Anda di halaman 1dari 9

BAB II

KAJIAN TEORI

A. Hakikat Sastra Bandingan


Sastra bandingan merupakan salah satu dari sekian banyak pendekatan
yang ada dalam ilmu sastra. Pendekatan sastra bandingan pertama kali muncul
di Eropa awal abad ke-19. Ide tentang sastra bandingan dikemukan oleh SanteBeuve dalam sebuah artikelnya yang terbit tahun 1868 (Damono, 2005: 14).
Dalam artikel tersebut dijelaskanya bahwa pada awal abad ke-19 telah muncul
studi sastra bandingan di Prancis. Sedangkan pengukuhan terhadap pendekatan
perbandingan terjadi ketika jurnal Revue Litterature Comparee diterbitkan
pertama kali pada tahun 1921.
Dalam sastra bandingan dikenal dua mazhab, yaitu mazhab Amerika
dan Prancis. Mazhab Amerika berpendapat bahwa sastra bandingan memberi
peluang untuk membandingkan sastra dengan bidang-bidang lain di luar sastra,
misalnya seni, filsafat, sejarah, agama, dan lain-lain. Sedangkan mazhab Prancis
berpendapat bahwa sastra bandingan hanya memperbandingkan sastra dengan
sastra. Namun demikian, kedua mazhab tersebut bersepakat bahwa sastra
bandingan harus bersifat lintas negara, artinya berusaha membandingkan sastra
satu negara dengan sastra negara lain.
Seiring perkembangan ilmu pengetahuan, muncul kritikan terhadap
pandangan yang dianut oleh kedua mazhab. Kedua mazhab sepertinya tidak
memperhatikan kondisi sebagian besar negara Asia yang memiliki keragaman
bahasa dan budaya. Indonesia, misalnya, satu suku dengan suku yang lain

memiliki perbedaan dari segi bahasa dan budaya. Nada (melalui Damono, 2005:
5) menjelaskan bahwa perbedaan bahasa merupakan faktor penentu dalam sastra
bandingan. Bahkan Nada berkesimpulan bahwa membandingkan sastrawan Arab
Al- Buhturin dengan penyair Syaugi bukanlah kajian bandingan karena kedua
sastrawan tersebut berangkat dari bahasa dan budaya yang hampir sama, yaitu
Arab. Hal tersebut mengisyaratkan juga bahwa membandingkan sastra Melayu
Riau dengan sastra Semenanjung Melayu bukanlah termasuk dalam bidang kajian
sastra bandingan. Bertolak dari pendapat Nada di atas, maka membandingkan
antara sastra Jawa dengan sastra Sunda merupakan kajian sastra bandingan.
Begitu juga halnya dengan membandingkan antara sastra daerah, misalnya sastra
Minang dengan sastra Indonesia merupakan kajian sastra bandingan, karena kedua
sastra tersebut memiliki bahasa yang berbeda.
Pendapat Nada ini sejalan dengan pendapat Wellek dan Warren yang
mengungkapkan, bahwa sastra bandingan adalah studi sastra yang memiliki
perbedaan bahasa dan asal negara dengan suatu tujuan untuk mengetahui dan
menganalisis hubungan dan pengaruhnya antara karya yang satu terhadap karya
yang lain, serta ciri-ciri yang dimilikinya (dalam Endraswara, 2011: 192).
Pendapat ini lebih menekankan bahwa penelitian sastra bandingan harus berasal
dari negara yang berbeda sehingga mempunyai bahasa yang berbeda pula.
Hal ini sedikit berbeda dengan dengan pendapat Damono (2005: 7), yang
menyatakan bahwa tidaklah benar jika dikatakan bahwa sastra bandingan sekedar
mempertentangkan dua sastra dari dua negara atau bangsa yang mempuyai bahasa
yang berbeda, tetapi sastra bandingan lebih merupakan suatu metode untuk

memperluas pendekatan atas sastra suatu bangsa saja. Jadi menurut Damono,
sastra bandingan bukan hanya sekedar mempertentangkan dua sastra dari dua
negara atau bangsa. Sastra bandingan juga tidak terpatok pada karya-karya besar
walaupun kajian sastra bandingan sering kali berkenaan dengan penulis-penulis
ternama yang mewakili suatu zaman. Kajian penulis baru yang belum mendapat
pengakuan dunia pun dapat digolongkan dalam sastra bandingan. Batasan sastra
bandingan tersebut menunjukkan bahwa perbandingan tidak hanya terbatas pada
sastra antarbangsa, tetapi juga sesama bangsa sendiri, misalnya antarpengarang,
antargenetik, antarzaman, antarbentuk, dan antartema.
Menurut Endraswara (2011) sastra bandingan adalah sebuah studi teks
across cultural. Studi ini merupakan upaya interdisipliner, yakni lebih banyak
memperhatikan hubungan sastra menurut aspek waktu dan tempat. Dari aspek
waktu, sastra bandingan dapat membandingkan dua atau lebih periode yang
berbeda. Sedangkan konteks tempat, akan mengikat sastra bandingan menurut
wilayah geografis sastra. Konsep ini mempresentasikan bahwa sastra bandingan
memang cukup luas. Bahkan, pada perkembangan selanjutnya, konteks sastra
bandingan tertuju pada bandingan sastra dengan bidang lain. Bandingan semacam
ini, guna merunut keterkaitan antar aspek kehidupan.
Dalam sastra bandingan, perbedaan dan persamaan yang ada dalam
sebuah karya sastra merupakan objek yang akan dibandingkan. Remak
menjelaskan bahwa dalam sastra bandingan yang dibandingkan adalah kejadian
sejarah, pertalian karya sastra, persamaan dan perbedaan, tema, genre, style,
perangkat evolusi budaya, dan sebagainya (1990: 13). Remak lebih jauh juga

10

memberikan batasan tentang objek sastra bandingan. Menurut Remak, yang


menjadi objek sastra bandingan hanyalah karya sastra nasional dan karya sastra
dunia (adiluhung).
Selain itu, dapat dipahami bahwa dasar perbandingan adalah persamaan
dan pertalian teks. Jadi, hakikat kajian sastra bandingan adalah mencari perbedaan
atau kelainan, di samping persamaan dan pertalian teks dan yang terpenting dari
kajian sastra bandingan adalah bagaimana seorang peneliti mampu menemukan
serta membandingkan kekhasan sastra yang dibandingkan.
Hutomo (1993: 19) menjelaskan bahwa, dalam praktek penelitian sastra
bandingan di Indonesia, secara garis besar, dapat dibagi dalam tiga kelompok
yaitu sebagai berikut.
1. Sastra bandingan dalam kaitanya dengan filologi
2. Sastra bandingan dalam hubunganya dengan sastra lisan
3. Sastra bandingan modern, yakni sastra bandingan tulis, baik yang tertulis
dalam bahasa indonesia yang masih bernama Bahasa Melayu maupun yang
ditulis dalam Bahasa Indonesia

Pada point kedua dijelaskan bahwa objek kajian sastra bandingan bukan
hanya berupa sastra tulis saja, namun bisa berupa karya sasta lisan. Damono
(2005: 54) menyatakan sebagai berikut.
Salah satu kegiatan yang sudah banyak dilakukan adalah membandingkan
dongeng yang mirip dari berbagai negara, tidak terutama untuk
mengungkapkan yang asli dan pengaruhnya terhadap yang lain, tetapi lebih
untuk mengetahui kaitan-kaitan antara perbedaan dan persamaan yang ada
dan watak suatu masyarakat. Dalam pengertian ini, dongeng mencakup
segala jenis kisah yang dalam pengertian Barat dipilah antara lain menjadi
mitos, legenda, dan fabel.

11

Dari pendapat Damono di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa sastra lisan
menjadi salah satu objek dalam penelitian sastra bandingan yang cukup menarik,
hal ini sesuai dengan pendapat Endraswara (201: 49) yang menyatakan sebagai
berikut.
Sastra lisan adalah bagian tradisi lisan yang sering berubah-ubah. Perubahan
sebagai akibat salah ucap atau memang disengaja diucapkan keliru(
diplesetkan). Semua kekeliruan itu ternyata dapat menjadi pintu masuk
jalur sastra bandingan. Berkat penuh dengan aneka perubahan sastra lisan
menarik dibandingkan satu sama lain.
Dari situlah tantangan para peneliti sastra bandingan yang meneliti sastra
lisan, mereka harus menemukan perubahan-perubahan atau varian dari cerita lisan
yang terjadi di dalam masyarakat.
Dalam praktek sastra bandingan menurut Hutomo (1993: 11-12)
berlandaskan diri pada 3 hal yaitu sebagai berikut.
1. Afinitas, yaitu keterkaitan unsur-unsur intrinsik (unsur dalaman) karya sastra,
misalnya unsur struktur, gaya, tema, mood (suasana yang terkandung dalam
karya sastra) dan lain-lain, yang dijadikan bahan pelisan karya sastra.
2. Tradisi, yaitu unsur yang berkaitan dengan kesejarahan penciptaan karya
sastra.
3. Pengaruh, istilah pengaruh, sebenarnya, tidak sama dengan menjimplak,
plagiat, karena istilah ini sarat dengan nada negatif.
Dalam penelitian ini, landasan yang paling tepat digunakan adalah
landasan pengaruh. Jika kita membahas arti sebuah pengaruh, maka kita harus
kembali mengingat bahwa sastra lahir bukan dari sebuah kekosongan. Hal ini
sesuai pendapat (Hutomo:1993: 13) bahwa karya sastra (sebagai teks) ia

12

menyimpan berbagai teks di dalamnya atau merupakan serapan atau hasil


tranformasi. Hal ini diperkuat dengan pendapat Nurgiyantoro (1998) karya sastra
akan muncul pada masyarakat yang telah memiliki konvensi, tradisi, pandangan
tentang estetika, tujuan berseni, dan lain-lain yang kesemuanya dapat dipandang
sebagai wujud kebudayaan dan tidak mustahil rekaman terhadap pandangan
masyarakat tentang seni. Hal ini berarti bahwa sesungguhnya sastra merupakan
konvensi masyarakat karena masyarakat menginginkan adanya suatu bentuk
kesenian yang bernama sastra. Wujud konvensi budaya yang telah ada di
masyarakat secara konkret lain berupa karya-karya yang ditulis dan diciptakan
orang sebelumnya. Namun, ia dapat juga cerita-cerita rakyat yang berwujud lisan
(foklore) yang diwariskan secara turun-menurun.

B. Bidang Kajian Sastra Bandingan


Bidang kajian penelitian yang digunakan dalam sastra bandingan sangat
luas dan tidak ada patokan khusus di dalamnya. Menurut Kasim tiap peneliti
boleh membandingkan unsur apa saja yang memiliki kemiripan. Bidang-bidang
pokok yang menjadi titik perhatian dalam perhatian dalam penelitian sastra
bandingan menurut Kasim (dalam Endraswara, 2011: 81) adalah sebagai berikut.
1. Tema dan motif, melingkupi (a) buah pikiran, (b) gambaran perwatakan, (c)
alur (plot), episode, latar (setting), (d) ungkapan-ungkapan
2. Genre dan bentuk (form), stalistika, majas, suasana
3. Aliran (moventent) dan angkatan (generation)

13

4. Hubungan karya sastra dengan ilmu pengetahuan, agama/ kepercayaan, dan


karya-karya seni
5. Teori sastra, sejarah sastra, dan teori kritik sastra
Dalam pendapat ini Kasim cukup banyak memberikan batasan dalam hal
bidang apa saja yang dapat dibandingkan dalam sebuah penelitian sastra
bandingan. Menurut Endraswara (2011: 163) objek berkaitan dengan muatan apa
yang terdapat dalam sastra, yang dominan dan layak dibandingkan dapat terkait
dengan tema, tokoh, aspek sosial, kecerdasann emosi dan sebagainya.
Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa tidak ada batasan ataupun
patokan dalam objek yang dijadikan kajian dalam satra bandingan biarlah peneliti
yang lebih kreatif menemukan kebaharuan. Apapun boleh dijadikan kajian yang
terpenting adalah adanya kesamaan dan perbedaan diantara bahan yang dijadikan
penelitian. Dari beberapa uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa sastra
perbandingan adalah studi sastra yang membandingkan dua buah karya sastra atau
lebih. Karya sastra yang diperbandingkan bisa berupa sastra tulis maupun sastra
lisan.
Penelitian ini menggunakan teori satra bandingan dengan berlandaskan
adanya proses pengaruh dari karya satu kekarya lainnya yang menjadi objek
kajian. Sehingga dalam penelitian ini peneliti mencari persamaan dan perbedaan
serta antara cerita Subali-Sugriwa dalam tradisi lisan dengan cerita SubaliSugriwa yang terdapat dalam Serat Kandhaning Ringgit Purwa jilid 2&3 (SKRP
2&3) dan Serat Pedhalangan Ringgit Purwa

(SPRP). Dengan cara mencari

persamaan dan perbedaanya. Unsur-unsur yang diperbandingkan dalam penelitian

14

ini, adalah bagian cerita yang berupa detail cerita yang berbeda dari ketiga versi
bisa berupa tokoh, latar, karakter tokoh, ungkapan-ungkapan yang terdapat dalam
ketiga versi yang dijadikan objek penelitian. Untuk mempermudah dalam
perbandingan swujud satuan data yang diperbandingkan adalah episode-episode.

C. Penelitian yang Relevan


Penelitian yang relevan dengan bahasan dalam penelitian ini adalah
penelitian Setyaning Nur Asih (2011) yang berjudul Perbandingan Pencitraan
Tokoh Utama Wanita dalam Novel Tumtesing Luh Karya Any Asmara dengan
Roman Mbok Randa Saka Jogja. Dalam penelitian tersebut peneliti
membandingkan permasalahan-permasalahan yang dihadapi tokoh wanita utama
dalam novel Tumetesing luh dan tokoh wanita utama dalam roman yang berjudul
mbok randa saking jogja. Penelitian yang dilakukan oleh Wiyatmi (2007) seorang
staf FBS dalam jurnalnya yang berjudul Tranformasi dan Resepsi Ramayana
dalam Novel Kitab Omong Kosong dengan menggunakan metode transformasi
dan resepsi ia membandingkan Novel Kitab Omong Kosong dengan Serat Rama.
Dalam penelitian ini hampir sama dengan penelitian yang dilakukan
Setyaning Nur Asih dan Wiyatmi, Setyaning Nur Asih objek penelitiannya adalah
novel Tumetesing Luh dan Roman Mbok Randa Saka Jogja sedangkan dalam
penelitian ini objek penelitian adalah Cerita Subali-Sugriwa dalam versi lisan
SKRP dan SPRP. Setyaning Nur Asih memperbandingkan permasalahanpermasalahn tokoh wanita dalam kedua novel sedangkan dalam penelitian ini
yang diperbandingkan adalah detail cerita.

15

Objek penelitian Wiyatmi adalah novel Kitab Omong Kosong dan Serat
Rama yang merupakan sastra transformasi Ramayana, sedangkan dalam
penelitian ini menggunakan sastra transformasi Ramayana berupa cerita SubaliSugriwa dalam versi lisan dan cerita Subali-Sugriwa dalam SKRP dan SPRP.
Wiyatmi dalam penelitianya menggunakan teori Transformasi dan Resepsi,
sedangkan dalam penelitian ini menggunakan teori Sastra bandingan, sehingga
penelitian perbandingan cerita Subali-Sugriwa dalam Mitos Gua Kiskendha,
SKRP dan SPRP ini belum prenah dilakukan sebelumnya.

Anda mungkin juga menyukai