Seluruh ostium
uteri intermum tertutup oleh plasenta.

Gambar 12. Klasifikasi Plasenta Previa (Munro Kerrs


Operative Obstetrics.2014)

17

Grade

Deskriksi
Plasenta berada pada segmen bawah
I

rahim

tetapi

tepi

terbawah

tidak

mencapai ostium uteri internum.

Mino
r

Tepi terbawah dari plasenta letak rendah


II

mencapai ostium uteri internum tetapi


tidak menutupinya.

III

May
or

IV

Plasenta menutupi ostium uteri internum


tetapi asimteris.
Plasenta menutupi ostium uteri internum
secara simetris.

Gambar 13. Pembagian plasenta previa (Hamilton-Fairley


D.2004)
Gejala klinis3,8
1. Gejala utama plasenta previa adalah perdarahan
tanpa sebab, tanpa rasa nyeri dan biasanya berulang
(painless, causeless, recurrent bleeding), darahnya
berwarna merah segar.
2.

Bagian

terdepan

janin

tinggi

(floating),

sering

dijumpai kelainan letak janin.


3. Perdarahan pertama (first bleeding) biasanya tidak
banyak dan tidak fatal, kecuali bila dilakukan periksa
dalam sebelumnya, sehingga pasien sempat dikirim
ke

rumah

sakit.

Tetapi

perdarahan

berikutnya

(recurrent bleeding) biasanya lebih banyak.


4. Janin biasanya masih baik.
Diagnosis

3,8

18

1. Anamnesis perdarahan jalan lahir pada kehamilan


setelah

20

minggu

terutama

pada

berlangsung

tanpa

multigravida,

nyeri

banyaknya

perdarahan tidak dapat dinilai dari anamnesis,


melainkan dari pada pemeriksaan hematokrit.
2. Pemeriksaan luar Bagian bawah janin biasanya
belum

masuk

pintu

atas

panggul

presentasi

kepala, biasanya kepala masih terapung di atas


pintu atas panggul mengelak ke samping dan
sukar didorong ke dalam pintu atas panggul.
3. Pemeriksaan penunjang USG
Penatalaksanaan3,8
Semua penderita perdarahan antenatal tidak boleh
dilakukan

pemeriksaan

dalam

kecuali

kemungkinan plasenta previa telah disingkirkan atau


diagnosa

solusio

plasenta

telah

ditegakkan.

Penatalaksanaan plasenta previa yang tercantum dalam


Standar Pelayanan Medik POGI (2006)
1. Terminasi per abdominam bila terjadi perdarahan per vaginam masif
atau mengancam keselamatan terutama ibu dan janin
2. Konservasi jika perdarahan sedikit, dan cari tanda infeksi di saluran
kemih,cervix dan vagina.
3. Terapi tokolitik, antibiotik, pematangan paru pada janin 28 34
minggu,dan persiapkan tranfusi autologus bila Hb ibu > 11 g%
4. SC elektif pada kehamilan 37 minggu
5. Perhatian khusus pada plasenta previa pada bekas SC untuk
kemungkinanterjadinya plasenta akreta/inkreta/perkreta (insidens
meningkat 30%)
2. SOLUSIO PLASENTA
Solusio plasenta adalah pelepasan plasenta secara
premature dari uterus. Solusio placenta dan menyebabkan
komplikasi

pada

ibu

dan

juga

bayi

serta

dapat
19

menyebabkan kematian. Perdarahan terjadi saat plasenta


mulai terlepas dari sel-sel desidua basalis. Perdarahan
akibat

solusio

plasenta

umunya

menyusup

diantara

membrane plasenta dan uterus, dan akhirnya keluar


melalui serviks, menyebabkan perdarahan ekstrnal. Solusio
plasenta dapat terbagi atas total atau parsial. Faktor resiko
dari salusio plasenta sendiri telah diidentifikasi melalui
kontrol populasi dimana di dapatkan hipertensi kronik yang
menjadi penyebab terkuat terhadap solusio plasenta itu
sendiri

di

bandingkan

dengan

pre-eklamsia.

Merokok

sebanyak 90% dapat menyebabkan meningkatnya resiko


solusio. Selain itu terdapat peningkatan tiga kali lipat
dalam komplikasi kehamilan yang di dasari oleh prolonged
rupture of membrane (PROM), cocain juga dapat menjadi
penyebab tertinggi dari solusio plasenta.4,8,10
Gejala gejala umum yang sering terjadi pada solusio
plasenta antara lain :3,8
1.

Perdarahan yang disertai nyeri, juga di luar his.

2.

Anemi

dan

syok,

sering

tidak

sesuai

dengan

banyaknya darah yang keluar.


3.

Rahim keras seperti papan dan nyeri pegang karena


isi

rahim

bertambah

dengan

dengan

darah

yang

berkumpul di belakang plasenta hingga rahim teregang


(uterus en bois).
4.

Palpasi sukar karena rahim keras.

5.

Fundus uteri makin lama makin naik.

6.

bunyi jantung biasanya tidak ada.

7.

Pada toucher teraba ketuban yang tegang terus


menerus (karena isi rahim bertambah).

8.

Sering adanya proteinuri karena disertai preeklampsi.


20

Sedangkan berdasarkan klasifikasinya, gejala klinis solusio


plasenta terbagi menjadi :8

Solusio Plasenta Ringan


Rupture sinus marginalis atau terlepasnya sebagian
kecil plasenta yang tidak berdarah banyak, sama sekali
tidak mempengaruhi keadaan ibu dan janinnya. Apabila
terjadi perdarahan per vagina, warnanya akan kehitaman
dengan jumlah yang sedikit. Perut mungkin terasa agak
sakit, atau agak tegang. Walaupun demikian bagianbagian janin masih mudah teraba. Uterus yang agak
tegang ini harus diawasi terus menerus apakah akan
menjadi lebih tegang lagi karena perdarahan yang terus
menerus. Salah satu tanda yang menimbulkan kecurigaan
akan

kemungkinan

solusio

plasenta

ringan

ialah

perdarahan per vagina yang berwarna kehitaman.


Solusio plasenta sedang
Plasenta terlepas lebih dari seperempatnya, tetapi
belum sampai dua pertiga luas permukaannya. Tanda dan
gejalanya dapat timbul perlahan-lahan seperti solusio
plasenta ringan, atau mendadak dengan gejala sakit
perut terus-menerus, yang tidak lama kemudian disusul
dengan perdarahan per vagina. Walaupun perdarahan per
vagina tampak sedikit, seluruh perdarahannya mungkin
telah mencapai 1000ml. ibu jatuh dalam keadaan syok,
demikian juga keadaan janinnya yang gawat. Dinding
uterus teraba tegang dan nyeri tekan sehingga bagianbaian janin sulit diraba. Apabila janin dalam keadaan
hidup bunyi jantung sulit didengar dengan stetoskop

biasa harus dengan stetoskop ultrasonic.


Solusio plasenta berat

21

Plasenta

telah

terlepas

lebih

dari

dua

pertiga

permukaannya. Terjadi sangat tiba-tiba, biasanya ibu


telah jatuh kedalam syok, dan janinnya telah meninggal.
Uterusnya sangat tegang seperti papandan sangat nyeri.
(Bambang Karsono,2002)

Gambar 14. klasifikasi solusio plasenta (Munro Kerrs


Operative Obstetrics.2014)
Cunningham dan Gasong masing-masing dalam
bukunya mengklasifikasikan solusio plasenta menurut
tingkat gejala klinisnya, yaitu: 5
1. Ringan : perdarahan kurang 100-200 cc, uterus tidak
tegang, belum ada tanda renjatan, janin hidup, pelepasan
plasenta kurang 1/6 bagian permukaan, kadar fibrinogen
plasma lebih 150 mg%.
2. Sedang : Perdarahan lebih 200 cc, uterus tegang,
terdapat tanda pre renjatan, gawat janin atau janin telah
mati, pelepasan plasenta 1/4-2/3 bagian permukaan,
kadar fibrinogen plasma 120-150 mg%.

22

3. Berat : Uterus tegang dan berkontraksi tetanik, terdapat


tanda renjatan, janin mati, pelepasan plasenta dapat
terjadi lebih 2/3 bagian atau keseluruhan.
Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan

diagnostik

yang

dibutuhkan

untuk

menegakkan diagnose solusio plasenta adalah:3,8

Pemeriksaan
Hematokrit,
pembekuan,

laboratorium
Trombosit,
waktu

darah:

waktu

Hemoglobin,

protrombin,

tromboplastin

parsial,

waktu
kadar

fibrinogen dan elektrolit plasma.

KTG untuk menilai kesejahteraan janin

USG

untuk

menilai

letak

plasenta,usia

gestasi,dan

keadaan janin
Dapat mengungkapkan posisi rendah berbaring placnta
tapi

apakah

placenta

melapisi

cervik

tidak

biasa

diungkapkan
Penatalaksanaan3,8
1. Terapi konservatif (ekspetatif)
Prinsipnya
perdarahan

kita

berhenti

hanya
dan

menunggu
pertus

sampai

berlangsung

spontan.dilakukan bergantung dari usia gestasi dan


kondisi ibu serta janin.untu penatalaksaanaan konservatif
dapat dilakukan
a)
b)

observasi ketat
pemberian tokolitik
23

c)

Transfusi darah

2. Terapi aktif
Prinsip kita mencoba melakukan tindakan dengan
maskud agar anak segera di lahirkan dan perdarahan
berhenti misalnya dengan operatif dan obstetric.Langkalangka:
a)

Amniotomi (pemecahan ketuban) dan pemberian

oksitosin kemudian awasi serta pimpin partus spontan.


b)

Bila

pembukaan

sudah

lengkap

atau

hampir

lengkap,dan kepala sudah turun sampai hodge III-IV,maka


bila janin hidup lakukan ekstrasi fakum atau forest tetapi
bila janin meninggal lakukanlah embriotomi.
c)

Seksiosesarea biasanya di lakukan pada keadaan:

Solusioplasenta dengan anak hidup,pembukaan kecil.

Solusioplasenta dengan toksemia berat,perdarahan


agak banyak,tetapi pembukaan masih kecil.

Solusioplasenta dengan panggul sempit atau letak


lintang

Histerektomi

dapat

dilakukan

bila

terjadi

afibrinogenemia atau hipofibrinogenemia dan kalo


persediaan darah atau fibrinogen tidak atau tidak
cukup.selain itu juga ada coufilair uterus dengan
kontraksi uterus yang tidak baik

Ligasi

arteri

hipogastrika

bila

perdarahan

tidak

terkontrol tetapi fungsi reproduksi ingin di pertahan


kan

24

Pada

hipofibrinogenemia,berikan

darah

segar

beberapa kantong plasma darah dan fibrinogen 4-6


gram.
3. VASA PREVIA8
Vasa previa diartikan sebagai pembuluh darah
janin yang berada melewati os servikal. Pada vasa
previa biasanya kurang dalam perlindungan dari
Whartons

jelly

dan

mudah

kompresi.

Jika

pembuluh

terjadi
darah

rupture
rupture,

dan
bisa

menyebabkan kegawatan dan distress pada janin.


Manifestasi klinik yang bisa di dapatkan biasanya
terjadi setelah

ketuban rupture dengan onset akut

dari

pervaginam

perdarahan

yang

terjadi

akibat

laserasi pembuluh darah janin.


Diagnosis untuk vasa previa sendiri , dahulu
bisa di deteksi

melalui palpasi dari pembuluh darah

janin bersama ketuban selama

kelahiran atau dengan

onset akut dari perdarahan pervaginam dan

bradikardi

dari fetal dan atau kematian setelah membrane rupture.


USG dan color-flow Doppler biasanya di gunakan
dalam diagnose

antenatal.

transvaginal, transabdominal dan

Metode
translabial

pendekatan
telah

banyak di gunakan.

25

Gambar 15. Vasa previa pada plasenta (Hull D. Andrew.2014)


Penatalaksanaan yang dapat dilakukan saat vasa previa
didiagnosa

pada

saat

antenatal,

penanganannya

disamakan dengan penanganan pada plasenta previa.


Beberapa literatur merekomendasikan untuk perawatan di
rumah sakit selama trimester ketiga dengan pemberian
kortikosteroid, tes selama antepartum dan seksio sesarea
pada usia kehamilan 36 minggu. Jika terjadi pada saat
intrapartum

di

butuhkan

transfuse

neonates

segera

dilakukan.
5. Gawat janin
Merupakan istilah pada kegawatdaruratan obstetri tentang keadaan
janin yang kemudian diakhiri dengan seksio sesarea atau persalinan
buatan lainnya. Disebut gawat janin bila ditemukan denyut jantung janin
lebih dari 160x/ menit atau di bawah 100x/ menit, denyut jantung tidak
teratur, atau keluarnya mekonium yang kental pada awal persalinan.3
Simpulan pengelolaan3
Cara pemantauan
Kasus resiko rendah auskultasi teratur DJJ selama persalinan:
1. Setiap 15 menit selama kala I
2. Setiap setelah his pada kala II
3. Hitung selama 1 menit bila his telah selesai
Kasus resiko tinggi
1. Pertimbangkan untuk melakukan pengecekan pH darah janin
Interpretasi dan pengelolaan
Untuk memperbaiki aliran darah uterus
26

Miringkan ibu ke sebelah kiri untuk memperbaiki plasenta


Hentikan infuse oksitosin (bila diberikan)
Untuk memperbaiki hipotensi ibu (setelah pemberian anestesi)

segera berikan infuse kristaloid


Kecepatan infuse cairan intravascular

dinaikkan

untuk

meningkatkan aliran darah arteri uterine


Untuk memperbaiki aliran darah umbilicus
- Miringkan ibu ke sebelah kiri
- Berikan oksigen 6 8 L/menit
Hal ini dilakukan selama 20 menit. Elahirkan janin dapat segera
dilakukan pervaginam bila syarat terpenuhi dan perabdominal
6. Presentasi Bokong
Presentasi bokong adalah janin letak memanjang dengan bagian
terendahnya adalah bokong, kaki, atau kombinasi keduanya. Merupakan
malpresentasi yang paling sering dijumpai sekitar 3 4 % dari seluruh
kehamilan tunggal aterm. Ada beberapa faktor resiko untuk terjadinya hal
ini yaitu, prematuritas, abnormalitas bentuk uterus, polihidramnion,
plasenta previa, multiparitas, mioma uteri, kehamilan multiple, anomaly
janin (anensefali, hidrosefalus) dan ada riwayat [resentasi bokong
sebelumnya. 3
Diagnosis
Presentasi bokong dapat diketahui melalui palpasi abdomen. Untuk
memastikan dapat dilakukan periksa dalam vagina dan pemeriksaan USG.
Untuk membuat perkiraan besarnya resiko dan cara persalinan perlu
diketahui taksiran berat janin, jenis presentasi bokong, keadaan selaput
ketuban, ukuran panggul ibu, kemajuan persalinan, pengalaman penolong,
dan ketersediaan fasilitas. Klasifikasi presentasi bokong dibuat untuk
kepentingan

seleksi pasien yang akan dicoba persalinan pervaginam.

Terdapat 3 macam persentasi bokong, yaitu bokong murni, bokong


komplit, dan kaki. Varian prresentasi kaki adalah presentasi bokong
inkomplit, kaki komplit, kaki inkomplit, dedan lutut. Janin dengan varian
presentasi kaki tidak direkomendasikan untuk dilakukan persalinan
pervaginam. 3
27

Tatalaksana persalinan sungsang : 3


- Ketika bokong mencapai dasar panggul terjadi rotasi putaran
paksi dalaam sehingga diameter bitrohanter menjadi diameter
-

anteroposterior pada pelvic outlet.


Bila tidak terjadi kemajuan,dapat dilakukan episiotomy dan
bokong dapat dilahirkan dan mengait lipat paha dengan kedua

jari
Bokong sudah lahir dan bahu memasuk panggul denngan
diameter transversa terjadi rotasi eksternal sehingga belakang

janin terletak paling di atas


Lahirkan kaki depan secara manual, fleksikan, abduksi, lalu

lahirkan
Bersamaan, bokong melakukan rotasi ke depan 90 0 . kepala turun

ke pelvis dalam keadaan fleksi


Longgarkan tali pusat, tarik kedua kaki ke bawah untuk lahirkan

bahu belakang
Lakukan maneuver maureceau, lahirkan kepala.
Gunakan forceps bila kepala tidak dapat dilahirkan.

7. Presentasi Majemuk
Presentasi majemuk adalah prolaps satu atau lebih ekstremitas pada
presentasi kepala ataupun bokong. Kepala memasuki panggul bersamaaan
dengan kaki dan/atau tangan.

Presentasi majemuk juga daapat terjadi

manakala bokong memasuki panggul bersamaan dengan tangan.

28

Faktor yang meningkatkan kejadian presentasi majemuk adalah


prematuritas, multiparitas, panggul sempit, kehamilan ganda, atau pecahya
selaput ketuban dengan bagian terendah janin yang masih tinggi. 3
Diagnosis
Kemungkinan adanya presentasi majemuk dapat dipikirkan bila
terjadi kelambatan kemajuan persalinan pada fase aktif, bagian terendah
janin tidak dapat masuk panggul terutama setelah ketuban pecah. Pada
pemeriksaan dalam vagina dengan presentasi kepala teraba tangan/lengan
dan/ atau kaki atau apabila pada presentasi bokong juga teraba
tangan/lengan, maka presentasi majemuk dapat ditegakkan.3
Tatalaksana
Kelahiran spontan pada persalinan dengan presentasi majemuk
hanyaa dapat terjadi bila janin berukuran kecil sehingga panggul dapat
dilalui oleh bagian terendah janin bersamaan dengan ekstemitas yang
meyertainya. Penanganan presentasi majemuk dimulai dengan mengetahui
adanya prolaps tali pusat atau tidak, pembukaan serviks, keadaan selaput
ketuban, kondisi dan ukuran janin, serta ada tidaknya kehamilan kembar
untuk. Apabila tidak ada prolaps tali pusat, maka dilakukan pengamatan
kemajuan persalinan. Setelah pembukaan lengkap umumnya aakan terjadi
reposisi spontan. Bila kemajuan persalinan lambat atau macet, dilakukan
upaya

reposisi

ekstremitas

dengan

knee-chest

position

untuk

melonggarkan tekanan ekstremtas yang prolaps. Apabila ketuban masih


utuh lakukan amniotomi terlebih dahulu. Dorong ekstremitas yang prolaps
kea rah cranial, tahan hingga timbul his yang akan menekan kepala atau
bokong memasuki panggul. Kemudian jari penolong dikeluarkan perlahanlahan . bila gagal, maka dilakukan seksio sesarea. 3
8. Distosia Bahu
Ketakutan terbesar dalam bidang obstetri sebelum perdarahan
masif adalah distosia bahu. Dilaporkan terjadi sekitar 0,2% hinggga 3%
dari semua kelahiran di setiap tempat. Distosia bahu merujuk pada
keadaan di mana setelah kepala lahir pada persentasi kepala,bahu tidak
29

dapat dilahirkan dengan pertolongan biasa dengan jarak wakktu antara


lahirnya kepala dan badan bayi lebih dari 60 detik. Bila tolak ukur
digunakan maka kejadian distosia bahu bisa mencapai 11%. 1,3,9
Untuk mengurangi risiko morbiditas pada bayi dan tuntutan pada
penolong persalinan maka faktor resiko terjadinya distosia bahu peril
diketahui. Banyak faktor resiko distosia bahu telah dillaporkan,
makrosomia, ibu dengan diabetes, ibu dengan obesitas, dan riwayat
distosia bahu sebelumnya. Upaya pencegahan terjadinya distosia bahu
dapat dilakukan dengan cara 3,8 :
a. Tawarkan untuk dilakukan bedah sesar pada persalinan pervaginam
beresiko tinggi : janin luar biasa besar (>5000 gr), janin sangat besar
(>4500 gr) dengan ibu diabetes, janin besar (>4000 gr) dengan riwayat
distosia bahu pada persalinan sebelumnya.
b. Identifikasi dan obati diabetes pada ibu
c. Kenali adanya distosia seawal mungkin
Diagnosis
Diagnosis distosia bahu bisa ditegakkan bila setelah dilakukan
traksi kepala tidak berhasil melahirkan bahu yang tetap tertahan di kranial
simpisis pubis atau kepala bayi sudah lahir,tetapi menekan vulva dengan
kencang. Nampak dagu tertarik dan menekan perineum. Distosia bahu
adalah

murni

diagnosis

klinis,

tidak

dibutuhkan

pemeriksaan

laboratorium maupun radiologi pada kasus ini. 3,9

Tatalaksana
Begitu distosia bahu dikenali, maka prosedur tindakan pertolongan
harus segera dilakukan. Hal pertama yang harus dilakukan adalah meminta
bantuan, dan tetap tenang. Hentikan traksi pada kepala dan ada beberapa
maneuver yang harus dilakukan segera untuk menangani distosia bahu.
Posisi McRobert dengan melakukan hiperefleksi kedua paha ke dinding
abdomen ibu sedekat mungkin ke dada yang akan melebarkan diameter
AP pelvis dan memberikan ruang lebih luas dikombinasikan tekanan pada

30

suprapubik. Gabungan episiotomi juga sangat membantu bahu posterior


melewati promontorium dan masuk kedalam panggul.1, 3, 9

Gambar 16. Manuver McRobert. (Jeremy B. Branzetti. 2010)

Gambar 17. Kompresi suprapubik. (Jeremy B. Branzetti. 2010)


Bila teknik tersebut belum berhasil maka maneuver Rubbin atau
Woods screw dapat dilakukan.. Masih dalam posisi McRobert, masukkan
31

tangan pada bagian posterior vagina , tekan daerah ketiak bayi sehingga
bahu berputar menjadi posisi oblik atau transversa. Penekanan suprapubik
akan membuat bahu lebih abduksi, sehinggga diameternya mengecil.
Lakukan

tarikan kepala ke arah posterokaudal dengan mantap untuk

melahirkan bahu anterior. Manuver woods screw dengan

menemukan

bahu posterior , telusuri lengan atas dan tekanlah fossa kubiti untuk
membuat sendi siku menjadi fleksi. Pegang lengan bawah dan buat
gerakan mengusap ke arah dada bayi sehigga bahu posterior lahir dan
memberikan ruang yang cukup untuk bahu anterior masuk ke simfisis.3,9

Gambar 18. Manuver Rubin atau maneuver reverse Wood screw.


A. merotasikan bahu posterior. B. Melahirkan bahu posterior yang telah
dirotasikan (Jeremy B. Branzetti. 2010)
Jika semua maneuver tersebut belum berhasil, maka harus coba
dilakukan untuk melahirkan bahu

posterior dengan mematahkan

klavikula, hal ini diduga sangat beresiko karena dapat menyebabkan


trauma pada plexus brachialis.3,9

Gambar 19. Memasukkan tangan dan menyapukan bahu posterior


melewat dada dan keluar dari perineum

32

Maneuver Zavanelli dilakukan bila semua hal tersebut di atas tidak


berhasil, dengan memasukkan kembali kepala ke dalam pelvis dan
dipertahankan posisinya sampai dilakukan seksio sesarea segera. Distosia
merupakan indikasi utama dilakukannya sesksio sesarea. Bila persalinan
lambat dilakukan, hipoksia dan trauma otak dapat terjadi. Komunikasikan
segala tindakan yang dilakukan terhadap pasien dan jangan lupa
didokumentasikan dengan baik. 1,3,9,10
9. Ruptur Uteri8
Ruptur uteri merujuk pada keadaan disrupsi komplit seluruh
lapisan uterus (endometrium, miometrium, dan serosa )yang bukan
disebabkan karena tindakan bedah. Beratnya perdarahan bergantung pada
luasnya rupture. Insidennya sekitar 1 per 2000 persalinan. Ruptur uteri
paling sering terjadi pada ibu dengan bekas luka di uterus, termasuk luka
karena operasi sesar dan miomektomi. Faktor lainnya adalah induksi
persalinan, uterus yang menipis dikonfirmasi dengan pemeriksaan USG,
makrosomia, infeksi post SC, kehamilan ganda, jarak kehamilan yang
terlampau dekat, dan trauma.
Diagnosis
Manifestasi klinisnya dapat ditemukan pada janin dan ibu. Pada janin
dapat ditemukan bradikardi sedangka pada ibu gejalanya bervariasi,
termasuk perdarahan akut pervaginam, nyeri abdomen yang menetap,
tenderness pada uterus, hematuria serta hemodinamik yang tidak stabil.
Ruptur uteri dapat dicurigai terjadi secara klinis dan untuk memastikannya
dilakukan laparotomi.
Tata laksana
Setelah bayi dan plasenta lahir, bagian uter
jus yang mengalami rupture harus segera dinilai dan dijahit. Jahit seluruh
lapisan uterus yang mengalami rupture dengan benang absorban.
Histerektomi harus dilakukan bila terdapat perdarahan yang massif, defek
uterus tidak dapat diperbaiki, dan kedaan hemodinamik ibu tidak stabil.
10. Prolaps tali pusat
33

Prolaps tali pusat adalah kegawatdaruratan obstetri yang jarang


terjadi. Insidennya sekitar 0,1%-0,6% atau 1 per 200 kelahiran. Dalam
dekade terakhir insidennya menurun disebabkan semakin seringnya
dilakukan seksio sesarea secara liberal dan resusitasi bayi baru lahir yang
semakin baik. Faktor resiko terjadinya prolaps tali pusat meningkat pada
ibu dengan multipara, ukuran janin kecil, presentasi abnormal,
prematuritas, polihidramnion, dan ketuban pecah dini. Prolaps tali pusat
dapat diklasifikasikan sebagai berikut : 1, 3, 5, 9, 11
a. Tali pusat terkemuka, bila tali pusat berada di bawah bagian terendah
janin dan ketuban masih intak.
b. Tali pusat menumbung, bila tali pusat keluar melalui ketuban yang
sudah pecah, ke serviks, turun ke vagina
c. Occult prolaps, tali pusat berada di samping bagian terendah janin
turun ke vagina. Tali pusat dapat teraba dan tidak, ketuban dapat pecah
atau tidak.
Penekanan

tali pusat oleh bagian terendah janin dapat

menyebabkan hipoksia. Hipoksia juga dapat terjadi karena vasopasme tali


pusat akibat terpapar suhu yang lebih dingin bila tali pusat turun ke vagina.
Obstruksi yang lengkap pada tali pusat akan menyebabkan peurunan detak
jantung janin dengan segera. Bila obstruksi tersebut menetap akan terjadi
deselerasi yang lama sehingga bila dibiarkan akan menyebabkan kematian
janin. Bila yang terjadi adalah obstruksi sebagian akan menyebabkan
akselerasi detak jantung tapi bila terus berlanjut akan terjadi hipovolemik
dan bradikardi menetap, dan akhirnya kematian janin. 1,3,11
Diagnosis
Diagnosis prolaps tali pusat dapat ditegakkan dengan beberapa cara1,9,8
a. Teridentifikasi tali pusat berada di jalan lahir keluar dari introitus
vagina
b. Teraba tali pusat pada pemeriksaan dalam vagina
c. Pada auskultasi denyut jantung janin didapatkan denyut jantung yang
irregular dan sering dengan bradikardi
d. Monitoring denyut jantung yang berkesinambungan memperlihatkan
adanya deselerasi
34

Tatalaksana 3,8,9
a.
Periksa dan tangani ABC.
b.
Monitoring denyut jantung janin.
c. Hentikan oksitosin, bila sebelumnya obat ini diberikan
d.
Lakukan reposisi tali pusat ke dalam uterus, yang disebut reduksi
funikulus. Bila tidak berhasil, lakukan penilaian dengan
cepat

apakah bayi hidup? usia kehamilan, apakah viable?

dan kelainan
lainnya
e.
Kurangi penekanan pada taali pusat dengan mengangkat kepala
janin (bagian terendah janin) menjauh dari vagina, posisi
trendelenberg, atau knee chest position
dipersiapkan untuk

sambil

seksio sesarea. Jika hal ini dapat

dengan segera lakukan dalam

waktu kurang dari 10

menit, maka kematian janin yang

disebabkan

oleh prolaps tali pusat akan menurun drastis.


f.
Persalinan pervaginam segera hanya memungkinkan bila
pembukaan lengkap, bagian terendah janin telah masuk
panggul,

dan tidak ada CPD

11. Perdarahan post partum


Perdarahan post partum adalah kegawatdaruratan obstetri yang
terjadi setelah usia kehamilan 20 minggu

yang didapatkan saat

melahirkan fetus atau plasenta. Perdarahan post partum

merupakan

penyebab utama tingginya angka kematian dan morbiditas ibu di seluruh


dunia. Diperkirakan sekitar lebih dari 4% pada persalinan pervaginam dan
sekitar lebih dari 6% pada persalinan seksio sesarea. Penyebab utama
paling sering pada perdarahan post partum adalah atonia uteri, penyebab
lainnnya adalah

laserasi

pada

jalan lahir, retensi plasenta dan

koagulopati. 8,12,13
Jumlah kehilangan darah yang normal pada persalinan tergantung
pada jenis persalinan. Berdasarkan data objektif, estimasi rata-rata
kehilangan darah yang normal pada persalinan pervaginam adalah sekitar
500cc,

persalinan dengan seksio sesarea sekitar 1000cc, dan seksio

sesarea disertai histerektomi sekitar 1500 cc. Disebut perdarahan post


35

partum bila jumlah kehilangan darah lebih dari 500 cc pada persalinan
pervaginam dan lebih dari 1000cc pada persalinan seksio sesarea.
Perdarahan post partum primer bila terjadi perdarahan masif dalam waktu
24 jam setelah melahirkan. 8,13,14

Gambar 20. Gejala Perdarahan post partum (Baldiserri R.


Marie.2011)

Penyebab

perdarahan

post

partum dikategorkan

sebagai

perdarahan post partum primer dan perdarahan post partum sekunder.


perdarahan post partum sekunder bila terjadi perdarahan masif antara 24
jam hingga 12 minggu setelah melahirkan. 8,13

Gambar 21. Etiologi perdarahan post partum. (Michael R. Foley.


2011)
1. Atonia Uteri
36

Atonia uteri adalah penyebab utama perdarahan post partum.


Sekitar 80% perdarahan post partum disebabkan karena atonia uteri.
Atonia

uteri terjadi karena ketidak mampuan miometrium

berkontraksi secara efektif sehingga uterus tidak mampu menutup


perdarahan terbuka dari tempat implantasi plasenta setelah bayi dan
plasenta lahir. 3, 8,14
Faktor resiko terjadinya atonia uteri 3, 8
a. Regangan berlebihan pada uterus yang disebabkan oleh kehamilan
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
i.
j.
k.

ganda, polihidramnion, atau anak terlalu besar (makrosimia)


Induksi persalinan
Kelelahan karena persalinan terlalu lama
Kehamilan grande multipara
Infeksi intrauterine (koriamnionitis)
Inversio uteri
Adanya sisa produk konsepsi di dalam uterus
Mioma uteri yang mengganggu kontraksi rahim
Pemberian terapi tokolitik
Ada riwayat pernah atoni sebelumnya
Pemberian general anastesi halogen dan pemberian magnesium
sulfat dapat menghambat uterus berkontraksi dengan efektif
sehingga dapat terjadi atonia uteri

Diagnosis
Diagnosis bisa ditegakkan bila setelah bayi dan plasenta lahir
terdapat perdarahan pervaginam disertai kontraksi uterus yang buruk
dan tinggi fundus uteri masih setinggi pusat atau lebih. Ukuran uterus
bisa saja lebih besar dari normal karena akumulasi darah di dalamnya.
Perdarahan yang banyak ini dapat memberikan manifestasi klinik
hipovolemik

berupa

hipotensi

dan

takikardi.

Jangan

lupa

menyingkirkan etiologi lain penyebab perdarahan post partum sebelum


mengakkan diagnosis atonia uteri. 3, 8,13,14

Tatalaksana
American College of Obstetricians and Gynecologist (ACOG)
merekomendasikan pemberian profilaksis berupa uteretonika untuk
mencegah atonia uteri. Melakukan secara rutin manajemen aktif kala
37

III, termasuk masase fundus uteri dan pemberian oksitosin dapat


menurunkan insidensi perdarahan post partum. 3,14

Gambar 22. Pilihan terapi untuk atonia uteri (Barbara M. Scavone. 2013)
Pada umumnya dilakukan secara semultan hal-hal sebagai berikut 3,14 :
a. Evaluasi ABC. Posisikan dengan posisi trendelenberg, memasang
venous line, dan berikan oksigen
b. Merangsang kontraksi uterus dengan cara :
- Masase fundus uterus dan merangsang puting susu
- Pemberian oksitosin dan turunan ergot melalui suntikan
-

i.m , i.v, atau s.c


Pemberian misoprostol 800 1000 mikrogram per

rectal
Kompresi bimanual eksterna dan / atau interna

Gambar 23. Kompresi bimanual interna (Michael R. Foley. 2011)


- Kompresi aorta abdominalis
- Pemasangan tampon kondom, kondom dalam kavum
uteri disambung dengan kateter, difiksasi dengan karet
38

gelang dan diisi cairan infus 200 ml yang akan


mengurangi perdarahan dan menghindari tindakan
operatif

Gambar 24. Tamponade Balloon kateter. (Michael R. Foley. 2011)


- Tidakan
pemasangan tampon kondom ini hanya
bersifat temporer sebelum tindakan bedah ke rumah
sakit rujukan.
c. Bila semua tindakan tersebut gagal, maka dipersiapkan untuk
dilakukan tindakan operatif laparotomi dengan pilihan
konservatif

(mempertahankan

uterus)

atau

bedah

melakukan

histerektomi. Alternatifnya berupa :


- Ligasi arteria uterina atau arteri ovarika
- Operasi ransel B Lynch
- Histerektomi supravaginal
- Histerektomi total abdominal
Berikut adalah manajemen perdarahan post partum secara umum

39

Gambar 25. Manajemen perdarahan post partum (BarbaraM. Scavone.


2013)

2. Trauma pada traktus genital


Laserasi pada traktus genital dapat terjadi baik pada persalinan
pervaginam, maupun persalinan dengan seksio sesarea. Laserasi pada
traktus genital bawah merupakan penyebab paling sering kedua untuk
perdarahan post partum. Laserasi dan hematom dapat terjadi di
perineum,vulva, vagina, dan serviks. Robekan yang terjadi bisa ringan
(lecet,laserasi), luka episiotomi, robekan perineum spotan derajat
ringan sampai rupture

perineum

totalis (sfingter ani terputus),

robekan pada dinding vagina, forniks uteri, daerah sekitar klitoris dan
uretra dan bahkan yang terberat, rupture uteri. Laserasi pada traktus
genital atas berhubungan dengan ligamen yang besar dan hematom
retroperitoneum. 3,8,13,14
Faktor resiko
40

Robekan jalan lahir lebih sering terjadi pada persalinan


pervaginam, episiotomi, trauma forceps atau vakum ekstraksi,
persalinan prespitatum, malpresentasi janin, makrosomia, distosia
bahu. Laserasi juga dapat terjadi akibat usaha mencoba mengeluarkan
plasenta atau bagian dari plasenta secara

manual atau dengan

menggunakan alat yang dapat menyebabkan trauma dan hematom. 3,8,13


Diagnosis
Laserasi pada traktus genital harus dicurigai terjadi pada semua
pasien yang mengalami perdarahan pervaginam yang menetap sulit
dihentikan walaupun memiliki kotraksi uterus yang baik. Nyeri dan
hemodinamik yang tidak stabil adalah gejala primer yang sering
muncul. Untuk menegakkan diagnosis dan mengidentifikasi sumber
perdarahan, sangat baik untuk melakukan evaluasi traktus genital
bawah. Dimulai dari bagian atas, serviks lalu turun ke bawah, vagina,
perineum, dan vulva. Inspeksi dapat dilakukaan dengan menggunakan
spekulum untuk mencari sumber perdarahan dengan ciri warna darah
yang merah segar dan pulsatif sesuai denyut nadi. Meskipun jarang
terjadi, pikirkan untuk terjadinya perdarahan retroperitoneum bila
terjadi penurunan hematokrit, hipotensi, dan takikardi yang tidak
diketahui penyebab pastinya. Gejala lain yang bisa terjadi adalah nyeri
perut bagian bawah, tenderness, retensi urin, dan hematuri. 3,8,14
Tatalaksana
Setelah diagnosis laserasi traktus genital ditegakkan, tatalaksana
tergantung pada lokasi dan luasnya luka tersebut, status hemodinamik
pasien, dan urgensi dilakukannya suatu prosedur. Sama seperti
penatalaksanaan

pada kasus kegawatdaruratan lainnya, periksa

terlebih dahulu keadaan umum pasien dan evaluasi ABC.3,8

41

Gambar 26. Terapi umum perdarahan postpartum (MarieL.Baldisseri. 2011)


Laserasi pada serviks dan forniks vagina terkadang perlu untuk
meminndahkan pasien ke ruang operasi untuk penanganan nyeri,
relaksassi pelvis, dan visualisasi yang lebih baik. Laserasi pada
serviks, penting untuk melindungi bagian apeks, karena di daerah
tersebut sering meenjadi sumber perdarahan utama. Hanya saja untuk
mengeksploitasi bagian ini cukup sulit. Pada kasus ini mulailah
mejahit dari ujung bagian proksimal, kemudian gunakan

jahitan

tersebut untuk menarik hingga portio serviks pada bagian yang lebih
distal hingga kedalaman luka dapat terlihat. 3,8

Gambar 27. Jahitan pada laserasi serviks. Dimulai dari bagian proksimal.
(Michael R. Foley. 2011)

42

Menjahit perineum paling sering dilakukan pada laserasi traktus


genital. Semua sumber perdarahan yang terbuka harus dihentikan,
diikat dan ditutup dengan jahitan laps demi lapis. Bila laserasi tersebut
mendekati uretra atau rectum, penggunaan instrumen

tambahan

(seperti kateter transurethral) dapat melindungi organ lain yang tidk


terkena trauma dan membuat perbaikaan lebih efisien. Terkadang
laserasi pada pembuluh darah dapat menyebabkan perdarahan pelvis
pada traktus genital atas maupun bawah. Lokasi paling sering pada
perdarahan pelvis adalah vulva, vaginal, dan retroperitoneum 3,8

Gambar 28. Jahitan pada ruptur perineum derajat dua, mencakup otot
perineum (Michael R. Foley. 2011)

43

Gambar 29. Jahitan pada rupture perineum derajat tiga, mencakup kulit,
mebran mukosa, otot perineum dan sfingter ani. (Michael R. Foley. 2011)

Gambar

30. Jahitan pada ruptur perineum tingkat empat, mencapai

mukosa rectum. (Michael R. Foley. 2011)


44

Pada perdarahan di vulva, drainase bedah merupakan terapi utama.


Dianjurkan untuk melakukan insisi linear yang lebar menembus kulit.
Jenis perdarahan yang berasal dari banyak pembuluh darah kecil
sehingga tidak memungkinkan untuk dilakukan ligasi. Setelah sumber
perdarahan diitemukan, ruang rugi anatomis harus ditutup dengan
jahitan absorban. Sebuah kateter foley transuretral harus dipasang
hingga edem pada jaringan berkurang.3,8
3. Retensio plasenta
Tertinggalnya hasil konsepsi seperti jaringan plasenta dan
membran amnion dapat menghambat uterus berkontraksi secara
adekuat yang pada akkhirnya dapat menyebabkan perdarahan post
partum, baik perdarahan post partum primer, maupun perdarahan post
partum sekunder. Diagnosis retensi plasenta ditegakkan bila plasenta
gagal dilahirkan dalam waktu 30 menit setelah bayi lahir. Bila
sebagian kecil dari plasenta masih tertinggal di dalam uterus disebut
rest plasenta. Insiden retensio plasenta didapatkan sekitar 3% pada
persalinan pervaginam.3,8,14
Faktor resiko terjadinya retensio plasenta adalah ada riwayat
retensio plasenta sebelumnya, persalinan preterm, preeklamsia,
korioamnionitis, lobus plasenta asesorius, riwayat kuret berulang,
multiparietas, dan abnormalitas plasenta. 3,8,15

Gambar 31. Jenis-Jenis Retensio Plasenta (Baldiserri R. Marie.2011)


45

Plasenta akreta : implantasi plaasenta yang perrlekatannya ke dinding

uterus terlalu kuat hingga ke miometroum


Plasenta inkreta : implantasi plasenta yang peerlekatannya menginvasi

miometrium
Plasenta perkreta : implantasi plasenta yang menembus miomettrium
hingga serosa
Diagnosis
Adanya sisa jaringan pada ditandai dengan perdarahan uterus dan
atoni. Sebagian plasenta yang sudah lepas dapat menimbulkan
perdarahaan yang cukup banyak. Sisa plasenta bisa diduga terjadi bila
setelah plasenta keluar ditemukan adanya kotiledon yag tidak lengkap.
Untuk mengetahui apakah terdapat sisa hasil konsepsi pada uterus,
maka perlu dilakukan eksplorasi kavum uteri. Eksplorasi kavum uteri
secara manual bukan hanya untuk menegakkan diagnosis tapi juga
sebagai tatalaksana, dengan cara memasukkan tangan bersama kasa
steril yang lembut, fragmen plasenta dan membrane amnion yang
tertinggal dapat dikeluarkan. Penggunnan ultrasonografi ransvaginal
atau transabdominal dapat digunakan untuk mendeteksi keberadaan
fragmen plasenta yang tersisa. 3, 8, 14
Tatalaksana
Setelah diagnosis retensi plasenta ditegakkan , maka jaringan yang
tersisa harus segera dikeluarkan. Pilihan terapinya berupa ekstraksi
manual atau kuretase. Penatalaksanaan retensio plasenta pada periode
awal post partum adalah dengan manual plasenta, bila tindakan ini
belum berhasil atau masih terdapat sisa konsepsi di dalam kavum uteri,
maka dapat dilakukan kuretase. Setelah plasenta dan sisa konsepsi
dikeluarkan maka kontraksi uterus menjadi adekuat disertai pemberian
oksitosin. Setelah itu pasien masih memerlukan observasi lanjut untuk
mengetahui apakah terjadi perdarahan berulang. 3, 8, 14

4. Inversio uteri

46

Inversio uteri adalah kasus yang sangat jarang terjadi insidennya


bervariasi antara 1 per 500 hingga 1 per 20.000 kelahiran. Pasien
biasanya datang dalam keadaan kritis yang disertai dengan perdarahan
berat dan syok hemoragik. Inversio uteri merujuk pada keadaan di
mana terjadi kolaps pada fundus uteri ke dalam kavum uteri hingga
lapisan dalam uterus (endometrium) turun dan keluar lewat ostium
uuteri eksternum.3, 8, 16
Klasifikasi
Keadaan ini dapat diklasifikasikan berdasarkan derajat dan
waktunya. Berdasarkan derajatnya, inversio uteri ada yang bersifat
inkomplit, komplit, dan prolaps. Inversion uteri inkomplit bila terdapat
ekstrus parsial fundus ke dalam kavum uteri. Inversio uteri komplit
bila bagian dalam dari fundus uteri melewati serviks dan membentuk
massa di vagina, sedangkan

fundus tidak teraba pada palpasi di

abdomen. Inversio uteri prolaps bila prolaps uterus melewat serviks,


dan fundus uteri melewati introitus vagina. Berdasarkan waktu,
inversio uteri terbagi menjadi akut, subakut, dan kronik. Dikatakan
akut bila terjadi dalam kurun wakktu kurang dari 24 jam setelah
persalinan, sub akut bila terjadi lebih dari 24 jam setelah post partum,
dan kronik bila terjadi setelah lebih dari sebulan post partum.
Manajemen aktif kala III dapat menurunkan resiko terjadinya inversio
uteri. 3,8
Faktor resiko
Faktor resiko yang memungkinkan terjadinya inversio uteri di
antaranya, overdistensi uterus, makrosomia, malformasi uterus
kongenital, plasenta yang invasiv, tali pusat pendek, penggunaan agen
relaksasi uterus, ekstraksi manual plasenta, atonia uteri, serviks yang
masi h terbuka lebar, dan adanya kekuatan menarik fundus ke bawah
(misalnya karena plasenta akreta, iknkreta, dan perkreta, yang tali
pusatnya di tarik keras dari bawah) atau ada tekanan pada fundus uteri

47

dari atas

atau tekanan intraabdominal yan keras dan tiba-tiba

(misalnya batuk keras dan bersin). 3,8


Diagnosis
Inversio uteri harus segera dicurigai terjadi bila ditemukan
perdarahan pervaginam banyak dan bergumpal yang tiba-tiba disertai
dengan fundus uteri yang tidak teraba pada palpasi abdomen. Nampak
massa berukuran besar bulat di vagina. Bila telah mencapai vulva,
tampak endometrium terbalik dengan atau tanpa plasenta.Terdapat
tanda-tanda syok bisa disebbabkan karena kesakitan atau karena
perdarahan. Pasien dapat merasakan nyeri hebat jika pasien masih
dalam keadaan sadar. Bila baru terjadi, maka prognosis cukup baik
akan tetapi bila sudah berlangsung cukup lama, maka jepitan serviks
yang mengecil akan membuat uterus mengalami iskemik, nekrosis, dan
infeksi. Sonografi daapat dilakukan untuk mengakkan diagnosis bila
gejala klinis belum jelas. 3,8,16
Tatalaksana
Tatalaksana pada inversio uteri memiliki dua komponen utama,
yaitu

penatalaksanaan

syok

hemoragik

untuk

menstabilkan

hemodinamik ibu dan reposisi uterus segera. Resusitasi harus


dilakukan segera dan simultan

sambil mereposisi uterus secara

manual. Bila terpasang infus oksitosin, hentikan segera. Uterus dan


serviks harus direlaksasikan dengan pemberian

nitroglycerin (50

sampai 500 mcg), agen tokolitik (magnesium sulfat) atau anastesi


halogen. Setelah uterus cukup relaksasi, dorong fundus uteri dengan
tangan kembali ke posisinya di abdomen. Sambil tangan tetap
dipertahankan agar konfigurasi uterus kembali, terapi

uteretonika

dapat diberikan untuk membantu kontraksi uterus dan mencegah


inversio uterus terjadi kembali dan tangan operator dapat dilepaskan..
3,8,16

Jika reposisi uterus secara manual tidak berhasil, maka

perlu

dilakukan intervensi bedah. Intervensi bedah dilakukan bila karena


48

jepitan serviks yang keras menyebabkan menuver di atas tidak dapat


dilakukan, maka dilakukan laparotomi untuk reposisi dan kalau
terpaksa dilakukan histerektomi bila uterus sedah mengalami infeksi
dan nekrosis. 3,8,9

Gambar

32.

Algoritma

penatalaksanaan

inversio

uteri.

(Branzetti

B.Jeremy.2010)
5. Koagulopati
Sejauh ini insiden terjadinya koagulopati dalam obstetri sangat
jarang dilaporkan. Koagulopati

atau gangguan pembekuan darah

terjadi karena adanya ketidakseimbangan antara sistem pembekuan


dan fibrinolisis. Ketidakeimbangan ini dapat disebabkan karena faktor
herediter

ataupun dapatan. Koagulopati herediter relative

terjadi dan
walaupun

jarang

memiliki penyebab yang beragam. Sementara itu,


koagulopati dapat dapat disebabkan karena iatrogenik
49

seperti antikoagulan, hal ini biasanya disebabkan karena pemakaian


faktor pembekuan yang berlebihan. 10,17

Gambar 33. Patofisiologi konsumtif koagulopati (Michael R. Foley. 2011)


Faktor resiko
Beberapa faktor

resiko diketahui mempengaruhi terjadinya

koagulopati, yaitu perdarahan antepartum dan postpartum, sepsis,


preeklamsia berat, eklamsia, sindrom HELLP, emboli cairan amnion,
kematian janin dalam rahim, aborsi sepsis, solusio plasenta, dan
riwayat mengalami hal yang sama pada persalinan sebelumnya atau
riwayat mengalami perdarahan yang sulit berhenti. 3,8
Diagnosis
Penyebab perdarahan post partum karena gangguan pembekuan
darah baru dicurigai bila penyebab lain dapat disingkirkan.
Koagulopati dicurigai bila terjadi perdarahan sementara uterus
berkontraksi dengan baik dan eksplorasi manual telah mengeliminasi
adanya retensio plasenta. Akan ada tendensi mudah terjadi perdarahan
setiap dilakukan penjahitan dan perdarahan akan merembes atau
timbul hematom pada bekas jahitan, suntikan, perdarahan dari gusi,
50

rongga hidung dan lain-lain. Manifestasi utamanya berupa perdarahan,


hipotensi, anemia, acute lung injury, gagal ginjal akut, serta iskemik
jaringan perifer. 3,8,13
Keadaan ini dikonfirmasi oleh hasil pemeriksaan laboratorium
berupa faal hemostasis yang abnormal, trombositopeni, waktu
perdarahan dan pembekuan yang memanjang, terdeteksi adanya
FDP (fibrin degradation product) serta perpanjangan tes protrombin
dan PTT (partial tromboplastin time). 3,8,13
Tatalaksana
Faktor paling penting untuk kesuksesan terapi pada koagulopati
adalah mengidentifikasi dan mengoreksi penyebabnya. Penggantian
darah dengan cepat dan faktor

pembekuan darah harus dilakukan

secara simultan. Pasien dipasangkan double line kateteter intravena


untuk terapi cairan dan

komponen darah. Resusitasi hemostasis

mencakup tiga komponen. Komponen pertama adalah kristalloid,


yang tidak digunakan secara berlebihan untuk mencegah terjadinya
hemodilusi. Komponen kedua adalah sel darah merah, fresh frozen
plasma dan platelet dengan perbandingan 1: 1: 1. Komponen yang
terakhir adalah rekombinan factor VIIa untuk mengaktifkan kaskade
koagulasi. Lakukan pemeriksaan laboratorium serial setiap 4 jam
sampai koagulopati terbukti telah tertangani. 3,8,15

51

Gambar 34. Algoritma penatalaksanaan perdarahan post partum. (Branzetti


B.Jeremy.2010)
Kebanyakan

bayi

KESIMPULAN
dilahirkan tanpa

komplikasi,

tapi

banyak

kegawatdaruratan obstetri yang dapat menyebabkan hal tersebut. Di sinilah peran


tenaga medis yang menolong persalinan untuk mengetahui bagaimana melakukan
penatalaksanaan bila menemukan kasus kegawatdaruratan. Beberapa kasus gawat
darurat yang sering terjadi adalah perdarahan post partum dan preeklamsia.
Beberapa yang jarang terjadi,seperti Nnversion uteri dan distosia. 1

DAFTAR PUSTAKA
52

1. Avery, M.Daniel. Obstetric Emergencies. American Journal of Clinical


Medicine, Vol. 6, No. 2. 2009
2. Purnama et al. Evaluation of Obstetric Emergency Referral cases at Dr. Cipto
Mangunkusomo Hospital. Department of Obstetrics and Gynecology Medical
Faculty of Indonesia University. Indonesian Journal Obstetrics and Gynecology.
Vol. 34. No. 4. October 2010. p. 164-170
3. Prawirohardjo, Sarwono. Patologi Kehamilan, Persalinan, Nifas, dan Bayi Baru
Lahir. Ilmu Kebidanan edisi keempat. 2010. p. 391-401, 459-521, 522-540, 599
600, 625-627.
4. Rudolph W. Koster. European Resuscitation Council Guidelines for
Resuscitation 2010 Section 2. Adult basic life support and use of automated
external defibrillators. [online]. 2010
Available

from:

oktober 19 [cited 2015March 20];


URL:

http://resuscitation-

guidelines.articleinmotion.com/article/S0300-9572(10)00435-1/aim/adult-blssequence
5.

Cunningham F. Gary, Lenovo J. Kenneth, Bloom L. Steven,

Hauth C. John, Rouse J. Dwight, Spong Y. Catherine. Obstetri


William 23th ed. EGC. p 35. 795-839
6. Wijayanti and Kusuma. Subchorionic Hematoma on Threatened Abortion as
Risk Factors Occurrence of Spontaneous Abortion. Department of Obstetric and
Gynecology Faculty of Medicine University of Udayana. Indonesian Journal
Obstetrics and Gynecology, Vol. 35, No. 4. October 2011. p. 170-3
7. E. Otolorin et al. Essential Basic and Emergency Obstetrics and Newborn
Care : From Education and Training to Service Delivery and Quality of Care.
International Federatioan of Gynecology and Obstetrics. Elsevier. 2015. p. 46-53
8. Francois J.Karrie, Foley R. Michael. Antepartum and Pospartum
Hemorrhage. In: Steven G. Gabbe MD, Jennifer R. Niebyl MD, Joe
53

Leigh Simpson MD, Mark B. Landon MD, Henry L. Galan MD, Eric
R.M. Jauniaux MD, PhD and Deborah A. Driscoll MD, editors.
Obstetrics Normal and Problem Pregnancies sixth ed. Elsevier.
2015. p. 415-1
9. Branzetti B. Jeremy. Emergency Delivery and Peripartum
Emergency. In Adam G. James. Emergency Medicine : Clinical
Essentials second ed. Elsevier. 2014. p.121. 1051-9
10. Novia et al. The Recommended Time Interval of Decision to Incision
Caesarean Section is not Achieved in Daily Practice. Department of Obstetrics
and Gynecology Faculty Of Medicine University of Sriwijaya. Indonesian Journal
Obstetrics and Gynecology, Vol. 37, No. 1. January 2013. p. 1 - 5
11. J. P. Huang et al. Term Pregnancy with Umbilical Cord Prolapse. Department
of Obstetric and Gynecology,Mackay Memorial Hospital,Taipei, Taiwan.
Taiwanase Journal of Obstetric and Gynecology. Elsevier 2012. p. 375-380
12. Goffman, Dena. Nathan, Lisa et al. Obstetric Hemorrhage : A Global Review.
Department of Obstetrics and Gynecology and Womens Health, Montefiore
Medical Center, Albert Einstein College of Medicine. Seminars in Perinatology.
Elsevier 2015. p. 1 - 3
13. Baldiserri R. Marie. Post partum Hemorrhage. In Vincent, JeanLouis. Abraham Edward. Moore A. Frederick. Kochaneck M.
Patrick. Fink P. Mitchell, editors. Textbook of Critical Care Sixth ed.
2011. P. 1192-7
14.

Scavone

M.

Barbara.

Antepartum

and

Postpartum

Haemorrhage. In Chestnut H. David, Wong A. Cynthia, Tsen C.


Lawrence, Ngan Kee D. Warwick, Beilin Yaakov, Mhyre Jill.
Chestnuts Obstetric Anesthesia: Principles and Practice fifth ed.
Elsevier. 2014. p. 38. 881-907
54

15. Clark L.Steven. Obstetric Hemorrhage Expert Opinion. Baylor College of


Medicine, Texas Childrens Hospital. Seminars in Perinatology. Elsevier. 2015. p.
1- 3
16. Retnoningrum et al. Manual Reposition of Uterine Inversion with
Hemorrhagic Shock in Minimal Facilities Situation. Department of Obstetrics
and Gynecology Faculty of Medicine University of Indonesia. Indonesian Journal
Obstetrics and Gynecology. Vol. 36, No. 1. January 2012. p.48- 51
17. Friedman J. Arnold. Obstetric Hemorrhage. Journal of Cardiothoracic and
Vascular Anesthesia, Vol.27, No. 24. August 2013. p. 44-48

55

Anda mungkin juga menyukai