Anda di halaman 1dari 2

Transformasi Paradigma Konservasi Alam

Oleh: Rubangi Al Hasan


Konservasi alam dimaknai sebagai upaya melakukan perlindungan dan pelestarian
alam dan sumber daya yang ada di dalamnya. Dalam bahasa yang lebih praktis, konservasi
alam dapat dimaknai sebagai sebuah teknik dalam menjaga dan melestarikan alam. Sebagai
sebuah teknik, konservasi alam menyediakan beragam varian cara. Masing-masing teknik
memiliki metodologi dan paradigmanya sendiri. Setiap paradigma memiliki pendasaran
filosofis tertentu yang membedakan dengan paradigma lainnya.
Dewasa ini konservasi alam memiliki dua paradigma utama. Pertama, paradigma
ekologi murni. Paradigma ini berpandangan bahwa dalam melakukan konservasi alam
intervensi dan keberadaan manusia harus dihindarkan. Sikap ini dilakukan untuk
menghindarkan terjadinya perubahan komposisi dan kondisi lingkungan alam oleh tindakan
manusia. Kedua, paradigma keseimbangan ekologi dan manusia. Paradigma ini menyatakan
bahwa manusia justru tidak dapat dilepaskan dari praktik konservasi alam. Dalam paradigma
baru ini manusia tidak dapat lepas dari alam sehingga keberadaannya sangat vital dalam
praktek konservasi alam.
Paradigma Ekologi Murni
Paradigma ekologi murni mengandaikan bahwa untuk melestarikan alam maka
manusia harus dihindarkan dari lingkungan alam. Hutan misalnya, harus dijaga tanpa boleh
disentuh oleh manusia. Masyarakat hanya boleh menikmati hutan dengan jalan menjadi
penonton. Melihat karakteristik model konservasi ini maka yang nampak lebih banyak berupa
larangan bagi manusia.
Paradigma ekologi murni pernah menjadi paradigma dominan dalam pembangunan
kehutanan di Indonesia. Sejak era kolonial sampai dengan saat ini, masih banyak kebijakan
pemerintah dalam bidang kehutanan yang masih lekat dengan paradigma ekologi murni. Hal
ini dapat dilihat dari beberapa produk perundangan dan implementasi kebijakan yang
dilaksanakan. Sebagai contoh adalah dalam pembagian kawasan hutan. Menurut UU No. 41
Tahun 1999 kawasan hutan dibagi menjadi tiga yakni hutan produksi, hutan lindung, dan
hutan konservasi. Ketiga pembagian tipe hutan tersebut didasarkan fungsi hutan tersebut.
Pada bagian lain pembagian itu juga mencerminkan pada kemungkinan besar-kecilnya akses
dan intervensi manusia terhadap hutan.
Hutan produksi difungsikan sebagai kawasan hutan yang boleh dilaksanakan
pemanenan hasil hutan baik berupa kayu maupun non kayu. Hutan lindung merupakan
kawasan hutan dimana manusia masih boleh memanfaatkan hasil hutan secara terbatas, hanya
meliputi hasil hutan bukan kayu dan jasa lingkungan. Kawasan hutan lindung lebih
ditekankan fungsinya untuk menjaga tata air, mencegah erosi dan menjaga kesuburan tanah.
sementara itu hutan konservasi merupakan kawasan hutan yang berfungsi untuk pengawetan
keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya. Pada kawasan konservasi ini
manusia benar-benar dilarang untuk melakukan aktivitas intervensi dalam bentuk apapun.
Dari adanya kategorisasi berupa hutan konservasi tersebut terlihat bahwa manusia benarbenar tidak diperbolehkan melakukan kegiatan pemanfaatan hasil hutan pada kawasan
tersebut.

Konsekuensi adanya kategorisasi hutan tersebut, manusia dilarang berdiam pada


kawasan hutan. Hal ini tidak terkecuali kepada masyarakat yang sudah secara turun-temurun
mendiami kawasan hutan tersebut sebagai masyarakat adat. Masyarakat adat yang mendiami
kawasan konservasi dianggap sebagai warga ilegal yang sebisa mungkin harus dikeluarkan
dari kawasan hutan. Hal ini yang menyebabkan pengakuan atas hutan adat tidak sepenuhnya
diterima. Pada UU No. 41 tahun 1999 jelas menyebutkan bahwa hutan adat masuk dalam
kawasan hutan negara. Artinya posisinya sebagai wilayah otonom yang berhak mengelola
kawasan itu tidak diakui oleh pemerintah. Beberapa nasib masyarakat adat di pedalaman
Kalimantan dan Sumatera mengalami hal ini.
Transformasi Paradigma Konservasi
Beberapa perubahan yang terjadi pada aspek sosial, ekonomi dan geopolitik kemudian
mengubah bangunan paradigma yang sudah ada. Salah satu yang ikut merasakan angin
kencang perubahan itu adalah dalam konteks konservasi hutan. Perubahan yang paling
mendasar dalam konservasi hutan adalah pada aspek pelibatan masyarakat. Maka tumbuhlah
paradigma baru yang lebih welcome terhadap kehadiran masyarakat dalam konservasi hutan
dan alam. Cara pandang baru tersebut melihat bahwa dalam menjaga dan melestarikan alam
pelibatan masyarakat adalah keniscayaan dan menjadi kunci sukses konservasi. Lebih jauh
paradigma ini mengandaikan bahwa inti dari konservasi alam bukan penyelamatan
lingkungan an sich. Tujuan lain dan yang seharusnya menjadi tujuan utama dalam pelibatan
masyarakat pada wilayah konservasi adalah kesejahteraan masyarakat.
Transformasi paradigma tersebut ditandai dengan kaluarnya berbagai produk
perundangan baru yang lebih mengakomodasi peran masyarakat. Aturan tersebut sekaligus
menghapus produk perundangan yang lama.
Kenyataan di Lapangan
Meskipun paradigma mainstream yang sekarang dianut oleh pemerintah adalah
pelibatan masyarakat dalam konservasi hutan, namun tampaknya kebijakan tersebut belum
sepenuhnya berjalan. Jika melihat praktek di lapangan, kita akan menyaksikan bahwa
pengambil kebijakan di daerah masih memakai paradigma lama. Ini mencerminkan bahwa
kebijakan tersebut belum menyentuh pengambil kebijakan dan pelaksana pada tingkat tapak
yang justru menjadi ujung tombak implementasi kebijakan sehingga dampaknya benar-benar
dirasakan masyarakat. Para pelaksana tingkat tapak masih berpandangan bahwa jika ingin
melihat hutan selamat dari ancaman kerusakan maka masyarakat harus disterilkan dari
kawasan hutan.
Dari sini terbaca bahwa kendala yang dihadapi dalam implementasi kebijakan
kehutanan saat ini justru terletak pada ketidaksiapan aparat itu sendiri. Hal tersebut menjadi
PR besar bagi pemerintah untuk memberikan pencerahan kepada aparatusnya. Di samping
itu perlu juga dilakukan advokasi oleh komponen masyarakat sipil terhadap hak-hak serta
tanggung jawab masyarakat dalam ikut serta memanfaatkan dan menjaga lingkungan sebagai
bagian dari konservasi alam. Pelibatan masyarakat dalam konservasi alam merupakan refleksi
kebijakan pemerintah yang propoor, projob, progrowth, proenvironment. (*)

Anda mungkin juga menyukai