Tinjauan Pustaka
2.1. Anatomi
Mata
a) Kornea
Jaringan bening, avaskular, membentuk1/6 bagian depan bola mata,
diameter 11mm.
Mrp kelanjutan sklera. Pertemuan korneasklera:limbus
Pemberian nutrisi: mll humor akuos & airmata.
1|Retinopathy of Prematurity
b) Sklera
Dikenal sbg putih mata
Mrp 5/6 dinding luar bola mata. Ketebalan1 mm.
Struktur: jaringan fibrosa yg kuat & tidakelastis mempertahankan bentuk
bolamata & proteksi bangunan-bangunan halusdi bawahnya.
Permukaan luar ditutup oleh jar.vaskularlonggar.
Pd anak-anak, sklera mgkn berwarna birukrn sklera tipis & pigmen koroid
dibawahnya dpt terlihat. Pd org dewasa/orgtua timbunan lemak dpt
memberikanwarna kuning pd sklera.
c) Konjungtiva
Adalah membrana mukosa (selaput lendir)yg melapisi kelopak & melipat
ke bola matautk melapisi bagian depan bola matasampai limbus.
Konjungtiva ada 2, yaitu konjungtivapalpebra (melapisi kelopak) &
konjungtivabulbi (menutupi bagian depan bola mata).
Fungsi konjungtiva: proteksi pd sklera &memberi pelumasan pd bola mata.
Mengandung banyak pembuluh darah
2|Retinopathy of Prematurity
Iris membagi ruangan yg berisi humorakuos antara kornea & lensa mjd 2,
yaitukamera anterior & kamera posterior.
Iris terdiri dr jaringan halus ygmengandung sel-sel pigmen, otot
polos,pembuluh darah & saraf.
Warna iris tergantung pd susunan pigmeniris.
e) Iris
Otot pd iris adalah otot polos yg tersusun sirkuler &radier.
Otot sirkuler bila kontraksi akan mengecilkanpupil, dirangsang oleh
3|Retinopathy of Prematurity
i) Lensa
Letak: di depan badan kaca & di belakangiris.
Mrp bangunan lunak, bening, & bikonveks(cembung), yg dilapisi oleh
kapsul tipis yghomogen.
Titik pusat permukan anterior & posteriordisebut polus anterior & polus
posterior,garis yg melewati kedua polus disebutsumbu (aksis).
Lensa dibungkus suatu kapsul, yg mrpmembran bening yg menutup lensa
dgerat & tebal pd permukaan anterior.Fungsi kapsul: mengubah bentuk
lensa &melindungi dr badan kaca & humor akuos,& berperan pd proses
akomodasi.
j) Lensa
Lensa dipertahankan pd posisinya krn drdepan ditekan oleh humor akuos &
drbelakang di tekan oleh humor vitreus(badan kaca) & zonula
4|Retinopathy of Prematurity
k) Retina
Retina adalah selembar tipis jaringan saraf yang semitransparan, dan
multilapis yang melapisi bagian dalam dua per tiga posterior dinding bola mata.
Retina membentang ke depan hampir sama jauhnya dengan korpus siliare, dan
berakhir di tepi ora serrata. Pada orang dewasa, ora serrata berada sekitar 6.5mm di
belakang garis Schwalbe pada sisi temporal dan 5,7 mm di belakang garis ini pada
sisi nasal. Permukaan luar retina sensorik bertumpuk dengan lapisan epitel berpigmen
retina sehingga juga bertumbuk dengan membrana Bruch, khoroid, dan sklera. Di
sebagian besar tempat, retina dan epitelium pigmen retina mudah terpisah hingga
membentuk suatu ruang subretina, seperti yang terjadi pada ablasio retina. Tetapi
pada diskus optikus dan ora serrata, retina dan epitelium pigmen retina saling melekat
kuat, sehingga membatasi perluasan cairan subretina pada ablasio retina. Hal ini
berlawanan dengan ruang subkhoroid yang dapat terbentuk antara khoroid dan sklera,
yang meluas ke taji sklera. Dengan demikian ablasi khoroid meluas melewati ora
serrata, di bawah pars plana dan pars plikata. Lapisan-lapisan epitel permukaan dalam
korpus siliare dan permukaan posterior iris merupakan perluasan anterior retina dan
epitelium pigmen retina. Permukaan dalam retina menghadap ke vitreous.
5|Retinopathy of Prematurity
lapis sel. Secara klinis, makula adalah daerah yang dibatasi oleh arkade-arkade
pembuluh darah retina temporal. Di tengah makula, sekitar 3.5 mm di sebelah lateral
diskus optikus, terdapat fovea, yang secara klinis jelas-jelas merupakan suatu
cekungan yang memberikan pantulan khusus bila dilihat dengan oftalmoskop. Fovea
merupakan zona avaskular di retina pada angiografi fluoroesens. Secara histologis,
fovea ditandai dengan menipisnya lapisan inti luar dan tidak adanya lapisan-lapisan
parenkim karena akson-akson sel fotoreseptor (lapisan serat Henle) berjalan oblik dan
penggeseran secara sentrifugal lapisan retina yang lebih dekat ke permukaan dalam
retina. Foveola adalah bagian paling tengah pada fovea, disini fotoreseptornya adalah
sel kerucut, dan bagian retina yang paling tipis. Semua gambaran histologis ini
memberikan diskriminasi visual yang halus. Ruang ekstraseluler retina yang
normalnya kosong potensial paling besar di makula, dan penyakit yang menyebabkan
penumpukan bahan ekstrasel dapat menyebabkan daerah ini menjadi tebal sekali.
Retina menerima darah dari dua sumber: khoriokapilaria yang berada tepat di
luar membrana Bruch, yang mendarahi sepertiga luar retina, termasuk lapisan
pleksiformis luar dan lapisan inti luar, fotoreseptor, dan lapisan epitel pigmen retina;
serta cabang-cabang dari arteria sentralis retinae, yang mendarahi dua pertiga sebelah
dalam. Fovea sepenuhnya dipendarahi oleh khoriokapilaria dan mudah terkena
kerusakan yang tak dapat diperbaiki kalau retina mengalami ablasi. Pembuluh darah
retina mempunyai lapisan endotel yang tidk berlobang, yang membentuk sawar
darah-retina. Lapisan endotel pembuluh khoroid dapat ditembus. Sawar darah-retina
sebelah luar terletak setinggi lapisan epitel pigemn retina.
7|Retinopathy of Prematurity
retina
yang
menghasilkan
ketajaman
penglihatan
tertinggi.
Fotoreseptor utama dari foveola dan umbo adalah sel kerucut. Jumlah sel
kerucut terbanyak ditemukan dalam umbo yang mempunyai diameter 150200m,dengan kepadatan sekitar 385.000 sel kerucut/mm2.
b. FOVEOLA, rangkaian sel kerucut pada umbo dikelilingi oleh dasar fovea atau
foveola yang memiliki diameter 350m dan ketebalan 150m.
Daerah
avaskuler ini terdiri dari sel kerucut yang padat yang dihubungkan oleh
membrane limitan eksterna. Kebutuhan metabolic yang tinggi dari sel kerucut
dipenuhi oleh kontak langsung dengan epitel pigmen dan juga melalui proses
pada glia yang nucleusnya terletak lebih dekat dengan pembuluh darah
perifovea. Pada kondisi yang patologis, hilangnya refleks foveola mungkin
menunjukan gangguan glia (kerusakan sel saraf akut, pembengkakan) baik
primer maupun melalui vitreus yang melekat erat pada membrane limitan
interna yang tipis. Hilangnya refleks fovea mungkin menunjukkan tarikan
atau oedem pada sel-sel glia yang kemudian akan menarik sel kerucut.
c. FOVEA, fovea yang avaskuler dikelilingi oleh atap pembuluh darah, suatu
system sikuler dari kapiler pembuluh darah. Pembuluh darah ini terletak pada
permukaan lapisan nukleus dalam. Ketebalan membrane limitan interna dan
kekuatan daya ikat vitreus tidak proposional, sehingga ikatan terkuat terletak
8|Retinopathy of Prematurity
pada fovea. Tidak heran jika pusat fovea paling banyak terpengaruh pada
traumatic macular hole akibat tarikan anterior-posterior.
d. PARAFOVEA,parafovea merupakan struktur menyerupai sabuk dengan lebar
0,5mm dan mengelilingi tepi fovea.
e. PERIFOVEA, perifovea mengelilingi parafovea dengan lebar 1,5mm, daerah
ini ditandai dengan beberapa lapisan sel ganglion dan 6 lapis sel bipolar.
f. MAKULA, umbo, foveola, fovea, parafovea, dan perifovea bersama-sama
membentuk macula atau daerah pusat. Terletak dengan jarak 2,5 diameter
papil di bagian temporal papil. Macula bebas pembuluh darah dengan sedikit
lebih berpigmen disbanding daerah retina lainnya. Bagian sentral macula
sedikit tergaung akibat lapisannya yang kurang dan memberi refleks macula
bila disinari.
Bagian pusat
sebesar kepala jarum di tengah-tengah fovea yang dapat terlihat pada fundus
normal yang diperiksa dengan oftalmoskop. Bagian tengah retina ini terletak
tepat pada sumbu penglihatan, hanya berisi kerucut dan sebagian besar dari
6,5juta kerucut retina memadati tempat yang sempit ini.
Untuk mencapai kerucut, sinar hanya perlu menembus jaringan tipis yang
terletak di atasnya yang ketebalannya hanya seperlima ketebalan bagian retina
yang lainnya. Tajam penglihatan bagian-bagian retina tergantung konsentrasi
kerucut.
sclera, normal berbentuk bulat, berbatas tegas, pinggirnya agak lebih tinggi
dari pada retina sekitarnya, terletak disebelah nasal dengan diameter 1,5mm
1,75mm.
,mangkok berwarna agak pucat (merah muda), besarnya 1/3 diameter papil,
yang disebut ekskavasio fisiologis. Dari bagian ini keluar arteri dan vena
sentralis retina yang kemudian bercabang ke temporal dan ke nasal juga ke
atas dan ke bawah. Yang penting adalah perbandingan antara diameter
mangkok dengan papil yaitu disebut juga cups/disc ratio dengan nilai normal
0,3-0,4. Daerah papil saraf optic tidak mengandung sel-sel penglihatan yang
sensitive terhadap cahaya, karena ditempat keluarnya saraf optic tidak ada
fotoreseptor lagi.
Pemeriksaan retina yang bisa dilakukan adalah dengan oftalmoskop.
Sebelumnya papil dilebarkan dahulu setelah dilakukan pemeriksaan
tonometri. Obat yang biasa dipakai untuk melebarkan pupil adalah mydriacil.
Pemeriksaan dimulai dengan melihat papil saraf optikus, pembuluh darah
retina, macula dan penampakan retina.
Pada fundus normal, warna retina adalah oranye merah, bisa lebih muda
atau lebih gelap tergantung derajat pigmentasi melanin baik dalam koroid
maupun epitel pigmen retina. Pada keadaan anemis retina tampak lebih pucat
dan pada perdarahan retina akan tampak lebih merah.
B. Fisologi dan Proses Visual Pada Retina
10 | R e t i n o p a t h y o f P r e m a t u r i t y
pigmen pada sel basilus berfungsi untuk situasi kurang terang, sedangkan
pigmen dari sel konus berfungsi lebih pada suasana terang yaitu untuk
membedakan warna, makin ke tengah maka jumlah sel batang makin
berkurang sehingga di daerah bintik kuning hanya ada sel konus saja.
Pigmen ungu yang terdapat pada sel basilus disebut rodopsin, yaitu suatu
senyawa protein dan vitamin A.
11 | R e t i n o p a t h y o f P r e m a t u r i t y
Untuk
12 | R e t i n o p a t h y o f P r e m a t u r i t y
13 | R e t i n o p a t h y o f P r e m a t u r i t y
retina
sehingga
memperlambat
perkemhangan
pembuluh
darah
retina
Epidemiologi
A. Frekuensi
1. Amerika Serikat
Insiden terjadinya ROP pada bayi prematur berbanding terbalik secara
proporsional dengan berat lahir mereka. Penelitian yang lebih luas
menemukan bahwa bayi yang baru lahir dengan berat kurang dari 1700
gram, akan berkembang menjadi ROP sebanyak 51%.
Pada umumnya, terdapat lebih dari 50% bayi prematur dengan berat badan
kurang dari 1250 gram saat lahir yang menunjukkan bukti terjadinya ROP,
dan sekitar 10% dari bayi tersebut berkembang menjadi stadium 3 ROP.
2. Internasional
Pada tahun 1995, ROP terhitung dari 10,6% kasus dari penyebab kebutaan
pada anak-anak usia sekolah di Afrika Selatan.
B. Mortalitas/Morbiditas
Rata-rata, tiap tahunnya ada sekitar 500-700 anak yang menjadi buta karena
ROP di Amerika Serikat.Tiap tahunnya, sekitar 2100 bayi akan terkena sekuel
sikatrik, termasuk di antaranya myopia, strabismus, kebutaan, dan onset yang
lambat dari pelepasan retina.
Kira-kira, dari semua bayi yang lahir premature, 20% nya akan menderita
kelainan strabismus atau refraksi ketika mereka berumur tiga tahun. Oleh
karena itu, bayi yang terlahir kurang dari 32 minggu atau memliki berat
kurang dari 1500 gram harus mengikuti follow-up setiap enam bulan, terlepas
ia menderita ROP atau tidak.
C. Ras
Menurut Palmer dan kawan-kawan, bayi-bayi keturunan Afrika-Karibia lebih
sedikit yang menderita ROP daripada bayi-bayi keturunan Kaukasia.
D. Seks
14 | R e t i n o p a t h y o f P r e m a t u r i t y
Usia gestasi saat lahir, khususnya bila lebih kurang dari 32 minggu
Berat badan lahir kurang dari 1500 gr, khususnya yang kurang dari 1250 gr
Faktor risiko lainnya yang mungkin (misalnya terapi oksigen, hipoksemia,
hiperkarbia, dan penyakit penyerta lainnya)
15 | R e t i n o p a t h y o f P r e m a t u r i t y
ROP
dikategorisasikan
dalam
zona-zona,
dengan
stadium
yang
imatur) dianggap kondisi yang kritikal dan harus dimonitor dengan ketat.
Area ini sangat kecil dan perubahan pada area dapat terjadi dengan sangat
cepat, kadangkala dalam hitungan hari. Tanda utama dari perburukan
penyakit ini bukanlah ditemukannya neovaskularisasi tetapi dengan
ditemukan adanya pembuluh darah yang mengalami peningkatan dilatasi.
Vaskularisasi retina tampak meningkat mungkin akibat meningkatnya
shunting ateriovena.
16 | R e t i n o p a t h y o f P r e m a t u r i t y
temporal.
Pada zona ini jarang terjadi penyakit yang agresif. Biasanya, zona ini
mengalami vaskularisasi lambat dan membutuhkan evaluasi dalam setiap
beberapa minggu.
Banyak bayi yang tampak memiliki penyakit pada zona 3 dengan garis
demarkasi dan retina yang nonvaskular. Kondisi ini ditemukan pada balita
dan dapat dipertimbangkan sebagai penyakit sikatrisial. Tidak ditemukan
adanya penyakit sequelae dari zona ini.
17 | R e t i n o p a t h y o f P r e m a t u r i t y
sebagai
satu-satunya
landmark.
Sebaiknya
dilakukan
2. Stadium 1
Ditemukan garis demarkasi tipis diantara area vaskular dan avaskular pada
retina. Garis ini tidak memiliki ketebalan.
18 | R e t i n o p a t h y o f P r e m a t u r i t y
3. Stadium 2
Tampak ridge luas dan tebal yang memisahkan area vaskular dan avaskular
retina.
19 | R e t i n o p a t h y o f P r e m a t u r i t y
4. Stadium 3
Dapat ditemukan adanya proliferasi fibrovaskular ekstraretinal
(neovaskularisasi) pada ridge, pada permukaan posterior ridge atau anterior
dari rongga vitreous.
5. Stadium 4
Stadium ini adalah ablasio retina subtotal yang berawal pada ridge.
Retina tertarik ke anterior ke dalam vitreous oleh ridge fibrovaskular.
a. Stadium 4A : tidak mengenai fovea
b. Stadium 4B : mengenai fovea
21 | R e t i n o p a t h y o f P r e m a t u r i t y
6. Stadium 5
Stadium ini adalah ablasio retina total berbentuk seperti corong
(funnel).
22 | R e t i n o p a t h y o f P r e m a t u r i t y
Peran oksigen sebagai faktor risiko RPP telah mulai diteliti semenjak era
1950-an diawali oleh penelitian kolaboratif 18 rumah sakit yang dikoordinasi dokter
V.E. Kinsey yang kemudian hasil penelitian ini diperkuat oleh penelitian
eksperimental lain.4
Efek primer oksigen terhadap pembuluh darah retina yang belum matang
pada binatang percobaan adalah terjadinya vasokonstriksi retina. Apabila
konstriksi ini bertahan akan diikuti oleh penutupan pembuluh darah pada berbagai
tingkat, kemudian akan menimbulkan kerusakan endotel dan akan menyebabkan
penutupan sempurna pembuluh darah yang belum matang tersebut. Pembuluh darah
baru akan terbentuk pada daerah yang mengalami kerusakan kapiler retina tersebut.
Pembuluh darah baru ini akan menyebar di permukaan retina dan berkembang sampai
ke korpus vitreus.4,15
Penelitian dengan binatang percobaan yang diberi oksigen konsentrasi tinggi
menunjukkan hanya pembuluh darah yang belum matanglah yang sensitif terhadap
oksigen, semakin tidak matang pembuluh darahnya makin besar risikonya terhadap
pemberian oksigen, sehingga bayi dengan pembuluh darah retina yang sudah matang /
pembuluh darah yang sudah penuh di retina tidak memberi risiko terhadap RPP.
Atas dasar itulah predileksi RPP di bagian temporal retina dapat diterangkan.4
Vasokonstriksi awal pada pembuluh darah retina yang imatur terjadi dalam
beberapa menit pertama setelah paparan terhadap oksigen, ukuran pembuluh darah
berkurang sampai 50% , namun kemudian kembali ke ukuran normal. Oksigen
yang dilakukan terus menerus 4 6 jam selama akan menimbulkan vasospasme
bertahap sampai pembuluh darah tersebut mengecil sampai 80%. Sampai pada
tahap ini vasokonstriksi pembuluh darah retina masih bersifat reversibel, namun
apabila keadaan ini ber tahan (misalnya pemberian oksigen sampai 10 15 jam)
23 | R e t i n o p a t h y o f P r e m a t u r i t y
beberapa pembuluh darah perifer retina yang belum matur tersebut akan mengalami
penutupan permanen.4
24 | R e t i n o p a t h y o f P r e m a t u r i t y
pembentukan pembuluh darah yang normal. Pada bayi prematur yang mendapat
vitamin E peningkatan gap junction dapat ditekan.15
Vitamin E secara invitro merupakan anti oksidan lipofilik yang poten,
sedangkan kadar vitamin ini pada bayi prematur lebih rendah sehingga keterkaitan ini
menjadi dasar asumsi faktor risiko RPP. Namun sulit untuk dibuktikan bahwa
peningkatan kadar vitamin E di dalam serum bayi akan dapat mencegah kejadian
RPP.20 Pemberian vitamin E pada bayi prematur diketahui memiliki beberapa
kemungkinan efek samping seperti enterokolitis nekrotikans, sepsis, perdarahan
intra ventrikular, perdarahan retina, perubahan respons imun dan penekanan
aktifitas bakteriostatik sel leukosit.7
25 | R e t i n o p a t h y o f P r e m a t u r i t y
mekanisme terjadinya ROP dalam hubungan dengan paparan cahaya terang pada
tempat perawatan bayi intensif.7,16 Glass,21 melaporkan bahwa bayi prematur yang
dirawat di ruangan dengan cahaya terang benderang 32% lebih besar peluangnya
terkena RPP dibanding mata bayi yang mendapat perlindungan dari paparan cahaya,
meskipun hasil ini tidak secara kuat menunjuk kepada pengaruh cahaya pada
retinopati pada prematurias, tapi Glass menyatakan bahwa tidak ada satupun
penelitian yang menyatakan cahaya fluoresen aman bagi mata bayi. Reynold,
dkk.22
pada penelitian 188 bayi prematur yang mendapatkan paparan cahaya terkontrol
dengan cara memberikan pencahayaan ruangan memakai lampu yang berputar
(hidup-mati), dengan kontrolnya bayi yang terpapar cahaya terang terus menerus,
mendapatkan hasil bahwa pengurangan intensitas cahaya ini (399 Lux untuk
kelompok studi dan 447 Lux untuk kelompok kontrol) tidak mengubah insiden RPP
(53% kelompok studi dan 52% kelompok kontrol). Hasil yang didapat pada penelitian
ini sangat dipengaruhi oleh perbedaan intensitas paparan yang tidak terlalu besar.
2.2.4.5 Karbondioksida
Retensi CO2 dapat meningkatkan efek kerusakan pembuluh darah retina
bayi prematur oleh terapi suplementasi oksigen.7,16 Patz mengutip dari Baner dan
2
26 | R e t i n o p a t h y o f P r e m a t u r i t y
2.2.4.6 Septikemia
Beberapa penulis melaporkan septikemia sebagai salah satu faktor risiko untuk
terjadinya RPP.4 Gunn, dkk.23 pada penelitian 150 bayi prematur dengan berat badan
1500 gr dan mendapatkan suplementasi oksigen, melaporkan sepsis sebagai faktor
yang sangat kuat hubungannya dengan kejadian RPP. Mittal, dkk,.24 melaporkan
bahwa sepsis oleh kandida adalah faktor risiko yang berdiri sendiri dalam memperberat
kejadian RPP dan menyebabkan bayi prematur tersebut membutuhkan terapi
bedah laser.
2.2.4.7 Faktor Risiko Lain
Beberapa keadaan juga dilaporkan sebagai faktor risiko untuk timbulnya RPP,
namun karena belum banyak peneliti lain yang juga menilai faktor yang sama,
perannya sebagai faktor risiko atau penolakan peran faktor-faktor tersebut belum
begitu jelas. Termasuk disini seperti sianosis, apne, ventilasi mekanis,
perdarahan intraventrikular, kejang, PDA, preparat xanthine, preparat indometasin,
asidosis, hipoksia intrauterin, distres pernafasan.4,7,16
Dari semua faktor risiko yang sudah diteliti tampak adanya perbedaan pendapat
di antara para peneliti tentang peran masing-masing faktor risiko tersebut untuk
terjadinya RPP, sehingga masih diperlukan banyak penelitian untuk menjelaskan
potensi risiko masing-masing faktor tersebut secara terpisah (independent).16
Kita cenderung berpikiran bahwa RPP adalah penyakit yang disebabkan
oleh terpaparnya bayi prematur terhadap berbagai faktor risiko setelah lahir, pada
kenyataannya ada bayi yang sudah mengalami threshold ROP pada hari per
tama atau kedua kehidupan yang memberi kesan bahwa retinopati sudah terjadi
intrauterin sebelum bayi terpapar dengan berbagai faktor risiko setelah lahir. Ogden
27 | R e t i n o p a t h y o f P r e m a t u r i t y
mem- perkirakan sepertiga kasus RPP lebih dipengaruhi oleh faktor-faktor prenatal
dibanding faktor-faktor setelah lahir.16
2.2.5 Patofisiologi
ROP merupakan kelainan vaskular retina imatur. Pembuluh darah retina
belum berkembang penuh sampai sekitar kehamilan 34-36 minggu. Semakin bayi
kurang bulan, semakin besar resiko menglami ROP. Vasokontriksi arteri retina terjadi
sebagai respon terhadap peningkatan tekanan oksigen arteri (PaO 2), vasokontriksi ini
merupakan respon protektif dan tidak mebahayakan bagi retina yang sudah
berkembang penuh, tetapi hipoperfusi dan hipoksemia setempat pada retina dengan
vaskularisasi tidak lengkap merangsang proliferasi pembentukan pembuluh darah
baru (neovaskularisasi) sebagai upaya mensuplai daerah yang kurang mendapat
perfusi. Perdarahan selanjutnya ke dalam badan kaca dan retina menyebabkan
proliferasi fibrosa, retraksi parut dan pada kasus terburuk lepasnya retina dan
kebutaan.7
Pajanan oksigen konsentrasi tinggi (hiperoksia) mengakibatkan tingginya
tekanan oksigen retina sehingga memperlambat perkembangan pembuluh darah retina
(vaskulogenesis) Hal ini menimbulkan daerah iskemia pada retina. Pada kondisi
normal, retina mempunyai kepekaan terhadap kerusakan oksidatif yang disebahkan
tiga hal, yaitu:
1. Berlimpahnya substrat untuk reaksi oksidatif dalam bentuk asam lemah tak
jenuh ganda
2. Retina
memproses
cahaya
sedangkan
cahaya
merupakan
28 | R e t i n o p a t h y o f P r e m a t u r i t y
inisiator
Pada bayi prematur, kepekaan retina terhadap stres oksidatif disebabkan oleh:
30 | R e t i n o p a t h y o f P r e m a t u r i t y
2.2.6
Diagnosis
Standar baku untuk mendiagnosa ROP adalah pemeriksaan retinal dengan
mengidentifikasi
adanya
penyakit
plus.
Mata
dirotasikan
untuk
mengidentifikasi ada atau tidaknya penyakit zona 1. Apabila pembuluh nasal tidak
terletak pada nasal ora serrata, temuan ini dinyatakan masih berada pada zona 2.
Apabila pembuluh nasal telah mencapai nasal ora serrata, maka mata berada pada
zona 3.6
2.2.6.1
Diagnosis banding
Stadium lanjut dari ROP dapat dibedakan dari penyebab leukokoria lainnya.
Diagnosis diferensial yang penting meliputi:11
31 | R e t i n o p a t h y o f P r e m a t u r i t y
Gambar
26.
hyperplastic
Persistent
primary
vitreous
2.2.7
Skrining16
Pada bayi aterm retina berkembang sempurna, dan ROP tidak
dapat terjadi. Namun, pada bayi prematur, perkembangan retina yang
berjalan dari papil nervus optikus ke anterior selama masa gestasi
berlangsung
32 | R e t i n o p a t h y o f P r e m a t u r i t y
merupakan
kelainan
yang
berpotensi
menyebabkan
33 | R e t i n o p a t h y o f P r e m a t u r i t y
- Bayi dengan berat lahir <1500g atau usia gestasi <34 minggu harus
diperiksa untuk kemungkinan terjadinya ROP
- Pemeriksaan harus dimulai selama minggu ke 4 atau
pada usia
bayi
yang
diperiksa
ditetapkan
harus
dan
dilakukan
dikeluarkan
menurut
oleh
standar
Komite/Pokja
pada usia
Pemeriksaan terhadap bayi dengan berat lahir lebih besar atau usia gestasi
lebih tinggi daripada yang disebutkan di atas dapat dilakukan sesuai
permintaan neonatologis/spesialis anak. (Rekomendasi C LoE IV).
c..Teknik Pemeriksaan
Sarana /Prasarana:
Dilatasi pupil dengan tetes mata siklopentolat 0.5% dan fenilefrin
2.5%, paling tidak 30 menit sebelum pemeriksaan.
Oftalmoskopi indirek sebagai standar baku emas.
RetCam 120, alternatif teknik baru skrining
Penulisan dan penyimpanan data sesuai stand
Informasi untuk orang tua oleh spesialis mata, dengan didampingi
34 | R e t i n o p a t h y o f P r e m a t u r i t y
dilanjutkan
sampai
tidak
mempunyai
risiko
lagi
dokter
mata
dengan
tim
dokter
perinatologi
dengan
2.2.8
Tatalaksana
35 | R e t i n o p a t h y o f P r e m a t u r i t y
tindakan
b. Krioterapi
Krioterapi merupakan terapi utama ROP sejak era 1970an. Prosedur
ini dapat dilakukan dengan anestesi umum ataupun topikal. Karena tingkat
stress prosedur yang cukup tinggi, maka mungkin dibutuhkan bantuan
ventilator setelah prosedur ini selesai. Komplikasi yang paling umum
terjadi adalah perdarahan intraokuler, hematom konjunctiva, laserasi
konjunctiva, dan bradikardia.
36 | R e t i n o p a t h y o f P r e m a t u r i t y
37 | R e t i n o p a t h y o f P r e m a t u r i t y
2.2.8.4 Prevensi
38 | R e t i n o p a t h y o f P r e m a t u r i t y
2.2.9
Komplikasi
Komplikasi jangka panjang dari ROP antara lain adalah miopia,
2.2.10 Prognosis
Prognosis ROP ditentukan berdasarkan zona penyakit dan stadiumnya.
Pada pasien yang tidak mengalami perburukan dari stadium I atau II memiliki
prognosis yang baik dibandingkan pasien dengan penyakit pada zona 1 posterior
atau stadium III, IV, dan V.
39 | R e t i n o p a t h y o f P r e m a t u r i t y
BAB III
Penutup
3.1 Kesimpulan
Retinopati prematuritas terjadi akibat kepekaan pembuluh darah retina
di masa perkembangan terhadap oksigen konsentrasi tinggi (kondisi ketika
neonatus harus bertahan akibat ketidakmatangan paru. Terapi medis untuk
retinopati prematuritas (ROP) terdiri dari screening oftalmologis terhadap
bayi-bayi yang memiliki faktor risiko. Saat ini, belum ada standar terapi medis
yang baku untuk ROP. Pencegahan yang benar-benar bermakna adalah
pencegahan kelahiran bayi prematur. Dapat dicapai dengan perawatan
antenatal yang baik.
40 | R e t i n o p a t h y o f P r e m a t u r i t y
Daftar Pustaka
1. Tejiro B,2006. Retinopathy of prematurity. Dalam: arch soc esp oftalmol;
81:129-130.
2. Campbell K. Intensive oxygen therapy as a possible cause for retrolental
fibroplasia. A clinical approach. Med J Austr. 1951;2:48-50. Cited June 5,
2010. Available at http://emedicine.medscape.com/article/1225022-diagnosis
3. Gargely K,2010. Retinopathy of prematurity-epidemics, incidence,
prevalence, blindness. Faculty of medicine, comenicus university Bratistava,
Slovakia
4. Setiawan bambang, 2007. Peroksidase lipid dan penyakit terkait stress
oksidatif pada bayi prematur. Dalam: majalah kedokteran Indonesia vol.57
no.1, Jakarta 2007
5. Ali farrukh. Retinopathy of prematurity. Department of ophthalmology arrow
park hospital.2010
41 | R e t i n o p a t h y o f P r e m a t u r i t y
16
2010.
Available
at
http://emedicine.medscape.com/article/1225022-diagnosis.
7. Benson C Ralph. Retinophati prematuritas. Dalam: Obsteri dan Ginekologi.
Jakarta: EGC,2004.
8. Anjli Hussain, 2004. Management of retinopathy in a tertiary care center.
Dalam: Journal of the Bombay ophtamologists association vol.3 no.1
9. Kretzer FL, Hittner HM. Retinopathy of prematurity: clinical implications of
retinal development. Arch Dis Child. Oct 1988;63(10 Spec No):1151-67.
[Medline].
10. Kanski JJ. Clinical Ophtalmology : A Systemic Approach. Fifth Edition. New
York : Elsevier Science Limited; 2003
11. Goyal R, Agarwal A, et all. Retinopathy of Prematurity: Present scenario.
Available at: http://www.rostimes.com/RJO20110113.htm
12. Fielder AR, Shaw DE, Robinson J, et al. Natural history of retinopathy of
prematurity: a prospective study. Eye. 1992;6 (Pt 3):233-42. [Medline].
13. Csak K, Szabo V, Szabo A, et al. Pathogenesis and genetic basis for
retinopathy of prematurity. Front Biosci. Jan 1 2006;11:908-20. [Medline].
14. Ilyas sidarta,2004. Retina. Dalam : Ilmu Penyakit Mata. Fakultas Kedokteran
Indonesia, Jakarta.
15. Alvin K Behrman. Prematuritas dan Retardasi pertumbuhan intrauterine.
Dalam: Nelson Ilmu Kesehatan Anak: bayi berisiko-tinggi. Edisi 15. Jakarta :
Penerbit EGC,2000.
16. Indonesia National Committee on ROP.
ROP Workshops. Jakarta, 2009.
42 | R e t i n o p a t h y o f P r e m a t u r i t y