NASOFARING
BAB 1
PENDAHULUAN
1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Memahami asuhan keperawatan pada klien dengan gangguan ca nasofaring
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Memahami definisi Ca nasofaring.
1.4 Manfaat
1.4.1 Mahasiswa mampu memahami konsep dan asuhan keperawatan pada klien dengan
gangguan ca Nasofaring sehingga menunjang pembelajaran mata kuliah persepsi sensori.
1.4.2
Mahasiswa mampu mengetahui asuhan keperawatan yang benar sehingga dapat
menjadi bekal dalam persiapan praktik di rumah sakit.
BAB 2
Tinjauan Pustaka
2.1 Definisi
Kanker nasofaring adalah kanker yang berasal dari sel epitel nasofaring di rongga belakang
hidung dan belakang langit-langit rongga mulut. Kanker ini merupakan tumor ganas daerah
kepala dan leher yang terbanyak di temukan di Indonesia. Hampir 60% tumor ganas dan leher
merupakan kanker nasofaring, kemudian diikuti tumor ganas hidung dan sinus paranasal (18%),
laring (16%), dan tumor ganas rongga mulut, tonsil, hipofaring dalam prosentase rendah.
Pada banyak kasus, nasofaring carsinoma banyak terdapat pada ras mongoloid yaitu penduduk
Cina bagian selatan, Hong Kong, Thailand, Malaysia dan Indonesia juga di daerah India. Ras
kulit putih jarang ditemui terkena kanker jenis ini. Selain itu kanker nasofaring juga merupakan
jenis kanker yang diturunkan secara genetik.
2.2 Etiologi
1. Virus EB
Metode imunologi membuktikan virus EB membawa antigen yang spesifik seperti antigen
kapsid virus ( VCA ), antigen membran ( MA ), antigen dini ( EA ), antigen nuklir ( EBNA ) , dll.
Virus EB memiliki kaitan erat dengan Ca Nasofaring , alasannya adalah :
1.
1. Faktor Lingkungan
Faktor lingkungan juga berperan penting. Penelitian akhir-akhir ini menemukan zat berikut
berkaitan dengan timbulnya Ca Nasofaring :
1. Hidrokarbon aromatik, pada keluarga di area insiden tinggi kanker nasofaring ,
kandungan 3,4- benzpiren dalam tiap gram debu asap mencapai 16,83 ug, jelas lebih
tinggi dari keluarga di area insiden rendah.
2. 2.
Unsur renik : nikel sulfat dapat memacu efek karsinognesis pada proses
timbulnya kanker nasofaring .
3. 3.
Golongan nitrosamin : banyak terdapat pada pengawet ikan asin. Terkait dengan
kebiasaan makan ikan asin waktu kecil, di dalam air seninya terdeteksi nitrosamin volatil
yang berefek mutagenik.
Epiktasis : sekitar 70% pasien mengalami gejala ini, diantaranya 23,2 % pasien datang
berobat dengan gejala awal ini . Sewaktu menghisap dengan kuat sekret dari rongga
hidung atau nasofaring , bagian dorsal palatum mole bergesekan dengan permukaan
tumor , sehingga pembuluh darah di permukaan tumor robek dan menimbulkan epiktasis.
Yang ringan timbul epiktasis, yang berat dapat timbul hemoragi nasal masif.
2. Hidung tersumbat : sering hanya sebelah dan secara progesif bertambah hebat. Ini
disebabkan tumor menyumbat lubang hidung posterior.
3. Tinitus dan pendengaran menurun: penyebabnya adalah tumor di resesus faringeus dan
di dinding lateral nasofaring menginfiltrasi , menekan tuba eustaki, menyebabkan tekana
negatif di dalam kavum timpani , hingga terjadi otitis media transudatif . bagi pasien
dengan gejala ringan, tindakan dilatasi tuba eustaki dapat meredakan sementara.
Menurunnya kemmpuan pendengaran karena hambatan konduksi, umumnya disertai rasa
penuh di dalam telinga.
4. Sefalgia : kekhasannya adalah nyeri yang kontinyu di regio temporo parietal atau
oksipital satu sisi. Ini sering disebabkan desakan tumor, infiltrasi saraf kranial atau os
basis kranial, juga mungkin karena infeksi lokal atau iriasi pembuluh darah yang
menyebabkan sefalgia reflektif.
5. Rudapaksa saraf kranial : kanker nasofaring meninfiltrasi dan ekspansi direk ke superior ,
dapat mendestruksi silang basis kranial, atau melalui saluran atau celah alami kranial
masuk ke area petrosfenoid dari fosa media intrakanial (temasuk foramen sfenotik, apeks
petrosis os temporal, foramen ovale, dan area sinus spongiosus ) membuat saraf kranial
III, IV, V dn VI rudapaksa, manifestasinya berupa ptosis wajah bagian atas, paralisis otot
mata ( temasuk paralisis saraf abduksi tersendiri ), neuralgia trigeminal atau nyeri area
temporal akibat iritasi meningen ( sindrom fisura sfenoidal ), bila terdapat juga rudapaksa
saraf kranial II, disebut sindrom apeks orbital atau petrosfenoid.
6. Pembesaran kelenjar limfe leher : lokasi tipikal metastasisnya adalah kelenjar limfe
kelompok profunda superior koli, tapi karena kelompok kelenjar limfe tersebut
permukaannya tertutup otot sternokleidomastoid, dan benjolan tidak nyeri , maka pada
mulanya sulit diketahui. Ada sebagian pasien yang metastasis kelenjar limfenya perama
kali muncul di regio untaian nervi aksesorius di segitiga koli posterior.
7. Gejala metastasis jauh : lokasi meatstasis paling sering ke tulang, paru, hati . metastasi
tulang tersering ke pelvis, vertebra, iga dan keempat ekstremitas. Manifestasi metastasis
tulang adalah nyeri kontinyu dan nyeri tekan setempat, lokasi tetap dan tidak berubahubah dan secara bertahap bertambah hebat. Pada fase ini tidak selalu terdapat perubahan
pada foto sinar X, bone-scan seluruh tubuh dapat membantu diagnosis. Metastasis hati ,
paru dapat sangat tersembunyi , kadang ditemukan ketika dilakukan tindak lanjut rutin
dengan rongsen thorax , pemeriksaan hati dengan CT atau USG
2.4 Patofisiologi
Sudah hampir dipastikan ca.nasofaring disebabkan oleh virus eipstein barr. Hal ini dapat
dibuktikan dengan dijumpai adanya protein-protein laten pada penderita ca. nasofaring. Sel yang
terinfeksi oleh EBV akan menghasilkan protin tertentu yang berfungsi untuk proses proliferasi
dan mempertahankan kelangsungan virus didalam sel host. Protein tersebut dapat digunakan
sebagai tanda adanya EBV, seperti EBNA-1 dan LMP-1, LMP-2A dan LMP-2B. EBNA-1 adalah
protein nuclear yang berperan dalam mempertahankan genom virus. EBV tersebut mampu aktif
dikarenakan konsumsi ikan asin yang berlebih serta pemaparan zat-zat karsinogen yang
menyebabkan stimulasi pembelahan sel abnormal yang tidak terkontrol, sehingga terjadi
differensiasi dan proliferasi protein laten(EBNA-1). Hal inilah yang memicu pertumbuhan sel
kanker pada nasofaring, dalam hal ini terutama pada fossa Rossenmuller.
Penggolongan Ca Nasofaring :
1.
T1
1.
2. T3
: Kanker di celah parafaring di posterior garis SO atau mengenai basis
kranial, fosa pterigopalatinum atau terdapat rudapaksa tunggal syaraf kranial
kelompok anterior atau posterior.
3. T4
: Saraf kranial kelompok anterior dan posterior terkena serentak, atau
kanker mengenai sinus paranasal, sinus spongiosus, orbita, fosa infra-temporal.
4. N0
5. N1
6. N2
7. N3
8. M0
9. M1
: T1N0M0
: T2N0 1M0, T0 2N1M0
3. Stadium III
4. Stadium IVa
5. Stadium IVb
:T apapun, N Apapun, M1
2. Dari pemeriksaan VCA-IgA, EA-IgA dan EBV-DNAseAb, dua diantara tiga indikator
tersebut positif.
3. Dua dari tiha dari indikator pemeriksaan diatas, salah satu menunjukkan titer yang tinggi
kontinyu atau terus meningkat.
Bagi pasien yang memenuhi patokan tersebut , harus diperiksa teliti dengan nasofaringoskop
elektrik , bila perlu dilakukan biopsi. Yang perlu ditekankan adalah perubahan serologi virus Eb
dapat menunjukkan reaksi positif 4 46 bulan sebelum diagnosis kanker nasofaring ditegakkan.
1. Diagnosis pencitraan.
1.
2. Pemeriksaan MRI : MRI memiliki resolusi yang baik terhadap jaringan lunak, dapat
serentak membuat potongan melintang, sagital, koronal, sehingga lebih baik dari pada
CT. MRI selai dengan jelas memperlihatkan lapisan struktur nasofaring dan luas lesi, juga
dapat secara lebih dini menunjukkan infiltrasi ke tulang. Dalam membedakan antara
fibrosis pasca radioterapi dan rekurensi tumor , MRI juga lebih bermanfaat .
3. Pencitraan tulang seluruh tubuh : berguna untuk diagnosis kanker nasofaring dengan
metastasis ke tulang, lebih sensitif dibandingkan rongtsen biasa atau CT, umumnya lebih
dini 4-6 bulan dibandingkan rongsen. Setelah dilakukan bone-scan, lesi umumnya
tampak sebagai akumulasi radioaktivitas, sebagian kecil tampak sebagai area defek
radioaktivitas. Bone-scan sangat sensitif untuk metastasis tulang, namun tidak spesifik .
maka dalam menilai lesi tunggal akumulasi radioaktivitas , harus memperhatikan riwayat
penyakit, menyingkirkan rudapaksa operasi, fruktur, deformitas degeneratif tulang,
pengaruh radio terapi, kemoterapi, dll.
4. PET ( Positron Emission Tomography ) : disebut juga pencitraan biokimia molukelar
metabolik in vivo. Menggunakan pencitraan biologismetabolisme glukosa dari zat
kontras 18-FDG dan pencitraan anatomis dari CT yang dipadukan hingga mendapat
gambar PET-CT . itu memberikan informasi gambaran biologis bagi dokter klinisi,
membantu penentuan area target biologis kanker nasofaring , meningkatka akurasi
radioterapi, sehingga efektifitas meningkat dan rudapaksa radiasi terhadap jaringan
normal berkurang.
1. Diagnosis histologi
Pada pasien kanker nasofaringn sedapat mungkin diperoleh jaringan dari lesi primer nasofaring
untuk pemeriksaan patologik. Sebelum terapi dimulai harus diperoleh diagnosis histologi yang
jelas. Hanya jika lesi primer tidak dapat memeberikan diagnosis patologik pasti barulah
dipertimbangkan biopsi kelenjar limfe leher.
2.6 Penatalaksanaan
a. Radioterapi
Hal yang perlu dipersiapkan adalah keadaan umum pasien baik, hygiene mulut, bila ada infeksi
mulut diperbaiki dulu. Pengobatan tambahan yang diberikan dapat berupa diseksi leher
( benjolan di leher yang tidak menghilang pada penyinaran atau timbul kembali setelah
penyinaran dan tumor induknya sudah hilang yang terlebih dulu diperiksa dengan radiologik dan
serologik), pemberian tetrasiklin, faktor transfer, interferon, kemoterapi, seroterapi, vaksin dan
antivirus.
b. Kemoterapi
Kemoterapi meliputi kemoterapi neodjuvan, kemoterapi adjuvan dan kemoradioterapi
konkomitan. Formula kemoterapi yang sering dipakai adalah : PF ( DDP + 5FU ), kaboplatin
+5FU, paklitaksel +DDP, paklitasel +DDP +5FU dan DDP gemsitabin , dll.
DDP
: 80-100 mg/m2 IV drip hari pertama ( mulai sehari sebelum kemoterapi , lakukan
hidrasi 3 hari )
5FU
: 800-1000/m2/d IV drip , hari ke 1-5 infus intravena kontinyu. Ulangi setiap 21 hari.
c. Terapi Biologis
Dewasa ini masih dalam taraf penelitian laboraturium dan uji klinis.
tidak dapat diradioterapi atau kemoterapi masih dapat dipertimbangkan hanya diterapi
sindromnya dengan TCM. Efek herba TCM dalam membasmi langsung sel kanker dewasa ini
masih dalam penelitian lebih lanjut.
1.
Terapi Rehabiltatif
Pasien kanker secara faal dan psikis menderita gangguan fungsi dengan derajat bervariasi. Oleh
karena itu diupayakan secara maksimal meningkatkan dan memperbaiki kualitas hidupnya.
1.
Rehabilitas Psikis
Pasien kanker nasofaring harus diberi pengertian bahwa pwnyakitnya berpeluang untuk
disembuhkan, uapayakan agar pasien secepatnya pulih dari situasi emosi depresi.
1. Rehabilitas Fisik
Setelah menjalani radioterapi, kemoterpi dan terapi lain, pasien biasanya merasakan kekuatan
fisiknya menurun, mudah letih, daya ingat menurun. Harus memperhatikan suplementasi nutrisi ,
berolahraga fisik ringan terutama yang statis, agar tubuh dan ketahanan meningkat secara
bertahap.
1. Pembedahan
Dalam kondisi ini dapat dipertimbangkan tindakan operasi :
1. Rasidif lokal nasofaring pasca radioterapi , lesi relatif terlokalisasi.
2. 3 bulan pasca radioterapi kurtif terdapat rasidif lesi primer nasofaring
1. Pasca radioterapi kuratif terdapat residif atau rekurensi kelenjar limfe leher.
2. Kanker nasofaring dengan diferensiasi agak tinggi seperti karsinoma skuamosa
grade I, II, adenokarsinoma.
3. Komplikasi radiasi.
BAB 3
ASUHAN KEPERAWATAN
3.1 Pengkajian
3.2 Observasi
3.2.1 Keadaan Umum
1. Suhu
2. Nadi
3. Tekanan Darah
4. RR
5. BB
6. Tinggi badan
3.2.2 Pemeriksaan Persistem
B1 (breathing)
B2 (blood)
: normal
B3 (brain)
B4 (bladder)
: Normal
B5 (bowel)
B6 (bone)
: Normal
3.3 Diagnosa
1. Nyeri (akut) berhubungan dengan agen injuri fisik (pembedahan).
2. Gangguan sensori persepsi (pendengaran ) berubungan dengan gangguan status
organ sekunder metastase tumor
3. Gangguan pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake
makanan yang kurang.
4. Kurangnya pengetahuan tentang proses penyakit, diet, perawatan dan pengobatan
berhubungan dengan kurangnya informasi.
5. Harga diri rendah berhubungan dengan perubahan perkembangan penyakit, pengobatan
penyakit.
3.4 Intervensi
1. Nyeri (akut) berhubungan dengan agen injuri fisik (pembedahan).
Tujuan
: Rasa nyeri teratasi atau terkontrol
Kriteria hasil :
Intervensi
Mandiri
1. Tentukan riwayat nyeri misalnya lokasi,
frekuensi, durasi
Rasional
1. Informasi memberikan data dasar untuk
mengevaluasi kebutuhan/keefektivan
intervensi
2. Meningkatkan relaksasi dan membantu
memfokuskan kembali perhatian
Kolaborasi
Intervensi
1. Tentukan ketajaman
pendengaran, apakah satu
atau dua telinga terlibat .
Rasional
1. Mengetahui perubahan dari hal-hal
yang merupakan kebiasaan pasien .
1.
Gangguan pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake
makanan yang kurang.
Intervensi
1. Kaji status nutrisi dan
kebiasaan makan.
Rasional
1. Untuk mengetahui tentang
keadaan dan kebutuhan nutrisi
pasien sehingga dapat
diberikan tindakan dan
pengaturan diet yang adekuat.
1.
1. Anjurkan pasien untuk
mematuhi diet yang telah
diprogramkan.
1.
Mengetahui perkembangan
berat badan pasien (berat
badan merupakan salah satu
indikasi untuk menentukan
diet).
1.
1.
Tujuan : Pasien memperoleh informasi yang jelas dan benar tentang penyakitnya.
Kriteria Hasil : 1. Pasien mengetahui tentang proses penyakit, diet, perawatan dan
pengobatannya dan dapat menjelaskan kembali bila ditanya.
2. Pasien dapat melakukan perawatan diri sendiri berdasarkan pengetahuan yang diperoleh.
Intervensi
1. Kaji tingkat pengetahuan
pasien/keluarga tentang
penyakit DM dan Ca.
Nasofaring
Rasional
1. Untuk memberikan informasi
pada pasien/keluarga, perawat
perlu mengetahui sejauh mana
informasi atau pengetahuan yang
diketahui pasien/keluarga.
1.
1.
1.
1. gambar-gambar dalam
memberikan penjelasan (jika
ada / memungkinkan).
1.
2)
3)
Komunikasi terbuka
4)
5)
6)
7)
Intervensi
Rasional
1. Kaji
1. Untuk menentukan tingkat kecemasan yang dialami pasien sehingga
tingkat
perawat bisa memberikan intervensi yang cepat dan tepat.
kecemas
an yang
dialami
oleh
1. Dapat meringankan beban pikiran pasien.
pasien.
1.
Beri
kesempat
an pada
pasien
untuk
mengung
kapkan
rasa
cemasny
a.
1. Pasien akan merasa lebih tenang bila ada anggota keluarga yang
menunggu.
1. Gunakan
komunik
asi
terapeuti
k.
1.
Beri
informas
i yang
akurat
tentang
proses
penyakit
dan
anjurkan
pasien
untuk
ikut serta
dalam
tindakan
keperaw
atan.
1.
Berikan
keyakina
n pada
pasien
bahwa
perawat,
dokter,
dan tim
kesehata
n lain
selalu
berusaha
memberi
kan
pertolon
gan yang
terbaik
dan
seoptima
l
mungkin.
1.
Berikan
kesempat
an pada
keluarga
untuk
mendam
pingi
pasien
secara
bergantia
n.
1.
Ciptaka
n
lingkung
an yang
tenang
dan
nyaman.
4.1
Kesimpulan
Kanker nasofaring atau dikenal juga dengan kanker THT adalah penyakit yang
disebabkan oleh sel ganas (kanker) dan terbentuk dalam jaringan nasofaring, yaitu bagian atas
faring atau tenggorokan. Kanker ini paling sering terjadi di bagian THT, kepala serta leher.
Sampai saat ini belum jelas bagaimana mulai tumbuhnya kanker nasofaring. Namun penyebaran
kanker ini dapat berkembang ke bagian mata, telinga, kelenjar leher, dan otak. Sebaiknya yang
beresiko tinggi terkena kanker nasofaring rajin memeriksakan diri ke dokter, terutama dokter
THT. Risiko tinggi ini biasanya dimiliki oleh laki-laki atau adanya keluarga yang menderita
kanker ini.
DAFTAR PUSTAKA
Carpenito, Lynda Juall. (2000). Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Edisi 8. EGC. Jakarta.
Doenges, M. G. (2000). Rencana Asuhan Keperawatan. Edisi 3 EGC. Jakarta.
Dunna, D.I. Et al. (1995). Medical Surgical Nursing ; A Nursing Process Approach. 2 nd
Edition : WB Sauders.
Lab. UPF Ilmu Penyakit THT FK Unair. (1994). Pedoman Diagnosis Dan Terapi Lab/UPF
Ilmu Penyakit THT. Rumah Sakit Umum Daerah Dr Soetom Fakultas Kedokteran Universitas
Airlangga. Surabaya.
Soepardi, Efiaty Arsyad & Nurbaiti Iskandar. (2000). Buku Ajar Ilmu Kesehatan THT. Edisi
kekempat. FKUI : Jakarta.
Sri Herawati. (2000). Anatomi Fisiologi Cara Pemeriksaan Telinga, Hidung, Tenggorokan.
Laboratorium Ilmu Penyakit THT Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya.