PENDAHULUAN
Laringitis adalah suatu peradangan pada kotak suara (laring) karena
penggunaan yang berlebihan, iritasi atau infeksi. Di dalam laring terdapat pita
suara (dua lipatan membran mukosa yang membungkus otot dan kartilago).
Normalnya pita suara kita membuka dan menutup dengan halus, membentuk
suara melalui pergerakan dan pergetarannya. Tetapi pada laringitis, pita suara kita
meradang atau teriritasi. Pita suara akan membengkak, menyebabkan distorsi dari
suara yang dihasilkan dari udara yang melewatinya. Sebagai hasilnya, suara akan
terdengar serak. Pada beberapa kasus laringitis, suara menjadi sangat kecil
sehingga sulit terdengar.1
Laringitis dapat bersifat short-lived (akut) atau long-lasting (kronis).
Walaupun laringitis akut biasanya tidak berarti lebih dari sebuah iritasi dan
inflamasi akibat virus, suara serak menetap dapat merupakan tanda adanya
masalah yang serius pada laring.2
Laringitis kronis jarang disebabkan oleh virus atau bakteri. Kebanyakan
adalah komplikasi dari satu atau lebih faktor eksogen yang berlangsung lama yang
merusak pita suara, terutama kebiasaan merokok, batuk pada penyakit paru
obstruktif kronis (chronic obstructive pulmonary disease, COPD), ingus yang
turun mengalir dari hidung atau sinus paranasal (postnasal drip), pengeringan
selaput lendir, penyalahgunaan suara (hiperkinetisme) dan refluks gastroesofgus
(gastroesofagal reflux disease, GERD).3
BAB II
ANATOMI DAN FISIOLOGI
2.1 Embriologi Laring
Seluruh sistem pernafasan merupakan hasil pertumbuhan faring primitif.
Pada saat embrio berusia 3-4 minggu, suatu alur yang disebut laringotrakeal
groove tumbuh dalam embrio pada bagian ventral foregut. Alur ini terletak di
sebelah posterior dari eminensia hipobronkial dan terletak lebih dekat dengan
lengkung ke IV daripada lengkung ke III. 4
Selama masa pertumbuhan embrional, ketika tuba yang satu ini menjadi
dua struktur, tuba yang asli mula-mula mengalami obliterasi dengan proliferasi
lapisan epitel, kemudian epitel diresorbsi, tuba kedua dibentuk dan tuba pertama
mengalami rekanulisasi. Pada maturasi lanjut, kedua tuba ini terpisah menjadi
esofagus dan bagian laringotrakeal.4
Pembukaan laringotrakeal ini adalah aditus laringeus primitif dan terletak
diantara lengkung IV dan V. Aditus laring pada perkembangan pertama berbentuk
celah vertikal yang kemudian menjadi berbentuk T dengan tumbuh eminens
hipobronkial yang tampak pada minggu ketiga dan kemudian akan tumbuh
menjadi epiglotis. Sepasang aritenoid yang tampak pada minggu kelima dan pada
perkembangan selanjutnya sepasang massa aritenoid ini akan membentuk tonjolan
yang kemudian akan menjadi kartilago kuneiforme dan kartilago kornikulata.
Kedua aritenoid ini dipisahkan oleh incisura interaritenoid yang kemudian
berobliterasi. Ketika ketiga organ ini tumbuh selama minggu ke 5-10, lumen
laring mengalami obliterasi, baru pada minggu kesembilan kembali terbentuk
lumen yang berbentuk oval. Plika vokal sejati dan plika vokalis palsu terbentuk
antara minggu ke 8-9.4
Otot-otot laring pada mulanya muncul sebagai suatu sfingter intrinsik yang
terletak dalam tunas kartilago tiroid dan krikoid. Selama perkembangan
selanjutnya, sfingter ini terpisah menjadi massa otot-otot tersendiri. Otot-otot
laring pertama yang dikenal adalah interaritenoid, ariepiglotika, krikoaritenoid
2
berfungsi sebagai katup untuk melindungi jalan-jalan udara dan menjaga supaya
jalan udara selalu terbuka, terutama sewaktu menelan. Laring juga berfungsi
sebagai mekanisme fonasi yang dirancang untuk pembentukan suara.7
Kerangka laring terdiri dari sembilan tulang rawan yang berhubungan
melalui ligamentum dan membran. Dari sembilan tulang rawan terdapat tiga yang
tunggal (kartilago tiroid, kartilago krikoid, dan kartilago epiglotik), dan tiga
tulang rawan berpasangan (kartilago aritenoid, kartilago kornikulata, dan kartilago
kuneiforme).7
Kartilago tiroid adalah yang terbesar dari tulang rawan laring. Bagian dua
pertiga kartilago tiroid berupa lembar-lembar yang bersatu di bidang median
untuk membentuk prominentia laring (adams apple). Tepat di atas prominensia
4
laring (adams apple), kedua lembar berpisah untuk membentuk insisura tiroid
yang berbentuk V. Tepi posterior masing-masing lembar (lamina) menonjol ke
atas sebagai kornu superior dan ke bawah sebagai kornu inferior. Tepi superior
dan kedua kornu superior kartilago tiroid dihubungkan dengan os hioid oleh
membrana tiroid. Bagian median membrana tiroid ini yang lebih tebal, dikenal
sebagai ligamentum tirohioid medial; bagian-bagian lateral yang menebal adalah
ligamentum tirohioid lateral yang dapat mengandung beberapa cartilagines
triticeae yang menyerupai butir-butir gandum dan membantu menutup lubang
laring sewaktu menelan. Kornu inferior kartilago tiroid bersendi dengan
permukaan lateral kartilago krikoid pada artikulasio krikotiroid. Gerak-gerak
utama pada kedua sendi ini adalah rotasi dan gerak luncur kartilago tiroid yang
menghasilkan perubahan ukuran panjang plika vokal.7
Kartilago krikoid berbentuk seperti cincin stempel yang tangkainya
menghadap ke depan. Bagian posterior (stempel) kartilago krikoid adalah
lempengnya, dan bagian anterior (tangkai) membentuk lengkungnya. Meskipun
kartilago krikoid lebih kecil daripada kartilago tiroid, tulang rawan ini lebih tebal
dan lebih kuat. Kartilago krikoid dihubungkan pada tepi bawah kartilago tiroid
oleh ligamentum krikotiroid media dan pada kartilago trakeal I oleh ligamentum
krikotrakeal. Ligamentum krikotiroid menyebabkan adanya titik lunak di bawah
kartilago tiroid. Disini laring terletak paling dekat pada kulit dan paling mudah
dicapai.7
Kartilago aritenoid berbentuk seperti limas bersisi tiga. Tulang rawan ini
berpasangan, bersendi dengan bagian-bagian lateral tepi atas lempeng kartilago
krikoid. Masing-masing tulang rawan di sebelah atas memiliki apeks (puncak), di
sebelah anterior sebuah prosesus vokal, dan sebuah prosesus muskular yang
menonjol ke lateral dari alasnya. Apeks kartilago aritenoid dilekatkan pada plika
ariepiglotika, prosesus vokal pada ligamentum vokal, dan prosesus muskularis
pada m.krikoaritenoid posterior dan m.krikoaritenoid lateral.7
2. Ventrikulus laring yang terletak antara plika vestibular dan di atas plika vokal
(ke lateral ventrikulus laring meluas sebagai sinus laring; dari masing-masing
sinus sebuah sakulus laring yang buntu, menonjol ke atas antara plika vestibular
dan lamina kartilago tiroid); 3. Kavitas infraglotika, yakni kavitas laringis inferior
yang meluas dari plika vokal ke tepi inferior kartilago krikoid, dan disini bersatu
dengan rongga dalam kranium.7
melintas di sebelah dalam tepi inferior muskulus konstriktor faring inferior. Saraf
ini terpecah menjadi ramus anterior dan ramus posterior yang mengiringi arteri
laringeus inferior ke dalam laring.7
servikal superior profunda. Pembuluh limfe dari laring di bawah plika vokal
ditampung oleh kelenjar limfe servikal inferior profunda.7
2.2 Fisiologi
Laring berfungsi untuk proteksi, batuk respirasi, sirkulasi, menelan, emosi
serta fonasi. Fungsi laring untuk proteksi adalah untuk mencegah makanan dan
benda asing masuk ke dalam trakea, dengan jalan menutup aditus laring dan rima
glotis secara bersamaan. Terjadinya penutupan aditus laring karena pengangkatan
laring ke atas akibat kontraksi otot-otot ekstrinsik laring. Dalam hal ini kartilago
aritenoid bergerak ke depan akibat kontraksi m.tiroaritenoid dan m.aritenoid.
Selain itu dengan refleks batuk, benda asing yang telah masuk ke dalam trakea
dapat dibatukkan keluar. Demikian juga dengan bantuan batuk, sekret yang
berasal dari paru dapat dikeluarkan.9
Fungsi respirasi dari laring adalah dengan mengatur besar kecilnya rima
glotis. Bila m. krikoaritenoid posterior berkontraksi akan menyebabkan prosesus
vokal
(abduksi).9
Fungsi laring dalam membantu proses menelan adalah dengan 3
mekanisme, yaitu gerakan laring bagian bawah ke atas, menutup aditus laring dan
mendorong lobus makanan ke hipofaring dan tidak mungkin masuk ke dalam
laring.9
Laring juga mempunyai fungsi untuk mengekspresikan emosi seperti
berteriak, mengeluh, menangis, dan lain-lain. Fungsi lain laring adalah untuk
fonasi, dengan membuat suara serta menentukan tinggi rendahnya nada. Tinggi
rendahnya nada diatur oleh peregangan plika vokal. Bila plika vokal dalam
keadaan aduksi, maka m.krikotiroid akan merotasikan kartilago tiroid ke bawah
dan ke depan, menjauhi kartilago aritenoid. Pada saat yang bersamaan
m.krikoaritenoid posterior akan menahan atau menarik kartilago aritenoid ke
belakang. Plika vokal kini dalam keadaan yang efektif untuk berkontraksi.
Sebaliknya kontraksi m.krikoaritenoid akan mendorong kartilago aritenoid ke
11
depan, sehingga plika vokal akan mengendor. Kontraksi serta mengendornya plika
vokal akan menentukan tinggi rendahnya nada.9
12
BAB III
LARINGITIS KRONIS
3.1 Definisi
Laringitis adalah suatu peradangan pada kotak suara (laring) yang dapat
menyebabkan suara serak atau hilangnya suara. Laringitis yang berlangsung lebih
dari tiga minggu dikenal sebagai laringitis kronis.1
Pada peradangan ini, seluruh mukosa laring hiperemis dan menebal, dan
kadang-kadang pada pemeriksaan patologik terdapat metaplasi skuamosa.10
13
3.3 Klasifikasi
Laringitis kronik terdiri dari laringitis kronik spesifik dan laringitis kronik
nonspesifik.10
3.3.1 Laringitis Kronis Spesifik
Yang termasuk dalam laringitis kronis spesifik ialah : laringitis
tuberkulosis dan laringitis luetika.10
3.3.1.1 Laringitis Tuberkulosis
Penyakit ini hampir selalu sebagai akibat tuberkulosis paru. Sering kali setelah
diberi pengobatan, tuberkulosis parunya sembuh tetapi laringitis tuberkulosisnya
menetap. Hal ini terjadi karena struktur mukosa laring yang sangat lekat pada
kartilago serta vaskularisasi yang tidak sebaik paru, sehingga bila infeksi sudah
mengenai kartilago, pengobatannya lebih lama.10
3.3.1.2 Laringitis Luetika
Radang menahun ini jarang ditemukan. Dalam hubungan penyakit di laring yang
perlu dibicarakan ialah lues stadium tersier (ketiga) yaitu pada stadium
pembentukan guma. Bentuk ini kadang-kadang menyerupai keganasan laring.10
3.3.2 Laringitis Kronik Nonspesifik
Laringitis kronik merupakan keadaan nonspesifik yang sering terjadi,
dengan seluruh mukosa laring (dan biasanya faring) menjadi hiperemi dan
hiperplasi. Kadang-kadang mukosa menjadi berlebihan, terutama disekitar pita
suara palsu. Cenderung timbul leukoplakia, miksedema submukosa dan sekresi
lendir yang kental lengket setinggi glotis.12
Laringitis
disebabkan
oleh
merokok,
dan
14
3.4 Patofisiologi
Gambar 8. Laringitis14
Pada kronik laringitis yang terjadi adalah proses peradangan yang
menyebabkan perubahan yang ireversibel pada mukosa laring. Proses reaktif dan
reparatif laring menggambarkan faktor-faktor patogen yang bersifat menetap
walaupun faktor penyebabnya telah dapat disingkirkan. Tergantung dari
penyebabnya, perubahan yang terjadi pada mukosa dapat bervariasi. Peradangan,
edema, hiperemis, dan infiltrasi serta proliferasi mukosa dapat menggambarkan
respon inflamasi yang berbeda-beda dari setiap tingkatan.15
Proses peradangan dapat merusak jaringan epitel dari laring sampai ke
bagian posterior dari dinding mukosanya. Hal tersebut mempengaruhi fungsi
utama laring dimana proses pengeluaran mukus trakeobronkial dapat terganggu.
Saat gerakan silia epitel terganggu, maka akan terjadi stasis mukus pada dinding
posterior laring dan sekitar plika vokal dapat merangsang batuk yang reaktif.
Mukus pada pita suara dapat menyebabkan laringospasme. Perubahan signifikan
pada epitel pita suara dapat terjadi hiperkeratosis, diskeratosis, parakeratosis,
akantosis, dan seluler atipik. 15
15
3.5 Gejala
Gejala laringitis kronis, antara lain : suara yang serak, parau dan lemah;
batuk kering; tenggorok terasa kering; nyeri tenggorok; suara yang semakin lama
semakin melemah.17
Jika gejala yang terjadi lebih dari 3 minggu, maka pasien mengalami
laringitis kronis.13
3.6 Diagnosis
Pemeriksaan tidak langsung jalan napas dengan menggunakan cermin,
ataupun secara langsung dengan nasolaringoskopi fleksibel maka dapat terlihat
pita suara eritema dan edema, terdapatnya sekret dan permukaan pita suara yang
terlihat ireguler. Perhatikan pula mobilitas dari pita suara dan adanya obstruksi
jalan napas.13
Pada laringitis kronis dapat dilakukan pemeriksaan fisik seperti di bawah
ini, antara lain: otot-otot bantu pernapasan yang digunakan pada saat respirasi
harus diperiksa, jika ditemukan maka auskultasi jalan napas dan pemeriksaan
pulse oksimetri harus dilakukan; pada kasus infeksi, demam atau parameter lain
yang mengindikasikan toksisitas dapat timbul; pemeriksaan menyeluruh pada
kepala dan leher merupakan hal mutlak yang harus dilakukan ; kelenjar tiroid,
laring dan trakea harus dievaluasi; laringoskopi indirek dapat dilakukan pada
pemeriksaan rutin; lidah, tonsil dan nasofaring, serta sinus untuk menentukan
sumber infeksi; trakeobronkial dan paru harus dipikirkan sebagai penyebab
pontesial dari infeksi; mukus (terutama pada bagian posterior laring), eritema, dan
edema, merupakan temuan yang non-spesifik dari laringitis; beberapa kondisi
tertentu dapat menyerupai, seperti histoplasmosis, blastomikosis, yang merupakan
infeksi jamur yang menyerupai gambaran tuberkulosis dan kanker sel skuamosa
pada laring; epiglotis dan pita suara harus diperiksa; pemeriksaan stroboskopi
16
3.8 Penatalaksanaan
Terapi yang terpenting ialah mengobati peradangan di hidung, faring serta
bronkus yang mungkin menjadi penyebab laringitis kronis. Pasien diminta untuk
tidak banyak berbicara (vocal rest).10
17
laparoskopi,
menggunakan
teknik
fundoplikasi
Nissen,
telah
3.9 Komplikasi
Laringitis kronis biasanya menimbulkan komplikasi, antara lain:
penyebaran infeksi ke sistemik atau struktur di sekitarnya; stenosis laring yang
18
diakibatkan suprainfeksi akut pada laringitis kronis dan edema atau stenosis
sekunder akibat proses lama yang telah terjadi; kerusakan struktur pita suara yang
permanen; transformasi menjadi keganasan.15
BAB IV
RESUME
Laringitis adalah suatu peradangan pada kotak suara (laring) yang dapat
menyebabkan suara serak atau hilangnya suara. Laringitis yang berlangsung lebih
dari tiga minggu dikenal sebagai laringitis kronis.1
Laringitis kronis, sesuai dengan yang ditunjukkan namanya, meliputi
gejala-gejala dengan durasi yang lebih lama, juga membutuhkan waktu yang lama
untuk berkembang. Laringitis kronis dapat disebabkan oleh faktor-faktor
lingkungan seperti inhalasi asap rokok atau polusi udara (seperti gas-gas kimia),
iritasi dari inhalers pada penderita asma, penyalahgunaan suara (seperti berteriak),
atau refluks gastrointestinal esofagus.13,15
Pada laringitis kronis yang terjadi adalah proses peradangan yang
menyebabkan perubahan yang ireversibel pada mukosa laring. Proses peradangan
dapat merusak jaringan epitel dari laring sampai ke bagian posterior dari dinding
mukosanya. Hal tersebut mempengaruhi fungsi utama dari laring dimana proses
19
pengeluaran mukus dari trakeobronkial dapat terganggu. Saat gerakan silia dari
epitel terganggu, maka akan terjadi stasis mukus pada dinding posterior dari laring
dan sekitar plika vokal dapat merangsang batuk yang reaktif. Mukus yang
mengenai pita suara dapat menyebabkan laringospasme.15
Gejalanya ialah suara parau yang menetap, rasa tersangkut di tenggorok,
sehingga pasien sering mendehem tanpa mengeluarkan sekret, karena mukosa
yang menebal.10
Pemeriksaan tidak langsung dari jalan napas dengan menggunakan cermin,
ataupun secara langsung dengan nasolaringoskopi fleksibel maka dapat terlihat
pita suara eritema dan edema, terdapatnya sekret dan permukaan pita suara yang
terlihat ireguler.13
Terapi yang terpenting ialah mengobati peradangan di hidung, faring serta
bronkus yang mungkin menjadi penyebab laringitis kronis. Pasien diminta untuk
tidak banyak berbicara (vocal rest).10
20
DAFTAR PUSTAKA
1. Mayo
Clinic.
Laryngitis
diakses
http://www.mayoclinic.com/health/laryngitis/DS00366
2. Laryngitis,
2006.
Diakses
dari
dari
:
:
http://www.cnn.com/HEALTH/library/DS/00366.html
3. Van den Broek P, Feenstra L. Laring. In : Iskandar N. Buku Saku Ilmu
Kesehatan Tenggorok Hidung Telinga. 12th ed. Jakarta : Penerbit Buku
Kedokteran EGC: Hal 142
4. Lee, K.J. Cancer of the Llarync. In : Essential Otolaryngology Head and
Neck Surgery. 8th ed. Connecticut. McGraw-Hill, 2003: 598-606.
5. Brown Scott : otolaryngology. 6th ed. Vol.1. Butterworth, Butterworth &
Co Ltd. 1997. Page 1/12/1-1/12/18
6. Moore, E.J and Senders, C.W. cleft lip and palate. In : Lee, K.J. Essential
otolaryngology Head and Neck Surgery. 8th ed. Connecticut. McGrawHill, 2003: 241-242.
7. Moore L.K., Agur M.R.A. Leher. Dalam : Sadikin V, Saputra V. Anatomi
Klinis Dasar. Jakarta : Hipokrates, 2002: Hal 433-7.
8. Harry M. Tucker, The Larynx, Thieme 1987, p.11, fig1.11
9. Hermani B, Hutauruk M.S. Disfonia. In : Soepardi EA, Iskandar N (eds).
Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorokan, Kepala dan
Leher. 6th ed. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2007:
Hal.234
21
Diakses
dari
http://www.emedicine.com/ent/topic353.htm
14. Laryngitis. Diakses dari :http://www.webmd.com/hw-popup/laryngitis .
15. Berliti S. August 16, 2007. Chronic Laryngitis, Infectious or Allergic.
Diakses dari : http://www.emedicine.com/ent/topic354.htm
16. Laryngitis. February 16, 2007. Diakses dari: http://www.webmd.com/a-toz-guides/laryngitis-symptoms
17. Laryngitis.
2005.
Diakses
dari
http://www.med.umich.edu/1libr/wha/wha_chronlar_crs.htm
22