Anda di halaman 1dari 105

Proceeding Seminar Nasional

"UU Pemda: Solusi atau Masalah Yang Baru?"


Bandar Lampung, 30 April 2015

Desentralisasi atau
Resentralisasi ?
Tinjauan Kritis Terhadap UU NO 23/2014

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

!2

Selamat membaca

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

!1

Arah Politik Pemerintahan UU NO 23/2014


Oleh: Ari Darmastuti1
Pengantar
Pengelolaan pemerintahan daerah di Indonesia telah mengalami pasang surut
sejarah yang panjang, dimulai sejak awal kemerdekaan (Undang-Undang nomor
22/1948) sampai saat ini (Undang-Undang nomor 23/2014), dengan berbagai sifat
pengaturan yang berbeda-beda. Perbedaan sifat pengaturan pemerintahan daerah
tersebut sangat tergantung pada arah politik pemerintahan yang dibentuk, yaitu
arah yang ingin memberi keleluasaan gerak kepada unit pemerintahan di tingkat
bawah atau justru pengelolaan pemerintahan sentralistis dan seragam pada tingkat
bawah. Masalah arah politik pengaturan pemerintahan daerah ini telah menjadi
pokok pangkal keributan yang tidak ada habisnya dalam sejarah otonomi daerah
di Indonesia.
Secara alamiah pemerintah daerah tentu menginginkan wewenang dan sumberdaya
yang cukup untuk dapat melaksanakan fungsi-fungsi yang mesti diembannya, tetapi
pemerintah pusat secara alamiah memliki kecenderungan untuk memiliki
kewenangan yang agar
kepentingan bangsa.

dapat leluasa melaksanakan keinginan strategis untuk

Dalam beberapa diskusi dan debat akademik yang penulis

hadiri dan ikuti, keinginan pemerintah pusat untuk memiliki kewenangan cukup
tersebut khususnya dinilai lebih didorong oleh apa yang oleh Nordholt dan Klinken
dinyatakan bahwa reformasi di Indonesia telah menyebabkan runtuhnya
otoritarianisme digantikan pemerintahan demokratis, tetapi juga telah
mengakibatkan hilangnya ketertiban digantikan ketidaktertiban2.

Dengan alasan

bahwa otonomi daerah telah menghasilkan raja-raja kecil di daerah serta


munculnya ketidakpatuhan kabupaten/kota terhadap pemerintah pusat dan
pemerintah provinsi, kelihatannya undang-undang terbaru tentang pemerintahan

1 Ketua Program Studi dan dosen Magister Ilmu Pemerintahan, FISIP, Universitas Lampung

Henk Schulte Nordhold dan Geryy van Klynken. Renegotiating Boundaries: Local Politics
in Post Suharto Indonesia. Leiden: KTILV Press. 2007: 1
2

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

!2

daerah meletakkan kembali dasar-dasar sentralisme dalam pengaturan tentang


pemerintahan daerah di Indonesia.
Paper pendek ini merupakan analisis singkat dan kritis tentang arah politik
pemerintahan di Indonesia versi Undang-Undang nomor 23/2014 tentang
Pemerintahan Daerah. Secara khusus paper ini menyoroti beberapa aspek penting
dalam pertimbangan filosofis, dalam konsep serta beberapa pasal kritis dalam
batang tubuh UU terbaru.

Paper diakhiri dengan simpulan pendek serta solusi

yang mungkin diambil guna perbaikan substansi pengaturan pemerintahan di


Indonesia di masa yang akan datang.

Hilangnya Semangat Otonomi dalam UU 23/2014


Penulis mencatat bahwa semangat otonomi daerah telah hilang dalam
pertimbangan filosofis munculnya Undang-Undang nomor 23/4014.

Dalam dasar

pertimbangan Undang-Undang, prinsip otonomi daerah (nyata dan bertanggungjawab versi UU 5/1974 maupun otonomi luas versi UU 22/1999) tidak disebutkan
atau hilang dalam pertimbangan UU.

Karena prinsip otonomi sama sekali tidak

disebut dalam pertimbangan UU, maka penyebutan Daerah Otonom menjadi tidak
memiliki dasar filosofis karena otonomi daerah bukan prinsip yang menjadi dasar
pengaturan pemerintahan daerah.
menjadi dasar hak

Pernyataan bahwa urusan konkurenlah yang

otonomi daerah tidaklah

kuat karena bukan urusan yang

menentukan otonomi, tetapi jenis otonomi daerahlah yang menjadi dasar apakah
daerah memiliki wewenang yang sungguh otonom atau tidak.

Apalagi urusan

konkuren sendiri sudah ditentukan dengan rinci dalam UU, hal ini semakin
memberi indikasi kuat tentang arah dihilangkannya otonomi daerah dalam UU ini.
Hilangnya semangat otonomi dalam Undang-Undang nomor 23/2014 sangat
mengherankan karena setelah sentralisme model orde baru dinilai gagal
menyelesaikan isu ketidakadilan antara Timur dan Barat, antara Jawa dan luar

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

!3

Jawa, maka otonomi luas di tingkat kabupaten/kota dinilai lebih sesuai dengan
tuntutan keadilan pembangunan.

Peletakan kewenangan besar di tingkat Pusat

dan provinsi justru membuat model pemerintahan daerah semakin jauh dari
idealisme memberikan pelayanan yang lebih dekat kepada masyarakat. Bagaimana
kabupaten/kota akan dapat memberikan pelayanan jika sumberdaya dikuasai Pusat
dan Daerah?

Hilangnya otonomi di tingkat kabupaten/kota juga akan memberi

potensi besar terhadap gagalnya pengelolaan pemerintahan desa karena


kabupaten/kota tidak akan memiliki

sumberdaya memadai untuk bisa

mengkoordinir dan melaksanakan fungsinya secara memadai untuk mengawasi


pelaksanaan UU Desa.
Selain hilangnya semangat otonomi dalam pengaturan pemerintahan daerah dalam
UU ini, penulis mencatat aspek lain yang cukup ganjil dari dasar penggantian UU
32/2004. Dalam dasar pertimbangan disebutkan bahwa UU nomor 32/2004 tentang
Pemerintahan Daerah dinilai tidak sesuai lagi dengan perkembangan keadaan,
ketatanegaraan, dan tuntutan penyelenggaraan pemerintahan daerah.

Perlu

dikemukakan bahwa belum pernah ada debat akademis yang serus tentang
kelemahan UU 32/2004, khususnya menyangkut prinsip otonomi daerah di
Indonesia. Satu-satunya hal yang menjadi debat publik yang cukup serius adalah
diperlukannya secara tegas

pemisahan pengaturan pemerintahan daerah,

pemerintahan desa dan Pilkada. Terlihat UU 23/2014 justru menguatkan keinginan


politik kelompok tertentu di parlemen yang ingin menguasai proses pilkada agar
hasilnya seragam dengan kehendak koalisi di DPR. Dengan keyakinan bahwa koalisi
tertentu akan menguasai pilkada maka kemudian kemudian terjadi rekayasa lebih
lanjut untuk mengatur agar sistim pemerintahan daerah kembali mengarah ke
sentralisasi dengan melemahkan azas otonomi daerah yang luas menjadi azas
otonomi terbatas.
Hilangnya semangat otonomi bukan hanya bahwa otonomi daerah tidak disebutkan
dalam dasar pertimbangan, tetapi juga dalam ketentuan umum Pasal 1 (12) yang
mengemukakakn konsepsi Daerah Otononom sebagai kesatuan masyarakat hukum

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

!4

yang......berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan


kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi
masyarakat dalam sistim NKRI. Terdapat perubahan cukup signifikan dari
mengatur dan mengurus urusan rumah-tangganya sendiri menjadi mengatur dan
mengurus urusan pemerintahan.

Hal ini menunjukkan bahwa daerah kehilangan

independensi rumah tangga dan aspek kekuasaan dalam rumah tangga, menjadi
sebatas urusan pemerintahan.

Daerah otonom bukan unit otonom lagi (baik

provinsi maupun kabupaten/kota) tetapi menjadi sekedar berwenang mengatur


urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat.
Hilangnya semangat otonomi juga terlihat lebih lanjut dalam pengaturan tentang
azas. Azas otonomi tidak disebutkan sama sekali; dan dalam ketentuan tentang
azas, yang ada hanyalah azas penyelenggaraan urusan pemerintahan (pasal 5 ayat
(4)).

Dalam pasal ini disebutkan dengan jelas bahwa penyelenggaraan Urusan

Pemerintahan dilaksanakan dengan azas Desentralisasi, Dekonsentrasi dan Tugas


Pembantuan.

Sebagaimana diketahui bahwa Undang-Undang ini telah mengatur

dengan rigid apa saja Urusan Pemerintahan konkuren yang dilaksanakan bersama
antara Pemerintah Pusat, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota.
Penyebutan 5 (lima) urusan strategis nasional (agama, hukum, luarnegri,
pertahanan keamanan dan keuangan) sebagai

urusan absolut justru menjadi

dasar bagi kecurigaan penulis bahwa kemudian istilah strategis digunakan


sebagai argumen bagi penguasaan sumberdaya yang selama ini telah diserahkan
kepada daerah untuk pembiayaan pelaksanaan urusan otonomi.
Ketentuan lain yang cukup membingungkan dalam pengaturan pemerintahan
daerah dalam Undang-Undang ini adalah bahwa untuk melaksanakan pemerintahan
daerah, Pemerintah Pusat menetapkan kebijakan sebagai dasar dalam
menyelenggarakan Urusan Pemerintahan. Dalam penjelasan pasal tentang hal ini,
kebijakan disebutkan bahwa yang dimaksud kebijakan adalah pedoman
penyelenggaraan urusan konkuren baik yang untuk kewenangan Pemerintah Pusat
maupun Daerah. Meski demikian, tidak jelas apa yang dimaksud sebagai pedoman

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

!5

tersebut karena tidak disebutkan lebih lanjut, apakah berupa Peraturan


Pemerintah, Keputusan Presiden, peraturan Menteri, atau yang lainnya.

Dalam

Undang-Undang sebelumnya hal ini disebutkan dengan jelas. Ketidakjelasan justru


dapat menimbulkan spekulasi yang merugikan untuk kepastian pengaturan
hubungan kewenangan dan keuangan antara Pusat dan daerah.
Skenario lebih lanjut bagi hilangnya semangat otonomi daerah dalam UndangUndang ini adalah ketentuan dalam Pembagian urusan antara Pemerintah Pusat
dan pemerintah daerah.

Dalam Undang-Undang disebutkan terdapat tiga jenis

urusan, yaitu absolut, konkuren dan pemerintahan umum.

Dalam ketentuan

tentang apa yang menjadi urusan Pemerintahan Pusat, provinsi dan kabupaten,
maka jelas daerah akan kehilangan kontrol sama sekali atas sumberdaya yang
berada dalam posisi lintas daerah.

Semua sumberdaya atau masalah yang

bersifat lintas daerah menjadi kewenangan sepenuhnya tingkat pemerintahan di


atasnya.

Sepintas pengaturan seperti ini terlihat ideal. Tetapi pada periode

sebelumnya dan saat ini, daerah justru sering diminta pertanggung-jawaban dan
dinilai tidak bertanggung-jawab terhadap masalah yang sebenarnya bukan
kewenangannya, tetapi terjadi di daerahnya. Hal ini merupakan konsekuensi dari
kondisi yang menunjukkan bahwa tidak ada urusan yang sama sekali tidak
menyangkut kabupaten/kota atau provinsi karena daerahlah yang menjadi lokasi
dari setiap urusan dan masalah.

Menghilangkan sama sekali daerah di tingkat

bawah dalam urusan yang bersifat lintas daerah justru akan menghiangkan
semangat kebersamaan dalam penyelesaian urusan yang membutuhkan koordinasi
vertikal.
Hal yang paling kontroversial dalam pengaturan Undang-Undang ini yang
menunjukkan bahwa terdapat kecenderungan sentralisme adalah pengaturan
urusan bidang kehutanan, kelautan dan energi dan sumberdaya mineral.
urusan ini

Ketiga

dibagi menjadi urusan Pusat dan Provinsi (Pasal 14 UU 23/2014).

Pengaturan seperti ini bertentangan dengan prinsip pengaturan urusan sebelumnya


yang menyatakan bahwa sumberdaya dan masalah yang diurus Pusat dan Provinsi

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

!6

adalah urusan yang bersifat lintas provinsi atau lintas kabupaten. Prinsip urusan
pemerintahan itu dianulir sendiri oleh pembuat Undang-Undang dalam ketentuan
Pasal 14.

Bagaimana dengan sumberdaya kelautan, perikanan dan energi dan

sumberdaya mineral yang hanya ada dalam satu kabupaten?

Bagaimana dengan

hak masyarakat kabupaten/kota bersangkutan?


Penyeragaman urusan pemerintahan daerah eperti formula yang digariskan
dalam Undang-Undang ini juga tidak sesuai dengan
secara nyata berbeda satu dengan lainnya.

kemampuan daerah yang

Riset penulis menunjukkan bahwa

kemampuan daerah untuk melaksanakan fungsi lintas sektor dalam satu wilayah
provinsi sangat berbeda satu sama lain3. Untuk itu dibutuhkan formula pengaturan
urusan yang lebih mengakomodir perbedaan kemampuan antar daerah, bukan
formula yang seragam.
Penutup
Osborne dan Gaebler4 menyatakan bahwa pemerintah harus mampu melaksanakan
10 prinsip

entrepreneurial spirit.

Sementara itu World Bank5 dalam Laporan

Pembangunan tahun 1997 menyatakan bahwa pemerintah memiliki fungsi-fungsi:


(1) meletakkan dasar-dasar hukum; (2) melakukan investasi di bidang pelayanan
sosial dan infrastruktur; (3) mengadakan kebijakan yang kukuh; (4) melindungi
yang lemah; (5) melindungi lingkungan hidup. Sedangkan J.E. Anderson6,

1989,

menyatakan bahwa fungsi pemerintah ada 7 (tujuh) yaitu: ( 1) menyediakan


3 Ari

Darmastuti. 2014. Local Autonomy and Inter-Sector Performance Based Government in Lampung
Province. Journal of Government and Politics. Volume 5 Number 2 August 2014
4

David Osborne dan Ted Gaebler. 1992. Reinventing Government. Addison-Wesley Publishing Co

5 World

Bank. Laporan Pembangunan 1997.

Budi Setiyono. 2005. Birokrasi dalam Perspektif Politik dan Administrasi. Semarang: Pusat Kajian
Otonomi Daerah dan Kebijakan Publik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Diponegoro

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

!7

infrastruktur sosial; (2) menyediakan barang dan jasa kolektif; (3) menyelesaikan
konflik antar anggota masyarakat; (4) menjaga iklim persaingan; (5) melindungi
lingkungan hidup; (6) menyediakan akses minimum kepada individu terhadap
barang dan jasa; (7) menstabilkan ekonomi.
Bagaimana pemerintah akan dapat melaksanakan semua fungsi dan kewajibannya?
Jawabannya jelas, bahwa pemerintah harus memiliki sumberdaya yang memadai
untuk itu. Ketika suatu daerah, dalam Undang-Undang lebih tepatnya kabupaten/
kota, kehilangan kewenangan atas sumberdaya, maka jelas bahwa daerah tidak
akan dapat melaksanakan semua fungsi dan kewajibannya. Sungguh ironis bahwa
pembuat Undang-Undang menghilangkan semangat otonomi daerah dan keadilan
pembangunan, suatu langkah mundur dari semangat reformasi.

Daftar Pustaka
Anderson. J. E. 1989.
Darmastuti, Ari. 2014. Local Autonomy and Inter-sector Performance Based
Governance in Lampung Province. Journal of Government and Politics. Volume 5
Number 2, August 2014.
Nordhold, Henk Schulte, dan Geryy van Klynken. 2007. Renegotiating
Boundaries: Local Politics in Post Suharto Indonesia. Leiden: KTILV Press.
Osborne, David dan Ted Gaebler. 1992. Reinventing Government. AddisonWesley Publishing Co

Setiyono, Budi.

2005.

Birokrasi dalam Perspektif Politik dan Administrasi.

Semarang: Pusat Kajian Otonomi Daerah dan Kebijakan Publik, Fakultas Ilmu Sosial
dan Ilmu Politik Universitas Diponegoro
Worldbank. Laporan Pembangunan 1997.

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

!8

PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DAERAH


DALAM PERSPEKTIF UU No. 23 TAHUN 2014 7)
Oleh Syarief Makhya8)
UU No.23 Tahun 20149) tentang Pemerintahan Daerah secara resmi diberlakukan
sejak Bulan Oktober 2014, menggantikan UU 32 tahun 2004. Sejak disyahkan UU
No.23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah nyaris UU ini tidak banyak dikritisi
atau dibicarakan oleh para praktisi dan akademisi pemerintahan tentang hal-hal
yang baru dalam praktek berpemerintahan, seakan-akan tidak ada yang baru atau
bahkan nyaris tidak ada isu yang layak untuk diperbicangkan.
Jika ditilik dari latar belakang munculnya UU Pemda yang baru ini, maka
sebenaranya lahirnya UU tersebut bukan produk dari problem penyelenggaraan
pemerintahan yang mendasar, karena tidak ada isu subtanstif di era UU No.32/
2004 yang mencuat untuk diperbincangkan, tetapi lebih disebabkan alasan
ketidaksesuaian UU Nomor 32 Tahun 2004 dengan perkembangan keadaan,
ketatanegaraan, dan tuntutan penyelenggaraan pemerintahan daerah.
UU No.5/1974 bisa bertahan selama 25 tahun, UU No.22/1999 efektifnya hanya
berjalan 3 tahun, dan UU 32/2004 hanya berlangsung selama 10 tahun untuk
kemudian diganti dengan UU 23/2014. Perubahan tersebut cenderung akibat dari
7

) Disampaikan Pada Semnas tentang UU Pemerintahan Daerah : Solusi atau Masalah Baru, yang
diselenggarakkan, Lab Politik Lokal dan Otda Jur ilmu Pemerintahan, Pascasarjana MIP FISIP Unila dan
APAKSI Korwil Lampung, Kamis 30 April 2015 di Universitas Lampung.

) Pengajar Program Pascasarjana Magister Ilmu Pemerintahan (MIP) FISIP Universitas Lampung

) UU No.23 Tahun 2014, ada perubahan yaitu dengan dikeluarkannya UU No.2 Tahun 2015 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU No. 23 Tahun
2014 Tentang Pemerintahan Daerah menjadi UU. Dalam UU No.2 tahun 2015 hanya Pasal 101 dan pasal 154
yang dirubah terkait dengan Tugas dan Wewenang DPRD.

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

!9

dinamika perubahan politik yang terjadi di pemerintah Pusat. Jadi, secara


hipotesis UU No.23/2014 juga bukan produk perubahan UU pemda yang final,
potensi untuk berubah juga terbuka lebar tergantung pada dinamika dan tarik
menarik kepentingan politik di pemerintah pusat. Artinya, Indonesia sesunggunya
belum memiliki model ideal dalam mengatur proses penyelenggaraan
pemerintahan di Daerah untuk kepentingan jangka panjang.
Visi pemerintahan yang ingin dibangun dalam UU No.23 tahun 2014, yaitu dalam
penyelenggaraan pemerintahan daerah ditujukan untuk

mempercepat

terwujudnya kesejahteraan masyarakat, melalui peningkatan pelayanan,


pemberdayaan dan peran serta masyarakat, serta peningkatan daya saing daerah.
Sementara, prinsip yang dibangun dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah
yaitu demokrasi, pemerataan, keadilan dan kekhasan daerah dalam sistem NKRI
(lihat konsideran UU No.23/2014).
Namun, pertanyaan yang layak untuk diajukan, apakah visi tersebut bisa
diwujudkan? Sebagian jawaban atas pertanyaan ini secara normatif akan bisa
dilihat dari subtansi UU No.23/2014, apakah bisa menjawab dan memberikan solusi
terhadap problem implementasi otonomi daerah sekarang ini, atau justru
menimbulkan persoalan baru?
Telaah UU No. 23 Tahun 2014
Secara umum UU No. 23 Tahun2014 yang terdiri atas 411 pasal, jika dibandingan
dengan tiga UU sebelumnya (UU No.5 Tahun 1974, UU No.22 tahun 1999 dan UU No.
32 tahun 2004), UU ini jauh lebih komprehensif, rinci dan ada terobosan baru
dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah.

Dalam tulisan ini sebagian dari

potret penyelenggaraan pemerintahan daerah, akan ditelaah dari (a) Relasi


Kekuasaan Kepala Daerah dengan DPRD, (b) Distribusi Kewenangan, (c) Kebijakan
Perencanaan Pembangunan, (d) inovasi daerah (e) Akses Publik, (e) Pemerintahan
umum.

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

!10

(a) Relasi Kekuasaan


Jika dipertanyakan lembaga mana yang memiliki kewenangan untuk
mengontrol proses penyelenggaraan pemerintahan daerah? Jawabannya secara
konstitutional adalah DPRD. Namun, bagaimana meletakan fungsi pengawasan
ini dalam konstruksi penyelenggaraan pemerintahan. Dalam UU No. 23 Tahun
2014 tidak ada perubahan yang berarti atau hampir sama dengan kontruksi
yang diatur dalam UU No.32 Tahun 2004 yaitu Penyelenggaraan Pemerintahan
Daerah terdiri atas kepala daerah dan DPRD dibantu perangkat daerah.
Implikasi dari kontruski penyelenggaraan seperti tersebut yaitu fenomena
kekuasaan menjadi terintegratif. DPRD diletakan sebagai mitranya pemerintah
daerah, sehingga model yang dikembangkan adalah hubungan kerjasama,
mengurangi konflik dan mengedepankan legitimasi formal. Akibatnya, fungsi
kontrol DPRD terhadap jalannya pemerintah tereduksi dan tidak efektif.
(b) Distribusi Kewenangan
Dalam UU no 23 tahun 2014, urusan pemerintahan dibagi atas urusan absolut
yang diselenggarakan oleh Pemerintah Pusat, urusan pemerintahan umum, dan
Urusan pemerintahan konkuren yang dibagi antara Pemerintah Pusat,
Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota.

Urusan

pemerintahan absolut adalah Urusan Pemerintahan yang sepenuhnya menjadi


kewenangan Pemerintah Pusat. Urusan pemerintahan konkuren adalah Urusan
Pemerintahan yang dibagi antara Pemerintah Pusat dan Daerah provinsi dan
Daerah kabupaten/kota. Urusan pemerintahan umum adalah Urusan
Pemerintahan

yang menjadi kewenangan Presiden sebagai kepala

pemerintahan.
Untuk urusan konkuren atau urusan pemerintahan yang dibagi antara
Pemerintah Pusat dan Daerah provinsi dan Daerah kabupaten/kota dibagi
menjadi urusan pemerintahan wajib dan urusan pemerintahan pilihan. Urusan
Pemerintahan Wajib adalah Urusan Pemerintahan yang wajib diselenggarakan
oleh semua Daerah. Sedangkan Urusan Pemerintahan Pilihan adalah Urusan
Pemerintahan yang wajib diselenggarakan oleh Daerah sesuai dengan potensi

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

!11

yang dimiliki Daerah. Urusan pemerintah wajib yang diselenggaraan


oleh pemerintah daerah terbagi menjadi Urusan Pemerintahan yang berkaitan
dengan Pelayanan Dasar dan Urusan Pemerintahan yang tidak berkaitan dengan
Pelayanan Dasar.
Esensi dari penyelenggaraan pemerintahan daerah diatur berdasarkan distribusi
kewenangan tersebut adalah untuk merealisasikan fungsi fungsi pemerintahan
di bidang pelayanan publik, pembangunan dan pemberdayaan, dan keamanan,.
Pelaksanaan fungsi itu membutuhkan kejelasan kewenangan yang memadai dan
dukungan anggaran yang maksimal. Oleh karena itu, pada tataran
implementasinya distribusi kewenangan membawa konsekuensi tidak hanya
menyangkut sumber pendanaannya tetapi juga terkait dengan sumber
pemasukan bagi pendapatan daerah. Penyerahan kewenangan yang tidak
menghasilkan sumber PAD, maka harus dibebankan pada pemerintah daerah
yang menjadi tanggunjawabnya melalui pendanaan APBD, sebaliknya
kewenangan yang mempunyai dampak terhadap sumber pendapatan PAD akan
memberi kontribusi bagi peningkatan APBD.
Hasil penelitian yang dilakukan DPD RI (2011:36) urusan yang berpotensi
meningkatkan kesejahteraan rakyat

yaitu sektor pertambangan, perikanan,

pertanian, perkebuhan, kehutanan dan parawisata. Dalam UU No.23 Tahun


2014, beberapa urusan tersebut yang selama ini dikelola oleh Kabupaten/Kota
seperti pertambangan, pendidikan menengah, dan kehutanan sekarang menjadi
urusan Pemerintah Provinsi. Pengambilalihan kewenangan tersebut akan
memberi dampak yang tidak menguntungkan bagi pemerintah kabupaten/kota
seperti berkurangannya PAD.
Keberadaan pemerintah Provinsi, seharusnya lebih diarahkan pada peran,
koordinasi, fasilitatif, insentif dan pemberdayaan bukan melakukan peran
secara langsung khususnya dalam pemberian pelayanan publik dan
pembangunan, kecuali yang sifatnya lintas Kabupaten/Kota; karena pelayanan

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

!12

publik sebagian besar berada di kabupaten/kota, maka

kabupaten/kota

dibutuhkan kewenangan strategis dan sumber anggaraan yang memadai.


Distribusi kewenangan harus dipertimbangkan aspek kelayakan implementasinya
dan dampaknya serta memberi jaminan

untuk bisa berfungsinya

penyelenggaraan pemerintahan secara optimal; Isu pokoknya yang harus


dikedepankan adalah persoalan distribusi alokasi sumber daya. Persoalan ini lah
yang sebenarnya menjadi sumber konflik kepentingan.
Sebagai pendukung alasan tersebut yaitu anggaran

sekarang ini hampir 70 %

ada di Pusat, dan 30 % di Daerah.10 Distribusi anggaran pusat ke daerah


dilakukan melalaui DAU, DBH dan DAK. Secara teknis pembagian distribusi itu
tidak dilakukan dalam sistem manajemen yang transparan dan adil, akses untuk
memperoleh dana tersebut, harus dilakukan melalui loby atau memiliki akses
dengan pejabat di pemerintah pusat.
Dari aspek manajemen pemerintahan, penyelenggaraan pemerintahan bukan
hanya sebatas pada tercapainya efisiensi atau efektivitas pemerintahan, tetapi
juga harus mengedepankan aspek pemerataan pembangunan. Oleh karena itu
penumpukan anggaran di Pusat dan distribusi anggarannya harus dievaluasi dan
diarahkan pada pencapaian pemerataan pembangunan.

(c) Kebijakan Perencanaan Pembangunan,

Dalam UU No. 23 Tahun 2014, kebijakan ini diatur dalam Pembangunan Daerah
(Bab X). Kebijakan perencanaan pembangunan yang diatur dalam Bab X UU
23/2014 tersebut, merupakan bentuk penyempurnaan dari kebijakan yang
diatur dalam UU 32/2004. Dalam bab ini, perencanaan disusun secara
sistematis, dalam RPJPD, RPJMD, RKPD. Dalam dokumen perencanaan tersebut
10

) Data ini bersumber dari Surat Bupati Aceh Tengah Kepada Presiden tentang Masukan UU No.23 tahun
2014, Tanggal 7 Januari 2015

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

!13

khususnya RPJMD harus merupakan penjabaran visi, misi, dan program kepala
daerah. Ini menunjukkan bahwa isu kepentingan publik dipersepsikan oleh
kepentingan politik yang bersifat personal. Pengalaman sejauh ini, pengaruh
kepentingan kepala daerah

sangat dominan dalam mengimplementasikan

kebijakan perencanaan pembangunan dan seringkali kesinambungannya tidak


terjaga serta juga bertolak belakang dengan kepentungan publik yang
dipersepsikan oleh masyarakat luas (kepentingan publik yang pluralistik).

(d) UU 23 Tahun 2014, memberi naunsa baru yaitu yaitu adanya pasal khusus yang
mengatur tentang inovasi daerah (Bab XXI, Pasal 386 sd 390). Dengan adanya
ketentuan ini, maka setiap daerah bisa melakukan terobosan kebijakan sesuai
dengan inovasi yang dikembangkan di daerahnya; daerah bisa melakukan
inisiatif untuk membuat kebijakan yang inovatif, tanpa harus menunggu
persetujuan atau restu dari pemerintah pusat. Ketentuan ini adalah wujud dari
kebijakan desentralisasi a simetris. Dengan adanya ketentuan pasal ini, maka
tidak ada alasan bagai pejabat di daerah untuk melakukan inisiatif untuk
menjalankan sebuah perubahan di daerahnya serta tidak perlu khawatir
terjerat dalam masalah hukum.

(e) Akses Publik

Hampir sama dengan UU 32/2004, UU Pemerintahan Daerah yang baru pun


membuka akses publik dalam proses penyelenggaraan pemerintahan. Regulasi
akses publik dalam UU 23 Tahun 2014, diatur dalam Bab XIV tentang partisipasi
masyarakat dan Bab XXI tentang Informasi Pemerintahan Daerah. Adanya
Partisipasi publik dan Informasi Publik menegaskan bahwa pemerintah harus
memberi ruang bagi publik dalam proses pembuatan kebijakan,

mengontrol

dan mengevaluasi kebijakan, serta pemerintah dituntut untuk terbuka,


sehingga informasi harus bisa diakses oleh publik.

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

!14

Namun, ketentuan peranserta publik dan keterbukaan informasi publik


cenderung hanya kebijakan simbolik yang tidak memiliki kekuatan memaksa,
sehingga praktis tidak terimplementasikan secara optimal, karena masih
kuatnya dominasi peran pemerintah.
e. Pemerintahan Umum
UU ini juga sebagian mengembalikan warisan UU No.5/1974 dalam
penyelenggaraan pemerintahan daerah, seperti pembentukan Forkominda,
memperkuat peran gubernur dalam kapasitas sebagai kepala wilayah (pasal
91-94), dan memfungsionalisasikan kembali urusan pemerintahan umum oleh
Kecamatan (pasal 225)
Penguatan Gubernur sebagai Pusat harus diterjemahkan sebagai bentuk
intervensi positif yaitu memberi jaminan untuk kepentingan (a) terlaksananya
urusan pemerintahan umum

(b) memfasilitasi dan mendistribusi sumberdaya

secara adil bagi kepetingan kabupaten/kota; (c) berperan aktif dan terlibat
dalam proses pemecahan masalah yang dihadapi kabupaten/kota.
Simpulan
Efektif tidaknya penyelenggaraan pemerintahan prinsipnya ditentukan oleh sistem
dan kapasitas kepemimpinan kepala daerah. UU 23/2014, adalah sebuah sistem
untuk mengatur penyelenggaraan pemerintahan. Dalam prakteknya implementasi
UU Pemda sebagaimana terjadi selama ini, ada problem implementasi yaitu ada
subtansi regulasi yang hanya sebatas` simbolik dan tidak bisa terimplementasikan
karena faktor lemahnya kekuatan pemaksa dan terjadi perebutan kepentingan
dikalangan elit politik dan pemerintahan yang tidak bisa dikontrol serta
terbatasnya sumber anggaran.

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

!15

UU No. 23 Tahun 2014, yang ingin membangun pemerintahan yang demokratis,


secara hipotesis sulit untuk diwujudkan karena pengelolaan kekuasaan tidak diatur
secara tepat yaitu bagaimana agar penyelenggaraan pemerintahan itu bisa
dikontrol secara efektif. Sementara isu pokok yang terkait dengan distribusi alokasi
sumber daya, sebagai isu pokok untuk penyelenggaraan pelayanan publik dan
pembangunan di daerah, masih belum diatur untuk menjamin pemerataan dan
keadilan pembangunan di daerah-daerah terutama yang berada di luar Jawa.

DAFTAR PUSTAKA
DPD.RI. 2011. Desain Pola Hubungan Kewenangan Kabupaten/Kota dengan
Provinsi, Sekertariat Jendral DPD RI. Jakarta
Undang-Undang PEMDA, Sinar Grafika, Jakarta. 2015

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

!16

UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2014:


PEMERINTAHAN DAERAH YANG EFEKTIF-EFISIEN DAN RESENTRALISASI
Hertanto
Pengajar Jurusan Ilmu Pemerintahan dan Magister Ilmu Pemerintahan
FISIP UNILA

PENDAHULUAN
Undang-undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, yang telah
dirubah oleh UU No. 9 tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah, merupakan UU yang ketiga
pada pemerintahan periode reformasi. Sebelumnya ada UU No. 22 tahun 1999 dan
UU No. 32 tahun 2004.

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

!17

Selama kurun 1999-2014 itu, praktik desentralisasi dan otonomi daerah di era
Reformasi sudah berjalan selama satu dasawarsa lebih. Setelah tiga dekade
sebelumnya terbiasa diatur dan diperintah dari pusat (Jakarta), kini, daerah
memiliki kewenangan jauh lebih besar. Banyak hal sudah terjadi. Beberapa kepala
daerah bekerja secara kreatif dan banyak melakukan inovasi kebijakan. Mereka
mampu menerbitkan kemakmuran di daerah masing-masing. Namun, cukup banyak
juga kepala daerah yang kurang atau bahkan tidak berhasil menyejahterakan
rakyatnya. Mereka justru terperangkap dalam pusaran kekuasaan. Pusat-pusat
kekuasaan yang telah menyebar memang menghadirkan sejumlah komplikasi. Di
antaranya, hubungan birokrasi dan pembagian wewenang pemerintah pusat dan
pemerintah daerah serta kompetensi sumber daya manusia yang tidak sama antara
satu daerah dengan daerah lain. Kekuasaan yang berhimpun di tangan elite yang
dipilih secara langsung juga memunculkan masalah tersendiri. Dinamika politik
lokal itu bagaikan pisau bermata dua: menguntungkan bila elite politik berpihak
sepenuhnya pada kepentingan publik dan mencederai rakyat kalau mereka
membangun "kartel" dengan lebih mengutamakan kepentingan kelompok (Prisma,
Juli 2010: 74).

Sehingga, tujuan desentralisasi dan otonomi daerah untuk meningkatkan layanan


publik dan kesejahteraan rakyat, merupakan dua persoalan yang hingga sekarang
masih terlihat sangat mahal kendati daerah sudah diberi kewenangan cukup besar.

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

!18

UU Nomor 23 tahun 2014 dilahirkan dari latar persoalan-persoalan di atas. Untuk


itu, menurut mantan Mendagri Gamawan Fauzi diperlukan adanya paradigma
kewenangan daerah yang efektif dan efisien (Prisma, Juli 2010: 74). Ini yang
antara lain memunculkan Pasal 14 ayat (1), dimana penyelenggaraan urusan
pemerintahan bidang kehutanan, kelautan, serta energi dan sumber daya mineral
dibagi antara pemerintah pusat dan daerah provinsi.

Ada dua dua sudut pandang yang hampir sama dari segi praktek pemerintahan yang
berjalan dan seting kebijakan desentralisasi dan otonomi yang diterapkan. Duaduanya, beranggapan karena berbagai pertimbangan, maka kebijakan sentralisasi
kerap menjadi pilihan utama dalam mengatasi masalah hubungan pusat dan daerah
di Indonesia.

Pemerintahan yang Efektif dan Efisien


Menurut Gamawan Fauzi (2010: 75), desentralisasi dalam negara kesatuan
diberikan oleh pusat kepada daerah. Bila empunya wewenang minta
pertanggungjawaban, maka daerah yang diberi mandat seharusnya bertanggung
jawab. Tetapi terkadang seorang bupati diundang oleh gubernur (sebagai wakil
pemerintah pusat) tidak mau datang. Bupati merasa itu sebagai haknya. Padahal,
dia hanya menerima kewenangan yang telah diberikan.

Dengan demikian, menurut Gamawan, ke depan pola seperti ini akan dirubah.
Jadi, penyerahan kewenangan tidak lagi berprinsip "luas, nyata, dan bertanggung
jawab", tetapi efektif dan efisien. Kewenangan seperti apa yang akan lebih efektif
Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

!19

dan efisien bila diurus oleh pemerintah pusat atau provinsi atau kabupaten-kota.
Jadi, kriterianya tidak lagi "luas, nyata, dan bertanggung jawab", tetapi efektif dan
efisien. Hal strategis apa yang harus tetap dipegang pusat dan tidak diserahkan ke
daerah.

Pandangan ini mewakili argumentasi pemerintah pusat yang mendesain berlakunya


undang-undang tentang pemerintahan daerah saat ini.

Resentralisasi
Menurut beberapa pakar yang mewakili kalangan masyarakat, akar persoalan
desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia adalah, pertama, relasi kekuasaan
antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah di Indonesia lebih cenderung
mengarah ke kutub sentralisasi daripada desentralisasi (Hidayat 2010: 17). UndangUndang Nomor 22 Tahun 1999 pada tingkat minimal mencoba menggeser pendulum
sentralisasi ke kutub desentralisasi, namun UU No. 32/2004 justru cenderung
mengembalikannya ke posisi semula (sentralisasi). Salah satu penyebab gerak balik
pendulum desentralisasi tersebut adalah karena konsep desentralisasi yang
diterapkan sejak awal kemerdekaan relatif tidak mengakomodasi perspektif
desentralisasi politik (kewenangan) tetapi lebih berkiblat pada perspektif
desentralisasi administrasi (urusan). Pada tingkat "pernyataan", sering
dikemukakan bahwa kebijakan desentralisasi di Indonesia bertujuan untuk
mempercepat proses demokratisasi di tingkat lokal, namun pada tingkat
"kenyataan" wewenang yang diserahkan kepada daerah sangat dibatasi, dan kontrol
pemerintah pusat terhadap pemerintah daerah juga sangat ketat.
Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

!20

Kedua, realitas implementasi desentralisasi dan otonomi daerah juga


menggambarkan fokus perhatian agenda reformasi yang berlangsung selama
sepuluh tahun pertama (1999-2009) lebih banyak dicurahkan pada upaya
memperbaiki dan membangun institusi negara (state institutional reform).
Sementara upaya untuk membangun dan memperkuat kapasitas negara relatif
belum mendapat perhatian yang memadai. Akibatnya, "kehadiran" negara dalam
praktik kehidupan sehari-hari menjadi samar-samar atau bahkan "absen".
Reformasi desentralisasi dan otonomi daerah yang berlangsung sepuluh tahun
terakhir juga sebagai bagian dari state institutional reform minus state capacity.
Karena itu, kehadiran desentralisasi dan otonomi daerah terlihat "sangat nyata"
dalam bentuk institusi, tetapi "tidak kentara" dalam fungsi. Desentralisasi dan
otonomi daerah juga "sangat nyata" hadir dengan kemasan demokrasi, namun "roh"
yang terkandung di dalamnya masih sangat bernuansa sentralisasi (Hidayat 2010:
18).

Ketiga, ada tiga problematik sehubungan dengan berlakunya UU No. 32 Tahun 2004
sebagai pengganti UU No. 22 Tahun 1999, yakni problem konstitusi, problem
komitmen pemangku kepentingan, dan problem inkonsistensi kebijakan (Haris
2014: 198). Problem konstitusi terkait dengan amanat Pasal 18 (baru), Pasal 18A
dan Pasal 18B UUD 1945 yang menjadi dasar penerbitan UU No. 32/2004 yang
membuka peluang penafsiran yang lebar bagi penyusun UU (DPR dan pemerintah)
tentang ruang lingkup agenda desentralisasi dan otonomi daerah. Sehingga prinsip
desentralisasi, esensi otonomi daerah dan pemerintahan daerah, struktur
Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

!21

pemerintahan daerah (Pemda dan DPRD), hubungan pemerintah pusat dan


pemerintahan daerah, dan hubungan antarpemerintahan daerah (propinsikabupaten/kota dan sebaliknya) cenderung "mundur kembali" dibandingkan UU No.
22/1999.

Adapun, problem komitmen pemangku kepentingan terkait dengan sikap


pemerintah pusat, DPR, dan parpol, yang tidak punya komitmen terhadap agenda
desentralisasi dan otonomi daerah. Sedangkan problem inkonsistensi kebijakan
terkait dengan persoalan lembaga regulator, format regulasi, dan ruang lingkup
kebijakan otonomi daerah. Lembaga regulator berkaitan dengan wacana urgensi
keterlibatan DPD-sebagai wakil-wakil Daerahdalam penyusunan regulasi otonomi
daerah. Otoritas regulator berkenaan dengan batas-batas yang boleh dan tidak
boleh diubah dalam regulasi otonomi daerah apabila telah ada grand design yang
jelas mengenai arah agenda desentralisasi dan otonomi daerah. Format regulasi
berkaitan dengan wacana perlunya penyatuan (kompilasi) antara UU tentang
Pemerintahan Daerah dan UU tentang Perimbangan Keuangan Pusat-Daerah, serta
di sisi lain pemisahan pengaturan kebijakan otonomi daerah dan pemilihan
kepala daerah (Pilkada). Sementara itu, ruang lingkup regulasi berhubungan
dengan cakupan kewenangan pemerintah di satu pihak, dan kewenangan
pemerintahan daerah di pihak lain (Haris 2012: 204).

Keempat, desain otonomi lokal yang pada dasarnya bukan merupakan isu teknis
pemerintahan melainkan indikasi dari persaingan sengit antara kepentingankepentingan yang bersaing memperebutkan sumber daya material yang konkret
Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

!22

(Hadiz 2005: 241). Jakarta jelas punya kepentingan tersendiri dalam


mempertahankan kendali atas potensi lokal - paling tidak sebanyak mungkin sambil berusaha menyeimbangkan hal ini terhadap aspirasi untuk mendapatkan
otonomi yang lebih luas. Di lain pihak, elite-elite lokal ingin mendapatkan kendali
langsung atas potensi yang sama untuk kepentingan mereka sendiri, dengan secara
tipikal menyebut-nyebut ketidakadilan yang terjadi pada masa lalu yang
memungkinkan Jakarta untuk mengeksploitasi kekayaan dengan merugikan pihak
lokal. Belum lagi masalah ketidakmerataan kemakmuran di berbagai daerah di
Indonesia. Oleh karena itu persaingan utamanya adalah tentang penguasaan
sumber-sumber daya, meskipun hal ini diutarakan atas nama harga-diri lokal, atau
identitas etnik atau kedaerahan versus persatuan nasional. Sumber daya yang
diperebutkan bervariasi dari satu daerah ke daerah lain. Oleh karena itu
desentralisasi pada akhirnya bukan hanya masalah perhitungan teknis saja, tetapi
lebih mendasar lagi yaitu masalah persaingan kekuasaan. Suatu perjuangan konkret
memperebutkan kekuasaan dan sumber daya di antara kepentingan-kepentingan
yang berbeda di tingkat pusat, provinsi dan kabupaten. Termasuk di dalamnya
kepentingan-kepentingan predatoris yang dipupuk di bawah Orde Baru tetap
muncul dalam persaingan ini (Hadiz 2005: 206).

PENUTUP
Penyelenggaraan pemerintahan daerah diarahkan untuk mempercepat terwujudnya
kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan, dan
peran serta masyarakat, serta peningkatan daya saing daerah dengan
memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, dan kekhasan suatu
Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

!23

daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Efisiensi dan efektivitas
penyelenggaraan pemerintahan daerah perlu ditingkatkan dengan lebih
memperhatikan aspek-aspek hubungan antara pemerintah pusat dengan daerah
dan antardaerah, potensi dan keanekaragaman daerah, serta peluang dan
tantangan persaingan global dalam kesatuan sistem penyelenggaraan pemerintahan
negara (Konsideran UU No. 23 tahun 2014).

Berdasarkan pengalaman hubungan pusat dengan daerah, selalu diwarnai trend


naik-turun dan bergesernya pendulung kekuasaan dari sentralisasi kepada
desentralisasi, dan sebaliknya. Bila terjadi masalah antara pusat dan daerah,
kebijakan yang diambil oleh pusat kerapkali melakukan resentralisasi. Karena ada
kekhawatiran daerah punya kekuatan yang tidak bisa dikendalikan oleh pusat
atau mengarah kepada desintegrasi NKRI. Sejarah desentralisasi di Indonesia
senantiasa ditandai oleh prasangka tersebut (Wignjosoebroto 2010: 61).
Sebenarnya, periode Reformasi merupakan pembalikan sentralisasi Orde Baru ke
arah desentralisasi yang membawa harapan besar bagi tumbuhnya era otonomi
daerah (Haris 2012; Hidayat 2010).

Oleh karena itu, apa pun perbedaan ancangan konseptual dan asumsi paradigmatik
di antara pihak-pihak yang berkompeten, dalam persoalan desentralisasi,
seharusnya sama-sama bertolak dari sebuah kebijakan bahwa kekuasaan dalam
tata pemerintahan yang terlalu terpusat tidaklah menguntungkan. Berdasarkan
pertimbangan itu, perlu diupayakan berkurangnya kekuasaan pusat di satu sisi dan
bertambahnya kewenangan daerah di sisi lain. Semua pihak harus lebih
Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

!24

mengedepankan kepentingan dan peran sentral masyarakat yang memiliki


kebebasan serta menyadari hak-hak konstitusionalnya sebagai warga suatu negara
demokratis.
PUSTAKA PENDUKUNG

Fauzi, Gamawan. 2010. Paradigma Kewenangan Daerah yang Efektif dan Efisien.
Prisma, Volume 29, Nomor 3, Juli. Hlm. 74-83.
Hadiz, Vedi R. 2005. Desentralisasi dan Demokrasi di Indonesia: Sebuah Kritik
terhadap Perspektif Neo-Institusionalis. Dalam Dinamika Kekuasaan
Ekonomi Politik Indonesia Pasca-Soeharto. Jakarta: LP3ES. Hlm. 272-304.
Haris, Syamsuddin. 2014. Desentralisasi Asimetris, Problem atau Solusi?. Dalam
Masalah-masalah Demokrasi & Kebangsaan Era Reformasi. Jakarta: Pustaka
Obor. Hlm. 191-218.
Hidayat, Syarif. 2010. Mengurai Peristiwa-Merentas Karsa: Refleksi Satu Dasa
Reformasi Desentralisasi dan Otonomi Daerah. Prisma, Volume 29, Nomor
3, Juli. Hlm. 3-22.
Wignjosoebroto, Soetandyo. 2010. Satu Abad Desentralisasi di Indonesia. Prisma,
Volume 29, Nomor 3, Juli. Hlm. 58-69.
Dokumen
RI, Undang-undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
RI, Undang-undang Nomor 9 tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas UndangUndang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah.

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

!25

Kritik dan Saran Untuk Perbaikan UU 23 tahun 2014


Oleh: Budi Kurniawan

UU 23 tahun 2014 lahir dari adanya keresahan akan dampak negatif yang
ditimbulkan UU no 32 tahun 2004. Ada beberapa masalah yang disorot sebagai
kelamahan UU lama yang ditulis oleh sang arsitek, yakni DIRJEN Otda Kemendagri,
Djohermansyah Djohan di Kompas (25 April 2015) beberapa waktu yang lalu.
Pertama dan yang paling penting adalah lemahnya fungsi gubernur dan pemerintah
pusat dalam mengontrol pemerintah kabupaten dan kota. Dalam banyak kasus,
gubernur sebagai kepanjangan pemerintah pusat di daerah gagal mencegah abuse
Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

!26

of power dari pemerintah kota dan kabupaten terutama dalam masalah


pertambangan, kelautan dan kehutanan. Dampak negatifnya adalah kerusakan
lingkungan yang parah akibat eksploitasi pemerintah kabupaten dan kota dalam
rangka meningkatakan pendapatan daerah. Muncul raja-raja kecil di daerah yang
tanpa bisa dikontrol gubernur dan pemerintah pusat ini, dalam banyak kasus tidak
bisa berkoordinasi dengan gubernur yang biasannya dikarenakan perbedaan latar
belakang politik. Dan di sisi yang lain gubernur berada pada posisi menggantung
tanpa bisa berpijak. Kedua, maraknya daerah pemekaran yang kebablasan. Ketiga,
ada kewenangan yang tumpang tindih.
Selain itu dalam naskah akademiknya (2011: 13-16), Kementrian dalam negeri
merasa perlu melakukan revisi terhadap UU ini dikarenakan adanya overhead cost
akibat otonomi daerah yang berimbas pada naiknya anggaran kepagawaian.
Overhead cost ini dianggap membebani anggaran daerah yang tidak sedikit
mengorbankan sektor vital lainnya yang lebih layak untuk diprioritaskan seperti
infrastruktur, pendidikan dan kesehatan. Dampak dampak negatif inilah menurut
pemerintah pusat yang menjadi latar belakang mengapa UU 32 tahun 2004 perlu
direvisi. Tulisan ini akan membahas beberapa catatan kritis penulis terhadap UU ini
dan bagaimana solusi yang dapat ditawarkan untuk menjawab permasalahan
otonomi daerah.
Proses Pembuatan Kebijakan yang Tidak Demokratis
UU ini dalam proses policy making-nya pun tidak melibatkan banyak aktor di luar
negara. Penulis sendiri yang bekerja di kampus tidak pernah diajak untuk

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

!27

membahas UU yang penting ini. Daerah pun apalagi, kabupaten dan kota yang
menjadi objek kebijakan ini gelisah justru ketika UU ini telah disahkan dan
berdampak bagi mereka.
Ada asymmetric information diantara anak bangsa yang berkepentingan akan UU
ini. UU yang lebih menyorot perhatian publik adalah UU pilkada langsung atau
tidak langsung. Televisi dan Koran yang basisnya di Jakarta dan umumnya dimiliki
tokoh politik nasional lebih mengcover UU ini ketimbang UU pemda karena
memang berkaitan dengan kepentingan elite politik Jakarta. Sehingga perdebatan
di ruang publik lebih didominasi Jakarta ketimbang daerah di saat TV nasional yang
mendominasi rumah kita lebih bias Jakarta. Implikasinya adalah perdebatan dan
pembahasan UU ini kurang, dan akhirnya UU ini lolos tanpa ada perdebatan yang
berarti di ruang publik.

Kesalahan Paradigma
Kesalahan

fatal dalam UU ini adalah masih terkungkungnya paradigma hierarkis

ketimbang network atau jaringan. Jakarta masih beranggapan bahwa pengawasan


itu harus hirarkis padahal kenyataannya paradigma ini sudah usang dan
ditinggalkan dalam paradigma manajemen publik atau pemerintahan. Jika kita
lihat tulisan Dirjen Otda di Kompas, jelas bahwa di benak perancang UU ini yang
mengawasi pemerintahan daerah adalah kekuasaan hirarkis diatasnya yakni

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

!28

Gubernur dan Pemerintah Pusat. Dalam UU ini paradigma ini bisa dilihat dari pasal
91, UU 23/2014 tentang fungsi pengawasan Gubernur.
Padahal dalam paradigma network atau istilah lain democratic governance, justru
seharusnya pemerintahan itu harus meninggalkan paradigma hierarkis dan beralih
ke hubungan yang harizontal. Bahkan dalam pidato guru besarnya, mensekneg,
Prof Pratikno menegaskan(2009) bahwa; Struktur pemerintahan pun mengalami
perubahan yang cukup signifikan. Karakter struktur kelembagaan pemerintahan
yang sebelumnya bersifat hierarkis bergeser menjadi lebih horisontal dengan aktor
yang semakin banyak. Anehnya disaat paradigma pemerintahan saat ini di dunia
meninggalkan paradigma hierarkis dan lebih horizontal (Owen Hughes,2011),(Guy B
Peters, 2011:63), UU ini masih mengusung paradigma yang usang ini.
Dalam struktur pemerintahan yang horizontal (atau dalam banyak literatur
diistilahkan governance ) justru pengawasan itu seharusnya dilakukan oleh aktor di
luar kelembagaan negara, yang dalam istilah studi pemerintahan dikenal dengan
istilah networks. Ini artinya penguatan networks seperti masyarakat sipil agar
mereka lebih berdaya dalam mengawasi pemerintahan justru yang harus lebih
ditingkatkan dan difokuskan. Pakar pemerintahan, Rhodes ( 2007: 1246) misalnya
malah mengatakan bahwa governance itu sebenarnya maknanya adalah model
pemerintahan melalui networks. Ini artinya paham bahwa pemerintahan hanya
proses hierarkis di dalam institusi negara sebagaimana paradigma UU ini adalah
sesuatu yang tidak tepat dan tidak sejalan dengan dinamika pemerintahan saat ini
yang lebih demokratis dan melibatkan banyak aktor.

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

!29

Betulkah overhead Cost ?


Jika dikatakan bahwa otonomi daerah selama ini overhead cost, maka fakta di
lapangan justru otonomi daerah telah memajukan ekonomi daerah ditengah fakta
memang terjadi overhead cost. Banyaknya jumlah uang yang beredar di daerah
telah menciptakan multiplier effect yang berdampak positif bagi daerah. Misalnya
Pembangunan perkantoran telah menciptakan tata ruang baru yang memberi space
bagi pedagang-pedagang kecil. Lapangan kerja baru pun dibuka dan memberi
dampak bagi naiknya income penduduk lokal.
Memang harus diakui komponen terbanyak dari pengeluaran APBD di banyak daerah
adalah dalam sektor belanja pemerintah khususnya belanja pegawai dan tentu saja
pembangunan perkantoran bagi daerah otonom baru. Namun itu biasanya terjadi di
tahap awal pembentukan daerah baru. Ini adalah sebuah kewajaran jika beban
belanja pemerintah DOB berlebih, namun seiring waktu akan dikurangi. Solusinya
bukanlah dengan mengurangi kewenangan namun lebih fokus kepada bagaimana
daerah di dorong untuk membuat politik anggaran yang sehat.
Namun, tidak semua daerah gagal dalam kebijakan anggarannya, dan ini sangat
tergantung dari kualitas kepala daerah ketimbang sistem otonomi daerahnya. Data
dari Indonesia Governance Index 2014 misalnya mencatat ada daerah yang berhasil
secara efektif mengurangi belanja pegawai dan lebih berpihak kepada sektor yang
lainnya yang lebih penting seperti Kabupaten Siak Riau. Siak membuktikan bahwa
tidak selamanya desentalisasi menciptakan overhead cost.

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

!30

Hal ini sekali lagi ditegaskan bahwa bukan sistem desentralisasinya yang
bermasalah tetapi lebih ke kualitas kepemimpinan daerah. Bicara tentang kualitas
kepemimpinan daerah akhirnya kembali ke masalah kepartaian. Artinya tetap saja
dapur masalah itu diproduksi oleh sistem kepartaian kita yang belum mampu
menghasilkan kepemimpinan daerah yang berkualitas.
Solusi yang Tambal Sulam
Sayangnya solusi yang ditawarkan pemerintah pusat adalah fokus pada pengambilalihan wewenang ketimbang peningkatan pengawasan. Pusat melihat masalahnya
adalah pada daerah yakni pemerintah kabupaten dan kota yang dianggap
terlampau melimpah kewenangannya. Sehingga pemikiran tambal sulam kembali
terjadi. Menurut pusat, "Jika daerah gagal dan melakukan penyimpangan maka
ambil alih wewenang dan kembalikan ke pusat melalui perpanjangan tangan
mereka di daerah yakni gubernur".
Namun, pada kenyataannya tidak semua daerah dikatakan gagal dalam
menyelaraskan antara eksploitasi alam dan kelestarian lingkungan hidup. Masih ada
daerah yang bisa dikatakan maju dengan memanfaatkan kekayaan alamnya secara
bijak sekaligus melestarikan lingkungan hidup. Namun memang harus diakui jujur
bahwa eklorasi pertambangan dan kehutanan telah menyumbang banyak kerusakan
lingkungan dan menyumbang banyak kepala daerah masuk penjara karena kasus
suap.
UU otonomi daerah sebagai tuntutan dari reformasi politik 1998 telah sukses
mengantarkan pembangunan di berbagai daerah. Jika selama ini kekayaan alam
Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

!31

daerah dikeruk dan dibawa Jakarta sehingga ouputnya lebih banyak dirasakan
Jakarta, dengan otonomi daerah telah banyak daerah maju dan berkembang pesat
ekonominya sekaligus meningkatkan kesejahteraan ekonominya. Dengan lahirnya
UU ini ditakutkan potensi daerah malah dimatikan, kabupaten dan kota bisa
kehilangan modal penting bagi pembangunan mereka.
Jika ada kekurangan seharusnya pemerintah tidak mencabut kewenangan tetapi
meningkatkan pengawasan. Salah satunya dengan peningkatan partisipasi
masyarakat dalam pemerintahan. Adagium power tends to corrupt akan berlaku
dimana saja ada kewenangan itu berada. Oleh karena itulah perlu fokus ke
pengawasan dengan melibatkan masyarakat atau aktor-aktor di luar negara.
Dahulu ketika orde baru dengan sentralismenya, penyimpangan terjadi di pusat.
Dampak ketimpangan pusat dan daearah, Jawa dan luar Jawa masih kita rasakan
hingga saat ini. Seiring dengan tuntutan demokrasi, otonomi daerahpun
diberlakukan dengan UU 22 tahun 1999 dan 32 tahun 2004. Titik tekan otonomi
daerah berada di pemerintah kabupaten dan kota. Bisa kita katakan penyimpangan
kekuasaan meluas hingga ke daerah. Namun dengan mengambilalih kewenangan
kota dan kabupaten melalui UU yang baru ini, bisa saja terjadi kemungkinan
penyimpangan terhadap kekuasaan akan terjangkit ke Provinsi. Sehingga kemudian
hari tidak menutup peluang akan ada revisi kembali bahkan sentralisasi jika pola
pikir tambal sulam masih ada di benak pengambil kebijakan.
Solusi Bagi Perbaikan: Perlunya Desentalisasi Yang menjamin terciptanya
Inclusive institution

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

!32

Perdebatan tentang apa sebaiknya model pemerintahan daerah kita saat ini tidak
akan selesai jika tidak ada kontrak sosial baru diantara berbagai pemangku
kepentingan terutama daerah tentang bagaimana seharusnya sistem pemerintahan
daerah ini. Ini artinya NKRI bukanlah harga mati. Negara Kesatuan perlu segera di
bahas kembali diantara anak bangsa ini. Founding fathers kita seperti Hatta dan
Tan Malaka misalnya lebih memilih federasi ketimbang kesatuan. Namun kerena
intervensi militer dan rezim orde baru perdebatan tentang apakah kesatuan atau
federasi menjadi taboo untuk dibahas.
Alternatif lain di luar federasi atau sentralisme kesatuan adalah apa yang digagas
teman-teman UGM dengan asymmetric decentralization di dalam bingkai negara
kesatuan. Model ini ( walau sebagian sudah diakomodir di UU 23/2014) bahkan
telah menjadi program di nawacita Presiden Jokowi. Kuatnya pengaruh UGM
terhadap Jokowi terlihat dari diadopisnya model ini dalam nawacita. Artinya ada
kemungkinan besar UU ini akan direvisi jika merujuk ke nawacita. UU ini sendiri
adalah produk pemerintahan SBY yang didominasi intelektual IPDN sehingga bisa
dimaklumi jika model pemerintahannya dalam UU ini masih kental dengan
paradigma lama orde baru yang sentralistis. Karena sudah kita maklumi IPDN
cenderung serius dalam mencetak pamong ketimbang pengembangan keilmuan
yang tempatnya di Universitas.
Namun yang paling penting apakah kita mengadopsi model sentralisme orde baru,
atau federasi ataupun asymmetric decentralization adalah memastikan bahwa
sistem pemerintahan daerah kita bisa mampu melakukan perbaikan bagi institusi
politik dan ekonomi ke arah institusi yang inclusive. Kegagalan banyak negara
Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

!33

dalam pembangunan dan menciptakan kesejahteraan disinyalir banyak disebabkan


oleh faktor tidak mampunya negara beralih dari sistem extractive institution ke
inclusive institution dari institusi politik dan ekonominya

seperti yang

dikemukakan pengarang buku best seller Why Nation Fail, Robinson dan
Acemoglu, (2012:144-145). Berikut penjelasan theory of Instituions yang diolah
dari slide kuliah umum Robinson dan Acemoglu di LSE tanggal 8 Juni 2012:

Dua pakar ekonomi-politik ini menawarkan sistem desentralisasi karena menjamin


sistem politik yang pluralistik sebagai ciri inclusive institution. Namun dalam
banyak kasus desentralisasi di banyak negara justu menjadi pemicu

lemahnya

penegakan dan keteraturan hukum dan sentralisasi justru lebih bisa memastikan.
Oleh sebab itu perlu ada konsensus utama di bangsa ini tujuan kita jelas
kesejahteraan, namun cara nya mana yang efektif sesuai dengan konteks
Indonesia, desentarlisasi atau sentralisasi. Yang jelas yang diutamakan adalah
Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

!34

bagaimana sistem pemerintahan daerah kita mampu meningkatkan partisipasi


politik masyarat secara adil tanpa diskriminasi dan tanpa menguntungkan elite
tertentu. Inilah yang disebut political inclusive institution itu. Wallahu alam

Referensi
Acemoglu, D & Robinson, J.A 2012 Why nation fail: the origin of power,
prosperity and poverty, Crown Publisher, New York
________________________, 2011 Why nation fail: the origin of power,
prosperity and poverty, Slide in Morishma Lecture, LSE June 8, 2011, London
Djohermansyah, D 2015 Kado Hari Otonomi Kompas, 25 April 2015
Hughes, O 2003, Public management in developing countries Public
management And Administration, 3rd edn, Palgrave, Basingstoke, pp.218-27
Kemendagri, 2011, Naskah Akademik RUU tentang Pemerintahan Daerah,
Jakarta
Kemitraan, 2014 Menata Indonesia dari Daerah Kemitraan, Jakarta
Peters, G. B,2011, Governance as political theory, Critical Political Studies,
Vol. 5 No. 1 pp. 63-72
Pratikno, 2009 Rekonsolidasi Reformasi Indonesia: Kontribusi Studi Politik
dan Pemerintahan dalam Menopang Demokrasi dan Pemerintahan Efektif Pidato
guru besar UGM, Yogyakarta
Rhodes, R.A.W, 2007, Understanding governance: Ten years on, Organization
Studies , Vol. 28, No. 8, pp. 1243-126
UU No 23 tahun 2014

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

!35

NAWACITA DAN DESENTRALISASI ASIMETRIS:


SEKEDAR JANJI ATAU SOLUSI SERIUS MENGATASI PROBLEMATIKA
OTONOMI DAERAH DI INDONESIA11

11

Makalah/policy paper disampaikan dalam Prosiding dan pada acara Seminar Nasional UU
Pemerintahan Daerah Baru: Desentralisasi atau Resentralisasi? Diselenggarakan Magister
Ilmu Pemerintahan dan Lab. Politik Lokal dan Otonomi Daerah JIP FISIP Universitas
Lampung, di Rektorat Unila, Kamis 30 April 2015.
Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

!36

OLEH SYAFARUDIN, M.A.12


Pergantian Presiden dan DPR, seperti biasa, diikuti episode gonta-ganti Undangundang. Celakanya dengan perubahan kebijakan tidak serta merta problematika
penataan otonomi daerah di Indonesia mereda bahkan muncul persoalan atau
kerumitan baru. Sejatinya persoalan otonomi daerah sejak era orde lama tidaklah
mudah alias memang sangat kompleks13.
Begitu juga saat terbitnya UU Pemerintahan Daerah No. 23 Tahun 2014 di ujung
Pemerintahan Presiden

SBY sebagai revisi terhadap

Pemerintahan Daerah yang belum genap setahun itu

UU 32

Tahun 2004. UU

kemudian pada era Presiden

Jokowi diamandemen menjadi UU No.2 Tahun 2015.

Revisi UU tersebut di

tahun 2015 ini hanya memuat perubahan dalam fungsi DPRD namun tidak
menyentuh subtansi lain yang signifikan.
Kedua UU ini yakni UU 23/2014 dan revisinya UU No 2/ 2015 cenderung berpotensi
(bahkan ada

pihak

yang mengabarkan kepada penulis

sudah menimbulkan

masalah baru14) jika dibandingkan dengan UU Pemerintahan daerah yang telah


berlaku dan dijalankan sebelumnya sejak tahun 1999 dan 2004, yakni UU No.
22/1999 dan UU No. 32 Tahun 2004.
12

Penulis adalah Dosen Ilmu Pemerintahan FISIP Universitas Lampung, korespondensi


email: thinaandrianti@yahoo.co.id
13

Tak heran rekan akademisi seperti Prof. Pratikno pernah mencatatnya dalam label
Desentralisasi, Pilihan yang Tidak Pernah Final, Abdul Gaffar Karim melukiskan dalam
tulisan Bangunan Goyah di atas Fondasi bermasalah: Otonomi Daerah di Indonesia; dalam
buku Kompleksitas Persoalan Otonomi Daerah di Indonesia, Abdul Gaffar Karim
(editor), cetakan ke-2, 2006, JIP UGM dan Pustaka Pelajar Yogyakarta.

Di daerah yang kaya hasil tambang ada kabar bupati ngambek dan ngancam mundur dari
jabatan Bupati karena kewenangan perizinan tambang yang semula domain/kewenangan
Bupati kini harus ditarik menjadi kewenangan Gubernur selaku kepala daerah yang sekaligus
Pembantu Presiden di daerah.
14

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

!37

Bila lebih jauh kita rentangkan sejarah maka terlihat bahwa persoalan klasik yang
terus berulang sejak diberlakukan UU No.

5 Tahun 1974 tentang Pemerintahan

Daerah pada era orde baru sampai dengan UU 2/2015 tentang Pemerintahan
Daerah salah satunya adalah menata format ideal hubungan

antara pemerintah

pusat, pemerintah provinsi dan dengan pemerintah kabupaten/kota terkait


pelaksanaan pembagian/perimbangan

wewenang dan keuangan atau/bagi hasil

masing-masing dalam bingkai negara kesatuan (Unitarian).

Diikuti persoalan/

pertanyaan berulang yang lain, misalnya seputar pertanyaan apa kontribusi


finansial pemerintah pusat sekarang dalam pemekaran daerah dan kerjasama
antardaerah, termasuk yang senantiasa berulang ditanyakan daerah adalah pola
perimbangan keuangan pusat dan daerah dan atau antar daerah; yang seperti apa
yang ingin didorong pemerintahan baru sekarang ini.
Masih ingat dalam lintasan memori kita bahwa UU 22/1999 dan UU 32/2004 yang
lahir dalam era reformasi semangatnya sama yakni mengutamakan desentralisasi
berbasis di kabupaten/kota sebagai lokus otonomi daerah. Pilihan desentralisasi ini
dimaklumi sebagai obat penawar atau koreksi terhadap praktek keliru era
pemerintahan orde baru yang mengedepankan asas sentralisasi, penghisapan
daerah ,

dan uniformitas yang sudah berlangsung cukup lama 25 tahun

(1974-1999).
Celakanya, praktek otonomi daerah era reformasi yang baru berjalan belia atau
berusia 10-11 tahun ini sudah dirubah kembali dengan 4(empat) nuansa kontroversi
dan paradoksal sebagai berikut:
(1) keinginan Resentralisasi berbasis di Provinsi dengan berbagai alasan dan
hasil evaluasi dan ini masih bisa diperdebatkan; Bila UU 32/2004 masih
memberikan kewenangan/perizinan

cukup bagi pemerintah kabupaten/kota di

sektor kelautan, kehutanan, dan pertambangan; maka pada UU Pemerintahan


Daerah 23/2014 dan UU 2/2015 terlihat dominannya

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

kewenangan pemerintah

!38

provinsi ketimbang Pemerintah Kabupaten/kota dalam sektor kelautan, kehutanan,


dan pertambangan.
(2) menerapkan Desentralisasi

Simetris yang berujung uniformitas dan

sudah lama format tersebut (bersama format desentralisasi asimetris terpaksa


berlaku) dikritik para pakar15;
(3)Presiden, Mendagri, dan Staf

Kemendagri cenderung lamban merespon

dan mencari solusi terhadap persoalan otonomi daerah yang muncul belakangan
ini16;
(4) Dalam kebingungan Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten
membuat pola hubungan kewenangan yang harmonis. Saya mencatat dan sekaligus
menggarisbawahi bahwa Pemerintah pusat atau pembantu Presiden beserta Parpol
pendukung pemerintahan sekarang selain lamban juga bingung dan cenderung lupa

15

Lihat A.A.GN Ari Dwipayana, Menata Desentralisasi Indonesia, Makalah, Jurusan


Ilmu Politik dan Pemerintahan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 2011, hlm. 1-2. Ari
mencatat banyak kerancuan, pelaksanaan politik hukum desentralisasi dan otonomi daerah
13 tahun terakhir terkait hubungan pusat daerah secara komprehensif, serta dipertanyakan
komitmennya untuk peningkatan kesejahteraan rakyat di daerah. Lihat juga Laporan
Penelitian Prof. Pratikno, dkk, Desentralisasi Asimetris di Indonesia:
Praktek dan Proyeksi, Jurusan Politik dan Pemerintahan,
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 2010. Dalam
laporan bahkan disebutkan bahwa pemerintah pusat selama ini tidak memiliki desain
desentralisasi asimetris untuk diterapkan di daerah. Kalaupun desain itu ada, lebih
disebabkan oleh tuntutan dari daerah tertentu akibat munculnya berbagai permasalahan dan
ancaman disintegrasi.hal.138.

16

Misalnya, tatkala kewenangan Gubernur/pemerintah provinsi diperbesar dalam sektor


kehutanan, pertambangan, dan kelautan di daerah; kenapa hal ini masih digantung pusat atau
belum dikeluarkannya PP (peraturan pemerintah) sebagai petunjuk pelaksanaannya. Begitu
juga tatkala pemerintah kabupaten ingin melakukan pemekaran daerah dengan tahapan
manajemen transisi 3 tahun sebagai daerah kabupaten persiapan. kenapa masih digantung
atau belum dikeluarkannya PP (peraturan pemerintah) tentang tatacara pemekaran daerah
atau pembentukan daerah persiapan sebagai petunjuk pelaksanaannya.
Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

!39

menerjamahkan janji Nawacita (sembilan agenda prioritas) yang memuat


Desentralisasi

Asimetris yang sudah dijadikan bahan kampanye politik presiden

dan partai politik pengusung sejak tahun lalu. Padahal bila janji Nawacita--yang
memuat desentralisai asimetris, membangun tata kelola pemerintahan yang
efektif, dan revolusi mental17yang juga sebagai bentuk kontrak sosial dan kontrak
politik itu dipahami dan dilaksanakan dalam regulasi dan aksi yang segera maka
persoalan otonomi daerah yang kompleks diyakini banyak pihak bisa cepat diurai
untuk mencapai visi Indonesia hebat.
Desentraliasi Asimetris: Alasan Penerapan, Urgensi, Implikasi Diharapkan, dan
Optimisme Pakar

Dalam negara kesatuan Indonesia, sebagaimana kita ketahui penyelenggaraan


pemerintahan daerah adalah kombinasi beberapa sistem dimana selain
menggunakan

sistem sentralisasi, dikenal juga penerapan sistem

desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas pembantuan.


Desentralisasi adalah penyerahan wewenang

pemerintahan

oleh Pemerintah

pusat kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan


pemerintahan. Dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang

pemerintahan

oleh Pemerintah pusat kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah dan/atau


kepada instansi vertikal di wilayah tertentu.
penugasan dari
juga

Pemerintah

Tugas pembantuan adalah

pusat kepada daerah dan/atau desa, bisa

tugas dari pemerintah provinsi kepada kabupaten/kota dan/atau desa

17

Lihat poin 2 Nawacita Jokowi-JK Kami akan membuat pemerintah selalu hadir dengan
membangun tata kelola pemerintahan yang bersih efektif, demokratis dan terpercaya. Poin 3
Nawacita Kami akan membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerahdaerah dan desa dalam kerangka Negara kesatuan dengan sub poin prioritas (1) desentralisasi
asimetris; (2) pemerataan pembangunan antar wilayah terutama desa, kawasan timur
Indonesia dan kawasan perbatasan.(3) penataan daerah otonomi baru untuk kesejahteraan
rakyat; poin 8 Nawacita Kami akan melakukan revolusi karakter bangsa.
Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

!40

serta dari pemerintah kabupaten kota kepada desa untuk melaksanakan tugas
tertentu.

Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan

kewajiban daerah otonom untuk

mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat


setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Sedangkan Daerah
otonom adalah

kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas

wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan


kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi
masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Sistem Desentralisasi ini secara teoritis terbagi 2 yakni Desentralisasi Simetris


(format penyelenggaraan pemda yang sama untuk tiap wilayah, provinsi dan atau
kabupen/kota) dan Desentralisasi Asimetris (format penyelenggaraan pemda
yang tidak sama/berbeda untuk tiap wilayah, provinsi dan atau kabupen/kota).

Desentralisasi

Asimetris (assymmetric decentralization) bukan konsep asing di

Indonesia karena sudah diterapkan dengan alasan politik, sejarah

dan budaya

(political, history and cultural driven) misalnya dalam bentuk daerah otonomi
khusus (Papua, Aceh), daerah khusus (Jakarta) dan daerah Istimewa (Yogyakarta).

Desentralisasi

Asimetris dalam

Nawacita yang saya pahami adalah konsep

menarik karena tawaran penerapan otonomi daerah yang berbeda tiap wilayah/
kawasan atau provinsi/kabupaten/kota bukan karena alasan politis sejarah atau
budaya semata; tapi lebih jauh karena melihat perbedaan kapasitas
pemerintahan local (local goverment capacity driven) dan didorong pula setelah
melihat kenyataan perbedaan karakter wilayah, potensi sumber daya alam dan
manusia di Indonesia.

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

!41

Bila kita cermati substansi Nawacita jelas bahwa implikasi


Desentraliasi

penerapan

Asimetris secara praksis selain bertujuan (1) mewujudkan tata

kelola pemerintahan yang efektif; sekaligus (2) strategi pemerintah membangun


Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dan (3)
strategi cerdas

pemerataan pembangunan antarwilayah terutama desa, kawasan

timur Indonesia dan kawasan perbatasan serta (4) sebagai bagian strategi
penataan daerah otonomi baru (DOB) untuk kesejahteraan rakyat.

Optimisme bahwa penerapan desentralisasi asimetris akan menjadi obat baru


dalam penataan daerah otonomi

di Indonesia muncul sejak lama dari kalangan

peneliti dan akademisi diantaranya:


Inti desentralisasi asimetris adalah terbukanya ruang gerak
implementasi dan kreativitas provinsi dalam pelaksanaan
pemerintahan di luar ketentuan umum dan khusus. Mengapa provinsi?
Ini karena level kabupaten dan kota sudah cukup terakomodasi dalam
perundangan pemerintahan selama ini.
Dalam hal ini, desentralisasi asimetris dapat menjadi terobosan akan
kebuntuan mekanisme forma dimana pengaturan asimetris itu
diterapkan. ( Prof. M. Masud Said, Ph.D. Dewan Pakar Mayarakat
Ilmu Pemerintahan Indonesia dalam artikel

Perlu Desentralisasi

Asimetris dalam .Negara Kesatuan. Jurnal Borneo Administrator Vol.


6 No. 2, 2010).

Desentralisasi asimetris di Indonesia merupakan sebuah


keberlanjutan sejarah yang telah dimulai dari masa kolonial dan
ditegaskan dalam tiga konstitusi yang pernah berlaku di Indonesia.
Dasar dari desentralisasi asimetris tersebut dapat dirujuk dalam
konstitusi sebagai kesatuan hukum tertinggi. Desentralisasi asimetris
menyangkut urusan yang fundamental terkait pola hubungan pusat

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

!42

dan daerah menyangkut disain kewenangan,kelembagaan, finansial


dan kontrol yang berbeda.
(Bayu Dardias Kurniadi, Staf pengajar di Jurusan Politik dan
Pemerintahan, Fisipol UGM. Ketua Tim Kajian Evaluasi Desentralisasi
Asimetris yang Mensejahterakan: Pengalaman Aceh dan Papua,
kerjasama Yayasan TIFA dan JPP Fisipol UGM tahun 2012).

Argumentasi tentang pentingnya pengembangan desentralisasi


asimetris di Indonesia didasarkan pada argumentasi sebagai berikut, 1)
Desain asimetris dirancang untuk menjawab persoalan lokal/daerah
dengan menggunakan kapasitas governability sebagai tolok ukur utama;
2) Desain asimetris dirancang untuk menjawab tantangan globalisasi; 3)
Desain asimetris harus diletakkan di atas prinsip kebineka-an sosiokultural Indonesia; 4) Asimetris tidak hanya menjangkau masalah2 lokal,
juga kebutuhan nasional
(Kotan Y. Stefanus,, Staf Pengajar Pascasarjana FH Undana, 2012)

Catatan Penutup
(1)

Meski tujuan dan implikasi yang diharapkan baik dan muncul

optimisme dari berbagai pihak ,

Saya kira kita perlu juga

memperhatikan tiga saran dari pakar politik lokal dan otonomi daerah
yang lebih seni or yakni18 bahwa Pengaturan asimetris desentralisasi
karena faktor capacity driven ini harus memperhatikan

(a) memiliki

jangka waktu dalam pelaksanaannya, bisa temporer dan bisa


permanen; (b) bentuk pengaturan asimetris formatnya bisa finansial
atau fungsional; dan (c) skope pengaturan asimetris bervariasi,
tergantung di level pemerintah yang mana pengaturan asimetris itu
diterapkan.
18

Cornelis Lay dan Josep Riwu Kaho. Modul kuliah Politik Desentralisasi. JPP FISIP
UGM. 2007. Tidak dipublikasikan.
Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

!43

(2) Pelaksanaan

revolusi mental atau perubahan dari kerja lambat

menjadi cepat, minta dilayani menjadi melayani, tertutup menjadi


terbuka, mobilisasi menjadi partisipatif

nampaknya perlu

mulai

dilakukan oleh pemerintah pusat sendiri terutama jajaran


kemendagri. Sudah saatnya rancangan kebijakan tindaklanjut dari UU
Pemda dikonsultasikan ke publik, diseminarkan bersama asosiasi
pemda di kampus, hal ini tentu sesuai semangat Nawacita yang
mengutamakan partisipasi publik.Semoga Nawacita dan Desentralisasi
Asimetris bukan sekedar janji tapi solusi nyata
problematika otonomi daerah di Indonesia.***

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

mengatasi

!44

KEPEMIMPINAN POLITIK LOKAL


(Telaah Undang-Undang No 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah)
Oleh : Robi Cahyadi Kurniawan19

A. PENDAHULUAN
Pengesahan Undang-undang (UU) tentang Pemerintahan Daerah yang baru yakni UU
No 2 Tahun 2015 menimbulkan keresahan terutama dikalangan pemerintah daerah
Kabupaten dan Kota. UU ini merupakan revisi dari UU yang baru saja dibuat tahun
2014, yakni UU No 23 tahun 2014. Menariknya dalam beberapa bulan saja, UU
yang disetujui oleh DPR tidak lama setelah pergantian pemerintahan direvisi
kembali seiring dengan dikembalikannya proses pemilihan kepala daerah

dari

DPRD ke rakyat secara langsung, seperti yang diamanahkan oleh Undang-Undang


tentang Pemilukada
Perubahan dalam UU yang terbaru hanya pada fungsi DPRD yang menyesuaikan
konteks pemilihan kepala daerah yang kembali langsung oleh rakyat. Substansi
yang lain pada UU sebelumnya ( UU 23 tahun 2014) tidak banyak yang berubah.
Namun jika dibandingkan dengan
sebelumnya

UU yang telah berlaku dan dijalankan

yakni UU No 32 tahun 2004 ada beberapa hal subsatansial yang

berubah.
UU Pemerintahan daerah yang baru lahir dari adanya keresahan yang ditimbulkan
UU sebelumnya. Salah satu masalah dalam UU No 32 tahun 2004 adalah lemahnya
fungsi gubernur dalam mengontrol pemerintah kabupaten dan kota. Dalam
pandangan pemerintah lokal, Gubernur bukanlah atasan mereka, karen Walikota
dan Bupati dipilih langsung oleh rakyat. Sehingga Gubernur seolah kehilangan
kekuasaan mereka terhadap Bupati dan Walikota. Masalah-masalah pertambangan,
kelautan dan kehutanan menjadi eksplotasi utama Bupati dan Walikota untuk

19

Robi Cahyadi Kurniawan M.A, Dosen Jurusan Ilmu Pemerintahan, FISIP UNILA.

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

!45

meningkatkan PAD dan menguntungkan diri sendiri tanpa melihat dampak negatif
dari kebijakan yang telah ia buat.
Raja-raja kecil didaerah banyak sekali bermunculan sejak rezim pilkada
(pemilukada) dimulai. Koordinasi kepada pemerintah pusat , dalam hal ini
Gubernur sebagai kepanjangan tangan Presiden menjadi sangat kacau. Otonomi
daerah yang diharapkan menjadi pemicu majunya daerah karena bisa mengelola
kekayaan dan potensi alamnya secara mandiri, berubah menjadi ajang korupsi dan
memperkaya diri.
Dampak negatifnya adalah banyak kekayaan alam yang tidak dipergunakan dengan
semestinya, digadaikan kepada pihak ketiga yang memiliki modal, serta
menguntungkan elit lokal dan pejabat daerah. Dilain pihak beban anggaran pemda
kabupaten/kota bertambah dengan alasan belanja pegawai , serta pembangunan
yang tidak tepat sasaran. Sehingga pemerintah pusat mengambil alih kewenangan
pemerintah daerah seperti yang tertuang dalam UU No 23 tahun 2014. Tulisan ini
mencoba menganalisa

tentang fenomena elit lokal dalam kaitannya dengan

implementasi UU No 23 tahun 2014, khususnya pada pasal 14.

B. TEORI TENTANG ELIT DALAM POLITIK LOKAL


Teori tentang elit dikembangkan oleh tiga ilmuan Italia, yaitu ; Robert Mitchels
dengan konsepnya hukum besi oligarkhi20, Gaetano Mosca dengan dikotomi
governing elite and non governing21, Vilfredo Pareto dengan konsep the ruling
class dan the ruled class dan ide tentang elite circulation22. Mereka meletakkan
fondasi yang kuat tentang studi elit sejak tahun 1915. Basis pemikiran mereka
bersumber pada pendapat Aristoteles tentang peran yang dimainkan sejumlah

Michels, Robert. Partai Politik, kecendrungan oligarkhi dalam birokrasi,


terjemahan. Mien Joebhaan, CV. Rajawali, Jakarta , 1984
20

21

Mosca, Gaetano. The Ruling Class, Mc Graw Hill, New York, 1939

22

Pareto, Vilfredo, The Mind and Society, Jonathan Cape, London, 1935

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

!46

minoritas yang memegang kekuasaan dalam sejarah manusia

(oligarkhi/

aristokrasi). Pengertian elit mengalami transformasi menjadi a small and powerful


group sejak saat itu23.
Dua perspektif utama dalam studi tentang elit

yaitu pluralis ( democratic elite

theory) dan marxis (class theory 24 ). Teori elit menyatakan bahwa


ketidakseimbangan dalam masyarakat sebagai hal yang alamiah dan faktor yang
given. Dalam sebuah masyarakat selalu ada orang-orang yang ditempatkan dalam
posisi yang lebih baik dibandingkan kelompok masyarakat lain.

Teori kelas yang

dipelopori oleh Karl Marx, membagi masyarakat menjadi dua katagori berdasar
kepemilikan alat-alat produksi; yang memiliki dan menguasai alat produksi disebut
the rulling class. Sedangkan kelas yang lain ; mereka yang tidak memiliki alat
produksi, mereka diatur, diekploitasi dan dimiliki oleh kelas yang lebih berkuasa.
Dalam negara-negara dunia ketiga, terdapat beberapa elit lokal yang terbentuk.
Joel S. Migdal menyebutnya sebagai Local Strongmen25 yang merupakan refleksi
kekuatan masyarakat yang plural serta kelemahan negara (strong societies and
weak states). Setiap kelompok dalam masyarakat

memiliki pemimpinnya

sendiridan pemimpin ini relatif otonom terhadap negara. Sifat otonom ini
menyebabkan keberlangsungan lokal strongman tergantung pada social capacity
negara. Kemampuan negara untuk membuat warganya mematuhi aturan permainan
dalam masyarakat yang dibuat oleh negara disebut social capacity.

Termasuk

kemampuan untuk menyediakan sumber daya untuk mencapai tujuan pokoknya


serta mengatur perilaku masyarakat sehari-hari. Di negara-negara dunia ketiga
kemampuan negara tersebut lemah, sehingga menyebabkan menjamurnya local
strongman.
Lebih lanjut Migdal mengemukakan bahwa local strongmen dapat bertahan asalkan
ia berkolaborasi dengan negara dan partai politik pemerintah. Berdasarkan itu
23

Scoot, 1990: ix

24

Etzioni-Halevy, 1993, Scott, 1991

25

Midgal, Joel. State in Society . Cambridge University Press , 2001 : 85

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

!47

maka terbentuklah triangle of accomodation. Yang terjadi kemudian, triangle ini


mengijinkan sumberdaya negara untuk memperkuat local strongmen dan
organisasinya, dan keberlangsungan local strongmen tergantung juga pada
kekuatan negara untuk mengatur kontrol mereka. Mereka belajar mengakomodasi
pemimpin yang populis untuk menangkap organisasi negara pada level yang lebih
rendah26.

B. TELAAH UNDANG-UNDANG NO 23 Tahun 2014 DARI PERSPEKTIF ELIT


Akar permasalahan mengapa penulis merasa perlu untuk mengkaji undang-undang
ini berdasarkan perspektif elit adalah karena tarik menarik kewenangan kemudian
menjadi latar belakang lahirnya UU No 23 tahun 2014 ini. Otonomi darah yang
digadang-gadang merupakan bentuk terbaik dari penyelenggaraan pemerintahan,
menurut pendapat penulis sudah berubah menjadi sebuah arena memperkaya diri
bagi para pemimpin dan elit lokal, dengan memanfaatkan sumber daya yang ada.
Didalam undang-undang No 23 tahun 2014 pasal 14 disebutkan; ayat 1 :
Penyelenggaraan Urusan pemerintahan bidang kehutanan, kelautan, energi dan
sumber daya mineral dibagi antara Pemerintah Pusat dan Daerah Provinsi. Ayat 2
dituliskan ; Urusan pemerintahan bidang kehutanan sebagaimana disebut pada ayat
(1) yang berkaitan dengan pengelolaan taman hutan raya kabupaten/kota menjadi
kewenangan daerah kabupaten/kota. Ayat 3, dituliskan ; Urusan pemerintahan
bidang energi dan sumberdaya mineral sebagaimana yang disebut pada ayat (1)
yang berkaitan dengan pengelolaan minyak dan gas bumi menjadi kewenangan
pemerintah pusat. Ayat 4, dituliskan;

Urusan pemerintahan bidang energi dan

sumberdaya mineral sebagaimana yang disebut pada ayat (1) yang berkaitan
dengan pemanfaatan langsung panas bumi dalam daerah kabupatan/kota menjadi
kewenangan kabupaten /kota.

26

Ibid. Midgal, 256

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

!48

Sekilas dari pemaparan pasal 14

terdapat keadilan berbagi kewenangan yakni

diayat 3, pemerintah pusat memiliki hak dalam pengelolaan minyak dan gas bumi,
dilain pihak daerah kabupaten/kota memiliki hak mengelola taman kota dan
pemanfaatan langsung panas bumi.
Dalam perspektif elit, dalam kacamata teori Marx, yang dijelaskan mengenai
produksi, maka keputusan pasal 14 dalam UU N0 23 tahun 2014 ini adalah murni
dikarenakan tentang kelas menurut pendapat penulis.

Pemerintah pusat

mempunyai kelas yang lebih tinggi dibandingkan pemerintah daerah.

Pusat

memiliki hak yang lebih pantas untuk memproduksi dan menghasilkan publik goods
bagi masyarakat dengan menguasai sumber daya alam yang paling dicari dan paling
menguntungkan.
Dalam konteks teori kapitalisme, penulis berpendapat bahwa pemerintah pusat
yang terdiri dari bagian eksekutif dan legislatif memiliki keinginan mengambil
keuntungan lebih besar dan lebih banyak dalam hal ekploitasi minyak dan gas
bumi. Dalam banyak kasus, bahwa penguasaan minyak dan gas telah menjadi
sumber penghasilan partai politik dengan menempatkan wakil-wakilnya dijajaran
pemerintahan umtuk menjadi menteri dan direktur pertamina (contoh kasus Rudi
Rubiantara dan Sultan Bhatogana politisi Partai Demokrat dalam

korupsi SKK

Migas).
Dalam konteks lokal, dalam perspektif local strongmen-nya Midgal, bahwa
kekuatan lokal diramu dengan kelemahan negara menjadikan banyak

kekuatan-

kekuatan lokal baru. Serupa dengan Bossism di Filiphina, penulis berpendapat


bahwa kekuatan lokal di kabupaten dan kota di Indonesia dalam hal ini konteks
yang lebih sempit adalah Provinsi Lampung lahir dari kolaborasi penguasa (Bupati
dan Walikota) dengan pengusaha.
Dengan pengambilalihan kewenangan minyak bumi dan gas ke pemerintah pusat,
yang paling dirugikan adalah penguasa dan pengusaha lokal. Asumsi penulis, dalam

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

!49

konteks lokal kabupaten-kabupaten di Provinsi Lampung yang memiliki cadangan


minyak bumi dan gas bumi, perusahaan-perusahaan asing telah mengeluarkan
dana yang telah di alokasikan untuk melancarkan eksploitasi mereka di daerah.
Misalnya Chevron yag menggali cadangan gas dan minyak bumi yang ada di
Kabupaten Lampung Barat dan Kabupaten Tanggamus.
Pembagian kewenangan yang dirasa tidak adil oleh daerah ini juga cenderung
dapat menciptakan peluang neo-feadalisme dengan budaya paternalistik dan
menciptakan pola patron klien yang baru. Kembali ke masa orde barau dimana
pemerintah usat sebagai patron (raja) dan pemerintah daerah sebagai klien
(hamba) khususnya bagi pengelolaan migas.
UU No 23 tahun 2014 yang telah direvisi sebagian kecil pasalnya dan dimuat dalam
UU No 2 tahun 2015 telah menjadi sebuah pekerjaan rmah yang berat bagi daerahdaerah kabupaten kota, khususnya yang memiliki kandungan minyak dan gas bumi
yang banyak.

Peraturan pemerintah turunan dari Undang-Undang ini memang

belum ada, untuk itu diperlukan peraturan yang sistemtik dan mengatur seadiladilnya tentang bagi hasil daerah yang memiliki kandungan minyak dan gas.
Fenomena Aceh dan Papua, bisa menular ke daerah-daerah lain di Indonesia adalah
hal disintegrasi bangsa dan juga kecendrungan

keinginan kuat memisahkan diri

dari NKRI jika masalah pembagian kuota ini tidak diberlakukan dengan bijak dan
adil. Jika kecendrungan ini didukung kuat oleh lokal stongmen dan bossism kuat
didaerah yang ditopang oleh dana dari pengusaha , maka kemungkinan disintegrasi
daerah bisa mungkin terjadi.
Pasal 14 Undang-Undang No 23 tahun 2014 memang hanya terdiri dari beberapa
ayat, namun besar konsekuensinya dalam

konteks hubungan antara pusat dan

daerah, karena juga menyangkut pembagian jatah kue perekonomian yang berguna
untuk pembangunan daerah.

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

!50

Kepemimpinan politik lokal , dalam hal ini konteks Bupati dan Walikota
menanggapi berlakunya UU No 23 tahun 2014 , selain perlu pembagian kue yang
lebih adil juga dibutuhkan pengawasan yang melekat sehingga pemimpin lokal
tidak menjadi raja kecil yang cenderung menyelewengkan dana pemerintah pusat.
Hendaknya diaturan peraturan pemerintah sebagai turunan dari UU No 2 tahun
2015 revisi dari UU No 23 tahun 2014 juga memberikan sanksi yang tegas dan
merujuk

dalam pasal 72,73 dan 74 Undang-Undang No 23 tahun 2014 tentang

pertanggungjawaban kepala daerah.

DAFTAR PUSTAKA

Agger, 2003, Teori Sosial Kritis, Kritik Penerapan& Implikasinya, Kreasi Wacana
Yogyakarta
Apter, David E. 1997, Pengantar Analisa Politik, LP3ES, Jakarta
Josep R. Kaho & Cornelis Lay dalam Modul Kuliah Politik Desentralisasi, bab
dinamika politik lokal, pascasarjana Ilmu Politik, 2005
Malik Djamaludin, Dedy dan Inantara, 1994. Komunikasi Persuasif. Bandung: PT
Remaja Rosda Karya

Michels, Robert. Partai Politik, kecendrungan oligarkhi dalam birokrasi,


terjemahan. Mien Joebhaan, CV. Rajawali, Jakarta , 1984

Midgal, Joel. State in Society . Cambridge University Press , 2001

Mosca, Gaetano. The Ruling Class, Mc Graw Hill, New York, 1939

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

!51

Pareto, Vilfredo, The Mind and Society, Jonathan Cape, London, 1935

Mulyana, Deddy.Dr, M.A.2005 Nuansa-Nuansa Komunikasi.Bandung: PT Remaja


Rosda Karya.

Nimmo, Dan. 2001 Komunikasi Politik Khalayak dan Efek. Bandung: PT Remaja
Rosda Karya
Suwarno, P.J.1994, Habengkubuwono IX dan Sistem Birokrasi Pemeritahan
Yogyakarta, 1942-1947, sebuah Tinjauan Historis. Yogyakarta; Kanisius

Undang-Undang
Undang-undang No 23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah yang telah direvisi
sebagian menjadi UU No 2 tahun 2015 tentang Pemerintah Daerah
Website
Nugroho , (2009) Ulasan Politik
http://www.suaramerdeka.com/harian/0404/16/kha1.htm, ulasan Dr Nugroho,
Dosen Psikologi Politik di Unnes.

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

!52

UU NO.23/2014 dan Menggagas Model Pilgub


(Catatan untuk RUU Pemilukada)
Oleh: Arizka Warganegara
Membaca UU NO.23 tahun 2014, undang-undang tentang Pemerintah Daerah yang
baru seolah berada pada sebuah titik (di) antara. Undang-undang baru ini bisa
lebih mem-balance-kan kontekstualitas dan eksistensi pemerintah daerah menjadi
lebih prudent atau sebaliknya membuat pemerintah daerah kembali dalam skema
shadow sentralisasi.
Undang-undang yeng terdiri dari 411 pasal itu telihat sangat gemuk dan superduper. Saya bisa memperkirakan undang-undang ini kemungkinan dan bisa jadi
menjadi undang-udang mengenai pemerintah daerah yang tertebal seantero dunia.
Semua aspek kepemerintahan menjadi bagian yang seolah ingin dibahas walaupun
pada bagian lain, undang-undang ini juga akan dilengkapi dengan dua UU lain,
yaitu UU Pemilukada dan UU Pemerintahan Desa.
Kita tentunya ingat bahwa salah satu point penting reformasi adalah
penyelenggaran atau implementasi penuh terhadap otonomi daerah. Kabupaten
dan Kota sebagai pusat kecenderungan dan sentral pengembangan demokrasi lokal.
Pada bagian lain, pasal mengenai pemilihan kepala daerah, yaitu pasal 62
berbunyi: ketentuan pemilihan kepala daerah diatur dengan undang-undang
menurut saya masih ambigu dan saya tidak tahu sudah sampai manakah
pembahasan detail mengenai model pemilihan untuk gubernur tersebut. Dilain sisi

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

!53

ketika membaca UU No. 23 tahun 2014 terlihat jelas bahwa peran Gubernur
sebagai wakil pemerintah pusat di daerah begitu besar.
Di sela UU Pemilukada yang masih di-godok, menarik untuk mendiskusikan wacana
Pemilihan Gubernur, tentunya ada kelompok yang pro dan kelompok yang kontra.
Bagi kelompok yang menyukai rezim Pemilukada terutama Pemilukada di level
provinsi mengatakan ini adalah bagian dari skema pengulangan kelakuan rezim
orde baru yang sangat sentralistis dan manipulatif, akan tetapi dipihak yang lain
mengatakan bahwa ini adalah bagian naluriah dari proses demokrasi yang
menganut logika trial and error (coba dan salah) sekaligus bagian dari upaya
penataan ulang rezim pilkada yang cenderung

menyebabkan in-efisiensi

demokrasi.
Opsi Pemilihan Gubernur
Jika penghapusan Pilkada di level provinsi maka terdapat beberapa opsi bagi
Pemilihan Gubernur kedepan, beberapa opsi tersebut akan terurai dalam tulisan
berikut ini:
Opsi pertama, Gubernur akan dipilih langsung oleh Presiden argumentasinya adalah
bahwa dalam konteks negara kesatuan Gubernur bertindak sebagai wakil dari
pemerintah pusat di daerah maka secara politik Gubernur memegang kewenangan
yang diberikan Presiden kepadanya dan mempunyai inisiatif kewenangan bagi
daerahnya sebagai bagian dari pemberian mandat Presiden kepada Gubernur
tersebut.
Opsi kedua, Gubernur akan dipilih kembali oleh DPRD secara murni melalui
mekanisme pemilihan keterwakilan. Secara detail penjabarannya, setiap anggota
DPRD mempunyai satu suara untuk memilih Gubernur hal ini merujuk kembali
seperti pada UU

NO.22 Tahun 1999, diawal reformasi, Gubernur, Bupati dan

Walikota memang dipilih oleh anggota DPRD.

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

!54

Opsi ketiga ini merupakan usulan penulis yang menurut saya sebagai bagian dari
kompromi politik, pada tahap awal para Calon Gubernur akan di- fit and proper
test oleh para anggota DPRD kemudian hasil dari fit and proper test diajukan
kepada Presiden. Atau mekanisme sebaliknya Presiden yang menentukan satu atau
lebih Calon Gubernur kemudian DPRD yang melakukan fit and proper test dan
kemudian dilanjutkan untuk memilih satu diantara beberapa nama yang diajukan
Presiden tersebut, proses seperti ini sudah sering dilakukan oleh Presiden sebagai
contoh misalkan pemilihan Gubernur Bank Indonesia.
Beberapa Kekurangan dan Kelebihan
Memang ketika kita menilik berbagai kemungkinan opsi tersebut masing-masing
mempunyai kelebihan dan kekurangannya.
Pada opsi pertama misalkan, ketika Gubernur sebagai kepala daerah di sebuah
provinsi murni dipilih oleh Presiden maka yang akan terjadi adalah sebuah
subjektifitas politik. Sebuah tema besar yang sebenarnya sangat kita hindari di
era reformasi, masih ingat misalkan di era orde baru betapa politik patronase
menjadi sangat kental terutama untuk pengisian pos Bupati, Walikota sampai
Gubernur. Dengan konsep teritorial politik maka setiap pejabat yang menduduki
pos-pos tersebut mesti ditunjuk dan mendapat restu secara politik oleh
Presiden, sehingga kepemimpinan politik daerah tidak bisa berkembang dengan
baik apalagi bicara soal penataan demokrasi di level lokal.
Walaupun dalam mekanisme seperti ini ada kebaikannya terutama dalam menjaga
ranah integrasi bangsa, dengan konsep teritorial politik melalui mekanisme
Gubernur ditunjuk oleh presiden seperti ini maka secara politik konsep Unitary
State atau Negara Kesatuan akan terjaga dengan baik.

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

!55

Pada opsi kedua, Gubernur dipilih oleh anggota DPRD, dengan model yang kedua
ini kita pernah melakukannya dan pada waktu itu diatur dalam UU NO.22 Tahun
1999. Secara umum memang model pemilihan murni melalui mekanisme DPRD ini
sangat murah dan mudah teknisnya, panitia pemilihan hanya menyiapkan kertas
pemilihan dan kotak pemilihan kemudian pemilihan pun dapat dilaksanakan.
Kelemahan dengan model seperti ini, akan terjadi konfigurasi politik daerah yang
Legislative Heavy dimana lembaga legislatif akan lebih mendominasi perjalanan
pemerintah daerah, logikanya secara politik Gubernur dipilih oleh anggota DPRD.
Menurut saya, opsi yang paling ideal adalah opsi yang ketiga yaitu kewenangan
DPRD hanya sampai pada tahap melakukan fit and proper test saja terhadap para
kandidat Gubernur tersebut. Langkah selanjutnya DPRD melakukan perangkingan
berdasarkan pembobotan kuantitatif dari calon yang memiliki skor tertinggi sampai
terendah, mekanisme selanjutnya nama-nama calon Gubernur tersebut diserahkan
kepada Presiden untuk kemudian dipilih nah dalam konteks ini hak prerogratif
presiden untuk menentukan gubernur terpilih.
Makanisme ini menurut saya sangat kompromis dibandingkan dengan opsi pertama
atau kedua, secara politik kepentingan elit politik lokal terakomodasi, disisi lain
kepentingan presiden sebagai pemengang mandat kekuasaan tertinggi juga
terakomodasi. Walaupun mekanisme yang ketiga ini akan sangat sulit untuk
diakomodasi.

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

!56

UU 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah :


Simalakama Bandul Kewenangan Propinsi dan Kabupaten/Kota
Oleh : Feni Rosalia
UU Pemerintahan Daerah pada dasarnya adalah undang-undang yang mengatur
terselenggaranya roda pemerintahan daerah dengan mengutamakan pelaksanaan
azas desentralisasi. UU Pemerintahan Daerah beberapa kali mengalami pasang
surut sehingga harus beberapa kali mengalami perubahan karena dinilai tidak
sesuai dengan perkembangan keadaan, ketatanegaraan, dan tuntutan
penyelenggaraan pemerintahan daerah. Walaupun perubahan regulasi beberapa
kali mewarnai perjalanan kehidupan pemerintah daerah, namun pada prinsipnya
tetap mengacu pada visi dasar penyelenggaraan otonomi daerah, yaitu diarahkan
untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan,
pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat, serta peningkatan daya
saing daerah dengan memperhatikan prinsip-prinsip demokrasi, pemerataan,
keadilan, keistemewaan dan kekhususan suatu daerah dalam sistem Negara
Kesatuan Republik Indonesia.

Visi dasar dari kebijakan otonomi daerah tersebut

dengan demikian sejalan dengan semangat pendalaman demokrasi (deepening


democracy) dan semangat untuk mewujudkan pemerintahan yang efektif (effective
governance) demi pelayanan publik yang lebih baik.

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

!57

Esensi perubahan regulasi tentang pemerintahan daerah dengan visi yang ideal
tersebut tidak menjadi masalah jika dapat diterapkan dengan baik, dalam arti
memperhatikan tata cara pembagian kewenangan tidak hanya pusat ke daerah
tetapi yang lebih penting adalah pembagian kewenangan antara propinsi dengan
kabupaten/kota sebagai

penyelenggara pemerintahan di daerah. Jangankan

berbicara aplikasi UU tersebut, menyentuh dasar proses pembentukannya saja


apalagi bagaimana aturan pelaksanaannya masih dipertanyakan. Bandul
kewenangan bergerak tidak mengikuti aturan (yang notabene belum jelas), bandul
kewenangan ditarik sana sini tergantung pemahaman para pihak pemeroleh
kewenangan. Dapat dikatakan bahwa aparat pemerintah daerah baik di propinsi
maupun

kabupaten/kota masih belum ada kesepahaman, wajar jika masyarakat

mengalami kebingungan, bingung dengan regulasinya dan bingung melihat aparat


tarik menarik kewenangan. Miris memang !...
Tidak dipungkiri jika isu aktual pasca UU No 23 tahun 2014 terkait kelembagaan
adalah terjadinya benturan dan tarik menarik kewenangan. Bandul kewenangan
diperebutkan antara kabupaten/kota dan propinsi. Pergerakan bandul kewenangan
seperti buah simalakama, bergerak ke kabupaten/kota salah tetapi mau mengarah
ke propinsipun tidak bisa berjalan. Inti permasalahan adalah akibat regulasi yang
belum jelas di tingkat pusat. Pemerintah belum mengeluarkan petunjuk teknis dan
pelaksana dari UU No 23 Tahun 2014. Selain itu propinsi sebagai pihak yang
diberikan kewenangan versi UU Pemerintahan Daerah yang baru juga belum
menerbitkan aturan terkait pelaksanaan kewenangan yang dimaksud.
Penyelesaian masalah yang tidak menyelesaikan masalah !....
Mengacu pada keluarnya UU Pemerintahan Daerah yang baru, jelas dalam beberapa
bidang mengharuskan bandul kewenangan bergerak mengarah ke propinsi tetapi
ternyata kabipaten/kota sebagai si empunya awalnya tetap menarik bandul
tersebut ke arahnya, dapat dianalisis jika keluarnya UU Pemerintahan Daerah yang
dimaksudkan untuk mengatasi masalah pemerintahan daerah tetapi ternyata tidak
menyelesaikan masalah dengan tuntas. Kesalahan pengambilan kebijakan terulang,

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

!58

tetapi tidak menjadi pembelajaran. Pemerintah dengan mudahnya mengambil


keputusan dengan jalan pintas, hanya memperhatikan aspek pragmatis tetapi tidak
diikuti dengan aspek konsepsi dan teoritis. Pemerintah juga tidak cermat
menganalisa keputusan yang dipandang dapat mengatasi permasalahan konkrit.
Kesalahan pemerintah yang paling fatal adalah manakala pemerintah tidak
mempertimbangkan kemungkinanan-kemungkinan rasional lainnya. Yang terjadi
adalah dorongan untuk segera melakukan aksi tanpa memperhatikan aspek lainnya.
Simalakama bandul kewenangan akan terus terjadi manakala aturan pelaksana UU
23 tahun 2014 belum keluar baik dari pemerintah pusat maupun propinsi.
Walaupun tidak dibenarkan dalam UU Pemerintahan Daerah, namun kabupaten/
kota akan terus menjalankan kewenangannya dengan pertimbangan untuk
keberlangsungan pelayanan. Begitu pula Propinsi akan tetap bersikukuh akan
kewenangan yang dimilikinya dengan dasar kewenangan dan legalitas pelayanan.
Beberapa kewenangan yang beralih dari kabupaten/kota kepada propinsi adalah
kewenangan pertambangan dan pendidikan. Kota/Kabupaten dilarang menerbitkan
izin usaha pertambangan (IUP) mineral logam, bukan logam, dan bebatuan
sebagaimana kewenangan yang biasa dimilikinya, namun berhubung aturan
pelaksanaannya belum ada baik dari pemerintah pusat maupun propinsi sehingga
saat ini masih banyak daerah kabupaten/kota yang memaksakan untuk
mengeluarkan IUP. Kewenangan yang juga beralih dari kabupaten/kota ke propinsi
adalah urusan pendidikan menengah, urusan kehutanan (kecuali pelaksanaan
pengelolaan tahura kabupaten/kota), dan urusan ESDM (kecuali penerbitan izin
pemanfaatan langsung panas bumi dalam kabupaten/kota).
Tarik menarik kewenangan pada dasarnya bersumber dari benturan kebijakan
antara UU No 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dengan UU No 4 tahun
2009 tentang Minerba. UU Pemerintahan Daerah memberikan kewenangan
pertambangan kepada propinsi, di lain pihak UU Minerba memberikan kewenangan
pertambangan kepada Kabupaten/Kota. Untuk kasus ini dalam ilmu hukum dikenal

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

!59

istilah lex specialis derogat legi generalis, yaitu asas penafsiran hukum yang
menyatakan bahwa hukum yang bersifat khusus (lex specialis) mengesampingkan
hukum yang bersifat umum (lex generalis)(International Principle of Law, trans
leg.org). Perlu kajian khusus untuk menentukan mana yang lex specialis dan mana
yang lex generalis.
Akhirnya sebagai rekomendasi tulisan ini, penulis menyarankan agar pemerintah
segera menerbitkan Peraturan Pemerintah sebagai tindak lanjut pelaksanaan UU no
23 tahun 2014. Demikian pula propinsi sebagai daerah yang diberikan kewenangan
segera dapat mengeluarkan petunjuk teknis terkait pelaksanaan kewenangan yang
dimilikinya. Internalisasi dan pendalaman bagi SKPD tentang kewenangan masingmasing daerah, diikuti arti pentingnya urusan sangat diperlukan, mengingat bahwa
urusan merupakan entry point (pintu masuk) bagi program dan kegiatan.
Simalakama bandul kewenangan bukan mustahil terus terjadi jika tidak ada
kejelasan isi regulasi yang memuat di manakah urusan itu berada.

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

!60

OTONOMI DAERAH VS SENTRALISASI BARU27


OLEH:
Drs. Denden Kurnia Drajat, M.Si28
Era Reformasi yang dimulai dengan tumbangnya rezim Orde Baru dengan ditandai
dengan tumbangnya kekuasaan presiden Soeharto menimbulkan konsep dan
paradigma baru dalam penyelenggaraan pemerintahan salah satu konsep yang lahir
pada zaman tersebut adalah kosep Otonomi Daerah. Konsep Otonomi daerah
timbul dengan adanya UU Pemerintahan daerah yaitu UU No 22 Tahun 1999 serta
UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Konsep penyelenggaraan
pemerintahan sebelum adanya konsep otonomi daerah adalah pemerintah sebagai
agen tunggal dalam penyelenggaraan pemerintahan baik itu urusan yang
menyangkut pemerintahan pusat maupun urusan pemerintahan di Daerah.
Pemerintah Daerah pada saat itu tidak diperkenankan mengurus rumah tangganya
sendiri karena urusan daerah menjadi wewenang pemerintah pusat.

27

Disampaikan Pada Seminar Nasional Labpolotda JIP MIP Fisip Unila Kamis, 30 April 2015.

28

Dosen Jurusan Ilmu Pemerintahan FISIP Universitas Lampung.

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

!61

Pada saat UU No 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah disahkan oleh


Pemerintah bersama DPR maka konsep penyelenggaraan pemrintahan yang ada di
Indonesia mengalami perubahan diberbagai macam aspek. Daerah diberikan
kebebasan untuk mengatur wilayahnya sendiri tanpa campur tangan dari
pemerintah pusat. Konsep penyelenggaraan pemerintahan inilah yang dikenal
dengan sebutan Otonomi Daerah. Paradigma Otonomi daerah yang sudah
berjalan hampir selama 1 (dekade) ini banyak menimbulkan dampak positif dalam
penyelenggaraan pemerintahan di daerah yaitu, Perkembangan proses demokrasi
dalam kehidupan masyarakat dan pemerintahan akan meningkat. Konsep Otonomi
daerah ini telah menelurkan semangat untuk memilih pemimpin daerah baik itu
Bupati ataupun Walikota melalui pemilihan kepala daerah langsung (PILKADA).
Masyarakat secara bebas memilih langsung pemimpin mereka tanpa campur tangan
dari pihak lain. Dampak Positif yang lainnya mengenai konsep otonomi Daerah ini
adalah Pemerintah daerah bebas mengolah dan menggali potensi daerahnya
masing-masing tanpa adanya campur tangan dari pemerintah pusat. Pemerintah
daerah semakin termotivasi untuk mengali potensi yang ada di daerah dengan
harapan pembangunan yang ada di daerah semakin maju karena adanya konsep
Otonomi Daerah ini.
Setelah 10 (sepuluh) tahun berjalan konsep otonomi daerah ini juga telah
menimbulkan problematika-problematika yang ada di daerah. Berdasarkan data
Kemendagri pada tahun bulan Desember 2014 kepala daerah yang tersangkut
korupsi berjumlah 343 (tiga ratus empat puluh tiga) kepala daerah. Kepala daerah
ini yang berperkara hukum baik di kejaksaan, kepolisian, mau pun Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK). Sebagian besar karena tersangkut masalah
pengelolaan keuangan daerah. Data Kementerian Dalam Negeri menyebutkan,
hingga tahun 2010, ada 206 kepala daerah yang tersangkut kasus hukum. Tahun
selanjutnya, Kemendagri mencatat secara rutin yaitu 40 kepala daerah (tahun
2011), 41 kepala daerah (2012), dan 23 kepala daerah (2013).

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

!62

Sementara itu, kepala daerah atau wakil kepala daerah yang tersangkut di KPK
hingga tahun 2014 yakni mencapai 56 kepala daerah. Tjahjo menyebutkan,
sebagian besar diketahui melakukan korupsi dalam pengelolaan keuangan daerah
yang bersumber pada penyusunan anggaran, pajak dan retribusi daerah,
pengadaan barang dan jasa, belanja hibah dan bansos, dan belanja perjalanan
dinasi. Kemendagri mengungkapkan, penyebab banyaknya kepala daerah yang
terkena kasus korupsi adalah komitmen antikorupsi yang belum memadai, tidak
adanya integritas, belum diterapkannya e-procurement, dan rentannya birokrasi
terhadap intervensi kepentingan.29
Timbulnya korupsi di daerah seakan timbul karena konsep otonomi daerah yang
memberikan kebebasan setiap daerah untuk mengurus rumah tangganya sendiri
tanpa campur tangan pemerintah pusat. Proses pilkada yang menimbulkan
berbagai macam tindak korupsi di daerah seakan-akan memperburuk citra
paradigma otonomi daerah itu sendiri. Selain itu juga konsep otonomi juga
memperlemah peran dari pemerintah daerah provinsi untuk mengawasi
penyelenggaraan pemerintahan yang ada di daerah. Wewenang pemerintah
provinsi hanya sebagai pengawas dan tidak mempunyai wewenang untuk
memberikan sanksi kepada pemerintah daerah kabupaten ataupun kotamadya jika
daerah tersebut tidak bias mengurus rumah tangganya sendiri.
Problematika yang cukup pelik tersebut akhirnya mendorong Pemerintah bersama
dengan DPR membuat terobosan untuk menanggulangi permasalahan yang ada di
daerah dengan disyahkannya UU Pemerintahan yang Baru yaitu UU No 23 Tahun
2014. Pada Pasal 9 UU No 23 Tahun 2014 ini menyatakan bahwa urusan
pemerintahan dibagi menjadi 3 (tiga) urusan pokok yang terdiri atas urusan
pemerintahan absolut, urusan pemerintahan konkuren, dan urusan pemerintahan
umum. Urusan Pemerintahan yang ada pada UU ini lebih mengatur terperinci
dimna urusan yang harus dikelola oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah

29http://nasional.kompas.com/read/2015/02/04/21114211/Mendagri.

343.Kepala.Daerah.Tersangkut.Kasus.Hukum

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

!63

provinsi, ataupun pemerintah daerah kabupaten atau kotamadya. Sebelum adanya


UU Pemerintahan yang baru ini pemerintah daerah diberi kekuasaan sebesarbesarnya untuk mengurus rumah tangganya sendiri tanpa campur tangan
pemerintah pusat. Dengan adanya UU Pemerintahan daerah yang baru ini membuat
peran pemerintah daerah kabupaten/kotamadya menjadi kecil dalam mengurus
rumah tangganya sendiri.
Persoalan kewenangan Kepala daerah kabupaten/walikota dalam menjalankan
pemerintahan juga sudah mulai diawasi secara ketat oleh pemerintah daerah
provinsi. Sebelum adanya UU No 23 Tahun 2014 tentang pemerintahan daerah.
Gubernur hanya sebagai wakil pemerintah pusat di daerah yang hanya bertugas
untuk menjadi koordinasi penyelenggaraan urusan Pemerintah di daerah provinsi
dan kabupaten/kota selain itu juga tugas gubernur pembinaan dan pengawasan
penyelenggaraan pemerintahan daerah kabupaten/Kota. Gubernur tidak memiliki
wewenang untuk menjatuhkan sanksi kepada daerah jika daerah tidak
menjalankan urusan pemerintahan dengan baik. Setelah UU Pemerintahan daerah
yang terbaru terbit kewenangan Gubernur sangat luas untuk mengawasi jalannya
pemerintahan kabupaten/Kotamadya. Ketika seorang Bupati atau Walikota
membuat kebijakan atau membuat perda yang tidak sesuai dengan asas
penyelenggaraan pemerintahan maka di dalam pasal UU No 23 Tahun 2014
Gubernur dapat membatalkan peraturan daerah yang sudah dibuat oleh bupati
ataupun walikota. Sedangkan ketika seorang Bupati ataupun walikota tidak bias
menjalankan urusan yang dibebankan pemerintah pusat kepada daerah maka
Gubernur memiliki kewenangan yang cukup kuat untuk menjatuhkan sanksi kepada
bupati atau walikota karena tidak bias menjalankan apa yang telah diperintahkan
oleh pemerintah pusat.
Beberapa hal pokok yang ada pada UU 23 Tahun 2014 ini jika kita runtut diatas
sebenanrya timbul karena konsep dan semangat otonomi daerah yang sudah
berjalan selama hampir 1 dekade ini tidak berjalan dengan baik. Daerah diberi
kewenangan untuk mengurus rumah tangganya sendiri tanpa campur tangan

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

!64

pemerintah pusat. Tetapi pada kenyataanya konsep otonomi daerah ini disalah
gunakan kewenangannya timbul raja-raja kecil di daerah untuk menguasai potensi
yang ada di daerah. Timbul berbagai macam proses pemekaran di daerah baik itu
pemekaran provinsi, Kotamadya/Kabupaten dan bahkan pemekaran kecamatan
banyak terjadi. Masalah yang timbul akibat otonomi daerah ini juga menimbulkan
ketimpangan antar daerah yang satu daerah yang lain karena sumber daya alam
yang ada di suatu daerah tidak sama dengan daerah lain. Dengan demikian banyak
ketimpangan pemerataan pembangunan di daerah-daerah.
Sebenarnya Bila kita lihat konsep penyelenggaraan pemerintahan pada UU
Pemerintahan yang baru UU No 23 Tahun 2014 secara eksplisit menimbulkan
kembali konsep sentralistik yang pada zaman Orde Baru konsep ini diterapkan
dalam penyelenggaraan pemerintahan. Konsep Sentralistik ditandai dengan adanya
peran yang cukup besar antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah provinsi
untuk mengawasi pemerintah daerah kabupaten atau kotamadya dalam mengurus
rumah tangganya sendiri. Konsep sentralistik inilah yang mulai dianggap oleh elitelit di daerah dapat mengganggu jalannya roda pemerintahan mereka. Hal inilah
yang menjadi tantangan bagi semua aspek masyarakat yang ada di lingkungan
pemerintahan baik itu elit local ataupun elit pusat dalam memandang UU
pemerintahan terbaru ini. Apakah konsep pemerintahan daerah yang berdasarkan
UU No 23 Tahun 2014 yang sedikit banyak ada unsur sentralistik digabungkan
dengan konsep otonomi daerah yang sudah berjalan hampir 10 tahun berjalan ini
dapat berjalan dengan baik, mudah-mudahan konsep yang dikeluarkan oleh
pemerintah dan DPR membawa kebaikan bagi daerah dan juga bagi masyarakatnya.
Aamiiin.

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

!65

DINAMIKA HUBUNGAN PUSAT DAN DAERAH di INDONESIA30


Oleh : Himawan Indrajat31
Hubungan pusat dan daerah di Indonesia mengalami pasang surut, ada masa ketika
daerah tidak mempunyai kemandirian bahkan hanya dieksploitasi oleh pemerintah
pusat seperti ketika orde baru berkuasa pola hubungan pusat dan daerah sangat
sentralistik melalui undang-undang nomor 5 tahun 1974 tentang Pokok-pokok
Pemerintahan Daerah, daerah tidak memiliki kewenangan atau otonomi untuk
mengurus urusan pemerintahnya sendiri semua pemerintah pusat yang
menentukkan. Dan kecenderungan pemerintah daerah saat itu adalah Excecutive
30

Disampaikan Pada Seminar Nasional Labpolotda JIP MIP Fisip Unila Kamis, 30 April 2015

31

Dosen Jurusan Ilmu Pemerintahan FISIP Universitas Lampung

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

!66

Heavy, karena Kepala Daerah adalah wakil langsung yang ditunjuk pemerintah
pusat walaupun dia dipilih melalui DPRD, dan fungsi DPRD juga sangat lemah.
Kemudian setelah pemerintahan orde baru jatuh di gantikan pemerintahan transisi
Habibie pada masa awal reformasi dilakukan perubahan besar pada pola hubungan
pusat daerah yang tidak lagi tersentralisasi tapi desentralisasi, dengan disyahkan
undang-undang nomor 22 tahun 1999. Dengan undang-undang tersebut daerah
mendapat otonomi yang sangat luas. Daerah benar-benar menikmati otonominya,
terutama kabupaten/kota karena otonomi yang dilaksanakan saat itu titik beratnya
ada di kabupaten/kota, kekuatan provinsi dilucuti, serta kepala daerah seperti
gubernur, bupati dan walikota tidak lagi ditunjuk oleh pusat dan kemudian dipilih
oleh DPRD, tetapi DPRD langsung yang memilih para calon kepala daerah tersebut.
dalam pelaksanaannya ternyata undang-undang tersebut dianggap terlalu
memberikan kebebasan yang berlebihan, seperti bupati/walikota dianggap sebagai
raja-raja kecil, kemudian konflik sumber daya alam antar daerah juga sangat
tajam, bahkan timbul konflik antara DPRD dan Bupati/Walikota ada beberapa
kepala daerah yang diberhentikan karena berkonflik dengan DPRD seperti kasus
Bupati Kampar Jefry Noer dan Bupati Temanggung.
Karena banyak permasalahan tersebut kemudian dilakukan perubahan dengan
disyahkannya undang-undang nomor 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah,
kebebasan daerah sedikit diperketat walaupun daerah masih diberikan kebebasan.
DPRD tidak bisa lagi sewenang-wenang untuk memberhentikan Kepala Daerah,
kemudian Kepala Daerah dipilih secara langsung oleh rakyat bukan lagi melalui
DPRD karena pemilihan tidak langsung melalui DPRD potensi money politic
sangatlah tinggi dengan menyuap anggota DPRD, diharapkan dengan pilkada secara
langsung pemimpin yang terpilih benar-benar pilihan rakyar.
Persoalan utama dalam pelaksanaan undang-undang nomor 22 tahun 1999 dan
kemudian undang-udnag nomor 32 tahun 2004 adalah kordinasi kebijakan
pemerintah pusat kadang tidak sejalan dengan kebijakan pemerintah pusat.

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

!67

Kemudian muncullah undang-undang nomor 23 tahun 2014 yang bermaksud untuk


bisa menselaraskan kebijakan pemerintah pusat atau program-program nasional
dengan kebijakan daerah. Nuansa dari undang-undang pemerintah daerah baru ini
lebih menekankan pada asas dekosentrasi dibandingkan undang-undang pemerintah
daerah sebelumnya yang lebih menekankan pada asas desentralisasi dengan titik
berat otonomi daerah pada kabupaten/kota. Provinsi yang sebelumnya lemah dan
kewenangannya sangat terbatas melalui undang-undang ini posisinya diperkuat
dengan penambahan fungsi dan kewenangan melalui Gubernur untuk mengawasi
pelaksanan pemerintah daerah di kabupaten/kota. Seperti yang tercantum dalam
pasal 91 yang mengatur tugas dan fungsi gubernur sebagai wakil pemerintah pusat.
Dalam pasal 91 disebutkan tugas dari Gubernur dalam pembinaan dan pengawasan
terhadap penyelenggaraan urusan pemerintah daerah yang menjadi kewenangan
daerah kabupaten/kota adalah :
1. Mengoordinasikan pembinaan dan pengawasan penyelenggaraa Tugas
Pembantuan

di Daerah kabupaten/kota.

2. Melakukan monitoring, evaluasi, dan supervisi terhadap penyelenggaraan


Pemerintahan Daerah kabupaten/kota yang ada di wilayahnya.
3. Memberdayakan dan memfasilitasi Daerah kabupaten/kota di wilayahnya.
4. Melakukan evaluasi terhadap rancangan Perda Kabupaten/Kota tentang
RPJPD,

RPJMD, APBD, perubahan

pelaksanaan APBD,

tata

ruang

daerah,

APBD,
pajak

pertanggungjawaban
daerah,

dan

retribusi

daerah.
5. Melakukan pengawasan terhadap Perda Kabupaten/Kota; dan
6. melaksanakan

tugas

lain

sesuai

dengan

ketentuan peraturan

perundang-undangan.
Sementara kewenangan dari Gubernur dalam melaksanakan fungsi kewenangannya
adalah :
1. Membatalkan Perda Kabupaten/Kota dan peraturan bupati/walikota.
2. Memberikan penghargaan atau sanksi kepada bupati/walikota terkait dengan
penyelenggaraan Pemerintahan Daerah.

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

!68

3. Menyelesaikan perselisihan dalam penyelenggaraan fungsi pemerintahan


antar-Daerah kabupaten/kota dalam 1 (satu) Daerah provinsi.
4. Memberikan persetujuan terhadap rancangan Perda Kabupaten/Kota tentang
pembentukan dan susunan Perangkat Daerah kabupaten/kota; dan
5. Melaksanakan wewenang lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.

Selain itu masih terkait dengan tugas dan kewenangan Gubernur sebagai wakil
pemerintah pusat adalah Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat dapat
menjatuhkan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
kepada penyelenggaran pemerintah daerah kabupaten/kota.
Tugas Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat inilah yang menjadi persoalan
karena seolah otonomi pada daerah kabupaten/kota

dibatasi serta seperti set

back kembali pada kondisi orde baru yang sentralistik. Sebenarnya undang-undang
ini disyahkan pada akhir kepemimpinan pemerintahan presiden Susilo Bambang
Yudoyono, yang kemudian oleh pemerintahan presiden yang baru terpilih Joko
Widodo melakukan perubahan kedua undang-undang nomor 23 tahun 2014 dengan
undang-undang nomor 9 tahun 2015, tetapi perubahan tersebut tidak membahas
tentang otonomi pada kabupaten/kota, perubahan yang dibahas adalah soal tugas
kepala daerah dan wakil kepala daerah, serta tugas DPRD provinsi serta DPRD
Kabupaten/Kota.
Dari perubahan tersebut memang terlihat bahwa pemerintah pusat ingin
menjaga atau mengawasi daerah khusus kabupaten/kota melalui provinsi agar
program-program pemerintah dapat terlaksana dengan baik. Seperti kita ketahui
bahwa program pemerintahan baru Joko Widodo untuk membangun infrastruktur
transpotasi nasional sangatlah ambisius dari jalan tol di sumatera, pembangunan
pelabuhan baru, membangun konektivitas transpotasi laut melalui tol laut dan
program-program yang lain seperti Kartu Indonesia Sehat dan Kartu Indonesia
Pintar. Apabila hal ini tidak didukung oleh pemerintah daerah tentu akan menjadi
hambatan dalam penerapannya.

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

!69

Tetapi bagi saya itu adalah ketakutan yang berlebihan dari pemerintah pusat, dan
pola pikir hubungan pusat daerah pemerintah masih bersifat

hierarkis vertikal,

daerah kabupaten/kota harus tunduk dan patuh pada kebijakan yang seragam
walaupun maksudnya itu baik. Tetapi dengan memberikan power pada Gubernur ini
untuk memberikan sanksi dan penghargaan terhadap pemerintah kabupaten/kota
tentu merupakan suatu kemunduran, apalagi Gubernur memilili kewenangan untuk
membatalkan peraturan daerah kabupaten/kota yang menyangkut RPJPD, RPJMD,
APBD, Perubahan APBD, Pertanggungjawaban APBD, tata ruang daerah, pajak
daerah, dan retribusi daerah apabila menurut Gubernur ternyata bertentangan
dengan peraturan lebih tinggi atau bertentangan dengan kepentingan umum
seperti yang diatur pasal 249 dan 250 undang-undang nomor 23 tahun 2014. Tentu
menyimpan potensi konflik yang sangat besar antara pemerintah kabupaten/kota
dengan pemerintah provinsi.
Padahal yang digadang-gadang dari pemerintahan baru sekarang adalah dukungan
terhadap proses demokrasi, termasuk didalamnya pola hubungan pusat dan daerah
yang terdesentralisasi. Bukan malah memperlemah posisi daerah kabupaten/kota,
pemerintah pusat dan DPR RI harus melalukan perubahan segera agar proses
demokrasi tetap berjalan sesuai dengan cita-cita Pancasila dan UUD 1945.

KEWENANGAN KEPALA DAERAH PASCA UU PEMERINTAHAN YANG BARU


DITAMBAH ATAU DIPERSEMPIT32
Oleh:
ANDRI MARTA, S.I.P, M.I.P33
32

DiSampaikan Pada Semnar Nasional LABPOLODA JIP MIP FISIP UNILA DAN APKASI

33

Dosen Tetap Jurusan Ilmu Pemerintahan Fisip Universitas Lampung

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

!70

PENDAHULUAN
Sebelum masa penghujung pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ada
suatu kebijakan strategis yang dikeluarkan oleh pemerintah bersama-sama dengan
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Yaitu dengan telah disahkannya Undang-Undang
Pilkada dan Undang-Undang Pemerintahan daerah yang baru yaitu UU No 22 Tahun
2014 dan UU No 23 Tahun 2014 sebagai pengganti dari Undang-Undang
Pemerintahan daerah yang lama yaitu UU No 32 tahun 2004. Perhatian masyarakat
pada saat itu cenderung melihat dan memperhatikan substansi tentang UU No 22
tahun 2014 tentang Pilkada karena pada UU tersebut mengatur pemilihan kepala
daerah melalui DPRD yang secara tak langsung tidak mempergunakan suara rakyat
dalam memilih pemimpin daerah mereka. Pada dasarnya jika kita memperhatikan
lebih rinci lagi Undang-undang Pemerintahan Daerah yang baru yaitu UU Nomor 23
tahun 2014 memiliki beberapa aspek yang harus kita kaji lagi dalam proses
pemerintahan daerah yang ada di Indonesia terutama tentang berkurangnya peran
Pemerintah daerah dalam urusan penyelenggaraan fungsi pemerintahan.

Masalah yang timbul terhadap kewenangan Kepala Daerah Kabupaten


atau Kotamadya
Sebelum disahkannya UU Pemerintahan yang baru ini, konsep otonomi daerah
sangat kuat sekali dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan pemerintahan yang ada
di daerah. Hal ini berdasarkan oleh UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah. Daerah diberi wewenang untuk mengurus dan melaksanakan proses
penyelenggaraan pemerintahannya tanpa campur tangan dari pemerintah pusat
ataupun pemerintah Provinsi. Menurut Mariun (1979) mengungkapkan

bahwa

dengan kebebasan yang dimiliki pemerintah daerah memungkinkan untuk membuat


inisiatif sendiri, mengelola dan mengoptimalkan sumber daya daerah. Adanya
kebebasan untuk berinisiatif merupakan suatu dasar pemberian otonomi daerah,

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

!71

karena dasar pemberian otonomi daerah adalah dapat berbuat sesuai dengan
kebutuhan setempat34.
Dengan semangat desentralisasi, daerah menggunakan otonomi yang dimilikinya
untuk berkreasi dan berinovasi dalam mengelola sumber daya-sumber daya yang
dipunyainya. Reformasi telah menghantarkan ke gerbang demokrasitisasi yang akan
membawa perubahan dalam sistem pemerintahan daerah yang semula sentralistis
menjadi desentralistis. Perubahan itu berimplikasi pada terjadinya pergeseran
lokus kekuasaan, dari pusat ke daerah. Desentralisasi memberikan surga baru pada
daerah-daerah, karena selama 3 (tiga) dekade kekayaan alam yang dimiliki daerah
tidak pernah dinikmatinya. Akibatnya, terjadi kesenjangan yang mencolok di
daerah-daerah yang kaya sumber daya alamnya, tetapi penduduknya tetap miskin
Pada prosesnya selama 1 (satu) dekade terakhir ini konsep otonomi daerah
menimbulkan berbagai macam permasalahan yang ada di daerah seperti timbul
raja-raja kecil di daerah karena kekuasaan mereka turun menurun dan juga
timbulnya korupsi kepala daerah yang memimpin daerah tersebut. Menurut
Kemendagri hamper 30% kepala daerah tersangkut korupsi di daerah yang mereka
pimpin. Melihat poblematika yang cukup kompleks ini maka pemerintah bersama
DPR mengesahkan UU pemerintahan yang baru untuk menggantikan UU No 32
tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Proses pembentukan UU No 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah ini
dilandasi karena permasalahan-permasalahan yang timbul akibat konsep otonomi
daerah yang salah diterapkan di masing-masing daerah di wilayah Indonesia.
Undang-Undang No 23 Tahun 2014 tentang pemerintahan daerah ini
menitikberatkan pada pembagian urusan antara pemerintah pusat dan pemerintah
daerah. Pada UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan daerah yang lalu urusan
penyelenggaraan pemerintahan daerah lebih di fokuskan kepada aspek otonomi
daerah yang ditandai dengai konsep Desentralisasi, Dekonsentrasi dan Tugas

34

Mariun. 1979. Azas-Azas Ilmu Pemerintahan. Yogyakarta. Badan Penelitian dan Pengaembangan. Fakultas
Sospol UGM

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

!72

Pembantuan. Ketika UU No 23 Tahun 2014 disahkan paradigma tentang


penyelenggaraan urusan pemerintahan lebih difokuskan pada 3 (tiga) aspek urusan.
Menurut UU no 23 Tahun 2014 Pasal 9 ayat (10) tentang pembagian urusan yaitu
urusan pemerintahan absolut, urusan pemerintahan konkuren, dan urusan
pemerintahan umum.
Pada UU pemerintahan yang baru ini juga di jelaskan bahwa Peran Gubernur sangat
memiliki kewenangan dalam hal penyelenggaraan pemerintaha di daerah. Menurut
UU No 32 Tahun 2004 Pasal 38 ayat 1, Gubernur hanya sebagai kepanjangan dari
pemerintah pusat di daerah yang hanya koordinasi pengawasan oleh pemerintah
pusat kepada daerah dan juga pembinaan tugas pembantuan yang diberikan
pemerintah pusat di daerah. Pada UU No 23 Tahun 2014 menjelaskan bahwasanya
Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat, diatur lebih spesifik seperti yang diatur
dalam pasal 91-93. Adapun tugas tersebut melakukan pembinaan dan pengawasan
terhadap penyelenggaraan Tugas Pembantuan di Kabupaten/Kota, melakukan
monev dan supervisi, melakukan evaluasi APBD dan lain-lain, dapat membatalkan
Perda dan memberikan persetujuan terhadap Raperda Kabupaten/Kota, serta
dapat memberikan sanksi kepada Bupati/Walikota.
Pada proses penyelenggaraan urusan pemerintahan daerah yang berkaitan dengan
bidang kehutanan, kelautan, serta energi dan sumber daya mineral UU No 23 Tahun
2014 ini mengatur bahwa urusan ini dibagi hanya untuk pemerintah pusat dan juga
pemerintah daerah provinsi. Hal ini dimaksudkan agar pemerintah daerah
kabupaten atau kotamadya tidak memonopoli kekayaan yang ada di daerah
sehingga korupsi yang dilakukan oleh kepala daerah Bupati atau Walikota dapat
dikurangi.
Pada akhirnya UU No 23 Tahun 2014 ini menimbulkan berbagai macam aspek
permasalahan baru karena UU ini tidak sesuai dengan UU No 4 tahun 2009 tentang
Pertambangan Minyak dan Batu Bar a (Minerba). Pada UU pemerintahan yang baru
ini dijelaskan bahwa pemberian ijin dan pemanfaatan hasil tambang, kehutanan

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

!73

dan mineral hanya dapat dilakukan oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah
provinsi. Tetapi dalam isi UU minerba dijelaskan bahwa yang berhak untuk
menerbitkan ijin dan pemanfaatan tentang pertambangan Minyak dan Batu Bara
(Minerba) adalah pemerintah daerah kabupaten atau kotamadya. Hal inilah yang
menjadi masalah yang timbul saat ini pada pemerintahan di daerah.
Secara eksplisit dapat kita pahami berdasarkan pemaparan diatas bahwa konsep
UU pemerintahan yang baru yaitu UU No 23 Tahun 2014 sebanarnya membonsai
kewenangan daerah Kabupaten atau Kotamadya untuk mengurus rumah tangganya
sendiri. Undang-undang ini cenderung menghidupkan pola sentralisasi yang ada
pada zaman Orde Baru tersebut, bahwa kewenangan yang mutlak dalam
penyelenggaraan pemerintahan daerah ada pada pemerintah pusat dan juga
pemerintah daerah provinsi. Undang-undang ini juga sedikit demi sedikit
menghilangkan konsep otonomi daerah yang mulai diperkenalkan sejak awal masa
reformasi. Karena pada saat roses pelaksanaan konsep otonomi daerah yang
hamper 10 (sepuluh tahun) ini berjalan timbul banyak permasalahan yang ada di
daerah seperti banyak kepala daerah yang terkena kasus korupsi, timbul juga rajaraja kecil yang ada di daerah yang posisi Gubernur saat itu hanya sebagai wakil
pemerintah pusat yang ada di daerah saja tanpa memiliki kewenangan yang jelas
dalam mengawasi jalannya pemerintahan daerah Kabupaten/Kotamadya.
Proses pembentukan sampai disahkannya UU pemerintahan yang baru Nomor 23
Tahun 2014 ini menimbulkan suara pro dan kontra dikalangan pemerintah pusat
dan juga pemerintah daerah. Pemerintah Pusat beralasan lahirnya UU ini bukan
semata-mata untuk menghidupkan kembali konsep sentralistis yaitu kewenangan
pemerintah pusat dan pemerintah daerah provinsi lebih besar dalam mengatur
penyelenggaraan urusan pemerintahan yang ada di daerah Kabupaten/Kotamadya.
Tetapi untuk mengurangi dominasi atau peran yang terlampau jauh oleh Bupati/
Walikota dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan di daerah. Reaksi berbeda
dikemukakan oleh para Bupati/Walikota yang ada di Indonesia. Menurut Bupati
Tanjab Barat, Usman Ermulan yang dikutip dari harian Info Jambi, beliau

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

!74

mengatakan bahwa UU No 23 Tahun 2014 ini berpotensi menimbulkan keresahan di


berbagai daerah. Sebab, pelaksanaan UU Pemda itu akan kembali memunculkan
praktek Orde Baru jilid II. Beberapa kekuasan atau wewenang yang selama ini
dimiliki oleh kepala daerah di tingkat II secara bertahap akan dilimpahkan ke
Pemerintah provinsi.35
Solusi
Permasalahan-permasalahan diatas sebenarnya penulis lihat dapat diselesaikan
apabila seluruh elemen duduk bersama membahas tentang persoalan dan isi dari
UU pemerintahan yang baru tersebut. Pemerintah Pusat harus menjelaskan secara
rinci maksud dan tujuan yang ada di UU pemeritahan yang baru ini kepada
pemerintahan yang ada di daerah sehingga tidak terjadi kesalahpahaman antara
pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam memahami UU No 23 Tahun 2014
ini.
Selain itu pemerintah pusat juga harus menerbitkan peraturan turunannya dari UU
No 23 Tahun 2014 ini yaitu tentang Peraturan Pemerintah (PP) yang berkaitan
dengan pokok dan isis dari Undang-Undang ini sehingga proses pelaksanaan UU
pemerintahan yang baru ini dapat berjalan optimal dan dapat digunakan oleh
semua pihak dalam hal penyelenggaraan urusan pemerintahan daerah.

35

http://infojambi.com/pemerintahan/14917-usman-ermulan-minta-tinjau-ulang-pelaksanaan-uu-pemda.html

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

!75

Transparansi Pemerintahan, Dapatkah Terwujud?


Melyansyah SA36
Pendahuluan
Pemerintahan yang transparan sampai hari ini masih sekedar jargon.
Keterbukaan informasi publik dalam setiap level pemerintahan sangat sulit
diwujudkan. Akses untuk mendapatkan informasi publik pun sangat sulit atau
bahkan ditiadakan. Dalam research Indonesia Governance Index tahun 2014
memberikan nilai rata-rata nasional tata kelola pemerintahan daerah hanya 5,7
(dengan 1 sebagai kriteria sangat buruk dan 10 sebagai kriteria sangat baik).
Pencapaian ini masih jauh dari hasil yang diharapkan, terlebih lagi banyak daerah
yang memperoleh nilai di bawah nilai rara-rata nasional. Buruknya tata kelola
pemerintahan tersebut juga berbanding lurus dengan rendahnya transparansi di
dalam penyelenggaraan pemerintahan. Rata- rata kinerja pemerintah transparansi
pemerintah masuk dalam kategori cenderung buruk dengan nilai indeks 4,58 (1
untuk kriteria tidak transparan dan 10 untuk kriteria sangat transparan).37 Hal ini
menunjukkan bahwa masih sulitnya akses terhadap informasi publik (dokumendokumen pemerintah yang tidak tergolong rahasia, seperti dokumen keuangan,
LKPJ, penggunaan dana aspirasi DPRD) di sebagain besar daerah di Indonesia.
Lahirnya UU No. 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah ini memberikan
harapan sekali lagi untuk menguatkan komitmen setiap pemerintah daerah untuk
mewujudkan transparansi dalam penyelenggaraan pemerintahan.

Transparency for Good Governance

36

Mahasiswa Jurusan Ilmu Pemerintahan, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Lampung. Saat ini
aktif dalam kepengurusan LABPOLOKDA di bidang kajian.
37

Abdul Malik Gismar dkk, Menuju Masyarakat yang Cerdas dan Pemerintahan yang Responsif(Laporan
Eksklusif Indonesia Governance Index 2012), Jakarta, Kemitraan Bagi Pembaruan Tata Pemerintahan(The
Partnership For Governance Reform), 2013, hal.34.

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

!76

Transparansi dan good governance merupakan satu kesatuan utuh yang saling koeksitensi. Good governance disebut sebagai pemerintahan yang baik jika memenuhi
prinsip transparan, sebaliknya transparansi merupakan sebuah keharusan untuk
mencapai good governance.

Transparansi penyelenggaraan pemerintahan memiliki arti yang sangat penting


dimana masyarakat diberikan kesempatan untuk mengetahui kebijakan yang akan
dan telah diambil oleh pemerintah. Bahkan dengan adanya transparansi
penyelenggaraan pemerintahan tersebut, masyarakat dapat memberikan feedback
atau outcomes terhadap kebijakan yang telah diambil oleh pemerintah.
Kajian terkait konsep transparansi kini semakin berkembang. Beberapa konsep
transparansi yang ditawarkan oleh beberapa literatur adalah sebagai berikut :
1. As transparency is a core governance value. The regulatory activities of
government constitute one of the main contexts within which
transparency must be assured. There is a strong public demand for
greater transparency, which is substantially related to the rapid increase
in number and influence of non governmental organisations (NGOs) or
civil society groups, as well as to increasingly well educated and
diverse populations. (OECD, 2004 : 66).
2. Transparansi yaitu dapat diketahui oleh banyak pihak (yang
berkepentingan) mengenai perumusan kebijakan (politik) dari
pemerintah, organisasi dan badan usaha. Good Governance tidak
membolehkan manajemen pemerintahan yang tertutup. (Tjokromidjoyo,
2003 :123).38
3. Transparansi dapat dimaknai sebagai adanya pemberian informasi yang
selalu relevan untuk melakukan evaluasi lembaga. (Bauhr & Nasiritousi
forthcoming).
4. Transparansi merupakan keterbukaan, yaitu jalannya pemerintahan
harusnya dapat diprediksi ( should be predictabel) dan diselenggarakan
dengan aturan hukum yang berlaku dan tidak sewenang-wenang. (Hood
2006, 14).39
38

Arifin Tahir, 2011, Kebijakan Publik dan Transparansi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, Jakarta :
Pustaka Indonesia Press.
39

Monika Baur & Marcia Grimes, 2012, What Is Government Transparency? ; New Measures and Relevance
for Quality Government, Goteburg : University of Gothenburg.

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

!77

Kemudian Smith (2004:66), mengemukan bahwa proses transparansi meliputi :


1. Standard procedural requirements (Persayaratan Standar Prosedur),
bahwa proses pembuatan peraturan harus melibatkan partisipasi dan
memperhatikan kebutuhan masyarakat.
2. Consultation processes (Proses Konsultasi), Adanya dialog antara
pemerintah dan masyarakat.
3. Appeal rights (Permohonan Izin), adalah pelindung utama dalam proses
pengaturan. Standard dan tidak berbelit, transparan guna menghindari
adanya korupsi. Tidak hanya proses pembuatan izin, transparansi juga
dimaknai sebagai publikasi seluruh kegiatan pemerintah di dalam
website lembaga pemerintahan.

Seperti dikatakan Stephan G. Grimmelikhuijsen dalam jurnal The Effects of


Transparency on the Perceived Trustworthiness of a Government Organization ,
Governments all around the world are enhancing their transparency by providing
all sorts of information about government activities and performance on public
Web sites.40
Dari berbagai pandangan tentang definisi Good Governance dan Transparansi
diatas, maka disimpulkan bahwa keduanya memiliki korelasi yang signifikan dimana
suatu pemerintahan dapat dikatakan baik (Good governance) berarti pemerintahan
tersebut telah menerapkan prinsip-prinsip tranparansi.

Komitmen Transparansi dalam UU Pemda terbaru


Sejak zaman kolonial hingga sekarang kurang lebih ada 10 peraturan perundangundangan yang mengatur pemerintahan daerah di Indonesia. Dimulai dari
Desentralisatie WET 1903 yang merupakan produk kolonial belanda kemudian pasca

40

Stephan G. Grimmelikhuijsen & Albert J. Meijer The Effects of Transparency on them Perceived
Trustworthiness of a Governmen Organization Evidence from an Online Experiment, Journal of Public
Administration Research and Theory Advance Access published November 5, 2012

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

!78

kemerdekaan lahirlah UU No. 1 tahun 1995 yang cenderung dominan sentralistis,


kemudian pasca reformasi lahir UU No. 22 tahun 1999 yang cenderung
desentralistis, selanjutnya pada masa demokratisasi lahir UU No.32 tahun 2004
yang menggabungkan sentralistis dan desentralistis dan yang terakhir adalah UU
No.23 tahun 2014 yang mengandung visi efektivitas pemerintahan. UU
pemerintahan daerah yang terbaru ini memang memilki banyak sekali perubahan
diantaranya penghapusan dan perubahan beberapa pasal terkait pemilihan kepala
daerah dan anggota DPRD serta adanya penambahan bab dalam UU ini.
Penambahan bab yang menjadi perhatian adalah adanya penambahan bab
pelayanan publik yang dimuat dalam BAB XIII tentang Pelayanan Publik. Secara
eksplisit bab tersebut menjelaskan tentang mekanisme pelayanan publik yang baik.
Berikut merupakan kutipan dari bab XIII terkait pelayanan publik :
BAB XIII
PELAYANAN PUBLIK
Bagian Kesatu
Asas Penyelenggaraan
Pasal 344
(1) Pemerintah Daerah wajib menjamin terselenggaranya pelayanan publik
berdasarkan Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah.
(2) Pelayanan publik diselenggarakan berdasarkan pada asas:
a. kepentingan umum;
b. kepastian hukum;
c. kesamaan hak;
d. keseimbangan hak dan kewajiban;
e. keprofesionalan;
f. partisipatif;
g. persamaan perlakuan/tidak diskriminatif;
h. keterbukaan;
i. akuntabilitas;
j. fasilitas dan perlakuan khusus bagi kelompok rentan;
k. ketepatan waktu; dan
l. kecepatan, kemudahan, dan keterjangkauan.

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

!79

Berdasarkan kutipan dua pasal di atas membuktikan bahwa UU pemerintahan


daerah yang baru ini benar-benar berkomitmen untuk memperbaiki kualitas
pelayanan publik di tingkat daerah dengan berdasarkan pada asas-asas pelayanan
publik di atas salah satunya adalah asas keterbukaan (transparansi). Keterbukaan
di dalam UU ini didefinisikan sebagai asas yang membuka diri terhadap hak
masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif
tentang penyelenggaraan negara dengan tetap memperhatikan perlindungan atas
hak asasi pribadi, golongan, dan rahasia negara. ini membuktikan bahwa UU
pemerintahan yang baru menaruh perhatian besar pada asas transparansi.
Kemudian asas keterbukaan juga tertuang jelas dalam BAB XXII tentang Informasi
Pemerintahan Daerah dalam pasal 391 ayat 1 dan 2 yang berbunyi, Pemerintah
Daerah wajib menyediakan informasi Pemerintahan Daerah yang terdiri atas: a.
informasi pembangunan Daerah; dan b. informasi keuangan Daerah kemudian
dalam ayat 2 disebutkan bahwa, Informasi Pemerintahan Daerah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dikelola dalam suatu sistem informasi Pemerintahan
Daerah. Tidak hanya sebatas kewajiban informasi tetapi ditegaskan kembali di
dalam pasal 393 ayat 2E yang berbunyi bahwa Informasi keuangan daerah
sebagaimana yang dimaksud digunakan untuk mendukung keterbukaan informasi
kepada masyarakat. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa UU
pemerintahan daerah yang terbaru memiliki komitmen yang sangat kuat untuk
mengutamakan transparansi atau keterbukaan dalam penyelenggaraan
pemerintahan daerah.

Collaborative Transparency
Konsep transparansi merupakan konsep yang booming bersamaan dengan
pelaksanaan good governance di berbagai negara. Konsep transparansi ini
merupakan konsep yang lahir dari landasan filosofi bahwa pemerintahan yang
demokratis adalah pemerintahan yang memilki keterbukaan informasi publik.
Gagasan terkait urgensi transparansi juga sering di kutip dalam kongres di
Washington, yang menyebutkan bahwa pemerintahan yang populer tanpa ada

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

!80

informasi yang populer adalah sebuah lelucon, pengetahuan akan mengatur


kebodohan seseorang oleh karena itu setiap orang harus mempersenjatai diri
dengan kekuasaan informasi. Artinya setiap warga negara harus memilki hasrat
dan keinginan untuk mengetahui informasi publik.
Keterbukaan informasi sendiri terdiri dari beberapa generasi. Generasi yang
pertama yaitu hak untuk mengetahui kebijkan (righ to know) dimana setiap warga
negara memilki hak untuk mengetahui apa yang dilakukan dan tidak dilakukan oleh
pemerintah. Generasi yang kedua adalah targeted transparancy policy yaitu
merupakn perbaikan dari generasi pertama yaitu tidak hanya memperhatikan hak
publik untuk mendapatkan informasi publik tapi lebih berorientasi pada capaian
atau target dari transparansi itu sendiri. Generasi yang ketiga adalah collaborative
transparency policies yaitu sebuah generasi transparansi yang memadukan generasi
pertama dan kedua dengan transformasi komputer jaringan internet agar publik
bisa mengetahui informasi secara cepat sehingga pemerintahan menjadi lebih
efektif dan efisien.41
Generasi ketiga merupakan model transparansi yang tepat untuk merealisasikan
transparansi dalam UU pemerintahan yang terbaru. UU ini megutamakan asas
keterbukaan informasi melali media tertentu. Alternatif media yang cukup efektif
saat ini adalah menggunakan jaringan internet. Oleh karena itu model
collaborative transparency merupakan model yamg dapat menunjang terwujudnya
transparansi di Indonesia. Konsep transparansi yang dibangun dalam UU ini sejalan
dengan konsep collaborative transparency, namun masih harus mencari media
yang tepat untuk mewujudkan transparansi itu sendiri.
Sebagian besar pemda di Indoneisa sudah memilki website sebagai sumber
informasi namun website tersebut hanya dibuat tanpa dimuat dengan informasi
update. Fenomena tersebut terjadi hampir di seluruh Kabupaten/Kota di

41

Archon Fung, Mary Graham & David Weil, 2007, Full Disclosure : The Politics, Perils and Promise of
Targeted Transparency, New York : Cambridge University Press

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

!81

Indonesia. Artinya hampir sebagian besar Kabupaten/Kota di Indonesia hanya


setengah hati untuk menerapkan transparansi. Permasalahan tersebut harus
menjadi perhatian penting dalam pelaksanaan UU pemda terbaru ini. Terutama
pada pembuatan PP nanti sebagai turunan dari UU ini, legislator harus
memperhatikan kemungkinan terulang kembali permasalahan klasik dari website
pemerintah daerah yang bisa dikatakan mati. Padahal melalui website tersebut
pemda dapat memberikan pelayanan publik kepada masyarakat lebih efektif dan
efisien.

Simpulan

Berbagai tantangan dan hambatan akan mengahampiri pelaksanaan UU No. 23


tahun 2014. Berbagai masalah penghambat transparansi harus mampu diselesaikan.
Dimulai dari komitmen pemda yang rendah, keterbatasan SDM dan sarana dan
prasrana pendukung. Isu pelayanan publik yang transparan yang dimuat dalam UU
ini sejalan dengan konsep transparansi collaborative transparency yaitu
menggunakan komputer dan jaringan internet untuk mewujudkan transparansi.
Berbagai masalah di atas harusnya dapat menjadi motivasi bagi UU untuk
menyelesaikan maslah tersebut. Kemudian model transparansi yang ditawarkan
juga dapat dijadikan alternatif untuk mewujudkan transparansi. Pada akhirnya
kembali pada pertanyaan yang diajukan di atas, apakah UU No. 23 tahun 2014
dapat menjawab tantangan dan berbagai permasalahan yang ada. Apabila UU ini
tidak mampu menciptakan keadaan yang lebih baik dari keadaan sebelumnya maka
UU ini bisa dikatakn gagal mewujudkan transparansi.

Referensi
Baur, Monika & Grimes, Marcia. 2012. What Is Government Transparency? ; New
Measures and Relevance for Quality Government. Goteburg : University of
Gothenburg.
Fung, Archon dkk. 2007. Full Disclosure : The Politics, Perils and Promise of
Targeted Transparency. New York : Cambridge University Press.

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

!82

G. Grimmelikhuijsen, Stephan & J. Meijer, Albert. The Effects of Transparency on


them Perceived Trustworthiness of a Governmen Organization Evidence
from an Online Experiment. Journal of Public Administration Research and
Theory Advance Access published November 5, 2012.
Malik Gismar, Abdul dkk. 2013. Menuju Masyarakat yang Cerdas dan Pemerintahan
yang Responsif(Laporan Eksklusif Indonesia Governance Index 2012). Jakarta
: Kemitraan Bagi Pembaruan Tata Pemerintahan(The Partnership For
Governance Reform).
Tahir, Arifin. 2011. Kebijakan Publik dan Transparansi Penyelenggaraan
Pemerintahan Daerah. Jakarta : Pustaka Indonesia Press.
Menakar Peluang Partisipasi Masyarakat
dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
Oleh
Darmawan Purba, S.IP., M.IP

Pendahuluan
Era reformasi sering digunakan untuk membatasi masa-masa kelam demokrasi di
Indonesia dan dijadikan momentum bersejarah terhadap lahirnya orde reformasi.
Pada saat itu salah satu fenomena yang terjadi adalah gelombang demokratisasi
yang sangat kuat, setidaknya terdapat dua isu besar yang menjadi tuntutan
reformasi dibidang politik. Pertama, perubahan sistem kepartaian dimana pada
masa orde baru hanya ada tiga peserta yang memiliki kesempatan untuk mengikuti
pemilihan umum yaitu Golkar, PDI dan PPP menjadi sistem partai banyak. Kedua,
diberlakukannya otonomi daerah sebagai salah satu tuntutan reformasi melalui UU
No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Konsekuensi berlakunya undang
undang tersebut adalah semakin terbukanya keran demokrasi di tingkat lokal. Hal
ini penting mengingat penyelenggaraan pemerintahan daerah membutuhkan
legitimasi politik yang kuat, sesuai nilai dan semangat demokrasi yang
memposisikan kedaulatan berada di tangan rakyat.

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

!83

Kedua fenomena tersebut di atas, memposisikan masyarakat dalam konteksnya,


yaitu sebagai pihak yang memiliki otoritas yang dimandatkan kepada wakilnya baik
di DPRD maupun terhadap kepala daerah. Semangat tersebut ternyata hanya
menjadi harapan semu bagi masyarakat. Hal ini dikarenakan penyelenggaraan
pemerintahan daerah yang secara substansi diharapkan dapat mendorong
akselerasi pembangunan daerah ternyata kerap kandas di tengah jalan. Pada
prakteknya penyelenggaraan pemerintahan daerah berjalan sendiri tanpa
menempatkan masyarakat sebagai faktor dominan dalam pembangunan di daerah.
Sebagai sebuah organisasi, pemerintah daerah mendapatkan dan memanfaatkan
pendanaan yang bersumber dari dana publik

yang dianggarkan dalam APBN

maupun APBD, serta memiliki fungsi untuk memberikan layanan kepada


masyarakat. Setelah reformasi pemerintah daerah dituntut untuk merumuskan
perencanaan yang stratejik mengingat perubahan demi perubahan di masyarakat
sangat dinamis dan menuntut adanya tanggung jawab dan penyelesaian secara
konkrit oleh pemerintah daerah. Sebagai konsekuensi adanya pembagian urusan
antara pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten/kota, baik urusan wajib maupun
urusan kongruen. Namun demikian fenomena pemerintahan daerah justru tidak
mencerminkan semangat demokrasi yang mengiringi kebijakan dedentralisasi yang
sedang berlangsung. Beberapa indikasi, seperti: (1) kepala daerah terlibat korupsi,
(2) pembangunan tidak berjalan, (3) konflik antar pemerintahan daerah, serta
masih banyak problem pemerintahan daerah lainnya yang kerap menimbulkan
ketidakpercayaan publik.
Pada saat pilkada langsung panorama yang terjadi adalah koalisi antara elit (calon
kepala daerah) dengan massa, begitu juga pada saat pemilu legislatif terjadi
koalisi antara caleg dengan para pemilih. Namun setelah pilkada dan pemilu yang
mengemuka justru koalisi antara elit dengan elit. Masyarakat sebagai faktor
dominan dalam pembentukan pemerintahan justru terpinggirkan. Kepala daerah
dan DPRD hanya menjadikan masyarakat sebagai objek suksesi politik semata.
Salah satu contoh kongkrit rendahnya keberpihakan pemerintahan daerah terhadap

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

!84

masyarakat adalah postur APBD yang tidak proporsional antara anggaran publik
dengan anggaran aparatur. Implikasinya, pembangunan didaerah tidak sesuai
dengan harapan dan janji-janji politik elit saat pemilu dan pilkada. Banyak
pembangunan yang mandek dan berjalan tidak sesuai dengan harapan masyarakat.
Pelembagaan politik di DPRD pun tidak sesuai harapan masyarakat, oleh karenanya
partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah menjadi suatu
yang mutlak.

Makna Partisipasi Publik


Persoalan partisipasi masyarakat seharusnya menjadi titik tekan dalam
penyelenggaraan pemerintahan daerah, hal ini penting sebagai komitmen
mendudukkan masyarakat sebagai:pertama, tidak semua urusan dan persoalan di
masyarakat diketahui oleh pemerintah, kedua,masyarakat berhak ikut serta dalam
perumusan setiap kebijakan publik yang pasti akan mempengaruhi kehidupan
mereka. Dengan demikian kebijakan desentralisasi mulai dari Undang-Undang No.
99 Tahun 1999 hingga Undang-Undang No.23 Tahun 2014 sudah seharusnya
melibatkan partisipasi masyarakat. Sejalan dengan substansi partisipasi tersebut,
dalam prinsip-prinsip good governance dikemukakan bahwa: (1) adanya partisipasi
langsung maupun tak langsung dari semua warga dalam kehidupan bernegara dan
bermasyarakat; (2) terjaminnya penegakan hukum; (3) tranparansi; (4) pemerintah
yang tanggap; (5) orientasi pada konsensus; (6) efisiensi dan efektivitas dalam
aktivitas bernegara; (7) akuntabilitas; (8) visi yang strategis.
Dengan demikian, melibatkan rakyat dalam segala kebijakan pemerintahan
memang tidak dapat dinafikan dan merupakan sesuatu yang harus dilakukan untuk
membangkitkan rasa memiliki rakyat terhadap segala aspek kebijakan dari
pemerintah. Oleh karena itu dorongan harus diberikan oleh pemerintah untuk
melibatkan rakyat dalam setiap kebijakan. Sejumlah kajian mengemukakan bahwa
pelibatan rakyat merupakan suatu proses kesadaran untuk pembangunan dan dapat

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

!85

membantu penyelesaian masalah-masalah pembangunan. Melalui partisipasi


masyarakat berbagai persoalan yang terjadi di masyarakat dapat disesuaikan
dengan perencanaan pembangunan daerah. Lebih dari itu, melalui partisipasi
masyarakat secara tidak langsung terjadi pengawasan penyelenggaraan
pemerintahan di daerah.

Norma Partisipasi Masyarakat


Pasca reformasi salah satu tuntutan yang dilembagakan adalah penyelengaraan
desentralisasi atau sering disebut otonomi daerah. Selama ini secara normatif
penyelenggaraan desentralisasi diwujudkan dalam undang-undang pemerintahan
daerah. Tercatan sudah tiga undang-undang yang ditetapkan dalam menopang
penerapan desentralisasi. Terkait ruang partisipasi masyarakat dalam
penyelenggaraan pemerintah daerah menunjukkan bahwa masih terbatasnya ruang
partisipasi masyarakat di dalam ketentuan perundangan tersebut.
Perbandingan Ruang Partisipasi Masyarakat
dalam UU 22/1999; UU 32/2004 dan UU 23/2014

Undang-Undang Pemda
Ruang Partisipasi

Uraian Isi Undang-Undang


(1) Pasal 18, Ayat 1 huruf h

Masyarakat dalam

DPRD bertugas menampung dan menindaklanjuti aspirasi Daerah

Undang-Undang Nomor 22

dan masyarakat.

Tahun 1999

(2) Pasal 22 Poin e


DPRD mempunyai kewajiban mememperhatikan dan menyalurkan
aspirasi, menerima keluhan dan pengaduan masyarakat, serta
memfasilitasi tindak lanjut penyelesaiannya.
(3) Pasal 92
Dalam penyelenggaraan pembangunan Kawasan Perkotaan,
Pemerintah Daerah perlu mengikutsertakan masyarakat dan pihak
swasta. Pengikutsertaan masyarakat, merupakan upaya
pemberdayaan masyarakat dalam pembangunanperkotaan.

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

!86

R u a n g P a r t i s i p a s i Pasal 139
M a s y a r a k a t d a l a m (1) Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan atau
Undang-Undang Nomor 32

tertulis dalam rangka penyiapan atau pembahasan rancangan

Tahun 2004

Perda.
(2) Persiapan pembentukan, pembahasan, dan pengesahan
rancangan Perda berpedoman kepada peraturan perundangundangan.

R u a n g P a r t i s i p a s i Pasal 354
M a s y a r a k a t d a l a m (1) Dalam penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, Pemerintah
Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2014

Daerah mendorong partisipasi masyarakat.


(2) Dalam mendorong partisipasi masyarakat sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), Pemerintah Daerah:
(a) menyampaikan informasi tentang penyelenggaraan
Pemerintahan Daerah kepada masyarakat; (b) mendorong
kelompok dan organisasi masyarakat untuk berperan aktif dalam
penyelenggaraan Pemerintahan Daerah melaluidukungan
pengembangan kapasitas masyarakat; (c) mengembangkan
pelembagaan dan mekanisme pengambilan keputusan yang
memungkinkan kelompok dan organisasikemasyarakatan dapat
terlibat secara efektif; dan/atau
(3) Partisipasi masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
mencakup:
(a) penyusunan Perda dan kebijakan Daerah yang mengatur dan
membebani masyarakat;

(b) perencanaan, penganggaran,

pelaksanaan, pemonitoran, dan pengevaluasian pembangunan


Daerah; (c) pengelolaan aset dan/atau sumber daya alam Daerah;
dan (d) penyelenggaraan pelayanan publik.
(4) Partisipasi masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
dilakukan dalam bentuk: (a) konsultasi publik; (b) musyawarah;
(c) kemitraan; (d) penyampaian aspirasi; (e) pengawasan;
Sumber: UU 22/1999; UU 32/2004 dan UU 23/2014

Berdasarkan muatan UU 22/1999; UU 32/2004 dan UU 23/2014 menunjukkan


bahwa ruang partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah
masih belum tegas, secara spesifik muatan masing undang-undang sebagai berikut:
pertama, pada UU 22/1999 masih bersifat pasif dan hanya terbatas pada ruang
tugas dan fungsi DPRD sebagai representasi masyarakat. Kedua, dalam UU
Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

!87

32/2004, ruang partisipasi masyarakat juga masih bersifat fasif dan terbatas pada
tugas DPRD dalam perumusan peraturan daerah semata. Ketiga, pada UU 23/2014
ruang partisipasi masyarakat sudah memiliki pola dan cenderung bersifat aktif,
dimana pemerintah daerah disyaratkan mendorong partisipasi masyarakat berupa
aktifitas, cakupan, dan bentuk partisipasi yang sudah terpola dan
terarah.Perubahan UU Pemerintahan Daerah tersebut menunjukkan adanya
penyempurnaan partisipasi masyarakat, namun demikian belum ada jaminan
pemerintahan daerah akan berkomitmen dalam penerapannya.

Penutup
Sebagai bentuk penyempurnaan penyelenggaraan pemerintahan daerah,
termuatnya ruang partisipasi masayarakat dalam UU 23/2014 secara khusus dalam
Bab tersendiri menunjukkan adanya peluang penguatan partisipasi masyarakat
dimasa yang akan datang. Namun demikian ketentuan tentang partisipasi
masyarakat masih bersifat fleksibel dan belum tegas, sehingga dalam
penerapannya merlukan dukungan beberapa aspek sebagai berikut: (1) adanya
proses pemilu dan pilkada daerah yang fair sehingga menghasilkan kepala daerah
dan anggota DPRD benar-benar merakyat dan terbuka pada rakyat; (2) adanya
political will dari kepala daerah untuk menyiapkan perangkat peraturan yang
mendorong partisipasi masyarakat; (3) adanya kemauan kepala daerah dan DPRD
untuk memfasilitasi terbentuknya kelompok-kelompok masyarakat sebagai social
control; (4) adanya social movement kelompok masyarakat sipil yang independen
dan terbuka; serta (5) adanya dukungan dari media, dalam memberikan akses
informasi bagi masyarakat secara luas.

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

!88

KAJIAN INTERMESTIK: RUANG KERJASAMA DAERAH TANPA BATAS


Dwi Wahyu Handayani, M.Si.
Era desentralisasi memberikan ruang kepada pemerintah daerah untuk memiliki
kewenangan, kemandirian dan keleluasaan dalam mengelola potensi daerah.
Kemampuan daerah dalam memanfaatkan kebijakan desentralisasi, kreativitas dan
inovasi menghasilkan derajat kemajuan daerah yang berbeda. Pemerintah daerah
harus mampu membaca konteks domestik dengan segala kemampuan biokrasi,
lembaga politik, masyarakat, infrastruktur dan sebagainya. Bahkan, tantangannya
semakin nyata dalam menghadapi fenomena geliat global, yang semakin
menyertakan siapa pun di dalamnya. Realita ini menghadirkan landasan dalam UU
Pemerintahan Daerah yang sejak awal menelaah mengenai jalinan kerjasama
daerah, melampaui batas negara.
Globalisasi telah menegaskan telah tercipta dunia tanpa batas (borderless world)
yang seolah membentuk suatu global village bagi masyarakat dunia. Referensi
global tersebut memberikan pengaruh dalam proses perumusan kebijakan,
sehingga tidak semata faktor domestik. Konteks internasional, misalnya Masyarakat
Ekonomi Asean (MEA) telah menuntut beberapa hal diantaranya tercipta pasar
Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

!89

bebas, sehingga produk dari negara Asean bebas masuk ke negara anggota lainnya.
Ketentuan tersebut menciptakan persaingan yang kemudian mengukur daya saing
produk. Produk pertanian misalnya, ketika Indonesia akan memprioritaskan pada
jenis pangan tertentu untuk tujuan ekspor maka akan terkait kebijakan
pemerintah daerah mengenai pertanian.
Hal yang telah disepakati pemerintah pusat dengan negara lain mengenai
kerjasama dengan negara lain, tentu saja dalam implementasinya akan terkait
pemerintah daerah. Demikian juga kesepakatan MEA, kunci keberhasilan
sesungguhnya adalah kesiapan pemerintah daerah khususnya di level kota/
kabupaten. Undang-Undang Pemerintahan Daerah telah memberikan ruang bagi
pemerintah daerah, untuk melakukan kerjasama dengan pemerintah daerah, NGO,
kelompok bisnis dari negara lain.
Landasan kerja sama daerah terdapat pada UU Pemerintah Daerah No 23 tahun
2014 pasal 363 bahwa kerja sama dapat dilakukan oleh daerah dengan lembaga
atau pemerintah daerah di luar negeri sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan. Kerjasama dengan pihak luar negeri ini tidak menjadi hal
yang wajib, sebagaimana kerjasama antardaerah dalam lingkup internal.
Pasal 367 menjelaskan bahwa kerja sama daerah dengan lembaga dan/atau
pemerintah daerah di luar negeri meliputi pengembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi;

pertukaran budaya; peningkatan kemampuan teknis dan manajemen

pemerintahan; promosi potensi daerah; dan kerja sama lainnya yang tidak
bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan dilaksanakan
setelah mendapat persetujuan pemerintah pusat.
Sebelumnya, pra tahapan penandatangan perjanjian internasional, daerah harus
mengikuti mekanisme internal daerah yaitu adanya pendapat dan pertimbangan
DPRD kepada pemerintah daerah terhadap rencana perjanjian internasional di
daerah serta adanya persetujuan DPRD terhadap rencana kerjasama internasional

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

!90

yang dilakukan oleh pemerintah daerah. Selain itu juga berkoordinasi dengan
Departemen Luar Negeri dan pemerintah pusat.42
Demikian proses globalisasi, para aktor internasional juga meluas tidak hanya
melingkupi negara (state actors) saja, meluas pada aktor-aktor selain negara (nonstate actors) seperti organisasi internasional, LSM, perusahaan multinasional
(MNCs), media, pemerintah daerah, kelompok-kelompok minoritas, bahkan
individu.
Beragam aktor dalam hubungan dan kerjasama luar negeri di samping membuat
proses pengambilan keputusan semakin kompleks juga membuka peluang bagi
pemantapan diplomasi Indonesia. Kajian intermestik yang mempertemukan faktor
internasional dan domestik telah secara eksplisit terdapat dalam yang akan
menjadi landasan hukum desentralisasi. Selanjutnya, aturan teknis dalam
implementasinya perlu dijabarkan kembali dalam aturan menteri, ataupun
pedoman teknis, dan perda.
Telaah ini mengharapkan, ada sinergi peran ide dan kepentingan dari para aktor
domestik maupun internasional dalam

kebijakan model.

berpengaruh dalam proses penyaringan awal alternatif

Peran ide sangat

kebijakan yang didasari

oleh transmisi pengetahuan dari jaringan intelektual, perdebatan ide diantara


koalisi advokasi

yang menghasilkan proses learning mengarah pada konsensus.

Sedangkan peran kepentingan aktor sangat berpengaruh dalam proses politik, yaitu
kompetisi diantara para koalisi advokasi dengan tujuan untuk mengarahkan
keputusan agar sesuai dengan kepentingannya, yang didasari oleh konsensus ide/
keyakinan yang dimilikinya. Dengan demikian dalam pendekatan intermestik faktor
ide dan kepentingan aktor menjadi sama-sama penting. Hal inilah yang
membedakan pendekatan/model intermestik dengan model-model teori lainnya,
karena sebagian memahami perubahan kebijakan hanya sebagai proses perjuangan
Panduan Umum Tata Cara Hubungan dan Kerjasama Luar Negeri Oleh Pemerintah Daerah Revisi
Tahun 2006. Departemen Luar Negeri Republik Indonesia 2006 (Belum ada panduan terbaru yang
mengacu kepada UU Pemerintahan Daerah yang baru).
42

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

!91

kepentingan aktor domestik atau internasional saja, dan sebagian yang lain
memahami perubahan kebijakan sebagai proses transmisi ide/pengetahuan
sehingga kalaulah terjadi perubahan kebijakan domestik pasti melibatkan interaksi
transnasional.43
Jaringan kerjasama pemerintah daerah dan pihak luar negeri juga menegaskan
adanya diplomasi pararel. Stephane Paquin menjelaskan bahwa paradiplomacy
when a mandate has been granted to official representatives of a sub-state
government in order to negotiate with international actors. Jose Luis Rhi Sausi
menyatakan parallel diplomacy as the participation of non-central government
in iternational relations by establishing ad hoc contacts with private and public
entities abroad,with the objective of promoting socioeconmic and cultural affairs
as well as any other external dimension of its constitutional competencies.44
Diplomasi pararel memberikan arahan bagi pemerintah lokal untuk melakukan
negosiasi dengan aktor internasional economic and trade policy:the promotion
and attraction of foreign investment and decision making centers;the promotion
of exports, science and technology, energy,environment, education, immigration
and persons mobility, multilateral relations, international development and
human rights, are all part of the main issues of parallel diplomacy.45
Kerjasama pemerintah daerah dengan pihak luar negeri masih perlu dioptimalkan.
Data Direktorat Penataan Perkotaan Ditjen Bina Pembangunan Daerah, jumlah
daerah yang telah menjalankan kerjasama sister city sampai tahun 2013 adalah

43

Dyah Estu Kurniawati. Pendekatan Intermestik Dalam Proses Perubahan Kebijakan: Sebuah
Review Metodologis. http://ejournal.umm.ac.id/index.php/jshi/article/ view
File/1519/1623. Diakses pada 20 April 2015.

44

Maria Eugenia Cruset (editor). 2011. Migration and New International Actors: An Old
Phenomenon Seen With New Eyes. Penerbit Cambridge Scholars Publishing.
45

Ibid.

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

!92

sebanyak 102 dalam bentuk Memorandum of Understanding (MoU).46 Beberapa hal


yang menjadi penyebab belum optimalnya pelaksanaan kerjasama tersebut, antara
lain: belum tersedianya pedoman pelaksanaan yang detail sejak tahap
perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi dalam pelaksanaan kerjasama tersebut;
kurang siapnya pemerintah daerah/kota dan komunitas yang akan terlibat dalam
kerjasama sister city; belum ada sinkronisasinya informasi yang dibutuhkan
antardaerah/komunitas terhadap kota di luar negeri yang akan diajak/mengajak
kerjasama sister city; belum sesuainya bidang-bidang yang akan dikerjasamakan
dengan potensi dan kebutuhan daerah/komunitas; dan belum tercantumnya
program/kegiatan kerjasama sister city dalam dokumen perencanaan
pembangunan daerah, sehingga kegiatan sister city belum mendapat dukungan
anggaran yang memadai.47
Kelemahan lainnya adalah perbedaan sistem hukum di negara asing dengan sistem
hukum yang berlaku di Indonesia. Pola koordinasi yang hanya bersifat vertikal
menimbulkan konflik antardaerah otonom. Misal, konflik investasi Bandara
Adisucipto Yogyakarta, antara Kabupaten Kulon Progo dengan Pemerintah Provinsi
DI Yogyakarta. Kabupaten Kulon Progo membuat perjanjian kerjasama dengan
Cekoslovakia untuk mengembangkan bandara internasional. Sedangkan pihak
pemerintah Provinsi DIY menjalin kerjasama dengan investor dari Eropa untuk
membangun bandara di Kabupaten Bantul.48

46

Sister City, Peluang Emas bagi Pembangunan di Daerah Jumat, 21 Oktober 2014. http://
www.bangda.kemendagri.go.id/webbangda/index.php?page=38. Diakses pada 20 April 2015.

47

Sister City, Peluang Emas bagi Pembangunan di Daerah. Jumat, 21 Oktober 2014 15:38 WIB.
http://www.bangda.kemendagri.go.id/webbangda/index.php?page=38. Diakses pada 20 April 2015.

48

Takdir Ali Mukti. Tinjauan Yuridis dan Teoritis Terhadap Kerjasama Internasional Daerah Otonom.
U n i v e r s i t a s M u h a m m a d i y a h Yo g y a k a r t a . h t t p : / / w w w. a c a d e m i a . e d u / 2 3 0 7 9 0 9 /
Tinjauan_Yuridis_Dan_Teoritis_Terhadap_Kerjasama_Internasional_Daerah_Otonom. Diakses pada 20
April 2015.

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

!93

Catatan penting bagi implementasi UU Perintahan Daerah khususnya


pada bab kerjasama daerah adalah bagaimana pemerintah provinsi
yang saat ini memiliki kewenangan dominan, mampu memfasilitasi
antar kota/kabupaten bersinergi dalam pengembangan kerjasama
antardaerah dan dengan pihak luar negeri.

Politik Hukum UU Pemeritahan Daerah:


Desentralisasi suatu keharusan
Oleh: Suwondo

Pendahuluan
Ada tiga konsep yang terkait satu dengan yang lain jika kita membahas masalah
Pemerintahan Daerah di Indoneia yakni demokrasi, desentralisasi dan negara
kesatuan Republik Indoesia.

Setelah tumbangnya pemerintshan Orde Baru, dan

muncul orde reformasi, harapan masyarakat akan bertumpu pada pemerintahan


yang didukung oleh rakyat, sehingga pemerintahan yang didukung oleh rakyat
diharapkan akan menjadi obat bagi rakyat dalam menata kehidupan mereka baik
bernegara berbangsa dan bermasyarakat. Perubahan yang bersifat struktural dan
juga kultural, diharapan akan mnjadi pliar dalam berbagai aspek ketataanegaraan,
baik sistem aturan dan juga aktor yang terlibat di dalam. Itu lahyang disistilah

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

!94

sebagai proses demokratisasi dalam berbagai bidang, dengan nengedepnkan


kedaulatan di tangan rakyat.
Proses demokratisasi tersebut dalam tataran berikut jelas akan berimplikasi pada
sistem pemerintahan daerah yang tadi bersifat otoriter dan cenderung sentralistik
menjadi desentralistis. Dalam tataran yuridis masalah pemerintahan daerah
tersebut muncul dengan dikeluarkannya UU No. 22 Thun 1999. Namun
desentralisasi yang diatur UU tersebut menjadi melambat setelah dikeluarkan UU
No. 32 tahun 2004, walau dalam undang-undang ini mulai diatur mengenai pilkada
yang dipilih secara langsung, mengiringi pemilihan presiden dan wakil presiden
yang juga dilaksanakan secara langsung. Dengan berlakunya UU no. 32 tersebut,
era sentralisasi kembali menguat, karena walupun daerah diberi otonomi daerah,
namun kebebasan dan kemandirian daerah utnutk mengatur rumah tangganya
dibatasi oleh pemerintah atasnya. Sebagai contoh, karena bersifat negara
kesatuan, maka peraturan daerah (perda) atau pejabat eselon tinggi harus
mendapat persetujuan dari pemerintah di atas. Dengan kata lain walaupun UU
tersebut menganut paham desentraliasi, tapi dsentraliasi yang dilakukan masih
kuat unsur sentralisasinya. Undang No. 32 tahun 2004 tersebut berlanjut dengan
perubahan UU pemda yang baru yakni UU no. 23 tahun 2014 dan revisinya UU no. 2
tahun 2015, tetap unsur desentralisasi yang bertopeng sentralisasi masih cukup
menonjol.
Nampaknya desentralisasi di Indonesia, akan selalu rumit. Kerumitan tersebut
salah satunya dikaitkan dengan aspek lain yakni bentuk negara Indonesia yang
menganut negara kesatuan (unitary state) yang lebih fokus pada penyeragaman
daripada perbedaan.
Desentralisasi dan Negara Kesatuan
Desentralisasi yang bermakna penyerahan wewenang dari pemerintah pusat kepada
daerah untuk mengatur rumah tangganya sesuai dengan kemampuan dan
kebutuhan daerah yang bersangkutan. Karena pengaturan tersebut disesuaikan

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

!95

dengan kebutuhan dan kemampuan daerah, maka desentralisasi jelas

ingin

menghilangkan keseragaman yang diciptakan oleh pusat, serta mengakui hak-hak


tradisional masyarakat yang memiliki karakteristik beranekaragam serta ciri khas
sejarah, budaya, teknologi, pranata dan nilai-nilai sosial, maupun kearifan lokal
lainnya. Oleh sebab itu jika pemerintah terutama pemerintah pusat mengabaikan
fakta obyektif berupa sumber daya alam, kekayaan dan warisan budaya atau yang
berpikir bahwa masyarakat bergerak linier dalam satu arah dan cara yang sama,
bukanlah desentralisasi yang sesungguhnya.

Maka, ketika UU Nomor 22/1999 diganti dengan UU Nomor 32/2004, dan sekarang
diganti dengan UU no. 23 Tahun 2014 yang dirivisi lagi dengan UU N. 2 tahun 2015,
munculah banyak kritik dan keberatan dari berbagai kalangan, khususnya aktoraktor di tingkat lokal. Aturan yang baru ini dianggap membawa agenda sentralisasi
atau penyeragaman baru, dengan dibungkus pada agenda kerangka negara
kesatuan. Semangat keragaman menjadi menipis, dan pengakuan terhadap
karakteristik yang khas dari suatu daerah semakin menghilang. Atas berbagai kritik
ini, berkembanglah wacana tentang bagaimana sebaiknya desentralisasi yang ideal
untuk kondisi Indonesia mendatang desentralisasi yang seragam layaknya dalam
negara kesatuan atau desentraliasi yang tidak seragam disesuaikan dengan kondisi
daerah?

Dalam UU yang terbaru tersebut termuat 411 pasal termasuk lampiran yang tidak
terpisahkan. Ada hal yang manarik bahwa dalam undang-undang diatur bahwa ada
kewenangan obsulut, konkuren dan juga pilihan yang diperjelas dalam lampiran. Di
samping itu dalam penjelasan dinyatakan bahwa Pemberian otonomi seluas luasnya
kepada daerah dilaksanakan berdasarkan prinsip negara kesatuan. Dalam negara
kesatuan kedaulatan hanya ada pada pemerintahan negara atau pemerintahan
nasional dan tidak ada kedaulatan pada daerah. Oleh karena itu, seluas apapun
otonomi yang diberikan kepada Daerah, tanggung jawab akhir penyelenggaraan
pemerintahan tetap ada ditangan Pemerintah Pusat. Untuk itu Pemerintah Daerah

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

!96

pada Negara Kesatuan Merupakan satu kesatuan dengan pemerintahan. Nasional.


Kedua hal tersebut yang menarik untuk dikaji dalam bagian berikut:.
Dari Penjelasan undang-undang pemerintahan tersebut jelas dan tegas bahwa
desentralisasi dalam negara kesatuan tetap terikat kepada pemerintahan pusat dan
ketentuan yang mengatur dalam pembagian kekuasaan tersebut jelas menunjukkan
bahwa pemerintah pusat membagi kekuasaan secara kaku dengan mengatur secara
detail urusan-urusan yang boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan Pemerintah
Daerah. Dengan pembagian urusan secara detail, berarti pemerintah pusat benarbenar masuk terlalu dalam untuk mengatur dan terlibat langsung pada
pemerintahan daerah. Untuk ini, penulis melihat bahwa

desentralisasi masih

menjadi pemanis saja, karena dibatasi hal-hal yang boleh dilakukan dan yang tidak
boleh dilakukan pemerintah daerah. Seharus pemerintah pusat tidak bersifat
demikian, tapi menyerahkan seluruh urusan kepada daerah, kecuali kewenangan
obsolut. Kalau mau desentralisasi berjalan sesuai dengan kemapuan dan juga
aspirasi yang berkembang di masyarakat.
Di samping hal di atas, maka dalam lampiran dari undang-undang pemerintahan
yang baru jelas menggambarkan urusan-urusan yang menjadi kewajiban
pemerintah pusat, pemerintah

provinsi dan juga pemeritah kabupaten/kota.

Dengan pembagian urusan yang demikian, memaksa kewenangan pemerintah sudah


dibatasi mana yang menjadi hak pemerintah pusat dan juga mana yang menjadi
hak pemerintah daerah.
Menghadapi ketentuan yuridis demikian, jika revisi kembali tidak dapat dilakukan
dengan segera, maka apa yang dapat dilakukan oleh Daerah? Lalu, apakah
desentralisasi dalam konsep negara kesatuan menjadi hal yang tidak mungkin?
Untuk itu penulis melihat bahwa membicarakan desentralisasi yang dalam negara
kesatuan

mestinya tidak dipersepsikan sebagai bentuk penyimpangan dari ide

dasar desentralisasi yang mengedepankan keseragaman, namun justru dipandang


sebagai instrumen untuk memperkuat tujuan desentralisasi yakni menciptakan

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

!97

efektivitas dan efisiensi penyelenggaraan negara, sehingga keinginan masyarakat


terpenuhi,

sekaligus memperkokoh struktur demokrasi di tingkat lokal.

Pembangunan demokrasi lokal memiliki probabilitas untuk lebih diperkuat dengan


cara mengakui dan mengakomodasikan setiap perbedaan karakteristik, potensi,
kebutuhan, dan latar belakang sejarah masing-masing daerah kedalam sistem
kebijakan nasional. Dan mengingat bahwa setiap daerah / wilayah dalam sebuah
negara memiliki anatomi politik, sosial, maupun kultural yang beragam, maka
desain desentralisasi yang berbeda (atau asimetris) menjadi alternatif yang
strategis untuk menghindari terjadinya kekecewaan daerah terhadap pemerintah
nasional. Itulah sebabnya, baik di negara kesatuan maupun di negara federal pada
masa modern sekarang ini, desentralisasi cenderung tidak sekedar dijadikan
sebagai strategi politik melalui transfer wewenang/kekuasaan, atau strategi
ekonomi melalui perimbangan keuangan dan fiskal, namun juga menjadi strategi
kultural untuk merealisasikan prinsip diversity in unity atau unity in diversity.
(Jurnal Borneo Adminitsrtor, Vol. 6 no.2 tahun 2010).

Dengan desentralisasi yang berbeda ini urusan pemerintah yang pilihan dapat
disikapi oleh Pemerintah Daerah dengan mengidentifikasikan potensi dan
karakteristik daerahnya masing-masing, dan tidak perlu berkecenderungan bahwa
seluruh bidang urusan harus dilaksanakan oleh daerahnya. Sebuah daerah yang
tidak memiliki wilayah laut, tentu tidak layak membentuk Dinas Perikanan dan
Kelautan. Demikian pula suatu daerah yang bercirikan kota besar, bahkan
metropolitan, pembentukan Dinas Kehutanan dan Perkebunan adalah hal yang
tidak perlu. Jika setiap daerah tidak memiliki orientasi untuk membentuk
kelembagaan secara maksimal, maka desentralisasi asimetris berdasarkan jenisjenis urusan akan terbangun dengan sendirinya.

Jika kita lihat pada fakta politik, maka desentralisasi yang berbeda sesungguhnya
juga sudah terjadi di Indonesia dalam bentuk variasi otonomi yang diberikan
kepada daerah. Saat ini, terdapat empat bentuk otonomi daerah, yakni: 1)
otonomi luas untuk kabupaten/kota secara umum, 2) otonomi terbatas untuk

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

!98

provinsi, 3) otonomi khusus untuk Papua ( UU No. 21/1999) dan Nangroe Aceh
Darussalam (UU No. 18/1999 jo. UU No. 11/2006), serta 4) otonomi khusus Jakarta
sebagai Ibukota Negara (UU No. 29/2007). Ketika beberapa bentuk otonomi
dijalankan secara bersamaan seperti inilah, maka desentralisasi berbeda telah
terjadi.

Pemberian desentralisasi tidak akan mengancam keutuhan negara kesatuan,


negara-negara kesatuan di dunia juga banyak yang menerapkan desentralisasi
asimetris, seperti di Jepang, China, atau Perancis. Faktanya, meskipun mereka
menerapkan desentralisasi asimetris, namun keutuhan atau integritas negara
kesatuan tidak tergoyahkan. Di Jepang, desentralisasi asimetris bisa disaksikan
dalam kebijakan Penetapan suatu daerah sebagai kota inti (Chukaku-shi) atau kota
dengan kasus istimewa (Tokurei-shi). China juga memberikan perlakuan berbeda
kepada daerah melalui penerapan konsep market decentralization. Berdasarkan
konsep ini, pemerintah China menciptakan kawasan ekonomi khusus, kota-kota
pantai (open coastal cities), dan zona pembangunan. Pada tahun 1978 ditetapkan
empat kawasan ekonomi khusus, yakni Shenzhen, Zhuhai, Shantou dan Xiamen.
Kebijakan ini dibarengi juga dengan pemberian otonomi yang sangat luas kepada
provinsi Guangdong and Fujian untuk membangun ekonomi di wilayahnya, misalnya
diberikannya kewenangan untuk menyetujui investasi bernilai lebih dari US $ 30
juta. Untuk lebih memperkuat market decentralization tadi, hingga 1984 telah
ditetapkan 14 kota-kota pantai dan beberapa kota di pedalaman (sepanjang daerah
aliran sungai Yangtze dan perbatasan dengan Russia) yang diberikan kewenangan
luas serupa dengan kawasan ekonomi khusus (Montinola, Qian and Weingast, dalam
Basuki, 2006). Hal serupa terjadi di Perancis dimana dari 22 Region yang ada,
wilayah Corse atau Corsica merupakan region yang diberi otonomi khusus yang
tidak dimiliki oleh 21 Region lainnya. Secara obyektif hal ini didorong oleh posisi
geografis Corsica yang agak terpisah dari wilayah daratan serta memiliki latar
belakang sejarah yang spesifik (Tri Widodo, dalam Jurnal Borneo Administrator,
2010).

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

!99

Terakhir bahwa demokratisasi, desentralisasi dan negara kesatuan bukanlah


sebagai tujuan, namun hanya alat atau cara untuk mewujudkan tujuan berbangsa
dan bernegara, yakni pemerintahan yang bertanggung jawab dan menciptakan
kesejahteraan bagi masyarakat keseluruhan.

Biodata Para Penulis


Ari Darmastuti
Lahir di Gunung Kidul dan mengabdi sebagai dosen di Jurusan Ilmu Pemerintahan
UNILA sejak tahun 1986. Meraih gelar s1 dari jurusan Ilmu Pemerintahan UGM, S2
bidang ilmu Politik dari Iowa State University Amerika Serikat dan menyelesaikan
gelar Doktor dari Universitas Indonesia. Saat ini menjabat ketua Program Studi
Magister Ilmu Pemerintahan, UNILA.
Arizka Warganegara

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

!100

Mulai mengabdi di jurusan Ilmu Pemerintahan sejak tahun 2006. Pernah menjadi
mahasiswa berprestasi Unila. Menyelesaikan S1 dari Jurusan Ilmu Pemerintahahan
tahun 2003. S2 bidang ilmu politik diperoleh tahun 2005 dari Universiti Kebangsaan
Malaysia. Saat ini sedang menyelesaikan program s3 di bidang Geografi Politik di
Leeds University, Inggris. Tulisannya tersebar di media nasional seperti Media
Indonesia dan Koran Sindo, Kolumnis tetap di Lampost ini adalah anggota dewan
pakar lampung post.
Budi Kurniawan
Studi s1 di bidang Ilmu Pemerintahan diselesaikan di UGM pada tahun 2005.
Mengabdi di Jurusan Ilmu Pemerintahan UNILA sejak tahun 2006. Tahun 2010
memperoleh beasiswa Australian Development Scholarship (ADS) untuk mengambil
gelar master dalam bidang kebijakan Publik di Crafword School of Public Policy,
ANU, di Canberra Australia. Tulisannya tersebar di media nasional seperti the
Jakarta Post dan Republika. Saat ini diamanahi Jabatan Kepala Laboratorium
Politik Lokal dan Otonomi Daerah FISIP UNILA.
Darmawan Purba
Beliau adalah Dosen Jurusan Ilmu Pemerintahan FISIP Unila, Terlahir di Aceh
Tamiang 1 Juni 1981 menempuh studi S1 di Jurusan Ilmu Pemerintahan Unila, dan
melanjutkan Program Master di Kampus yang sama. Selain mengajar beliu aktif
melakukan survey-suvei opini public dan berbagai riset nasional.
Denden Kurnia Drajat
Beliau ada ketua Jurusan Ilmu Pemerintahan. Pria kelahiran 29 Juli 1960 ini
menyelesaikan studi S1 di Universitas Padjajaran kemudian melanjutkan S2
medapatkan gelar magister di Universitas yang sama. Menjadi dosen di Juruan
Pemerintahan UNILA sejak tahun 1990.

Dwi Wahyu Handayani


Staf Pengajar Jurusan Ilmu Pemerintahan dan mengajar juga di
Jurusan Hubungan Internasional Fisip Unila. Lulusan S1 Jurusan
Hubungan Internasional Universitas Muhammmadiyah Yogyakarta (UMY)
tahun 2001. Kemudian melanjutkan S2 Ilmu Politik konsentrasi Politik
Lokal dan Otonomi Daerah Universitas Gadjah Mada, dan selesai tahun
2004.
Feni Rosalia

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

!101

Meraih gelar Doktor bidang Ilmu Pemerintahan dari Universitas Padjajaran Bandung
tahun 2012. Gelar master bidang komunikasi Pembangunan dari IPB. Ibu super
sibuk kelahiran tahun 1969 ini adalah mahasiswa s1 terbaik di Jurusan
Pemerintahan pada angkatannya. Mengajar di Jurusan Pemerintahan sejak tahun
1990.
Hertanto
Menyelesaikan s1 dari jurusan Ilmu Pemerintahan Undip dan s2 dari Universitas
Gadjah Mada dalam bidang ilmu politik. Pernah menjabat menjadi Dekan FISIP
UNILA. Tahun 2013 beliau menyelesaikan gelar Philosophy of Doctor (Ph. D) di
bidang Ilmu Politik dari Universiti Kebangsaan Malaysia, menjadi dosen di Jurusan
Pemerintahan FISIP UNILA sejak tahun 1986.

Himawan Indrajat
Pria kelahiran kota Purwokerto tahun 1983 ini menyelesaikan s1 dari jurusan Ilmu
Politik Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto pada tahun 2006, dan kemudian
melanjutkan S2 jurusan Ilmu Politik di Universitas Indonesia serta
menyelesaikannya pada tahun 2008. Aktivitasnya sekarang menjadi dosen jurusan
Ilmu Pemerintahan FISIP Universitas Lampung, sementara dalam kegiatan
kemasyrakatan aktif dalam organisasi kepemudaan Pemuda Muhammadiyah
provinsi Lampung.

Robi Cahyadi
Dosen Jurusan Ilmu Pemerintahan yang concern pada kajian ilmu politik dan
Pemerintahan. Menyesaikan s1 dalam bidang Ilmu Pemerintahan di Universitas
Padjajaran Bandung. Setelah dari Bandung beliau terbang ke Jogjakarta untuk
mengambil gelar s2 di bidang Ilmu Politik di UGM dengan tema research tentang
voting behavior. Saat ini sedang menempuh pendidikan Doktor dalam bidang ilmu
Politik di Universitas Padjajaran Bandung. Beliau adalah pengamat politik yang
pendapatnya banyak dikutitip media lokal seperti Lampung Post, Radar Lampung
dan Tribun. Menjadi dosen di JIP UNILA sejak tahun 2005.

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

!102

Suwondo
Lahir di Ketapang Sungkai pada tahun 1959. Memperoleh gelar S1 Jurusan Ilmu
Pemerintahan lulus tahun 1984. Meraih gelar master of art dari Universitas
Indonesia tahun 1991. Bapak dari tiga orang anak dan kakek dari empat orang cucu
adalah peraih Doktor Politik Pertama di Provinsi Lampung yang diselesaikannya
pada tahun 2002. Pernah menjabat ketua KPU Provinsi Lampung tahun 2003-2009.
Ketua KKN UNILA 2008-2013. Ketua tenaga ahli Gubernur Lampung 2011-2014
Syafarudin
Meraih gelar s1 di Jurusan Ilmu Pemerintahan FISIP UNILA. Meraih gelar MA dari
Universitas Gadjah Mada. Tulisannya tersebar di media nasional dan lokal. Pernah
menjabat Ketua Himpunan Mahasiswa Pasca UGM. Menjadi dosen di Jurusan
Pemerintahan UNILA sejak tahun 2005. Menjadi ketua Labpolotda JIP UNILA dari
tahun 2011 hingga tahun 2015.
Syarief Makhya
Meraih galar Doktor dalam bidang Ilmu Pemerintahan dari Universitas Padjajaran
Bandung 2013. S2 dibidang kebijakan Publik ditempuh di Universitas Brawijaya
Malang. Pria kelahiran Bandung tahun 1959 ini memperoleh gelar s1 Ilmu
Pemerintahan dari Universitas Padjajaran Bandung. Pernah menjabat menjadi
wakil dekan bidang akademik di FISIP UNILA. Beliau juga merupakan aktivis sosial
di PW Muhammadiah Lampung. Tulisan beliau tersebar di media nasional dan lokal.

Andri Marta
Pria kelahiran Bandar Lampung, 4 Maret 1990, merupakan putra pasangan bapak
toni dan ibu Dra. Rosiaani Lakhan Meraih gelar S1 di Jurusan Ilmu Pemerintahan
FISIP UNILA. Meraih gelar Magister Ilmu Pemerintahan pada Tahun 2015. Pernah
beberapa kali mengikuti pelatihan dan juga seminar baik di tingkat lokal maupun
nasional. Sejak awal April 2015 menjadi Dosen Tetap di Jurusan Ilmu Pemerintahan
FISIP UNILA.

Melyansyah
Seorang pria yang lahir pada tanggal 20 Mei 1995 di Bandar Dewa sebuah desa
terpencil di Kabupaten Tulang Bawang Barat. Merupakan putra pertama dari
pasangan Bapak Sobri Abdullah dan Ibu Fatimah. Dalam kegitan sehari-hari aktif
dalam menganalisis kajian politik dan pemerintahan dan kebetulan sekarang
sedang belajar sebagai peneliti muda di Laboratorium Politik Lokal dan Otonomi
Daerah FISIP Unila. Pernah beberapa kali aktif dalam forum diskusi politik dan
Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

!103

pemerintahan, terakhir mengikuti diskusi dan debat dalam Politic and Governance
Day 2015 (POLGOV Day) di Universitas Gajah Mada.

Labpolokda JIP UNILA & MIP FISIP UNILA

Anda mungkin juga menyukai