Konservasi alam dimaknai sebagai upaya melakukan perlindungan dan pelestarian alam dan sumber daya yang ada di dalamnya. Dalam bahasa yang lebih praktis, konservasi alam dapat dimaknai sebagai sebuah teknik dalam menjaga dan melestarikan alam. Sebagai sebuah teknik, konservasi alam menyediakan beragam varian cara. Masing-masing teknik memiliki metodologi dan paradigmanya sendiri. Setiap paradigma memiliki pendasaran filosofis tertentu yang membedakan dengan paradigma lainnya. Dewasa ini konservasi alam memiliki dua paradigma utama. Pertama, paradigma ekologi murni. Paradigma ini berpandangan bahwa dalam melakukan konservasi alam intervensi dan keberadaan manusia harus dihindarkan. Sikap ini dilakukan untuk menghindarkan terjadinya perubahan komposisi dan kondisi lingkungan alam oleh tindakan manusia. Kedua, paradigma keseimbangan ekologi dan manusia. Paradigma ini menyatakan bahwa manusia justru tidak dapat dilepaskan dari praktik konservasi alam. Dalam paradigma baru ini manusia tidak dapat lepas dari alam sehingga keberadaannya sangat vital dalam praktek konservasi alam. Paradigma Ekologi Murni Paradigma ekologi murni mengandaikan bahwa untuk melestarikan alam maka manusia harus dihindarkan dari lingkungan alam. Hutan misalnya, harus dijaga tanpa boleh disentuh oleh manusia. Masyarakat hanya boleh menikmati hutan dengan jalan menjadi penonton. Melihat karakteristik model konservasi ini maka yang nampak lebih banyak berupa larangan bagi manusia. Paradigma ekologi murni pernah menjadi paradigma dominan dalam pembangunan kehutanan di Indonesia. Sejak era kolonial sampai dengan saat ini, masih banyak kebijakan pemerintah dalam bidang kehutanan yang masih lekat dengan paradigma ekologi murni. Hal ini dapat dilihat dari beberapa produk perundangan dan implementasi kebijakan yang dilaksanakan. Sebagai contoh adalah dalam pembagian kawasan hutan. Menurut UU No. 41 Tahun 1999 kawasan hutan dibagi menjadi tiga yakni hutan produksi, hutan lindung, dan hutan konservasi. Ketiga pembagian tipe hutan tersebut didasarkan fungsi hutan tersebut. Pada bagian lain pembagian itu juga mencerminkan pada kemungkinan besar-kecilnya akses dan intervensi manusia terhadap hutan. Hutan produksi difungsikan sebagai kawasan hutan yang boleh dilaksanakan pemanenan hasil hutan baik berupa kayu maupun non kayu. Hutan lindung merupakan kawasan hutan dimana manusia masih boleh memanfaatkan hasil hutan secara terbatas, hanya meliputi hasil hutan bukan kayu dan jasa lingkungan. Kawasan hutan lindung lebih ditekankan fungsinya untuk menjaga tata air, mencegah erosi dan menjaga kesuburan tanah. sementara itu hutan konservasi merupakan kawasan hutan yang berfungsi untuk pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya. Pada kawasan konservasi ini manusia benar-benar dilarang untuk melakukan aktivitas intervensi dalam bentuk apapun. Dari adanya kategorisasi berupa hutan konservasi tersebut terlihat bahwa manusia benarbenar tidak diperbolehkan melakukan kegiatan pemanfaatan hasil hutan pada kawasan tersebut.
Konsekuensi adanya kategorisasi hutan tersebut, manusia dilarang berdiam pada
kawasan hutan. Hal ini tidak terkecuali kepada masyarakat yang sudah secara turun-temurun mendiami kawasan hutan tersebut sebagai masyarakat adat. Masyarakat adat yang mendiami kawasan konservasi dianggap sebagai warga ilegal yang sebisa mungkin harus dikeluarkan dari kawasan hutan. Hal ini yang menyebabkan pengakuan atas hutan adat tidak sepenuhnya diterima. Pada UU No. 41 tahun 1999 jelas menyebutkan bahwa hutan adat masuk dalam kawasan hutan negara. Artinya posisinya sebagai wilayah otonom yang berhak mengelola kawasan itu tidak diakui oleh pemerintah. Beberapa nasib masyarakat adat di pedalaman Kalimantan dan Sumatera mengalami hal ini. Transformasi Paradigma Konservasi Beberapa perubahan yang terjadi pada aspek sosial, ekonomi dan geopolitik kemudian mengubah bangunan paradigma yang sudah ada. Salah satu yang ikut merasakan angin kencang perubahan itu adalah dalam konteks konservasi hutan. Perubahan yang paling mendasar dalam konservasi hutan adalah pada aspek pelibatan masyarakat. Maka tumbuhlah paradigma baru yang lebih welcome terhadap kehadiran masyarakat dalam konservasi hutan dan alam. Cara pandang baru tersebut melihat bahwa dalam menjaga dan melestarikan alam pelibatan masyarakat adalah keniscayaan dan menjadi kunci sukses konservasi. Lebih jauh paradigma ini mengandaikan bahwa inti dari konservasi alam bukan penyelamatan lingkungan an sich. Tujuan lain dan yang seharusnya menjadi tujuan utama dalam pelibatan masyarakat pada wilayah konservasi adalah kesejahteraan masyarakat. Transformasi paradigma tersebut ditandai dengan kaluarnya berbagai produk perundangan baru yang lebih mengakomodasi peran masyarakat. Aturan tersebut sekaligus menghapus produk perundangan yang lama. Kenyataan di Lapangan Meskipun paradigma mainstream yang sekarang dianut oleh pemerintah adalah pelibatan masyarakat dalam konservasi hutan, namun tampaknya kebijakan tersebut belum sepenuhnya berjalan. Jika melihat praktek di lapangan, kita akan menyaksikan bahwa pengambil kebijakan di daerah masih memakai paradigma lama. Ini mencerminkan bahwa kebijakan tersebut belum menyentuh pengambil kebijakan dan pelaksana pada tingkat tapak yang justru menjadi ujung tombak implementasi kebijakan sehingga dampaknya benar-benar dirasakan masyarakat. Para pelaksana tingkat tapak masih berpandangan bahwa jika ingin melihat hutan selamat dari ancaman kerusakan maka masyarakat harus disterilkan dari kawasan hutan. Dari sini terbaca bahwa kendala yang dihadapi dalam implementasi kebijakan kehutanan saat ini justru terletak pada ketidaksiapan aparat itu sendiri. Hal tersebut menjadi PR besar bagi pemerintah untuk memberikan pencerahan kepada aparatusnya. Di samping itu perlu juga dilakukan advokasi oleh komponen masyarakat sipil terhadap hak-hak serta tanggung jawab masyarakat dalam ikut serta memanfaatkan dan menjaga lingkungan sebagai bagian dari konservasi alam. Pelibatan masyarakat dalam konservasi alam merupakan refleksi kebijakan pemerintah yang propoor, projob, progrowth, proenvironment. (*)