NAMA
: REZA PAHLEVI
NPM
: 201210115075
FAKULTAS
KELAS
: HUKUM
: SORE
Bab
Pendahuluan1
Bab
Tinjauan
Pustaka.3
Dasar
hukum
perkawinan
di
Indonesia4
A.
Pengertian
Perkawinan..4
B.
Hakikat,
Asas,
Syarat,
Tujuan
Perkawinan6
C. Perkawinan
Campuran..9
D. Perkawinan di Luar
Negeri9
Bab
Pokok
Permasalahan..
...10
Bab 4 Pembahasan
11
A.
Perkawinan
Beda
Agama
Menurut
Hukum
Positif
Perkawinan
Beda
Indonesia.11
B.
Perbedaan
Pandangan
Tentang
Agama...14
C.
Pendapat
Hukum
Terhadap
Perkawinan
Beda
Agama..17
D. Status Anak
22
Bab 5 Penutup
22
A.
Kesimpulan.22
B.
Saran...24
agama
dan
kepercayaan
pasangan
yang
melakukan
pernikahan.
Landasan
hukum
agama
dalam
melaksanakan
sebuah
perkawinan
merupakan hal yang sangat penting dalam UU No. 1 Tahun 1974, sehingga
penentuan boleh tidaknya perkawinan tergantung pada ketentuan agama.
Hal ini berarti juga bahwa hukum agama menyatakan perkawinan tidak
boleh, maka tidak boleh pula menurut hukum negara.
Universitas
Bhyangkara
Jaya-Hukum
Perkawinan
Halaman 1
Jadi dalam perkawinan berbeda agama yang menjadi boleh tidaknya
tergantung pada ketentuan agama. Perkawinan beda agama bagi masingmasing pihak menyangkut akidah dan hukum yang sangat penting bagi
seseorang. Hal ini berarti menyebabkan tersangkutnya dua peraturan yang
Universitas
Bhyangkara
Jaya-Hukum
Perkawinan
Halaman 2
Perkawinan antar agama yang terjadi dalam kehidupan masyarakat,
seharusnya tidak terjadi jika dalam hal ini negara atau pemerintah secara
tegas melarangnya dan menghilangkan sikap mendua dalam mengatur dan
melaksanakan
suatu
perkawinan
bagi
rakyatnya.
Sikap
ambivalensi
pemerintah dalam perkawinan beda agama ini terlihat dalam praktek bila
tidak dapat diterima oleh Kantor Urusan Agama, dapat dilakukan di Kantor
Catatan Sipil dan menganggap sah perkawinan berbeda agama yang
dilakukan diluar negeri.
Dari kenyataan yang terjadi di dalam masyarakat terhadap perkawinan
berbeda agama, menurut aturan perundang-undangan itu sebenarnya tidak
dikehendaki. Berangkat dari permasalahan tersebut, maka penulis mencoba
Undang-undang
Perkawinan
Nasional
karena
menampung
Universitas
Bhyangkara
Jaya-Hukum
Perkawinan
Halaman 3
Dalam pasal 66 UU No 1 Tahun 1974 dinyatakan bahwa segala sesuatu yang
berhubungan dengan perkawinan yang diatur dalam KUHPerdata, Ordonansi
Perkawinan
Indonesia
Kristen
dan
peraturan
perkawinan
campuran,
perkawinan
itu.
Oleh
karena
itu
untuk
memahami
arti
Bhyangkara
Jaya-Hukum
Perkawinan
Halaman 4
Ali Afandi mengatakan bahwa perkawinan adalah suatu persetujuan
kekeluargaan. Dan menurut Scholten perkawinan adalah hubungan hukum
antara seorang pria dengan seorang wanita untuk hidup bersama dengan
kekal, yang diakui oleh negara.
Jadi Kitab Undang-undang Hukum Perdata memandang soal perkawinan
hanya dalam hubungan-hubungan perdata. Hal ini berarti bahwa undangundang hanya mengakui perkawinan perdata sebagai perkawinan yang sah,
berarti perkawinan yang memenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, sedang syarat-syarat serta peraturan
agama tidak diperhatikan atau di kesampingkan.
Menurut Kompilasi Hukum Islam pasal 2 bahwa perkawinan menurut hukum
Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau miitsaaqan
gholiidhzan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan
ibadah.
Jadi perkawinan adalah suatu ikatan lahir dan batin antara seorang pria
dengan seorang wanita untuk membentuk suatu keluarga yang kekal.
Sedangkan yang dimaksud dengan Hukum Perkawinan adalah hukum yang
mengatur mengenai syarat-syarat dan caranya melangsungkan perkawinan,
beserta
akibat-akibat
perkawinan tersebut.
hukum
bagi
pihak-pihak
yang
melangsungkan
Universitas
Bhyangkara
Jaya-Hukum
Perkawinan
Halaman 5
B. Hakikat, Asas, Syarat, Tujuan Perkawinan Menurut Peraturan
Perundang-Undangan
Hakikat Perkawinan
Menurut UU No. 1/1974 pasal 1, hakikat perkawinan adalah ikatan lahir batin
antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri. Jadi hakikat
perkawinan bukan sekedar ikatan formal belaka, tetapi juga ikatan batin
antara pasangan yang sudah resmi sebagai suami dan isteri.
Dalam KHI pasal 2 hakikat perkawinan adalah untuk mentaati perintah Allah
dan melaksanakanya merupakan ibadah. Sedangkan menurut KUHPerdata
hakikat perkawinan adalah merupakan hubungan hukum antara subyeksubyek yang mengikatkan diri dalam perkawinan. Hubungan tersebut
didasarkan pada persetujuan di
antara mereka dan dengan adanya persetujuan tersebut mereka menjadi
terikat.
Asas Perkawinan
Menurut UU No. 1/1974 pasal 3 adalah asas monogami relatif, artinya boleh
sepanjang hukum dan agamanya mengizinkan. Asas tersebut sejalan dengan
apa yang dimaksud dengan KHI. Sedangkan KUHPerdata menganut asas
monogami mutlak karena ini berdasarkan kepada doktrin Kristen (Gereja).
Universitas
Bhyangkara
Jaya-Hukum
Perkawinan
Halaman 6
Syarat Sahnya Perkawinan
Menurut pasal 2 UU No. 1/1974 bahwa perkawinan adalah sah jika dilakukan
menurut
hukum
masing-masing
agama
dan
kepercayaannya.
Setiap
apabila dilakukan menurut Hukum Islam. Dan dalam pasal 5 KHI bahwa
setiap perkawinan harus dicatat agar terjamin ketertiban perkawinan.
Kemudian dalam pasal 6 KHI bahwa perkawinan yang dilakukan di luar
pengawasan pegawai pencatatan nikah tidak mempunyai kekuatan hukum.
Pada pasal 6 s/d 12 UU No. 1/1974 syarat-syarat perkawinan, yaitu adanya
persetujuan kedua calon mempelai, ada izin orang tua atau wali bagi calon
yang belum berusia 21 tahun, usia calon pria berumur 19 tahun dan
perempuan berumur 16 tahun,
Tidak ada hubungan darah yang tidak boleh kawin, tidak ada ikatan
perkawinan dengan pihak lain, tidak ada larangan kawin menurut agama dan
kepercayaannya untuk ketiga kalinya, tidak dalam waktu tunggu bagi wanita
yang janda.
Sedangkan syarat perkawinan menurut KUHPerdata adalah syarat material
absolut yaitu asas monogami, persetujuan kedua calon mempelai, usia pria
18 tahun dan wanita 15 tahun, bagi wanita yang pernah kawin harus 300
hari setelah perkawinan yang terdahulu dibubarkan.
Universitas
Bhyangkara
Jaya-Hukum
Perkawinan
Halaman 7
Sedang syarat material relatif, yaitu larangan untuk kawin dengan orang
yang sangat dekat di dalam kekeluargaan sedarah atau karena perkawinan,
larangan untuk kawin dengan orang yang pernah melakukan zina, larangan
memperbaharui perkawinan setelah adanya perceraian jika belum lewat
waktu 1 tahun. Menurut pasal 14 KHI dalam melaksanakan perkawinan harus
ada calon suami dan isteri, wali nikah, dua orang saksi serta sighat akad
nikah.
Tujuan Perkawinan
Dalam pasal 1 UU No. 1/1974 adalah untuk membentuk keluarga yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Sedangkan dalam KUHPerdata tidak ada satu pasalpun yang secara jelasjelas mencantumkan mengenai tujuan perkawinan itu.
Dalam pasal 3 Kompilasi Hukum Islam tujuan perkawinan adalah untuk
mewujudkan kehidupan berumah tangga yang sakinah, mawaddah dan
rahmah. Sedangkan Kitab Undang-undang Hukum Perdata memandang soal
perkawinan hanya dalam hubungan-hubungan perdata.
Universitas
Bhyangkara
Jaya-Hukum
Perkawinan
Halaman 8
C. Perkawinan Campuran
Dalam pasal 57 UU No. 1/1974 perkawinan campuran adalah antara dua
orang di Indonesia yang tunduk pada hukum yang berlainan, karena beda
warga negara dan salah satu warga negaranya adalah warga negara
Indonesia. Jadi unsur-unsur yang terdapat dalan perkawinan campur adalah
perkawinan dilakukan di wilayah hukum Indonesia dan masing-masing
tunduk pada hukum yang berlainan karena perbedaaan kewarganegaraan,
yang salah satu pihak harus warga negara Indonesia.Dan syarat-syarat
perkawinan campuran pada pasal pasal 59 ayat 2 UU No. 1/1974, dari pasal
ini menunjukan prinsip Lex loci actus yaitu menunjuk dimana perbuatan
hukum tersebut dilangsungkan. Hal ini berarti perkawinan campuran di
Indonesia dilakukan menurut hukum perkawinan Indonesia.
D. Perkawinan di Luar Negeri
Pada pasal 56 UU No. 1/1974 mengatur perkawinan di luar negeri, baik yang
dilakukan oleh sesama warga negara Indonesia di luar negeri atau salah satu
pihaknya adalah warga negara Indonesia sedang yang lain adalah warga
negara asing, adalah sah bila dilakukan menurut hukum yang berlaku di
negara di mana perkawinan itu berlangsung dan bagi warga negara
Indonesia tidak melanggar UU ini.
Universitas
Bhyangkara
Jaya-Hukum
Perkawinan
Halaman 9
Pasal 56 ayat 2 menentukan bahwa dalam waktu satu tahun setelah suami
isteri itu kembali di wilayah Indonesia, surat bukti perkawinan harus
didaftarkan di kantor pencatatan perkawinan tempat tinggal mereka.
III. Pokok Permasalahan :
1. Apa pengertian hukum perkawinan beda agama menurut UU Perkawinan
No. 1/1974?
2. Perkawinan Beda Agama Menurut Hukum Positif Indonesia bagaimana?
3. Bagaimana pandangan para pendapat ahli tentang perkawinan perbedaan
agama menurut Undang-undang perkawinan?
4. Bagaimana pendapat hukum terhadap perkawinan beda agama?
5. Bagaimana status anak setelah perkawinan beda agama tersebut menurut
Undang-ungang perkawinan?
Universitas
Bhyangkara
Jaya-Hukum
Perkawinan
Halaman 10
IV. PEMBAHASAN
A. Perkawinan Beda Agama Menurut Hukum Positif Indonesia
Sebagaimana telah disebutkan diatas bahwa dasar hukum perkawinan di
Indonesia yang berlaku sekarang ada beberapa peraturan ,diantaranya
adalah:
1. Buku I Kitab Undang-undang Hukum Perdata
2. UU No. 1/1974 tentang Perkawinan
Universitas
Bhyangkara
Jaya-Hukum
Perkawinan
Halaman 11
Kemudian dalam pasal 44 dinyatakan bahwa seorang wanita Islam dilarang
melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama
Islam. KHI tersebut selaras dengan pendapat Prof. Dr. Hazairin S.H., yang
menafsirkan pasal 2 ayat 1 beserta penjelasanya bahwa bagi orang Islam
tidak
ada
kemungkinan
untuk
menikah
dengan
melanggar
hukum
agamanya.
Dalam KHI telah dinyatakan dengan jelas bahwa perkawinan beda agama
jelas tidak dapat dilaksanakan selain kedua calon suami isteri beragama
Islam. Sehingga tidak ada peluang bagi orang-orang yang memeluk agama
Islam untuk melaksanakan perkawinan antar agama.
Kenyataan yang terjadi dalam sistem hukum Indonesia, perkawinan antar
agama dapat terjadi. Hal ini disebabkan peraturan perundang-undangan
tentang perkawinan memberikan peluang tersebut terjadi, karena dalam
peraturan tersebut dapat memberikan beberapa penafsiran bila terjadi
perkawinan antar agama.
Universitas
Bhyangkara
Jaya-Hukum
Perkawinan
Halaman 12
Berdasarkan UU No. 1/1974 pasal 66, maka semua peraturan yang mengatur
tentang
perkawinan sejauh telah diatur dalam UU No. 1/1974,
dinyatakan tidak berlaku lagi yaitu perkawinan yang diatur dalam Kitab
Undang-undang Hukum Perdata / BW, Ordonansi Perkawinan Indonesia
Kristen dan peraturan perkawinan campuran. Secara a contrario, dapat
diartikan bahwa beberapa ketentuan tersebut masih berlaku sepanjang tidak
diatur dalam UU No. 1/1974.
Mengenai perkawinan beda agama yang dilakukan oleh pasangan calon
suami isteri dapat dilihat dalam UU No.1/1974 tentang perkawinan pada
pasal 2 ayat 1, bahwa Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut
hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya. Pada pasal 10 PP
No.9/1975 dinyatakan bahwa, perkawinan baru sah jika dilakukan dihadapan
pegawai pencatat dan dihadiri dua orang saksi. Dan tata cara perkawinan
dilakukan menurut hukum masing-masing Agamanya dan kepercayaannya.
Universitas
Halaman 13
Bhyangkara
Jaya-Hukum
Perkawinan
Dalam
memahami
perkawinan
beda
agama
menurut
undang-undang
yang
menyatakan
perkawinan
beda
agama
merupakan
Bhyangkara
Jaya-Hukum
Perkawinan
Halaman 14
1/1974 yang menyatakan bahwa perkawinan adalah sah, jika dilakukan
menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Dalam
penjelasan UU ditegaskan bahwa dengan perumusan pasal 2 ayat 1, maka
tidak ada perkawinan di luar hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya itu. Ketentuan pasal tersebut berarti bahwa perkawinan
harus dilakukan menurut hukum agamanya, dan ketentuan yang dilarang
oleh agama berarti dilarang juga oleh undang-undang perkawinan. Selaras
dengan itu, Prof. Dr. Hazairin S.H., menafsirkan pasal 2 ayat 1 beserta
penjelasanya bahwa bagi orang Islam tidak ada kemungkinan untuk menikah
dengan melanggar hukum agamanya. demikian juga bagi mereka yang
beragama Kristen, Hindu, Budha.
Pendapat yang menyatakan bahwa perkawinan antar agama adalah sah dan
dapat dilangsungkan, karena telah tercakup dalam perkawinan campuran,
dengan argumentasi pada pasal 57 tentang perkawinan campuran yang
menitikberatkan pada dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang
berlainan, yang berarti pasal ini mengatur perkawinan antara dua orang
yang berbeda kewarganegaraan juga mengatur dua orang yang berbeda
agama.
Universitas
Bhyangkara
Jaya-Hukum
Perkawinan
Halaman 15
Pada
pasal
Peraturan
Perkawinan
campuran
menyatakan
bahwa
Universitas
Bhyangkara
Jaya-Hukum
Perkawinan
Halaman 16
Dinyatakan tidak berlaku lagi yaitu perkawinan yang diatur dalam Kitab
Undang-undang Hukum Perdata / BW, Ordonansi Perkawinan Indonesia
Kristen dan peraturan perkawinan campuran. Artinya beberapa ketentuan
tersebut masih berlaku sepanjang tidak diatur dalam UU No. 1/1974.
C. Pendapat Hukum Terhadap Perkawinan Beda Agama
Merujuk pada Undang-undang No. 1/1974 pada pasal 57 yang menyatakan
bahwa perkawinan campuran adalah perkawinan antara dua orang yang di
Indonesia
tunduk
pada
hukum
yang
berlainan,
karena
perbedaan
Universitas
Halaman 17
Bhyangkara
Jaya-Hukum
Perkawinan
Ada Kantor Catatan Sipil yang tidak mau mencatatkan perkawinan beda
agama dengan alasan perkawinan tersebut bertentangan dengan pasal 2 UU
No.1/1974. Dan ada pula Kantor Catatan Sipil yang mau mencatatkan
berdasarkan GHR, bahwa perkawinan dilakukan
Universitas
Bhyangkara
Jaya-Hukum
Perkawinan
Halaman 18
Dalam mengisi kekosongan hukum karena dalam UU No. 1/1974 tidak secara
tegas mengatur tentang perkawinan antar agama. Mahkamah Agung sudah
pernah memberikan putusan tentang perkawinan antar agama pada tanggal
20 Januari 1989 Nomor: 1400 K/Pdt/1986.
Dalam pertimbangan MA adalah dalam UU No. 1/1974 tidak memuat suatu
ketentuan tentang perbedaan agama antara calon suami dan calon isteri
merupakan larangan perkawinan. Dan hal ini sejalan dengan UUD 1945 pasal
Bhyangkara
Jaya-Hukum
Perkawinan
Halaman 19
Sehingga tidak sedikit terjadi perkawinan antar agama. Maka MA berpendat
bahwa tidak dapat dibenarkan terjadinya kekosongan hukum tersebut,
sehingga perkawinan antar agama jika dibiarkan dan tidak diberiakan solusi
secara hukum, akan menimbulkan dampak negatif dari segi kehidupan
bermasyarakat maupun beragama berupa penyelundupan-penyelundupan
nilai-nilai sosial maupun agama serta hukum positif, maka MA harus dapat
menentukan status hukumnya.
Mahkamah Agung dalam memberikan solusi hukum bagi perkawinan antar
agama
adalah
bahwa
perkawinan
antar
agama
dapat
diterima
Bhyangkara
Jaya-Hukum
Perkawinan
Halaman 20
Dalam
proses
perkawinan
antar
agama
maka
permohonan
untuk
Bhyangkara
Jaya-Hukum
Perkawinan
Halaman 21
Artinya perkawinan antar agama yang dilakukan oleh pasangan suami isteri
yang berbeda agama tersebut adalah sah karena dapat diberikan akta
perkawinan.
D. Status anak
Apabila pencatatan perkawinan pasangan beda agama tersebut ditolak,
maka hal itu juga akan memiliki akibat hukum terhadap status anak yang
terlahir dalam perkawinan. Menurut ketentuan pasal 42 UUP, anak yang sah
adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang
sah. Oleh karena tidak dilakukannya pencatatan perkawinan, maka menurut
hukum anak tersebut bukanlah anak yang sah dan hanya memiliki hubungan
perdata dengan ibunya atau keluarga ibunya [pasal 2 ayat (2) jo. pasal 43
ayat (1) UUP].
V.PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari uraian tersebut diatas, dengan ini penulis kemukakan beberapa hal
sebagai kesimpulan, sebagai berikut :
1. Undang-Undang No.1/1974 tentang Ketentuan Pokok Perkawinan, tidak
mengatur
Bhyangkara
Jaya-Hukum
Perkawinan
Halaman 22
bahwa perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masingmasing agamanya dan kepercayaannya. Dan pada pasal 10 PP No.9/1975
Bhyangkara
Jaya-Hukum
Perkawinan
Halaman 23
Dan dengan demikian pula ditafsirkan bahwa dengan mengajukan
permohonan tersebut pemohon sudah tidak lagi menghiraukan status
agamanya.
Sehingga pasal 8 point f UU No.1/1974 tidak lagi merupakan halangan
untuk dilangsungkan perkawian, dengan anggapan bahwa kedua calon
suami isteri tidak lagi beragama Islam. Dengan demikian Kantor Catatan
Sipil berkewajiban untuk menerima permohonan tersebut bukan karena
kedua calon pasangan dalam kapasitas sebagai mereka yang berbeda
agama, tetapi dalam status hukum agama atau kepercayaan salah satu
calon pasangannya.
4. Perkawinan antar agama dapat juga dilakukan oleh sesama warga negara
Indonesia
Bhyangkara
Jaya-Hukum
Perkawinan
Halaman 24
No.1/1974, maka bersama ini kami sarankan bahwa : Kesimpulan
Perkawinan hanya sah jika dilakukan menurut hukum agama yang dianut
oleh calon
Universitas
Bhyangkara
Jaya-Hukum
Perkawinan
Halaman 25
DAFTAR PUSTAKA
Universitas
Halaman 27
Bhyangkara
Jaya-Hukum
Perkawinan