Anda di halaman 1dari 22

BAB I

PENDAHULUAN
Laringitis adalah suatu peradangan pada kotak suara (laring) karena
penggunaan yang berlebihan, iritasi atau infeksi. Di dalam laring terdapat pita
suara (dua lipatan membran mukosa yang membungkus otot dan kartilago).
Normalnya pita suara kita membuka dan menutup dengan halus, membentuk
suara melalui pergerakan dan pergetarannya. Tetapi pada laringitis, pita suara kita
meradang atau teriritasi. Pita suara akan membengkak, menyebabkan distorsi dari
suara yang dihasilkan dari udara yang melewatinya. Sebagai hasilnya, suara akan
terdengar serak. Pada beberapa kasus laringitis, suara menjadi sangat kecil
sehingga sulit terdengar.1
Laringitis dapat bersifat short-lived (akut) atau long-lasting (kronis).
Walaupun laringitis akut biasanya tidak berarti lebih dari sebuah iritasi dan
inflamasi akibat virus, suara serak menetap dapat merupakan tanda adanya
masalah yang serius pada laring.2
Laringitis kronis jarang disebabkan oleh virus atau bakteri. Kebanyakan
adalah komplikasi dari satu atau lebih faktor eksogen yang berlangsung lama yang
merusak pita suara, terutama kebiasaan merokok, batuk pada penyakit paru
obstruktif kronis (chronic obstructive pulmonary disease, COPD), ingus yang
turun mengalir dari hidung atau sinus paranasal (postnasal drip), pengeringan
selaput lendir, penyalahgunaan suara (hiperkinetisme) dan refluks gastroesofgus
(gastroesofagal reflux disease, GERD).3

BAB II
ANATOMI DAN FISIOLOGI
2.1 Embriologi Laring
Seluruh sistem pernafasan merupakan hasil pertumbuhan faring primitif.
Pada saat embrio berusia 3-4 minggu, suatu alur yang disebut laringotrakeal
groove tumbuh dalam embrio pada bagian ventral foregut. Alur ini terletak di
sebelah posterior dari eminensia hipobronkial dan terletak lebih dekat dengan
lengkung ke IV daripada lengkung ke III. 4
Selama masa pertumbuhan embrional, ketika tuba yang satu ini menjadi
dua struktur, tuba yang asli mula-mula mengalami obliterasi dengan proliferasi
lapisan epitel, kemudian epitel diresorbsi, tuba kedua dibentuk dan tuba pertama
mengalami rekanulisasi. Pada maturasi lanjut, kedua tuba ini terpisah menjadi
esofagus dan bagian laringotrakeal.4
Pembukaan laringotrakeal ini adalah aditus laringeus primitif dan terletak
diantara lengkung IV dan V. Aditus laring pada perkembangan pertama berbentuk
celah vertikal yang kemudian menjadi berbentuk T dengan tumbuh eminens
hipobronkial yang tampak pada minggu ketiga dan kemudian akan tumbuh
menjadi epiglotis. Sepasang aritenoid yang tampak pada minggu kelima dan pada
perkembangan selanjutnya sepasang massa aritenoid ini akan membentuk tonjolan
yang kemudian akan menjadi kartilago kuneiforme dan kartilago kornikulata.
Kedua aritenoid ini dipisahkan oleh incisura interaritenoid yang kemudian
berobliterasi. Ketika ketiga organ ini tumbuh selama minggu ke 5-10, lumen
laring mengalami obliterasi, baru pada minggu kesembilan kembali terbentuk
lumen yang berbentuk oval. Plika vokal sejati dan plika vokalis palsu terbentuk
antara minggu ke 8-9.4
Otot-otot laring pada mulanya muncul sebagai suatu sfingter intrinsik yang
terletak dalam tunas kartilago tiroid dan krikoid. Selama perkembangan
selanjutnya, sfingter ini terpisah menjadi massa otot-otot tersendiri. Otot-otot
laring pertama yang dikenal adalah interaritenoid, ariepiglotika, krikoaritenoid
2

posterior dan krikotiroid. Otot-otot laring intrinsik berasal dari mesoderm


lengkung brakial ke 6 dan dipersarafi oleh N. rekurens laringeus. M. krikotiroid
berasal dari mesoderm lengkung brakial ke 4 dan dipersarafi oleh N. Laringeus
superior. Kumpulan otot ekstrinsik berasal dari eminensia epikardial dan
dipersarafi oleh n.hipoglosus.5
Tulang hioid akan mengalami penulangan pada enam tempat, dimulai pada
saat lahir dan lengkap setelah 2 tahun. Kartilago tiroid akan mulai mengalami
penulangan pada usia 20 sampai 23 tahun, mulai pada tepi inferior. Kartilago
krikoid mulai pada usia 25 sampai 30 tahun inkomplit, begitu pula dengan
aritenoid.6
2.2 Anatomi Laring
Laring terletak di bagian anterior leher setinggi korpus vertebra servikal IIIVI. Laring

menghubungkan bagian inferior faring dengan trakea. Laring

berfungsi sebagai katup untuk melindungi jalan-jalan udara dan menjaga supaya
jalan udara selalu terbuka, terutama sewaktu menelan. Laring juga berfungsi
sebagai mekanisme fonasi yang dirancang untuk pembentukan suara.7
Kerangka laring terdiri dari sembilan tulang rawan yang berhubungan
melalui ligamentum dan membran. Dari sembilan tulang rawan terdapat tiga yang
tunggal (kartilago tiroid, kartilago krikoid, dan kartilago epiglotik), dan tiga
tulang rawan berpasangan (kartilago aritenoid, kartilago kornikulata, dan kartilago
kuneiforme).7

Gambar 1. Laring penampang lateral7

Gambar 2. Laring penampang posterior7

Kartilago tiroid adalah yang terbesar dari tulang rawan laring. Bagian dua
pertiga kartilago tiroid berupa lembar-lembar yang bersatu di bidang median
untuk membentuk prominentia laring (adams apple). Tepat di atas prominensia
4

laring (adams apple), kedua lembar berpisah untuk membentuk insisura tiroid
yang berbentuk V. Tepi posterior masing-masing lembar (lamina) menonjol ke
atas sebagai kornu superior dan ke bawah sebagai kornu inferior. Tepi superior
dan kedua kornu superior kartilago tiroid dihubungkan dengan os hioid oleh
membrana tiroid. Bagian median membrana tiroid ini yang lebih tebal, dikenal
sebagai ligamentum tirohioid medial; bagian-bagian lateral yang menebal adalah
ligamentum tirohioid lateral yang dapat mengandung beberapa cartilagines
triticeae yang menyerupai butir-butir gandum dan membantu menutup lubang
laring sewaktu menelan. Kornu inferior kartilago tiroid bersendi dengan
permukaan lateral kartilago krikoid pada artikulasio krikotiroid. Gerak-gerak
utama pada kedua sendi ini adalah rotasi dan gerak luncur kartilago tiroid yang
menghasilkan perubahan ukuran panjang plika vokal.7
Kartilago krikoid berbentuk seperti cincin stempel yang tangkainya
menghadap ke depan. Bagian posterior (stempel) kartilago krikoid adalah
lempengnya, dan bagian anterior (tangkai) membentuk lengkungnya. Meskipun
kartilago krikoid lebih kecil daripada kartilago tiroid, tulang rawan ini lebih tebal
dan lebih kuat. Kartilago krikoid dihubungkan pada tepi bawah kartilago tiroid
oleh ligamentum krikotiroid media dan pada kartilago trakeal I oleh ligamentum
krikotrakeal. Ligamentum krikotiroid menyebabkan adanya titik lunak di bawah
kartilago tiroid. Disini laring terletak paling dekat pada kulit dan paling mudah
dicapai.7
Kartilago aritenoid berbentuk seperti limas bersisi tiga. Tulang rawan ini
berpasangan, bersendi dengan bagian-bagian lateral tepi atas lempeng kartilago
krikoid. Masing-masing tulang rawan di sebelah atas memiliki apeks (puncak), di
sebelah anterior sebuah prosesus vokal, dan sebuah prosesus muskular yang
menonjol ke lateral dari alasnya. Apeks kartilago aritenoid dilekatkan pada plika
ariepiglotika, prosesus vokal pada ligamentum vokal, dan prosesus muskularis
pada m.krikoaritenoid posterior dan m.krikoaritenoid lateral.7

Artikulasio krikoaritenoid terletak antara basis kartilago aritenoid dan


permukaan superior lempeng kartilago krikoid. Sendi-sendi ini memungkinkan
gerak kartilago aritenoid berikut: meluncur saling mendekati atau menjauhi,
menjungkit ke depan dan ke belakang, dan rotasi. Gerak-gerak ini penting untuk
saling mendekatkan, menegangkan dan mengendurkan plika vokal. Ligamentum
vokal yang elastis terdapat antara persatuan kedua lembar kartilago tiroid di
sebelah depan dan prosesus vokal kartilago aritenoid di sebelah belakang.
Ligamentum vokal membentuk kerangka plika vokal. Selaput yang berbentuk
segitiga dan ke arah superior dibatasi oleh ligamentum vokal, ialah ligamentum
krikotiroid. Ligamentum krikotiroid ini ke depan membaur dengan ligamentum
krikotiroid media.7
Kartilago epiglotis membuat epiglotis lentur. Kartilago epiglotis yang
menyerupai daun dan terletak di belakang radiks lingua serta os hioid dan di
depan aditus lraring, membentuk bagian superior dinding anterior dan tepi
superior aditus laring. Bagian superior epiglotis adalah lebar dan bebas, dan ujung
inferiornya yang meruncing melekat pada ligamentum tiro-epiglotik dalam sudut
yang dibentuk oleh kedua lembar kartilago tiroid. Permukaan anterior kartilago
epiglotis berhubungan dengan os hioid melalui ligamentum epiglotik. Membran
kuadrangular adalah selembar jaringan ikat submukosa yang tipis, dan terbentang
dari cartilago aritenoid ke kartilago epiglotis. Tepi inferior membran kuadrangular
ini yang bebas membentuk ligamentum vestibular yang dilapisi secara longgar
oleh plika vestibular. Plika vestibular ini terletak superior dari plika vokal dan
terbentang dari kartilago tiroid ke kartilago aritenoid. Kartilago kornikulata dan
kartilago kuneiforme berupa bintil-bintil kecil di bagian posterior plika ariepiglotika yang melekat pada apeks kartilagines aritenoid.7

Gambar 3. Laring potongan koronal.7


3.2.1 Bagian dalam laring
Kavum laring meluas dari aditus laring yang merupakan sarana untuk
berhubungan dengan laringofaring, sampai setinggi tepi bawah kartilago krikoid
untuk beralih ke dalam lumen tenggorok. Kavum laring dibedakan menjadi tiga
bagian : 1.

Vestibulum laring yang terletak superior terhadap plika vestibular;

2. Ventrikulus laring yang terletak antara plika vestibular dan di atas plika vokal
(ke lateral ventrikulus laring meluas sebagai sinus laring; dari masing-masing
sinus sebuah sakulus laring yang buntu, menonjol ke atas antara plika vestibular
dan lamina kartilago tiroid); 3. Kavitas infraglotika, yakni kavitas laringis inferior
yang meluas dari plika vokal ke tepi inferior kartilago krikoid, dan disini bersatu
dengan rongga dalam kranium.7

Gambar 4. Bagian dalam laring.7


Plika vokal (tali suara sejati) mengendalikan pembentukan bunyi. Puncak
masing-masing lipatan yang berbentuk seperti baji, menonjol ke medial ke dalam
kavitas laringis, dan alasnya bersandar pada lamina kartilago tiroid. Di dalam
masing-masing plika vokalis terdapat: 1. Sebuah ligamentum vokal yang terdiri
dari jaringan elastis dan berasal dari ligamentum krikotiroid; 2. Sebuah muskulus
vokalis yang merupakan bagian m.tiroaritenoid.7
3.2.2 Otot-otot laring
Otot-otot laring dapat dibedakan menjadi kelompok ekstrinsik dan
kelompok intrinsik. Otot-otot ekstinsik menggerakkan laring sebagai kesatuan.
Otot-otot infrahioid berfungsi berfungsi sebagai otot-otot depresor os hioid dan
laring, sebagai otot-otot depresor os hioid dan laring, sedangkan otot-otot
suprahioid dan m.stilofaringeus berfungsi sebagai elevator os hioid dan laring.
Otot-otot intrinsik mengadakan gerak pada bagian laring, mengubah panjang dan
ketegangan plika vokal, serta luas dan bentuk rima glotis. Semua otot intrinsik
laring, kecuali satu, dipersarafi oleh nervus laringeus rekuren, cabang nervus
kranialis X; m.krikotiroid dipersarafi oleh nervus laringeus interna.7

3.2.3 Saraf-saraf laring


Saraf-saraf laring berasal dari nervus vagus (nervus kranial X) melalui
ramus interna dan ramus eksterna nervus laringeus superior dan nervus laringeus
rekuren. Nervus laringe superior dilepaskan dari pertengahan ganglion inferior
cabang nervus vagus yang terletak pada ujung superior trigonum karotis. Saraf ini
berakhir menjadi dua cabang di dalam sarung karotis (carotid sheath): nervus
laring interna (sensoris dan otonom) dan nervus laring eksterna (motoris). Nervus
laringeus interna yang lebih besar antara kedua cabang terminal tadi, menembus
membran tiroid bersama arteri laring superior dan mengantar serabut sensoris
kepada membran mukosa laring yang terdapat superior dari plika vokal, termasuk
permukaan superior plika vokal. Nervus laring eksterna menurun di belakang
m.sternotiroid bersama arteri tiroid superior. Mula-mula letaknya pada muskulus
konstriktor faring inferior dan kemudian menembus otot ini dan mempersarafinya
serta juga m.krikotiroid.7

Gambar 5. Otot dan persarafan laring.7


Nervus laring rekuren mempersarafi semua otot laring intrinsik, kecuali
m.krikotiroid yang dipersarafi oleh nervus laring eksterna. Nervus laring rekuren
juga membawa serabut sensoris kepada membran mukosa laring inferior dari plika
vokal. Bagian akhirnya, yakni nervus laringeus inferior, memasuki laring dengan

melintas di sebelah dalam tepi inferior muskulus konstriktor faring inferior. Saraf
ini terpecah menjadi ramus anterior dan ramus posterior yang mengiringi arteri
laringeus inferior ke dalam laring.7

Gambar 6. Persarafan laring.8


3.2.4 Pembuluh-pembuluh laring
Arteri-arteri laring, cabang-cabang arteri tiroidea superior dan arteria
tiroidea inferior, memasok darah kepada laring. Arteri laring superior mengiringi
ramus interna nervi laringeal superioris melalui membran tiroid dan kemudian
bercabang-cabang untuk mengantar darah kepada permukaan dalam laring. Arteri
laring inferior mengiringi nervus laring inferior dan memasok darah kepada
membran mukosa dan otot-otot di aspek inferior laring.7
Vena-vena laring mengikuti arteri-arteri laring. Vena laring superior
biasanya bersatu dengan vena jugular interna. Vena laring inferior bersatu dengan
vena tiroid inferior atau pleksus vena-vena tiroid yang beranastomosis pada aspek
anterior trakea.7
Pembuluh limfe yang berasal dari laring di atas plika vokal mengiringi
arteri laring superior melalui membrana tiroid dan ditampung oleh kelenjar limfe
10

servikal superior profunda. Pembuluh limfe dari laring di bawah plika vokal
ditampung oleh kelenjar limfe servikal inferior profunda.7
2.2 Fisiologi
Laring berfungsi untuk proteksi, batuk respirasi, sirkulasi, menelan, emosi
serta fonasi. Fungsi laring untuk proteksi adalah untuk mencegah makanan dan
benda asing masuk ke dalam trakea, dengan jalan menutup aditus laring dan rima
glotis secara bersamaan. Terjadinya penutupan aditus laring karena pengangkatan
laring ke atas akibat kontraksi otot-otot ekstrinsik laring. Dalam hal ini kartilago
aritenoid bergerak ke depan akibat kontraksi m.tiroaritenoid dan m.aritenoid.
Selain itu dengan refleks batuk, benda asing yang telah masuk ke dalam trakea
dapat dibatukkan keluar. Demikian juga dengan bantuan batuk, sekret yang
berasal dari paru dapat dikeluarkan.9
Fungsi respirasi dari laring adalah dengan mengatur besar kecilnya rima
glotis. Bila m. krikoaritenoid posterior berkontraksi akan menyebabkan prosesus
vokal

kartilago aritenoid bergerak ke lateral, sehingga rima glotis terbuka

(abduksi).9
Fungsi laring dalam membantu proses menelan adalah dengan 3
mekanisme, yaitu gerakan laring bagian bawah ke atas, menutup aditus laring dan
mendorong lobus makanan ke hipofaring dan tidak mungkin masuk ke dalam
laring.9
Laring juga mempunyai fungsi untuk mengekspresikan emosi seperti
berteriak, mengeluh, menangis, dan lain-lain. Fungsi lain laring adalah untuk
fonasi, dengan membuat suara serta menentukan tinggi rendahnya nada. Tinggi
rendahnya nada diatur oleh peregangan plika vokal. Bila plika vokal dalam
keadaan aduksi, maka m.krikotiroid akan merotasikan kartilago tiroid ke bawah
dan ke depan, menjauhi kartilago aritenoid. Pada saat yang bersamaan
m.krikoaritenoid posterior akan menahan atau menarik kartilago aritenoid ke
belakang. Plika vokal kini dalam keadaan yang efektif untuk berkontraksi.
Sebaliknya kontraksi m.krikoaritenoid akan mendorong kartilago aritenoid ke
11

depan, sehingga plika vokal akan mengendor. Kontraksi serta mengendornya plika
vokal akan menentukan tinggi rendahnya nada.9

12

BAB III
LARINGITIS KRONIS
3.1 Definisi
Laringitis adalah suatu peradangan pada kotak suara (laring) yang dapat
menyebabkan suara serak atau hilangnya suara. Laringitis yang berlangsung lebih
dari tiga minggu dikenal sebagai laringitis kronis.1
Pada peradangan ini, seluruh mukosa laring hiperemis dan menebal, dan
kadang-kadang pada pemeriksaan patologik terdapat metaplasi skuamosa.10

Gambar 7. Laringitis Kronis11


3.2 Etiologi
Laringitis kronis dapat menyebabkan pita suara menjadi tegang dan
cedera.

Cedera pada pita suara ini dapat disebabkan oleh : 1. Refluks

gastroesofagus; 2. Iritan yang terhirup, seperti asap, alergen; 3. Konsumsi alkohol


yang berlebihan; 4. Penyalahgunaan suara, misalnya pada penyanyi atau pemandu
sorak; 5. Sinusitis kronis; 6. Deviasi septum yang berat; 7. Polip hidung atau
bronkitis kronis.1,10

13

3.3 Klasifikasi
Laringitis kronik terdiri dari laringitis kronik spesifik dan laringitis kronik
nonspesifik.10
3.3.1 Laringitis Kronis Spesifik
Yang termasuk dalam laringitis kronis spesifik ialah : laringitis
tuberkulosis dan laringitis luetika.10
3.3.1.1 Laringitis Tuberkulosis
Penyakit ini hampir selalu sebagai akibat tuberkulosis paru. Sering kali setelah
diberi pengobatan, tuberkulosis parunya sembuh tetapi laringitis tuberkulosisnya
menetap. Hal ini terjadi karena struktur mukosa laring yang sangat lekat pada
kartilago serta vaskularisasi yang tidak sebaik paru, sehingga bila infeksi sudah
mengenai kartilago, pengobatannya lebih lama.10
3.3.1.2 Laringitis Luetika
Radang menahun ini jarang ditemukan. Dalam hubungan penyakit di laring yang
perlu dibicarakan ialah lues stadium tersier (ketiga) yaitu pada stadium
pembentukan guma. Bentuk ini kadang-kadang menyerupai keganasan laring.10
3.3.2 Laringitis Kronik Nonspesifik
Laringitis kronik merupakan keadaan nonspesifik yang sering terjadi,
dengan seluruh mukosa laring (dan biasanya faring) menjadi hiperemi dan
hiperplasi. Kadang-kadang mukosa menjadi berlebihan, terutama disekitar pita
suara palsu. Cenderung timbul leukoplakia, miksedema submukosa dan sekresi
lendir yang kental lengket setinggi glotis.12
Laringitis

kronik nonspesifik biasanya

disebabkan

oleh

merokok,

dan

penyembuhan sangat tergantung kemampuan pasien untuk menghentikan


kebiasaan tersebut. Faktor penyokong lain adalah obstruksi hidung (dengan
bernapas melalui mulut di malam hari dan mendengkur), debu dan asap pada
tempat kerja, serta pemakaian suara berlebihan yang menyebabkan serak.12

14

3.4 Patofisiologi

Gambar 8. Laringitis14
Pada kronik laringitis yang terjadi adalah proses peradangan yang
menyebabkan perubahan yang ireversibel pada mukosa laring. Proses reaktif dan
reparatif laring menggambarkan faktor-faktor patogen yang bersifat menetap
walaupun faktor penyebabnya telah dapat disingkirkan. Tergantung dari
penyebabnya, perubahan yang terjadi pada mukosa dapat bervariasi. Peradangan,
edema, hiperemis, dan infiltrasi serta proliferasi mukosa dapat menggambarkan
respon inflamasi yang berbeda-beda dari setiap tingkatan.15
Proses peradangan dapat merusak jaringan epitel dari laring sampai ke
bagian posterior dari dinding mukosanya. Hal tersebut mempengaruhi fungsi
utama laring dimana proses pengeluaran mukus trakeobronkial dapat terganggu.
Saat gerakan silia epitel terganggu, maka akan terjadi stasis mukus pada dinding
posterior laring dan sekitar plika vokal dapat merangsang batuk yang reaktif.
Mukus pada pita suara dapat menyebabkan laringospasme. Perubahan signifikan
pada epitel pita suara dapat terjadi hiperkeratosis, diskeratosis, parakeratosis,
akantosis, dan seluler atipik. 15

15

3.5 Gejala

Gejala laringitis kronis, antara lain : suara yang serak, parau dan lemah;
batuk kering; tenggorok terasa kering; nyeri tenggorok; suara yang semakin lama
semakin melemah.17
Jika gejala yang terjadi lebih dari 3 minggu, maka pasien mengalami
laringitis kronis.13

3.6 Diagnosis
Pemeriksaan tidak langsung jalan napas dengan menggunakan cermin,
ataupun secara langsung dengan nasolaringoskopi fleksibel maka dapat terlihat
pita suara eritema dan edema, terdapatnya sekret dan permukaan pita suara yang
terlihat ireguler. Perhatikan pula mobilitas dari pita suara dan adanya obstruksi
jalan napas.13
Pada laringitis kronis dapat dilakukan pemeriksaan fisik seperti di bawah
ini, antara lain: otot-otot bantu pernapasan yang digunakan pada saat respirasi
harus diperiksa, jika ditemukan maka auskultasi jalan napas dan pemeriksaan
pulse oksimetri harus dilakukan; pada kasus infeksi, demam atau parameter lain
yang mengindikasikan toksisitas dapat timbul; pemeriksaan menyeluruh pada
kepala dan leher merupakan hal mutlak yang harus dilakukan ; kelenjar tiroid,
laring dan trakea harus dievaluasi; laringoskopi indirek dapat dilakukan pada
pemeriksaan rutin; lidah, tonsil dan nasofaring, serta sinus untuk menentukan
sumber infeksi; trakeobronkial dan paru harus dipikirkan sebagai penyebab
pontesial dari infeksi; mukus (terutama pada bagian posterior laring), eritema, dan
edema, merupakan temuan yang non-spesifik dari laringitis; beberapa kondisi
tertentu dapat menyerupai, seperti histoplasmosis, blastomikosis, yang merupakan
infeksi jamur yang menyerupai gambaran tuberkulosis dan kanker sel skuamosa
pada laring; epiglotis dan pita suara harus diperiksa; pemeriksaan stroboskopi

16

dapat membantu melihat kekakuan mukosa, hyperplasia epitel maupun


peradangan kronis.15
3.7 Diagnosis Banding
Diagnosis banding laringitis kronis: contact Granulomas; stenosis glotis;
Iatrogenic Vocal Fold Scar; stenosis subglotis; sulkus vokal; lesi vascular pita
suara; kista pita suara.15
Contact granulomas. Disebut juga contact ulcer terbentuk sebagai hasil
dari trauma pada jaringan laring. Dalam respon terhadap trauma, epitel pita suara
dapat rusak, membentuk ulcer, ataupun jaringan granulasi. Lesi yang terbentuk
berupa jaringan berwarna kemerahan di dekat kartilago aritenoid di belakang
laring. Berbeda dengan nodul pada pita suara yang biasanya berupa kalus
hipertrofi. Gejala yang ditimbulkan biasanya pasien merasa ada benda asing di
tenggorok, nyeri seperti tertusuk dan dapat menjalar ke telinga.
Iatrogenic vocal fold scar. Dapat terjadi akibat trauma tumpul laring atau
lebih sering akibat operasi, cedera iatrogenik setelah insisi atau pengangkatan lesi
pada plika vokal. Pada proses penyembuhan digantikan oleh jaringan fibrosa yang
dapat menurunkan fungsi plika vokal. Gejala yang timbul berupa disfonia.
Stenosis subglotis. Penyempitan jalan napas dimulai dari subglotis hingga
atas trakea. Dan juga penyempitan tulang rawan krikoid yang merupakan tulang
rawan di saluran jalan napas. Penyempitan ini biasa terjadi karena luka pada laring
yang berada di bawah plika vokal namun plika vokal juga dapat terkena dan
menyebabkan disfonia.

3.8 Penatalaksanaan
Terapi yang terpenting ialah mengobati peradangan di hidung, faring serta
bronkus yang mungkin menjadi penyebab laringitis kronis. Pasien diminta untuk
tidak banyak berbicara (vocal rest).10

17

3.8.1 Terapi medis


Staphylococcus aureus adalah organisme penyebab yang paling sering pada
kasus-kasus laringitis bakteri kronik. Terapi antibiotika yang dipilih sebaiknya
yang dapat mengatasi patogen gram positif dan gram negatif. Antibiotika yang
digunakan adalah amoksisilin dan asam klavulanat. Selain pengobatan antibiotika,
perubahan pola hidup adalah faktor yang jauh lebih penting dalam mencegah
terjadinya laringitis kronik, meliputi: berhenti merokok dan menghindari
lingkungan berasap ; hindari makanan dan minuman 2-3 jam sebelum tidur untuk
mencegah sekresi aktif asam lambung selama tidur; tinggikan kepala ketika tidur,
yang akan melindungi laring dari refluks asam lambung selama tidur; obat-obatan
yang dapat mengurangi produksi asam lambung pada pasien yang mempunyai
gejala peningkatan asam lambung; hindari tindakan membersihkan tenggorokan
yang dapat memperburuk gejala.15,16
3.8.3 Terapi operatif
Pengobatan secara operatif biasanya dilakukan pada laringitis kronik. Pada
dasarnya laringitis sendiri bukanlah suatu alasan untuk melakukan operasi.
Beberapa prosedur yang biasa diindikasikan: reduksi stenosis diindikasikan jika
kondisi atau proses infiltrasi, seperti amyloidosis, Wegener granulomatosis,
rheumatoid arthritis, atau systemic lupus erythematous, secara signifikan
mempersempit lumen laring. Dibutuhkan intervensi operatif yang agresif; operasi
pengangkatan massa eksofitik; vaporisasi dengan laser; operasi anti-refluks
dengan

laparoskopi,

menggunakan

teknik

fundoplikasi

Nissen,

telah

menunjukkan hasil yang memuaskan dalam pengobatan GERD.15

3.9 Komplikasi
Laringitis kronis biasanya menimbulkan komplikasi, antara lain:
penyebaran infeksi ke sistemik atau struktur di sekitarnya; stenosis laring yang
18

diakibatkan suprainfeksi akut pada laringitis kronis dan edema atau stenosis
sekunder akibat proses lama yang telah terjadi; kerusakan struktur pita suara yang
permanen; transformasi menjadi keganasan.15

BAB IV
RESUME
Laringitis adalah suatu peradangan pada kotak suara (laring) yang dapat
menyebabkan suara serak atau hilangnya suara. Laringitis yang berlangsung lebih
dari tiga minggu dikenal sebagai laringitis kronis.1
Laringitis kronis, sesuai dengan yang ditunjukkan namanya, meliputi
gejala-gejala dengan durasi yang lebih lama, juga membutuhkan waktu yang lama
untuk berkembang. Laringitis kronis dapat disebabkan oleh faktor-faktor
lingkungan seperti inhalasi asap rokok atau polusi udara (seperti gas-gas kimia),
iritasi dari inhalers pada penderita asma, penyalahgunaan suara (seperti berteriak),
atau refluks gastrointestinal esofagus.13,15
Pada laringitis kronis yang terjadi adalah proses peradangan yang
menyebabkan perubahan yang ireversibel pada mukosa laring. Proses peradangan
dapat merusak jaringan epitel dari laring sampai ke bagian posterior dari dinding
mukosanya. Hal tersebut mempengaruhi fungsi utama dari laring dimana proses
19

pengeluaran mukus dari trakeobronkial dapat terganggu. Saat gerakan silia dari
epitel terganggu, maka akan terjadi stasis mukus pada dinding posterior dari laring
dan sekitar plika vokal dapat merangsang batuk yang reaktif. Mukus yang
mengenai pita suara dapat menyebabkan laringospasme.15
Gejalanya ialah suara parau yang menetap, rasa tersangkut di tenggorok,
sehingga pasien sering mendehem tanpa mengeluarkan sekret, karena mukosa
yang menebal.10
Pemeriksaan tidak langsung dari jalan napas dengan menggunakan cermin,
ataupun secara langsung dengan nasolaringoskopi fleksibel maka dapat terlihat
pita suara eritema dan edema, terdapatnya sekret dan permukaan pita suara yang
terlihat ireguler.13
Terapi yang terpenting ialah mengobati peradangan di hidung, faring serta
bronkus yang mungkin menjadi penyebab laringitis kronis. Pasien diminta untuk
tidak banyak berbicara (vocal rest).10

20

DAFTAR PUSTAKA
1. Mayo

Clinic.

Laryngitis

diakses

http://www.mayoclinic.com/health/laryngitis/DS00366
2. Laryngitis,
2006.
Diakses

dari
dari

:
:

http://www.cnn.com/HEALTH/library/DS/00366.html
3. Van den Broek P, Feenstra L. Laring. In : Iskandar N. Buku Saku Ilmu
Kesehatan Tenggorok Hidung Telinga. 12th ed. Jakarta : Penerbit Buku
Kedokteran EGC: Hal 142
4. Lee, K.J. Cancer of the Llarync. In : Essential Otolaryngology Head and
Neck Surgery. 8th ed. Connecticut. McGraw-Hill, 2003: 598-606.
5. Brown Scott : otolaryngology. 6th ed. Vol.1. Butterworth, Butterworth &
Co Ltd. 1997. Page 1/12/1-1/12/18
6. Moore, E.J and Senders, C.W. cleft lip and palate. In : Lee, K.J. Essential
otolaryngology Head and Neck Surgery. 8th ed. Connecticut. McGrawHill, 2003: 241-242.
7. Moore L.K., Agur M.R.A. Leher. Dalam : Sadikin V, Saputra V. Anatomi
Klinis Dasar. Jakarta : Hipokrates, 2002: Hal 433-7.
8. Harry M. Tucker, The Larynx, Thieme 1987, p.11, fig1.11
9. Hermani B, Hutauruk M.S. Disfonia. In : Soepardi EA, Iskandar N (eds).
Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorokan, Kepala dan
Leher. 6th ed. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2007:
Hal.234
21

10. Hermani B, Abdurrachman H. Kelainan Laring. Dalam: Soepardi EA,


Iskandar N (eds). Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung,
Tenggorokan, Kepala dan Leher. 6th ed. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia, 2007: Hal.238-40.
11. Netter F, Atlas of Human Anatomy 2nd Ed. Novartis, East Hanover, New
Jersey. 1997,47.
12. Cody T.R., Kern E.B., Pearson B.W. Serak dan Kelainan Suara. Dalam:
Penyakit Telinga, Hidung dan Tenggorokan. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC, 2003: Hal.343-344.
13. Shah
R.K.
Acute
Laryngitis.

Diakses

dari

http://www.emedicine.com/ent/topic353.htm
14. Laryngitis. Diakses dari :http://www.webmd.com/hw-popup/laryngitis .
15. Berliti S. August 16, 2007. Chronic Laryngitis, Infectious or Allergic.
Diakses dari : http://www.emedicine.com/ent/topic354.htm
16. Laryngitis. February 16, 2007. Diakses dari: http://www.webmd.com/a-toz-guides/laryngitis-symptoms
17. Laryngitis.
2005.

Diakses

dari

http://www.med.umich.edu/1libr/wha/wha_chronlar_crs.htm

22

Anda mungkin juga menyukai