Anda di halaman 1dari 5

Blog Isnan Wijarno

Observing the World from Different Perspective


Cari untuk:
Lewati ke konten

Home Fotografi Pajak Serbaneka TI Tentangku Contact

Bukan PKP tidak Perlu Dipungut PPN


1 Balasan

Judul di atas mengutip kalimat halaman 62 Permendikbud No 51/2011 yang


mengatur tentang Petunjuk Teknis Bantuan Operasional Sekolah (BOS) 2012.
Sedangkan Permendikbud No 51/2011 mengutip Keputusan Direktur Jenderal
Pajak nomor KEP-382/PJ/2002. Kutipan selengkapnya, Pemungut PPN dalam hal
ini bendaharawan pemerintah tidak perlu memungut PPN atas pembelian barang
dan atau jasa yang dilakukan oleh bukan Pengusaha Kena Pajak (PKP).

Rujukan aturan pajak yang digunakan pada Permendikbud No 51/2011 atas


Keputusan Direktur Jenderal Pajak nomor KEP-382/PJ/2002 sejak Januari tahun
2004 tidak digunakan lagi dalam tata cara, praktik pemungutan pajak oleh
Bendahara. Karena sejak terbitnya Keputusan Menteri Keuangan No
563/KMK.03/2003 aturan tersebut dinyatakan tidak berlaku. Pada pasal 12 KMK
No 563/KMK.03/2003 dicantumkan KMK yang menjadi dasar terbitnya KEP382/PJ/2002 yaitu KMK 549,548, 549, 550 tahun 2000 dinyatakan tidak berlaku.
Dengan demikian aturan yang strukturnya di bawah KMK yang sebelumnya
digunakan sebagai aturan pelaksanaan juga tidak berlaku.

Referensi lain, buku yang diterbitkan oleh Pemerintah yaitu buku petunjuk pajak
Bagi Bendahara yang diterbitkan oleh Ditjen Pajak yaitu (link download) Buku
Bendahara Mahir Pajak 2011 dan Panduan Bendahara 2011 tidak menggunakan
lagi KEP-382/PJ/2002 sebagai petunjuk pemungutan pajak oleh bendahara. Makin
meyakinkan bahwa Kep Dirjen Pajak no KEP-382/PJ/2002 sudah tidak berlaku.

Dalam bidang perpajakan maupun pengelolaan keuangan negara, bendahara


BOS tidak punya perlakuan khusus atau diistimewakan dibanding bendahara
yang lain. Semua bendahara mempunyai hak dan kewajiban yang sama dalam

bidang perpajakan maupun keuangan negara. Begitu pula sebagai Wajib Pajak
(WP), bendahara juga mempunyai hak dan kewajiban yang sama dengan WP
Orang Pribadi dan Badan. Besar atau kecil nominal uang negara yang dikelola
tidak menimbulkan perbedaan hak dan kewajiban.

Pelaksanaan KEP-382/PJ/2002 di masa sekarang akan merugikan keuangan


negara, alasannya karena bendahara tidak memungut Pajak Pertambahan Nilai
(PPN) meskipun nilai pembayaran lebih dari satu juta rupiah jika suatu kantor
pemerintah belanja kepada bukan PKP, apalagi pada dasarnya setiap orang tidak
mau bayar pajak kecuali ada UU. Apabila bendahara konsisten memakai KEP382/PJ/2002 sebagai dasar pemungutan pajak dengan tambahan kewajiban
yaitu, Bendahara wajib memberitahukan kepada Kepala KPP dalam bentuk daftar
yang berisi nama, alamat, Nomor Pokok Wajib Pajak, nilai transaksi, nomor dan
tanggal Faktur Penjualan atau dokumen yang sejenis, apabila terjadi transaksi
dengan rekanan yang bukan PKP dan daftar tersebut dilampirkan pada SPT Masa
Bagi Pemungut PPN. Faktanya, boro-boro melampirkan daftar transaksi, tingkat
kepatuhan pajak bendahara, secara nasional rendah sekali. Dengan demikian
potensi penerimaan pajak akan berkurang jika bendahara tidak memungut PPN
atas pembayaran lebih dari satu juta rupiah yang kemudian Dirjen Perbendahaan
menerbitkan aturan yang mengikat kepada bendahara, yaitu bendahara tidak
hanya sebagai wajib pajak tetapi wajib mematuhi peraturan perbendaharaan
dari Dirjen Anggaran.

Hitung besarnya potensi kerugian negara akibat salah penggunaan aturan yang
tidak berlaku (KEP-382/PJ/2002). Anggaran BOS 2012 senilai Rp 23 triliun dengan
asumsi digunakan untuk belanja barang/jasa kena pajak 10%-nya nilainya Rp 2,3
triliun. PPN 10% dari 2,3 triliun adalah Rp 230 miliar. Dengan asumsi 50% dari
2,3 triliun dibelanjakan kepada non PKP dan tidak dipungut PPN-nya oleh
bendahara maka potensi kerugian negara Rp 115 miliar. Rp 115 miliar signifikan
bagi BPK untuk menyatakan sebagai kerugian negara dan melakukan audit
keuangan.

Lain kementerian lain penafsiran aturan, meskipun sumbernya sama.


Pelaksanaan di Kemenkeu mengikuti per Dirjen Anggaran yang dalam
pelaksanaannya, apabila bendahara membayar belanja barang/jasa kena pajak
senilai lebih dari satu juta rupiah wajib memungut PPN dan melampirkan Surat
Setoran Pajak (SSP) PPN pada laporan pertanggungjawaban pembayaran belanja
sebagai syarat agar belanja sebelumnya dapat dibayar oleh Kantor Pelayanan
Perbendaharaan Negara (KPPN) sebagai Kas Negara. Dasarnya adalah Peraturan
Menteri Keuangan 134/PMK.06/2005 dan Peraturan Dirjen Perbendaharaan
nomor 66/PB/2005 yang mewajibkan faktur pajak dan SSP sebagai kelengkapan
dokumen pertanggungjawaban anggaran. Begitulah yang terjadi dalam praktik
pelaksanaan APBN di Kemenkeu. Dengan demikian potensi penerimaan negara

berupa PPN dari pembayaran oleh bendahara tidak akan hilang karena telah
dipungut meskipun bukan PKP. Kantor Pelayanan Pajak juga dapat mengawasi
kewajiban pajak atas pengusaha yang menjadi rekanan bendahara dengan
adanya SSP tersebut. Di samping harus mematuhi aturan pajak bendahara juga
terikat aturan perbendaharaan. Dan untungnya celah aturan pajak dapat ditutup
oleh aturan perbendaharaan yang mewajibkan bendahara melampirkan SSP
pada saat pencairan APBN.

Salah satu pengecualian di KMK No 563/KMK.03/2003 adalah PPN dan PPnBM


tidak dipungut oleh Bendaharawan Pemerintah dalam hal pembayaran yang
jumlahnya paling banyak Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah) dan tidak
merupakan pembayaran yang terpecah-pecah. Praktik pelaksanaan KMK No
563/KMK.03/2003 KPPN mengamsumsikan bahwa setiap belanja di atas satu juta
rupiah wajib ke PKP, meskipun pada Pasal 2 dinyatakan hanya belanja kepada
PKP yang dipungut PPN. Karena sebagai kompensasi yang diminta pasal 7 yaitu
KPPN wajib menolak jika bendahara tidak menyetor, melaporkan PPN ke kantor
pelayanan pajak sulit pelaksanaan dan pengawasannya. Misalkan dari setiap
pembelanjaan bendahara tidak memungut PPN dengan dalih rekanan bukan PKP,
maka KPPN tidak dapat memverifikasi kebenaran pernyataan dalam waktu
singkat demi kecepatan pelayanan pembayaran pada hari yang sama karena
data PKP ada di Ditjen Pajak. Di samping itu KPPN punya daya kekuatan untuk
menafsirkan tentang kewajiban memungut PPN atas belanja di atas satu juta
rupiah tanpa memandang PKP atau non PKP karena pelaksanaan KMK No
563/KMK.03/2003 (pasal 11) diatur dengan Peraturan Dirjen Perbendaharaan.
Dan Peraturan Dirjen Perbendaharaan 66/2005 menafsirkan faktur dan SSP
sebagai kelengkapan pembayaran mutlak yang artinya jika pembayaran lebih
dari satu juta rupiah secara tersirat wajib belanja kepada PKP.

Permasalahan pajak bendahara. Jika penegakan hukum pada bendahara dalam


praktik diberlakukan maka dapat diduga tidak ada lagi yang mau ditunjuk
sebagai bendahara. Pada aturan tertulis yang berlaku, sama dengan WP lain,
bendahara dikenakan sanksi denda Rp 500.000 jika tidak atau terlambat lapor
SPT PPN per masa pajak, dan Rp 100.000 jenis SPT yang lain. Atas denda
tersebut wajib dibayar dengan uang pribadi sebagai bendahara karena
bendahara bertanggung jawab secara pribadi. Uang negara tidak dapat
digunakan untuk membayar denda atau sanksi akibat kelalaian bendahara.
Celakanya kesalahan bendahara diketahui setelah pemeriksaan pada tahun
berikutnya dan anggaran pada tahun sebelumnya sudah habis. Masalah makin
runyam, rumit, seperti lingkaran setan.

Permendikbud No 51/2011 wajib ditaati dan dilaksanakan semua bendahara BOS


di lingkungan Kemendikbud. Namun kementerian yang lain juga punya peraturan
menteri sebagai dasar pelaksanaan kewajiban perpajakan bendahara. Di masa

depan berpeluang terjadinya sengketa, konflik dalam penegakan hukum yang


mengacu pada peraturan menteri dan penafsiran aturan pada masing-masing
kementerian. Untungnya pertanggungjawaban dana BOS tidak melalui
kementerian keuangan sehingga bendahara tidak perlu melampirkan SSP
maupun faktur, karena secara aturan hukum pajak tidak boleh dipungut apabila
penjual barang/jasa bukan PKP. Singkat kata jika dalam dokumen belanja yang
dipertanggungjawabkan dan diminta untuk dibayarkan oleh KPPN tidak ada
SSP/faktur pajak atas belanja barang/jasa kena pajak kepada PKP maupun non
PKP, maka belanja tidak akan dibayar, dokumen tidak lengkap.

Pengalaman masa lalu, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) di antaranya, hasil


audit Laporan Hasil Pemeriksaan atas Pengelolaan Rekening Pemerintah pada
2006-2007 menemukan kerugian negara karena pelaksanaan peraturan menteri.
Upah pungut pajak daerah menggunakan dasar hukum Peraturan Pemerintah
No.65 Tahun 2001 dan Permendagri Nomor 32 Tahun 2002, dianggap melanggar
hukum karena tidak melalui mekanisme Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara (APBN). Para kepala daerah mendekam di penjara karena kasus
pemberian upah pungut pajak kepada para pejabat, meskipun penunjukan para
pejabat yang menerima upah pungut memakai dasar Permendagri tetapi
dinyatakan sebagai korupsi oleh lembaga penegak hukum yang lain.

Permendikbud No 51/2011 yang menggunakan dasar KEP-382/PJ/2002 sebagai


Petunjuk Teknis BOS 2012 tentu akan memberikan dampak hukum pada
Bendahara BOS dan dampak terhadap penerimaan negara dari PPN. BPK sebagai
lembaga audit pemerintah ketika audit dana BOS 2012 di tahun 2013 mungkin
akan memilih aturan yang menguntungkan negara yaitu aturan-aturan rujukan
pada Buku Bendahara Mahir Pajak 2011 dan Peraturan Dirjen Perbendaharaan
nomor 66/PB/2005 yang tersirat menyarankan jika belanja lebih dari satu juta
agar kepada PKP agar mekanisme pertanggungjawaban tidak mengalami
hambatan. Dalam kondisi negara dengan tingkat korupsi yang tinggi, belanja
kepada PKP lalu dibayar PPN-nya ke bank dapat mencegah belanja fiktif karena
ada pengawasan beberapa lembaga sehingga yang akan mengurangi godaan
korupsi.

Tips dan Triks agar bendahara lolos dari temuan pelanggaran oleh BPK.

Pertama, hindari pembayaran belanja yang berpotensi merugikan keuangan


negara. Sarankan orang yang mendapat tugas belanja, membeli di toko yang
mempunyai NPWP dan nomor PKP. Belanja kepada bukan PKP dan tidak
memungut PPh dan/atau PPN namun dengan harga beli yang sama dengan
harga ditawarkan PKP patut diduga merugikan keuangan negara karena potensi

pajak tidak masuk ke kas negara. Apalagi nilai transaksi dalam jumlah besar,
tanpa unsur pajak dan harga lebih mahal.

Kedua, Belanja kepada PKP, beban pajak tidak menambah harga jual
barang/jasa. Ilustrasinya, Amir seorang mahasiswa membeli kertas HVS satu
rim di toko alat tulis yang telah ditunjuk sebagai PKP dengan harga Rp 35.000.
Apakah harga sudah termasuk PPN (ya), apakah harga termasuk pajak
penghasilan (ya), berapa untungnya? (rahasia penjual dong). Pada hari yang
sama seorang pegawai kantor pemerintah belanja jenis kertas yang sama
dengan harga pada struk Rp 35.000 per rim sebanyak 100 rim sehingga harga
total Rp 3.500.000. Lalu ditambah PPN 10% Rp 350.000 dan PPh pasal 22 Rp
52.500 sehingga jumlah total yang dibebankan APBN Rp 3.552.500. Hitungan
yang benar harga Rp 35.000 per rim sudah termasuk pajak, sama dengan harga
jual kepada pembeli non pemerintah. Bedanya, jika pembeli adalah kantor
pemerintah, maka uang yang dibayarkan kepada toko dikurangi pajak yaitu
(3.500.000 318.182 47.727) Rp 3.134.091. Pemeriksa mencari temuan
dengan logika pemikiran pembelian oleh kantor pemerintah maupun masyarakat
umum idealnya harga sama. Justru seharusnya lebih murah karena pembelian
dalam jumlah besar oleh kantor pemerintah tentu akan mendapat potongan
harga (rabat). Ketika harga beli lebih mahal patut diduga petugas yang belanja
menaikkan harga beli demi mendapat imbalan dari rekanan.

Ketiga, bendahara bertugas membayar hanya atas transaksi yang memenuhi


syarat untuk dibebankan sebagai pengeluaran negara. Jika transaksi tidak
memenuhi kriteria atas hasil penelitian pejabat penguji tagihan, maka bendahara
wajib menolak membayar tagihan.

Artikel terkait: Apakah Rekanan Pemerintah Wajib PKP?

Anda mungkin juga menyukai