Anda di halaman 1dari 35

Daftar Isi

PENDAHULUAN....................................................................................................... 2
ANATOMI DAN FISIOLOGI....................................................................................... 4
PATOFISIOLOGI SPASTISITAS................................................................................10
EVALUASI SPASTISITAS......................................................................................... 12
PEMERIKSAAN FISIK SPASTISITAS.....................................................................12
PENILAIAN KUANTITATIF DAN KUALITATIF SPASTISITAS.....................................12
EVALUASI FUNGSIONAL SPASTISITAS................................................................17
REHABILITASI PADA SPASTISITAS PASCA STROKE.................................................18
MANAJEMEN KONVENSIONAL............................................................................ 19
MANAJEMEN FARMAKOLOGIS ........................................................................... 23
TINDAKAN BEDAH............................................................................................. 31
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................. 34

PENDAHULUAN
Spastisitas yang berasal dari bahasa Yunani spasticus (berarti untuk menarik)
merupakan salah satu komponen dari sindrom Upper Motor Neuron. Dapat disebabkan oleh
lesi yang terjadi di proksimal dari sel kornu anterior pada medula spinalis, batang otak, atau
pada otak.1 Spastisitas dapat menyebabkan hambatan dalam beraktivitas atau berpartisipasi
pada orang-orang dengan berbagai gangguan neurologis dan merupakan salah satu tantangan
besar bagi tim rehabilitasi medik.2
Definisi spastisitas yang paling banyak digunakan adalah yang dikemukakan oleh
Lance (2200) : Spastisitas adalah suatu gangguan motorik yang ditandai oleh peningkatan
tonus otot yang terkait kecepatan gerak dengan sentakan tendon berlebihan, yang dikarenakan
hipereksitabilitas dari refleks regang, sebagai suatu komponen dari sindroma Upper Motor
Neuron.2
Spastisitas pasca stroke (Post Stroke Spasticity PSS) adalah komplikasi yang umum
ditemukan bersamaan dengan tanda dan gejala lain dari sindrom Upper Motor Neuron
UMN, meliputi agonis-antagonis, co-contraction, kelemahan serta gangguan koordinasi.
Bersama-sama gangguan tersebut akan menyebabkan impairmen yang pada akhirnya
menyebabkan komplikasi. Tujuan dari manajemen PSS tidak hanya mengurangi tonus otot
yang berlebihan tetapi juga memperbaiki dampak PSS terhadap fungsi dan rasa sejahtera.
Intervensi difokuskan pada strategi perifer dan sentral, dalam arti terapi fisik untuk
meningkatkan panjang otot melalui peregangan dan penggunaan obat-obatan. Studi
perbandingan satu metode dengan metode lain dalam penanganan PSS ini belum banyak,
tetapi terlihat bahwa manajemen yang optimal dari PSS didapat dari kombinasi dan
koordinasi dari beberapa metode yang mencakup obat-obatan serta intervensi bedah,
bersama-sama dengan pendekatan dari rehabilitasi medik. Insidens PSS bervariasi antara
berbagai studi. Studi yang dilakukan tahun 2004 oleh Sommerfeld dan kawan-kawan
melaporkan prevalensi terjadinya spastisitas sebesar 21% sampai 35% pada penderita stroke
3 bulan setelah serangan, dan studi lain yang dilakukan oleh Watkins dan kawan-kawan di
tahun 2002 melaporkan insidensi terjadinya spastisitas sebesar 38% pada 1 tahun setelah
serangan. Beberapa faktor yang dapat digunakan sebagai prediktor PSS adalah lesi pada
batang otak, stroke perdarahan pada usia muda, hemiparesis dan hemihipestesi yang berat
saat onset. 1

Walaupun tidak selalu merugikan, spastisitas dapat menjadi permasalahan serius dalam
fungsional dan aktivitas kehidupan sehari-hari pasien seperti misalnya spastisitas yang berat
pada kaki dapat menyebabkan kesulitan berjalan, spastisitas pada pinggang selain dapat
menyebabkan kesulitan berjalan juga menyebabkan kesulitan membersihkan diri di toilet dan
kesulitan berpakaian. Spastisitas pada lengan dan tangan dapat menyebabkan kesulitan
membuka jari atau mengangkat bahu sehingga menyebabkan masalah kebersihan karena
fungsi tangan dan lengan yang tidak baik. Spastisitas dapat pula menyebabkan nyeri serta
dapat menyebabkan kesulitan berpindah dari satu tempat ke tempat lain yang diinginkan.3
Pada beberapa penderita, spastisitas akan bertambah berat dengan berjalannya waktu
dan masalah tersebut akan bertambah dengan adanya nyeri. Jika spastisitas ini terjadi dalam
waktu lama, otot yang kaku akan menjadi pendek secara permanen yang disebut kontraktur.
Bila terjadi kontraktur, terapi menjadi sangat sulit, sehingga tak jarang memerlukan terapi
bedah untuk koreksi parsial. Penanganan spastisitas yang baik akan mencegah terjadinya
kontraktur.3
Penanganan spastisitas meliputi evaluasi klinis dan langkah-langkah perawatan pada
spastisitas. Evaluasi klinis spastisitas meliputi pemeriksaan fisik spastisitas, penilaian
kualitatif dan kuantitatif serta evaluasi fungsional dari spastisitas. Langkah perawatan untuk
spastisitas mulai dari perawatan yang paling konservatif dengan efek samping paling sedikit,
sampai yang lebih invasif, lebih ireversibel dan mempunyai lebih banyak efek samping. Tidak
semua spastisitas harus diterapi karena dalam keadaan tertentu spastisitas dapat membantu
fungsional pasien, sebagai contoh spastisitas ringan sampai sedang dari ekstensor kaki dapat
memberi penguat dan membantu berdiri dan aktifitas-aktifitas ambulasi. Bagaimanapun, bila
berat atau menghambat fungsional, maka spastisitas harus diterapi. Dengan membatasi efek
spastisitas, deformitas dan kontraktur dapat dicegah, pelayanan perawatan dapat ditingkatkan,
penguat atau bracing lebih dapat ditoleransi, dan fungsional pasien dapat ditingkatkan.4
Beberapa hal tersebut diatas mendasari untuk mempelajari dan memahami spastisitas
lebih jauh, sehingga diharapkan dapat memberikan penanganan yang optimal bagi pasien
dengan spastisitas.

ANATOMI DAN FISIOLOGI


Spastisitas (dan gejala sindroma Upper Motor Neuron lainnya) terjadi karena
terganggunya jaras desendens yang terlibat dalam kontrol motorik. Jaras ini mengatur
proprioseptif, refleks spinal nosiseptif dan kutaneus, yang menjadi hiperaktif dan
bertanggungjawab terhadap mayoritas gejala positif dari sindroma Upper Motor Neuron.
Teori awal menyebutkan bahwa spastisitas terjadi bila terjadi gangguan pada sistem
piramidal. Sistem ini terdiri dari serabut saraf yang berasal dari area presentral (60%) dan
postsentral (40%) pada korteks serebri. Kontrol motorik sendiri berasal dari korteks
presentral : duapertiganya berasal dari korteks motorik primer (area 4 Brodmann) dan sisanya
berasal dari korteks premotorik (area 6). Hasil penelitian pada monyet dan kera menunjukkan
bahwa pada level kortikal, lesi yang terbatas pada korteks motorik primer area 4 tidak selalu
menyebabkan spastisitas. Pada lesi tersebut, tonus dan refleks tendon cenderung menurun.
Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa spastisitas terutama ditimbulkan oleh lesi yang
mengenai area 6.5
Selain itu, terdapat juga area yang disebut dengan parapiramidal (untuk membedakan
dengan ekstrapiramidal) yaitu serabut saraf nonpiramidal yang berasal dari korteks presentral,
terutama dari area 6, yang berjalan bersama-sama dengan traktus piramidal. 5
Area batang otak yang mengontrol refleks spinal
Dari area batang otak, terdapat dua sistem pengontrol refleks spinal yang saling
mengimbangi, satu bersifat inhibitor dan yang lainnya eksitator/fasilitasi. 5 (Gambar 1).
Masing-masing sistem tersebut secara simultan melakukan fasilitasi dan inhibisi terhadap
pusat motorik yang bekerja. Sebagai contoh, pusat yang membangkitkan ekstensi anggota
gerak memberikan fasilitasi ke neuron motorik yang mempersarafi otot-otot ekstensor dan
memberikan inhibisi ke neuron motorik yang mempersarafi otot-otot fleksor. Disepakati
bahwa sistem eksitator/fasilitasi (berupa nukleus atau lintasannya) adalah sistem yang
memberikan fasilitasi reflek ekstensor dan menginhibisi reflek fleksor, sedangkan sistem
inhibitor (nukleus, pengelompokan inti, atau lintasan) adalah pusat yang menginhibisi reflek
ekstensor dan memberikan fasilitasi reflek fleksor.6,7

Sistem Inhibitorik
Daerah utama yang mengatur inhibisi di medula, yaitu formasio ventromedial
retikular, berasal dari daerah parapiramidal di korteks premotor, dorsal dari piramidal.
Penelitian pada hewan menunjukkan bahwa stimulasi yang dilakukan pada daerah ini
menyebabkan berkurangnya refleks patela, flaksiditas, penurunan tonus otot dan
penghambatan refleks fleksor dan vibrasi tonik. Jaras ini akan berlanjut menjadi traktus
retikulospinal yang berlokasi di funikulus dorsolateral. 5
Sistem Eksitatorik
Pada daerah batang otak yang lebih tinggi, terdapat area difus dan ekstensif yang
berfungsi memfasilitasi refleks regang. Area ini berasal dari sub dan hipotalamus (diensefalon
basalis), dengan jalur eferen yang melewati dan mendapat kontribusi dari substansia grisea,
tegmentum, pontin, dan formasio retikular bulbar. Stimulasi pada area ini meningkatkan
refleks patela, tonus ekstensor dan menyebabkan klonus. Area ini akan berlanjut menjadi
traktus retikulospinal medial yang berlokasi di kornu anteromedial. 5
Area eksitatorik lain berlokasi di medula, dekat dengan pons dan akan berlanjut
menjadi traktus vestibulospinal lateralis yang berlokasi di anteromedial, dekat dengan traktus
retikulospinal medial. 5

Gambar 1.5 Gambar skematik dari jaras desendens yang mengatur inhibisi dan
eksitasi supraspinal. (A) Lesi pada jaras kortikospinal dan kortikoretikular yang
memfasilitasi sistem inhibisi utama yaitu traktus retikulospinal dorsal. (B) Lesi

inkomplit pada medula spinalis yang mengenai jaras kortikospinal dan


retikulospinal. (C) Lesi komplit medula spinalis, mempengaruhi jaras
kortikospinal, retikulospinal dorsal dan jalur eksitatorik (+) jalur
eksitatorik/fasilitatorik; (-) jalur inhibitorik. Jalur eksitatorik mempunyai
pengaruh inhibisi terhadap refleks fleksor

Di Tingkat Medula Spinalis


Pada tingkat medula spinalis di daerah kornu anterior dikenal adanya inhibisi
postsinaps dan inhibisi presinaps.7 Sinaps merupakan hubungan antara dua neuron (neuron
presinaps adalah akson terminal pada neuron, neuron postsinaps adalah badan sel/dendrit dari
neuron kedua). Masing-masing sinaps selalu bersifat eksitatorik atau inhibitorik saja.8

Gambar 2. Neuron dan sinaps

Gambar 3.7 Inhibisi di tingkat medulla spinalis

Pada dasarnya inhibisi postsinaps bekerja bila terjadi aktivitas pada serabut aferen dari
muscle spindle (reseptor regang pada otot) yang kemudian merangsang neuron
motorik/motorneuron (dalam kornu anterior) yang mempersarafi otot yang bersangkutan dan
kemudian menimbulkan impuls penghambat (inhibisi) terhadap neuron antagonis, yang pada
6

gilirannya akan menghambat kontraksi otot antagonis tersebut. Sedangkan inhibisi presinaps
adalah suatu proses dimana jumlah neurotransmiter yang dilepaskan berkurang sehingga
potensial aksi tidak tercapai. 7,8
Interneuron spinal seperti interneuron Ia dan Ib, sel Renshaw dan interneuron
propriospinal juga mempunyai peran penting dalam kontrol motorik yang normal dan
spastisitas. Aferen Ib dari organ berhubungan dengan interneuron Ib yang menerima input dari
supra dan propriospinal dan kemudian memfasilitasi otot antagonis dan menghambat otot
agonis. Sementara neuron aferen Ia yang ada pada gelendong otot mengaktivasi interneuron
Ia. Ketika teraktivasi, interneuron Ia tersebut akan memfasilitasi otot agonis dan menghambat
otot antagonis dan menimbulkan gerakan ko-kontraksi. Interneuron Ia ini juga berada dibawah
kontrol supraspinal, sehingga adanya lesi supraspinal dapat mengganggu ko-kontraksi dan
berperan dalam timbulnya spastisitas serebral (Gambar 4).1
Sel Renshaw, yang menerima input langsung dari motor neuron ., berperan dalam
proses inhibisi rekuren. Jalur ini merupakan jalur polisinaptik (karena terdiri lebih dari 1
sinaps). Proses ini menghambat aktivitas agonis lewat efek langsung terhadap motor neuron
dan juga memfasilitasi fungsi antagonis yang diperantarai oleh interneuron Ia. Inhibisi sel
Renshaw ini berperan pada terjadinya spastisitas karena lesi medula spinalis (Gambar 5). 1

Gambar 4.9 Jalur monosinaptik

Gambar 5. 9 Jalur polisinaptik

Di tingkat otot
Untuk dapat berfungsi secara efektif, sistem motorik harus dapat mengintegrasikan
umpan balik dari sensorik, mengontrol aktivitas refleks, dan mengkoordinasi gerakan yang
disadari. Oleh karena itu, sistem motorik harus mendapatkan informasi mengenai posisi otot,
kecepatan otot, dan sendi. Selain itu, sistem motorik juga harus mampu merespon gaya
eksternal dengan cepat untuk dapat mengontrol aktivitas refleks, memulai dan juga
menghentikan aktivitas motorik.1 Untuk itu diperlukan reseptor. Terdapat dua macam reseptor
di otot, yaitu gelendong otot (muscle spindle) yang terletak pada muscle belly dan berfungsi
7

mendeteksi perubahan pada panjang otot, dan Golgi tendon organ yang berfungsi untuk
mendeteksi adanya perubahan pada tegangan otot (muscle tension).8
Gelendong otot terdiri dari serabut intrafusal yang diinervasi oleh motor neuron
gamma dan serabut ekstrafusal yang mendapat inervasi dari motor neuron alfa (Gambar 6).
Peregangan otot akan dideteksi oleh ujung saraf sensorik yang ada pada serabut intrafusal.
Input aferen ini kemudian akan diteruskan melalui sinaps langsung dengan motor neuron alfa
yang menginervasi serabut ekstrafusal sehingga otot akan berkontraksi. Inilah yang disebut
dengan refleks regang. Contoh yang paling jelas adalah refleks tendon patela (Gambar 7).
Pada saat otot agonis berkontraksi untuk merespon adanya regangan, otot antagonis harus
relaksasi (ko-kontraksi). Relaksasi ini terjadi karena adanya neuron inhibisi pada medula
spinalis.8

Gambar 6.8 Hubungan antara motor neuron alfa dan gamma

Gambar 7. Contoh refleks regang : Refleks tendon patela (http://apbrwww5.apsu.edu)

Sementara Golgi tendon organ (GTO), yang berlokasi pada tendon otot, terdiri dari
serabut aferen yang terbungkus oleh jaringan konektif tendon. Ketika serabut ekstrafusal
teregang dan menyebabkan tarikan pada tendon, GTO juga akan teregang dan mengirimkan
input aferen ke otak. Input ini digunakan untuk melindungi otot dari tegangan yang
berlebihan.8

PATOFISIOLOGI SPASTISITAS
Spastisitas timbul bila terdapat peningkatan tegangan otot yang berlangsung terus
menerus pada saat otot tersebut diregangkan secara pasif. Tegang otot ini disebabkan reflek
regang yang berlebihan, adanya peningkatan kepekaan terhadap rangsang pada reseptor
proprioseptif yang terdapat dalam otot. Ketegangan otot tidak timbul pada awal gerakan pasif,
tetapi timbul dan meningkat bersamaan dengan semakin teregangnya otot.7,10
Teori

spastisitas

menunjukkan

bahwa

timbulnya

spastisitas

merupakan

ketidakseimbangan antara sistem eksitatorik dan sistem inhibitorik di otak bagian tengah serta
formasio retikularis batang otak. 7,10
Beberapa bentuk kenaikan tonus otot dapat timbul disebabkan karena: 7
1. Kerusakan yang mengenai area motorik di korteks
2. Pemutusan impuls superior ke area inhibitor retikuler di batang otak
3. Penguatan rangsang dari area fasilitasi atau retikuler di otak bagian tengah dan batang otak.
Keadaan tersebut diatas akan menimbulkan luapan fasilitasi ke medula spinalis, yang
dijalarkan melalui lintasan retikulospinal, vestibulospinal dan lain-lain, dan mengakibatkan
terjadinya perubahan keseimbangan antara sistem motor neuron alfa dan gamma.
Kegagalan/hilangnya pengaruh inhibisi sentral yang secara normal menekan/mengurangi
reflek regang spinal (spinal stretch reflex) akan diikuti oleh kontraksi otot yang berlebihan
(hipereksitabilitas) apabila diregangkan.7,10 Hal ini merupakan dasar utama terjadinya
spastisitas.
Beberapa faktor yang menekan hiperaktivitas meliputi:3
1. Jaras inhibisi serebral ( adanya pusat-pusat inhibisi di otak bagian tengah dan
formatio retikularis batang otak ). Dan mekanisme spinal seperti :
2. Inhibisi nonresiprokal Ib (Golgi tendon organ)
Adanya regangan akan merangsang GTO dan impuls berjalan lewat serabut Ib untuk
mengaktivasi interneuron agar melepaskan mediator inhibisi
3. Inhibisi presinaps pada terminal Ia ( sinap aksoaksonik antara 2 akson )
Spastisitas disebabkan oleh hilangnya inhibisi presinaptik pada terminal Ia. Dalam
keadaan normal, inhibisi presinaptik dibawa oleh aksi dari inhibisi interneuron Ia
presinaptik traktus retikulospinalis yang bersifat GABA ergik. Pada spastisitas, input

10

retikulospinal desendens hilang, diawali dengan kegagalan inhibisi presinaptik dan juga
hipereksitabilitas pada reflek regang.10
4. Inhibisi resiprokal Ia (inhibisi pada otot antagonis)
5. Inhibisi rekuren Renshaw (inhibisi feedback pada badan sel motor neuron alfa oleh
inhibisi interneuron)

Gambar 8.3 Mekanisme supresi hiperaktivitas di tingkat spinal

EVALUASI SPASTISITAS
Spastisitas berkembang secara perlahan setelah onset timbulnya lesi sistem saraf pusat.
Durasi berkembangnya spastisitas bervariasi tergantung pada kelainan neurologis yang
11

mendasari. Saat terjadi pemulihan dari defisit neurologis, spastisitas juga cenderung menjadi
stabil.3 Evaluasi klinis spastisitas sebaiknya mencakup kualitas dan kuantitas serta efek
fungsional dari pasien, sehingga program rehabilitasi dapat dibuat sesuai dengan kebutuhan
pasien dan perkembangan yang terjadi dapat dibandingkan dari waktu ke waktu.4

PEMERIKSAAN FISIK SPASTISITAS


Anggota gerak diposisikan dalam keadaan yang rileks, kemudian tiba-tiba difleksikan atau
diekstensikan. Munculnya spastisitas tergantung kecepatan gerak (velocity dependent)
sedangkan spasme, kontraktur, atau keadaan lain dari hipertonia tidak tergantung kecepatan
gerak. Spastisitas biasanya melibatkan fleksor anggota gerak atas dan ekstensor anggota gerak
bawah. Hal ini terjadi pada awal lingkup gerak sendi/LGS dan khas ditandai relaksasi yang
terjadi tiba-tiba (seperti pada mekanisme pisau lipat) dari anggota gerak ketika suatu kekuatan
statis yang digunakan terus menerus pada sebuah anggota gerak spastik. Gejala lain yang
sering dikaitkan dengan spastisitas adalah klonus (sebuah siklus hiperaktif dari otot-otot
antagonis sebagai respon terhadap peregangan) dan spasme (contohnya spasme nyeri fleksor
dan ekstensor).

PENILAIAN KUANTITATIF DAN KUALITATIF SPASTISITAS


Skala Ashworth Modifikasi
Merupakan skala yang paling umum digunakan dalam menilai spastisitas. Skala ini
mengukur resistensi yang terjadi ketika jaringan diregangkan secara pasif dan dilakukan
sebagai berikut11 :
-

Pemeriksaan dilakukan dalam posisi supine (posisi ini menghasilkan pengukuran


yang lebih akurat dan skor yang lebih rendah karena adanya tekanan pada bagian
tubuh akan meningkatkan spastisitas).

Anggota gerak digerakkan dengan kecepatan yang sesuai dengan kecepatan


gravitasi (didefinisikan sebagai kecepatan ketika anggota gerak yang non-spastik
jatuh secara alami atau dengan kata lain, cepat).

Tes dilakukan maksimal tiga kali untuk setiap sendi. Apabila dilakukan lebih dari
tiga kali, efek singkat dari peregangan akan mempengaruhi skor spastisitas.

Tes dilakukan sebelum pemeriksaan lingkup gerak sendi karena pemeriksaan


lingkup gerak sendi dapat menyebabkan peregangan singkat dan dapat
mempengaruhi skor.

Skor

Skala Ashworth Modifikasi

Skala Ashworth

12

0
1

1+

3
4

Tidak ada peningkatan tonus otot


Sedikit peningkatan tonus otot, dimanifestasikan
sebagai tahanan dan pelepasan atau dengan
perlawanan minimal pada akhir LGS ketika bagian
yang diperiksa difleksikan/diekstensikan
Sedikit peningkatan tonus otot, dimanifestasikan
sebagai tahanan diikuti dengan perlawanan minimal
pada sisa (<50%) LGS
Peningkatan tonus otot pada seluruh LGS, namun
bagian yang terkena masih dapat digerakkan dengan
mudah

Tidak ada peningkatan tonus


Sedikit peningkatan pada tonus otot berupa
tahanan
ketika
anggota
gerak
difleksi/diekstensikan

Peningkatan tonus otot, namun anggota


gerak masih mudah difleksikan

Peningkatan tonus otot yang lebih nyata, gerakan Peningkatan nyata dari tonus otot, gerakan
pasif sulit
pasif sulit
Bagian yang terkena menjadi rigid pada gerakan Anggota gerak rigid dalam posisi fleksi
fleksi atau ekstensi
atau ekstensi
Tabel 1.12 Skala Ashworth Modifikasi dan perbandingannya dengan Skala Ashworth

Skor Tonus Aduktor (Adductor Tone Rating)


Digunakan pada pasien dengan peningkatan tonus otot panggul. Spastisitas aduktor
panggul dapat merupakan masalah penting karena mengganggu fungsi seksual, higien
perineal, dan perawatan kateter baik pada pria maupun wanita.4,12
Sko
r

Skor Tonus Aduktor Bilateral

Tidak ada peningkatan tonus

Terdapat peningkatan tonus, sendi panggul mudah diabduksikan sampai


45 oleh 1 orang

Panggul dapat diabduksi sampai 45 oleh 1 orang dengan usaha ringan

Panggul dapat diabduksi sampai 45 oleh 1 orang dengan usaha sedang

2 orang diperlukan untuk mengabduksi sendi panggul sampai 45

Skala Frekuensi Spasme (Spasm Frequency Scale)


Digunakan untuk menilai spasme pada kelompok otot dalam waktu 24 jam. 4 Definisi
spasme yang digunakan adalah12:
13

Spasme adalah twitching tidak terkontrol dari otot atau anggota gerak,
dapat juga berupa perubahan posisi anggota tubuh yang tidak terkontrol

Spasme yang terjadi beruntun tanpa jeda/periode istirahat dianggap


sebagai satu spasme
Sko
r

Skor Frekuensi Spasme

Tidak ada spasme

1 atau lebih sedikit kelompok otot mengalami spasme

Antara 1 dan 5 kelompok otot mengalami spasme

Antara 6 dan 9 kelompok otot mengalami spasme

10 atau lebih kelompok otot mengalami spasme, atau mengalami kontraksi


terus-menerus

Skor Analog Visual (VAS)


VAS untuk penilaian nyeri global dapat dilakukan untuk menilai akibat-akibat
spastisitas. Pasien diminta untuk menghitung total jumlah nyeri yang telah dialami selama 24
jam menggunakan garis horisontal 10 cm dengan tanpa nyeri ditulis di sebelah kiri dan nyeri
maksimal disebelah kanan.
Skala Tardieu
Vattanasilp et al menyatakan bahwa skala Ashwoth berguna untuk mengklasifikasikan
tingkatan derajat kekakuan otot, tanpa membedakan keterlibatan neural dan perifer.
Komponen neural yang dimaksud adalah peningkatan refleks regang yang berlebihan.
Komponen perifer (biomekanik) adalah perubahan jaringan lunak seperti tendon, ligamen dan
sendi itu sendiri . Tahanan yang didapati pada saat pemeriksaan spastisitas kadang dipengaruhi
oleh komponen perifer. Pembedaan ini penting karena akan memerlukan penanganan yang
berbeda pula. Pemeriksaan spastisitas menggunakan skala Tardieu mencakup kedua komponen
ini.13
Skala ini menilai respon otot terhadap regangan pada kecepatan tertentu. Penilaian
harus dilakukan di hari yang sama, posisi yang sama. Reaksi terhadap regangan dinilai pada
setiap kelompok otot pada kecepatan tertentu dengan parameter X & Y.
Kecepatan regang (V)

V1 selambat mungkin

V2 sesuai dengan gravitasi


14

V3 secepat mungkin

V1 digunakan untuk mengukur ROM pasif (PROM). Sementara V2 dan V3 digunakan untuk
menilai spastisitas.
Parameter X mewakili kualitas reaksi otot dengan penilaian sebagai berikut:
0 : tidak ada tahanan pada gerakan pasif
1 : tahanan ringan tanpa ada catch yang jelas pada sudut
2 : terdapat catch yang jelas pada sudut tertentu diikuti adanya pelepasan (release)
3 : klonus abortus pada sudut tertentu (<10 detik) pada sudut tertentu
4 : klonus yang nyata (>10 detik) pada sudut tertentu
5 : imobilisasi sendi
Parameter Y (sudut spastisitas) mewakili reaksi otot pada sudut tertentu dengan peregangan
dari otot

R1 sudut dimana didapati adanya catch pada kecepatan V2-V3

R2 ROM penuh pada saat otot istirahat dan pada kecepatan V1

Adanya selisih nilai yang besar dari nilai R1 dan R2 menunjukkan adanya keterlibatan
komponen dinamik yang besar.Selisih nilai yang sedikit dari R1 dan R2 menunjukkan adanya
kontraktur sendi.14
Contoh pencatatan Skala Tardieu

Keterangan: MRC: Manual Muscle Testing - Medical Research Council


Posisi Pemeriksaan
Anggota Gerak Atas
Dilakukan pada posisi duduk, siku difleksikan 90O pada sudut dan kecepatan yang
direkomendasikan.
Bahu
Aduktor horizontal

V3

Aduktor vertikal

V3
15

Rotator Interna

V3

Fleksor

V2

posisi bahu aduksi

Ekstensi

V3

posisi bahu abduksi

Pronator

V3

posisi bahu aduksi

Supinator

V3

posisi bahu aduksi

Siku

Pergelangan
Fleksor

V3

Ekstensor

V3

Jari-jari +

V3

Interosei palmaris +FDS

Sudut dari digiti III dengan MCP


pergelangan posisi istirahat

Anggota Gerak Bawah


Dilakukan pada posisi telentang pada sudut dan kecepatan yang direkomendasikan
Pinggul
Ekstensor

V3

lutut ekstensi

Aduktor

V3

lutut ekstensi

Rotator eksterna

V3

lutut fleksi 90o

Rotator interna

V3

lutut fleksi 90o

Ekstensor

V2

pinggul difleksikan 30 o

Fleksor

V3

pinggul difleksikan 30 o

V3

lutut difleksikan 30 o

Lutut

Pergelangan kaki
Plantar fleksor
Metode-metode lain
Metode lain dari evaluasi spastisitas ataupun metode penentuan jumlah spastisitas
merupakan tes-tes yang tidak dilakukan rutin dalam pemeriksaan klinis karena banyak
menghabiskan waktu, melibatkan peralatan mahal dan digunakan sebagian besar untuk
keperluan penelitian. Metode ini termasuk EMG dinamik multichannel, analisis langkah
terkomputerisasi, tes pendulum/anak lonceng, anestesi blok saraf sementara dan tes
elektrofisiologis (misal, refleks H, rasio H/M, gelombang F, reflek vibrasi tonik respon
16

penarikan kutaneomuskuler atau fleksor dan respon-respon yang dibangkitkan oleh spinal
lumbosakral).4

EVALUASI FUNGSIONAL SPASTISITAS


Pada waktu pemeriksaan, akibat fungsional yang tidak diinginkan dari spastisitas harus
dapat diidentifikasi agar program rehabilitasi yang dibuat sesuai dengan kebutuhan pasien.4
a. Aktivitas Kehidupan Sehari-hari (AKS): menilai semua AKS dasar dan
instrumental, juga catatan peralatan yang digunakan dan sejumlah bantuan yang
diperlukan.
b. Kemampuan transfer: nilailah jenis, hitung jumlah bantuan yang diperlukan
dan kesulitan-kesulitan dan keamanan untuk semua kondisi transfer, misal : ke
bak mandi, kursi, tempat tidur, toilet dan mobil.
c. Posisi istirahat: ukurlah sudut istirahat sendi dalam keadaan duduk, berdiri dan
ketika ambulasi. Catat adanya deviasi, kesulitan yang terjadi dan adaptasi yang
dilakukan dengan posisi ketika di tempat tidur, kursi dan kursi roda.
d. Lingkup Gerak Sendi / LGS: nilailah LGS anggota gerak aktif dan pasif.
e. Keterampilan keseimbangan: catatlah keseimbangan pada waktu duduk,
berdiri, dan berjalan.
f. Ketahanan: menentukan berapa ketahanan/daya tahan hilang karena energi
yang dikeluarkan untuk mengatasi spastisitas.
g. Pola tidur: nilailah efek spastisitas waktu tidur, contoh: jumlah waktu
permalam ketika pasien terbangun oleh spasme atau spastisitas, apakah pasien
memerlukan bantuan untuk kembali tidur.
h. Analisis langkah secara observasi: tentukan bentuk langkah, kompensasi dan
deviasi. Juga evaluasi bagaimana langkah-langkah pasien, keseimbangan saat
berjalan, dan juga posisi lengan dan ayunannya.

REHABILITASI PADA SPASTISITAS PASCA STROKE


Tidak semua spastisitas menjadi masalah, terutama pada tahap awal penyembuhan
setelah cedera otak ataupun medula spinalis dimana spastisitas dapat digunakan untuk
17

memperbaiki kemampuan fungsional dari pasien. Sebagai contoh adalah kaki spastik dengan
kontrol motorik minimal yang terjadi setelah stroke berguna untuk menopang berat badan dan
untuk perputaran tubuh, atau tonus fleksor siku dapat digunakan untuk membawa buku. 1,15
Penanganan spastisitas yang dilakukan harus sesuai dengan tujuan terapi rehabilitasi
dan juga sesuai dengan kebutuhan pasien dan caregiver nya. Yang sangat diperlukan dalam
penanganan spastisitas adalah kerjasama dan komunikasi yang baik diantara tim terapi. 1 Ada
beberapa kasus dimana pengurangan spastisitas tidak memperbaiki fungsional pasien, namun
malah menyebabkan efek samping sistemik karena medikasi yang diberikan. Contohnya,
seorang pasien dengan spastisitas berat dan kontrol motorik yang buruk dimana spastisitasnya
tidak menimbulkan nyeri dan tidak mengganggu dengan perawatan dan positioning tidak
akan mendapat banyak perbaikan setelah pengurangan tonus.15
Gans dan Glenn membagi tujuan terapi kedalam 2 kategori. Yang pertama adalah
manajemen fungsi pasif seperti pengurangan rasa nyeri, positioning, higien, penggunaan
splint, dan pencegahan kontraktur.1 Fungsi pasif ini adalah fungsi yang berkaitan dengan
terapis atau caregiver dan terutama memerlukan fleksibilitas dan gerakan pasif anggota gerak
dalam melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari.15 Tujuan kedua berkaitan dengan aktivitas
fungsional aktif yang dilakukan oleh pasien sendiri, yaitu memperbaiki transfer, ambulasi,
dan kemampuan melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari. Fungsi aktif ini memerlukan
gerakan aktif, kekuatan, konsentrasi, atensi, kesadaran, dan juga mood yang positif. Hal
inilah yang harus menjadi pertimbangan dokter ketika menangani spastisitas, mengingat efek
samping dari beberapa manajemen, terutama agen farmakologis, yang menyebabkan
kelemahan otot, sedasi, hipotensi, depresi, dan sebagainya. 1,15
Manajemen harus dibuat berdasarkan keterbatasan fungsional yang ditimbulkan
spastisitas seperti nyeri, kesulitan dengan posisi, higien, atau mobilisasi. 15 Sebelumnya,
manajemen spastisitas dilakukan dengan sistem pendekatan piramidal, penanganan dimulai
Mielotomi

dengan teknik yang ada di tingkat Kordektomi


paling dasar. Ketika teknik-teknik tersebut tidak
mencukupi, baru ditambahkan dengan teknik yang ada di level kedua, dan selanjutnya,
NeurektomiTenotomi
dengan tindakan bedah ada pada level
teratas.16
RizotomiMiotomi

Kini, walaupun penanganan tetap dimulai dengan teknik yang konservatif, namun
Kemodenervasi
dengan
fenol, toksin
botulinumlebih ditujukan untuk
tidak mutlak mengikuti
pendekatan
tersebut.
Penanganan

mengusahakan kemampuan fungsional yang seoptimal mungkin bagi pasien dan seluruh tim
Functional
Blok
terapi harus selalu memonitor
efikasi dan
efek samping yang ditimbulkan oleh intervensi, dan
Electrical StimulationMotor Point

juga menyesuaikannya dengan kebutuhan pasien.1

Terapi farmakologis :
diazepam, baklofen, dantrolen, tizanidin,
dll
Pencegahan/pengurangan Peregangan
stimulasi yang Vibrasi
mengganggu/merugikanTerapi dingin

18

Gambar 9.16 Manajemen spastisitas dengan pendekatan piramidal

MANAJEMEN KONVENSIONAL
Pengurangan stimulasi yang mengganggu/menyakitkan
Langkah pertama dalam program manajemen spastisitas adalah pengurangan stimulasi
yang mengganggu/menyakitkan seperti ulkus dekubitus, kuku yang tumbuh ke dalam
(ingrown toenail), kontraktur, kateter yang menekuk, urolitiasis, infeksi saluran kemih, deep
venous thrombosis, impaksi fekal, sepsis, dan lain sebagainya. 1
Positioning
Positioning yang tepat merupakan komponen penting dalam manajemen spastisitas.
Positioning yang salah dapat mengakibatkan pengurangan lingkup gerak sendi, kontraktur,
nyeri dan lain-lain yang pada akhirnya akan memperburuk siklus yang terjadi dan
memperburuk keadaan spastis. Tujuan dalam program positioning termasuk perbaikan
alignment tubuh dan kesimetrisan. Keuntungan yang diperoleh adalah kemudahan dalam
perawatan, fasilitasi terapi, dan maksimalisasi fungsional pasien.1
Beberapa postur yang harus dihindari karena dapat mengakserbasi timbulnya
spastisitas yaitu postur menggunting (scissoring) yaitu ekstensi sendi pinggul bilateral,
aduksi, dan rotasi internal, posisi windswept (fleksi sendi pinggul, abduksi, eksternal rotasi
pada satu sisi dan ekstensi relatif sendi pinggul, aduksi, rotasi internal dari sisi lainnya), dan
19

posisi frog-leg. Positioning juga penting bagi pasien yang duduk di kursi roda. Tonus dapat
diminimalkan dengan memosisikan pasien dengan sendi pinggul dan lutut dalam keadaan
fleksi 90o dan mempertahankan torso pasien dalam posisi yang tepat. 1
Peregangan, Casting, dan Ortosa
Spastisitas dan sindroma Upper Motor Neuron lainnya dapat menyebabkan
pemendekan otot karena berbagai sebab. Imobilisasi yang terjadi pada otot yang mengalami
kelumpuhan menyebabkan penurunan tekanan longitudinal pada otot sehingga merupakan
faktor predisposisi terjadinya pemendekan otot dan pada akhirnya kontraktur. Selain itu
imobilisasi juga menyebabkan berkurangnya sintesis protein yang memicu terjadinya atrofi
otot. Spastisitas juga menyebabkan berkurangnya aktivitas dan sensitivitas gelendong otot.
Oleh karena itu, peregangan diperlukan dalam pencegahan pemendekan otot dan untuk
meningkatkan sensitivitas gelendong otot.1
Teknik peregangan menggunakan GTO. Peregangan cepat akan merangsang
gelendong otot untuk berkontraksi (berdasarkan perubahan panjang otot). Peregangan dalam
jangka waktu lama awalnya juga akan memicu kontraksi, namun akhirnya menginhibisi
kontraksi karena GTO akan mendeteksi adanya peningkatan tegangan pada otot dan
menghambat motor neuron alfa (teknik hold-contract-relax). Oleh karena itu, peregangan
dalam jangka waktu lama digunakan untuk menghambat tonus yang tinggi pada otot agonis
dan memfasilitasi otot antagonis. Selain itu, tekanan pada tendon otot yang hipertonus juga
akan merangsang GTO untuk menginhibisi tonus otot agonis yang abnormal dan
memfasilitasi kerja otot antagonis.17
Untuk peregangan dalam jangka waktu lama dapat digunakan gips serial. Gips serial
mempunyai kelebihan lebih murah dan lebih mudah tersedia bila dibandingkan dengan
ortosa.

Sedangkan ortosa digunakan dengan tujuan 18:


1. Mengurangi atau menghambat timbulnya pola abnormal dengan positioning
Pergelangan kaki yang diposisikan dorsifleksi ringan dengan AFO dapat menghambat
pola ekstensor. Untuk mencegah terjadinya ekstensi pada togok (trunk), dapat
dilakukan dengan memposisikan sendi panggul sedikit fleksi dan menginduksi
lordosis lumbal. Ortosa yang digunakan harus cukup kaku untuk dapat menjaga
ketepatan posisi.
20

2. Mencegah gerakan abnormal


3. Menjaga alignment dan gerakan normal
Tujuannya adalah menempatkan tubuh dalam posisi optimal untuk menghasilkan
gerakan normal dan mencegah gerakan kompensasi. Contoh paling umum adalah
pasien hemiplegik dengan pola ekstensor, pergelangan kaki plantarfleksi, lutut
hiperekstensi, panggul dan tubuh fleksi. Dengan menempatkan pergelangan kaki
dalam posisi dorsifleksi ringan, maka lutut akan terdorong ke depan, dan kemudian
untuk menjaga keseimbangan, pasien tersebut akan terdorong untuk mengekstensikan
panggul dan tubuhnya.

Gambar 10.18 Penggunaan Knee-Ankle-Foot-Orthose dengan stop hiperekstensi dapat memperbaiki


alignment

4. Mencegah terjadinya kontraktur dan memepertahankan/meningkatkan gerak sendi


5. Targeted motor learning
Ini biasanya digunakan pada anak penderita palsi serebral dengan prinsip bahwa
proses pembelajaran motorik yang baik dapat dicapai dengan imobilisasi sendi kaudal
sampai terdapat kontrol motorik yang cukup dari bagian proksimalnya.
Modalitas Fisik
21

Pendinginan sangat berguna pada penanganan spastisitas dan bekerja pada 2


mekanisme. Pertama, pendinginan akan menurunkan aktivitas motor neuron gamma, dan
selanjutnya akan menurunkan aferen gelendong otot dan aktivitas GTO (menghambat refleks
peregangan monosinaptik dan menurunkan sensitivitas reseptor).1,19
Ada beberapa teknik pendinginan yang dapat digunakan. Teknik quick icing, yaitu
dengan mengaplikasikan es dengan gerakan cepat, dapat memfasilitasi motor neuron dan
dan digunakan untuk memfasilitasi fungsi otot antagonis. Teknik pendinginan lama (ice
massage, cold/ice packs, cryotherapy compression unit, whirlpool) dapat menurunkan
kecepatan konduksi dan potensial aksi kompleks motorik. Teknik lainnya adalah dengan
menggunakan pendinginan lain seperti spray etil klorida. Pendinginan dalam waktu 5 menit
dapat menurunkan refleks tendon dalam, sementara dalam waktu 10-30 menit pendinginan
dapat menurunkan atau bahkan menghilangkan klonus dan menurunkan tahanan otot terhadap
peregangan pasif. Efek yang diperoleh dapat bertahan selama 1 jam atau bahkan lebih.19
Modalitas panas seperti ultrasound, parafin, fluidoterapi, panas superfisial dan
whirpool juga dapat digunakan. Efek panas hanya bertahan dalam durasi singkat. Oleh karena
itu penggunaannya, sama seperti modalitas dingin, harus disertai dengan peregangan dan
latihan. Efek terutama dari panas terkait dengan peningkatan elastisitas jaringan kolagen yang
dapat membantu dalam aktivitas peregangan.1,19
Stimulasi elektrik adalah modalitas lain yang dapat digunakan dalam manajemen
spastisitas.

MANAJEMEN FARMAKOLOGIS
Ada empat metode yang saat ini banyak digunakan dalam penanganan farmakologis.
Metode paling awal adalah penghantaran via jalur enteral, baik oral maupun lewat
gastrotomi. Baklofen, benzodiazepin, dan tizanidin adalah contoh agen farmakologis yang
biasa dihantarkan melalui jalur ini. Jalur enteral ini diabsorpsi dan mempunyai efek sistemik
ke seluruh tubuh.
Metode kedua, yang cukup erat hubungannya dengan penghantaran enteral adalah
penggunaan

sistem

transdermal,

contohnya

adalah

penghantaran

Catapress

TTS

(Transdermal Therapeutic System). Metode ini juga diabsoprsi dan menpunyai efek sistemik,
22

namun mempunyai kelebihan lain yaitu mempunyai kadar level dalam darah yang lebih
stabil. .
Intratekal adalah metode penghantaran ketiga. Metode ini menempatkan agen
farmakologis dekat dengan tempat aksi nya. Dengan demikian, dengan dosis total yang lebih
kecil, efek klinis dapat dicapai dan efek samping sistemik dapat dikurangi. Contoh agen yang
biasa dihantarkan lewat metode ini adalah baklofen, morfin, dan klonidin. Karena juga
merupakan tidakan bedah, maka metode ini akan dibahas tersendiri.
Injeksi lokal agen neurodenervatif adalah metode penghantaran keempat. Agen-agen
yang biasa dihantarkan lewat metode ini adalah fenol, etanol, dan yang lebih baru adalah
toksin botulinum. Metode ini merupakan pilihan terbaik dalam menangani spastisitas fokal
dengan efek samping minimal.1
Banyak faktor yang perlu dipertimbangkan dalam pemilihan obat farmakologis dalam
manajemen spastisitas, antara lain :
-

Etiologi
Walaupun spastisitas dapat timbul dalam gambaran yang serupa, namun respons
terhadap intervensi penanganan berbeda-beda, tergantung dari etiologi nya. Sebagai
contoh, agen farmakologis yang dihantarkan via jalur enteral mempunyai efikasi
tinggi dalam penanganan spastisitas pada cedera medula spinalis (SCI) atau sklerosis
multipel, namun kurang efektif untuk menangani spastisitas pada cedera otak (TBI)
ataupun stroke.

Waktu setelah onset


Sebagai kesepakatan, intervensi yang lebih agresif ditujukan untuk tahap spastisitas
yang lebih lanjut. Obat-obatan yang dapat mempengaruhi penyembuhan seperti fenol
jarang digunakan pada tahap awal, karena durasi aksinya panjang dan dapat
menyebabkan jaringan parut pada otot dan saraf. Intervensi ortopedik juga hampir
tidak pernah digunakan pada tahap awal, karena perlu tercapainya stabilisasi struktur
neuromuskuler terlebih dahulu sebelum dilakukannya intervensi bedah permanen.
Yang masih menjadi kontroversi adalah baklofen intratekal. Penelitian yang dilakukan
Francois dan kawan-kawan di tahun 2001 melaporkan bahwa baklofen intratekal
mungkin menguntungkan pada kasus spastisitas rekalsitran ketika diberikan mulai
bulan pertama setelah terjadinya cedera.

Prognosis fungsional
Bila prognosis motorik dan fungsional pasien meragukan, dokter seringkali
melakukan intervensi yang lebih agresif dan permanen seperti rizotomi.
23

Dukungan sosial
Dukungan sosial dapat menjadi faktor penting dalam penanganan spastisitas. beberapa
hal perlu dipertimbangkan. Anggota keluarga atau caregiver lain menjadi bagian
penting ketika dokter meresepkan pengobatan.

Status kognitif
Fungsi kognitif pasien juga diperlukan dalam manajemen spastisitas. Dokter harus
mengevaluasi kemampuan pasien dalam hal kepatuhan menjalani terapi dan faktor
keamanan ketika menggunakan modalitas terapi.

Masalah medis lainnya


Masalah medis lainnya yang diderita pasien harus menjadi pertimbangan karena
pasien dengan hipotensi, sinkop, gangguan keseimbangan, atau ataksia mungkin
mengalami gangguan untuk mentoleransi beberapa agen tertentu.

Distribusi spastisitas
Seberapa luas area yang memerlukan terapi? Apakah spastisitas hanya mengenai area
segmental atau fokal atau tersebar mengenai seluruh tubuh? Jika hanya area
segmental saja, kemodenervasi adalah terapi yang tepat. Namun bila spastisitas
mengenai seluruh tubuh, maka diperlukan terapi yang lebih sistemik.

Keadaan finansial
Dalam menangani spastisitas, dokter harus mempertimbangkan keadaan finansial dari
pasien. Terapi yang lebih baru seperti baklofen intratekal dan injeksi toksin botulinum
membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Beberapa perusahaan asuransi bahkan
memerlukan uji dengan agen yang lebih ekonomis seperti antispastisitas oral sebelum
menyetujui penggunaan injeksi toksin.
Pada penderita stroke dengan defisit kognitif, penggunaan obat oral yang bekerja

sentral dapat memperburuk keadaan. Harus diketahui pula apakah pasien menggunakan obat
yang dikontraindikasikan bila diberikan bersama-sama. Seperti klonidin dan tizanidin yang
sinergis, menyebabkan hipotensi. Dantrolen yang bila diberikan bersama-sama dengan statin
dapat beresiko menyebabkan kerusakan hati. Efek mengantuk dari obat dapat
menguntungkan pada pasien dengan kesulitan tidur karena spasme otot.
Benzodiazepin1,15
Benzodiazepin adalah agen paling tua yang digunakan dalam penanganan spastisitas.
Dari golongan ini, yang paling sering digunakan adalah diazepam (Valium). Agen lainnya
adalah klorazepat (Tranxene) dan klonazepam (Klonipin). Golongan benzodiazepin bekerja
24

sentral di formasi retikuler batang otak dan jalur polisinaptik spinal. Efek farmakologis dan
antispastis dari benzodiazepin diperkirakan melalui ikatan benzodiazepin dengan kompleks
ion klorida pada reseptor GABA. Studi biokimia pada tikus menunjukkan bahwa
benzodiazepin meningkatkan efikasi pengikatan GABA pada reseptornya. Aktivasi ini
menyebabkan terbukanya kanal ion klorida dan menyebabkan hiperpolarisasi. Efek
antispastik terjadi lewat fasilitasi efek postsinaptik dari GABA, yang mengakibatkan
peningkatan inhibisi presinaps di tingkat spinal dan supraspinal dan kemudian pengurangan
refleks mono dan polisinaptik pada tingkat spinal.
Diazepam adalah gologan benzodiazepin dengan durasi kerja panjang dan telah
digunakan sebagai obat antispastik selama lebih dari 30 tahun. Diazepam diabsorpsi dengan
baik melalui administrasi oral, mencapai kadar maksimal dalam darah setelah 1-2 jam,
dimetabolisme di hati dan diekskresi lewat ginjal. Sifatnya larut dalam lemak sehingga dapat
melalui sawar darah-otak, dapat melalui plasenta dan disekresi dalam ASI.
Diazepam banyak digunakan pada pasien dengan spastisitas otot yang disebabkan
karena lesi medula spinalis. Masih terjadi kontroversi mengenai apakah diazepam lebih
efektif pada lesi komplit atau imkomplit. Pada studi kasus sklerosis multipel, diazepam
hampir sebanding dengan baklofen dalam hal efikasi dan toleransi. Namun karena efek
sampingnya yang berupa sedasi, banyak dokter dan pasien yang lebih menyukai baklofen.
Pada kasus cedera otak, diazepam jarang digunakan karena efeknya yang juga mempengaruhi
atensi dan memori.
Dosis awal untuk diazepam pada dewasa adalah 2 mg dua kali sehari atau 5 mg saat
malam hari. Dapat dititrasi sampai maksimal 60 mg per hari dalam dosis terbagi. Waktu
paruh diazepam bervariasi antara 20 sampai 50 jam, bahkan waktu paruh metabolit aktifnya
dapat mencapai 100 jam, tergantung dari usia dan fungsi hati dari pasien.
Efek samping yang sering terjadi adalah depresi dari sistem saraf pusat termasuk
sedasi, perasaan goyang, ataksia, konfusi. Diazepam juga dapat menyebabkan penekanan
pusat kesadaran, mengurangi koordinasi motorik dan mempengaruhi intelektual, atensi dan
memori. Efek samping lainnya yang lebih jarang adalah sakit kepala, vertigo, gangguan
visual, hipotensi, gangguan pencernaan, retensi uri, perubahan libido dan rash. Penghentian
tiba-tiba atau tapering yang terlalu cepat dapat menyebabkan efek putus obat seperti depresi,
cemas, gugup, agitasi, iritabel, tremor, fasikulasi dan kedutan pada otot, insomnia, mual, dan
diare.
Golongan benzodiazepin lain yang banyak digunakan dalam manajemen spastisitas
adalah klonazepam. Penggunaannya terutama pada spasme nokturnal yang nyeri.
25

Efektivitasnya sebanding dengan diazepam, namun kurang disukai karena efek sampingnya
(sedasi, konfusi, fatigue).
Baklofen1,15
Baklofen (Lioresal) adalah agen lain yang aktivitasnya melalui sistem GABA.
Merupakan analog struktural dari GABA (salah satu neurotransmiter inhibitorik pada sistem
saraf pusat). Baklofen terikat pada reseptor GABAB yang berlokasi baik di presinaps maupun
postsinaps, sehiggan dapat menghambat jalur refleks mono dan polisinaptik. Di presinaps,
baklofen terikat pada interneuron GABA dan serabut aferen Ia, menyebabkan hiperpolarisasi
membran sehingga menghambat masuknya kalsium dan menekan pelepasan neurotransmiter
eksitatorik endogen seperti aspartat dan glutamat. Di postsinaps, baklofen menyebabkan
inhibisi dengan mengaktivasi kanal potasium, menghambat aktivitas motor neuron gamma,
dan mengurangi sensitivitas gelendong otot intrafusal. Pada binatang, baklofen juga
mempunyai sifat analgesik dan antinosiseptif yang diperkirakan terjadi dengan menghambat
pelepasan substansi P dari saraf aferen nosiseptif.
Setelah administrasi oral, baklofen segera diabsorpsi dan mencapai kadar puncak
dalam darah setelah 1-2 jam. Waktu paruhnya sekitar 3,5 jam (2 sampai 6,8 jam). Hanya 10%
dimetabolisme di hepar, dan 70-80% diekskresikan tanpa mengalami perubahan lewat ginjal.
Dapat menembus plasenta namun hanya sedikit yang mampu menembus sawar darah-otak.
Baklofen banyak digunakan pada kasus lesi medula spinalis dan sklerosis multipel,
dan dibuktikan efektif dalam mengurangi spastisitas dan spasme fleksor yang nyeri. Baklofen
lebih efektif daripada diazepam dalam mengurangi spastisitas dengan efek samping sedasi
yang lebih minimal. Studi mengenai penggunaan baklofen pada kasus lesi serebral tidak
banyak dan menunjukkan bahwa perbaikan yang dicapai tidaklah sebesar pada sklerosis
multipel dan lesi medula spinalis. Pada kasus cedera otak, studi mengenai baklofen terbatas
dan sama seperti benzodiazepin, kurang disukai karena mempengaruhi atensi dan memori.
Dosis dimulai dengan 5 mg yang diberikan 2 sampai 3 kali sehari dan perlahan-lahan
dapat ditingkatkan (5-10 mg/hari/minggu) untuk mencapai efek klinis optimal dengan efek
samping minimal. Dosis oral baklofen yang dianjurkan antara 40-100 mg sehari.
Efek samping yang banyak dilaporkan meliputi sedasi, fatigue, lemas, mual, pusing,
parestesia, halusinasi, dan penurunan ambang rangsang kejang. Pasien usia lanjut rentan
terhadap efek samping ini dan peningkatan dosis harus dilakukan dan diawasi dengan hatihati.
26

Sodium Dantrolen1,15
Merupakan derivat hidantoin dan berbeda dari agen lainnya, dantrolen (Dantrium)
bekerja di perifer, pada tingkat otot, terutama pada serabut otot tipe II (fast-twitch).
Mekanismenya adalah menghambat pelepasan kalsium dari retikulum sarkoplasmik pada saar
kontraksi otot, baik intra maupun ekstrafusal.
Setelah administrasi oral, sekitar 70% sodium dantrolen akan diabsorpsi dari usus
kecil dan dimetabolisme di hepar, kemudian diekskresi lewat urin dan empedu. Kadar puncak
dalam darah terjadi dalam 3-6 jam (metabolit aktifnya 4-8 jam). Waktu paruh dantrolen
berkisar 17 jam setelah pemberian oral dan 12 jam setelah pemberian intravena. Sifatnya larut
dalam lemak, sehingga dapat menembus plasenta dan sawar darah-otak.
Penggunaan dantrolen lebih banyak pada kasus spastisitas yang terjadi akibat lesi
supraspinal seperti karena stroke, cedera otak traumatis, atau palsi serebral. Pada kasus
cedera medula spinalis dan sklerosis multipel, studi mengenai penggunaan dantrolen terbatas,
karena efeknya yang menyebabkan kelemahan otot.
Dosis awal dantrolen adalah 25 mg 2 kali sehari dan dapat ditingkatkan 25-50 mg tiap
minggu sampai maksimal 400 mg perhari. Efek samping yang paling dikhawatirkan adalah
hepatotoksik. Namun efek ini jarang terjadi, hanya sekitar 1,8% ketika digunakan lebih dari
60 hari. Umumnya terjadi pada wanita diatas 40 tahun, dengan dosis tinggi (lebih dari 300
mg) dalam jangka waktu lama. Kegagalan fungsi hepar terjadi pada 0,3% kasus. Oleh karena
itu, ketika meresepkan dantrolen, penting untuk melakukan pemeriksaan tes fungsi hati
secara berkala (tiap minggu pada bulan pertama, tiap bulan pada tahun pertama, dan tiap 4
bulan dalam setahun). Efek samping lainnya adalah kelemahan, parestesia, mual, dan diare.
Efek samping lain yang lebih jarang terjadi berupa anoreksia, enuresis, gangguan visual,
gangguan platelet, efusi perikardial.
Klonidin1,15
Klonidin (Catapress) adalah derivat imidazolin yang terutama digunakan sebagai
antihipertensi. Bekerja sentral sebagai agonis 2 adrenergik. Mekanisme kerja dari klonidin
untuk spastisitas terjadi lewat 2 cara. Yang pertama, klonidin bekerja langsung pada lokus
coeruleus dan menurunkan fasilitasi tonus. Mekanisme yang kedua adalah di tingkat spinal,
pada inhibisi presinaptik yang dimediasi oleh 2.
Klonidin diabsorpsi baik dan mencapai kadar maksimal dalam darah 3-5 jam setelah
administrasi oral. Waktu paruhnya 23 jam dan dimetabolisme di hati. 20% diekskresi melalui
feses, dan 65% nya melalui urin tanpa mengalami perubahan. Klonidin juga tersedia dalam
27

bentuk transdermal (Catapress TTS/Transdermal Therapeutic System) yang mempunyai


kelebihan kadar dalam darah yang lebih seragam, administrasi lebih mudah, dan efek
samping sistemiknya lebih rendah. Dosis awal per oral mulai dengan 0.05 mg 2 kali sehari,
ditingkatkan 0.2 sampai 0.4 mg/ hari. Pada bentuk transdermal (plester perekat), mulai
dengan sebuah plester 0.1 mg dan dititrasi sampai 0.3 mg plester setiap minggu
Studi mengenai klonidin sebagai antispastisitas masih sedikit jumlahnya dan belum
ada penelitian double-blind yang membandingkan klonidin dengan plasebo yang dilakukan.
Uji label-terbuka menunjukkan bahwa klonidin efektif dalam mengurangi spastisitas pada
kasus cedera medula spinalis dan cedera otak. Studi yang dilakukan oleh Kahn dan Olek di
tahun 2195 menunjukkan bahwa penggunaan klonidin dapat mengurangi spastisitas pada
pasien dengan sklerosis multipel yang tidak memberi respons terhadap diazepam dan
baklofen.
Efek samping dari klonidin yang paling banyak terjadi adalah hipotensi. Efek samping
lainnya meliputi pusing, mual, depresi, sedasi, dan mulut kering.

Tizanidin (Zanaflex)
Seperti klonidin, tizanidin juga merupakan derivat imidazolin dengan efek agonis 2
dan merupakan antispastisitas yang relatif baru dan banyak digunakan. Mekanisme kerjanya
diperkirakan juga pada reseptor imidazolin. Tizanidin bekerja pre dan postsinaptik pada level
spinal dan menghambat pelepasan asam amino ekstatorik (glutamat dan aspartat pada
interneuron), juga memfasilitasi neurotransmiter inhibitorik yaitu glisin. Diperkirakan juga
bahwa tizanidin bekerja pada level supraspinal, pada jaras coeruleospinal yang merupakan
jaras fasilitatorik.
Onsetnya cukup cepat, 0,75 sampai 2 jam dan mempunyai waktu paruh pendek sekitar
2-4,2 jam. Dimetabolisme di hepar dan diekskresi lewat urin. Tizanidin telah diteliti efektif
mengurangi spastisitas pada kasus cedera medula spinalis, cedera otak, dan sklerosis
multipel. Bila dibandingkan, efektivitas tizanidin sebanding dengan diazepam dan baklofen,
dengan preservasi kekuatan otot. Efek sampingnya juga lebih minimal, walaupun sedasi
masih merupakan efek samping yang banyak terjadi.
28

Dosis awal tizanidin diberikan sebesar 2 mg dua kali sehari, dapat ditingkatkan 4 mg
setiap 4 sampai 7 hari, maksimal sampai 36 mg perhari dibagi dalam 3 atau 4 dosis.
Selain sedasi, efek samping yang sering dilaporkan meliputi mulut kering, pusing,
somnolen, insomnia, hipotensi postural, kelemahan otot, halusinasi visual dan gangguan
fungsi hati. Oleh karena itu, dianjurkan pemeriksaan fungsi hati sebelum penggunaan
tizanidin dan setiap bulan selama terapi.
Obat lainnya1,15
Obat-obatan lain yang mungkin berguna dan masih banyak diteliti adalah pirasetam
(analog GABA dan baklofen), kanabis, dan juga antikonvulsan seperti gabapentin,
levirasetam, pregabalin.
Blokade saraf1,20
Gejala spastisitas yang bersifat fokal, segmental, atau regional dapat diterapi dengan
neurolisis atau kemodenervatif. Dengan kata lain, neurolisis adalah suatu proses dimana
spastisitas ditangani dengan cara membuat lesi pada lower motor neuron. Agen yang biasa
digunakan adalah fenol, etanol dan yang lebih baru adalah toksin botulinum.
Blokade saraf merupakan bahan kimia yang digunakan pada saraf dengan tujuan
menimbulkan impairmen, baik sementara ataupun permanen. Neurolisis atau kemodenervasi
adalah suatu tipe blokade saraf dengan cara destruksi dari jaringan saraf untuk menimbulkan
efek blokade yang lebih panjang. Sedangkan blok motor point adalah tipe blokade yang
diaplikasikan pada cabang saraf motorik distal (efek samping pada sensorik diminimalkan).
Karena

sifatnya

ireversibel,

manajemen

spastisitas

dengan

blokade

saraf

harus

dipertimbangkan dengan hati-hati dan dilakukan ketika gol yang ingin dicapai sudah
teridentifikasi dengan jelas.
Pasien yang mendapatkan keuntungan terbesar dengan blokade saraf adalah pasien
dengan spastisitas yang mengganggu pembelajaran kemampuan motorik seperti pada anak
palsi serebral yang belajar berjalan, atau pasien yang spastisitasnya menimbulkan
permasalahan dalam jangka waktu moderat seperti pasien post cedera kepala atau relaps
sklerosis multipel yang spastisitasnya begitu berat sehingga pembidaian atau pemasangan
gips serial tidak dapat dilakukan karena risiko kerusakan jaringan lunak. Kelompok lain yang
kemungkinan diuntungkan dengan blokade saraf ini adalah pasien yang memerlukan tindakan
bedah untuk kontrol nyeri dan pengurangan spasme otot namun masih tertunda karena alasan
klinis ataupun teknis.20
29

Fenol dan etanol adalah agen awal yang biasa digunakan untuk kemodenervasi. Fenol
digunakan dengan konsentrasi antara 5% dan 7% sedangkan etanol digunakan dengan
konsentrasi 45-100% untuk mencapai efek neurolitik. Diantara kedua agen tersebut, yang
banyak dibahas dalam literatur adalah fenol, namun etanol lebih aman dan lebih mudah untuk
digunakan. Durasi yang ditimbulkan oleh kemodenervasi biasanya berkisar antara 3 sampai 9
bulan, namun pada beberapa kasus dapat mencapai 12 sampai 20 bulan.1
Efek yang ditimbulkan fenol dan etanol adalah anestetik dan neurolitik. Mekanisme
kerjanya adalah dengan menyebabkan destruksi jaringan saraf yang dimulai dengan reaksi
inflamasi yang terjadi dalam waktu beberapa jam setelah agen neurolitik disuntikkan. Reaksi
inflamasi tersebut akan diikuti dengan degenerasi Wallerian yang terjadi sampai maksimal 2
minggu. Kemudian dalam waktu beberapa minggu setelah injeksi, terjadi regenerasi parsial
yang ditandai dengan sprouting kolateral dan akan lengkap dalam waktu 16 minggu.
Toksin botulinum, yang diisolasi dari bakteri Clostridium botulinum oleh Van
Ermengem, terdiri dari 7 serotipe, A sampai G. Yang banyak beredar adalah toksin botulinum
tipe A (Botox) dan tipe B (Myobloc). Toksin botulinum bekerja pada neuromuscular junction
dan menghambat pelepasan asetilkolin serta mengganggu uptake asetilkolin di sitoplasma.
Dibanding fenol dan etanol, toksin botulinum diklaim lebih efektif sebagai agen neurolitik di
titik motorik. Hal ini disebabkan karena toksin botulinum berdifusi melewati membran otot,
sehingga dapat memblokade titik motorik di banyak tempat. Injeksi Botox dapat dilaksanakan
dengan sebuah mesin elektromiografi yang telah disesuaikan

dan tidak memerlukan

penempatan jarum yang tepat di dalam neuromuscular junction seperti pada suntikan fenol.
Tidak seperti fenol, blokade titik motorik dengan suntikan Botox diarahkan ke bagian yang
padat di otot dan saraf pada neuromuscular junction. Akhir-akhir ini penggunaan toksin
botulinum dalam penanganan spastisitas makin marak di bidang Kedokteran Fisik dan
Rehabilitasi.
Dosis yang biasa digunakan untuk Botox adalah 100 sampai 700 unit dan untuk
Myobloc 10000 sampai 20000 unit. Efek samping yang banyak terjadi adalah sakit kepala,
gejala seperti flu (flulike symptoms), fatigue, dan mual. Gejala-gejala tersebut ringan dan
tidak menimbulkan sekuele. Efek samping yang lebih serius meliputi depresi pernapasan,
disfagia, disartria, kelemahan, ptosis, dan mulut kering. Eksantema dan gangguan visual
karena hilangnya kemampuan akomodasi yang disebabkan karena disfungsi parasimpatik
pernah dilaporkan setelah injeksi Myobloc.
Pada kesimpulannya, kemodenervasi merupakan modalitas yang berguna dalam
manajemen spastisitas. Injeksi dengan fenol dan etanol memerlukan lebih banyak keahlian,
30

namun masih mempunyai tempat dalam penanganan spastisitas. Toksin botulinum tipe A
telah lama digunakan untuk spastisitas, walaupun penggunaan resminya baru disetujui pada
Maret 2010 oleh FDA (Botox). Toksin botulinum tipe B masih relatif baru dan masih
memerlukan banyak penelitian mengenai keefektifannya. Keahlian, penilaian dan
pengalaman dari klinisi menjadi hal yang penting dalam penggunaan kemodenervasi.

TINDAKAN BEDAH
Baklofen intratekal
Metode intratekal menginjeksikan baklofen langsung ke cairan serebrospinal lewat
sebuah kateter, sehingga dosis efektif dapat dicapai dengan dosis yang lebih rendah daripada
dosis oral. Hal ini dikarenakan baklofen mempunyai kelarutan lemak yang rendah dan tidak
efektif melintasi sawar darah-otak. Ini sangat menguntungkan karena efek samping pada
susunan saraf pusat yang sering terjadi pada pemberian baklofen oral dapat dikurangi. Dosis
baklofen intratekal yang sering digunakan adalah 0.3 sampai 0.5% dari dosis oral.
Baklofen intratekal diberikan melalui sebuah implan subkutaneus di dalam dinding
abdomen, dengan sebuah kateter yang ditempatkan dengan pembedahan di dalam ruang
subaraknoid. Tersedia 2 jenis pompa yaitu pompa infus (sebuah alat yang dikendalikan oleh
kekuatan gas yang bekerja dengan prinsip mekanikal murni dan tidak mempunyai baterai,
hanya dapat menginfus obat pada angka yang konstan, dosis obat hanya dapat ditambah pada
waktu mengisi kembali) dan pompa Medtropic SynchroMed (sebuah pompa yang
dioperasikan dengan baterai elektronik yang dapat diprogram untuk mengirimkan dosis obat
dengan tepat beberapa kali tiap hari lewat sebuah komputer onboard sehingga spastisitas
dapat dikurangi atau dinaikkan pada beberapa kali pada hari tersebut. Baterainya habis dalam
waktu kira-kira 4 sampai 5 tahun). Harga pompa berkisar pada 6500 US$, ditambah 3000 US$
per tahun untuk obatnya, dan masih ditambah biaya bedah.
Baklofen

intratekal

digunakan

pada

spastisitas

multisegmen

dan

difus.

Penggunaannya tidak dapat digabung dengan injeksi toksin botulinum. Walaupun metode ini
merupakan pilihan terapi yang baik, namun harganya mahal dan mempunyai banyak efek
samping serius termasuk risiko infeksi, kebocoran cairan serebrospinal, disfungsi pompa,
kateter tertekuk atau tergeser. Masalah yang sering dikaitkan dengan metode ini adalah
overdosis, sindroma putus obat dan kejang. Beberapa studi juga mengaitkan efek jangka
panjang baklofen intratekal dengan progresi yang cepat dari skoliosis.
31

Obat lainnya yang dapat diberikan lewat intratekal baik tunggal ataupun
dikombinasikan dengan baklofen adalah klonidin, midazolam, morfin, lidokain, dan fentanil.
Tindakan bedah lainnya
Tindakan bedah yang dapat dilakukan pada manajemen spastisitas antara lain rizotomi
(pemotongan akar spinal atau tempat keluarnya saraf (rootlets)), neurektomi (memotong saraf,
yang sering adalah saraf perifer, dengan tujuan untuk mengurangi spastisitas), tenotomi
(pemotongan tendon dari otot yang kontraktur), miotomi (pemotongan atau diseksi dari otot),
Mielotomi (pemotongan serabut saraf di tingkat medula spinalis), kordotomi
(pembedahan pada traktus anterolateral medula spinalis), kordektomi (pembedahan pada
sebagian atau seluruh korda medula spinalis) jarang dilakukan karena dapat menyebabkan
atrofi berat dari otot, hilangnya fungsi vegetatif (BAK, BAB) dan hilangnya fungsi ereksi.
Karena efek sampingnya yang besar, tindakan bedah tersebut merupakan kontraindikasi jika
terdapat kontrol motorik yang baik atau ketika penyembuhan motorik memungkinkan.

Pada PSS, penanganannya dapat juga dengan mempertimbangkan topografi area distribusi
anatomi yang terkena.21

32

DAFTAR PUSTAKA
1. Elovic, P.E., Eisenberg, M.E., Jasey, N.N. (2010). Spasticity and Muscle Overactivity
as Components of the Upper Motor Neuron Syndrome. In Frontera, Walter R., Delisa,
Joel A., (Eds.), DeLisas Physical Medicine and Rehabilitation Pronciples and
Practice (pp), ed 5, USA : Lippincott Williams and Wilkins.
2. Barnes, M.P. (2008). An Overview of the Clinical Management of Spasticity. In
Barnes, Michael P., Johnson, Garth R., (Eds.), Upper Motor Neurone Syndrome and
Spasticity (pp 1-8), ed 2, USA : Cambridge University Press.
3. Sathkunam, Lalith E. (2003). Rehabilitation Medicine : 3. Management of Adult
Spasticity, Canadian Medical Association Journal, 189(11):1193-1199.
4. Tan, J.C. (2198). Spasticity. In Practical Manual of Physical Medicine and
Rehabilitation Diagnostic, Therapeutic and Basic Problem (pp 460-480), ed 2, New
York : Mosby Inc.
5. Sheean, Geoff. (2008).

Neurophysiology of Spasticity. In Barnes, Michael P.,

Johnson, Garth R., (Eds.), Upper Motor Neurone Syndrome and Spasticity (pp 9-63),
ed 2, USA : Cambridge University Press
6. M. Mardjono. (2000). Neurologi Klinis Dasar, Jakarta : Dian Rakyat.
33

7. A. Husni. (2196). Mekanisme Nyeri Tegang Otot. Dalam H. Soedomo Hadinoto dkk
(Eds.) Nyeri, Pengenalan dan Tatalaksana. Semarang : FK UNDIP.
8. Sherwood, Lauralee. (2004). Human Physiology From Cells to Systems, ed 5, USA :
Brooks Cole
9. Spasticity (Understanding Disease : Neurology), diunduh dari
http://www.youtube.com/watch?v=a49tIP5nqfo pada 23 Oktober 2012.
10. Longstaff, A. Neuroscience (pp 229-232), New York: BIOS Scientific Publishers
Limited.
11. Levine, Pete. (2009). Testing Spasticity : The Modified Ashworth Scale diunduh dari
http://physical-therapy.advanceweb.com pada 20 Oktober 2012.
12. Spasticity Examination Rating Scale and Office Data Form diunduh dari
www.mdvu.org/library/ratingscales/spasticity pada 25 Oktober 2012.
13. Singh P. et al.Intra-rater reliability of the modified Tardieu scale to quantify spasticity
in elbow flexors and ankle plantar flexors in adult stroke subjects. Ann Indian Acad
Neurol. 2011 Jan-Mar; 14(1): 2326
14. Tardieu Scale. Diunduh dari
http://www.mdvu.org/library/ratingscales/spasticity/Tardieu_Scale.pdf pada 25
Oktober 2012.
15. Ward, Anthony B., Javaid, Sajida. (2008).

Pharmacological Management of

Spasticity. In Barnes, Michael P., Johnson, Garth R., (Eds.), Upper Motor Neurone
Syndrome and Spasticity (pp 151-169), ed 2, USA : Cambridge University Press.
16. Sharkey, Paul C. (2205). Spasticity. In Halstead, Lauro S., Grabois, Martin., (Eds.),
Medical Rehabilitation (pp 307-317), USA : Raven Press.
17. Allen, Diane D., Widener, Gail L. (2009). Tone Abnormalities. In Cameron, Michelle
H. Physical Agents in Rehabilitation From Research to Practice (pp 77-109), ed 3,
USA : Saunders, Elsevier.
18. Charlton, Paul T., Ferguson, Duncan W.N. ((2008). Orthoses, Splints, and Casts. In
Barnes, Michael P., Johnson, Garth R., (Eds.), Upper Motor Neurone Syndrome and
Spasticity (pp 115-150), ed 2, USA : Cambridge University Press.
19. Cameron, Michelle H. (2009). Thermal Agents: Cold and Heat. In Physical Agents in
Rehabilitation From Research to Practice (pp 151-196), ed 3, USA : Saunders,
Elsevier.

34

20. Bakheit, A. Magid O. (2008). Chemical Neurolysis in the Management of Muscle


Spasticity. In Barnes, Michael P., Johnson, Garth R., (Eds.), Upper Motor Neurone
Syndrome and Spasticity (pp 170-184), ed 2, USA : Cambridge University Press
21. Francisco GE, McGuire JR. Poststroke Spasticity Management. Stroke. 2012; 43:00

DOI:10.1181/STROKEAHA.111.639831

35

Anda mungkin juga menyukai