Anda di halaman 1dari 8

arsitektur.

net
jurnal arsitektur online
Volume 1 No 2 (2007)

Arsitektur dalam
Kehidupan Sehari-hari:
Modernitas vs Tradisi
Niken Palupi
Arsitektur memiliki kaitan yang erat dengan tradisi masyarakat. Tetapi
dalam era modern dan globalisasi, arsitektur telah mengalami perubahan
dan menemukan gaya barunya akibat adanya teknologi, birokrasi,
kekuatan ekonomi dan politik. Arsitektur modern kemudian identik dengan
pengembang, bisnis, monopoli, dan politisi. Pertanyaan yang kerap kali
muncul saat ini adalah apakah keseharian kita yang yang timbul akibat
modernitas sekarang merupakan jenis kehidupan yang memang kita
butuhkan, atau kah modernitas tersebut justru benar-benar merupakan
oposisi dari keseharian kita yang telah lama terkukung oleh tradisi? Dan
kemudian apakah tradisi tersebut memang harus terus kita pertahankan?
Menurut Halley (1997), terdapat dua versi kehidupan sehari-hari
masyarakat modern saat ini, yang pertama adalah pengalaman estetik
yang berkaitan dengan nilai-nilai demokratis. Ciri-cirinya seperti pada
arsitektur Amerika, penggunaan ruang publik seperti taman dan jalan
sudah dikontrol oleh pihak yang berkuasa. Masyarakat tidak menggunakan
ruang publik lagi untuk berkumpul dengan orang-orang yang tidak saling
kenal, karena simbolisasi dari ruang publik tersebut sudah diperkenalkan
ke dalam kehidupan privat, contohnya pool hall dan taman. Pada versi
yang pertama itu masyarakat lebih mandiri dan kecanggihan teknologi
tidak dipergunakan untuk kemewahan. Sedangkan versi yang kedua
adalah pentingnya menunjukkan identitas kelas yang berkuasa atau
powerful class, yaitu generasi yang memproduksi entertainment dan

barang-barang mewah. Contohnya adalah pembangunan di Amerika yang


lebih ditekankan pada blok-blok perkantoran dan perumahan mewah di
Fifth Avenue dan Newport (Halley, 1997). Kedua area tersebut merupakan
sebagian dari kawasan paling elit di Amerika Serikat.
Akan tetapi di lain pihak, arsitektur modern tidak mampu mengangkat
kebutuhan manusia sebagai penggunanya, serta nilai-nilai lokal atau
tradisi yang ada pada masyarakat karena menurut Stern (2003), arsitektur
modern lebih mementingkan form atau bentuk serta nilai-nilai global.
Dalam hal ini, subjektivitas dalam arsitektur sangatlah kurang, akibat
adanya rasionalisasi. Seharusnya arsitektur lebih mementingkan
bagaimana tubuh akan bereaksi, bagaimana arsitektur dapat memberikan
kenyamanan dan kepuasan bagi tubuh penggunanya, dimana penglihatan,
sentuhan, pendengaran, dan aroma menjadi faktor-faktor yang sangat
penting, dan bagaimana arsitektur dapat menjadi tempat yang dapat
mengakomodir kebutuhan-kebutuhan dasar penggunanya.
Tradisi sangat erat hubungannya dengan kehidupan sehari-hari dalam
masyarakat. Arsitektur dalam kehidupan sehari-hari atau architecture of
the everyday itu sendiri dapat diartikan sebagai arsitektur yang familiar
atau umum, tidak harus hebat, tetapi dapat memberikan arti yang
sesungguhnya bagi pemiliknya. Namun apabila kita melihat kehidupan
masyarakat modern yang dikuasai oleh kekuatan ekonomi atau
kapitalisme, definisi arsitektur kehidupan sehari-hari tersebut akan sulit
untuk diwujudkan karena sifat modernitas dan tradisi saling bertentangan
satu sama lain.
Menurut Le Corbusier (dalam Darling, 2000), era modern atau era abad
ke-20 merupakan era mesin atau machine age dimana teknologi, industri,
dan produksi massal sangat mendominasi. Era ini merupakan era
internasionalisme, komunikasi massa, demokrasi massa, dan sains.
Pola hidup atau tradisi masyarakat modern terkekang oleh tuntutan
ekonomi. Hal tersebut dapat dilihat dari rutinitas sehari-hari yang sangat
repetitif, dimana mereka harus bekerja setiap hari dan selalu menyibukkan
diri. Dengan pola hidup yang demikian akan tercipta masyarakat yang
individualis. Dari sifat individualistis tersebut maka kegiatan masyarakat
akan terpisah-pisah dan selalu terasing dengan adanya tembok atau
dinding bangunan sebagai pembatas mereka, sehingga semua kegiatan
cenderung bersifat indoor. Seperti yang dinyatakan oleh Lefebvre (dalam
McLeod, 1997: 21): He believed that revolutionary change was a slower
and more comprehensive process, less theatrical and individualistic,
necessiting a more historically grounded engagement with everyday life.

Dan seperti yang dinyatakan oleh Lofland (1985: 70): While retail buying
and selling remains very much a public activity, it has largely been moved
indoors, off the streets and walk ways. Certainly much if this movement is
due to technological innovations, economic pressures, and general
realization of business, ....
Kebudayaan modern yang merupakan mass-culture atau pop-culture
diklaim sebagai sebuah kebudayaan yang merupakan transformasi
demokratis dikritik oleh Adorno (2004) yang mengemukakan bahwa artistic
modernism atau modernisme artistik dapat dimengerti oleh beberapa
orang saja (esoteric) dibandingkan dengan budaya global yang tersedia
untuk semua orang.
Terdapat beberapa alasan instrumental dari terbentuknya industri budaya
atau culture industry, yaitu terjadinya transformasi sosial yang
menyebabkan timbulnya kebutuhan akan kebebasan utuh atau integral
freedom. Kebutuhan tersebut akan menimbilkan transformasi yang radikal
dalam masyarakat. Berdasarkan sejarah Marxisme, contoh progres dari
integral freedom tersebut adalah kapitalisme. Kapitalisme lah yang
menyebabkan terbentuknya sejarah global atau sejarah universal. Faktor
lainnya adalah rasionalitas Barat yang menyebabkan terbentuknya
pemikiran kapitalisme liberal. Selain itu juga adanya organisasi ekonomi
dari kapitalisme modern yang membawahi produksi pasar dimana barangbarang diproduksi bukan untuk kebutuhan manusia tetapi untuk
kepentingan profit dan memperoleh modal yang lebih.
Rasionalitas mengabaikan partikularitas yang memperhatikan perasaan
manusia. Seni yang menjadi budaya massa pada modernisme belum tentu
membawa kebahagiaan seutuhnya, melainkan hanya cara mudah untuk
mencapai kebahagiaan. Semua itu berawal dari adanya kekuasaan mesin
dalam memproduksi barang-barang kebutuhan manusia. Mesin dinilai
sebagai kenikmatan bagi manusia, karena dapat bekerja dengan cepat
dan mudah. Dengan demikian, industri budaya hanya merupakan
unversalitas atau seni yang bersifat homogen dan merupakan kesenangan
yang mudah dan cepat, setara dengan kesenangan dan kemudahan
tenaga kerja yang memproduksinya.
Arsitektur modern merupakan hasil dari pemikiran modern atau yang
disebut dengan modernism. Penjelasan yang ada tidak terpaku pada
langgam atau gaya dari arsitektur modern yang lebih membahas
mengenai ciri-ciri fisik yang spesifik dari arsitektur modern. Yang lebih
ditekankan di sini adalah pola pikir modernisme yang mempengaruhi
lahirnya dan berkembangnya arsitektur modern.

Pada masa abad ke-20, segala aspek dalam kehidupan sedang berubah
dan berkembang. Akan tetapi, arsitektur malah mengalami masa stagnan
dan terpaku pada arsitektur abad ke-19 dan yang terjadi hanyalah
perdebatan akan arsitektur historis mana yang akan dipertahankan.
Seperti yang dinyatakan oleh Le Corbusier, in an unhappy state of
retrogression (dalam Darling, 2000).
Sejak saat itu Le Corbusier memiliki misi untuk membuat suatu bentuk
yang modern dan revolusioner di abad ke-20. Modernisme pada arsitektur
atau yang dapat disebut dengan New Architecture menurut Le Corbusier,
merupakan suatu produk dan metode teknik perekayasaan (engineering)
sebagai inspirasi dari bentuk arsitektur modern. Itulah yang ia sebut
sebagai Engineers Aesthetic dimana terdapat simplisitas dan
standardisasi bentuk. Demikian juga dengan metode logis pada desain
yang lebih mementingkan fungsi, bukan hanya sekedar gaya atau style.
Akan tetapi, arsitektur modern juga tetap memperhatikan nilai-nilai
esensial dari arsitektur, yaitu faktor-faktor yang menjadi indikator arsitektur
yang baik, yaitu volume, surface, and plan.
Modernisme mengabaikan komplikasi yang dapat ditemukan di
masyarakat primitif. Simplisitas yang dijunjung tinggi oleh modernisme kini
dapat ditemukan mulai dari penggolongan kawasan pada kota
berdasarkan kelas sosial dan aktivitasnya, sampai pada lingkup yang lebih
sempit, yaitu pada konsep desain sebuah bangunan. Seperti yang
dinyatakan oleh Lofland (1985: 74): By the eighteenth century,
neighborhood segregation by class was already apparent, ... residential
class homogenization intensified. Contohnya adalah adanya pemukiman
kelas menengah ke atas dan pemukiman kelas bawah yang sering
ditemukan di kota-kota modern. Kemudian adanya wilayah yang
tergolongkan berdasarkan etnis tertentu di kota-kota besar seperti China
town dan Indian town. Segregasi yang ada tidak hanya dalam hal
perumahan tetapi juga pemisahan areal permukiman dengan areal pusat
perkantoran, pemisahan yang jelas antara jalan dengan pusat
perbelanjaan.
Modernisme juga erat kaitannya dengan kapitalisme, globalisasi, dan
totaliterisme, seperti yang dinyatakan oleh Deamer (1997: 198): ... the
reaction against modernization was not merely its link to capitalism and
globalization, but in the aftermath of World War II, totalitarianism as well.
Kapitalisme sangat terlihat dari adanya kekuatan pemerintah untuk
membuat suatu perencanaan urban, seperti yang dinyatakan oleh
Lefebvre (dalam McLeod, 1997: 24): The city was the locus of the most

intense contradictions of capitalism : ... of which government urban


planning was one of its clearest manifestations; ....
Berbeda dengan kondisi pada jaman sebelum era modernisme dimana
pola hidup masyarakatnya sangat beragam, mulai dari perumahan, cara
berpakaian, cara makan dan minum, serta cara hidupnya. Keragaman
tersebut terjadi akibat pola hidup yang tidak berada di bawah suatu sistem
atau birokrasi seperti yang terjadi pada era modernisme sekarang ini.
Kapitalisme dan birokrasi itu pula yang membuat pemerintah
menyeragamkan pola kota, atau dalam lingkup yang lebih sempit lagi yaitu
pada pola perumahan atau bahkan konstruksi pembangunannya. Dengan
demikian arsitektur pada era modern dapat terlihat seperti produksi massal
atau mass marketed product.
Akan tetapi dalam era modern seperti sekarang ini ternyata timbul
kontradiksi antara tradisi dan modernitas. Dalam proses transmisi tradisi
dari generasi ke generasi selalu terjadi perubahan-perubahan, sehingga
tradisi tidak mungkin dapat dilestarikan sepenuhnya. Proses transmisi
tersebut menyebabkan adanya perubahan interpretasi dari masyarakat
terhadap tradisi yang akhirnya disebut dengan modernitas. Menurut Shils
(1981), tidak terdapat perubahan yang signifikan di dalam proses transmisi
tersebut. Terdapat kontinuitas atau hubungan yang dihasilkan dari suatu
rantai generasi, sehingga kualitasnya akan tetap sama.
Namun jika dilihat dari kekontrasan yang radikal antara tradisi dan
modernitas, maka modernitas yang tercipta tersebut merupakan sebuah
tradisi baru. Dapat dikatakan demikian karena perubahan yang terjadi
sangat signifikan, tidak sesuai dengan konsep transmisi sebuah tradisi
seperti yang dikemukakan oleh Shils (1981). Dalam hal ini berarti
modernitas memiliki kecenderungan untuk menolak tradisi. Penolakan
tersebut terjadi akibat adanya ketidakpuasan masyarakat terhadap suatu
pola yang telah diturunkan dari generasi-generasi sebelumnya. Selain itu,
modernitas juga bisa terjadi akibat terlalu banyaknya pengaruh dari tradisi
global yang masuk melalui teknologi informasi yang berlebihan, sehingga
kebudayaan masyarakat bukan merupakan kebudayaan lokal melainkan
sudah menjadi sebuah kebudayaan global.
Kekontrasan antara tradisi dan modernitas dapat digambarkan melalui
sederetan sifat-sifat yang saling bertentangan sebagai berikut : permanen
vs perubahan, rutinitas vs inovasi, lokal vs internasional, anonim vs
teridentifikasi, prasangka vs kebebasan, mitos vs alasan, dan natural vs
artifisial (Queysanne,1989).

Sedangkan arsitektur dalam kehidupan sehari-hari (Architecture of the


Everyday) merupakan oposisi dari sebuah kota monumental yang
mengutamakan fasade dan vista atau kah merupakan oposisi dari kota
global yang terdiri dari daerah-daerah finansial dan daerah-daerah
pemukiman mewah, dengan elemen-elemen kota yang dihubungkan oleh
superhighways
dan
desain
yang
bersifat
homogen,
tanpa
mempertimbangkan aspek geografisnya. Kota global seringkali dikaitkan
dengan kota monumental yang mengutamakan harga diri penghuninya
dan penampakan visualnya, bergantung pada perencanaan dan desain
yang berdasar pada kekuasaan, teknologi, serta terutama pada kekuatan
ekonomi dengan meningkatnya pasar yang tidak beraturan, sehingga
terbentuklah sebuah kota yang dominan dan menjadi pusat. Dengan
demikian, apakah arsitektur kehidupan sehari-hari identik dengan sebuah
kota marginal atau pinggiran?
Dengan kondisi kota global sebagai kota post-modern, kekuatan pada
masyarakat modern hanya terlihat pada kota sentral saja, sedangkan
kekuatannya kurang terlihat pada aspek marginal seperti aspek domestik.
Jadi, pembangunan pada kota sentral lebih bersifat perkembangan bisnis
atau entrepreneurial development. Dengan demikian, kota sentral menjadi
zona positif dan kota-kota marginal menjadi zona negatif. Sebaliknya, jika
dilihat dari sudut pandang penghuni atau dwellers, rumah mereka (zona
domestik) merupakan zona positif dan area di luar jendela rumah mereka
merupakan zona negatif (Miles, 2000). Contohnya adalah para penghuni
perumahan yang lebih memilih untuk tinggal di daerah sub-urban dimana
mereka dapat merasa lebih nyaman karena melihat kondisi kota besar
yang selalu padat dan menjadi pusat segala kegiatan perekonomian.
Masalahnya ternyata lebih kompleks dari sekedar oposisi antara sebuah
kota yang terbantuk dari perencanaan top-down dengan kehidupan yang
lebih mikro, seperti pada street-life. Pertama, arsitektur kehidupan seharihari merupakan okupansi ruang, merupakan bagian dari kota dominan,
menara-menara perkantoran, yang mengganggu dan menganeka
ragamkan pengalaman kota dominan tersebut. Pada kota global, grand
architecture dapat menjadi lebih humble atau ramah dengan adanya
penggunaan bangunan yang tidak dapat diprediksi atau fungsi bangunan
dirasakan secara simultan dan dengan cara yang berlawanan oleh publik
yang berbeda-beda. Sama halnya dengan kehidupan sehari-hari yang
dapat terlihat lebih signifikan dengan adanya kejadian-kejadian khusus,
contohnya seperti munculnya bunga-bunga di sebuah mal di London
setelah meninggalnya Puteri Diana.

Yang kedua, apabila arsitektur kehidupan sehari-hari merupakan arsitektur


vernakular yang terbentuk dari variasi lokal, maka akan sulit untuk
mendefinisikan karakteristik umumnya. Arsitektur kehidupan sehari-hari
berkembang di luar legalitas dan semi-legalitas. Dapat pula dilihat sebagai
proses improvisasi, menggunakan apa pun yang dianggap mudah.
Contohnya adalah bentuk-bentuk karakteristik seperti timbulnya pondok
atau kios, tempat berteduh dan toko-toko kecil, bentuk-bentuk tersebut
timbul dengan bermacam-macam, baik di kota yang makmur maupun
tidak. Arsitektur kehidupan sehari-hari lebih bersifat non-insidental dan
produksi ruang lebih ditekankan pada ide-ide yang timbul dari masyarakat
penghuninya. Akan tetapi pada kenyataanya, masyarakat tidak memiliki
kekuasaan dan kekuatan untuk berperan sebagaimana mestinya, yaitu
untuk membangun kota mereka sendiri.
Bukan pula berarti bahwa keberadaan profesi desainer, perencana, dan
arsitek tidak diperlukan. Akan tetapi profesi arsitek sering kali merupakan
praktik yang bersifat teknis belaka dan tidak mengindahkan aspek-aspek
lain untuk ikut berperan. Dalam periode konsumerisme, terjadi perbedaan
antara kebutuhan dan kemauan akibat dari faktor komersial, media
massa, dan gaya hidup impian yang kerap kali dipromosikan (Miles, 2000).
Menurut Corbusier (dalam Darling, 2000), hanyalah sebuah perkawinan
antara modernitas dengan nilai-nilai tradisional yang dapat membuat
revolusi desain menjadi permanen dan melahirkan arsitektur modern. Atau
dengan kata lain, Architecture is stifled by custom. The styles are a lie,
yang dapat diartikan bahwa arsitektur lebih cenderung kepada budaya
atau kehidupan sehari-hari ketimbang gaya atau style yang hanya bersifat
sebagai topeng dan tidak merepresentasikan budaya masyarakat itu
sendiri.
Jadi kesimpulannya apakah sebenarnya terjadi bentrokan antara
modernitas dan tradisi? Menurut saya, jawabannya adalah memang terjadi
bentrokan antara tradisi dan modernitas karena ternyata dengan adanya
modernitas dan modernisme maka tradisi akan semakin menghilang. Akan
tetapi saat ini masyarakat masih membutuhkan kedua hal yang saling
bertentangan tersebut karena mereka masih belum sepenuhnya dapat
meninggalkan tradisi. Modernisme dan modernitas dapat berjalan
beriringan dengan tradisi tetapi tetap saja modernisme dan modernitas
tersebut merusak dan mengganggu tradisi yang sudah ada.

Daftar Pustaka

Adorno, T. W. (2004). Introduction. Dalam Bernstein, J. M. (Ed.), The


Culture
Industry.
New
York:
Routledge.
Darling, E. (Ed.)

(2000). Le Corbusier. London: Carlton Books.

Deamer, P. (1997). The Everyday and the Utopian. Dalam Harris, S. dan
Berke, D. (Ed.), Architecture of the Everyday (hal. 198). New York:
Princeton
Architectural
Press.
Halley, P. (1997). The Everyday Today: Experience and Ideology. Dalam
Harris, Steven dan Berke, Deborah (Ed.), Architecture of the Everyday.
New
York:
Princeton
Architectural
Press.
McLeod, M. (1997). Henri Lefebvres Critique of Everyday Life: An
Introduction. Dalam Harris, S. dan Berke, D. (Ed.), Architecture of the
Everyday.
New
York:
Princeton
Architectural
Press.
Lofland, L. H. (1985). A World of Strangers, Order and Action in Urban
Public
Space.
Illinois:
Waveland
Press.
Miles, M. (2000). The Uses of Decoration, Essays in the Architectural
Everyday.
West
Sussex:
John
Wiley
&
Sons.
Shils, E. (1981). Tradition. Chicago : The University of Chicago Press.
Stern, R. A. M. (2003). Urbanism is About Human Life. Dalam Tschumi, B.
dan Cheng, I. (Ed.), The State of Architecture at the Beginning of the 21st
Century,.New
York:
The
Monecelli
Press.
Queysanne, B. (1989). Tradition and Modernity in the Face of Time.
Traditional Dwelling and Settlements Review, vol. I (1).

>>back to table of contents


>>back to table of contents

Anda mungkin juga menyukai