Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN

Arhinia adalah bagian dari spektrum holopresencephaly. Malformasi ini sangat jarang
terjadi, dengan sekitar 30 kasus yang dijelaskan dalam literatur. Dalam kasus yang dilaporkan
beberapa, arhinia umumnya terjadi dalam keturunan dan dapat terjadi baik sebagai cacat
terisolasi atau hubungan dengan wajah dan kelainan otak lain. asosiasi dengan gangguan genetik
seperti trisomi 10, trisomi 13, dan trisomi 21, serta kromosom 9 inversi dan translokasi
kromosom 3 dan 12 juga telah dilaporkan.1
Arhinia merupakan keadaan tidak adanya hidung eksternal dan jalan napas hidung, hipoplasia maksila,
palatum tinggi melengkung kecil, dan hipertelorisme. Bayi yang terkena menampilkan gangguan pernapasan dan
sianosis terkait dengan makan. Anak yang lebih besar dapat menelan makanan antara napas. Bicara adalah
karakteristik hipernasal, dan pasien menunjukkan bukti hiposmia. Pemeriksaan fisik menunjukkan tidak adanya
hidung eksternal, septum hidung, dan sinus. Kelainan terkait pada mata termasuk anoftalmia dan hipoplasia dari
orbita.1

BAB II
EMBRIOLOGI HIDUNG
Perkembangan rongga hidung secara embriologi yang mendasari pembentukan anatomi sinonasal dapat
dibagi menjadi dua proses. Pertama, embrional bagian kepala berkembang membentuk dua bagian rongga hidung

yang berbeda; kedua adalah bagian dinding lateral hidung yang kemudian berinvaginasi menjadi kompleks padat,
yang dikenal dengan konka (turbinate), dan membentuk ronga-rongga yang disebut sebagai sinus.2

Sejak kehamilan berusia empat hingga delapan minggu , perkembangan embrional


anatomi hidung mulai terbentuk dengan terbentuknya rongga hidung sebagai bagian yang
terpisah yaitu daerah frontonasal dan bagian pertautan prosesus maksilaris. Daerah frontonasal
nantinya akan berkembang hingga ke otak bagian depan, mendukung pembentukan olfaktori.
Bagian medial dan lateral akhirnya akan menjadi nares (lubang hidung). Septum nasal berasal
dari pertumbuhan garis tengah posterior frontonasal dan perluasan garis tengah mesoderm yang
berasal dari daerah maksila.2,3
Ketika kehamilan memasuki usia enam minggu, jaringan mesenkim mulai terebentuk,
yang tampak sebagai dinding lateral hidung dengan struktur yang masih sederhana. Usia
kehamilan tujuh minggu, tiga garis aksial berbentuk lekukan bersatu membentuk tiga buah konka
(turbinate). Ketika kehamilan berusia sembilan minggu, mulailah terbentuk sinus maksila yang
diawali oleh invaginasi meatus media. Pada saat yang bersamaan terbentuknya prosesus
unsinatus dan bula etmoid yang membentuk suatu daerah yang lebar disebut hiatus semilunar.
Pada usia kehamilan empat belas minggu ditandai dengan pembentukan sel etmoid anterior yang
berasal dari invaginasi bagian atap meatus media dan sel etmoid posterior yang berasal dari
bagian dasar meatus superior. Dan akhirnya pada usia kehamilan tiga puluh enam minggu,
dinding lateral hidung terbentuk dengan baik dan sudah tampak jelas proporsi konka. Seluruh
daerah sinus paranasal muncul dengan tingkatan yang berbeda sejak anak baru lahir,
perkembangannya melalui tahapan yang spesifik. Yang pertama berkembang adalah sinus
etmoid, diikuti oleh sinus maksila, sfenoid dan sinus frontal.2,3,4

BAB III
ANATOMI HIDUNG

Untuk mengetahui penyakit dan kelainan hidung, perlu diingat kembali tentang anatomi
hidung. Anatomi dan fisiologis normal harus diketahui dan diingat kembali sebelum terjadi
perubahan anatomi dan fisiologi yang dapat berlanjut menjadi suatu penyakit atau kelainan. 4

Anatomi Hidung Luar

Hidung terdiri atas hidung luar dan hidung bagian dalam. Hidung bagian luar menonjol
pada garis tengah di antara pipi dan bibir atas ; struktur hidung luar dibedakan atas tiga bagian :
yang paling atas : kubah tulang yang tak dapat digerakkan; di bawahnya terdapat kubah kartilago
yang sedikit dapat digerakkan ; dan yang paling bawah adalah lobulus hidung yang mudah
digerakkan. Bentuk hidung luar seperti piramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke bawah : 1)
pangkal hidung (bridge), 2) batang hidung (dorsum nasi), 3) puncak hidung (hip), 4) ala nasi, 5)
kolumela, dan 6) lubang hidung (nares anterior). Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan
tulang rawan yang dilapisi oleh kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk
melebarkan atau menyempitkan lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari : 1) tulang hidung
(os nasal), 2) prosesus frontal os maksila dan 3) prosesus nasal os frontal ; sedangkan kerangka
tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan yang terletak di bagian bawah hidung,
yaitu 1) sepasang kartilago nasal lateral superior, 2) sepasang kartilago nasal lateral inferior yang
disebut juga sebagai kartilago ala mayor dan 3) tepi anterior kartilago septum.4

Anatomi Hidung Dalam

Bagian hidung dalam terdiri atas struktur yang membentang dari os.internum di sebelah
anterior hingga koana di posterior, yang memisahkan rongga hidung dari nasofaring. Kavum nasi
dibagi oleh septum, dinding lateral terdapat konka superior, konka media, dan konka inferior.
Celah antara konka inferior dengan dasar hidung dinamakan meatus inferior, berikutnya celah
antara konka media dan inferior disebut meatus media dan sebelah atas konka media disebut
meatus superior.2,3

Gambar 1. Anatomi Hidung Dalam3

Septum Nasi

Septum membagi kavum nasi menjadi dua ruang kanan dan kiri. Bagian posterior
dibentuk oleh lamina perpendikular os etmoid, bagian anterior oleh kartilago septum

(kuadrilateral), premaksila dan kolumela membranosa; bagian posterior dan inferior oleh os
vomer, krista maksila, krista palatina serta krista sfenoid.3

Kavum Nasi
Kavum nasi terdiri dari dasar hidung, atap hidung, dinding lateral, dan konka. Dasar hidung dibentuk oleh
prosesus palatina os maksila dan prosesus horizontal os palatum. Atap hidung terdiri dari kartilago lateral superior
dan inferior, os nasal, prosesus frontal os maksila, korpus os etmoid, dan korpus os sfenoid. Sebagian besar atap
hidung dibentuk oleh lamina kribrosa yang dilalui oleh filament-filamen nervus olfaktori yang berasal dari
permukaan bawah bulbus olfaktori berjalan menuju bagian teratas septum nasi dan permukaan kranial konka
superior. Dinding lateral dibentuk oleh permukaan dalam prosesus frontal os maksila, os lakrimal, konka superior
dan konka media yang merupakan bagian dari os etmoid, konka inferior, lamina perpendikular os platinum dan
lamina pterigoid medial. Fosa nasal dibagi menjadi tiga meatus oleh tiga buah konka; celah antara konka inferior
dengan dasar hidung disebut meatus inferior; celah antara konka media dan inferior disebut meatus media, dan di
sebelah atas konka media disebut meatus superior. Kadang-kadang didapatkan konka keempat (konka suprema)
yang teratas. Konka suprema, konka superior, dan konka media berasal dari massa lateral os etmoid, sedangkan
konka inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pada maksila bagian superior dan palatum.3
Meatus Superior

Meatus superior atau fisura etmoid merupakan suatu celah yang sempit antara septum dan
massa lateral os etmoid di atas konka media. Kelompok sel-sel etmoid posterior bermuara di
sentral meatus superior melalui satu atau beberapa ostium yang besarnya bervariasi. Di atas
belakang konka superior dan di depan korpus os sfenoid terdapat resesus sfeno-etmoid, tempat
bermuaranya sinus sfenoid.3

Meatus Media

Merupakan salah satu celah yang penting yang merupakan celah yang lebih luas
dibandingkan dengan meatus superior. Di sini terdapat muara sinus maksila, sinus frontal dan
bahagian anterior sinus etmoid. Di balik bagian anterior konka media yang letaknya
menggantung, pada dinding lateral terdapat celah yang berbentuk bulan sabit yang dikenal
sebagai infundibulum. Ada suatu muara atau fisura yang berbentuk bulan sabit yang
menghubungkan meatus medius dengan infundibulum yang dinamakan hiatus semilunar.
Dinding inferior dan medial infundibulum membentuk tonjolan yang berbentuk seperti laci dan
dikenal sebagai prosesus unsinatus. Di atas infundibulum ada penonjolan hemisfer yaitu bula
5

etmoid yang dibentuk oleh salah satu sel etmoid. Ostium sinus frontal, antrum maksila, dan selsel etmoid anterior biasanya bermuara di infundibulum. Sinus frontal dan sel-sel etmoid anterior
biasanya bermuara di bagian anterior atas, dan sinus maksila bermuara di posterior muara sinus
frontal. Adakalanya sel-sel etmoid dan kadang-kadang duktus nasofrontal mempunyai ostium
tersendiri di depan infundibulum.3,4

Meatus Inferior
Meatus inferior adalah yang terbesar di antara ketiga meatus, mempunyai muara duktus nasolakrimal yang
terdapat kira-kira antara 3 sampai 3,5 cm di belakang batas posterior nostril.3,5
Nares
Nares posterior atau koana adalah pertemuan antara kavum nasi dengan nasofaring, berbentuk oval dan
terdapat di sebelah kanan dan kiri septum. Tiap nares posterior bagian bawahnya dibentuk oleh lamina horisontal
palatum, bagian dalam oleh os vomer, bagian atas oleh prosesus vaginal os sfenoid dan bagian luar oleh lamina
pterigoid.3
Di bagian atap dan lateral dari rongga hidung terdapat sinus yang terdiri atas sinus maksila, etmoid, frontal
dan sfenoid. Sinus maksila merupakan sinus paranasal terbesar di antara lainnya, yang berbentuk piramid yang tidak
teratur dengan dasarnya menghadap ke fossa nasalis dan puncaknya menghadap ke arah apeks prosesus zygomatik
os maksilla.2.3.5
Sinus paranasal adalah rongga-rongga di dalam tulang kepala yang berisi udara yang berkembang dari
dasar tengkorak hingga bagian prosesus alveolar dan bagian lateralnya berasal dari rongga hidung hingga bagian
inferomedial dari orbita dan zygomatik. Sinus-sinus tersebut terbentuk oleh pseudostratified columnar epithelium
yang berhubungan melalui ostium dengan lapisan epitel dari rongga hidung. Sel-sel epitelnya berisi sejumlah mukus
yang menghasilkan sel-sel goblet.5
Kompleks Ostiomeatal (KOM)
Kompleks ostiomeatal (KOM) adalah bagian dari sinus etmoid anterior yang berupa celah pada dinding
lateral hidung. Pada potongan koronal sinus paranasal gambaran KOM terlihat jelas yaitu suatu rongga di antara
konka media dan lamina papirasea. Struktur anatomi penting yang membentuk KOM adalah prosesus unsinatus,
infundibulum etmoid, hiatus semilunar, bula etmoid, agger nasi dan ressus frontal. 6

Serambi depan dari sinus maksila dibentuk oleh infundibulum karena sekret yang keluar
dari ostium sinus maksila akan dialirkan dulu ke celah sempit infundibulum sebelum masuk ke
rongga hidung. Sedangkan pada sinus frontal sekret akan keluar melalui celah sempit resesus
frontal yang disebut sebagai serambi depan sinus frontal. Dari resesus frontal drainase sekret
6

dapat langsung menuju ke infundibulum etmoid atau ke dalam celah di antara prosesus unsinatus
dan konka media.6

Gambar 2. Kompleks
Ostio Meatal4

Perdarahan Hidung
Bagian
hidung,

rongga

atas
hidung

mendapat pendarahan dari


areri etmoid anterior dan
posterior yang merupakan
cabang

dari

oftalmika
karotis

arteri

dari

arteri

interna.

Bagian

bawah rongga hidung mendapat pendarahan dari cabang arteri maksila interna, di antaranya adalah ujung arteri
palatina mayor dan arteri sfenopalatina yang keluar dari foramen sfenopalatina bersama nervus sfenopalatina dan
memasuki rongga hidung di belakang ujung posterior konka media. Bagian depan hidung mendapat pendarahan dari
cabang cabang arteri fasial.6
Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang arteri sfenopalatina, arteri etmoid
anterior, arteri labia superior, dan arteri palatina mayor yang disebut pleksus Kiesselbach (Littles area). Pleksus
Kiesselbach letaknya superfisial dan mudah cidera oleh trauma, sehingga sering menjadi sumber epistaksis
(pendarahan hidung) terutama pada anak.6
Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan berdampingan dengan arterinya. Vena di
vestibulum dan struktur luar hidung bermuara ke vena oftalmika yang berhubungan dengan sinus kavernosus. Venavena di hidung tidak memiliki katup, sehingga merupakan faktor predisposisi untuk mudahnya penyebaran infeksi
hingga ke intrakranial.6
Persarafan Hidung

Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari nervus etmoid
anterior, yang merupakan cabang dari nervus nasosiliar, yang berasal dari nervus oftalmikus
(N.V-1). Rongga hidung lannya, sebagian besar mendapat persarafan sensoris dari nervus
maksila melalui ganglion sfenopalatinum. Ganglion sfenopalatinum selain memberikan
7

persarafan sensoris juga memberikan persarafan vasomotor atau otonom untuk mukosa hidung.
Ganglion ini menerima serabut-serabut sensoris dari nervus maksila (N.V-2), serabut
parasimpatis dari nervus petrosus superfisial mayor dan serabut-serabut simpatis dari n.petrosus
profundus. Ganglion sfenopalatinum terletak di belakang dan sedikit di atas ujung posterior
konka media.6
Nervus olfaktori. Saraf ini turun dari lamina kribrosa dari permukaan bawah bulbus olfaktori dan kemudian
berakhir pada sel-sel reseptor penghidu pada mukosa olfaktorius di daerah sepertiga atas hidung. 6

BAB IV
FISIOLOGI HIDUNG
Berdasarkan teori struktural, teori revolusioner dan teori fungsional, maka fungsi
fisiologis hidung dan sinus paranasal adalah : 1) fungsi respirasi untuk mengatur kondisi udara
(air conditioning), penyaring udara, humidifikasi, penyeimbang dalam pertukaran tekanan dan
mekanisme imunologik lokal ; 2) fungsi penghidu, karena terdapanya mukosa olfaktori
(penciuman) dan reservoir udara untuk menampung stimulus penghidu ; 3) fungsi fonetik yang
berguna untuk resonansi suara, membantu proses berbicara dan mencegah hantaran suara sendiri

melalui konduksi tulang ; 4) fungsi statistik dan mekanik untuk meringankan beban kepala,
proteksi terhadap trauma dan pelindung panas; 5) refleks nasal.6

BAB V
HISTOLOGI HIDUNG

Sistem Mukosiliar Hidung

Gambar 3. Sistem Mukosiliar Hidung5


Mukosa hidung terletak di dalam rongga hidung (kavum nasi). Luas permukaan kavum
nasi sekitar 150 cm2 dan total volumenya sekitar 15 ml Permukaan kavum nasi dan sinus
paranasal dilapisi oleh mukosa yang berkesinambungan dengan berbagai sifat dan ketebalan.
Rongga hidung dilapisi oleh mukosa yang secara histologik dan fungsional dibagi atas dua tipe
yaitu mukosa penghidu (mukosa olfaktori). dan sebahagian besar mukosa pernafasan (mukosa
respiratori) . Mukosa olfaktorius terdapat pada permukaan atas konka superior dan dibawahnya
terletak mukosa respiratori. Lapisan mukosa respiratori terdiri atas epitel, membran basal dan
lamina propia.6
Permukaan kavum nasi dan sinus paranasal dilapisi oleh mukosa yang berkesinambungan dengan berbagai
sifat dan ketebalan. Secara umum sel-sel pada hidung dan mukosa sinus terdiri atas 4 tipe sel yaitu : Sel kolumnar
bersilia, sel kolumnar tidak bersilia, sal basal dan sel goblet. Mukosa yang melapisi terdiri atas dua tipe yaitu tipe
olfaktori dan sebagian besar tipe respiratori. Mukosa olfaktori terdapat pada permukaan atas konka superior dan
dibawahnya terletak mukosa respiratori. Lapisan mukosa respiratorius terdiri atas epitel,membran basalis dan lamina
propia.2,3

10

Mukosa respiratori terdapat pada sebagian besar rongga hidung yang bervariasi sesuai dengan lokasi yang
terbuka dan terlindung serta terdiri dari empat macam sel. Pertama sel torak berlapis semu bersilia (pseudostratified
columnar epithelium) yang mempunyai 50-200 silia tiap selnya .Sel-sel bersilia ini memiliki banyak mitokondria
yang sebagian besar berkelompok pada bagian apeks sel. Mitokondria ini merupakan sumber energi utama sel yang
diperlukan untuk kerja silia. Di antara sel-sel bersilia terdapat sel-sel goblet dan sel sikat (yang mempunyai
mikrovili).3

Epitel respiratori lainnya adalah epitel pipih berlapis yang terdapat pada daerah
vestibulum nasi dan epitel transisional yang terletak persis di belakang vestibulum. Epitel yang
terletak di daerah vestibulum nasi ini dilengkapi dengan rambut yang disebut vibrissae. Lanjutan
epitel pipih berlapis pada vestibulum akan menjadi epitel pipih berlapis tanpa silia terutama pada
ujung anterior konka dan ujung septum nasi. Kemudian pada sepanjang daerah inspirasi maka
epitel akan berbentuk torak, bersilia pendek dan agak tidak teratur. Pada meatus media dan
inferior yang terutama menangani udara ekspirasi silianya panjang dan tersusun rapi.2,3

11

Gambar 5 Histologi Lapisan Hidung5


Keterangan Gambar 5 :
I. Lapisan Mukosa Hidung
Ia. Sel bersilia
Ib. Goblet sel
Ic. Sel tidak bersilia
Id. Sel basalis
II. Lapisan sel radang
(Sel plasma,limfosit dan eosinofil)

12

III. Lapisan Kelenjar superfisial


IV. Lapisan vaskular

V. Lapisan kelenjar dalam


Pada sel torak yang bersilia maupun yang tidak bersilia terdapat mikrovili yang berjumlah lebih kurang
300-400 tiap selnya, dan jumlah ini bertambah ke arah nasofaring. Mikrovili berupa benjolan seperti jari yang kecil,
pendek dan langsing pada permukaan sel yang menghadap ke lumen. Mikrovilli ini besarnya 1/3 silia dan
mempunyai inti sentral dari filamen aktin. Mikrovili ini tidak bergerak dan fungsinya mungkin untuk promosi ion
dan transportasi serta pengaturan cairan diantara sel-sel. Disamping itu juga memperluas permukaan sel 3
Bagian terakhir adalah sel basal yang terdapat di atas membran sel. Sel basal tidak pernah mencapai
permukaan. Sel kolumnar pada lapisan epitel ini tidak semuanya memiliki silia. Sel-sel basal berpotensi untuk
menggantikan sel-sel bersilia atau sel-sel goblet yang telah mati.2,3
Secara struktural susunan lapisan mukosa pada daerah yang lebih sering terkena aliran udara mukosanya
akan lebih tebal dan kadang-kadang terjadi metaplasia, menjadi sel skuamosa. Dalam keadaan normal warna
mukosa adalah merah muda dan selalu basah karena dilapisi oleh palut lendir (mucous blanket) pada permukaannya.
Palut lendir ini dihasilkan oleh kelenjar mukosa dan sel-sel goblet. 3,6
Mukosa pada sinus paranasal merupakan lanjutan dari mukosa hidung, hanya lebih tipis dan kelenjarnya
lebih sedikit. Epitelnya torak berlapis semu bersilia, bertumpu pada membran basal yang tipis dan tunika propia
yang melekat erat dengan periosteum dibawahnya. Silia lebih banyak dekat dengan ostium, gerakannya akan
mengalirkan lendir ke arah hidung melalui ostium. Kelenjar mukosa juga banyak ditemukan didekat ostium.3

Pada membran mukosa juga ditemukan sel neurosekretori dan beberapa macam sel
seperti makrofag dan leukosit. Terlihat juga kelenjar mukosa yang masuk kedalam jaringan ikat.
Kelenjar ini memproduksi cairan mukos dan serosa di bawah kontrol saraf parasimpatis.3

13

BAB VI
ARHINIA

Definisi
Arhinia merupakan bagian dari spektrum holopresencephaly. Arhinia adalah keadaan
tidak adanya hidung eksternal dan jalan napas hidung, hipoplasia maksila, palatum tinggi
melengkung kecil, dan hipertelorisme.1

Epidemiologi
Malformasi ini sangat jarang terjadi, dengan sekitar 30 kasus yang dijelaskan dalam
literatur.1 Dalam laporan oleh Nishimura, dalam 14 kasus yang diterbitkan tidak
adanya bawaan dari hidung.7 Nothen et al dan Muhlbauer et al telah melaporkan kasus tambahan
arhinia.8,9 Pasien yang dijelaskan oleh Muhlbauer et al memiliki arhinia dalam hubungannya
dengan sindrom keturunan dari beberapa kelainan bawaan, termasuk alobar bibir
holopresencephaly dan sumbing.9 Salah satu kasus yang dilaporkan dari arhinia dikaitkan
dengan mikroftalmia dan anoftalmia di sebelah kiri.10 Dua pasien melaporkan sebelumnya
memiliki kelainan kromosom 9.8 Para pasien yang tersisa tidak memiliki kaitan dengan
cacat bawaan dan sehat.9,11,12

Etiologi
Dalam kasus yang dilaporkan beberapa, arhinia umumnya terjadi dalam keturunan dan
dapat terjadi baik sebagai cacat terisolasi atau hubungan dengan wajah dan kelainan otak lain.
14

Asosiasi dengan gangguan genetik seperti trisomi 10, trisomi 13, dan trisomi 21, serta kromosom
9 inversi dan translokasi kromosom 3 dan 12 juga telah dilaporkan.1

Patogenesis
Patogenesis dari arhinia kurang dipahami. Telah dinyatakan bahwa kurangnya
perkembangan hidung dari kegagalan perkembangan medial dan lateral hidung, tetapi itu juga
mungkin bahwa pertumbuhan berlebih dan fusi prematur proses medial hidung hasil dalam
pembentukan plat atresia. Arhinia mungkin hasil dari kurangnya resorpsi colokan epitel hidung
selama 13 sampai minggu ke-15 kehamilan. Penjelasan lain mungkin terkait migrasi abnormal
sel-sel pial neural untuk wilayah ini, sehingga aliran menyimpang dari beberapa struktur
mesodermal diperlukan untuk membentuk hidung dan rongga yang normal.7,8

Pemeriksaan
Anamnesis :
Bayi yang terkena mengalami gangguan pernapasan dan sianosis terkait dengan makan. Anak
yang lebih besar dapat menelan makanan antara napas. Gangguan bicara adalah karakteristik
hipernasal, dan pasien menunjukkan bukti hiposmia.1
Pemeriksaan fisik :
Tidak adanya hidung eksternal, septum hidung, dan sinus. Kelainan terkait pada mata termasuk
anofthalmia dan hipoplasia dari orbita.1
Pemeriksaan penunjang :
Sinus etmoid tidak aerasi, ada sedikit hipertelorism dan otak tampak normal pada gambar
Computed scan (CT Scan). CT scan sangat membantu karena menentukan ketebalan plat atresia
dan ukuran kecil hidung gigi berlubang, memperkuat keputusan untuk menunda rekonstruksi
sampai struktur ini tumbuh.12

Penatalaksanaan

15

Penatalaksanaan awal pada arhinia berfokus pada gizi. Sebuah pengumpan celah langitlangit atau tabung gastrostomi diperlukan. Hidung buatan dapat digunakan sampai anak lebih tua
dan dapat mengalami perbaikan bedah definitif. Gangguan osteogenesis dari midface telah
dilaporkan untuk meningkatkan tinggi midfacial, memaksimalkan tulang dan jaringan lunak
untuk rekonstruksi nanti. Membuat lubang hidung membutuhkan cara dengan menghilangkan
gigi seri, menciptakan saluran napas melalui rahang atas, dan melepaskan langit-langit tinggi
melengkung. Rongga hidung kemudian dilapisi dengan cangkok skin graft dan dipertahankan
dengan stenting jangka panjang. Restenosis adalah umum, dan dilatasi serial diperlukan.
Rekonstruksi hidung eksternal adalah prosedur multistage yang memerlukan penggunaan
ekspander jaringan, tulang, tulang rawan atau cangkok prostetik, dan penutup kulit lokal atau
regional, dengan dacrocystorhinostomy bersamaan untuk mencegah konjungtivitis berulang
akibat tidak adanya saluran nasolakrimalis.1
Penempatan
penatalaksanaan

jalan
dini.12

napas

melalui

Pembedahan

jalan

mulut
napas

harus

dilakukan

melalui

hidung

dalam
atau

menggunakan tabung trakeostomi adalah merupakan bagian penting dari manajemen awal ,
supaya memungkinkan bayi untuk diberi makan dan menghalangi komplikasi yang terkait
dengan tabung orogastric.12 Sebagian besar penulis setuju bahwa bedah rekonstruksi hidung
eksternal dan rongga bagian dalam harus ditunda setidaknya sampai tahun-tahun prasekolah
atau ketika perkembangan wajah hampir lengkap. Satu kasus telah dilaporkan di mana
rekonstruksi simultan kedua hidung internal dan eksternal dilakukan pada periode bayi yang
baru lahir.10,12

16

Gambar 6. Arhinia11,12

BAB VII
RESUME

Arhinia merupakan bagian dari spektrum holopresencephaly. Arhinia adalah keadaan


tidak adanya hidung eksternal dan jalan napas hidung, hipoplasia maksila, palatum tinggi
melengkung kecil, dan hipertelorisme. Malformasi ini sangat jarang terjadi, dengan sekitar 30
kasus yang dijelaskan dalam literatur. Dalam kasus yang dilaporkan beberapa, arhinia umumnya
terjadi dalam keturunan dan dapat terjadi baik sebagai cacat terisolasi atau hubungan dengan
wajah dan kelainan otak lain. Asosiasi dengan gangguan genetik seperti trisomi 10, trisomi 13,
dan trisomi 21, serta kromosom 9 inversi dan translokasi kromosom 3 dan 12 juga telah
dilaporkan.
Patogenesis dari arhinia kurang dipahami. Telah dinyatakan bahwa kurangnya
perkembangan hidung dari kegagalan perkembangan medial dan lateral hidung, tetapi itu juga
mungkin bahwa pertumbuhan berlebih dan fusi prematur proses medial hidung hasil dalam
pembentukan plat atresia. Bayi yang terkena menampilkan gangguan pernapasan dan sianosis terkait dengan
makan. Anak yang lebih besar dapat menelan makanan antara napas. Gangguan bicara adalah karakteristik

17

hipernasal, dan pasien menunjukkan bukti hiposmia. Pemeriksaan fisik menunjukkan tidak adanya hidung eksternal,
septum hidung, dan sinus. Kelainan terkait pada mata termasuk anofthalmia dan hipoplasia dari orbita.

Penatalaksanaan awal pada arhinia berfokus pada gizi. Sebuah pengumpan celah langitlangit atau tabung gastrostomi diperlukan. Hidung buatan dapat digunakan sampai anak lebih tua
dan dapat mengalami perbaikan bedah definitif.

DAFTAR PUSTAKA

1. Elluru RG, Wootten CT. Congenital Malformations of the Nose. In: Cummings Otolaryngology Head and
Neck Surgery. 5th ed. Mosby Elsevier. 2010.

2. Adams GL, Boies LR, Higler PA. Anatomi Hidung. Dalam: Boies Buku Ajar THT.
Jakarta: EGC. 1997: 173-176.
3. Ballenger JJ. Penyakit Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan Leher Jilid Satu. Edisi
13. Jakarta:Binarupa Aksara. 1994:1-25.
4. Brown Scott. Orolaryngology. 6th ed. Vol. 1. Butterworth, Butterworth & Co Ltd. 1997: 1/5/1 1-29.
5. Dhingra, PL. Miscellaneous Disorders of Nasal Cavity. In: Disease of Ear, Nose, and Throat. New Delhi:
B.I.Churchill Livingstone Pvt Ltd. 1998.

6. Soetjipto D, Mangunkusumo E, Wardani RS. Hidung. Dalam : Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung
Tenggorokan Kepala dan Leher. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2007: 96-100.

7. Nishimura Y. Embryological study of nasal cavity development in human embryos with reference to
congenital nostril atresia. Acta Anat (Basel). 1993; 47:140 144.

8. Nothen MM, Knopile G, et al. Steinfeld syndrome:report of a second family and further delineation of a
rare autosomal dominant disorder. Am J Med Genet. 1993; 46:467 470.

9. Muhlbauer W, Schmidt A, Fairley J. Simultaneous construction of an internal and external nose in an infant
with arhinia. Plast Reconstr Surg. 1993; 91:720 725.

18

10. Weinberg A, Neuman A, et al. A rare case of arhinia with severe airway obstruction: case report and review
of the literature. Plast Reconstr Surg. 1993; 91:146 149.

11. Cohen D, Groiten K. Arhinia revisited. Rhinology. 1987; 25:237242.


12. Cole RR, Myer CM, Bratcher GO. Congenital absence of the nose: a case report. J Pediatric
Otorhinolaryngology. 1989; 17:171177.

19

Anda mungkin juga menyukai