Anda di halaman 1dari 15

Leukemia Limfositik Akut

Randy
102013481
Fakultas Kedokteran
Universitas Kristen Krida Wacana
Jl.Arjuna Utara No. 6, Jakarta 11510
Randy27995@gmail.com
Pendahuluan
Leukemia limfoblastik akut (LLA) adalah keganasan klonal dari sel-sel prekursor limfoid.
Sel-sel yang dalam keadaan normal berkembang menjadi limfosit berubah menjadi ganas. Sel
leukemik ini tertimbun di sumsum tulang, lalu menghancurkan dan menggantikan sel-sel
yang menghasilkan sel darah yang normal. Sel kanker ini kemudian dilepaskan ke dalam
aliran darah dan berpindah ke hati, limpa, kelenjar getah bening, otak, ginjal dan organ
reproduksi, dimana mereka melanjutkan pertumbuhannya dan membelah diri. Sel kanker bisa
mengiritasi selaput otak, menyebabkan meningitis dan bisa menyebabkan anemia, gagal hati,
gagal ginjal dan kerusakan organ lainnya. Jika tidak diobati, leukemia ini bersifat fatal di
mana dapat menyebabkan komplikasi ke berbagai organ seperti SSP yang dapat
menyebabkan kematian. Lebih dari 80% kasus, sel- sel ganas berasal dari limfosit B, dan
sisanya merupakan leukemia sel T.1,2
LLA merupakan bentuk leukemia yang paling sering terjadi pada anak-anak, di mana
merupakan 25% dari semua jenis kanker yang mengenai anak-anak di bawah umur 15 tahun.
LLA paling sering terjadi pada anak usia antara 3-5 tahun. Walaupun demikian, 20% dari
penderita LLA adalah orang dewasa.1,2
Anamnesis
beberapa point penting yang perlu ditanyakan pada saat anamnesis , antara lain:

o Apakah ada tanda-tanda anemia seperti pucat, mudah lelah, letargi, sering pusing?
o Apakah terdapat tanda trombositopenia berupa perdarahan kulit berupa bercak kebiruan
maupun perdarahan dari organ tubuh lainnya misalnya epistaksis, perdarahan gusi,
hematuria dan melena?
o Apakah keluhan timbul setelah melakukan aktifitas atau dipengaruhi suatu hal tertentu?
o Apakah timbul demam, mual, muntah, dan nyeri pada sendi?
Pemeriksaan Fisik
o Inspeksi
Dilihat keadaan umum pasien, apakah terdapat tanda-tanda anemia seperti
konjungtiva yang anemis (pucat), tanda-tanda perdarahan akibat trombositopenia seperti
1

bercak kebiruan pada kulit, epistaksis (mimisan), perdarahan gusi, dan hematuria. Selain
itu dilihat pula apakah adanya perbesaran kelanjar getah bening.1
o Tanda vital
o Tekanan darah,
o Denyut nadi
o Frekuensi nafas
o Suhu tubuh

o Pemeriksaan Kelenjar Getah Bening (KGB)


Pemeriksaan KGB harus memperhatikan apakah ada tidaknya nyeri tekan,
kemerahan, hangat pada perabaan, dapat bebas digerakkan atau tidak dapat digerakkan,
apakah ada fluktuasi, konsistensi apakah keras atau kenyal.
a. Ukuran: normal bila diameter < 1cm (pada epitroclear > 0,5cm dan lipat paha >1,5cm
dikatakan abnormal).
b. Nyeri tekan: umumnya diakibatkan peradangan atau proses perdarahan.
c. Konsistensi: keras seperti batu mengarahkan kepada keganasan, padat seperti karet
mengarahkan kepada limfoma, lunak mengarahkan kepada proses infeksi, fluktuatif
mengarahkan telah terjadinya abses/pernanahan.
d. Penempelan/bergerombol: beberapa KGB yang menempel dan bergerak bersamaan
bila digerakkan. Dapat akibat tuberkulosis, sarkoidosis, keganasan.1
o Pemeriksaan Hepar
Palpasi hepar dengan meletakkan tangan kiri di belakang pinggang menyangga kosta
ke 11 & 12 dengan posisi sejajar dengan kosta, ajurkan pasien untuk rileks, tangan kanan
mendorong hepar ke atas dan kedalam dengan lembut. Anjurkan pasien inspirasi dalam
& rasakan sentuhan hepar saat inspirasi, jika teraba sedikit kendorkan jari & raba
permukaan anterior hepar. Normal hepar : lunak tegas, tidak berbenjol-benjol.1
Perkusi hepar, digunakan patokan 2 garis, yaitu: garis yang menghubungkan pusar
dengan titik potong garis mid calvicula kanan dengan arcus aorta, dan garis yang
menghubungkan pusar dengan processus kifoideus.1
Pembesaran hati diproyeksikan pada kedua garis ini dinyatakan dengan beberapa
bagian dari kedua garis tersebut. Harus pula dicatat: konsistensi, tepi, permukaan dan
terdapatnya nyeri tekan.1
o Pemeriksaan Limpa
Pada neonates, normal masih teraba sampai 1 2 cm. Dibedakan dengan hati yaitu
dengan :
1. Limpa menggantung ke bawah
2

2. Ikut bergerak pada pernapasan


Mempunyai incisura lienalis, serta dapat didorong kearah medial, lateral dan atas.
Besarnya limpa diukur menurut schuffner, yaitu: garis yang menghubungkan titik pada
arkus kosta kiri dengan umbilikus (dibagi 4) dan garis ini diteruskan sampai SIAS kanan
yang merupakan titik VIII. Garis ini digunakan untuk menyatakan pembesaran limpa.
Garis ini diteruskan kebawah sehingga memotong lipat paha. Garis dari pusat kelipat
paha pun dibagi 4 bagian yang sama. Limpa yang membesar sampai pusar dinyatakan
sebagai S.IV sampai lipat paha S.VIII.3
Pemeriksaan Penunjang
Beberapa pemeriksaan laboratorium diperlukan untuk konfirmasi diagnostik LLA,
klasifikasi prognostik dan perencanaan terapi yang tepat, yaitu:
o

Hitung darah lengkap (Complete Blood Count) dan apus darah tepi.
Gejala yang terlihat pada darah tepi sebenarnya berdasarkan pada kelainan sumsum
tulang yaitu berupa pansitopenia, limfositosis yang kadang-kadang menyebabkan
gambaran darah tepi monoton dan terdapatnya sel blas. Terdapatnya sel blas dalam darah
tepi merupakan gejala patognomonik pada leukimia.4
Jumlah leukosit dapat normal, meningkat, atau rendah pada saat diagnosis.
Hiperleukositosis (>100.000/mm3) terjadi pada kira-kira 15% pasien dan dapat melebihi
200.000/mm3. Pada umunya terjadi anemia dan trombositopenia. Proporsi sel blas pada
hitung leukosit bervariasi dari 0 100%. Kira-kira sepertiga pasien mempunyai hitung
trombosit kurang dari 25.000/mm3. Sekitar 10% dari pasien ALL, dapat disertai DIC.1
Pada sediaan apusan darah tepi ditemukan ertitrosit normositik normokrom maupun
eritrosit berinti dan dapat pula ditemukan sel blas yang bervariasi.4
Berikut adalah nilai normal dari pemeriksaan hitung darah lengkap:
1. HB
Dewasa pria
: 13.0 - 17.0 g/dl
Perempuan
: 12.0 - 15.5 g/dl
Kehamilan
: 11.0 - 14.0 g/dl
Bayi baru lahir
: 15.2 - 23.6g/dl
Anak usia 6 bulan-6 tahun tahun : 11.0 14.5g/dl
Anak usia 6-14 tahun
: 12.0 - 15.5g/dl
2. Ht

3.

Dewasa pria
Dewasa wanita
Bayi baru lahir
Anak usia 1 - 3 tahun
Anak usia 4 - 5 tahun
Anak usia 6-10 tahun

: 40 - 52 %
: 35 - 47 %
: 44 - 72 %
: 35 - 43 %
: 31 - 43 %
: 33 - 45 %

Jumlah Eritrosit:
Laki-laki : 4,6 jt-6,2 jt/ul
3


4.

Perempuan

: 4,2jt - 5,4 jt/ul

Jumlah Leukosit : 4.500 10.000/ul

5. Jumlah Trombosit: 150.000 - 450.000


6. Jumlah Retikulosit:
Laki-laki : 0,6-2,6/ul
Perempuan
: 0,4-2,4/ul
7. LED (Westergreen)
Laki-laki : 0-10 detik
Perempuan : 0-15 detik
8. Hitung Jenis Leukosit
Basofil (0-1%)
Eosinofil (1-3%)
Batang (2-5%)
Segmen (50-70%)
Limfosit(20-40%)
Monosit (2-8%).
9. Trombine Time (TT): 10-15 detik
10. Protrombine Time (PT): 11-14 detik
11. Activated Partial tromboplastine time (APTT) : 20-40 detik
12. Bleeding Time (BT) :
cara ivy
: 1-6 menit
cara duke
: 1-3 menit
13. Mean Corpuscular Volume ( MCV ) : 80-97 fl (normositer)
14. Mean Corpuscular Hemoglobin (MCH) : 27-31 pg (normokrom)
15. Mean Corpuscular Hemoglobin Concentration (MCHC) : 32-37 %.
o

Aspirasi dan Biopsi Sumsum Tulang.


Pemeriksaan ini sangat penting untuk konfirmasi diagnosis dan klasifikasi, sehingga
semua pasien LLA harus menjalani prosedur ini. Spesimen yang didapat harus diperiksa
untuk analisis histologi, sitogenetik dan immunophenotyping. Apus sumsum tulang
tampak hiperselular dengan limfoblas yang sangat banyak, lebih dari 90% sel berinti pada
LLA dewasa. Pada aspirasi sumsum tulang penderita LLA terkadang dapat dijumpai drytap, yaitu tidak terdapatnya pertikel darah yang disebabkan serabut retikulin yang
bertambah. Jika aspirasi sumsum tulang dapat tidak berhasil, sehingga touch imprint dari
jaringan biopsi penting untuk evaluasi gambaran sitologi. Dari pemeriksaan sumsum
4

tulang akan ditemukan gambaran yang monoton yaitu hanya terdiri dari sel limfopoietik
patologis sedangkan sistem lain terdesak (aplasia sekunder).1,4

Sitokimia.
Gambaran morfologisel blas pada apus darah tepi atau sumsum tulang kadang-kadang
tidak dapat membedakan LLA dari keukemia mieloblastik akut (LMA). Pada LLA,
pewarnaan sudan black dan mieloperoksidase akan memberikan hasil yang negatif.
Mieloperoksidase adalah enzim sitoplasmik yang ditemukan pada granula primer dari
prekusor granulositik, yang dapat dideteksi pada sel blas LMA. Sitokimia juga berguna
untuk membedakan precursor B dan B-ALL dari T-ALL. Pewarnaan fosfatase asam akan
positif pada limfosit T yang ganas, sedangkan sel B dapat memberikan hasil yang positif
pada pewarnaan periodic acid Schiff (PAS). TdT yang diekspresikan oleh limfiblas dapat
dideteksi dengan pewarnaan imunoperoksidase atau flow cytometry.1

Tabel 1. Pewarnaan sitokimia : Identifikasi komponen kimia sel.4


Blas
Limfoblas
Monoblas
(mieloblas)
Peroksidase
+
_
+/Sudan Black B
+
_
+/Periodic Acid Schiff
_
+
-/+
Non
Spesific
Esterase
_
_
+
(NSE)
o

Megakarioblas
_
_
+
+

Imunofenotipe (dengan sitometri arus/Flow cytometry).


Pemeriksaaan ini berguna dalam diagnosis dan klasifikasi LLA. Reagen yang dipakai
untuk diagnosis dan identifikasi subtipe imunologi adalah antibodi terhadap:
1. Untuk sel prekusor B: CD10 (common ALL antigen),CD19,CD79A,CD22,
cytoplasmis m-heavy chain, dan TdT
2. Untuk sel T: CD1a, CD2, CD3, CD4, CD5, CD7, CD8 dan TdT
3. Untuk sel B: kappa atau lambda, CD19, CD20 dan CD22.1
Pada sekitar 15-54% LLA dewasa didapatkan ekspresi antigen mieloid antigen
mieloid yang bisa dideteksi adalah CD13, CD15, dan CD33. Ekspresi yang bersamaan
dari abtigen limfoid dan mieloid dapat ditemukan pada leukemia bifenotip akut. Kasus ini
jarang , dan perjalanan penyakit buruk. Meskipun lebih dari 95% kasus ALL subtipe L1
atau L2 positif pada pemeriksaan TdT (Terminal deoxynucleotidyl Transferase), pada
ALL subtipe L3 akan didapatkan hasil yang negatif. TdT dipakai untuk menyingkirkan
kemungkinan ALL dengan NHL (Non-Hodgkin Limfoma).1,4

Tabel 2. Immunophenotyping (ringkasan).4

c ALL Ag

C Ig

S Ig

E Rosett

TdT

FAB

Common
ALL

L1 L2

PreB ALL

L1 L2

B-ALL

L3

T-ALL

L1 L2

Null ALL

L1 L2

Sitogenetik.
Analisis sitogeetik sangat berguna karena beberapa kelainan sitogenetik berhubungan
dengan subtipe LLA tertentu, dan dapat memberikan informasi prognostik. translokasi
t(8;14), t(2;8) dan t(8;22) hanya ditemukan pada LLA sel B, dan kelainan kromosom ini
meyebabkan disregulasi dan ekspresi yang berlebihan dari gen c-myc pada kromosom 8.
Beberapa kelainan sitogenetik dapat ditemukan pada LLA atau LMA, misalnya
kromosom Philadelphia, t(9;22)(q34;q11) yang khas untuk leukemia mielositik kronik
dapat juga ditemukan pada < 5% LMA dewasa dan 20-30% LLA dewasa.1

Petanda Imunologik

Tabel 3. Petanda Imunoligik untuk membedakan Leukemia.4


c-ALL

Thy-ALL

B-ALL, CLL,
other mature
B cell tumors

AML

(non-Tnon-B
ALL)
Anti c-ALL

Anti Ia

+/-

Anti TdT

E-ros

Anti Thy

S Ig

Catatan :
Ia = stem cell antigen
Thy = thymic antigen
E-ros = rosettes with sheep red cells
o

Pemeriksaan Lainnya.
6

Biopsi limpa
Pemeriksaan ini memperlihatkan proliferasi sel leukemia dan sel yang berasal dari
jaringan limpa akan terdesak seperti limfosit normal, RES, granulosit dan pulp sel.

Kimia darah, kolesterol mungkin merendah, asam urat dapat meningkat,


hipogamaglobulinemia. Selain itu, tes fungsi hati dan Blood Ureum Nitrogen
(BUN)/Creatinin juga diperlukan sebelum memulai terapi.

CSS, bila terjadi peninggian jumlah sel (sel patologis) dan protein, maka hal ini berarti suatu
leukemia meningeal.1
Working Diagnosis
Leukemia adalah kanker anak yang paling sering, mencapai lebih kurang 33% dari
keganasan pediatrik. Leukemia limfoblastik akut (LLA) berjumlah kira kira 75% dari
semua kasus, dengan insidensi tertinggi pada umur 4 tahun. Leukemia myeloid akut (LMA)
berjumlah kira kira 20% dari leukemia, dengan insidensi yang tetap dari lahir sampai umur
10 tahun, meningkat sedikit pada masa remaja. Leukemia sisanya adalah bentuk kronis;
leukemia limfositik kronis (LLK) jarang ditemukan pada anak. Insidensi tahunan keseluruhan
dari leukemia adalah 42,1 tiap juta anak kulit hitam. Perbedaan itu terutama disebabkan oleh
rendahnya kejadian LLA pada kulit hitam.3,5
Diagnosis dibuat berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan darah tepi dan dipastikan
oleh pemeriksaan sumsum tulang atau limpa. Pada stadium ini limpa mungkin tidak
membesar, bahkan gambaran darah tepi masih normal dan hanya terlihat gejala pucat yang
mendadak dengan atau tanpa trombositopenia. Dalam keadaan ini pemeriksaan sumsum
tulang dapat memastikan diagnosis. Diagnosis LLA ditegakkan apabila ditemukan sedikitnya
30% limfoblas (menurut klasifikasi FAB) atau setidaknya 20% limfoblas (menurut
klasifikasiWHO) di sumsum tulang atau di darah tepi.3,5
Differential Diagnosis
Proliferasi patologis sel granulopoietik selain seri limfosit yang ditandai kegagalan
sumsum tulang membentuk sel darah merah normal dan infiltrasi kejaringan tubuh lain.3
Pada sebagian besar kasus, gambaran klinis dan morfologi pada pewarnaan rutin
membedakan ALL dari AML. Pada ALL, blas tidak memperlihatkan adanya diferensiasi
(dengan perkecualian ALL sel B). Sedangkan pada AML, biasanya ditemukan tanda tanda
diferensiasi kearah granulosit atau monosit pada blas atau progeninya. Diperlukan tes khusus
untuk memastikan penegakan diagnosis AML atau ALL dan untuk membagi lagi kasus
kasus AML atau ALL ke dalam subtype yang berbeda.3
Etiologi
Penyebab LLA pada dewasa sebagian besar tidak diketahui. Faktor keturunan dan
sindroma predisposisi genetik lebih berhubungan dengan LLA yang terjadi pada anak-anak.
Beberapa faktor lingkungan dan kondisi klinis yang berhubungan dengan LLA adalah:1

1) Radiasi ionik. Orang-orang yang selamat dari ledakan bom atom di Hiroshima dan
Nagasaki mempunyai risiko relatif keseluruhan 9,1% untuk berkembang menjadi LLA.
Selain itu pemaparan sinar X juga dapat meningkatkan risiko untuk terkena LLA.
2) Paparan dengan benzene kadar tinggi dapat menyebabkan aplasia sumsum tulang,
kerusakan kromosom, dan leukemia.
3) Merokok sedikit meningkatkan risiko LLA pada usia di atas 60 tahun.
4) Obat kemoterapi
5) Infeksi virus Epstein Barr berhubungan kuat dengan LLA L3.
6) Pasien dengan sindroma Down dan Wiskott Aldrich mempunyai risiko yang meningkat
untuk menjadi LLA. Selain itu, menurut pengamatan yang ada menunjukkan bahwa
faktor ras (orang Yahudi) juga turut mempengaruhi seseorang mudah menderita LLA.
Epidemiologi
Delapan puluh lima pesen leukemia pada anak adalah leukemia limfositik akut (LLA).
Insiden puncak tibulnya penyakit ini adalah 3 5 tahun dan lebih banyak ditemui pada anak
laki laki dibandingkan perempuan. Ratio anak kulit putih dengan berwarna adalah 1,8 : 1.
Organisasi kesehatan dunia (WHO) memperkirakan bahwa di Indonesia tiap tahun ada
seratus penderita kanker baru dari 100.000 penduduk dan 2% di antaranya atau 4.100 kasus
merupakan kanker anak. Angka ini terus meningkat lantaran kurangnya pemahaman orang
tua mengenai penyakit kanker dan bahayanya.1,6
Patofisiologi
LLA merupakan suatu keganasan jaringan yang menghasilkan sel darah putih (leukosit)
yang imatur atau abnormal dalam jumlah berlebihan, dan leukosit-leukosit tersebut
melakukan invasi ke berbagai organ tubuh. Sel-sel leukemik berinfiltrasi ke dalam sumsum
tulang, mengganti unsur-unsur sel yang normal. Akibatnya, timbul anemia, dan dihasilkan sel
darah merah dalam jumlah yang tidak mencukupi. Timbul perdarahan akibat menurunnya
jumlah trombosit yang bersirkulasi. Infeksi juga terjadi lebih sering karena berkurangnya
jumlah leukosit normal. Invasi sel-sel leukemik ke dalam organ-organ vital menimbulkan
hepatomegali, splenomegali, dan limfadenopati.7
Teori umum tentang patofisiologi leukemia adalah bahwa satu sel induk mutan, mampu
memperbaharui secara tidak terhingga, menimbulkan prekursor hematopoietik berdiferensiasi
buruk maligna yang membelah diri pada kecepatan yang sama atau lebih lambat daripada
pasangannya yang normal. Pada studi glukosa 6-fosfat dehidrogenase (G6PD),
perkembangan uniseluler dari neoplasma telah diperlihatkan dengan menemukan satu jenis
G6PD dalam sel ganas dari pasien heterozigot yang memiliki pola enzim ganda dalam
jaringan normal mereka. Penentuan pola metilasi dari polimorfisme panjang-fragmenrestriksi yang terkait-X pada perempuan heterozigot merupakan metode sensitif lain dalam
pada prinsip analisis yang sama. Akumulasi sel blas menghambat produksi normal granulosit,
eritrosit, dan trombosit, sehingga mengakibatkan infeksi, anemia, dan perdarahan. Sel

leukemia dapat menginfiltrasi setiap organ dan menyebabkan pembesaran dan gangguan
fungsi organ tersebut.7
Gejala Klinis
Anak anak dengan LLA umumnya memperlihatkan gambaran yang cukup konsisten.
Sekitar 2/3 telah memperlihatkan gejala dan tanda selama kurang dari 6 minggu pada saat
diagnosis ditegakkan. Gejala pertama biasanya tidak khas, manifestasi awal yang lazim
adalah anoreksia, iritabilitas, dan letargi. Kegagalan fungsi sum sum tulang yang progresif
menimbulkan keadaan pucat, perdarahan, dan demam, yaitu gambaran gambaran yang
mendesak dilakukannya pemeriksaan diagnostik.4
Pada pemeriksaan awal, sebagian besar pasien tampak pucat dan dapat disertai dengan
petekie atau perdarahan mukosa. Demam ditemukan pada sekitar 25% penderita, yang
terkadang dianggap timbul oleh karena suatu infeksi. Limfadenopati kadang kadang nyata,
dan spelonomegali ( biasanya kurang dari 6 cm di bawah tepi kosta) dapat ditemukan 2/3
pasien dan hepatomegali. Sepertiga pasien mengalami nyei tulang akibat invasi periosteum
dan perdarahan subperiosteal. Nyeri tulang dan artralgia tidak jarang merupakan keluhan
utama yang mengarah pada diagnosis LLA.4
Kadang kadang tanda - tanda peningkatan tekanan intrakranial seperti nyeri kepala dan
muntah, menunjukkan terlibatnya selaput otak. Anak anak dengan leukemia sel T
cenderung dengan limfadenopati dan hepatosplenomegali yang nyata serta ifiltrasi leukemik
dini pada SSP.4
Medika Mentosa
1. Transfusi sel darah merah, biasanya diberikan bila kadar Hb kurang dari 6 g%, namun
juga dipengaruhi keadaan fisiologik pasien. Tranfusi harus dihindari pada psien dengan
hiperleukositosis karena dapat meningkatkan secara mendadak viskositas darah. Pada
keadaan hiperleukositisis (>100.000/mm3) diberikan perdnison selama 7 hari sebelum
terapi induksi remisi dimulai. Sedangkan pada trombositopenia yang berat dan
perdarahan masif, dapat diberikan transfusi trombosit dan bila terdapat tanda tanda DIC
dapat diberikan heparin.
2. Sitostatika. Selain sitostatika yang lama (6 merkaptopurin atau 6 mp, metotreksat atau
MTX) pada waktu ini dipakai pula yang baru dan lebih poten seperti vinkristin (oncovin),
rubidomisin (daunorubycine), sitosin, arabinosid, L asparaginase, siklofosfamid atau
CPA, adriamisin dan sebagainya. Umumnya sitostatika diberikan dalam kombinasi
bersama-sama dengan kortikosteroid (prednisone). Pada pemberian obat obatan ini sering
terdapat akibat samping berupa alopesia, stomatitis, leukopenia, infeksi sekunder atau
kandidiagis. Hendaknya lebih berhziti hati bila jumiah leukosit kurang dari 2.000/mm3.
3. Mencegah infeksi sekunder.
4. Imunoterapi, merupakan cara pengobatan yang terbaru. Setelah tercapai remisi dan
jumlah sel leukemia cukup rendah, imunoterapi mulai diberikan. Pengobatan yang
aspesifik dilakukan dengan pemberian imunisasi BCG atau dengan Corynae bacterium
dan dimaksudkan agar terbentuk antibodi yang dapat memperkuat daya tahan tubuh.
9

Pengobatan spesifik dikerjakan dengan penyuntikan sel leukemia yang telah diradiasi.
Dengan cara ini diharapkan akan terbentuk antibodi yang spesifik terhadap sel leukemia,
sehingga semua sel patologis akan dihancurkan sehingga diharapkan penderita leukemia
dapat sembuh sempurna.
5. Hidrasi intravena, alkalinisasi urin dan pemberian alupurinol untuk mencegah akumulasi
asam urat pada pasien dengan hiperurisemia, hiperfosfatemia, hipokalsemia sekunder
akibat jumlah sel leukemia yang sangat banyak.1,9

Cara pengobatan
Setiap klinik mempunyai cara tersendiri bergantung pada pengalamannya. Umumnya
pengobatan ditujukan terhadap pencegahan kambuh dan mendapatkan masa remisi yang lebih
lama. Untuk mencapai keadaan tersebut, pada prinsipnya dipakai pola dasar pengobatan
sebagai berikut:
1) Induksi. Dimaksudkan untuk mencapai remisi, yaitu dengan pemberian berbagai obat
tersebut di atas, baik secara sistemik maupun intratekal sampai sel blast dalam sumsum
tulang kurang dari 5%.
2) Konsolidasi. Yaitu agar sel yang tersisa tidak cepat memperbanyak diri lagi.
3) Rumat (maintenance). Untuk mempertahankan masa remisi, sedapat dapatnya suatu masa
remisi yang lama. Biasanya dilakukan dengan pemberian sitostatika separuh dosis biasa.
4) Reinduksi Dimaksudkan untuk mencegah relaps. Reinduksi biasanya dilakukan setiap 3-6
bulan dengan pemberian obat obat seperti pada induksi selama 10-14 hari.
5) Mencegah terjadinya leukemia susunan saraf pusat. Untuk hal ini diberikan MTX
intratekal pada waktu induksi untuk mencegah leukemia meningeal dan radiasi kranial
sebanyak 2.4002.500 rad. untuk mencegah leukemia meningeal dan leukemia serebral.
Radiasi ini tidak diulang pada reinduksi.
6) Pengobatan imunologik. Diharapkan semua sel leukemia dalam tubuh akan hilang sama
sekali dan dengan demikian diharapkan penderita dapat sembuh sempurna.1
Cara pengobatan yang dilakukan di Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI terhadap
leukemia limfositik akut ialah dengan menggunakan protocol sebagai berikut:
1. Induksi
Sistemik :
a. VCR (vinkristin): 2 mg/m2/minggu, intravena diberikan 6 kali.
b. ADR (adriamisin): 40mg/m2/2 minggu intravena diberikan 3 kali dimulai pada hari
ketiga pengobatan
c. Prednisone 50mg/m2/hari peroral diberikan selama 5 minggu kemudian tapering off
selama 1 minggu.
SSP Profilaksis: MTX (metotreksat) 10mg/m2/minggu intratrakeal, diberikan 5 kali
dimulai bersamaan dengan atau setelah VCR pertama. Radiasi cranial: dosis total 2.400
rad dimulai setelah konsolidasi terakhir (siklofosfamid).
10

2. Konsolidasi
a. MTX: 15 mg/m2/hari intravena diberikan 3 kali dimulai satu minggu setelah VCR
keenam, kemudian dilanjutkan dengan :
b. 6-MP (6-merkaptopurin): 500 mg/m2/hari peroral diberikan 3 kali
c. CPA (siklofosfamid) 800mg/m2/kali diberikan pada akhir minggu kedua dari
konsolidasi
3. Rumat
Dimulai satu minggu setelah konsolidasi terakhir (CPA) dengan :
a. 6-MP: 65 mg/m2/hari peroral
b. MTX: 20 mg/m2/minggu peroral dibagi dalam 2 dosis
4. Reinduksi
Diberikan tiap 3 bulan sejak VCR terakhir. Selama reinduksi obat-obat rumat
dihentikan.
a. VCR: dosis sama dengan dosis induksi, diberikan 2 kali
b. Prednison dosis sama dengan dosis induksi diberikan 1 minggu penuh dan 1 minggu
kemudian tapering off
SSP: MTX intratrakeal, dosis sama dengan profilaksis, diberikan 2 kaliSSP: MTX
intratrakeal, dosis sama dengan profilaksis, diberikan 2 kali.
5. Imunoterapi
BCG diberikan 2 minggu setelah VCR kedua pada reinduksi pertama. Dosis 0,6 ml
intrakutan, diberikan pada 3 tempat masingmasing 0,2 ml. Suntikan BCG diberikan 3
kali dengan interval 4 minggu. Selama pengobatan ini, obatobat rumat diteruskan.
6. Pengobatan seluruhnya dihentikan setelah 3 tahun remisi terus menerus.
Pungsi sumsum tulang ulangan rutin dilakukan setelah induksi pengobatan (setelah 6
minggu).1

Pada pasien LLA yang mempunyai risiko tinggi untuk relaps maka dilakukan
transplantasi sumsum tulang alogenik pada remisi komplit yang pertama. Risiko tinggi untuk
relaps yaitu:
Kromosom Philadelphia
Perubahan susunan gen MLL
Hiperleukositosis
Gagal mencapai remisi komplit dalam waktu 4 minggu.1
Pasien LLA dewasa yang mengalami relaps setelah mencapai remisi komplit harus
menjalani transplantasi begitu remisi kedua komplit.1
Prognosis

11

Karena onset biasanya mendadak, maka dapat disertai perkembangan dan kematian yang
cepat bila tidak diobati.60% pasien yang diobati menjadi sembuh dan mengalami harapan
hidup yang meningkat dengan kemoterapi agresif yang diarahkan pada sumsum tulang serta
SSP.Harapan sembuh pasien dewasa tergantung dari intensifnya terapi.Secara umum, overall
disease free survival rate kira-kira 30%.
Komplikasi
Komplikasi yang paling sering terjadi adalah terjadinya infeksi (sepsis) akibat efek
mielosupresif, imunosupresif dan juga kemoterapi. Selain itu, komplikasi yang terjadi akibat
kemoterapi atau secara spontan ialah terjadinya gangguan metabolik pada anak dengan LLA
yang disebabkan oleh lisis sel leukemik dan komplikasi ini dapat mengancam jiwa pasien
yang memiliki beban sel leukemia yang besar. Terlepasnya komponen intraselular dapat
menyebabkan hiperurisemia, hiperkalsemia, dan hiperfosfatemia dengan hipokalsemia
sekunder. Beberapa pasien dapat juga menderita gagal ginjal (nefropati asam urat atau
nefrokalsinosis).4
Pencegahan
Karena penyebab dari penyakit ini belum diketahui secara pasti maka tidak ada
pencegahan yang jelas terhadap penyakit ini. Paling tidak faktor risiko LLA seperti paparan
radiasi dapat dihindari.
Sedangkan bagi pasien yang telah menderita LLA pencegahan yang dapat dilakukan
adalah dengan melakukan profilkasis SSP. 50-75% pasien LLA yang tidak mendapat terapi
profilaskis akan mengalami relaps pada SSP. Profilaskis SSP dapat terdiri dari kombinasi
kemoterapi intratekal, radiasi cranial, dan pemberian sisetemik obat yang mempunyai
bioavibilitas SSP yang tinggi seperti metotreksat dan sitarabin dosis tinggi.1
Selain itu dilakukan pula pencegahan suportif yaitu penanganan pada penyakit lain yang
menyertai leukemia, komplikasi dan tindakan yang mendukung penyembuhan, termasuk
perawatan psikologi. Perawatan suportif tersebut antara lain transfusi darah (trombosit),
pemberian antibiotik pada infeksi (sepsis), obat anti jamur, pemberian nutrisi yang baik dan
pendekatan aspek psikososial.1

Kesimpulan
Leukemia adalah salah satu penyakit keganasan yang sangat ditakuti oleh masyarakat
dewasa ini. Meskipun telah dilakukan berbagai penelitian, etiologi dari keganasan
hemopoetik ini tidak diketahui secara keseluruhan.
Leukemia dibagi menjadi akut dan kronik. Pada leukemia akut, sel darah sangat tidak
normal, tidak dapat berfungsi seperti sel normal, dan jumlahnya meningkat secara cepat.
12

Kondisi pasien dengan leukemia jenis ini memburuk dengan cepat. Pada leukemia kronik,
pada awalnya sel darah yang abnormal masih dapat berfungsi, dan orang dengan leukemia
jenis ini mungkin tidak menunjukkan gejala. Perlahan-lahan, leukemia kronik memburuk dan
mulai menunjukkan gejala ketika sel leukemia bertambah banyak dan produksi sel normal
berkurang.
Untuk pengobatan leukemia akut, bertujuan untuk menghancurkan sel-sel kanker sampai
habis. Pelaksanaannya secara bertahap dan terdiri dari beberapa siklus. Tahapannya adalah
induksi (awal), konsolidasi dan pemeliharaan. Tahap induksi bertujuan memusnahkan sel
kanker secara progresif. Tahap konsolidasi untuk memberantas sisa sel kanker agar tercapai
sembuh sempurna. Tahap pemeliharaan berguna untuk menjaga agar tidak kambuh. Terapi
yang biasa dilakukan antara lain pemberian kemoterapi, radioterapi dan juga transplantasi
sumsum tulang.
Permasalahan yang dihadapi pada penanganan pasien leukemia adalah obat yang mahal,
ketersediaan obat yang belum tentu lengkap, dan adanya efek samping, serta perawatan yang
lama. Obat untuk leukemia dirasakan mahal bagi kebanyakan pasien apalagi dimasa krisis
sekarang ini, Selain macam obat yang banyak , juga lamanya pengobatan menambah beban
biaya untuk pengadaan obat. Efek samping sitostatika bermacam-macam seperti anemia,
pedarahan, rambut rontok, granulositopenia (memudahkan terjadinya infeksi), mual/ muntah,
stomatitis, miokarditis dan sebagainya. Problem selama pengobatan adalah terjadinya relaps
(kambuh). Relaps merupakan pertanda yang kurang baik bagi penyakitnya dan dapat terjadi
sekitar 20% pada penderita LLA yang diterapi. Pada dasarnya ada 3 tempat relaps yaitu
intramedular (sumsum tulang), ekstramedular (susunan saraf pusat, testis, iris), intra dan
ekstra meduler. Relaps bisa terjadi pada relaps awal (early relaps) yang terjadi selama
pengobatan atau 6 bulan dalam masa pengobatan dan relaps lambat (late relapse) yang terjadi
lebih dari 6 bulan setelah pengobatan.

Daftar Pustaka
1
2
3

Sudoyo AW, Setioyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku ajar ilmu penyakit
dalam vol. II. Edisi ke-5. Jakarta: InternaPublishing; 2009.h.1266-74.
Price SA, Wilson LM. Patofisiologi konsep klinis proses-proses penyakit vol I. Edisi ke6. Jakarta: EGC; 2006. h.277-86.
Hassan, R, Alatas, H. In: Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta: Percetakan Infomedika
Jakarta; 2007. h.469-79.
13

5
6
7

Sudiono H, Iskandar II, Edward H, Halim SL, Santoso R. Penuntun patologi klinik
hematologi. Jakarta: Bagian Patologi Klinik Fakultas Kedokteran UKRIDA;2009.h.10511.
Waldo, E. Nelson. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak. Vol 3.edisi ke-5. Jakarta:EGC;
2005.h. 1958-63.
Price SA, Wilson LM. Patofisiologi konsep klinis proses-proses penyakit vol I. Edisi ke6. Jakarta: EGC.h. 277-86.
Rudolph, M. Abraham. Buku ajar pediatrik rudolph. Edisi 20. EGC, Jakarta: 2006. h.
1397-401.

14

15

Anda mungkin juga menyukai