menuju pro-eksistensi, yakni sebuah sikap toleransi yang tidak berhenti pada pengakuan akan
kebenaran-kebenaran agama-agama tetapi masing-masing ikut terlibat secara aktif dan
konkret dalam mengupayakan kehidupan yang lebih baik di atas landasan-landasan universal
kemanusiaan.
Inilah yang diupayakan Kng untuk menyusun sebuah etika global bagi
tanggungjawab bersama agama-agama untuk menjalin perdamaian di antara agama-agama
dan untuk turut terlibat dalam memperbaiki keadaan dunia yang sedang mengalami krisis
makna, nilai, dan norma. Dalam dunia yang dilanda peperangan, maka semua agama berbagi
pada satu tanggungjawab bersama, yaitu menghentikan perang dan menciptakan perdamaian.
Lewat kesadaran dialoglah, Kng melihat kemungkinan yang bisa disumbangkan untuk
melaksanakan tanggungjawab bersama itu, yaitu mencari konsensus moral di antara agamaagama dunia. berhadapan dengan fenomena dehumanisasi massal akibat kelaparan
berkepanjangan, perang, sindikat obat terlarang berskala nasional maupun global,
perdagangan manusia, dan problem-problem besar kemanusiaan lainnya, di sanalah agama
ditagih tanggungjawabnya tidak hanya secara individual tetapi juga secara bersama-sama.
(Seri Dian, 1994)
Pencarian titik temu (kalimatun sawa) di luar aspek teologis yang memang sudah
berbeda sejak semula merupakan ajaran utama Islam (Q.S. Ali Imran ayat 64) dalam
hubungannya dengan dialog antaragama. Pencarian titik temu lewat perjumpaan dan dialog
yang konstruktif berkesinambungan merupakan tugas kemanusiaan yang perenial, yang
abadi, tiada kata berhenti. Pencarian titik temu antarumat beragama dapat dimungkinkan
lewat berbagai cara, salah satunya adalah lewat pintu masuk etika, lantaran lewat pintu
gerbang etika manusia beragama merasa mempunyai puncak-puncak keperihatinan yang
sama. Lewat pintu etika ini, manusia beragama merasa mempunyai agama mempunyai
puncak-puncak keprihatinan yang sama. Lewat pintu etika ini, seluruh penganut agamaagama dapat bersentuhan religiusitasnya untuk tidak hanya menonjolkan having
religionnya. Lewat pintu etika, dimensi spiritualitas keberagamaan lebih terasa promising
and challenging dan bukan hanya terfokus pada dimensi formalitas lahiriah kelembagaan
agama.
Konsensus moral atau titik temu agama-agama memang cukup sulit terutama ditengah
kecenderungan menjamurnya klaim sebagai juru bicara Tuhan. Dengan klaim itu dijadikan
alibi untuk merusak hubungan antar sesama manusia dalam keintiman dan keharmonisan.
Kesombongan mengklaim diri sebagai haki-hakim wakil Tuhan di bumi, atau sebagai
pembela-pembela Tuhan sehingga dengan rasa bangga, mengebiri kebebasan sesama,
membunuh kreatifitas, hingga menebas leher sesama.
Meskipun sukar, hal itu tidak bisa dijadikan alasan untuk berputus asa, malah
sebaliknya seharusnya menjadi penyemangat untuk terus menggalangkan dialog secara terusmenerus. Saya percaya dengan apa yang dikatakan Kng bahwa dialog adalah jalan satusatunya untuk meredakan ketegangan-ketegangan di antara agama-agama.
Persoalannya adalah kita tidak bisa lagi secara kaku memahami dialog antaragama
sebagai dialog antar para elit agama di atas panggung-panggung seminar atau di dalam
gedung-gedung mewah. Hal tersebut sah-sah saja, tapi pada kenyataannya tidak mampu
secara efektif menyentuh akar rumput yang biasanya menjadi tempat terjadinya konflik
kekerasan. Kita harus merumuskan sebuah bentuk dialog kultural di antara agama-agama
selain dari apa yang disampaikan Kng dengan pencarian konsensus moral atau etika global
tanggungjawab agama-agama. Dialog kultural berarti menjadikan umat beragama sebagai
subjek dialog, tidak hanya dijadikan sebagai objek penyebaran pesan damai. Dengan begitu,
dalam diri umat beragama akan muncul sebuah keyakinan bahwa dialog adalah kebutuhan
yang datang dari nilai-nilai dan tradisi agama daripada sebagai nilai-nilai yang diintrupsikan
dari luar.
Bentuk dialog seperti ini penting di tengah kedewasaan pada perbedaan, terutama
perbedaan keyakinan masih rendah di tengah masyarakat. Terlebih ketika perbedaan
dijadikan sebagai permainan untuk mendapatkan kepentingan-kepentingan artifisial oleh
oknum-oknum yang tak bertanggungjawab. Karena melalui dialog kultural, masyarakat telah
membuat suatu konsensus di antara mereka, yang menjadi pengikat kerukunan di antara
mereka. Sehingga kerukunan di tengah-tengah masyarakat tersebut tidak mudah dirongrong
oleh orang-orang yang hatinya jahat.
http://indonesiancultureac.blogspot.com/2013/12/toleransi-dan-tantangan-dialog.html
1. Saling Menghormati
Salah satu contoh toleransi dalam beragama ialah dengan saling menghormati anatar
umat beragama. Dengan cara jika ada yang sedang puasa ya setidaknya kita jangan
menganggi atau merusak puasanya. Jika ada yang sedang berdoa tetaplah menjaga
ketenangan saat umat lain beribadah.
2. Tidak Menganggu
Tidak menggu sudah cukup baik untuk mewujudkan toleransi beragama di dalam
masyarakat dengan cara jika ada upacara agama lain hendaklah tidak melanggar aturan.
Misalnya acaranya nyepi janganlah merusak dengan menciptakan keributan tanpa peduli
acara umat lain.
3. Partisipasi
Di sini perlu ditekankan pertisipasi tidak berarti anda mengikuti acara agama lain.
Contoh paling nyata ialah jika ada Lebaran,Natal dan acar besar agama lainnya apa sih
salahnya memberikan selamat kepada mereka. Ini menunjukkan perwujudan iman yang
dewasa dalam masyarakat.
http://tommysyatriadi.blogspot.co.id/2013/02/manfaat-dan-contoh-toleransi-beragma.html
SIMPULAN
Dialog antar umat beragama amat perlu, namun amat peka sekali. Oleh karena itu,
perlu keterbukaan dan pengertian. Kepentingan dialog perlu dipahami dan ditempatkan dalam
rangka mengupayakan kerukunan dan kerja sama antar warga demi terciptanya persaudaraan
nasional.