Anda di halaman 1dari 8

LANDASAN BERBANGSA DAN

BERNEGARA BERDASARKAN UUD


1945
Ada 4 pilar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. 4 Pilar tersebut adalah:
1. Pancasila
Pancasila adalah ideologi dasar bagi negara Indonesia. Nama ini
terdiri dari dua kata dari Sanskerta: paca berarti lima dan laberarti
prinsip atau asas. Pancasila merupakan rumusan dan pedoman kehidupan
berbangsa dan bernegara bagi seluruh rakyat Indonesia.
Lima sendi utama penyusun Pancasila adalah Ketuhanan Yang Maha
Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan
yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia, dan tercantum pada paragraf ke-4 Preambule
(Pembukaan)Undang-undang Dasar 1945.
2. Undang-Undang Dasar 1945,
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, atau
disingkat UUD 1945 atau UUD '45, adalah hukum dasar tertulis (basic
law), konstitusi pemerintahan negara Republik Indonesia saat ini.
Tujuan, Pokok, Fungsi UUD1945:
a. Landasan Konstitusional atas landasan ideal yaitu Pancasila
b. Alat pengendalian sosial (a tool of social control
c. Alat untuk mengubah masyarakat ( a tool of social engineering)
d. Alat ketertiban dan pengaturan masyarakat.
e. Sarana mewujudkan keadilan sosial lahir dan batin.
f. Sarana penggerak pembangunan.
g. Fungsi kritis dalam hukum.
h. Fungsi pengayoman
i. Alat politik.
3. Bhinneka Tunggal Ika
Bhinneka Tunggal Ika adalah moto atau semboyan Indonesia. Frasa
ini berasal dari bahasa Jawa Kuna dan seringkali diterjemahkan dengan
kalimat Berbeda-beda tetapi tetap satu.
Diterjemahkan per patah kata, kata bhinneka berarti "beraneka
ragam" atau berbeda-beda. Kata neka dalam bahasa Sanskerta berarti
"macam" dan menjadi pembentuk kata "aneka" dalam Bahasa Indonesia.
Katatunggal berarti "satu". Kata ika berarti "itu". Secara harfiah Bhinneka
Tunggal Ika diterjemahkan "Beraneka Satu Itu", yang bermakna meskipun
berbeda-beda tetapi pada hakikatnya bangsa Indonesia tetap adalah satu
kesatuan. Semboyan ini digunakan untuk menggambarkan persatuan dan
kesatuan Bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terdiri
atas beraneka ragam budaya, bahasa daerah, ras, suku bangsa, agama
dan kepercayaan.
4. NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia),

NKRI adalah bentuk dari negara Indonesia, dimana negara


Indonesia yang merupakan negara kepulauan, selain itu juga bentuk
negaranya adalah republik, kenapa NKRI, karena walaupun negara
Indonesia terdiri dari banyak pulau, tetapi tetap merupakan suatu
kesatuan dalam sebuah negara dan bangsa yang bernama Indonesia.
TUJUAN NKRI
a. Tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) terdapat dalam
Pembukaan Undang Undang Dasar 1945 alinea keempat yaitu Kemudian
daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah Negara Indonesia yang
melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan
kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
b. Dari rumusan tersebut, tersirat adanya tujuan nasional/Negara yang ingin
dicapai sekaligus merupakan tugas yang harus dilaksanakan oleh Negara,
yaitu:
c. Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia;
d. Memajukan kesejahteraan umum;
e. Mencerdaskan kehidupan bangsa;
f. Ikut serta melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi, dan keadilan social.
http://www.kompasiana.com/dillah48cules/empat-pilar-berbangsa-danbernegara_55294d116ea83417498b45a7

TANTANGAN MASA KINI DAN


MASA YANG AKAN DATANG
Toleransi dan Tantangan Dialog Antarumat Beragama
Mencermati berbagai konflik yang marak terjadi hingga kini, faktor sentimen agama
merupakan hal yang paling dominan. Meskipun secara ideal-normatif, tidak ada agama yang
mengajarkan konflik dan permusuhan, tetapi secara faktual-historis terekam bahwa sejarah
hubungan antarkomunitas beragama acapkali diwarnai ketegangan dan konflik kekerasan.
Bahkan, dalam konteks global keterlibatan anasir agama dalam serangkaian konflik tidak
hanya meningkatkan eskalasi konflik melainkan juga menyebabkan konflik yang tak mudah
diurai. Sebagian konflik bernuansa agama bahkan menyebabkan beberapa negara harus pecah
menjadi negara-negara tersendiri seperti Pakistan dan beberapa negara di Asia Selatan serta
sejumlah negara di Teluk Balkan. Pada kenyataannya, semenjak abad ke-20 hingga memasuki
abad ke-21, konflik kekerasan bernuansa agama dan etnik semakin meningkat menggantikan
isu konflik yang bersumber pada ideologi kebangsaan. (ed. Nur Achmad, 2001, h. 88-93).
Meskipun konflik bernuansa agama merupakan tipe konflik yang tak mudah diurai,
tetapi bukan berarti konflik tersebut tidak bisa dikelola dengan baik. George Weige memberi
penilaian secara seimbang bahwa agama dapat menjadi sumber konflik sekaligus juga
memiliki potensi kreatif yang dapat berfungsi sebagai jaminan yang kuat untuk toleransi
sosial, pluralisme demokratis, dan resolusi konflik nir-kekerasan. Syaratnya adalah
ketersediaan dari para pemeluk agama untuk menghayati dan mengamalkan ajaran agama
secara dewasa, toleran, dan pluralis. Sebagaimana disebutkan oleh Khaled Abou El Fadl
bahwa semangat toleran dan pluralis dari para penganut agama akan menentukan corak
pemahaman teks suci agama secara toleran pula. (Khaled Abou El Fadl, 2002, h. 23)
Budha mengajarkan bahwa pikiran kita menjadi musuh yang paling berbahaya, tetapi
juga pikiran kita sendiri akan menjadi sahabat sejati yang sangat banyak membantu. Pikiran
yang toleran akan termanifestasi pada sikap toleran, inklusif, dan keterbukaan untuk menjalin
hubungan yang harmonis antarsesama manusia terlepas apa pun agama dan keyakinannya,
sebaliknya pikiran yang dilandasi intoleransi akan melahirkan sikap eksklusif, garang, dan
penuh permusuhan.
Karena itu, dialog menemukan arti pentingnya untuk menyemai bibit-bibit toleransi di
pikiran-pikiran umat beragama. Dilaog harus dikembangkan, dihidupkan, dan dikuatkan baik
di tingkat lokal, nasiona, regional, maupun mondial. Dalam hubungan dengan upaya ini, saya
mengutip apa yang dikatakan Hans Kng bahwa tidak akan ada damai di antara bangsabangsa, selama tidak ada damai di di antara agama-agama. Dan tidak ada damai di antara
agama-agama selama tidak ada dialog di antara agama-agama. Rumusan ini sangat tepat,
artinya perdamaian antarbangsa ditentukan oleh perdamaian antaragama, dan perdamaian
antaragama dapat dicapai melalui dialog antaragama. Tidak ada cara lain yang lebih baik di
dalam mengatasi ketegangan-ketegangan antaragama selain melalui dialog. (Seri Dian, 1994)

Namun, berkaca dari semakin maraknya konflik kekerasan bernuansa agama


menunjukkan bahwa terdapat persoalan mendasar dalam dialog antarumat beragama yang
selama ini berlangsung. Sehingga pesan-pesan damai dan toleransi yang harusnya
ditransformasikan kepada segenap umat beragama mengalami sumbatan dalam proses
komunikasi itu. Maraknya dialog antar umat beragama ternyata belum mampu menurunkan
eskalasi konflik kekerasan di masyarakat secara signifikan, baik yang dilatari kesenjangan
sosial atau pun permasalah agama.
Hal ini menyebabkan dialog antaragama kehilangan elemen utamanya, yakni
keterbukaan, sikap kritis dan upaya untuk saling mendengar. Dialog antaragama merupakan
tantangan bagi setiap orang untuk mengembangkan kejujuran dan otentisitas imannya.
Demikianlah, dialog mempunyai fungsi untuk melihat bagaimana relasi antara saya dengan
agama saya, relasi saya dengan orang atau agama lain, dan seterusnya. Dialog antaragama
merupakan pedang bermata dua, sisi pertama ia merupakan sebuah otokritik karena dalam
kehidupan kita masih sangat dibebani oleh prasangka serta upaya entah sadar atau tidak untuk
menegasikan orang lain. Dan sisi yang kedua terarah kepada suatu percakapan kritis yang
bersifat eksternal, yaitu untuk saling memberikan pandangan berdasarkan keyakinan sendiri.
Oleh karena itu, suatu percakapan yang dialogis membutuhkan kesediaan untuk mendengar
dari semua pihak secara adil dan setara.
Diaolog antaragama yang berlangsung selama ini masih berkutat pada dialog teologis.
Pada tataran ini memang sudah lebih maju dibanding sikap eksklusif, namun dialog tidak
boleh berhenti pada tataran ini. Kita harus berusaha membuka dialog hidup kita terhadap
kegembiraan, kesusahan, keperihatinan, dan kegelisahan hidup sesama kita. Substansi dialog
mempunyai jangkauan yang lebih dalam bagi penghayatan keagamaan seseorang di tengah
masyarakat-masyarakat dunia semakin terbuka dan berubah-rubah. Kini sudah tiba saatnya
bagi agama-agama dunia secara bersama-sama mengarahkan setiap kegiatan dialog untuk
menyonsong masa depan, dengan segala kesempatan dan tantangan baik yang sudah bisa
diantisipasi maupun belum, demi masyarakat yang lebih adil, lebih merdeka, dan lebih
manusiawi.
Dialog antaragama harus menempatkan peran agama-agama dalam konteks persoalan
global yang dihadapi bangsa manusia pada abad ini. Dialog perlu ditempatkan pada
tantangan-tantangan dan kesempatan-kesempatan yang dihadapi umat manusia, seperti
persoalan lingkungan, kemiskinan, bencana alam, kejahatan perang, perdamaian, dan lain
sebagainya. Jadi, dialog antaragama tidak hanya bergerak dalam dataran pengetahuan
teologis mengenai agama lain, yang juga memang penting namun yang terpenting adalah
dialog beranjak dalam dataran pengalaman dan keterlibatan iman yang mendalam dalam
kehidupan konkret kemanusiaan.
Dialog tidak boleh berhenti sekedar pada terwujudnya ko-eksistensi atau semacam
toleransi pasif. Menurut Hans Kng, dialog pada tataran ini memang sudah lebih maju dari
sikap eksklusif atau intoleran sama sekali, tetapi dia belum mampu secara kreatif dan aktif
melahirkan kadar toleransi yang saling membangun di antara agama-agama. Oleh karena itu,
Kng menawarkan sasaran dialog yang lebih maju dari sekedar bertujuan ko-eksistensi

menuju pro-eksistensi, yakni sebuah sikap toleransi yang tidak berhenti pada pengakuan akan
kebenaran-kebenaran agama-agama tetapi masing-masing ikut terlibat secara aktif dan
konkret dalam mengupayakan kehidupan yang lebih baik di atas landasan-landasan universal
kemanusiaan.
Inilah yang diupayakan Kng untuk menyusun sebuah etika global bagi
tanggungjawab bersama agama-agama untuk menjalin perdamaian di antara agama-agama
dan untuk turut terlibat dalam memperbaiki keadaan dunia yang sedang mengalami krisis
makna, nilai, dan norma. Dalam dunia yang dilanda peperangan, maka semua agama berbagi
pada satu tanggungjawab bersama, yaitu menghentikan perang dan menciptakan perdamaian.
Lewat kesadaran dialoglah, Kng melihat kemungkinan yang bisa disumbangkan untuk
melaksanakan tanggungjawab bersama itu, yaitu mencari konsensus moral di antara agamaagama dunia. berhadapan dengan fenomena dehumanisasi massal akibat kelaparan
berkepanjangan, perang, sindikat obat terlarang berskala nasional maupun global,
perdagangan manusia, dan problem-problem besar kemanusiaan lainnya, di sanalah agama
ditagih tanggungjawabnya tidak hanya secara individual tetapi juga secara bersama-sama.
(Seri Dian, 1994)
Pencarian titik temu (kalimatun sawa) di luar aspek teologis yang memang sudah
berbeda sejak semula merupakan ajaran utama Islam (Q.S. Ali Imran ayat 64) dalam
hubungannya dengan dialog antaragama. Pencarian titik temu lewat perjumpaan dan dialog
yang konstruktif berkesinambungan merupakan tugas kemanusiaan yang perenial, yang
abadi, tiada kata berhenti. Pencarian titik temu antarumat beragama dapat dimungkinkan
lewat berbagai cara, salah satunya adalah lewat pintu masuk etika, lantaran lewat pintu
gerbang etika manusia beragama merasa mempunyai puncak-puncak keperihatinan yang
sama. Lewat pintu etika ini, manusia beragama merasa mempunyai agama mempunyai
puncak-puncak keprihatinan yang sama. Lewat pintu etika ini, seluruh penganut agamaagama dapat bersentuhan religiusitasnya untuk tidak hanya menonjolkan having
religionnya. Lewat pintu etika, dimensi spiritualitas keberagamaan lebih terasa promising
and challenging dan bukan hanya terfokus pada dimensi formalitas lahiriah kelembagaan
agama.
Konsensus moral atau titik temu agama-agama memang cukup sulit terutama ditengah
kecenderungan menjamurnya klaim sebagai juru bicara Tuhan. Dengan klaim itu dijadikan
alibi untuk merusak hubungan antar sesama manusia dalam keintiman dan keharmonisan.
Kesombongan mengklaim diri sebagai haki-hakim wakil Tuhan di bumi, atau sebagai
pembela-pembela Tuhan sehingga dengan rasa bangga, mengebiri kebebasan sesama,
membunuh kreatifitas, hingga menebas leher sesama.
Meskipun sukar, hal itu tidak bisa dijadikan alasan untuk berputus asa, malah
sebaliknya seharusnya menjadi penyemangat untuk terus menggalangkan dialog secara terusmenerus. Saya percaya dengan apa yang dikatakan Kng bahwa dialog adalah jalan satusatunya untuk meredakan ketegangan-ketegangan di antara agama-agama.
Persoalannya adalah kita tidak bisa lagi secara kaku memahami dialog antaragama
sebagai dialog antar para elit agama di atas panggung-panggung seminar atau di dalam

gedung-gedung mewah. Hal tersebut sah-sah saja, tapi pada kenyataannya tidak mampu
secara efektif menyentuh akar rumput yang biasanya menjadi tempat terjadinya konflik
kekerasan. Kita harus merumuskan sebuah bentuk dialog kultural di antara agama-agama
selain dari apa yang disampaikan Kng dengan pencarian konsensus moral atau etika global
tanggungjawab agama-agama. Dialog kultural berarti menjadikan umat beragama sebagai
subjek dialog, tidak hanya dijadikan sebagai objek penyebaran pesan damai. Dengan begitu,
dalam diri umat beragama akan muncul sebuah keyakinan bahwa dialog adalah kebutuhan
yang datang dari nilai-nilai dan tradisi agama daripada sebagai nilai-nilai yang diintrupsikan
dari luar.
Bentuk dialog seperti ini penting di tengah kedewasaan pada perbedaan, terutama
perbedaan keyakinan masih rendah di tengah masyarakat. Terlebih ketika perbedaan
dijadikan sebagai permainan untuk mendapatkan kepentingan-kepentingan artifisial oleh
oknum-oknum yang tak bertanggungjawab. Karena melalui dialog kultural, masyarakat telah
membuat suatu konsensus di antara mereka, yang menjadi pengikat kerukunan di antara
mereka. Sehingga kerukunan di tengah-tengah masyarakat tersebut tidak mudah dirongrong
oleh orang-orang yang hatinya jahat.
http://indonesiancultureac.blogspot.com/2013/12/toleransi-dan-tantangan-dialog.html

PERANAN DIALOG AGAMA


Dialog (Yun. Dialogos) berarti berbicara satu sama lain, bercakap-cakap dan bertukar pikiran.
Dialog dapat berlangsung antara dua orang atau lebih yang berbeda pandangan. Dialog antar
umat beragama amat perlu, namun amat peka sekali. Oleh karena itu, perlu keterbukaan dan
pengertian. Kepentingan dialog perlu dipahami dan ditempatkan dalam rangka
mengupayakan kerukunan dan kerja sama antar warga demi terciptanya persaudaraan
nasional.
Berikut makna yang dapat dilakukan oleh penganut agama yang berbeda.
1. Dialog antar umat beragama dapat mendorong orang untuk lebih memahami
agamanya secara tepat dan jernih
2. Dialog antar umat beragama menuntut orang mau mendengarkan, mau
mempertimbangkan dan mau menghormati pandangan pihak lain.
3. Dialog antar umat beragama bukan maksud untuk mempertobatkan pihak lain
kedalam keperccayaan kita sendiri

Kutip: Pendidikan Agama Khatolik untuk SMA/SMK


Kelas XII Penerbit Kansius (hal67)
Manfaat Toleransi Beragama
1. Menghindari Perpecahan
Dengan belajar dan melakukan Toleransi Beragama maka kita juga belajar
bagaimana agar bangsa besar kita ini indonesia dapat bertahan lama. Negara kita terbukti
sangat peka terhadap isu keagamaan oleh karena itu jika tidak bisa menjaga hubungan baik
antara agama. Bahaya besar telah menanti bangsa ini.
2. Mempererat Hubungan
Dengan toleransi beragama tidak hanya dapat menghindarkan kita dari sebuah
perpecahan tapi juga dapat membuat kita lebih solid dalam hubungan kemasyarakatan. Dapat
juga bertukar pikiran (bukan berdebat tentang agama yang lebih baik) agar dari hari kehari
kehidupan ala multiagama di negara ini menjadi sesuatu yang biasa dan tidak menjadi alasan
terjadi pertikaian anatara umat beragama.
3. Mengokohkan Iman
Semua agama mangajarkan hal yang baik bagaimana mngatur hubungan dengan
masyarakat yang beragama lain. Wujud nyata tingkah laku toleransi akan
menunjukkan perwujudan iman keagamaan dalam kehidupan sehari-hari.

Contoh Toleransi Beragama

1. Saling Menghormati
Salah satu contoh toleransi dalam beragama ialah dengan saling menghormati anatar
umat beragama. Dengan cara jika ada yang sedang puasa ya setidaknya kita jangan
menganggi atau merusak puasanya. Jika ada yang sedang berdoa tetaplah menjaga
ketenangan saat umat lain beribadah.
2. Tidak Menganggu
Tidak menggu sudah cukup baik untuk mewujudkan toleransi beragama di dalam
masyarakat dengan cara jika ada upacara agama lain hendaklah tidak melanggar aturan.
Misalnya acaranya nyepi janganlah merusak dengan menciptakan keributan tanpa peduli
acara umat lain.
3. Partisipasi
Di sini perlu ditekankan pertisipasi tidak berarti anda mengikuti acara agama lain.
Contoh paling nyata ialah jika ada Lebaran,Natal dan acar besar agama lainnya apa sih
salahnya memberikan selamat kepada mereka. Ini menunjukkan perwujudan iman yang
dewasa dalam masyarakat.
http://tommysyatriadi.blogspot.co.id/2013/02/manfaat-dan-contoh-toleransi-beragma.html

SIMPULAN
Dialog antar umat beragama amat perlu, namun amat peka sekali. Oleh karena itu,
perlu keterbukaan dan pengertian. Kepentingan dialog perlu dipahami dan ditempatkan dalam
rangka mengupayakan kerukunan dan kerja sama antar warga demi terciptanya persaudaraan
nasional.

Anda mungkin juga menyukai