Anda di halaman 1dari 17

Ensefalopati hepatik (EH)

1. Definisi
Ensefalopati hepatik (EH) merupakan sindrom neuropsikiatri yang dapat
terjadi pada penyakit hatiakut dan kronik berat dengan beragam manifestasi,
mulai dari ringan hingga berat, mencakup perubahan perilaku, gangguan
intelektual, serta penurunan kesadaran tanpa adanya kelainan pada otak yang
mendasarinya.15
2.

Klasifikasi
Berdasarkan perjalanan penyakitnya, EH dibedakan atas:7,9

1. EH akut (fulminant hepatic failure), akibat kerusakan parenkim hati yang


fulminan karena infeksi virus, obat-obatan, zat toksik dan perlemakan hati
akut pada kehamilan. Perjalanan penyakitnya eksplosif dan tanpa faktor
pencetus.
2. EH kronik (ensefalopati portosistemik), akibat peningkatan tekanan portal
dengan konsekuensi adanya pintasan portal ke sistemik, menyebabkan
berkurangnya fungsi proteksi dan bersihan dari hati terhadap zat toksik.
Gejalanya tidak progresif sehingga gejala neuropsikiatri terjadi secara
perlahan-lahan dan biasanya dicetuskan oleh faktor pencetus.
Klasifikasi lain membagi EH menjadi ensefalopati primer dan sekunder,
yaitu:10
1.

EH primer (endogen), disebabkan langsung oleh kerusakan hati yang difus


atau nekrosis hati yang meluas.

2.

EH sekunder (eksogen), disebabkan bukan karena kerusakan hati secara


langsung, tetapi disebabkan oleh sebab lain atau adanya faktor presipitasi
seperti perdarahan saluran cerna dan gangguan elektrolit.
1

Klasifikasi EH menurut The Working Party on Hepatic


Encephalopathy pada kongres dunia ke-11 dari Gastroenterology, Vienna
(1998) dapat dilihat pada gambar 1.6
3. Faktor Pencetus
Beberapa

faktor

pencetus

terjadinya

EH

dapat

dibagi

atas

kelompok:5,7,9,10

Kelompok produk nitrogen :


perdarahan gastrointestinal, hiperazoemia, konstipasi, diet tinggi protein,
h.pylori, uremia

Kelompok obat : opiat, benzodiazepin, diuretik, sedatif, fenol

Kelompok ketidakseimbangan metabolik :


hipokalemia, alkalosis, hipoksia, hiponatremia, hiperkalemia, dehidrasi

Lain-lain :
infeksi (peritonitis bakterial spontan, sepsis), operasi/pembedahan,
hepatopati, gagal ginjal, asam amino rantai pendek

Gambar 1. Klasifikasi ensefalopati hepatikum


Episodic HE (precipitated, spontaneous, recurrent); persistent HE
(mild,severe,,treatment dependent); minimal HE

4. Patogenesis
Patogenesis EH belum diketahui secara pasti. Sebagai konsep umum,
dikemukakan EH terjadi akibat akumulasi sejumlah zat neuroaktif dan
kemampuan komagenik dari zat-zat tersebut dalam sirkulasi sistemik. 5 Saat
ini telah dipastikan bahwa terdapat perubahan multi organ perifer seiring
perubahan komunikasi intrasel otak yang dihasilkan oleh perubahan dalam
astrosit. Perubahan perifer, diantaranya terdapat pada:5

a. Usus halus
Terdapat kontroversi
menghasilkan

tentang

peranan

Helycobacter

pylori,

yang

amonium di lambung dalam patogenesis EH. Sebagian

penelitian memperlihatkan prevalensi tinggi infeksi pada individu dengan


hepatitis alkoholik yang mengalami EH sebagaimana individu dengan
serosis dan ensefalopati kronik. Tetapi eradikasi H.pylori ini tidak
mempengaruhi kadar amonium pada kelompok pasien ini dan berperan
pada perkembangan EH.
b. Komunikasi sistemik portal
Diperlihatkan bahwa sebagian kelainan kongenital yang menyebabkan
shunt portal-sistemik pada anak dapat muncul sebagai ensefalopati hepatik
episodik, bahkan tanpa kelainan hepar sebelumnya. Pasien serosis dengan
shunt portal-sistemik mudah berkembang menjadi EH dibandingkan
pasien tanpa shunt portal-sistemik
c. Gagal hepar
Terdapat berbagai penelitian yang melaporkan bahwa gagal hepar
merupakan penyebab utama EH, dimana terjadi penurunan kapasitas
fungsi hepar yang berguna untuk detoksifikasi amonium, sehingga
meningkatkan kadar plasma amoniak dan memberikan gejala klinis.
d. Otot
Penurunan masa otot pasien serosis dapat mencetuskan terjadinya EH.
Atrofi otot tidak hanya disebabkan kelainan hepar dan status nutrisi
pasien, tetapi juga akibat peningkatan sebagian sitokin seperti TNF- yang
akan mengaktifkan faktor transkripsi seperti NK-a yang mengakibatkan
penurunan sintesis miosin. Atrofi otot ini berhubungan dengan rendahnya
kapasitas metabolik untuk mendetoksifikasi amonium dan glutamin, dan
menyebabkan perkembangan kearah EH.

Terjadinya EH didasari pada akumulasi berbagai toksin dalam


peredaran darah yang melewati sawar darah otak.7 Amonia merupakan
molekul toksik terhadap sel yang diyakini berperan penting dalam
terjadinya EH karena kadarnya meningkat pada pasien sirosis hati.
Beberapa studi lain juga mengemukakan faktor pencetus lain penyebab EH
seperti pada gambar 1 berikut :

Perubahan di otak, diantaranya :5


a. Osmotik
Sebagian penelitian memperlihatkan adanya perubahan osmotik pada
pasien dengan edem serebri dan insufisiensi hepar. Otak yang edem, akan
meningkatkan tekanan intraserebral dan menyebabkan herniasi yang dapat
menyebabkan kematian. Glutamin dihasilkan dari detoksifikasi amonium
dalam astrosit, sebagai osmol organik yang dapat menyebabkan edem
dalam astrosit. Diamati bahwa saluran air aquaphorin-4 mengendalikan air
ke dalam sel. Terdapat juga bukti bahwa otak beradaptasi terhadap
perubahan selama kelainan hepar kronik. Determinasi langsung dan tak
langsung osmol organik dengan memakai spektroskopi pada pencitraan
resonansi memperlihatkan kehilangan myo-inositol, taurin, dan gliserilfosfokolin, yang osmol-nya dipakai oleh astrosit untuk pengaturan

osmolalitas intrasel. Perubahan ini membuat otak lebih rentan terhadap


perubahan osmotik kedua.
b. Komunikasi aksonal
Terdapat bukti, pentingnya astrosit dalam mempertahankan fungsi neuron
normal. Pada EH tidak ada perubahan morfologi di neuron. Sedangkan, sel
Alzheimer tipe II (astrosit) memperlihatkan kelainan : dimana terjadi
penurunan aktifitas transporter (glutamat), meningkatkan ekspresi reseptor
benzodiazepin dan meningkatkan aktifitas monoamin oksidase (MAO).
Sebagai akibatnya terjadi perubahan dalam komunikasi metabolik antara
astrosit dan sel lain. Sebagai contoh, astrosit menghasilkan neurosteroid
yang mengaktifkan reseptor GABA dan reseptor benzodiazepin endogen.
c. Komunikasi endotel dengan astrosit : aliran darah otak dan EH
Pasien dengan EH memiliki fluktuasi dalam perfusi serebral. Sebagian
hewan eksperimental memperlihatkan peningkatan perfusi serebral pada
keadaan tingginya kadar amonium. Hal ini diaktifkan oleh sinyal
intraserebral yang dibangkitkan sesudah sintesis glutamin dalam astrosit.
Hipotermia dan edem serebri dapat juga memiliki peranan penting dalam
rendahnya perfusi serebral yang diperlihatkan pada hewan coba
d. Hipotesis lain : 2,5,7,9
(1) Amonium
Sesudah detoksifikasi amonium oleh astrosit sebagian perubahan
neurokimia terjadi. Terdapat berbagai faktor yang berinteraksi dengan
amonium,

menyebabkan

perubahan

dalam

astrosit

(hiponatremia,

peningkatan sitokin, perubahan dalam ligand astrosit), yang menghasilkan


substrat anatomi dan sinergisme neurokimia yang dapat meningkatkan
perkembagan EH. Tetapi, tingginya kadar amonium tidak berhubungan

dengan beratnya ensefalopati. Di otak, amoniak dimetabolisme oleh


astrosit menjadi glutamin. Glutamin kemudian disimpan dalam sel,
menyebabkan

pembengkakan sel. Amoniak secara in vitro dapat

mengubah loncatan perpindahan pada membran sel saraf dan akan


mengganggu keseimbangan potensial aksi sel saraf. Terjadi peningkatan
permeabilitas

sawar

darah

otak

tanpa

rusaknya

tight

junction,

mengakibatkan edema serebri yang bisa berlanjut ke peningkatan TIK.


(2) Toksisitas sinergisme
Menurut hipotesis ini terdapat neurotoksin yang bersinergi dengan
amoniak seperti merkaptan, asam lemak rantai pendek (oktanoid), fenol
dan lain-lain. Merkaptan yang dihasilkan dari metionin oleh bakteri usus,
akan menghambat pompa Na-K ATPase. Fenol sebagai hasil metabolisme
tirosin dan fenilamin dapat menekan aktivitas otak dan enzim monoamin
oksidase, laktat-dehidrogenase, suksinat dehidrogenase dan prolin oksidase
yang berpotensiasi dengan zat toksik lain seperti amoniak, mengakibatkan
terjadinya koma hepatikum.
(3) Neurotransmiter palsu
Penurunan asam amino rantai cabang dapat merubah masuknya asam
amino ke dalam otak, yang menjadi prekursor neurotransmiter palsu yang
merubah sintesis glutamin, seperti oktapamin dan feletanolamin yang lebih
lemah dari dopamin dan norepinefrin .

Pengalaman klinis dengan

menambahkan asam amino merupakan terapi

yang baik karena asam

amino memiliki efek langsung ke otot, meningkatkan detoksifikasi

amonium. Jalur neurotransmisi lain terlibat dalam perkembangan EH


adalah serotonin (5-HT), opiat dan katekolamin. Faktor tambahan lain
yang dapat menyebabkan episode EH rekuren adalah status nutrisi
khususnya pada penderita alkoholik yang mengalami defisiensi vitamin
dan mikronutrien, seperti kekurangan Zinc yang merupakan kofaktor
dalam siklus urea. Isu lain adalah kolonisasi H.pylori di lambung yang
menghasilkan urease.
(4) Benzodiazepin endogen
Amoniak yang meningkat akan menghambat aktivitas otak menyebabkan
meningkatnya efek GABA yang menghambat transmisi impuls disertai
dengan adanya suatu substansi yang menyerupai benzodiazepin.
5. Gambaran klinis
Dari perspektif neurologi, terdapat beberapa gejala dan tanda EH,
yaitu:2,9,11
1. Perubahan status mental.
Pasien memperlihatkan perubahan perilaku ringan (stadium I) yang
kadang teramati oleh anggota keluarga. Misalnya pasien kesulitan dalam
melakukan perhitungan matematis yang sederhana, perubahan siklus
bangun-tidur yang ditandai dengan kesulitan memulai tidur di malam hari
dan mengantuk di siang hari. Bila ensefalopati berlanjut, pasien akan
terlihat letargi dan cenderung somnolen (stadium II). Pada stadium III,
kesadaran pasien stupor

dan menjadi koma pada stadium IV dengan

derajat respon yang bervariasi terhadap rangsangan nyeri. Klasifikasi ini


dikenal dengan West Haven Classification.
2. Kelainan pada neuromuskular
a) Asterixis
Asteriksis adalah tanda klasik dari EH, meskipun bisa juga terlihat
pada ensefalopati metabolik lainnya (seperti pada uremia, retensi CO2
dan hipomagnesia). Pada mulanya

digambarkan sebagai gerakan

palmar flapping yang terjadi tiba-tiba saat tangan

dikembangkan

pada posisi dorsofleksi pada pergelangan tangan. Asterixis juga sering


terjadi pada otot-otot kaki, lidah, dagu. Patogenesis asterixis ini belum
diketahui secara

pasti, diduga disebabkan oleh gangguan fungsi

ganglia basal dan talamus.


b) Gangguan traktus kortikospinal
Pada pasien EH stadium yang berat, dapat dijumpai reflek babinski
bilateral dan klonus.
c) Edema serebri
Seperti pada kelainan neurologi lainnya, edema serebri dapat tidak
terdeteksi hingga

terjadi suatu peningkatan TIK yang jelas. Oleh

karena itu penting untuk memantau

reflek

pupil

dan

reflek

okulovestibuler pada gagal hati akut. Pada sirosis hepatis, edema


serebri ringan tidak terdiagnosis secara klinis.
d) Gejala ekstrapiramidal
Pada pasien dengan penyakit hati tahap lanjut, dapat mengalami
hipokinesia, rigiditas dan tremor postural seperti pada penyakit
Parkinson.
e) Degenerasi hepatoserebral.
Pada pasien dengan pintasan portosistemik yang berlangsung lama,
dapat mengalami

degenerasi

hepatoserebral

berupa

acquired

hepatolenticular degeneration. Gejala

ekstrapiramidal dan serebelar

yang terutama terlihat, bersamaan dengan gejala paraparesis


perubahan mood dan demensia.
f) Gangguan respirasi.
Merkaptan, suatu produk

dari

metabolisme

spastis,

bakteri

usus

dihubungkan dengan bau nafas yang busuk (fetor hepatikus). Bisa


juga dijumpai hiperventilasi akibat stimulasi pusat

pernafasan

yang diinduksi oleh glutamat.


Selain klasifikasi menurut West Haven Classification diatas,
klasifikasi yang dibuat oleh Trey et al (1966) juga sering digunakan.
Trey et al memasukan hasil rekaman elektroensefalografi (EEG)
sebagai salah satu kriteria. Klasifikasi tersebut adalah :12
1.

Stadium 1 (prodromal)
a. Terjadi perubahan mental, berupa (1) kepandaian menurun, (2) tidur
terganggu atau tidak teratur, (3) euforia dan kadangkala depresi, (4)
kebingungan yang ringan dan berfluktuasi, (5) bereaksi lambat, (6) bicara
tidak jelas, dan (7) suara monoton.
b. Tremor ada, tapi sedikit
c. Tidak ada perubahan pada rekaman EEG

2.

Stadium 2 (impending koma atau prekoma)


a. Perubahan mental sama dengan stadium 1, tapi lebih nyata
b. Terdapat flapping tremor. Kadang dapat terjadi tremor pada kelopak mata
yang tertutup, pada bibir yang dikatupkan dan pada lidah yang dijulurkan.
c. Pada EEG terlihat kelainan berupa perlambatan gelombang otak

10

3.

Stadium 3 (stupor)
a. Mulai tampak seperti tidur, tetapi kadang masih ada reaksi. Berbicara
inkoheren dan kekacauan pikiran makin nyata.
b. Flapping tremor biasanya ada bila pasien masih bisa kooperatif
c. EEG abnormal

4.

Stadium 4 (koma dalam)


a. Terlihat seperti orang tidur yang dalam dan nyenyak. Bisa atau tidak
bereaksi terhadap rangsangan
b. Tremor tidak ada
c. EEG abnormal
5. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gambaran klinis dan pemeriksaan
penunjang:5,12,13
1.

Tentukan stadium dari EH, yang merupakan kombinasi dari penilaian


perubahan

derajat

kesadaran,

perubahan

perilaku

dan

gangguan

neuromuskular
2.

Pemeriksaan kadar amoniak darah. Ini penting diperiksa pada pasien


dengan gagal hati akut. Kadar > 200g/dL mengindikasikan risiko tinggi
terjadinya herniasi serebral

3.

Pemeriksaan/tes neuropsikologi. Pasien sirosis hati sering memperlihatkan


gangguan kognitif tanpa disertai defisit neurologis yang jelas. Skor
ensefalopati hepatik psikometri (PHES) seperti Number Connection test A
dan B, line drawing, digital symbols dan points following dapat digunakan

11

untuk mengidentifikasi gangguan tersebut, terutama fokus pada waktu


untuk bereaksi dan ketepatan, konstruksi visual, konsentrasi, atensi dan
memori.
4.

Pemeriksaan neurofisiologi (EEG). Pada EEG akan terlihat perlambatan


yang progresif berupa aktivitas lambat simetris yang bermula di lead
frontal dan menyebar ke posterior sesuai dengan makin dalamnya
penurunan kesadaran. Perubahan ini khas namun tidak spesifik, dapat
membantu dalam mengidentifikasi kelainan difus namun tidak cukup
dalam mendiagnosis gagal hati

5.

Pemeriksaan imajing otak. CT scan atau MRI kepala hanya membantu


dalam menyingkirkan lesi struktural. Namun pada EH stadium lanjut,
pemeriksaan ini penting untuk mengetahui adanya edema serebri.

12

Kriteria West Haven membagi EH berdasarkan derajat gejalanya (Tabel 1).


Stadium EH dibagi menjadigrade 0 hingga 4, dengan derajat 0 dan 1 masuk
dalam EH covert serta derajat 2-4 masuk dalam EH overt, seperti pada tabel
1.

6.

Penatalaksanaan
Upaya yang dilakukan pada penatalaksanaan EH adalah: 7,9

1.

Mengobati penyakit dasar

2.

Mengidentifikasi dan menghilangkan faktor pencetus

3.

Mengurangi dan mencegah pembentukan influks toksin nitrogen ke


jaringan otak dengan cara mengurangi asupan protein, pemberian asam
amino rantai cabang, pemberian laktulosa dan antibiotika dan pembersihan
saluran cerna bagian bawah

4.

Upaya suportif jka ditemukan komplikasi seperti hipoglikemia, perdarahan


saluran cerna dan gangguan keseimbangan elektrolit

5.

Memperbaiki eliminasi amoniak. Zink adalah kofaktor semua reaksi pada


siklus urea. Pasien dengan sirosis dan defisiensi zink mengalami perbaikan
dalam mensintesis urea setelah suplementasi zink. Pemberian suplemen
13

jangka panjang sangat bermanfaat pada pasien dengan ensefalopati kronik


ringan
6.

Memperbaiki abnormalitas dari neurotransmiter.

7.

Tatalaksana Farmakologis
Penurunan kadar amonia merupakan salah satu strategi yang
diterapkan dalam tatalaksana EH. Beberapa modalitas untuk menurunkan
kadar amonia dilakukan dengan penggunaan laktulosa, antibiotik, LOrnithine L-Aspartate, probiotik, dan berbagai terapi potensial lainnya.

8. Prognosis
Prognosis tergantung pada keparahan EH/gagal hati dan lamanya /waktu.
Pasien dengan gagal hati berat 30% meninggal karena EH. Ensefalopati
hepatikum akut dengan koma atau gagal hati fulminan, 80% akan berakhir
dengan kematian.14

14

DAFTAR PUSTAKA
1.

Wright WL, Encephalopathy. In : Handbook of neurocritical care. 10 th Ed.

2.

New Jersey. Humana Press, 2004 : 19-30


Posner JB, Saper CB, Schiff ND, Plum F. Multifocal, diffuse, and metabolic
brain disease causing delirium, stupor, or coma. In: Plum and Posner
Diagnosis of Stupor and Coma. 4th ed. Oxford: Oxford University Press,

3.

2007: 224-240
Dhiman RK, Saraswat VA, Sharma BK, Sarin SK, Chawla YK, Butterwoth E
et al. 2010. Minimal hepatic encephalopathy: consensus statement of a
working party of the Indian National Association for Study of the Liver.

4.

Journal of Gastroenterology and Hepatology 25 (2010) 10291041.


Tarigan P. Ensefalopati Hepatik. Dalam: Sulaiman A, Akbar N, Lesmana LA,
Noer S editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Hati. Edisi ke-1. Jakarta: Jayabadi,

5.

2007: 407-419
Lizardi-Cervera J, Almeda P, Guevara L, Uribe M. hepatic encephalopathy : a

6.

review in Annals of Hepatology 2003; 2(3): July-September: 122-130


Prakash R, Mullen KD. 2010 Mechanisms, diagnosis and management of

7.

hepatic encephalopathy. Nat. Rev. Gastroenterol. Hepatol. 7, 515525


Zubir N. Koma Hepatikum. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi A,
Simadibrata M, Setiadi S editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi ke-4.
Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI, 2006:

8.

499-451
Lemberg A, Fernandez MA. 2009. Hepatic encephalopathy, ammonia,
glutamate, glutamine and oxidative stress. Annals of Hepatology; 8 (2) :
April-June: 95-102

15

9.

Blei AT, Weissenborn K. Hepatic Rncephalophaty. In: Billler J et al eds. The


Interface of Neurology & Internal Medicine. Philadelphia: Wolter Kluwer

Lippicont Williams and Wilkins, 2008: 281-289


10. Komolmit P, Davies M. Hepatic Encephalopathy.In: Management of severe
liver disease. Leeds: The Medicine Publishing Company Ltd, 1999: 77-79
11. Ferenci P, Lockwood A, Mullen K, Tarter R, Weissenborn K, Blei AT. 2002.
Hepatic

encephalopathy-definition,

nomenclature,

diagnosis,

and

quantification : final report of the working party at the 11 th world congresses


of gastroenterology, Vienna, 1998. Hepatology : 716-722
12. Hadi S. Koma Hepatikum.1995. Dalam : Gastroenterologi. Edisi ke-6.
Bandung : Penerbit Alumni : 447-460
13. Nirdjanah S. Sirosis Hati. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi A,
Simadibrata M, Setiadi S editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi ke-4.
Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI, 2006:
443-4446
14. Irawan C, Abdullah M, Tarigan TJE, Marbun MB, Rinaldi I, Chen K et al.
Ensefalopati Hepatik. Dalam: Irawan C, Tarigan THE, Marbun MB editor.
Panduan tatalaksana kegawatdaruratan di bidang ilmu penyakit dalam. Edisi
ke-1. Jakarta: Internal Publishing Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam,
2009: 44-47

16

17

Anda mungkin juga menyukai