Desentralisasi atau
Resentralisasi ?
Tinjauan Kritis Terhadap UU NO 23/2014
!2
Selamat membaca
!1
hadiri dan ikuti, keinginan pemerintah pusat untuk memiliki kewenangan cukup
tersebut khususnya dinilai lebih didorong oleh apa yang oleh Nordholt dan Klinken
dinyatakan bahwa reformasi di Indonesia telah menyebabkan runtuhnya
otoritarianisme digantikan pemerintahan demokratis, tetapi juga telah
mengakibatkan hilangnya ketertiban digantikan ketidaktertiban2.
Dengan alasan
1 Ketua Program Studi dan dosen Magister Ilmu Pemerintahan, FISIP, Universitas Lampung
Henk Schulte Nordhold dan Geryy van Klynken. Renegotiating Boundaries: Local Politics
in Post Suharto Indonesia. Leiden: KTILV Press. 2007: 1
2
!2
Dalam dasar
pertimbangan Undang-Undang, prinsip otonomi daerah (nyata dan bertanggungjawab versi UU 5/1974 maupun otonomi luas versi UU 22/1999) tidak disebutkan
atau hilang dalam pertimbangan UU.
disebut dalam pertimbangan UU, maka penyebutan Daerah Otonom menjadi tidak
memiliki dasar filosofis karena otonomi daerah bukan prinsip yang menjadi dasar
pengaturan pemerintahan daerah.
menjadi dasar hak
menentukan otonomi, tetapi jenis otonomi daerahlah yang menjadi dasar apakah
daerah memiliki wewenang yang sungguh otonom atau tidak.
Apalagi urusan
konkuren sendiri sudah ditentukan dengan rinci dalam UU, hal ini semakin
memberi indikasi kuat tentang arah dihilangkannya otonomi daerah dalam UU ini.
Hilangnya semangat otonomi dalam Undang-Undang nomor 23/2014 sangat
mengherankan karena setelah sentralisme model orde baru dinilai gagal
menyelesaikan isu ketidakadilan antara Timur dan Barat, antara Jawa dan luar
!3
Jawa, maka otonomi luas di tingkat kabupaten/kota dinilai lebih sesuai dengan
tuntutan keadilan pembangunan.
dan provinsi justru membuat model pemerintahan daerah semakin jauh dari
idealisme memberikan pelayanan yang lebih dekat kepada masyarakat. Bagaimana
kabupaten/kota akan dapat memberikan pelayanan jika sumberdaya dikuasai Pusat
dan Daerah?
Perlu
dikemukakan bahwa belum pernah ada debat akademis yang serus tentang
kelemahan UU 32/2004, khususnya menyangkut prinsip otonomi daerah di
Indonesia. Satu-satunya hal yang menjadi debat publik yang cukup serius adalah
diperlukannya secara tegas
!4
independensi rumah tangga dan aspek kekuasaan dalam rumah tangga, menjadi
sebatas urusan pemerintahan.
dengan rigid apa saja Urusan Pemerintahan konkuren yang dilaksanakan bersama
antara Pemerintah Pusat, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota.
Penyebutan 5 (lima) urusan strategis nasional (agama, hukum, luarnegri,
pertahanan keamanan dan keuangan) sebagai
!5
Dalam
Dalam ketentuan
tentang apa yang menjadi urusan Pemerintahan Pusat, provinsi dan kabupaten,
maka jelas daerah akan kehilangan kontrol sama sekali atas sumberdaya yang
berada dalam posisi lintas daerah.
sebelumnya dan saat ini, daerah justru sering diminta pertanggung-jawaban dan
dinilai tidak bertanggung-jawab terhadap masalah yang sebenarnya bukan
kewenangannya, tetapi terjadi di daerahnya. Hal ini merupakan konsekuensi dari
kondisi yang menunjukkan bahwa tidak ada urusan yang sama sekali tidak
menyangkut kabupaten/kota atau provinsi karena daerahlah yang menjadi lokasi
dari setiap urusan dan masalah.
bawah dalam urusan yang bersifat lintas daerah justru akan menghiangkan
semangat kebersamaan dalam penyelesaian urusan yang membutuhkan koordinasi
vertikal.
Hal yang paling kontroversial dalam pengaturan Undang-Undang ini yang
menunjukkan bahwa terdapat kecenderungan sentralisme adalah pengaturan
urusan bidang kehutanan, kelautan dan energi dan sumberdaya mineral.
urusan ini
Ketiga
!6
adalah urusan yang bersifat lintas provinsi atau lintas kabupaten. Prinsip urusan
pemerintahan itu dianulir sendiri oleh pembuat Undang-Undang dalam ketentuan
Pasal 14.
Bagaimana dengan
kemampuan daerah untuk melaksanakan fungsi lintas sektor dalam satu wilayah
provinsi sangat berbeda satu sama lain3. Untuk itu dibutuhkan formula pengaturan
urusan yang lebih mengakomodir perbedaan kemampuan antar daerah, bukan
formula yang seragam.
Penutup
Osborne dan Gaebler4 menyatakan bahwa pemerintah harus mampu melaksanakan
10 prinsip
entrepreneurial spirit.
1989,
Darmastuti. 2014. Local Autonomy and Inter-Sector Performance Based Government in Lampung
Province. Journal of Government and Politics. Volume 5 Number 2 August 2014
4
David Osborne dan Ted Gaebler. 1992. Reinventing Government. Addison-Wesley Publishing Co
5 World
Budi Setiyono. 2005. Birokrasi dalam Perspektif Politik dan Administrasi. Semarang: Pusat Kajian
Otonomi Daerah dan Kebijakan Publik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Diponegoro
!7
infrastruktur sosial; (2) menyediakan barang dan jasa kolektif; (3) menyelesaikan
konflik antar anggota masyarakat; (4) menjaga iklim persaingan; (5) melindungi
lingkungan hidup; (6) menyediakan akses minimum kepada individu terhadap
barang dan jasa; (7) menstabilkan ekonomi.
Bagaimana pemerintah akan dapat melaksanakan semua fungsi dan kewajibannya?
Jawabannya jelas, bahwa pemerintah harus memiliki sumberdaya yang memadai
untuk itu. Ketika suatu daerah, dalam Undang-Undang lebih tepatnya kabupaten/
kota, kehilangan kewenangan atas sumberdaya, maka jelas bahwa daerah tidak
akan dapat melaksanakan semua fungsi dan kewajibannya. Sungguh ironis bahwa
pembuat Undang-Undang menghilangkan semangat otonomi daerah dan keadilan
pembangunan, suatu langkah mundur dari semangat reformasi.
Daftar Pustaka
Anderson. J. E. 1989.
Darmastuti, Ari. 2014. Local Autonomy and Inter-sector Performance Based
Governance in Lampung Province. Journal of Government and Politics. Volume 5
Number 2, August 2014.
Nordhold, Henk Schulte, dan Geryy van Klynken. 2007. Renegotiating
Boundaries: Local Politics in Post Suharto Indonesia. Leiden: KTILV Press.
Osborne, David dan Ted Gaebler. 1992. Reinventing Government. AddisonWesley Publishing Co
Setiyono, Budi.
2005.
Semarang: Pusat Kajian Otonomi Daerah dan Kebijakan Publik, Fakultas Ilmu Sosial
dan Ilmu Politik Universitas Diponegoro
Worldbank. Laporan Pembangunan 1997.
!8
) Disampaikan Pada Semnas tentang UU Pemerintahan Daerah : Solusi atau Masalah Baru, yang
diselenggarakkan, Lab Politik Lokal dan Otda Jur ilmu Pemerintahan, Pascasarjana MIP FISIP Unila dan
APAKSI Korwil Lampung, Kamis 30 April 2015 di Universitas Lampung.
) Pengajar Program Pascasarjana Magister Ilmu Pemerintahan (MIP) FISIP Universitas Lampung
) UU No.23 Tahun 2014, ada perubahan yaitu dengan dikeluarkannya UU No.2 Tahun 2015 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU No. 23 Tahun
2014 Tentang Pemerintahan Daerah menjadi UU. Dalam UU No.2 tahun 2015 hanya Pasal 101 dan pasal 154
yang dirubah terkait dengan Tugas dan Wewenang DPRD.
!9
mempercepat
!10
Urusan
pemerintahan.
Untuk urusan konkuren atau urusan pemerintahan yang dibagi antara
Pemerintah Pusat dan Daerah provinsi dan Daerah kabupaten/kota dibagi
menjadi urusan pemerintahan wajib dan urusan pemerintahan pilihan. Urusan
Pemerintahan Wajib adalah Urusan Pemerintahan yang wajib diselenggarakan
oleh semua Daerah. Sedangkan Urusan Pemerintahan Pilihan adalah Urusan
Pemerintahan yang wajib diselenggarakan oleh Daerah sesuai dengan potensi
!11
!12
kabupaten/kota
Dalam UU No. 23 Tahun 2014, kebijakan ini diatur dalam Pembangunan Daerah
(Bab X). Kebijakan perencanaan pembangunan yang diatur dalam Bab X UU
23/2014 tersebut, merupakan bentuk penyempurnaan dari kebijakan yang
diatur dalam UU 32/2004. Dalam bab ini, perencanaan disusun secara
sistematis, dalam RPJPD, RPJMD, RKPD. Dalam dokumen perencanaan tersebut
10
) Data ini bersumber dari Surat Bupati Aceh Tengah Kepada Presiden tentang Masukan UU No.23 tahun
2014, Tanggal 7 Januari 2015
!13
khususnya RPJMD harus merupakan penjabaran visi, misi, dan program kepala
daerah. Ini menunjukkan bahwa isu kepentingan publik dipersepsikan oleh
kepentingan politik yang bersifat personal. Pengalaman sejauh ini, pengaruh
kepentingan kepala daerah
(d) UU 23 Tahun 2014, memberi naunsa baru yaitu yaitu adanya pasal khusus yang
mengatur tentang inovasi daerah (Bab XXI, Pasal 386 sd 390). Dengan adanya
ketentuan ini, maka setiap daerah bisa melakukan terobosan kebijakan sesuai
dengan inovasi yang dikembangkan di daerahnya; daerah bisa melakukan
inisiatif untuk membuat kebijakan yang inovatif, tanpa harus menunggu
persetujuan atau restu dari pemerintah pusat. Ketentuan ini adalah wujud dari
kebijakan desentralisasi a simetris. Dengan adanya ketentuan pasal ini, maka
tidak ada alasan bagai pejabat di daerah untuk melakukan inisiatif untuk
menjalankan sebuah perubahan di daerahnya serta tidak perlu khawatir
terjerat dalam masalah hukum.
mengontrol
!14
secara adil bagi kepetingan kabupaten/kota; (c) berperan aktif dan terlibat
dalam proses pemecahan masalah yang dihadapi kabupaten/kota.
Simpulan
Efektif tidaknya penyelenggaraan pemerintahan prinsipnya ditentukan oleh sistem
dan kapasitas kepemimpinan kepala daerah. UU 23/2014, adalah sebuah sistem
untuk mengatur penyelenggaraan pemerintahan. Dalam prakteknya implementasi
UU Pemda sebagaimana terjadi selama ini, ada problem implementasi yaitu ada
subtansi regulasi yang hanya sebatas` simbolik dan tidak bisa terimplementasikan
karena faktor lemahnya kekuatan pemaksa dan terjadi perebutan kepentingan
dikalangan elit politik dan pemerintahan yang tidak bisa dikontrol serta
terbatasnya sumber anggaran.
!15
DAFTAR PUSTAKA
DPD.RI. 2011. Desain Pola Hubungan Kewenangan Kabupaten/Kota dengan
Provinsi, Sekertariat Jendral DPD RI. Jakarta
Undang-Undang PEMDA, Sinar Grafika, Jakarta. 2015
!16
PENDAHULUAN
Undang-undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, yang telah
dirubah oleh UU No. 9 tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah, merupakan UU yang ketiga
pada pemerintahan periode reformasi. Sebelumnya ada UU No. 22 tahun 1999 dan
UU No. 32 tahun 2004.
!17
Selama kurun 1999-2014 itu, praktik desentralisasi dan otonomi daerah di era
Reformasi sudah berjalan selama satu dasawarsa lebih. Setelah tiga dekade
sebelumnya terbiasa diatur dan diperintah dari pusat (Jakarta), kini, daerah
memiliki kewenangan jauh lebih besar. Banyak hal sudah terjadi. Beberapa kepala
daerah bekerja secara kreatif dan banyak melakukan inovasi kebijakan. Mereka
mampu menerbitkan kemakmuran di daerah masing-masing. Namun, cukup banyak
juga kepala daerah yang kurang atau bahkan tidak berhasil menyejahterakan
rakyatnya. Mereka justru terperangkap dalam pusaran kekuasaan. Pusat-pusat
kekuasaan yang telah menyebar memang menghadirkan sejumlah komplikasi. Di
antaranya, hubungan birokrasi dan pembagian wewenang pemerintah pusat dan
pemerintah daerah serta kompetensi sumber daya manusia yang tidak sama antara
satu daerah dengan daerah lain. Kekuasaan yang berhimpun di tangan elite yang
dipilih secara langsung juga memunculkan masalah tersendiri. Dinamika politik
lokal itu bagaikan pisau bermata dua: menguntungkan bila elite politik berpihak
sepenuhnya pada kepentingan publik dan mencederai rakyat kalau mereka
membangun "kartel" dengan lebih mengutamakan kepentingan kelompok (Prisma,
Juli 2010: 74).
!18
Ada dua dua sudut pandang yang hampir sama dari segi praktek pemerintahan yang
berjalan dan seting kebijakan desentralisasi dan otonomi yang diterapkan. Duaduanya, beranggapan karena berbagai pertimbangan, maka kebijakan sentralisasi
kerap menjadi pilihan utama dalam mengatasi masalah hubungan pusat dan daerah
di Indonesia.
Dengan demikian, menurut Gamawan, ke depan pola seperti ini akan dirubah.
Jadi, penyerahan kewenangan tidak lagi berprinsip "luas, nyata, dan bertanggung
jawab", tetapi efektif dan efisien. Kewenangan seperti apa yang akan lebih efektif
Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA
!19
dan efisien bila diurus oleh pemerintah pusat atau provinsi atau kabupaten-kota.
Jadi, kriterianya tidak lagi "luas, nyata, dan bertanggung jawab", tetapi efektif dan
efisien. Hal strategis apa yang harus tetap dipegang pusat dan tidak diserahkan ke
daerah.
Resentralisasi
Menurut beberapa pakar yang mewakili kalangan masyarakat, akar persoalan
desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia adalah, pertama, relasi kekuasaan
antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah di Indonesia lebih cenderung
mengarah ke kutub sentralisasi daripada desentralisasi (Hidayat 2010: 17). UndangUndang Nomor 22 Tahun 1999 pada tingkat minimal mencoba menggeser pendulum
sentralisasi ke kutub desentralisasi, namun UU No. 32/2004 justru cenderung
mengembalikannya ke posisi semula (sentralisasi). Salah satu penyebab gerak balik
pendulum desentralisasi tersebut adalah karena konsep desentralisasi yang
diterapkan sejak awal kemerdekaan relatif tidak mengakomodasi perspektif
desentralisasi politik (kewenangan) tetapi lebih berkiblat pada perspektif
desentralisasi administrasi (urusan). Pada tingkat "pernyataan", sering
dikemukakan bahwa kebijakan desentralisasi di Indonesia bertujuan untuk
mempercepat proses demokratisasi di tingkat lokal, namun pada tingkat
"kenyataan" wewenang yang diserahkan kepada daerah sangat dibatasi, dan kontrol
pemerintah pusat terhadap pemerintah daerah juga sangat ketat.
Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA
!20
Ketiga, ada tiga problematik sehubungan dengan berlakunya UU No. 32 Tahun 2004
sebagai pengganti UU No. 22 Tahun 1999, yakni problem konstitusi, problem
komitmen pemangku kepentingan, dan problem inkonsistensi kebijakan (Haris
2014: 198). Problem konstitusi terkait dengan amanat Pasal 18 (baru), Pasal 18A
dan Pasal 18B UUD 1945 yang menjadi dasar penerbitan UU No. 32/2004 yang
membuka peluang penafsiran yang lebar bagi penyusun UU (DPR dan pemerintah)
tentang ruang lingkup agenda desentralisasi dan otonomi daerah. Sehingga prinsip
desentralisasi, esensi otonomi daerah dan pemerintahan daerah, struktur
Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA
!21
Keempat, desain otonomi lokal yang pada dasarnya bukan merupakan isu teknis
pemerintahan melainkan indikasi dari persaingan sengit antara kepentingankepentingan yang bersaing memperebutkan sumber daya material yang konkret
Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA
!22
PENUTUP
Penyelenggaraan pemerintahan daerah diarahkan untuk mempercepat terwujudnya
kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan, dan
peran serta masyarakat, serta peningkatan daya saing daerah dengan
memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, dan kekhasan suatu
Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA
!23
daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Efisiensi dan efektivitas
penyelenggaraan pemerintahan daerah perlu ditingkatkan dengan lebih
memperhatikan aspek-aspek hubungan antara pemerintah pusat dengan daerah
dan antardaerah, potensi dan keanekaragaman daerah, serta peluang dan
tantangan persaingan global dalam kesatuan sistem penyelenggaraan pemerintahan
negara (Konsideran UU No. 23 tahun 2014).
Oleh karena itu, apa pun perbedaan ancangan konseptual dan asumsi paradigmatik
di antara pihak-pihak yang berkompeten, dalam persoalan desentralisasi,
seharusnya sama-sama bertolak dari sebuah kebijakan bahwa kekuasaan dalam
tata pemerintahan yang terlalu terpusat tidaklah menguntungkan. Berdasarkan
pertimbangan itu, perlu diupayakan berkurangnya kekuasaan pusat di satu sisi dan
bertambahnya kewenangan daerah di sisi lain. Semua pihak harus lebih
Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA
!24
Fauzi, Gamawan. 2010. Paradigma Kewenangan Daerah yang Efektif dan Efisien.
Prisma, Volume 29, Nomor 3, Juli. Hlm. 74-83.
Hadiz, Vedi R. 2005. Desentralisasi dan Demokrasi di Indonesia: Sebuah Kritik
terhadap Perspektif Neo-Institusionalis. Dalam Dinamika Kekuasaan
Ekonomi Politik Indonesia Pasca-Soeharto. Jakarta: LP3ES. Hlm. 272-304.
Haris, Syamsuddin. 2014. Desentralisasi Asimetris, Problem atau Solusi?. Dalam
Masalah-masalah Demokrasi & Kebangsaan Era Reformasi. Jakarta: Pustaka
Obor. Hlm. 191-218.
Hidayat, Syarif. 2010. Mengurai Peristiwa-Merentas Karsa: Refleksi Satu Dasa
Reformasi Desentralisasi dan Otonomi Daerah. Prisma, Volume 29, Nomor
3, Juli. Hlm. 3-22.
Wignjosoebroto, Soetandyo. 2010. Satu Abad Desentralisasi di Indonesia. Prisma,
Volume 29, Nomor 3, Juli. Hlm. 58-69.
Dokumen
RI, Undang-undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
RI, Undang-undang Nomor 9 tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas UndangUndang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah.
!25
UU 23 tahun 2014 lahir dari adanya keresahan akan dampak negatif yang
ditimbulkan UU no 32 tahun 2004. Ada beberapa masalah yang disorot sebagai
kelamahan UU lama yang ditulis oleh sang arsitek, yakni DIRJEN Otda Kemendagri,
Djohermansyah Djohan di Kompas (25 April 2015) beberapa waktu yang lalu.
Pertama dan yang paling penting adalah lemahnya fungsi gubernur dan pemerintah
pusat dalam mengontrol pemerintah kabupaten dan kota. Dalam banyak kasus,
gubernur sebagai kepanjangan pemerintah pusat di daerah gagal mencegah abuse
Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA
!26
!27
membahas UU yang penting ini. Daerah pun apalagi, kabupaten dan kota yang
menjadi objek kebijakan ini gelisah justru ketika UU ini telah disahkan dan
berdampak bagi mereka.
Ada asymmetric information diantara anak bangsa yang berkepentingan akan UU
ini. UU yang lebih menyorot perhatian publik adalah UU pilkada langsung atau
tidak langsung. Televisi dan Koran yang basisnya di Jakarta dan umumnya dimiliki
tokoh politik nasional lebih mengcover UU ini ketimbang UU pemda karena
memang berkaitan dengan kepentingan elite politik Jakarta. Sehingga perdebatan
di ruang publik lebih didominasi Jakarta ketimbang daerah di saat TV nasional yang
mendominasi rumah kita lebih bias Jakarta. Implikasinya adalah perdebatan dan
pembahasan UU ini kurang, dan akhirnya UU ini lolos tanpa ada perdebatan yang
berarti di ruang publik.
Kesalahan Paradigma
Kesalahan
!28
Gubernur dan Pemerintah Pusat. Dalam UU ini paradigma ini bisa dilihat dari pasal
91, UU 23/2014 tentang fungsi pengawasan Gubernur.
Padahal dalam paradigma network atau istilah lain democratic governance, justru
seharusnya pemerintahan itu harus meninggalkan paradigma hierarkis dan beralih
ke hubungan yang harizontal. Bahkan dalam pidato guru besarnya, mensekneg,
Prof Pratikno menegaskan(2009) bahwa; Struktur pemerintahan pun mengalami
perubahan yang cukup signifikan. Karakter struktur kelembagaan pemerintahan
yang sebelumnya bersifat hierarkis bergeser menjadi lebih horisontal dengan aktor
yang semakin banyak. Anehnya disaat paradigma pemerintahan saat ini di dunia
meninggalkan paradigma hierarkis dan lebih horizontal (Owen Hughes,2011),(Guy B
Peters, 2011:63), UU ini masih mengusung paradigma yang usang ini.
Dalam struktur pemerintahan yang horizontal (atau dalam banyak literatur
diistilahkan governance ) justru pengawasan itu seharusnya dilakukan oleh aktor di
luar kelembagaan negara, yang dalam istilah studi pemerintahan dikenal dengan
istilah networks. Ini artinya penguatan networks seperti masyarakat sipil agar
mereka lebih berdaya dalam mengawasi pemerintahan justru yang harus lebih
ditingkatkan dan difokuskan. Pakar pemerintahan, Rhodes ( 2007: 1246) misalnya
malah mengatakan bahwa governance itu sebenarnya maknanya adalah model
pemerintahan melalui networks. Ini artinya paham bahwa pemerintahan hanya
proses hierarkis di dalam institusi negara sebagaimana paradigma UU ini adalah
sesuatu yang tidak tepat dan tidak sejalan dengan dinamika pemerintahan saat ini
yang lebih demokratis dan melibatkan banyak aktor.
!29
!30
Hal ini sekali lagi ditegaskan bahwa bukan sistem desentralisasinya yang
bermasalah tetapi lebih ke kualitas kepemimpinan daerah. Bicara tentang kualitas
kepemimpinan daerah akhirnya kembali ke masalah kepartaian. Artinya tetap saja
dapur masalah itu diproduksi oleh sistem kepartaian kita yang belum mampu
menghasilkan kepemimpinan daerah yang berkualitas.
Solusi yang Tambal Sulam
Sayangnya solusi yang ditawarkan pemerintah pusat adalah fokus pada pengambilalihan wewenang ketimbang peningkatan pengawasan. Pusat melihat masalahnya
adalah pada daerah yakni pemerintah kabupaten dan kota yang dianggap
terlampau melimpah kewenangannya. Sehingga pemikiran tambal sulam kembali
terjadi. Menurut pusat, "Jika daerah gagal dan melakukan penyimpangan maka
ambil alih wewenang dan kembalikan ke pusat melalui perpanjangan tangan
mereka di daerah yakni gubernur".
Namun, pada kenyataannya tidak semua daerah dikatakan gagal dalam
menyelaraskan antara eksploitasi alam dan kelestarian lingkungan hidup. Masih ada
daerah yang bisa dikatakan maju dengan memanfaatkan kekayaan alamnya secara
bijak sekaligus melestarikan lingkungan hidup. Namun memang harus diakui jujur
bahwa eklorasi pertambangan dan kehutanan telah menyumbang banyak kerusakan
lingkungan dan menyumbang banyak kepala daerah masuk penjara karena kasus
suap.
UU otonomi daerah sebagai tuntutan dari reformasi politik 1998 telah sukses
mengantarkan pembangunan di berbagai daerah. Jika selama ini kekayaan alam
Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA
!31
daerah dikeruk dan dibawa Jakarta sehingga ouputnya lebih banyak dirasakan
Jakarta, dengan otonomi daerah telah banyak daerah maju dan berkembang pesat
ekonominya sekaligus meningkatkan kesejahteraan ekonominya. Dengan lahirnya
UU ini ditakutkan potensi daerah malah dimatikan, kabupaten dan kota bisa
kehilangan modal penting bagi pembangunan mereka.
Jika ada kekurangan seharusnya pemerintah tidak mencabut kewenangan tetapi
meningkatkan pengawasan. Salah satunya dengan peningkatan partisipasi
masyarakat dalam pemerintahan. Adagium power tends to corrupt akan berlaku
dimana saja ada kewenangan itu berada. Oleh karena itulah perlu fokus ke
pengawasan dengan melibatkan masyarakat atau aktor-aktor di luar negara.
Dahulu ketika orde baru dengan sentralismenya, penyimpangan terjadi di pusat.
Dampak ketimpangan pusat dan daearah, Jawa dan luar Jawa masih kita rasakan
hingga saat ini. Seiring dengan tuntutan demokrasi, otonomi daerahpun
diberlakukan dengan UU 22 tahun 1999 dan 32 tahun 2004. Titik tekan otonomi
daerah berada di pemerintah kabupaten dan kota. Bisa kita katakan penyimpangan
kekuasaan meluas hingga ke daerah. Namun dengan mengambilalih kewenangan
kota dan kabupaten melalui UU yang baru ini, bisa saja terjadi kemungkinan
penyimpangan terhadap kekuasaan akan terjangkit ke Provinsi. Sehingga kemudian
hari tidak menutup peluang akan ada revisi kembali bahkan sentralisasi jika pola
pikir tambal sulam masih ada di benak pengambil kebijakan.
Solusi Bagi Perbaikan: Perlunya Desentalisasi Yang menjamin terciptanya
Inclusive institution
!32
Perdebatan tentang apa sebaiknya model pemerintahan daerah kita saat ini tidak
akan selesai jika tidak ada kontrak sosial baru diantara berbagai pemangku
kepentingan terutama daerah tentang bagaimana seharusnya sistem pemerintahan
daerah ini. Ini artinya NKRI bukanlah harga mati. Negara Kesatuan perlu segera di
bahas kembali diantara anak bangsa ini. Founding fathers kita seperti Hatta dan
Tan Malaka misalnya lebih memilih federasi ketimbang kesatuan. Namun kerena
intervensi militer dan rezim orde baru perdebatan tentang apakah kesatuan atau
federasi menjadi taboo untuk dibahas.
Alternatif lain di luar federasi atau sentralisme kesatuan adalah apa yang digagas
teman-teman UGM dengan asymmetric decentralization di dalam bingkai negara
kesatuan. Model ini ( walau sebagian sudah diakomodir di UU 23/2014) bahkan
telah menjadi program di nawacita Presiden Jokowi. Kuatnya pengaruh UGM
terhadap Jokowi terlihat dari diadopisnya model ini dalam nawacita. Artinya ada
kemungkinan besar UU ini akan direvisi jika merujuk ke nawacita. UU ini sendiri
adalah produk pemerintahan SBY yang didominasi intelektual IPDN sehingga bisa
dimaklumi jika model pemerintahannya dalam UU ini masih kental dengan
paradigma lama orde baru yang sentralistis. Karena sudah kita maklumi IPDN
cenderung serius dalam mencetak pamong ketimbang pengembangan keilmuan
yang tempatnya di Universitas.
Namun yang paling penting apakah kita mengadopsi model sentralisme orde baru,
atau federasi ataupun asymmetric decentralization adalah memastikan bahwa
sistem pemerintahan daerah kita bisa mampu melakukan perbaikan bagi institusi
politik dan ekonomi ke arah institusi yang inclusive. Kegagalan banyak negara
Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA
!33
seperti yang
dikemukakan pengarang buku best seller Why Nation Fail, Robinson dan
Acemoglu, (2012:144-145). Berikut penjelasan theory of Instituions yang diolah
dari slide kuliah umum Robinson dan Acemoglu di LSE tanggal 8 Juni 2012:
lemahnya
penegakan dan keteraturan hukum dan sentralisasi justru lebih bisa memastikan.
Oleh sebab itu perlu ada konsensus utama di bangsa ini tujuan kita jelas
kesejahteraan, namun cara nya mana yang efektif sesuai dengan konteks
Indonesia, desentarlisasi atau sentralisasi. Yang jelas yang diutamakan adalah
Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA
!34
Referensi
Acemoglu, D & Robinson, J.A 2012 Why nation fail: the origin of power,
prosperity and poverty, Crown Publisher, New York
________________________, 2011 Why nation fail: the origin of power,
prosperity and poverty, Slide in Morishma Lecture, LSE June 8, 2011, London
Djohermansyah, D 2015 Kado Hari Otonomi Kompas, 25 April 2015
Hughes, O 2003, Public management in developing countries Public
management And Administration, 3rd edn, Palgrave, Basingstoke, pp.218-27
Kemendagri, 2011, Naskah Akademik RUU tentang Pemerintahan Daerah,
Jakarta
Kemitraan, 2014 Menata Indonesia dari Daerah Kemitraan, Jakarta
Peters, G. B,2011, Governance as political theory, Critical Political Studies,
Vol. 5 No. 1 pp. 63-72
Pratikno, 2009 Rekonsolidasi Reformasi Indonesia: Kontribusi Studi Politik
dan Pemerintahan dalam Menopang Demokrasi dan Pemerintahan Efektif Pidato
guru besar UGM, Yogyakarta
Rhodes, R.A.W, 2007, Understanding governance: Ten years on, Organization
Studies , Vol. 28, No. 8, pp. 1243-126
UU No 23 tahun 2014
!35
11
Makalah/policy paper disampaikan dalam Prosiding dan pada acara Seminar Nasional UU
Pemerintahan Daerah Baru: Desentralisasi atau Resentralisasi? Diselenggarakan Magister
Ilmu Pemerintahan dan Lab. Politik Lokal dan Otonomi Daerah JIP FISIP Universitas
Lampung, di Rektorat Unila, Kamis 30 April 2015.
Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA
!36
UU 32
Tahun 2004. UU
Revisi UU tersebut di
tahun 2015 ini hanya memuat perubahan dalam fungsi DPRD namun tidak
menyentuh subtansi lain yang signifikan.
Kedua UU ini yakni UU 23/2014 dan revisinya UU No 2/ 2015 cenderung berpotensi
(bahkan ada
pihak
sudah menimbulkan
Tak heran rekan akademisi seperti Prof. Pratikno pernah mencatatnya dalam label
Desentralisasi, Pilihan yang Tidak Pernah Final, Abdul Gaffar Karim melukiskan dalam
tulisan Bangunan Goyah di atas Fondasi bermasalah: Otonomi Daerah di Indonesia; dalam
buku Kompleksitas Persoalan Otonomi Daerah di Indonesia, Abdul Gaffar Karim
(editor), cetakan ke-2, 2006, JIP UGM dan Pustaka Pelajar Yogyakarta.
Di daerah yang kaya hasil tambang ada kabar bupati ngambek dan ngancam mundur dari
jabatan Bupati karena kewenangan perizinan tambang yang semula domain/kewenangan
Bupati kini harus ditarik menjadi kewenangan Gubernur selaku kepala daerah yang sekaligus
Pembantu Presiden di daerah.
14
!37
Bila lebih jauh kita rentangkan sejarah maka terlihat bahwa persoalan klasik yang
terus berulang sejak diberlakukan UU No.
Daerah pada era orde baru sampai dengan UU 2/2015 tentang Pemerintahan
Daerah salah satunya adalah menata format ideal hubungan
antara pemerintah
Diikuti persoalan/
(1974-1999).
Celakanya, praktek otonomi daerah era reformasi yang baru berjalan belia atau
berusia 10-11 tahun ini sudah dirubah kembali dengan 4(empat) nuansa kontroversi
dan paradoksal sebagai berikut:
(1) keinginan Resentralisasi berbasis di Provinsi dengan berbagai alasan dan
hasil evaluasi dan ini masih bisa diperdebatkan; Bila UU 32/2004 masih
memberikan kewenangan/perizinan
kewenangan pemerintah
!38
dan mencari solusi terhadap persoalan otonomi daerah yang muncul belakangan
ini16;
(4) Dalam kebingungan Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten
membuat pola hubungan kewenangan yang harmonis. Saya mencatat dan sekaligus
menggarisbawahi bahwa Pemerintah pusat atau pembantu Presiden beserta Parpol
pendukung pemerintahan sekarang selain lamban juga bingung dan cenderung lupa
15
16
!39
dan partai politik pengusung sejak tahun lalu. Padahal bila janji Nawacita--yang
memuat desentralisai asimetris, membangun tata kelola pemerintahan yang
efektif, dan revolusi mental17yang juga sebagai bentuk kontrak sosial dan kontrak
politik itu dipahami dan dilaksanakan dalam regulasi dan aksi yang segera maka
persoalan otonomi daerah yang kompleks diyakini banyak pihak bisa cepat diurai
untuk mencapai visi Indonesia hebat.
Desentraliasi Asimetris: Alasan Penerapan, Urgensi, Implikasi Diharapkan, dan
Optimisme Pakar
pemerintahan
oleh Pemerintah
pemerintahan
Pemerintah
17
Lihat poin 2 Nawacita Jokowi-JK Kami akan membuat pemerintah selalu hadir dengan
membangun tata kelola pemerintahan yang bersih efektif, demokratis dan terpercaya. Poin 3
Nawacita Kami akan membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerahdaerah dan desa dalam kerangka Negara kesatuan dengan sub poin prioritas (1) desentralisasi
asimetris; (2) pemerataan pembangunan antar wilayah terutama desa, kawasan timur
Indonesia dan kawasan perbatasan.(3) penataan daerah otonomi baru untuk kesejahteraan
rakyat; poin 8 Nawacita Kami akan melakukan revolusi karakter bangsa.
Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA
!40
serta dari pemerintah kabupaten kota kepada desa untuk melaksanakan tugas
tertentu.
Desentralisasi
dan budaya
(political, history and cultural driven) misalnya dalam bentuk daerah otonomi
khusus (Papua, Aceh), daerah khusus (Jakarta) dan daerah Istimewa (Yogyakarta).
Desentralisasi
Asimetris dalam
menarik karena tawaran penerapan otonomi daerah yang berbeda tiap wilayah/
kawasan atau provinsi/kabupaten/kota bukan karena alasan politis sejarah atau
budaya semata; tapi lebih jauh karena melihat perbedaan kapasitas
pemerintahan local (local goverment capacity driven) dan didorong pula setelah
melihat kenyataan perbedaan karakter wilayah, potensi sumber daya alam dan
manusia di Indonesia.
!41
penerapan
timur Indonesia dan kawasan perbatasan serta (4) sebagai bagian strategi
penataan daerah otonomi baru (DOB) untuk kesejahteraan rakyat.
Perlu Desentralisasi
!42
Catatan Penutup
(1)
memperhatikan tiga saran dari pakar politik lokal dan otonomi daerah
yang lebih seni or yakni18 bahwa Pengaturan asimetris desentralisasi
karena faktor capacity driven ini harus memperhatikan
(a) memiliki
Cornelis Lay dan Josep Riwu Kaho. Modul kuliah Politik Desentralisasi. JPP FISIP
UGM. 2007. Tidak dipublikasikan.
Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA
!43
(2) Pelaksanaan
nampaknya perlu
mulai
mengatasi
!44
A. PENDAHULUAN
Pengesahan Undang-undang (UU) tentang Pemerintahan Daerah yang baru yakni UU
No 2 Tahun 2015 menimbulkan keresahan terutama dikalangan pemerintah daerah
Kabupaten dan Kota. UU ini merupakan revisi dari UU yang baru saja dibuat tahun
2014, yakni UU No 23 tahun 2014. Menariknya dalam beberapa bulan saja, UU
yang disetujui oleh DPR tidak lama setelah pergantian pemerintahan direvisi
kembali seiring dengan dikembalikannya proses pemilihan kepala daerah
dari
berubah.
UU Pemerintahan daerah yang baru lahir dari adanya keresahan yang ditimbulkan
UU sebelumnya. Salah satu masalah dalam UU No 32 tahun 2004 adalah lemahnya
fungsi gubernur dalam mengontrol pemerintah kabupaten dan kota. Dalam
pandangan pemerintah lokal, Gubernur bukanlah atasan mereka, karen Walikota
dan Bupati dipilih langsung oleh rakyat. Sehingga Gubernur seolah kehilangan
kekuasaan mereka terhadap Bupati dan Walikota. Masalah-masalah pertambangan,
kelautan dan kehutanan menjadi eksplotasi utama Bupati dan Walikota untuk
19
Robi Cahyadi Kurniawan M.A, Dosen Jurusan Ilmu Pemerintahan, FISIP UNILA.
!45
meningkatkan PAD dan menguntungkan diri sendiri tanpa melihat dampak negatif
dari kebijakan yang telah ia buat.
Raja-raja kecil didaerah banyak sekali bermunculan sejak rezim pilkada
(pemilukada) dimulai. Koordinasi kepada pemerintah pusat , dalam hal ini
Gubernur sebagai kepanjangan tangan Presiden menjadi sangat kacau. Otonomi
daerah yang diharapkan menjadi pemicu majunya daerah karena bisa mengelola
kekayaan dan potensi alamnya secara mandiri, berubah menjadi ajang korupsi dan
memperkaya diri.
Dampak negatifnya adalah banyak kekayaan alam yang tidak dipergunakan dengan
semestinya, digadaikan kepada pihak ketiga yang memiliki modal, serta
menguntungkan elit lokal dan pejabat daerah. Dilain pihak beban anggaran pemda
kabupaten/kota bertambah dengan alasan belanja pegawai , serta pembangunan
yang tidak tepat sasaran. Sehingga pemerintah pusat mengambil alih kewenangan
pemerintah daerah seperti yang tertuang dalam UU No 23 tahun 2014. Tulisan ini
mencoba menganalisa
21
Mosca, Gaetano. The Ruling Class, Mc Graw Hill, New York, 1939
22
Pareto, Vilfredo, The Mind and Society, Jonathan Cape, London, 1935
!46
(oligarkhi/
dipelopori oleh Karl Marx, membagi masyarakat menjadi dua katagori berdasar
kepemilikan alat-alat produksi; yang memiliki dan menguasai alat produksi disebut
the rulling class. Sedangkan kelas yang lain ; mereka yang tidak memiliki alat
produksi, mereka diatur, diekploitasi dan dimiliki oleh kelas yang lebih berkuasa.
Dalam negara-negara dunia ketiga, terdapat beberapa elit lokal yang terbentuk.
Joel S. Migdal menyebutnya sebagai Local Strongmen25 yang merupakan refleksi
kekuatan masyarakat yang plural serta kelemahan negara (strong societies and
weak states). Setiap kelompok dalam masyarakat
memiliki pemimpinnya
sendiridan pemimpin ini relatif otonom terhadap negara. Sifat otonom ini
menyebabkan keberlangsungan lokal strongman tergantung pada social capacity
negara. Kemampuan negara untuk membuat warganya mematuhi aturan permainan
dalam masyarakat yang dibuat oleh negara disebut social capacity.
Termasuk
Scoot, 1990: ix
24
25
!47
sumberdaya mineral sebagaimana yang disebut pada ayat (1) yang berkaitan
dengan pemanfaatan langsung panas bumi dalam daerah kabupatan/kota menjadi
kewenangan kabupaten /kota.
26
!48
diayat 3, pemerintah pusat memiliki hak dalam pengelolaan minyak dan gas bumi,
dilain pihak daerah kabupaten/kota memiliki hak mengelola taman kota dan
pemanfaatan langsung panas bumi.
Dalam perspektif elit, dalam kacamata teori Marx, yang dijelaskan mengenai
produksi, maka keputusan pasal 14 dalam UU N0 23 tahun 2014 ini adalah murni
dikarenakan tentang kelas menurut pendapat penulis.
Pemerintah pusat
Pusat
memiliki hak yang lebih pantas untuk memproduksi dan menghasilkan publik goods
bagi masyarakat dengan menguasai sumber daya alam yang paling dicari dan paling
menguntungkan.
Dalam konteks teori kapitalisme, penulis berpendapat bahwa pemerintah pusat
yang terdiri dari bagian eksekutif dan legislatif memiliki keinginan mengambil
keuntungan lebih besar dan lebih banyak dalam hal ekploitasi minyak dan gas
bumi. Dalam banyak kasus, bahwa penguasaan minyak dan gas telah menjadi
sumber penghasilan partai politik dengan menempatkan wakil-wakilnya dijajaran
pemerintahan umtuk menjadi menteri dan direktur pertamina (contoh kasus Rudi
Rubiantara dan Sultan Bhatogana politisi Partai Demokrat dalam
korupsi SKK
Migas).
Dalam konteks lokal, dalam perspektif local strongmen-nya Midgal, bahwa
kekuatan lokal diramu dengan kelemahan negara menjadikan banyak
kekuatan-
!49
belum ada, untuk itu diperlukan peraturan yang sistemtik dan mengatur seadiladilnya tentang bagi hasil daerah yang memiliki kandungan minyak dan gas.
Fenomena Aceh dan Papua, bisa menular ke daerah-daerah lain di Indonesia adalah
hal disintegrasi bangsa dan juga kecendrungan
dari NKRI jika masalah pembagian kuota ini tidak diberlakukan dengan bijak dan
adil. Jika kecendrungan ini didukung kuat oleh lokal stongmen dan bossism kuat
didaerah yang ditopang oleh dana dari pengusaha , maka kemungkinan disintegrasi
daerah bisa mungkin terjadi.
Pasal 14 Undang-Undang No 23 tahun 2014 memang hanya terdiri dari beberapa
ayat, namun besar konsekuensinya dalam
daerah, karena juga menyangkut pembagian jatah kue perekonomian yang berguna
untuk pembangunan daerah.
!50
Kepemimpinan politik lokal , dalam hal ini konteks Bupati dan Walikota
menanggapi berlakunya UU No 23 tahun 2014 , selain perlu pembagian kue yang
lebih adil juga dibutuhkan pengawasan yang melekat sehingga pemimpin lokal
tidak menjadi raja kecil yang cenderung menyelewengkan dana pemerintah pusat.
Hendaknya diaturan peraturan pemerintah sebagai turunan dari UU No 2 tahun
2015 revisi dari UU No 23 tahun 2014 juga memberikan sanksi yang tegas dan
merujuk
DAFTAR PUSTAKA
Agger, 2003, Teori Sosial Kritis, Kritik Penerapan& Implikasinya, Kreasi Wacana
Yogyakarta
Apter, David E. 1997, Pengantar Analisa Politik, LP3ES, Jakarta
Josep R. Kaho & Cornelis Lay dalam Modul Kuliah Politik Desentralisasi, bab
dinamika politik lokal, pascasarjana Ilmu Politik, 2005
Malik Djamaludin, Dedy dan Inantara, 1994. Komunikasi Persuasif. Bandung: PT
Remaja Rosda Karya
Mosca, Gaetano. The Ruling Class, Mc Graw Hill, New York, 1939
!51
Pareto, Vilfredo, The Mind and Society, Jonathan Cape, London, 1935
Nimmo, Dan. 2001 Komunikasi Politik Khalayak dan Efek. Bandung: PT Remaja
Rosda Karya
Suwarno, P.J.1994, Habengkubuwono IX dan Sistem Birokrasi Pemeritahan
Yogyakarta, 1942-1947, sebuah Tinjauan Historis. Yogyakarta; Kanisius
Undang-Undang
Undang-undang No 23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah yang telah direvisi
sebagian menjadi UU No 2 tahun 2015 tentang Pemerintah Daerah
Website
Nugroho , (2009) Ulasan Politik
http://www.suaramerdeka.com/harian/0404/16/kha1.htm, ulasan Dr Nugroho,
Dosen Psikologi Politik di Unnes.
!52
!53
ketika membaca UU No. 23 tahun 2014 terlihat jelas bahwa peran Gubernur
sebagai wakil pemerintah pusat di daerah begitu besar.
Di sela UU Pemilukada yang masih di-godok, menarik untuk mendiskusikan wacana
Pemilihan Gubernur, tentunya ada kelompok yang pro dan kelompok yang kontra.
Bagi kelompok yang menyukai rezim Pemilukada terutama Pemilukada di level
provinsi mengatakan ini adalah bagian dari skema pengulangan kelakuan rezim
orde baru yang sangat sentralistis dan manipulatif, akan tetapi dipihak yang lain
mengatakan bahwa ini adalah bagian naluriah dari proses demokrasi yang
menganut logika trial and error (coba dan salah) sekaligus bagian dari upaya
penataan ulang rezim pilkada yang cenderung
menyebabkan in-efisiensi
demokrasi.
Opsi Pemilihan Gubernur
Jika penghapusan Pilkada di level provinsi maka terdapat beberapa opsi bagi
Pemilihan Gubernur kedepan, beberapa opsi tersebut akan terurai dalam tulisan
berikut ini:
Opsi pertama, Gubernur akan dipilih langsung oleh Presiden argumentasinya adalah
bahwa dalam konteks negara kesatuan Gubernur bertindak sebagai wakil dari
pemerintah pusat di daerah maka secara politik Gubernur memegang kewenangan
yang diberikan Presiden kepadanya dan mempunyai inisiatif kewenangan bagi
daerahnya sebagai bagian dari pemberian mandat Presiden kepada Gubernur
tersebut.
Opsi kedua, Gubernur akan dipilih kembali oleh DPRD secara murni melalui
mekanisme pemilihan keterwakilan. Secara detail penjabarannya, setiap anggota
DPRD mempunyai satu suara untuk memilih Gubernur hal ini merujuk kembali
seperti pada UU
!54
Opsi ketiga ini merupakan usulan penulis yang menurut saya sebagai bagian dari
kompromi politik, pada tahap awal para Calon Gubernur akan di- fit and proper
test oleh para anggota DPRD kemudian hasil dari fit and proper test diajukan
kepada Presiden. Atau mekanisme sebaliknya Presiden yang menentukan satu atau
lebih Calon Gubernur kemudian DPRD yang melakukan fit and proper test dan
kemudian dilanjutkan untuk memilih satu diantara beberapa nama yang diajukan
Presiden tersebut, proses seperti ini sudah sering dilakukan oleh Presiden sebagai
contoh misalkan pemilihan Gubernur Bank Indonesia.
Beberapa Kekurangan dan Kelebihan
Memang ketika kita menilik berbagai kemungkinan opsi tersebut masing-masing
mempunyai kelebihan dan kekurangannya.
Pada opsi pertama misalkan, ketika Gubernur sebagai kepala daerah di sebuah
provinsi murni dipilih oleh Presiden maka yang akan terjadi adalah sebuah
subjektifitas politik. Sebuah tema besar yang sebenarnya sangat kita hindari di
era reformasi, masih ingat misalkan di era orde baru betapa politik patronase
menjadi sangat kental terutama untuk pengisian pos Bupati, Walikota sampai
Gubernur. Dengan konsep teritorial politik maka setiap pejabat yang menduduki
pos-pos tersebut mesti ditunjuk dan mendapat restu secara politik oleh
Presiden, sehingga kepemimpinan politik daerah tidak bisa berkembang dengan
baik apalagi bicara soal penataan demokrasi di level lokal.
Walaupun dalam mekanisme seperti ini ada kebaikannya terutama dalam menjaga
ranah integrasi bangsa, dengan konsep teritorial politik melalui mekanisme
Gubernur ditunjuk oleh presiden seperti ini maka secara politik konsep Unitary
State atau Negara Kesatuan akan terjaga dengan baik.
!55
Pada opsi kedua, Gubernur dipilih oleh anggota DPRD, dengan model yang kedua
ini kita pernah melakukannya dan pada waktu itu diatur dalam UU NO.22 Tahun
1999. Secara umum memang model pemilihan murni melalui mekanisme DPRD ini
sangat murah dan mudah teknisnya, panitia pemilihan hanya menyiapkan kertas
pemilihan dan kotak pemilihan kemudian pemilihan pun dapat dilaksanakan.
Kelemahan dengan model seperti ini, akan terjadi konfigurasi politik daerah yang
Legislative Heavy dimana lembaga legislatif akan lebih mendominasi perjalanan
pemerintah daerah, logikanya secara politik Gubernur dipilih oleh anggota DPRD.
Menurut saya, opsi yang paling ideal adalah opsi yang ketiga yaitu kewenangan
DPRD hanya sampai pada tahap melakukan fit and proper test saja terhadap para
kandidat Gubernur tersebut. Langkah selanjutnya DPRD melakukan perangkingan
berdasarkan pembobotan kuantitatif dari calon yang memiliki skor tertinggi sampai
terendah, mekanisme selanjutnya nama-nama calon Gubernur tersebut diserahkan
kepada Presiden untuk kemudian dipilih nah dalam konteks ini hak prerogratif
presiden untuk menentukan gubernur terpilih.
Makanisme ini menurut saya sangat kompromis dibandingkan dengan opsi pertama
atau kedua, secara politik kepentingan elit politik lokal terakomodasi, disisi lain
kepentingan presiden sebagai pemengang mandat kekuasaan tertinggi juga
terakomodasi. Walaupun mekanisme yang ketiga ini akan sangat sulit untuk
diakomodasi.
!56
!57
Esensi perubahan regulasi tentang pemerintahan daerah dengan visi yang ideal
tersebut tidak menjadi masalah jika dapat diterapkan dengan baik, dalam arti
memperhatikan tata cara pembagian kewenangan tidak hanya pusat ke daerah
tetapi yang lebih penting adalah pembagian kewenangan antara propinsi dengan
kabupaten/kota sebagai
!58
!59
istilah lex specialis derogat legi generalis, yaitu asas penafsiran hukum yang
menyatakan bahwa hukum yang bersifat khusus (lex specialis) mengesampingkan
hukum yang bersifat umum (lex generalis)(International Principle of Law, trans
leg.org). Perlu kajian khusus untuk menentukan mana yang lex specialis dan mana
yang lex generalis.
Akhirnya sebagai rekomendasi tulisan ini, penulis menyarankan agar pemerintah
segera menerbitkan Peraturan Pemerintah sebagai tindak lanjut pelaksanaan UU no
23 tahun 2014. Demikian pula propinsi sebagai daerah yang diberikan kewenangan
segera dapat mengeluarkan petunjuk teknis terkait pelaksanaan kewenangan yang
dimilikinya. Internalisasi dan pendalaman bagi SKPD tentang kewenangan masingmasing daerah, diikuti arti pentingnya urusan sangat diperlukan, mengingat bahwa
urusan merupakan entry point (pintu masuk) bagi program dan kegiatan.
Simalakama bandul kewenangan bukan mustahil terus terjadi jika tidak ada
kejelasan isi regulasi yang memuat di manakah urusan itu berada.
!60
27
Disampaikan Pada Seminar Nasional Labpolotda JIP MIP Fisip Unila Kamis, 30 April 2015.
28
!61
!62
Sementara itu, kepala daerah atau wakil kepala daerah yang tersangkut di KPK
hingga tahun 2014 yakni mencapai 56 kepala daerah. Tjahjo menyebutkan,
sebagian besar diketahui melakukan korupsi dalam pengelolaan keuangan daerah
yang bersumber pada penyusunan anggaran, pajak dan retribusi daerah,
pengadaan barang dan jasa, belanja hibah dan bansos, dan belanja perjalanan
dinasi. Kemendagri mengungkapkan, penyebab banyaknya kepala daerah yang
terkena kasus korupsi adalah komitmen antikorupsi yang belum memadai, tidak
adanya integritas, belum diterapkannya e-procurement, dan rentannya birokrasi
terhadap intervensi kepentingan.29
Timbulnya korupsi di daerah seakan timbul karena konsep otonomi daerah yang
memberikan kebebasan setiap daerah untuk mengurus rumah tangganya sendiri
tanpa campur tangan pemerintah pusat. Proses pilkada yang menimbulkan
berbagai macam tindak korupsi di daerah seakan-akan memperburuk citra
paradigma otonomi daerah itu sendiri. Selain itu juga konsep otonomi juga
memperlemah peran dari pemerintah daerah provinsi untuk mengawasi
penyelenggaraan pemerintahan yang ada di daerah. Wewenang pemerintah
provinsi hanya sebagai pengawas dan tidak mempunyai wewenang untuk
memberikan sanksi kepada pemerintah daerah kabupaten ataupun kotamadya jika
daerah tersebut tidak bias mengurus rumah tangganya sendiri.
Problematika yang cukup pelik tersebut akhirnya mendorong Pemerintah bersama
dengan DPR membuat terobosan untuk menanggulangi permasalahan yang ada di
daerah dengan disyahkannya UU Pemerintahan yang Baru yaitu UU No 23 Tahun
2014. Pada Pasal 9 UU No 23 Tahun 2014 ini menyatakan bahwa urusan
pemerintahan dibagi menjadi 3 (tiga) urusan pokok yang terdiri atas urusan
pemerintahan absolut, urusan pemerintahan konkuren, dan urusan pemerintahan
umum. Urusan Pemerintahan yang ada pada UU ini lebih mengatur terperinci
dimna urusan yang harus dikelola oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah
29http://nasional.kompas.com/read/2015/02/04/21114211/Mendagri.
343.Kepala.Daerah.Tersangkut.Kasus.Hukum
!63
!64
pemerintah pusat. Tetapi pada kenyataanya konsep otonomi daerah ini disalah
gunakan kewenangannya timbul raja-raja kecil di daerah untuk menguasai potensi
yang ada di daerah. Timbul berbagai macam proses pemekaran di daerah baik itu
pemekaran provinsi, Kotamadya/Kabupaten dan bahkan pemekaran kecamatan
banyak terjadi. Masalah yang timbul akibat otonomi daerah ini juga menimbulkan
ketimpangan antar daerah yang satu daerah yang lain karena sumber daya alam
yang ada di suatu daerah tidak sama dengan daerah lain. Dengan demikian banyak
ketimpangan pemerataan pembangunan di daerah-daerah.
Sebenarnya Bila kita lihat konsep penyelenggaraan pemerintahan pada UU
Pemerintahan yang baru UU No 23 Tahun 2014 secara eksplisit menimbulkan
kembali konsep sentralistik yang pada zaman Orde Baru konsep ini diterapkan
dalam penyelenggaraan pemerintahan. Konsep Sentralistik ditandai dengan adanya
peran yang cukup besar antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah provinsi
untuk mengawasi pemerintah daerah kabupaten atau kotamadya dalam mengurus
rumah tangganya sendiri. Konsep sentralistik inilah yang mulai dianggap oleh elitelit di daerah dapat mengganggu jalannya roda pemerintahan mereka. Hal inilah
yang menjadi tantangan bagi semua aspek masyarakat yang ada di lingkungan
pemerintahan baik itu elit local ataupun elit pusat dalam memandang UU
pemerintahan terbaru ini. Apakah konsep pemerintahan daerah yang berdasarkan
UU No 23 Tahun 2014 yang sedikit banyak ada unsur sentralistik digabungkan
dengan konsep otonomi daerah yang sudah berjalan hampir 10 tahun berjalan ini
dapat berjalan dengan baik, mudah-mudahan konsep yang dikeluarkan oleh
pemerintah dan DPR membawa kebaikan bagi daerah dan juga bagi masyarakatnya.
Aamiiin.
!65
Disampaikan Pada Seminar Nasional Labpolotda JIP MIP Fisip Unila Kamis, 30 April 2015
31
!66
Heavy, karena Kepala Daerah adalah wakil langsung yang ditunjuk pemerintah
pusat walaupun dia dipilih melalui DPRD, dan fungsi DPRD juga sangat lemah.
Kemudian setelah pemerintahan orde baru jatuh di gantikan pemerintahan transisi
Habibie pada masa awal reformasi dilakukan perubahan besar pada pola hubungan
pusat daerah yang tidak lagi tersentralisasi tapi desentralisasi, dengan disyahkan
undang-undang nomor 22 tahun 1999. Dengan undang-undang tersebut daerah
mendapat otonomi yang sangat luas. Daerah benar-benar menikmati otonominya,
terutama kabupaten/kota karena otonomi yang dilaksanakan saat itu titik beratnya
ada di kabupaten/kota, kekuatan provinsi dilucuti, serta kepala daerah seperti
gubernur, bupati dan walikota tidak lagi ditunjuk oleh pusat dan kemudian dipilih
oleh DPRD, tetapi DPRD langsung yang memilih para calon kepala daerah tersebut.
dalam pelaksanaannya ternyata undang-undang tersebut dianggap terlalu
memberikan kebebasan yang berlebihan, seperti bupati/walikota dianggap sebagai
raja-raja kecil, kemudian konflik sumber daya alam antar daerah juga sangat
tajam, bahkan timbul konflik antara DPRD dan Bupati/Walikota ada beberapa
kepala daerah yang diberhentikan karena berkonflik dengan DPRD seperti kasus
Bupati Kampar Jefry Noer dan Bupati Temanggung.
Karena banyak permasalahan tersebut kemudian dilakukan perubahan dengan
disyahkannya undang-undang nomor 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah,
kebebasan daerah sedikit diperketat walaupun daerah masih diberikan kebebasan.
DPRD tidak bisa lagi sewenang-wenang untuk memberhentikan Kepala Daerah,
kemudian Kepala Daerah dipilih secara langsung oleh rakyat bukan lagi melalui
DPRD karena pemilihan tidak langsung melalui DPRD potensi money politic
sangatlah tinggi dengan menyuap anggota DPRD, diharapkan dengan pilkada secara
langsung pemimpin yang terpilih benar-benar pilihan rakyar.
Persoalan utama dalam pelaksanaan undang-undang nomor 22 tahun 1999 dan
kemudian undang-udnag nomor 32 tahun 2004 adalah kordinasi kebijakan
pemerintah pusat kadang tidak sejalan dengan kebijakan pemerintah pusat.
!67
di Daerah kabupaten/kota.
pelaksanaan APBD,
tata
ruang
daerah,
APBD,
pajak
pertanggungjawaban
daerah,
dan
retribusi
daerah.
5. Melakukan pengawasan terhadap Perda Kabupaten/Kota; dan
6. melaksanakan
tugas
lain
sesuai
dengan
ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Sementara kewenangan dari Gubernur dalam melaksanakan fungsi kewenangannya
adalah :
1. Membatalkan Perda Kabupaten/Kota dan peraturan bupati/walikota.
2. Memberikan penghargaan atau sanksi kepada bupati/walikota terkait dengan
penyelenggaraan Pemerintahan Daerah.
!68
Selain itu masih terkait dengan tugas dan kewenangan Gubernur sebagai wakil
pemerintah pusat adalah Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat dapat
menjatuhkan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
kepada penyelenggaran pemerintah daerah kabupaten/kota.
Tugas Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat inilah yang menjadi persoalan
karena seolah otonomi pada daerah kabupaten/kota
back kembali pada kondisi orde baru yang sentralistik. Sebenarnya undang-undang
ini disyahkan pada akhir kepemimpinan pemerintahan presiden Susilo Bambang
Yudoyono, yang kemudian oleh pemerintahan presiden yang baru terpilih Joko
Widodo melakukan perubahan kedua undang-undang nomor 23 tahun 2014 dengan
undang-undang nomor 9 tahun 2015, tetapi perubahan tersebut tidak membahas
tentang otonomi pada kabupaten/kota, perubahan yang dibahas adalah soal tugas
kepala daerah dan wakil kepala daerah, serta tugas DPRD provinsi serta DPRD
Kabupaten/Kota.
Dari perubahan tersebut memang terlihat bahwa pemerintah pusat ingin
menjaga atau mengawasi daerah khusus kabupaten/kota melalui provinsi agar
program-program pemerintah dapat terlaksana dengan baik. Seperti kita ketahui
bahwa program pemerintahan baru Joko Widodo untuk membangun infrastruktur
transpotasi nasional sangatlah ambisius dari jalan tol di sumatera, pembangunan
pelabuhan baru, membangun konektivitas transpotasi laut melalui tol laut dan
program-program yang lain seperti Kartu Indonesia Sehat dan Kartu Indonesia
Pintar. Apabila hal ini tidak didukung oleh pemerintah daerah tentu akan menjadi
hambatan dalam penerapannya.
!69
Tetapi bagi saya itu adalah ketakutan yang berlebihan dari pemerintah pusat, dan
pola pikir hubungan pusat daerah pemerintah masih bersifat
hierarkis vertikal,
daerah kabupaten/kota harus tunduk dan patuh pada kebijakan yang seragam
walaupun maksudnya itu baik. Tetapi dengan memberikan power pada Gubernur ini
untuk memberikan sanksi dan penghargaan terhadap pemerintah kabupaten/kota
tentu merupakan suatu kemunduran, apalagi Gubernur memilili kewenangan untuk
membatalkan peraturan daerah kabupaten/kota yang menyangkut RPJPD, RPJMD,
APBD, Perubahan APBD, Pertanggungjawaban APBD, tata ruang daerah, pajak
daerah, dan retribusi daerah apabila menurut Gubernur ternyata bertentangan
dengan peraturan lebih tinggi atau bertentangan dengan kepentingan umum
seperti yang diatur pasal 249 dan 250 undang-undang nomor 23 tahun 2014. Tentu
menyimpan potensi konflik yang sangat besar antara pemerintah kabupaten/kota
dengan pemerintah provinsi.
Padahal yang digadang-gadang dari pemerintahan baru sekarang adalah dukungan
terhadap proses demokrasi, termasuk didalamnya pola hubungan pusat dan daerah
yang terdesentralisasi. Bukan malah memperlemah posisi daerah kabupaten/kota,
pemerintah pusat dan DPR RI harus melalukan perubahan segera agar proses
demokrasi tetap berjalan sesuai dengan cita-cita Pancasila dan UUD 1945.
DiSampaikan Pada Semnar Nasional LABPOLODA JIP MIP FISIP UNILA DAN APKASI
33
!70
PENDAHULUAN
Sebelum masa penghujung pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ada
suatu kebijakan strategis yang dikeluarkan oleh pemerintah bersama-sama dengan
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Yaitu dengan telah disahkannya Undang-Undang
Pilkada dan Undang-Undang Pemerintahan daerah yang baru yaitu UU No 22 Tahun
2014 dan UU No 23 Tahun 2014 sebagai pengganti dari Undang-Undang
Pemerintahan daerah yang lama yaitu UU No 32 tahun 2004. Perhatian masyarakat
pada saat itu cenderung melihat dan memperhatikan substansi tentang UU No 22
tahun 2014 tentang Pilkada karena pada UU tersebut mengatur pemilihan kepala
daerah melalui DPRD yang secara tak langsung tidak mempergunakan suara rakyat
dalam memilih pemimpin daerah mereka. Pada dasarnya jika kita memperhatikan
lebih rinci lagi Undang-undang Pemerintahan Daerah yang baru yaitu UU Nomor 23
tahun 2014 memiliki beberapa aspek yang harus kita kaji lagi dalam proses
pemerintahan daerah yang ada di Indonesia terutama tentang berkurangnya peran
Pemerintah daerah dalam urusan penyelenggaraan fungsi pemerintahan.
bahwa
!71
karena dasar pemberian otonomi daerah adalah dapat berbuat sesuai dengan
kebutuhan setempat34.
Dengan semangat desentralisasi, daerah menggunakan otonomi yang dimilikinya
untuk berkreasi dan berinovasi dalam mengelola sumber daya-sumber daya yang
dipunyainya. Reformasi telah menghantarkan ke gerbang demokrasitisasi yang akan
membawa perubahan dalam sistem pemerintahan daerah yang semula sentralistis
menjadi desentralistis. Perubahan itu berimplikasi pada terjadinya pergeseran
lokus kekuasaan, dari pusat ke daerah. Desentralisasi memberikan surga baru pada
daerah-daerah, karena selama 3 (tiga) dekade kekayaan alam yang dimiliki daerah
tidak pernah dinikmatinya. Akibatnya, terjadi kesenjangan yang mencolok di
daerah-daerah yang kaya sumber daya alamnya, tetapi penduduknya tetap miskin
Pada prosesnya selama 1 (satu) dekade terakhir ini konsep otonomi daerah
menimbulkan berbagai macam permasalahan yang ada di daerah seperti timbul
raja-raja kecil di daerah karena kekuasaan mereka turun menurun dan juga
timbulnya korupsi kepala daerah yang memimpin daerah tersebut. Menurut
Kemendagri hamper 30% kepala daerah tersangkut korupsi di daerah yang mereka
pimpin. Melihat poblematika yang cukup kompleks ini maka pemerintah bersama
DPR mengesahkan UU pemerintahan yang baru untuk menggantikan UU No 32
tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Proses pembentukan UU No 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah ini
dilandasi karena permasalahan-permasalahan yang timbul akibat konsep otonomi
daerah yang salah diterapkan di masing-masing daerah di wilayah Indonesia.
Undang-Undang No 23 Tahun 2014 tentang pemerintahan daerah ini
menitikberatkan pada pembagian urusan antara pemerintah pusat dan pemerintah
daerah. Pada UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan daerah yang lalu urusan
penyelenggaraan pemerintahan daerah lebih di fokuskan kepada aspek otonomi
daerah yang ditandai dengai konsep Desentralisasi, Dekonsentrasi dan Tugas
34
Mariun. 1979. Azas-Azas Ilmu Pemerintahan. Yogyakarta. Badan Penelitian dan Pengaembangan. Fakultas
Sospol UGM
!72
!73
dan mineral hanya dapat dilakukan oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah
provinsi. Tetapi dalam isi UU minerba dijelaskan bahwa yang berhak untuk
menerbitkan ijin dan pemanfaatan tentang pertambangan Minyak dan Batu Bara
(Minerba) adalah pemerintah daerah kabupaten atau kotamadya. Hal inilah yang
menjadi masalah yang timbul saat ini pada pemerintahan di daerah.
Secara eksplisit dapat kita pahami berdasarkan pemaparan diatas bahwa konsep
UU pemerintahan yang baru yaitu UU No 23 Tahun 2014 sebanarnya membonsai
kewenangan daerah Kabupaten atau Kotamadya untuk mengurus rumah tangganya
sendiri. Undang-undang ini cenderung menghidupkan pola sentralisasi yang ada
pada zaman Orde Baru tersebut, bahwa kewenangan yang mutlak dalam
penyelenggaraan pemerintahan daerah ada pada pemerintah pusat dan juga
pemerintah daerah provinsi. Undang-undang ini juga sedikit demi sedikit
menghilangkan konsep otonomi daerah yang mulai diperkenalkan sejak awal masa
reformasi. Karena pada saat roses pelaksanaan konsep otonomi daerah yang
hamper 10 (sepuluh tahun) ini berjalan timbul banyak permasalahan yang ada di
daerah seperti banyak kepala daerah yang terkena kasus korupsi, timbul juga rajaraja kecil yang ada di daerah yang posisi Gubernur saat itu hanya sebagai wakil
pemerintah pusat yang ada di daerah saja tanpa memiliki kewenangan yang jelas
dalam mengawasi jalannya pemerintahan daerah Kabupaten/Kotamadya.
Proses pembentukan sampai disahkannya UU pemerintahan yang baru Nomor 23
Tahun 2014 ini menimbulkan suara pro dan kontra dikalangan pemerintah pusat
dan juga pemerintah daerah. Pemerintah Pusat beralasan lahirnya UU ini bukan
semata-mata untuk menghidupkan kembali konsep sentralistis yaitu kewenangan
pemerintah pusat dan pemerintah daerah provinsi lebih besar dalam mengatur
penyelenggaraan urusan pemerintahan yang ada di daerah Kabupaten/Kotamadya.
Tetapi untuk mengurangi dominasi atau peran yang terlampau jauh oleh Bupati/
Walikota dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan di daerah. Reaksi berbeda
dikemukakan oleh para Bupati/Walikota yang ada di Indonesia. Menurut Bupati
Tanjab Barat, Usman Ermulan yang dikutip dari harian Info Jambi, beliau
!74
35
http://infojambi.com/pemerintahan/14917-usman-ermulan-minta-tinjau-ulang-pelaksanaan-uu-pemda.html
!75
36
Mahasiswa Jurusan Ilmu Pemerintahan, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Lampung. Saat ini
aktif dalam kepengurusan LABPOLOKDA di bidang kajian.
37
Abdul Malik Gismar dkk, Menuju Masyarakat yang Cerdas dan Pemerintahan yang Responsif(Laporan
Eksklusif Indonesia Governance Index 2012), Jakarta, Kemitraan Bagi Pembaruan Tata Pemerintahan(The
Partnership For Governance Reform), 2013, hal.34.
!76
Transparansi dan good governance merupakan satu kesatuan utuh yang saling koeksitensi. Good governance disebut sebagai pemerintahan yang baik jika memenuhi
prinsip transparan, sebaliknya transparansi merupakan sebuah keharusan untuk
mencapai good governance.
Arifin Tahir, 2011, Kebijakan Publik dan Transparansi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, Jakarta :
Pustaka Indonesia Press.
39
Monika Baur & Marcia Grimes, 2012, What Is Government Transparency? ; New Measures and Relevance
for Quality Government, Goteburg : University of Gothenburg.
!77
40
Stephan G. Grimmelikhuijsen & Albert J. Meijer The Effects of Transparency on them Perceived
Trustworthiness of a Governmen Organization Evidence from an Online Experiment, Journal of Public
Administration Research and Theory Advance Access published November 5, 2012
!78
!79
Collaborative Transparency
Konsep transparansi merupakan konsep yang booming bersamaan dengan
pelaksanaan good governance di berbagai negara. Konsep transparansi ini
merupakan konsep yang lahir dari landasan filosofi bahwa pemerintahan yang
demokratis adalah pemerintahan yang memilki keterbukaan informasi publik.
Gagasan terkait urgensi transparansi juga sering di kutip dalam kongres di
Washington, yang menyebutkan bahwa pemerintahan yang populer tanpa ada
!80
41
Archon Fung, Mary Graham & David Weil, 2007, Full Disclosure : The Politics, Perils and Promise of
Targeted Transparency, New York : Cambridge University Press
!81
Simpulan
Referensi
Baur, Monika & Grimes, Marcia. 2012. What Is Government Transparency? ; New
Measures and Relevance for Quality Government. Goteburg : University of
Gothenburg.
Fung, Archon dkk. 2007. Full Disclosure : The Politics, Perils and Promise of
Targeted Transparency. New York : Cambridge University Press.
!82
Pendahuluan
Era reformasi sering digunakan untuk membatasi masa-masa kelam demokrasi di
Indonesia dan dijadikan momentum bersejarah terhadap lahirnya orde reformasi.
Pada saat itu salah satu fenomena yang terjadi adalah gelombang demokratisasi
yang sangat kuat, setidaknya terdapat dua isu besar yang menjadi tuntutan
reformasi dibidang politik. Pertama, perubahan sistem kepartaian dimana pada
masa orde baru hanya ada tiga peserta yang memiliki kesempatan untuk mengikuti
pemilihan umum yaitu Golkar, PDI dan PPP menjadi sistem partai banyak. Kedua,
diberlakukannya otonomi daerah sebagai salah satu tuntutan reformasi melalui UU
No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Konsekuensi berlakunya undang
undang tersebut adalah semakin terbukanya keran demokrasi di tingkat lokal. Hal
ini penting mengingat penyelenggaraan pemerintahan daerah membutuhkan
legitimasi politik yang kuat, sesuai nilai dan semangat demokrasi yang
memposisikan kedaulatan berada di tangan rakyat.
!83
!84
masyarakat adalah postur APBD yang tidak proporsional antara anggaran publik
dengan anggaran aparatur. Implikasinya, pembangunan didaerah tidak sesuai
dengan harapan dan janji-janji politik elit saat pemilu dan pilkada. Banyak
pembangunan yang mandek dan berjalan tidak sesuai dengan harapan masyarakat.
Pelembagaan politik di DPRD pun tidak sesuai harapan masyarakat, oleh karenanya
partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah menjadi suatu
yang mutlak.
!85
Undang-Undang Pemda
Ruang Partisipasi
Masyarakat dalam
Undang-Undang Nomor 22
dan masyarakat.
Tahun 1999
!86
R u a n g P a r t i s i p a s i Pasal 139
M a s y a r a k a t d a l a m (1) Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan atau
Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004
Perda.
(2) Persiapan pembentukan, pembahasan, dan pengesahan
rancangan Perda berpedoman kepada peraturan perundangundangan.
R u a n g P a r t i s i p a s i Pasal 354
M a s y a r a k a t d a l a m (1) Dalam penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, Pemerintah
Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2014
!87
32/2004, ruang partisipasi masyarakat juga masih bersifat fasif dan terbatas pada
tugas DPRD dalam perumusan peraturan daerah semata. Ketiga, pada UU 23/2014
ruang partisipasi masyarakat sudah memiliki pola dan cenderung bersifat aktif,
dimana pemerintah daerah disyaratkan mendorong partisipasi masyarakat berupa
aktifitas, cakupan, dan bentuk partisipasi yang sudah terpola dan
terarah.Perubahan UU Pemerintahan Daerah tersebut menunjukkan adanya
penyempurnaan partisipasi masyarakat, namun demikian belum ada jaminan
pemerintahan daerah akan berkomitmen dalam penerapannya.
Penutup
Sebagai bentuk penyempurnaan penyelenggaraan pemerintahan daerah,
termuatnya ruang partisipasi masayarakat dalam UU 23/2014 secara khusus dalam
Bab tersendiri menunjukkan adanya peluang penguatan partisipasi masyarakat
dimasa yang akan datang. Namun demikian ketentuan tentang partisipasi
masyarakat masih bersifat fleksibel dan belum tegas, sehingga dalam
penerapannya merlukan dukungan beberapa aspek sebagai berikut: (1) adanya
proses pemilu dan pilkada daerah yang fair sehingga menghasilkan kepala daerah
dan anggota DPRD benar-benar merakyat dan terbuka pada rakyat; (2) adanya
political will dari kepala daerah untuk menyiapkan perangkat peraturan yang
mendorong partisipasi masyarakat; (3) adanya kemauan kepala daerah dan DPRD
untuk memfasilitasi terbentuknya kelompok-kelompok masyarakat sebagai social
control; (4) adanya social movement kelompok masyarakat sipil yang independen
dan terbuka; serta (5) adanya dukungan dari media, dalam memberikan akses
informasi bagi masyarakat secara luas.
!88
!89
bebas, sehingga produk dari negara Asean bebas masuk ke negara anggota lainnya.
Ketentuan tersebut menciptakan persaingan yang kemudian mengukur daya saing
produk. Produk pertanian misalnya, ketika Indonesia akan memprioritaskan pada
jenis pangan tertentu untuk tujuan ekspor maka akan terkait kebijakan
pemerintah daerah mengenai pertanian.
Hal yang telah disepakati pemerintah pusat dengan negara lain mengenai
kerjasama dengan negara lain, tentu saja dalam implementasinya akan terkait
pemerintah daerah. Demikian juga kesepakatan MEA, kunci keberhasilan
sesungguhnya adalah kesiapan pemerintah daerah khususnya di level kota/
kabupaten. Undang-Undang Pemerintahan Daerah telah memberikan ruang bagi
pemerintah daerah, untuk melakukan kerjasama dengan pemerintah daerah, NGO,
kelompok bisnis dari negara lain.
Landasan kerja sama daerah terdapat pada UU Pemerintah Daerah No 23 tahun
2014 pasal 363 bahwa kerja sama dapat dilakukan oleh daerah dengan lembaga
atau pemerintah daerah di luar negeri sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan. Kerjasama dengan pihak luar negeri ini tidak menjadi hal
yang wajib, sebagaimana kerjasama antardaerah dalam lingkup internal.
Pasal 367 menjelaskan bahwa kerja sama daerah dengan lembaga dan/atau
pemerintah daerah di luar negeri meliputi pengembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi;
pemerintahan; promosi potensi daerah; dan kerja sama lainnya yang tidak
bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan dilaksanakan
setelah mendapat persetujuan pemerintah pusat.
Sebelumnya, pra tahapan penandatangan perjanjian internasional, daerah harus
mengikuti mekanisme internal daerah yaitu adanya pendapat dan pertimbangan
DPRD kepada pemerintah daerah terhadap rencana perjanjian internasional di
daerah serta adanya persetujuan DPRD terhadap rencana kerjasama internasional
!90
yang dilakukan oleh pemerintah daerah. Selain itu juga berkoordinasi dengan
Departemen Luar Negeri dan pemerintah pusat.42
Demikian proses globalisasi, para aktor internasional juga meluas tidak hanya
melingkupi negara (state actors) saja, meluas pada aktor-aktor selain negara (nonstate actors) seperti organisasi internasional, LSM, perusahaan multinasional
(MNCs), media, pemerintah daerah, kelompok-kelompok minoritas, bahkan
individu.
Beragam aktor dalam hubungan dan kerjasama luar negeri di samping membuat
proses pengambilan keputusan semakin kompleks juga membuka peluang bagi
pemantapan diplomasi Indonesia. Kajian intermestik yang mempertemukan faktor
internasional dan domestik telah secara eksplisit terdapat dalam yang akan
menjadi landasan hukum desentralisasi. Selanjutnya, aturan teknis dalam
implementasinya perlu dijabarkan kembali dalam aturan menteri, ataupun
pedoman teknis, dan perda.
Telaah ini mengharapkan, ada sinergi peran ide dan kepentingan dari para aktor
domestik maupun internasional dalam
kebijakan model.
Sedangkan peran kepentingan aktor sangat berpengaruh dalam proses politik, yaitu
kompetisi diantara para koalisi advokasi dengan tujuan untuk mengarahkan
keputusan agar sesuai dengan kepentingannya, yang didasari oleh konsensus ide/
keyakinan yang dimilikinya. Dengan demikian dalam pendekatan intermestik faktor
ide dan kepentingan aktor menjadi sama-sama penting. Hal inilah yang
membedakan pendekatan/model intermestik dengan model-model teori lainnya,
karena sebagian memahami perubahan kebijakan hanya sebagai proses perjuangan
Panduan Umum Tata Cara Hubungan dan Kerjasama Luar Negeri Oleh Pemerintah Daerah Revisi
Tahun 2006. Departemen Luar Negeri Republik Indonesia 2006 (Belum ada panduan terbaru yang
mengacu kepada UU Pemerintahan Daerah yang baru).
42
!91
kepentingan aktor domestik atau internasional saja, dan sebagian yang lain
memahami perubahan kebijakan sebagai proses transmisi ide/pengetahuan
sehingga kalaulah terjadi perubahan kebijakan domestik pasti melibatkan interaksi
transnasional.43
Jaringan kerjasama pemerintah daerah dan pihak luar negeri juga menegaskan
adanya diplomasi pararel. Stephane Paquin menjelaskan bahwa paradiplomacy
when a mandate has been granted to official representatives of a sub-state
government in order to negotiate with international actors. Jose Luis Rhi Sausi
menyatakan parallel diplomacy as the participation of non-central government
in iternational relations by establishing ad hoc contacts with private and public
entities abroad,with the objective of promoting socioeconmic and cultural affairs
as well as any other external dimension of its constitutional competencies.44
Diplomasi pararel memberikan arahan bagi pemerintah lokal untuk melakukan
negosiasi dengan aktor internasional economic and trade policy:the promotion
and attraction of foreign investment and decision making centers;the promotion
of exports, science and technology, energy,environment, education, immigration
and persons mobility, multilateral relations, international development and
human rights, are all part of the main issues of parallel diplomacy.45
Kerjasama pemerintah daerah dengan pihak luar negeri masih perlu dioptimalkan.
Data Direktorat Penataan Perkotaan Ditjen Bina Pembangunan Daerah, jumlah
daerah yang telah menjalankan kerjasama sister city sampai tahun 2013 adalah
43
Dyah Estu Kurniawati. Pendekatan Intermestik Dalam Proses Perubahan Kebijakan: Sebuah
Review Metodologis. http://ejournal.umm.ac.id/index.php/jshi/article/ view
File/1519/1623. Diakses pada 20 April 2015.
44
Maria Eugenia Cruset (editor). 2011. Migration and New International Actors: An Old
Phenomenon Seen With New Eyes. Penerbit Cambridge Scholars Publishing.
45
Ibid.
!92
46
Sister City, Peluang Emas bagi Pembangunan di Daerah Jumat, 21 Oktober 2014. http://
www.bangda.kemendagri.go.id/webbangda/index.php?page=38. Diakses pada 20 April 2015.
47
Sister City, Peluang Emas bagi Pembangunan di Daerah. Jumat, 21 Oktober 2014 15:38 WIB.
http://www.bangda.kemendagri.go.id/webbangda/index.php?page=38. Diakses pada 20 April 2015.
48
Takdir Ali Mukti. Tinjauan Yuridis dan Teoritis Terhadap Kerjasama Internasional Daerah Otonom.
U n i v e r s i t a s M u h a m m a d i y a h Yo g y a k a r t a . h t t p : / / w w w. a c a d e m i a . e d u / 2 3 0 7 9 0 9 /
Tinjauan_Yuridis_Dan_Teoritis_Terhadap_Kerjasama_Internasional_Daerah_Otonom. Diakses pada 20
April 2015.
!93
Pendahuluan
Ada tiga konsep yang terkait satu dengan yang lain jika kita membahas masalah
Pemerintahan Daerah di Indoneia yakni demokrasi, desentralisasi dan negara
kesatuan Republik Indoesia.
!94
!95
ingin
Maka, ketika UU Nomor 22/1999 diganti dengan UU Nomor 32/2004, dan sekarang
diganti dengan UU no. 23 Tahun 2014 yang dirivisi lagi dengan UU N. 2 tahun 2015,
munculah banyak kritik dan keberatan dari berbagai kalangan, khususnya aktoraktor di tingkat lokal. Aturan yang baru ini dianggap membawa agenda sentralisasi
atau penyeragaman baru, dengan dibungkus pada agenda kerangka negara
kesatuan. Semangat keragaman menjadi menipis, dan pengakuan terhadap
karakteristik yang khas dari suatu daerah semakin menghilang. Atas berbagai kritik
ini, berkembanglah wacana tentang bagaimana sebaiknya desentralisasi yang ideal
untuk kondisi Indonesia mendatang desentralisasi yang seragam layaknya dalam
negara kesatuan atau desentraliasi yang tidak seragam disesuaikan dengan kondisi
daerah?
Dalam UU yang terbaru tersebut termuat 411 pasal termasuk lampiran yang tidak
terpisahkan. Ada hal yang manarik bahwa dalam undang-undang diatur bahwa ada
kewenangan obsulut, konkuren dan juga pilihan yang diperjelas dalam lampiran. Di
samping itu dalam penjelasan dinyatakan bahwa Pemberian otonomi seluas luasnya
kepada daerah dilaksanakan berdasarkan prinsip negara kesatuan. Dalam negara
kesatuan kedaulatan hanya ada pada pemerintahan negara atau pemerintahan
nasional dan tidak ada kedaulatan pada daerah. Oleh karena itu, seluas apapun
otonomi yang diberikan kepada Daerah, tanggung jawab akhir penyelenggaraan
pemerintahan tetap ada ditangan Pemerintah Pusat. Untuk itu Pemerintah Daerah
!96
desentralisasi masih
menjadi pemanis saja, karena dibatasi hal-hal yang boleh dilakukan dan yang tidak
boleh dilakukan pemerintah daerah. Seharus pemerintah pusat tidak bersifat
demikian, tapi menyerahkan seluruh urusan kepada daerah, kecuali kewenangan
obsolut. Kalau mau desentralisasi berjalan sesuai dengan kemapuan dan juga
aspirasi yang berkembang di masyarakat.
Di samping hal di atas, maka dalam lampiran dari undang-undang pemerintahan
yang baru jelas menggambarkan urusan-urusan yang menjadi kewajiban
pemerintah pusat, pemerintah
!97
Dengan desentralisasi yang berbeda ini urusan pemerintah yang pilihan dapat
disikapi oleh Pemerintah Daerah dengan mengidentifikasikan potensi dan
karakteristik daerahnya masing-masing, dan tidak perlu berkecenderungan bahwa
seluruh bidang urusan harus dilaksanakan oleh daerahnya. Sebuah daerah yang
tidak memiliki wilayah laut, tentu tidak layak membentuk Dinas Perikanan dan
Kelautan. Demikian pula suatu daerah yang bercirikan kota besar, bahkan
metropolitan, pembentukan Dinas Kehutanan dan Perkebunan adalah hal yang
tidak perlu. Jika setiap daerah tidak memiliki orientasi untuk membentuk
kelembagaan secara maksimal, maka desentralisasi asimetris berdasarkan jenisjenis urusan akan terbangun dengan sendirinya.
Jika kita lihat pada fakta politik, maka desentralisasi yang berbeda sesungguhnya
juga sudah terjadi di Indonesia dalam bentuk variasi otonomi yang diberikan
kepada daerah. Saat ini, terdapat empat bentuk otonomi daerah, yakni: 1)
otonomi luas untuk kabupaten/kota secara umum, 2) otonomi terbatas untuk
!98
provinsi, 3) otonomi khusus untuk Papua ( UU No. 21/1999) dan Nangroe Aceh
Darussalam (UU No. 18/1999 jo. UU No. 11/2006), serta 4) otonomi khusus Jakarta
sebagai Ibukota Negara (UU No. 29/2007). Ketika beberapa bentuk otonomi
dijalankan secara bersamaan seperti inilah, maka desentralisasi berbeda telah
terjadi.
!99
!100
Mulai mengabdi di jurusan Ilmu Pemerintahan sejak tahun 2006. Pernah menjadi
mahasiswa berprestasi Unila. Menyelesaikan S1 dari Jurusan Ilmu Pemerintahahan
tahun 2003. S2 bidang ilmu politik diperoleh tahun 2005 dari Universiti Kebangsaan
Malaysia. Saat ini sedang menyelesaikan program s3 di bidang Geografi Politik di
Leeds University, Inggris. Tulisannya tersebar di media nasional seperti Media
Indonesia dan Koran Sindo, Kolumnis tetap di Lampost ini adalah anggota dewan
pakar lampung post.
Budi Kurniawan
Studi s1 di bidang Ilmu Pemerintahan diselesaikan di UGM pada tahun 2005.
Mengabdi di Jurusan Ilmu Pemerintahan UNILA sejak tahun 2006. Tahun 2010
memperoleh beasiswa Australian Development Scholarship (ADS) untuk mengambil
gelar master dalam bidang kebijakan Publik di Crafword School of Public Policy,
ANU, di Canberra Australia. Tulisannya tersebar di media nasional seperti the
Jakarta Post dan Republika. Saat ini diamanahi Jabatan Kepala Laboratorium
Politik Lokal dan Otonomi Daerah FISIP UNILA.
Darmawan Purba
Beliau adalah Dosen Jurusan Ilmu Pemerintahan FISIP Unila, Terlahir di Aceh
Tamiang 1 Juni 1981 menempuh studi S1 di Jurusan Ilmu Pemerintahan Unila, dan
melanjutkan Program Master di Kampus yang sama. Selain mengajar beliu aktif
melakukan survey-suvei opini public dan berbagai riset nasional.
Denden Kurnia Drajat
Beliau ada ketua Jurusan Ilmu Pemerintahan. Pria kelahiran 29 Juli 1960 ini
menyelesaikan studi S1 di Universitas Padjajaran kemudian melanjutkan S2
medapatkan gelar magister di Universitas yang sama. Menjadi dosen di Juruan
Pemerintahan UNILA sejak tahun 1990.
!101
Meraih gelar Doktor bidang Ilmu Pemerintahan dari Universitas Padjajaran Bandung
tahun 2012. Gelar master bidang komunikasi Pembangunan dari IPB. Ibu super
sibuk kelahiran tahun 1969 ini adalah mahasiswa s1 terbaik di Jurusan
Pemerintahan pada angkatannya. Mengajar di Jurusan Pemerintahan sejak tahun
1990.
Hertanto
Menyelesaikan s1 dari jurusan Ilmu Pemerintahan Undip dan s2 dari Universitas
Gadjah Mada dalam bidang ilmu politik. Pernah menjabat menjadi Dekan FISIP
UNILA. Tahun 2013 beliau menyelesaikan gelar Philosophy of Doctor (Ph. D) di
bidang Ilmu Politik dari Universiti Kebangsaan Malaysia, menjadi dosen di Jurusan
Pemerintahan FISIP UNILA sejak tahun 1986.
Himawan Indrajat
Pria kelahiran kota Purwokerto tahun 1983 ini menyelesaikan s1 dari jurusan Ilmu
Politik Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto pada tahun 2006, dan kemudian
melanjutkan S2 jurusan Ilmu Politik di Universitas Indonesia serta
menyelesaikannya pada tahun 2008. Aktivitasnya sekarang menjadi dosen jurusan
Ilmu Pemerintahan FISIP Universitas Lampung, sementara dalam kegiatan
kemasyrakatan aktif dalam organisasi kepemudaan Pemuda Muhammadiyah
provinsi Lampung.
Robi Cahyadi
Dosen Jurusan Ilmu Pemerintahan yang concern pada kajian ilmu politik dan
Pemerintahan. Menyesaikan s1 dalam bidang Ilmu Pemerintahan di Universitas
Padjajaran Bandung. Setelah dari Bandung beliau terbang ke Jogjakarta untuk
mengambil gelar s2 di bidang Ilmu Politik di UGM dengan tema research tentang
voting behavior. Saat ini sedang menempuh pendidikan Doktor dalam bidang ilmu
Politik di Universitas Padjajaran Bandung. Beliau adalah pengamat politik yang
pendapatnya banyak dikutitip media lokal seperti Lampung Post, Radar Lampung
dan Tribun. Menjadi dosen di JIP UNILA sejak tahun 2005.
!102
Suwondo
Lahir di Ketapang Sungkai pada tahun 1959. Memperoleh gelar S1 Jurusan Ilmu
Pemerintahan lulus tahun 1984. Meraih gelar master of art dari Universitas
Indonesia tahun 1991. Bapak dari tiga orang anak dan kakek dari empat orang cucu
adalah peraih Doktor Politik Pertama di Provinsi Lampung yang diselesaikannya
pada tahun 2002. Pernah menjabat ketua KPU Provinsi Lampung tahun 2003-2009.
Ketua KKN UNILA 2008-2013. Ketua tenaga ahli Gubernur Lampung 2011-2014
Syafarudin
Meraih gelar s1 di Jurusan Ilmu Pemerintahan FISIP UNILA. Meraih gelar MA dari
Universitas Gadjah Mada. Tulisannya tersebar di media nasional dan lokal. Pernah
menjabat Ketua Himpunan Mahasiswa Pasca UGM. Menjadi dosen di Jurusan
Pemerintahan UNILA sejak tahun 2005. Menjadi ketua Labpolotda JIP UNILA dari
tahun 2011 hingga tahun 2015.
Syarief Makhya
Meraih galar Doktor dalam bidang Ilmu Pemerintahan dari Universitas Padjajaran
Bandung 2013. S2 dibidang kebijakan Publik ditempuh di Universitas Brawijaya
Malang. Pria kelahiran Bandung tahun 1959 ini memperoleh gelar s1 Ilmu
Pemerintahan dari Universitas Padjajaran Bandung. Pernah menjabat menjadi
wakil dekan bidang akademik di FISIP UNILA. Beliau juga merupakan aktivis sosial
di PW Muhammadiah Lampung. Tulisan beliau tersebar di media nasional dan lokal.
Andri Marta
Pria kelahiran Bandar Lampung, 4 Maret 1990, merupakan putra pasangan bapak
toni dan ibu Dra. Rosiaani Lakhan Meraih gelar S1 di Jurusan Ilmu Pemerintahan
FISIP UNILA. Meraih gelar Magister Ilmu Pemerintahan pada Tahun 2015. Pernah
beberapa kali mengikuti pelatihan dan juga seminar baik di tingkat lokal maupun
nasional. Sejak awal April 2015 menjadi Dosen Tetap di Jurusan Ilmu Pemerintahan
FISIP UNILA.
Melyansyah
Seorang pria yang lahir pada tanggal 20 Mei 1995 di Bandar Dewa sebuah desa
terpencil di Kabupaten Tulang Bawang Barat. Merupakan putra pertama dari
pasangan Bapak Sobri Abdullah dan Ibu Fatimah. Dalam kegitan sehari-hari aktif
dalam menganalisis kajian politik dan pemerintahan dan kebetulan sekarang
sedang belajar sebagai peneliti muda di Laboratorium Politik Lokal dan Otonomi
Daerah FISIP Unila. Pernah beberapa kali aktif dalam forum diskusi politik dan
Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA
!103
pemerintahan, terakhir mengikuti diskusi dan debat dalam Politic and Governance
Day 2015 (POLGOV Day) di Universitas Gajah Mada.