net
jurnal arsitektur online
Volume 1 No 2 (2007)
Arsitektur dalam
Kehidupan Sehari-hari:
Modernitas vs Tradisi
Niken Palupi
Arsitektur memiliki kaitan yang erat dengan tradisi masyarakat. Tetapi
dalam era modern dan globalisasi, arsitektur telah mengalami perubahan
dan menemukan gaya barunya akibat adanya teknologi, birokrasi,
kekuatan ekonomi dan politik. Arsitektur modern kemudian identik dengan
pengembang, bisnis, monopoli, dan politisi. Pertanyaan yang kerap kali
muncul saat ini adalah apakah keseharian kita yang yang timbul akibat
modernitas sekarang merupakan jenis kehidupan yang memang kita
butuhkan, atau kah modernitas tersebut justru benar-benar merupakan
oposisi dari keseharian kita yang telah lama terkukung oleh tradisi? Dan
kemudian apakah tradisi tersebut memang harus terus kita pertahankan?
Menurut Halley (1997), terdapat dua versi kehidupan sehari-hari
masyarakat modern saat ini, yang pertama adalah pengalaman estetik
yang berkaitan dengan nilai-nilai demokratis. Ciri-cirinya seperti pada
arsitektur Amerika, penggunaan ruang publik seperti taman dan jalan
sudah dikontrol oleh pihak yang berkuasa. Masyarakat tidak menggunakan
ruang publik lagi untuk berkumpul dengan orang-orang yang tidak saling
kenal, karena simbolisasi dari ruang publik tersebut sudah diperkenalkan
ke dalam kehidupan privat, contohnya pool hall dan taman. Pada versi
yang pertama itu masyarakat lebih mandiri dan kecanggihan teknologi
tidak dipergunakan untuk kemewahan. Sedangkan versi yang kedua
adalah pentingnya menunjukkan identitas kelas yang berkuasa atau
powerful class, yaitu generasi yang memproduksi entertainment dan
Dan seperti yang dinyatakan oleh Lofland (1985: 70): While retail buying
and selling remains very much a public activity, it has largely been moved
indoors, off the streets and walk ways. Certainly much if this movement is
due to technological innovations, economic pressures, and general
realization of business, ....
Kebudayaan modern yang merupakan mass-culture atau pop-culture
diklaim sebagai sebuah kebudayaan yang merupakan transformasi
demokratis dikritik oleh Adorno (2004) yang mengemukakan bahwa artistic
modernism atau modernisme artistik dapat dimengerti oleh beberapa
orang saja (esoteric) dibandingkan dengan budaya global yang tersedia
untuk semua orang.
Terdapat beberapa alasan instrumental dari terbentuknya industri budaya
atau culture industry, yaitu terjadinya transformasi sosial yang
menyebabkan timbulnya kebutuhan akan kebebasan utuh atau integral
freedom. Kebutuhan tersebut akan menimbilkan transformasi yang radikal
dalam masyarakat. Berdasarkan sejarah Marxisme, contoh progres dari
integral freedom tersebut adalah kapitalisme. Kapitalisme lah yang
menyebabkan terbentuknya sejarah global atau sejarah universal. Faktor
lainnya adalah rasionalitas Barat yang menyebabkan terbentuknya
pemikiran kapitalisme liberal. Selain itu juga adanya organisasi ekonomi
dari kapitalisme modern yang membawahi produksi pasar dimana barangbarang diproduksi bukan untuk kebutuhan manusia tetapi untuk
kepentingan profit dan memperoleh modal yang lebih.
Rasionalitas mengabaikan partikularitas yang memperhatikan perasaan
manusia. Seni yang menjadi budaya massa pada modernisme belum tentu
membawa kebahagiaan seutuhnya, melainkan hanya cara mudah untuk
mencapai kebahagiaan. Semua itu berawal dari adanya kekuasaan mesin
dalam memproduksi barang-barang kebutuhan manusia. Mesin dinilai
sebagai kenikmatan bagi manusia, karena dapat bekerja dengan cepat
dan mudah. Dengan demikian, industri budaya hanya merupakan
unversalitas atau seni yang bersifat homogen dan merupakan kesenangan
yang mudah dan cepat, setara dengan kesenangan dan kemudahan
tenaga kerja yang memproduksinya.
Arsitektur modern merupakan hasil dari pemikiran modern atau yang
disebut dengan modernism. Penjelasan yang ada tidak terpaku pada
langgam atau gaya dari arsitektur modern yang lebih membahas
mengenai ciri-ciri fisik yang spesifik dari arsitektur modern. Yang lebih
ditekankan di sini adalah pola pikir modernisme yang mempengaruhi
lahirnya dan berkembangnya arsitektur modern.
Pada masa abad ke-20, segala aspek dalam kehidupan sedang berubah
dan berkembang. Akan tetapi, arsitektur malah mengalami masa stagnan
dan terpaku pada arsitektur abad ke-19 dan yang terjadi hanyalah
perdebatan akan arsitektur historis mana yang akan dipertahankan.
Seperti yang dinyatakan oleh Le Corbusier, in an unhappy state of
retrogression (dalam Darling, 2000).
Sejak saat itu Le Corbusier memiliki misi untuk membuat suatu bentuk
yang modern dan revolusioner di abad ke-20. Modernisme pada arsitektur
atau yang dapat disebut dengan New Architecture menurut Le Corbusier,
merupakan suatu produk dan metode teknik perekayasaan (engineering)
sebagai inspirasi dari bentuk arsitektur modern. Itulah yang ia sebut
sebagai Engineers Aesthetic dimana terdapat simplisitas dan
standardisasi bentuk. Demikian juga dengan metode logis pada desain
yang lebih mementingkan fungsi, bukan hanya sekedar gaya atau style.
Akan tetapi, arsitektur modern juga tetap memperhatikan nilai-nilai
esensial dari arsitektur, yaitu faktor-faktor yang menjadi indikator arsitektur
yang baik, yaitu volume, surface, and plan.
Modernisme mengabaikan komplikasi yang dapat ditemukan di
masyarakat primitif. Simplisitas yang dijunjung tinggi oleh modernisme kini
dapat ditemukan mulai dari penggolongan kawasan pada kota
berdasarkan kelas sosial dan aktivitasnya, sampai pada lingkup yang lebih
sempit, yaitu pada konsep desain sebuah bangunan. Seperti yang
dinyatakan oleh Lofland (1985: 74): By the eighteenth century,
neighborhood segregation by class was already apparent, ... residential
class homogenization intensified. Contohnya adalah adanya pemukiman
kelas menengah ke atas dan pemukiman kelas bawah yang sering
ditemukan di kota-kota modern. Kemudian adanya wilayah yang
tergolongkan berdasarkan etnis tertentu di kota-kota besar seperti China
town dan Indian town. Segregasi yang ada tidak hanya dalam hal
perumahan tetapi juga pemisahan areal permukiman dengan areal pusat
perkantoran, pemisahan yang jelas antara jalan dengan pusat
perbelanjaan.
Modernisme juga erat kaitannya dengan kapitalisme, globalisasi, dan
totaliterisme, seperti yang dinyatakan oleh Deamer (1997: 198): ... the
reaction against modernization was not merely its link to capitalism and
globalization, but in the aftermath of World War II, totalitarianism as well.
Kapitalisme sangat terlihat dari adanya kekuatan pemerintah untuk
membuat suatu perencanaan urban, seperti yang dinyatakan oleh
Lefebvre (dalam McLeod, 1997: 24): The city was the locus of the most
Daftar Pustaka
Deamer, P. (1997). The Everyday and the Utopian. Dalam Harris, S. dan
Berke, D. (Ed.), Architecture of the Everyday (hal. 198). New York:
Princeton
Architectural
Press.
Halley, P. (1997). The Everyday Today: Experience and Ideology. Dalam
Harris, Steven dan Berke, Deborah (Ed.), Architecture of the Everyday.
New
York:
Princeton
Architectural
Press.
McLeod, M. (1997). Henri Lefebvres Critique of Everyday Life: An
Introduction. Dalam Harris, S. dan Berke, D. (Ed.), Architecture of the
Everyday.
New
York:
Princeton
Architectural
Press.
Lofland, L. H. (1985). A World of Strangers, Order and Action in Urban
Public
Space.
Illinois:
Waveland
Press.
Miles, M. (2000). The Uses of Decoration, Essays in the Architectural
Everyday.
West
Sussex:
John
Wiley
&
Sons.
Shils, E. (1981). Tradition. Chicago : The University of Chicago Press.
Stern, R. A. M. (2003). Urbanism is About Human Life. Dalam Tschumi, B.
dan Cheng, I. (Ed.), The State of Architecture at the Beginning of the 21st
Century,.New
York:
The
Monecelli
Press.
Queysanne, B. (1989). Tradition and Modernity in the Face of Time.
Traditional Dwelling and Settlements Review, vol. I (1).