Anda di halaman 1dari 16

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Anestesi
1.1 Defenisi
Anestesi (pembiusan) berasal dari bahasa Yunani. An-tidak, tanpa dan
aesthesos, persepsi, kemampuan untuk merasa. Secara umum berarti suatu
tindakan menghilangkan rasa sakit ketika melakukan pembedahan dan berbagai
prosedur lainnya yang menimbulkan rasa sakit pada tubuh (Wikipedia, 2008).
Istilah Anestesia digunakan pertama kali oleh Oliver Wendell Holmes pada tahun
1948 yang menggambarkan keadaan tidak sadar yang bersifat sementara, karena
anestesi adalah pemberian obat dengan tujuan untuk menghilangkan nyeri
pembedahan. Sedangkan Analgesia adalah tindakan pemberian obat untuk
menghilangkan nyeri tanpa menghilangkan kesadaran pasien (Latief, dkk, 2001).
1.2 Sejarah
Dahulu sebelum anestesi dikenal, operasi harus dijalankan secepat mungkin
untuk meminimalkan rasa sakit (Ismunandar, 2006). Rekor dunia untuk
amputasi kaki dicapai dalam waktu 15 detik yang dilakukan oleh
Dominique Larrey, ketua tim dokter pribadi Napoleon. Tahun 1800, Davy
seorang ahli kimia yang sangat terkenal telah mempublikasikan bahwa
zat kimia terterntu seperti oksida nitrogen dapat mempunyai efek bius.
Walaupun dokter yang pertama kali menggunakan anestesi dalam
praktiknya adalah Crawford Long, di Amerika Serikat, karena ia tidak
pernah mempublikasikan, maka dalam sejarah Amerika Serikat
menyebutkan bahwa penemu anestesi atau bius adalah William Morton
karena Morton secara demonstratif telah menunjukkan cabut gigi tanpa
rasa sakit di depan umum pada tahun 1846.

Pada tahun 1848, di Inggris tercatat JY Simpson dan John Snow yang
banyak mengembangkan anestesi (Ellis, 1994). Eter waktu itu banyak digunakan
untuk membantu persalinan di Inggris. Sambil berpraktik sebagai dokter, Simpson
dan asistennya banyak bereksperimen dengan bahanbahan kimia untuk mencari
anestesi yang efektif. Kadang mereka bereksperimen dengan diri mereka sendiri.
Di dunia waktu itu, dan terutama di Inggris, banyak orang menganggap rasa sakit
adalah bagian kodrat dari Tuhan, dan menggunakan anestesi berarti melawan
kodrat itu. Namun, oposisi penggunaan anestesi berakhir setelah Ratu Victoria
menggunakannya saat melahirkan Pangeran Leopold tahun 1853. Anestesi
terhadap Ratu Victoria tersebut dilakukan oleh John Snow. Tindakan Ratu Victoria
tersebut ternyata bisa mengubah pandangan umum tentang anestesi. Sehingga
penggunaan anestesi pada prosedur bedah semakin lama semakin diperhitungkan
(Ismunandar, 2006).

1.3 Klasifikasi
Obat bius memang diciptakan dalam berbagai sediaan dan cara kerja.
Namun, secara umum obat bius atau istilah medisnya anestesi ini dibedakan
menjadi tiga golongan yaitu anestesi lokal, regional, dan umum (Joomla, 2008).
1.3.1 Anestesi Lokal

Anestesi lokal adalah tindakan pemberian obat yang mampu


menghambat konduksi saraf (terutama nyeri) secara reversibel pada bagian tubuh
yang spesifik (Biworo, 2008). Pada anestesi umum, rasa nyeri hilang bersamaan
dengan hilangnya kesadaran penderita. Sedangkan pada anestesi lokal (sering juga
diistilahkan dengan analgesia lokal), kesadaran penderita tetap utuh dan rasa nyeri
yang hilang bersifat setempat (lokal) (Bachsinar, 1992).
Pembiusan atau anestesi lokal biasa dimanfaatkan untuk banyak
hal. Misalnya, sulam bibir, sulam alis, dan liposuction, kegiatan sosial seperti

sirkumsisi (sunatan), mencabut gigi berlubang, hingga merawat luka terbuka yang
disertai tindakan penjahitan (Joomla, 2008).
Anestesi lokal bersifat ringan dan biasanya digunakan untuk tindakan yang hanya
perlu waktu singkat. Oleh karena efek mati rasa yang didapat hanya mampu
dipertahankan selama kurun waktu sekitar 30 menit seusai injeksi, bila lebih dari
itu, maka akan diperlukan injeksi tambahan untuk melanjutkan tindakan tanpa
rasa nyeri (Joomla, 2008).

Obat-obat Anestesi Lokal

Anestetika lokal atau zat-zat penghalang rasa setempat adalah obat


yang pada penggunaan lokal merintangi secara reversibel penerusan impulsimpuls saraf ke SSP (Tjay, 2002). Luasnya daerah anestesi tergantung tempat
pemberian larutan anestesi, volume yang diberikan, kadar zat dan daya tembusnya
(Siahaan, 2000).
Obat bius lokal mencegah pembentukan dan konduksi impuls saraf.
Tempat kerjanya terutama di selaput lendir. Di samping itu, anestesi lokal
menggangu fungsi semua organ dimana terjadi konduksi dari beberapa impuls.
Artinya, anestesi lokal mempunyai efek yang penting terhadap susunan saraf
pusat, ganglia otonom, cabangcabang neuromuskular dan semua jaringan otot
(Siahaan, 2000).
Ada beberapa kriteria yang harus dipenuhi untuk suatu jenis obat
yang digunakan sebagai anestetika lokal, antara lain: tidak merangsang jaringan,
tidak mengakibatkan kerusakan permanen terhadap susunan saraf, toksisitas
sistemik yang rendah, efektif dengan jalan injeksi atau penggunaan setempat pada
selaput lendir, mula kerjanya sesingkat mungkin dan bertahan untuk jangka waktu
yang cukup lama, dapat larut dalam air dan menghasilkan larutan yang stabil, juga
tahan terhadap pemanasan/sterilisasi (Tjay, 2002).

Biworo (2008) juga menyatakan bahwa anestetika yang ideal adalah anestetika
yang memiliki sifat antara lain tidak iritatif/merusak jaringan secara permanen,
onset cepat, durasi cukup lama, larut dalam air, stabil dalam larutan, dan dapat
disterilkan tanpa mengalami perubahan.
Struktur dasar anestetika lokal pada umumnya terdiri dari suatu
gugus-amino hidrofil (sekunder atau tersier) yang dihubungkan oleh suatu ikatan
ester (alkohol) atau amida dengan suatu gugus aromatis lipofil (Tjay, 2002).
Adanya ikatan ester sangat menentukan sifat anestesi lokal sebab pada degradasi
dan inaktivasi di dalam tubuh, gugus tersebut akan dihidrolisis. Karena itu
golongan ester umumnya kurang stabil dan mudah mengalami metabolisme
dibandingkan golongan amida. Contohnya: Tetrakin, Benzokain, Kokain, dan
Prokain. Senyawa amida contohnya adalah Dibukain, Lidokain, Mepivakain dan
Prilokain. Senyawa lainnya contohnya fenol, Benzilalkohol, Etilalkohol,
Etilklorida, dan Cryofluoran ( Siahaan, 2000).
Cara pemberian anestesi lokal adalah dengan menginjeksikan obat-obatan anestesi
tertentu pada area yang akan dilakukan sayatan atau jahitan. Obat-obatan yang
diinjeksikan ini lalu bekerja memblokade saraf-saraf tepi yang ada di area sekitar
injeksi sehingga tidak mengirimkan impuls nyeri ke otak (Joomla, 2008).

11 Anestesi Regional
Anestesi regional biasanya dimanfaatkan untuk kasus bedah yang
pasiennya perlu dalam kondisi sadar untuk meminimalisasi efek samping operasi
yang lebih besar, bila pasien tak sadar. Misalnya, pada persalinan Caesar, operasi
usus buntu, operasi pada lengan dan tungkai. Caranya dengan menginjeksikan
obat-obatan bius pada bagian utama pengantar register rasa nyeri ke otak yaitu
saraf utama yang ada di dalam tulang belakang. Sehingga, obat anestesi mampu
menghentikan impuls saraf di area itu.
Sensasi nyeri yang ditimbulkan organ-organ melalui sistem saraf
tadi lalu terhambat dan tak dapat diregister sebagai sensasi nyeri di otak. Dan sifat
anestesi atau efek mati rasa akan lebih luas dan lama dibanding anestesi lokal.

Pada kasus bedah, bisa membuat mati rasa dari perut ke bawah. Namun, oleh
karena tidak mempengaruhi hingga ke susunan saraf pusat atau otak, maka pasien
yang sudah di anestesi regional masih bisa sadar dan mampu berkomunikasi,
walaupun tidak merasakan nyeri di daerah yang sedang dioperasi (Joomla, 2008).

Obat-obat Anestesi Regional


Metode pemberian Anestesi regional dibagi menjadi dua, yaitu
secara blok sentral dan blok perifer (Latief, 2001).
1. Blok Sentral (Blok Neuroaksial).
Blok sentral dibagi menjadi tiga bagian yaitu anestesi Spinal,
Epidural dan Kaudal (Latief, 2001).
a. Anestesi Spinal

Anestesi spinal merupakan tindakan pemberian anestesi


regional ke dalam ruang subaraknoid. Hal-hal yang mempengaruhi anestesi spinal
antara lain jenis obat, dosis obat yang digunakan, efek vasokonstriksi, berat jenis
obat, posisi tubuh, tekanan intra abdomen, lengkung tulang belakang, usia pasien,
obesitas, kehamilan, dan penyebaran obat (Abidin, 2008).
b. Anestesi Epidural

Anestesi epidural ialah blokade saraf dengan menempatkan


obat pada ruang epidural (peridural, ekstradural) di dalam kanalis vertebralis pada
ketinggian tertentu, sehingga daerah setinggi pernapasan yang bersangkutan dan
di bawahnya teranestesi sesuai dengan teori dermatom kulit (Bachsinar, 1992).
Ruang epidural berada di antara durameter dan ligamentun flavum. Bagian atas
berbatasan dengan foramen magnum dan dibawah dengan selaput sakrogliseal.
Anestesi epidural sering dikerjakan untuk pembedahan dan penanggulangan nyeri

pasca bedah, tatalaksana nyeri saat persalinan, penurunan tekanan darah saat
pembedahan supaya tidak banyak perdarahan, dan tambahan pada anestesia umum
ringan karena penyakit tertentu pasien (Latief, 2001).
c. Anestesi Kaudal

Anestesi kaudal sebenarnya sama dengan anestesi epidural,


karena ruang kaudal adalah kepanjangan dari ruang epidural dan obat ditempatkan
di ruang kaudal melalui hiatus sakralis. Hiatus sakralis ditutupi oleh ligamentum
sakrogsigeal tanpa tulang yang analog dengan ligamentum supraspinosum dan
ligamentum interspinosum. Ruang kaudal berisi saraf sacral, pleksus venosus,
felum terminale dan kantong dura (Latief, 2001).
2. Blok Perifer (Blok Saraf)

Anestesi regional dapat juga dilakukan dengan cara blok perifer.


Salah satu teknik yang dapat digunakan adalah anestesi regional intravena.
Anestesi regional intravena dapat dikerjakan untuk bedah singkat sekitar 45
menit. Melalui cara ini saraf yang dituju langsung saraf bagian proksimal.
Sehingga daerah yang dipersarafi akan teranestesi misalnya pada tindakan operasi
di lengan bawah memblok saraf brakialis. Untuk melakukan anetesi blok perifer
harus dipahami anatomi dan daerah persarafan yang bersangkutan (Bachsinar,
1992).

1.3.3 Anestesi Umum

Anestesi umum (general anestesi) atau bius total disebut juga


dengan nama narkose umum (NU). Anestesi umum adalah meniadakan nyeri
secara sentral disertai hilangnya kesadaran yang bersifat reversibel (Miharja,
2009). Anestesi umum biasanya dimanfaatkan untuk tindakan operasi besar yang
memerlukan ketenangan pasien dan waktu pengerjaan lebih panjang, misalnya

pada kasus bedah jantung, pengangkatan batu empedu, bedah rekonstruksi tulang,
dan lain-lain (Joomla, 2008).
Cara kerja anestesi umum selain menghilangkan rasa nyeri,
menghilangkan kesadaran, dan membuat amnesia, juga merelaksasi seluruh otot.
Maka, selama penggunaan anestesi juga diperlukan alat bantu nafas, selain deteksi
jantung untuk meminimalisasi kegagalan organ vital melakukan fungsinya selama
operasi dilakukan (Joomla, 2008).

Obat-obat Anestesi Umum


Agar anestesi umum dapat berjalan dengan sebaik mungkin,
pertimbangan utamanya adalah memilih anestetika ideal. Pemilihan ini didasarkan
pada beberapa pertimbangan yaitu keadaan penderita, sifat anestetika, jenis
operasi yang dilakukan, dan peralatan serta obat yang tersedia (Admin,2008).
Sifat anestetika yang ideal antara lain mudah didapat, murah, tidak
menimbulkan efek samping terhadap organ vital seperti saluran pernapasan atau
jantung, tidak mudah terbakar, stabil, cepat dieliminasi, menghasilkan relaksasi
otot yang cukup baik, kesadaran cepat kembali, tanpa efek yang tidak diinginkan
(Gan, 1987).
Obat anestesi umum yang ideal menurut Norsworhy (1993)
mempunyai sifat-sifat antara lain : pada dosis yang aman mempunyai daya
analgesik relaksasi otot yang cukup, cara pemberian mudah, mula kerja obat yang
cepat dan tidak mempunyai efek samping yang merugikan. Selain itu obat tersebut
harus tidak toksik, mudah dinetralkan, mempunyai batas keamanan yang luas,
tidak dipengaruhi oleh variasi umur dan kondisi pasien.
Obat-obatan anestesi yang umum dipakai pada pembiusan total
adalah N2O, halotan, enfluran, isofluran, sevofluran, dan desfluran. Obat anestesi
umum yang ideal haruslah tidak mudah terbakar, tidak meledak, larut dalam
lemak, larut dalam darah, tidak meracuni end-organ (jantung, hati, ginjal), efek

samping minimal, tidak dimetabolisasi oleh tubuh, dan tidak mengiritasi pasien
(Kumala, 2008).
Pemilihan Teknik Anestesi pada Pasien
Pemilihan teknik anestesi adalah suatu hal yang kompleks, memerlukan
kesepakatan dan pengetahuan yang dalam baik antara pasien dan faktorfaktor
pembedahan. Dalam beberapa kelompok populasi pasien, pembiusan regional
ternyata lebih baik daripada pembiusan total. Blokade neuraksial bisa mengurangi
resiko trombosis vena, emboli paru, transfusi, pneumonia, tekanan pernapasan,
infark miokardial, dan gagal ginjal (Admin, 2007).
Beberapa faktor yang mempengaruhi pemilihan anestesi antara lain:
keterampilan dan pengalaman ahli anestesi dan ahli bedah, tersedianya obat dan
peralatan, kondisi klinis pasien, waktu yang tersedia, tindakan gawat darurat atau
efektif, keadaan lambung, dan pilihan pasien. Untuk operasi kecil (misalnya
menjahit luka atau manipulasi fraktur lengan), jika lambung penuh, maka pilihan
yang terbaik adalah anestesi regional. Untuk operasi besar gawat darurat, anestesi
regional atau umum sangat kecil perbedaannya dalam hal keamanannya
Komplikasi Anestesi

Komplikasi yang terjadi pada periode perioperatif dapat dicetuskan


oleh tindakan anestesi sendiri dan atau kondisi pasien (Thaib, 1989). Komplikasi
segera dapat timbul pada waktu pembedahan atau kemudian segera ataupun
belakangan setelah pembedahan.
Komplikasi anestesi dapat berakhir dengan kematian atau tidak
diduga walaupun tindakan anestesi sudah dilaksanakan dengan baik (Thaib,
1989). Menurut Ellis & Campbell (1986), secara umum komplikasi anestesi yang
sering dijumpai antara lain:
1. Kerusakan Fisik

Kerusakan fisik yang dapat terjadi sebagai komplikasi anestesi


antara lain: pembuluh darah, intubasi, dan saraf superfisialis.
a. Pembuluh Darah

Kesalahan teknik dalam venapunksi dapat menyebabkan


memar, eksavasasi obat yang dapat menyebabkan ulserasi kulit di atasnya, infeksi
lokal, tromboflebitis serta kerusakan struktur berdekatan, terutama arteri dan saraf
(Ellis & Campbell, 1986). Beberapa obat yang mencakup Benzodiazepin dan
Propanidid menyebabkan tromboflebitis. Kanulasi vena yang lama lebih mungkin
menyebabkan tromboflebitis dan infeksi.

b. Intubasi

Kerusakan sering terjadi pada bibir dan gusi akibat intubasi


trachea oleh orang yang tidak berpengalaman. Kerusakan gigi geligi akan terjadi
lebih serius jika disertai kemungkinan inhalasi fragmen yang diikuti oleh abses
paru. Jika dibiarkan tidak terdeteksi, intubasi nasotrachea dapat menyebabkan
epistaksis yang tak menyenangkan dan kadangkadang sonde dapat membentuk
saluran di bawah mukosa hidung, intubasi hidung sering memfraktura concha
(Ellis & Campbell, 1986). Kerusakan pada struktur tonsila dan larynx (terutama
pita suara) untungnya sering terjadi, tetapi penanganan mulut posterior struktur
yang kasar menyokong sakit tenggorokan pasca bedah.
c. Saraf Superfisialis

Tekanan langsung terus menerus akan merusak saraf, seperti


poplitea lateralis sewaktu mengelilingi caput fibulae, yang menyebabkan foot
drop, fasialis sewaktu ia menyilang mandibula, yang menyebabkan paralisis otot
wajah, ulnaris sewaktu ia menyilang epicondylus medialis, yang menyebabkan
paralisis dan kehilangan sensasi dalam tangan serta nervus radialis sewaktu ia

mengelilingi humerus di posterior, yang menyebabkan wrist drop. Pleksus


brachialis dapat dirusak dengan meregangnya di atas caput humeri, jika lengan
diabduksi atau rotasi eksternal terlalu jauh (Ellis & Campbell, 1986).
2. Pernapasan
komplikasi pernapasan yang mungkin timbul termasuk hipoksemia
yang

tidak

terdeteksi,

atelektasis,

bronkhitis,

bronkhopneumonia, pneumonia lobaris, kongesti pulmonal


hipostatik, plurisi, dan superinfeksi (Brunner & Suddarth,
2001).
Yang paling ditakuti oleh para pekerja anestesi adalah
obstruksi saluran pernapasan akut selama atau segera setelah induksi anestesi.
Spasme Larynx dan penahanan napas dapat sulit dibedakan serta dapat timbul
sebagai respon terhadap anestesi yang ringan, terutama jika saluran pernapasan
dirangsang oleh uap anestesi iritan atau materi asing yang mencakup sekresi dan
kandungan asam lambung (Ellis & Campbell, 1986). Intubasi yang gagal dapat
menjadi mimpi buruk, bila mungkin terjadi aspirasi lambung, seperti pasien
obstetri dan kedaruratan yang tak dipersiapkan.
Gagal pernapasan terutama merupakan fenomena pasca bedah,
biasanya karena kombinasi kejadian. Kelamahan otot setelah pemulihan dari
relaksan yang tidak adekuat, depresi sentral dengan opioid dan zat anestesi,
hambatan batuk dan ventilasi alveolus yang tak adekuat sekunder terhadap nyeri
luka bergabung untuk menimbulkan gagal pernapasan restriktif dengan retensi
CO2 serta kemudian narcosis CO2, terutama jika PO2 dipertahankan dengan
pemberian oksigen.
Gangguan pernapasan mendadak, terutama yang timbul
kemudian adalah konvalesensi, biasanya sebagai akibat embolisme pulmonalis
sekunder terhadap lepasnya thrombus dari vena pelvis atau betis. Thrombus vena
profunda di tungkai dapat diduga, bila pasien mengeluh pembengkakan atau nyeri
tekan otot betis (Ellis & Campbell, 1986). Embolisme pulmonalis bisa tampil

sebagai hemoptisis atau sebagai kolaps generalisasi yang serupa dengan infark
myocardium mayor, yang kadangkadang sulit dibedakan.
3. Kardiovaskuler

Komplikasi kardiovaskuler yang dapat terjadi antara lain


hipotensi, hipertensi, aritmia jantung, dan payah jantung (Thaib, 1989). Hipotensi
didefinisikan sebagai tekanan darah systole kurang dari 70 mmHg atau turun lebih
dari 25% dari nilai sebelumnya. Hipotensi dapat disebabkan oleh hipovolemia
yang diakibatkan oleh perdarahan, overdosis obat anestetika, penyakit
kardiovaskuler

seperti

infark

miokard,

aritmia,

hipertensi,

dan

reaksihipersensivitas obat induksi, obat pelumpuh otot, dan reaksi transfusi.


Hipertensi dapat meningkat pada periode induksi dan
pemulihan anestesi. Komplikasi hipertensi disebabkan oleh analgesa dan hipnosis
yang tidak adekuat, batuk, penyakit hipertensi yang tidak diterapi, dan ventilasi
yang tidak adekuat (Thaib, 1989). Sementara faktor-faktor yang mencetuskan
aritmia adalah hipoksia, hiperkapnia, tindakan intubasi, gangguan elektrolit, dan
pengaruh beberapa obat tertentu.
4. Hati

Penyebab hepatitis pasca bedah dapat disebabkan oleh halotan.


Insidens virus Hepatitis A aktif dalam populasi umum mungkin jauh lebih lazim,
yang diperkirakan sekitar 100400 per sejuta pada suatu waktu (Ellis & Campbell,
1986). Mungkin bahwa zat anestesi mengurangi kemanjuran susunan kekebalan
dan membuat pasien lebih cenderung ke infeksi yang mencakup hepatitis virus.
Anestesi Halotan berulang dalam interval 6 minggu mungkin harus dihalangi.

5. Suhu tubuh

Akibat venodilatasi perifer yang tetap ditimbulkan anestesi


menyebabkan penurunan suhu inti tubuh. Selama pembedahan yang lama,
terutama dengan pemaparan vesera, bisa timbul hipotermi yang parah, yang
menyebabkan pengembalian kesadaran tertunda, pernapasan dan perfusi perifer
tidak adekuat. Masalah pernapasan akan dirumitkan, jika kebutuhan oksigen
meningkat sebagai akibat menggigil selama masa pasca bedah (Ellis & Campbell,
1986).

Treatment
pasien harus dirawat sementara di ruang Post Anestesi Care Unit (PACU)
atau Recovery Room (RR) sampai kondisi pasien stabil, tidak mengalami
komplikasi operasi dan memenuhi syarat untuk dipindahkan ke ruang perawatan
(bangsal perawatan) (Torrance & Serginson, 1997). Post Anestesi Care Unit
(PACU) atau Recovery Room (RR) biasanya terletak berdekatan dengan ruang
operasi. Hal ini disebabkan untuk mempermudah akses bagi pasien untuk perawat
yang disiapkan dalam merawat pasca operatif (perawat anastesi), ahli anastesi dan
ahli bedah, alat monitoring dan peralatan khusus penunjang lainnya.
Alat monitoring yang terdapat di ruang pemulihan digunakan untuk
memberikan penilaian terhadap kondisi pasien (Torrance & Serginson, 1997).
Jenis peralatan yang ada diantaranya adalah alat bantu pernafasan seperti oksigen,
laringoskop, set trakheostomi, peralatan bronkhial, kateter nasal, ventilator
mekanik dan peralatan suction. Selain itu di ruang ini juga harus terdapat alat
yang digunakan untuk memantau status hemodinamika dan alat-alat untuk
mengatasi permasalahan hemodinamika, seperti : apparatus tekanan darah,
peralatan parenteral, plasma ekspander, set intravena, set pembuka jahitan,
defibrilator, kateter vena, tourniquet, bahan-bahan balutan bedah, narkotika dan

medikasi kegawatdaruratan, set kateterisasi dan peralatan drainase (Rondhianto,


2998).
Selain alat-alat tersebut diatas, pasien post operasi juga harus
ditempatkan pada tempat tidur khusus yang nyaman dan aman serta memudahkan
akses bagi pasien, seperti pemindahan darurat dan dilengkapi dengan kelengkapan
yang digunakan untuk mempermudah perawatan. Seperti tiang infus, side rail,
tempat tidur beroda, dan rak penyimpanan catatan medis dan perawatan (Torrance
& Serginson, 1997).
Pasien tetap berada dalam PACU sampai pulih sepenuhnya dari pegaruh
anastesi, yaitu tekanan darah stabil, fungsi pernafasan adekuat, saturasi oksigen
minimal 95% dan tingkat kesadaran yang baik (Rondhianto, 2998).
Kriteria penilaian yang digunakan untuk menentukan kesiapan pasien
untuk dikeluarkan dari PACU adalah : pasien harus pulih dari efek anestesi, efek
fisiologis dari obat bius harus stabil, pasien harus sudah sadar kembali dan tingkat
kesadaran pasien telah sempurna, orientasi pasien terhadap tempat, waktu dan
orang, fungsi pulmonal yang tidak terganggu, hasil oksimetri nadi menunjukkan
saturasi oksigen yang adekuat, tanda-tanda vital stabil, termasuk tekanan darah,
haluaran urine tidak kurang dari 30 ml/jam, mual dan muntah dalam kontrol, dan
nyeri minimal (Torrance & Serginson, 1997). Status pasien harus ditulis dan
dibawa ke bangsal masing-masing, jika keadaan pasien membaik, pernyataan
persetujuan harus dibuat untuk kehadiran pasien tersebut oleh seorang perawat
khusus yang bertugas pada unit dimana pasien akan dipindahkan, staf dari unit
dimana pasien harus dipindahkan, perlu diingatkan untuk menyiapkan dan
menerima pasien tersebut (Abrorshodiq, 2009).
Hal-hal yang harus diperhatikan selama membawa pasien ke ruangan
antara lain : keadaan penderita serta order (usulan) dari dokter, mengusahakan
agar pasien jangan sampai kedinginan, kepala pasien sedapat mungkin harus
dimiringkan untuk menjaga bila muntah sewaktu-waktu, dan muka pasien harus
terlihat sehingga bila ada perubahan dapat dipantau dengan segera (Abrorshodiq,
2009).

Pemantauan/pengkajian pasca anestesi


Periode segera setelah anestesi adalah periode gawat. Untuk
itu pasien harus dipantau dengan jeli dan harus mendapat bantuan fisik dan
psikologis yang intensif sampai pengaruh utama dari anestesi mulai berkurang dan
kondisi umum mulai stabil meliputi pengkajian sistem pernapasan, sistem
kardiovaskuler, keseimbangan cairan dan elektrolit, sistem persarafan, sistem
perkemihan, dan sistem gastrointestinal .
1. Sistem pernapasan

2. Sistem kardiovaskuler
3. Keseimbangan cairan dan elektrolit
4. Sistem Persarafan.
5. Sistem perkemihan.
6. Sistem Gastrointestinal.
Mual muntah 40 % pasien dengan GA selama 24 jam
pertama dapat menyebabkan stress dan iritasi luka GI dan dapat meningkatkan
TIK pada bedah kepala dan leher. Perawat mengobservasi keadaan umum,
observavomitus dan drainase. Keadaan umum dari pasien harus diobservasi untuk
mengetahui keadaan pasien, seperti kesadaran dan sebagainya. Vomitus atau
muntahan mungkin saja terjadi akibat penagaruh anastesi sehingga perlu dipantau
kondisi vomitusnya. Selain itu drainase sangat penting untuk dilakukan obeservasi
terkait dengan kondisi perdarahan yang dialami pasien (Abrorshodiq, 2009).
Perawat mengkaji fungsi gastro intestinal dengan auskultasi suara usus. Selain itu
juga mengkaji paralitic ileus, suara usus, distensi abdomen, dan ada atau tidaknya
flatus.

Insersi Naso Gastric Tube (NGT) intra operatif untuk


mencegah komplikasi post operatif dengan decompresi dan drainase lambung juga
bertujuan untuk meningkatkan istirahat, memberi kesempatan penyembuhan pada
GI track bawah, memonitor perdarahan, mencegah obstruksi usus, irigasi atau
pemberian obat, serta mengkaji jumlah, warna, dan konsistensi isi lambung tiap 6
8 jam (Wijaya,2008).
Pasien tetap berada dalam PACU sampai pulih
sepenuhnya dari pengaruh anestesi, yaitu pasien telah mempunyai tekanan darah
yang stabil, fungsi pernapasan adekuat, saturasi O2 minimum 95%, dan tingkat
kesadaran yang baik.
Beberapa petunjuk tentang keadaan yang memungkinkan
terjadinya situasi krisis antara lain: tekanan sistolik < 90 100 mmHg atau >
160 mmHg, diastolik < 50 mmHg atau > dari 90 mmHg, Heart Rate (HR)
kurang dari 60 x menit > 10 x/menit, suhu > 38,3
Prognosis
Untuk menentukan prognosis (Dachlan. 1989) ASA (American
Society of Anesthesiologists) membuat klasifikasi berdasarkan status fisik pasien
pra anestesi yang membagi pasien kedalam 5 kelompok atau kategori sebagai
berikut: ASA 1, yaitu pasien dalam keadaan sehat yang memerlukan operasi. ASA
2, yaitu pasien dengan kelainan sistemik ringan sampai sedang baik karena
penyakit bedah maupun penyakit lainnya. Contohnya pasien batu ureter dengan
hipertensi sedang terkontrol, atau pasien apendisitis akut dengan lekositosis dan
Universitas Sumatera Utara
febris. ASA 3, yaitu pasien dengan gangguan atau penyakit sistemik berat yang
diaktibatkan karena berbagai penyebab. Contohnya pasien apendisitis perforasi
dengan septi semia, atau pasien ileus obstruksi dengan iskemia miokardium. ASA
4, yaitu pasien dengan kelainan sistemik berat yang secara langsung mengancam
kehiduannya. ASA 5, yaitu pasien tidak diharapkan hidup setelah 24 jam
walaupun dioperasi atau tidak. Contohnya pasien tua dengan perdarahan basis
krani dan syok hemoragik karena ruptura hepatik. Klasifikasi ASA juga dipakai

pada pembedahan darurat dengan mencantumkan tanda darurat (E = emergency),


misalnya ASA 1 E atau III E.

Anda mungkin juga menyukai