Anda di halaman 1dari 16

I.

PENDAHULUAN

Congenital Dislocation of the Hip (CDH) atau Developmental Dysplasia


of the Hip (DDH) adalah kondisi dislokasi atau instabilitas panggul sejak lahir.
DDH merupakan kelainan dimana asetabulum dan caput femoris tidak berada
pada tempat yang seharusnya.
DDH cenderung menurun dalam keluarga. DDH lebih sering menyerang
panggul kiri dan lebih banyak terjadi pada bayi perempuan, anak pertama, dan
bayi dengan presentasi sungsang, riwayat keluarga DDH, dan oligohidramnion.
DDH adalah kelainan yang umum terjadi pada anak dengan insidensi 3 sampai 4
per 1000 kelahiran hidup. Diagnosis DDH terutama ditegakkan dengan
pemeriksaan fisik, tetapi screening DDH dapat dilakukan dengan menggunakan
pemeriksaan ultrasonografi (USG) atau radiografi.
Semakin dini tatalaksana diterapkan, maka tingkat kesuksesan semakin
tinggi,dan insidensi displasia residual dan komplikasi jangka panjang semakin
rendah.

II. TINJAUAN PUSTAKA


1. Definisi
Congenital Dislocation of the Hip (CDH) atau Developmental
Dysplasia of the Hip (DDH) adalah kondisi dislokasi atau instabilitas panggul
sejak lahir. DDH secara sederhana merupakan pertumbuhan panggul yang
abnormal. Perkembangan abnormal dari panggul meliputi struktur tulang
seperti asetabulum dan femur proksimal, kapsul, labrum, dan jaringan lunak
lainnya (Tamai, 2015).
DDH menggambarkan adanya abnormalitas panggul yang terjadi
sejak lahir, dimana caput femoris dan asetabulum tidak segaris atau tumbuh
secara abnormal atau keduanya. Ciri khas dari DDH adalah instabilitas secara
klinis, tetapi DDH juga menggambarkan abnormalitas gambaran radiologis
yang dapat atau tidak terkait dengan instabilitas sendi (Morrissy &Weinstein,
2006).
DDH menyatakan adanya abnormalitas ukuran, bentuk, atau
penyusunan dari caput femoris, asetabulum atau keduanya. Displasia
asetabulum memiliki ciri khas asetabulum yang imatur dan dangkal, yang
dapat berakibat subluksasi atau dislokasi dari caput demoris. Pada panggul
yang mengalami subluksasi, caput femoris berada pada posisi yang tidak
normal, tetapi masih bersentuhan dengan asetabulum. Panggul yang
mengalami dislokasi tidak ada kontak antara permukaan caput femoris dan
asetabulum (Storer& Skaggs, 2006).
2. Epidemiologi
Frekuensi DDH dilaporkan sebanyak 1 kasus per 1000 individu.
Penelitian Barlow menyatakan bahwa lebih dari 60% bayi yang baru lahir
dengan instabilitas panggul menjadi stabil setelah usia 1 minggu, 88%
menjadi stabil setelah usia 2 bulan, dan menyisakan hanya 12% dengan
instabilitas panggul residual atau 1 dari 60 kelahiran (Tamai, 2015).
Insidensi dari DDH bermacam-macam dan tergantung berbagai
faktor. Hampir 1 dari 1000 anak lahir dengan dislokasi panggul, dan 10 dari
1000 dapat memiliki subluksasi panggul. Riwayat keluarga DDH ditemukan
12 sampai 33% mempengaruhi pasien. Risiko anak terkena DDH sebanyak
6% jika ada salah satu saudara atau kerabat yang terkena, 12% jika salah satu
orangtua memiliki DDH, dan 36% jika orangtua atau kerabat memiliki DDH.

Hampir 80% anak dengan DDH adalah anak perempuan, sehingga diduga
DDH terkait dengan estrogen tambahan yang diproduksi pada fetus
perempuan yang dapat meningkatkan kelemahan ligamen. 60% DDH terdapat
pada panggul kiri, 20% pada panggul kanan, dan 20% pada kedua panggul.
Panggul kiri lebih sering terkena karena panggul kiri teradduksi terhadap
lumbosakral ibu pada kebanyakan posisi intrauterin (Storer& Skaggs, 2006).
3. Etiologi dan Faktor Risiko
Etiologi dari DDH belum jelas, tetapi kondisi DDH diduga terkait
dengan beberapa faktor. Salah satu faktor yang mempengaruhi adalah latar
belakang ras, terutama Native Americans dan Laplanders, prevalensi DDH
hampir 25-50 kasus per 1000 individu dibanding dengan populasi lain.
Prevalensi DDH sangat rendah pada daerah Cina selatan dan populasi kulit
hitam. Disposisi genetik juga diduga terkait, karena frekuensi DDH 10 kali
lebih tinggi pada anak yang orangtuanya memiliki DDH (Tamai, 2015;
Agarwal &Gupta, 2011).
Faktor lain yang diduga mempengaruhi adalah posisi intrauterin dan
jenis kelamin. Jenis kelamin perempusan, anak pertama yang dilahirkan, dan
posisi sungsang meningkatkan prevalensi DDH. Prevalensi DDH pada anak
perempuan yang lahir dengan posisi sungsang dilaporkan sebanyak 1 dalam
15 individu. Kelainan muskuloskeletal lain seperti metatarsus adductus dan
torticollis, dan oligohidramnion juga diduga terkait dengan kejadian DDH.
Panggul kiri lebih sering terkena dibandingkan dengan panggul kanan karena
pada kebanyakan posisi intrauterin panggul kiri berhadapan dengan sakrum
ibu, sehingga memaksa terjadinya posisi adduksi. Kebudayaan membedung
bayi juga dapat berakibat DDH karena membuat panggul bayi dalam kondisi
adduksi (Tamai, 2015; Agarwal &Gupta, 2011).

4. Diagnosis
Diagnosis

DDH

ditegakkan

terutama

dengan

anamnesis,

pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Orang tua akan menyadari


jika anak memiliki panjang kaki yang berbeda, lipatan kulit yang tidak

simetris pada paha, keterbatasan gerakan atau fleksibilitas pada salah satu
ekstremitas inferior, dan abnormalitas cara berjalan seperti pincang. Suara
klik atau pop juga dapat ditemukan pada anak dengan DDH. Nyeri
biasanya tidak dirasakan pada anak, nyeri biasanya ditemukan pada dewasa
muda dengan displasia panggul (AAOS, 2013).
Pada pasien dengan faktor risiko seperti anak pertama, jenis kelamin
perempuan, presentasi sungsang, dan riwayat keluarga DDH, pemeriksaan
fisik panggul saat lahir wajib dilakukan. Lipatan kulit yang asimetris
ditemukan hampir 25% pada bayi normal. Bayi dengan usia kurang dari 3
bulan, pemeriksaan yang paling sering dilakukan adalah tes Ortolani dan tes
Barlow. Pada tes Ortolani, pemeriksa melakukan abduksi pada kaki bayi
dengan posisi bayi supinasi. Pemeriksaan ini bertujuan untuk memasukkan
caput femur ke asetabulum. Tes ortolani positif jika terdapat bunyi klik saat
trokanter mayor ditekan ke dalam dan terasa caput yang keluar masuk ke
asetabulum, dan jika sudut abduksi kurang dari 60o. Normalnya, sudut
abduksi mencapai 65o sampai 80o (Agarwal & Gupta, 2011).
Tes Barlow adalah manuver yang bertujuan untuk menguji DDH
dengan cara mengeluarkan caput femur dari asetabulum. Pemeriksa
melakukan adduksi kaki bayi dan ibu jari pemeriksa diletakkan di lipatan
paha. Tes Barlow positif jika kaput dapat teraba oleh ibu jari pemeriksa dan
terdapat bunyi klik (Agarwal & Gupta, 2011).
Pada bayi usia 3-6 bulan, kelemahan panggul berkurang, dan
panggul dapat tetap berada pada posisi dislokasi diluar asetabulum sehingga
kegunaan tes Ortolani dan Barlow berkurang. Tanda Galeazzi dapat positif
pada anak dengan usia leih tua. Pemeriksaan Galeazzi dilakukkan dengan
posisi anak supinasi, lalu pemeriksa memfleksikan femur dan dekatkan kaki
kiri dan kaki kanan bayi. Tanda Galeazzi positif jika lutut anak tidak sama
panjang. Pada anak yang sudah dapat berjalan dapat dilakukan tes
Tradelenberg. Anak diminta untuk berdiri dengan satu

kaki secara

bergantian. Saat berdiri pada kaki dengan DDH akan terlihat otot panggul
menjauhi garis tubuh. Normalnya otot panggul akan mempertahankan posisi
agar tetap lurus (Storer& Skaggs, 2006).

Gambar 1. Lipatan Kulit Asimetris pada Regio Femoralis Bagian Proksimal

Gambar 2. Tes Ortolani

Gambar 3. Tes Barlow

Gambar 4. Cara Pemeriksaan Tes Ortolani dan Tes Barlow

Gambar 5. Tanda Galeazzi


Pemeriksaan radiografi terbatas pada bayi yang baru lahir karena
caput femoris tidak mengalami osifikasi hingga usia 4 sampai 6 bulan.
Ultrasonografi (USG) dilakukan untuk bayi kurang dari 6 bulan karena
mampu memvisualisasikan anatomi caput femoris dan asetabulum yang
masih lunak. USG sangat sensitif untuk screening pada 6 minggu pertama
kehidupan (Storer& Skaggs, 2006).
Foto pelvis polos dapat digunakan setelah usia 4 sampai 6 bulan.
Foto pelvis anteroposterior dapat dinilai dengan beberapa garis dan sudit
imajiner. Garis Hilgenreiner adalah garis horizontal yang melewati kartilago
triradiat pelvis. Garis Perkin adalah garis yang tegak lurus garis Hilgenreiner
pada tepi lateral masing-masing asetabulum. Caput femoris harus berada
dalam kuadran inferomedial yang dibentuk oleh garis Hilgenreiner dan garis
Perkin. Pada DDH, tepi lateral asetabulum sulit untuk diidentifikasi, dan
caput femoris dapat berada di kuadran superior atau lateral (Storer& Skaggs,
2006).
Garis Shenton adalah garis lengkung yang berada di tepi medial
collum femoris dan tepi superior dari foramen obturator. Putusnya garis
Shenton menandakan adanya perpindahan caput femoris dari asetabulum
(Storer& Skaggs, 2006).
Pada pemeriksaan USG akan didapatkan hasil berupa gambaran
hipoekoik pada hialin, normoekoik pada kapsul dan otot serta hiperekoik pada

struktur fibrokartilago. Pemeriksaan yang dilakukan berupa pengukuran


besarnya sudut yang dibentuk oleh garis khayal struktur-struktur pada
panggul. Baseline adalah garis yang dibentuk oleh os ilium terhadap
asetabulum. Inclination line adalah garis yang dibentuk oleh struktur kartilago
pada asetabulum, dan acetabular roofline adalah garis yang dibentuk oleh
struktur tulang pada asetabulum. Sudut adalah sudut antara baseline dan
acetabular roofline. Sudut adalah sudut yang dibentuk oleh baseline dan
inclination line. Semakin kecil sudut menandakan struktur tulang
asetabulum semakin mendatar. Hal ini akan mempermudah terjadinya
dislokasi ataupun subluksasi caput femur. Semakin besar sudut menandakan
struktur kartilago pada asetabulum semakin eversi, dan akan mempermudah
terjadinya subluksasi atau dislokasi caput femoris (Kurniawan & Fauzi,
2014).

Gambar 6. A. Garis Hilgenreiner dan garis Perkin pada panggul dengan DDH
(panggul kiri); B. Garis Shenton pada panggul dengan DDH (panggul kiri)

Gambar 7. Interpretasi USG pada DDH


5. Klasifikasi
DDH memiliki beberapa klasifikasi. Klasifikasi International Hyp
Dysplasia Institute (IHDI) merupakan modifikasi dari metode Tonnis.
Klasifikasi IHDI merupakan klasifikasi secara radiografik untuk menilai
tingkat keparahan dari posisi caput femoris, tidak tergantung pada struktur
lainnya. Klasifikasi IHDI menggunakan posisi metafisis femoral proksimal
sebagai penanda penting. Klasifikasi IHDI menggunakan garis Hilgenreiner
(H-line), garis Perkin (P-line), garis diagonal (D-line), dan H-point. H-line
adalah garis horizontal yang melewati kartilago triradiat bilateral. P-line
adalah garis tegak lurus dengan H-line pada tepi superolateral asetabulum. Dline adalah garis 45o yang berasal dari pertemuan H-line dan P-line. H-point
adalah titik tengah pertemuan tepi superior dari metafisis yang sudah
terosifikasi (Agalwal & Gupta, 2011).

Gambar 8. Alat transparan untuk menilai klasifikasi IHDI

Gambar 9. Klasifikasi DDH berdasarkan IHDI.

DDH derajat I, H-pont berada di sebelah medial P-line. Derajat II,


H-point berada di lateral dari P-line dan di sebelah medial D-line. Derajat III,
H-point berada lateral dari D-line dan inferior H-lines. Derajat IV
menunjukkan H-point berada di superior H-line (Narayanan, et al., 2014).
Klasifikasi Graf adalah klasifikasi yang digunakan berdasarkan
pemeriksaan USG. Graf membagi kelainan pada panggul menjadi beberapa
tipe (Kurniawan & Fauzi, 2014).
Tabel 1. Klasifikasi Graf

6. Tatalaksana
Tujuan tatalaksana DDH adalah untuk mencapai dan menjaga agar
caput femoris tetap berada di dalam asetabulum, baik secara terbuka atau
tertutup. Semakin dini tatalaksana diterapkan, maka tingkat kesuksesan
semakin tinggi,dan insidensi displasia residual dan komplikasi jangka
panjang semakin rendah (Storer& Skaggs, 2006).
Panggul yang mengalami subluksasi sering sembuh secara spontan
dan dapat diobservasi selama dua minggu tanpa perlakuan khusus. Secara
teori teknik double atau triple-diaper akan mencegah adduksi panggul, tetapi
tidak didapatkan perbedaan yang signifikan dengan bayi yang tanpa
intervensi (Storer& Skaggs, 2006).
Pada bayi dengan usia 6 bulan, terapi pilihan yang dilakukan adalah
reduksi tertutup dan imobilisasi dengan Pavlik Harness. Pavlik Harness
memposisikan panggul dalam kondisi fleksi dan abduksi. Reduksi panggul
harus dikonfirmasi dengan USG setelah 3 minggu. Pavlik Harness biasanya
dilakukan minimal 6 minggu total dan 6 minggu sebagian pada bayi yang
lebih muda, dan mungkin lebih lama pada anak yang lebih tua. Jika panggul

yang mengalami DDH tidak terreduksi dalam 3 minggu, maka terapi tidak
diteruskandan dilanjutkan dengan terapi alternatif. Hasil jangka panjang dari
Pavlik Harness menunjukkan angka kesuksesan hingga 95% untuk displasia
asetabulum dan subluksasi, dan mencapai 80% untuk dislokasi (Storer&
Skaggs, 2006).
Indikasi pemasangan Pavlik Harness pada anak dengan DDH antara
lain panggul yang masih reducible, anak belum dapat berdiri dan merangkak.
Gambaran radiologis terdapataksis collum dan caput femur yang mengarah
pada kartilago triradiat saat panggul dalam posisi fleksi. Orang tua juga harus
dapat mengikuti aturan pemakaian Pavlik Harness. Semakin bertambahnya
usia anak, berkembangnya kontraktur jaringan lunak, perubahan sekunder
pada asetabulum, tingkat keberhasilan Pavlik Harness menurun (Kurniawan
& Fauzi, 2014).

Gambar 9. Pavlik Harness pada DDH bilateral


Terapi alternatif untuk anak usia 6 bulan adalah reduksi tertutup
dibawah anestesi total dan penggunaan hip spica casting. Pemeriksaan CT
Scan atau MRI harus dilakukan post operatif untuk mengkonfirmasi reduksi.
Imobilisasi dalam hip spica cast setelah reduksi biasanya berlangsung sampai
12 minggu (Storer& Skaggs, 2006).

Gambar 10. Penggunaan hip spica cast setelah dilakukan reduksi bilateral
tertutup
Jika panggul tidak tereduksi dengan reduksi tertutup, maka
diperlukan reduksi terbuka. Reduksi terbuka pada panggul anak dengan DDH
melibatkan pemanjangan tendon panggul, menyingkirkan halangan dari
reduksi, dan memperkencang kapsul panggul setelah reduksi tercapai. Pada
usia 18 bulan, dapat diperlukan osteotomi femoral dengan atau tanpa
osteotomi pelvis untuk rekonstruksi dan menjaga agar panggul tetap berada
dalam posisi reduksi (Storer& Skaggs, 2006).
Tujuan terapi operatif dari DDH adalah membuat sendi panggul
kembali normal, untuk menunda atau mencegah onset osteoartritis prematur.
Intervensi yang dilakukan semakin dini akan memperbesar kemungkinan
perkembangan sendi normal, karena kemampuan remodelling besar (Storer&
Skaggs, 2006).
Terapi juga dapat ditentukan berdasarkan klasifikasi Graf. Terapi
berdasarkan klasifikasi Graf terdapat pada tabel 2 (Kurniawan & Fauzi,
2014).
Tabel 2. Anjuran Terapi Berdasarkan Klasifikasi Graf

7. Prognosis dan Komplikasi

Prognosis anak dengan DDH yang mendapatkan terapi sangat baik,


terutama jika DDH diterapi dengan reduksi tertutup. Jika reduksi tertutup
tidak berhasil dan diperlukan reduksi terbuka, hasil akan kurang baik,
meskipun hasil jangka pendek tampak memuaskan. Jika prosedur sekunder
diperlukan untuk mencapai reduksi, maka secara kesuluruhan hasil akan
menjadi lebih buruk (Tamai, 2011).
Pasien dengan DDH bilateral diduga memiliki prognosis yang lebih
buruk karena diagnosis yang lebih terlambat. Anak dengan DDH yang tidak
mendapatkan terapi dapat menyebabkan nyeri dan osteoartritis prematur.
Dapat juga menyebabkan perbedaan panjang kaki dan abnormalitas cara
berjalan. Anak dengan DDH yang mendapatkan terapi diatas usia 2 tahun
kemungkinan memiliki deformitas panggul dan osteoartritis nantinya (Tamai,
2015; AAOS, 2013).
III.

IV. KESIMPULAN
1. DDH menggambarkan adanya abnormalitas panggul yang terjadi sejak
lahir, dimana caput femoris dan asetabulum tidak segaris atau tumbuh
secara abnormal atau keduanya.
2. DDH cenderung menurun dalam keluarga. DDH lebih sering menyerang
panggul kiri dan lebih banyak terjadi pada bayi perempuan, anak pertama,
dan bayi dengan presentasi sungsang, riwayat keluarga DDH, dan
oligohidramnion.
3. Pemeriksaan fisik yang digunakan untuk menegakkan diagnosis DDH
adalah pemeriksaan Ortolani, Barlow, Galeazzi dan Tradelenberg.
4. Pemeriksaan penunjang yang digunakan untuk menegakkan diagnosis
DDH adalah radiografi dan USG. Radiografi dan USG juga digunakan
untuk menentukan klasifikasi DDH.
5. Tatalaksana DDH meliputi penggunaan Pavlik Harness, reduksi tertutup
dan reduksi terbuka.

V. DAFTAR PUSTAKA
Agarwal A, Gupta N. 2011. Risk Factors and Diagnosis of Developmental of Hip
in Children. Journal of Clinical Orthopaedics and Trauma 3: pp 10-14.
American Academy of Orthopaedic Surgeons. 2013. Developmental Dislocation
(Dysplasia)
of
the
Hip
(DDH).
Available
at:
http://orthoinfo.aaos.org/PDFs/A00347.pdf ( Diakses pada 29 April
2016).
Kurniawan A, Fauzi A. 2014. Application of Pavlik Harness in Developmental
Dysplasia of the Hip (DDH). Jurnal Kesehatan Universitas Lampung
4(8): pp 208-217.
Morrissy RT, Weinstein SL. 2006. Lovell and Winters Pediatric Orthopaedics
Volume 1. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.
Narayanan U, Mulpuri K, Sankar WN, Clarke NMP, Hosalkar H, Price CT. 2014.
Reliability of a New Radiographic Classification for Developmental
Dysplasia of the Hip. Journal of Pediatric Orthopaedics: pp 1-7.
Storer SK, Skaggs DL. 2006. Developmental Dysplasia of the Hip. A Family
Physician 74: pp 1310-1316.
Tamai

J. 2015. Developmental Dysplasia of the Hip. Available at:


http://emedicine.medscape.com/article/1248135-overview#a7 (Diakses
pada 29 April 2016).

Anda mungkin juga menyukai