Anda di halaman 1dari 13

HUBUNGAN MEROKOK DAN GANGGUAN PENDENGARAN PADA PEKERJA

YANG TERPAJAN KEBISINGAN DI LINGKUNGAN KERJA


ABSTRAK
Tujuan : Untuk meneliti efek dari merokok pada gangguan pendengaran di kalangan pekerja
yang terpapar kebisingan di tempat kerja.
Metode : Dari hasil pemeriksaan petugas kesehatan khusus yang dilakukan pada tahun 2011,
terdapat 8.543 subyek yang terdaftar terpapar kebisingan kerja dan temuan tersebut telah
ditinjau kembali. Menggunakan kuesioner yang dilaporkan sendiri dan hasil pemeriksaan
kesehatan, kami mengumpulkan data usia, status merokok, riwayat penyakit, tinggi badan,
berat badan, dan biokimia dan temuan pada pemeriksaan audiometri nada murni. Kami
membagi pekerja menjadi 3 kelompok berdasarkan status merokok (non-perokok, mantan
perokok, perokok). Perokok aktif (n = 3,593) dibagi menjadi 4 kelompok sesuai dengan
jumlah rokok yang dihisap/merokok (0,05-9,9, 10-19,9, 10-29,9, 30 pack per tahun). Kami
menganalisis data untuk membandingkan antara ambang pendengaran dengan merokok
menggunakan analisis kovarians (ANCOVA) setelah mengontrol efek perancu.
Hasil : Menurut ANCOVA, ambang pendengaran perokok saat ini berada di 2 k, 3 k, dan 4
kHz yang secara signifikan lebih tinggi dari kelompok lain. Regresi logistik ganda untuk
status merokok (referensi: bukan perokok) menunjukkan bahwa odds rasio perokok aktif
pada 1 k, 2 k, 3 k dan 4 kHz masing-masing adalah 1,291 (95% confidence interval [CI]:
1,055-1,580), 1.180 (95% CI: 1,007-1,383), 1.295 (95% CI: 1,125-1,491), dan 1.321 (95%
CI: 1,157-1,507). Berdasarkan jumlah merokok, rasio odds yang disesuaikan adalah 1,562
(95% CI: 1,013-2,408) dan 1,643 (95% CI: 1,023-2,640) untuk 10-19,9 dan 30 pack-tahun
kelompok, pada 1 kHz (referensi: 0,05-9,9 pack/tahun). Pada 2 kHz, odds rasio jumlah rokok
yang dihisap pada statistik meningkat signifikan untuk semua kelompok. Di semua frekuensi
yang diuji, ambang mendengar suara pada pekerja yang terpajan secara signifikan
dipengaruhi oleh perokok, khususnya, peningkatan gangguan pendengaran pada frekuensi
rendah sesuai dengan jumlah merokok lebih umum.
Kesimpulan : perokok aktif secara signifikan mempengaruhi gangguan pendengaran di
semua frekuensi pada pekerja yang terpajan kebisingan di lingkungan kerja, dan perokok
yang lebih berat sangat mempengaruhi gangguan pendengaran pada frekuensi rendah. Ada
hubungan antara jumlah merokok dengan ambang pendengaran frekuesin rendah, namun

tidak diamati pada ambang pendengaran frekuensi tinggi. Oleh karena itu, studi prospektif
perlu dirancang dengan baik untuk memperjelas efek dari merokok pada tingkat gangguan
pendengaran
Kata kunci : Gangguan pendengaran, kebisingan kerja, merokok
Pengantar
Kebisingan merupakan faktor fisik paling umum yang merugikan di lingkungan kerja.
Menurut distribusi penyakit akibat kerja di Korea, gangguan pendengaran akibat kebisingan
dilaporkan 55,5% dari total pasien dengan penyakit akibat kerja pada tahun 1991, hal tersebut
menjadi penyakit akibat kerja yang paling umum terjadi. Sejak itu, insiden terus-menerus
meningkat. Menurut laporan pada tahun 2010 oleh Departemen Pekerjaan dan Tenaga Kerja
[1], tercatat presentase pekerja dengan gangguan pendengaran akibat kebisingan (D1)
sebanyak 93,3% dari jumlah keseluruhan pekerja dengan penyakit akibat kerja (5.065/5.426)
, dan pekerja dengan gangguan pendengaran yang kemungkinan yang disebabkan oleh
kebisingan (C1) sebanyak 92,3% dari jumlah pekerja yang penyakitnya disebabkan oleh kerja
(108213/117270). Selain itu, dari 1.9244.305 pekerja yang seharusnya menjalani pemeriksaan
kesehatan khusus, 516.828 (26,9%) terpajan kebisingan sebelum menjalani pemeriksaan
suara yang spesifik. Oleh karena itu, hal ini akan menimbulkan masalah terus menerus.
Menurut Institut Nasional untuk Keselamatan dan Kesehatan (INKK) melaporkan bahwa
14% pekerja di Amerika Serikat yang bekerja di lingkungan dimana tingkat kebisingan
melebihi 90 dBA [2]. Pengeluaran sosial dan medis untuk pengobatan, rehabilitasi, dan
kompensasi pekerja dengan gangguan pendengaran yang disebabkan oleh kebisingan sangat
besar [3]. Selain itu, gangguan pendengaran akibat kebisingan mengurangi kualitas hidup
pekerja tersebut dan mnyebabkan masalah seperti masalah sosial, depresi dan peningkatan
resiko karena terlibat dalam suatu kecelakaan. Dalam hal ini, gangguan pendengaran yang
disebabkan oleh kebisingan adalah masalah serius [2,4]. Oleh karena itu, untuk mencegah
masalah ini terjadi, metode untuk mengurangi gangguan pendengaran yang disebabkan oleh
kebisingan harus dikembangkan secepat mungkin. Yang tersedia saat ini metode yang efektif
untuk mencegah terjadinya gangguan pendengaran akibat kebisingan yaitu penggunaan
perangkat perlindungan pendengaran [5]. Mengidentifikasi dan mengelola faktor-faktor yang
dapat mempengaruhi gangguan pendengaran yang disebabakan oleh kebisingan akan lebih
efektif juga. Selanjutnya, hal ini juga akan membantu untuk meningkatkan kualitas hidup
pekerja.

Gangguan pendengaran yang disebabkan oleh kebisingan juga merupakan gangguan


pendengaran sensorineural. Hal ini diketahui terjadi ketika individu yang terkena kebisingan
melebihi 85 dBA. Namun, ada perbedaan besar dalam sensitivitas untuk gangguan
pendengaran

yang disebabkan oleh kebisingan antar individu. Artinya, beberapa orang

mungkin mentolerir suara keras, tetapi orang lain dalam lingkungan yang sama mungkin
cepat mengalami hilangnya pendengaran [6]. Faktor-faktor yang diketahui memiliki
keterkaitan dengan sensitivitas pada gangguan pendengaran yang disebabkan oleh kebisingan
adalah jenis kelamin, usia, merokok, faktor kardiovaskular (indeks massa [BMI], tekanan
darah, kolesterol total, trigliserida, high-density lipoprotein[HDL] kolesterol, dan glukosa
darah puasa) dan faktor terkait dengan kekentalan darah (hemoglobin, hematokrit, dan sel
darah merah [RBC] count) [7-9].
Merokok merupakan faktor risiko merupakan penyebab kebanyakan penyakit kronis
yang mengancam jiwa dan kematian dini. Tingkat merokok pada pria dewasa tertinggi
(79,3%) pada tahun 1980 dan sesudah itu menurun menjadi 42,0% pada tahun 2007. Namun,
jumlah perokok perempuan dan remaja cenderung meningkat dibandingkan dengan
sebelumnya. Dengan demikian, merokok tetap menjadi masalah sehingga koordinasi sosial
diperlukan. Kim et al. [10] melaporkan bahwa merokok menimbulkan suatu kerugian sosial
yang besar akibat pengeluaran sosial karena Rokok, kecuali perokok pasif, melebihi KRW
4.000 miliar di Korea pada tahun 2006. Selain itu, merokok adalah penyebab berbagai jenis
kanker, penyakit pernapasan, dan penyakit kardiovaskular. Studi terbaru menunjukkan bahwa
hal itu juga memiliki efek merugikan pada fungsi pendengaran dan sistem endokrin [11].
Sampai saat ini, studi yang meneliti hubungan antara merokok dan gangguan
pendengaran akibat kebisingan melaporkan bahwa kejadian gangguan pendengaran akibat
kebisingan secara signifikan lebih tinggi pada perokok [12-14] atau terdapat efek sinergis
antara 2 faktor [15,16]. Namun, penelitian lain telah melaporkan bahwa tidak ada korelasi
yang signifikan antara 2 faktor [17]. Penelitian terbaru telah menunjukkan bahwa merokok
itu sendiri bukanlah penyebab gangguan pendengaran sensorineural, tetapi memberikan
sebuah efek sinergis bila individu merokok bersama dengan terkena kebisingan [2,18]. Selain
itu, beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa ada hubungan respon antara jumlah
merokok dan gangguan pendengaran akibat kebisingan [19]. Namun, beberapa studi barubaru ini di Korea menguji hubungan antara merokok dan gangguan pendengaran yang
disebabkan oleh kebisingan dibandingkan dengan negara lain, di mana studi yang relevan
tersebut aktif dilakukan. Oleh karena itu, tidak ada bukti untuk kebijakan kesehatan

menerapkan tidak bekerja sambil merokok untuk pencegahan kebisingan yang disebabkan
gangguan pendengaran.
Oleh karena itu Kami melakukan penelitian ini untuk memeriksa efek dari merokok
pada pengembangan gangguan pendengaran yyang disebabkan oleh kebisingan. Kami
berusaha untuk memberikan bukti dasar kebijakan-kebijakan pemerintah dan perusahaan
untuk mengurangi terjadinya gangguan pendengaran akibat kebisingan meliputi tidak
merokok di tempat kerja, pencegahan berbagai penyakit akibat merokok, perbaikan kualitas
hidup pekerja, dan pengurangan pengeluaran sosial. Dalam studi saat ini, kami mengevaluasi
efek dari status merokok dan jumlah merokok pada gangguan pendengaran pada pekerja yang
terpajan kebisingan di tempat kerja. Selain itu, kita berusaha untuk memeriksa efek dari
merokok dan faktor-faktor yang mungkin telah mempengaruhi sensitivitas yang disesuaikan.

Bahan
Studi populasi
Penelitian ini dilakukan pada 13.896 pekerja di galangan kapal lokal yang berusia
antara 20 dan 62 tahun dan yang menjalani pemeriksaan kesehatan suara-spesifik selama
periode 1 tahun dari tanggal 1 Maret 2010, hingga Februari 28, 2011. Kriteria eksklusi adalah
pekerja 635 yang tidak merespon dengan survei kuesioner; 3.009 tidak menerima hasil
pengukuran suara lingkungan kerja; 1.201 dengan penyakit yang diketahui memiliki
pengaruh signifikan terhadap fungsi pendengaran, misalnya, hipertensi, diabetes mellitus, dan
hiperlipidemia, dan 508 yang memiliki riwayat penyakit telinga pada otoscopy dan
wawancara. Oleh karena itu kami memilik 8.543 pekerja terdaftar dalam studi saat ini,
membagi mereka menjadi bukan perokok, mantan perokok, dan saat ini kelompok perokok
menurut status merokok mereka. Kami juga membagi kelompok perokok saat ini menjadi 4
subkelompok sesuai dengan jumlah merokok (pack/tahun): 0,05-9,9, 10-19,9, 20-29,9, dan
30 (Gambar 1).

Inisial subjek
n= 13,896

Data jawaban kuesioner


tidak ada (n=635)
eksklusi

Ukuran lingkungan kerja


yang tidak ada(n=3,009)

n= 10,252
eksklus
i
n=8.543

Tidak merokok

Mantan
perokok

n= 2,270

Subjek dengan hipertensi,


DM, dislipidemia (n=1,202)
Subjek dengan penyakit
telinga (n=508)

Perokok aktif
n=3,593

n=2,680

0,05~9,9 PY*

10~19,9 PY*

20~29,9 PY*

30 PY*

n= 1,125

n=1,143

n= 689

n= 366

Gambar 1 seleksi subyek. *PY: pack/tahun

Semua analisa dilakukan terutama untuk telinga kanan karena ambang pendengaran
rata-rata relatif lebih rendah. Berdasarkan frekuensi, kami membagi subyek menjadi
Kelompok fungsi pendengaran normal dan kelompok gangguan pendengaran. Subyek dibagi
menjadi kelompok gangguan pendengaran apabila ambang pendengaran melebihi 30 dBHL
pada 1 k Hz. Subyek juga dikelompokkan pada gangguan pendengaran ketika ambang
pendengaran mereka melebihi 30, 40, dan 40 dBHL pada 2 k, 3 k, dan 4 kHz, masing-masing.
Semua kriteria yang diindikasi untuk uji sekunder pemeriksaan kesehatan suara-spesifik [20].
Metode studi
Penelitian kuesioner

Menggunakan kuesioner yang dilaporkan sendiri, kami memeriksa usia, periode


paparan kebisingan, riwayat medis masa lalu, riwayat penyakit sekarang, status merokok, dan
riwayat penyakit masa lampau dan penyakit telinga saat ini. Status merokok dievaluasi sesuai
dengan kriteria untuk pemeriksaan kesehatan (Departemen Kesehatan dan Kesejahteraan
Korea Pemberitahuan No 2012-69). Dengan demikian, berdasarkan survei kuesioner, subyek
yang memiliki riwayat tidak merokok dan mereka yang memiliki riwayat merokok seumur
hidup <100 batang rokok dimasukkan ke dalam kelompok non-perokok. Subyek dengan
riwayat merokok masa lampau, tetapi saat ini tidak merokok lagi dan mereka dengan riwayat
merokok masa lampau 100 batang rokok dimauskkan ke salam kelompok mantan perokok.
Subyek yang merokok saat ini ditugaskan untuk kelompok perokok saat ini [21].
Jumlah rokok (pack/tahun) dihitung dengan cara jumlah rokok yang dihisap setiap
hari dibagi 20, dan kemudian mengalikannya dengan lamanya (tahun) merokok. Selain itu,
subyek dalam kelompok perokok dibagi menjadi 4 subkelompok menurut jumlah rokok
(pack/tahun): 0,05-9,9, 10-19,9, 20-29,9, dan 30.
Pengukuran tingkat kebisingan
Kebisingan diukur menurut kriteria lingkungan bekerja (Departemen Pekerjaan
Pemberitahuan dan Tenaga Kerja No 2009-78, tanggal 14 Februari, 2009). Kami meninjau
hasil pengukuran kebisingan

lingkungan kerja menggunakan perangkat yang mengukur

jumlah paparan kebisingan (suara dosimeter 2-logging [M-27 dan M-28, QUEST, Amerika
Serikat], audio dosimeter [MK-3, AMETEK, Amerika Serikat], lencana dosimeter suara
[CR100, CIRRUS, Inggris]) dari Januari 2010 sampai Juni 2010. Tingkat kebisingan rata-rata
masing-masing departemen tempat para pekerja diasumsikan sebagai tingkat kebisingan
pekerja.
Pemeriksaan fisik dan biokimia serum
Mengukur tinggi, berat badan, dan tekanan darah sistolik dan diastolik. Glukosa darah
puasa, kolesterol total, trigliserida, kolesterol HDL, hemoglobin, hematokrit, hitung RBC
(red blood cell), dan karboksihemoglobin juga diukur. BMI dihitung dengan membagi berat
badan (kg) dengan tinggi badan dipangkatkan dua dan satuannya dalam meter. Tekanan darah
dihitung menurut rumus berikut;

Tekanan arteri rata-rata =

tekanan sistolik + tekanandiastolik 2


3

Tekanan arteri rata-rata mencerminkan tekanan rata-rata efektif [8].


Audiometry
Untuk mengukur ambang pendengaran pada pekerja yang terpapar kebisingan di
tempat kerja, penguji mengukur ambang udara dengan menggunakan audiometri nada murni
pada 1 k, 2 k, 3 k, dan 4 kHz menggunakan prosedur Hughson-westlake yang dimodifikasi,
yang merupakan metode standar pengukuran. Untuk melakukan ini, kami menggunakan
Interacoustic Audiometer AC40 (Denmark) dan headphone TDH39-P, yang dapat mengukur
frekuensi 0,25-16 KHz. Kebisingan di sekitar stan sesuai dengan kriteria Institute Standar
Nasional Amerika (ISNA) S3.1-1999. Selain itu, perangkat audiometri telah disesuaikan
menurut pedoman Audiometri dari Dinas Keselamatan dan Kesehatan Pekerja Korea [22,23].
Statistika
Subyek dibagi menjadi bukan perokok, mantan perokok, dan kelompok perokok aktif.
Kami membandingkan umur, jumlah tahun bekerja, tingkat kebisingan, berbagai parameter
fisik, Hasil biokimia, hasil audiometri nada murni, dan tekanan arteri rata-rata dengan analisis
varians 1-arah. Data dianalisis untuk membandingkan ambang pendengaran antara status
merokok dan jumlah antara merokok menggunakan analisis kovarians (ANCOVA) dan
beberapa logistik regresi setelah mengendalikan efek perancu. Umur, jumlah tahun bekerja,
tingkat kebisingan, faktor kardiovaskular (BMI, berarti tekanan arteri, glukosa darah puasa,
kolesterol total, trigliserida, dan kolesterol HDL), dan faktor yang terkait dengan kekentalan
darah (hemoglobin) sebagai kovariat. Analisis statistik dilakukan menggunakan SPSS 19.0
(IBM SPSS Inc, Chicago, IL, USA). P value <0,05 dianggap signifikan secara statistik.
Hasil
Karakteristik subjek
Kami membandingkan karakteristik dasar antara 1.709 subyek eksklusi dengan
penyakit yang mempengaruhi ambang pendengaran atau 8.543 subyek yang terdaftar dengan
penyakit seperti dikonfirmasikan pada otoscopy atau wawancara. Usia, masa kerja, tekanan
arteri rata-rata, dan glukosa darah puasa secara signifikan tinggi pada subyek eksklusi. Selain

itu, ambang pendengaran subyek eksklusi secara signifikan lebih tinggi dalam kisaran
keseluruhan frekuensi (data tidak ditampilkan).
Kami memiliki 8.543 subyek yang terdaftar dalam penelitian ini. Subyek-subyek
tersebut adalah, 2.270, 2.680, dan 3.593 subek yang masing-masing dimasukkan ke dalam
kelompok bukan perokok, mantan perokok, dan kelompok perokok aktif. Hasil dinyatakan
sebagai mean SD (standard deviasi). Usia rata-rata adalah 46,3 9,4 tahun, berarti jumlah
tahun bekerja adalah 22,1 10 tahun, dan tingkat kebisingan rata-rata adalah 86,7 3,0 dB.
Umur dan periode bekerja, dan tingkat kebisingan secara signifikan rendah maisng-masing
dalam kelompok perokok aktif dan mantan perokok. BMI rendah pada kelompok nonperokok. Rata-rata tekanan arteri dan glukosa darah puasa yang rendah dalam Kelompok
perokok aktif. Analisis profil lipid menunjukkan bahwa kolesterol total dan trigliserida, dan
kolesterol HDL rendah maisng-masing pada kelompok perokok aktif dan bukan perokok.
Hasil ini menunjukkan perbedaan yang signifikan antara 3 kelompok. Hematokrit dan
carboxyhemoglobin yang tinggi pada kelompok perokok aktif. Jumlah sel darah merah
rendah pada kelompok mantan perokok. Hasil audiometri nada murni menunjukkan bahwa
ambang pendengaran rata-rata kelompok perokok aktif secara signifikan rendah dalam
kisaran keseluruhan uji frekuensi (Tabel 1, Gambar 2).

Umur (tahun)
Periode bekerja
(tahun)
Level
Kebisingan
(desibel)
BMI (kg/m2)
Tekanan arteri ratarata
Gula darah puasa
Kolesterol total
Trigliserida
Kolesterol HDL
Hemoglobin (g/dl)
Hematokrit (%)
Jumlah sel darah
merah (104/mm3)
Karboksihemoglobin
(%)
Audiometri
nada
murni pada telinga

Bukan
Perokok*
(n = 2.270)
47,5 9,4
23,1 10,2

Mantan
Perokok*
(n = 2.680)
48,9 8,0
24,4 9,2

Perokok
aktif
(n = 3.593)
43,5 9,7
19,8 10,0

Total
(n = 8.543)

P value+

Perbandingan
Post-hoc

46,3 9,4
22,1 10,0

<0,001
<0,001

c<a<b
c<a<b

86,8 3,0

86,5 2,9

86,8 3,1

86,7 3,0

0,001

b < a,c

23,4 2,3
93,2 8,5

23,5 2,3
93,3 8,5

23,4 2,5
91,9 8,5

23,4 2,4
92,7 8,5

0,013
<0,001

a<b
c < a,b

98,2 12,0
188,9

31,7
115,7

71,5
53,5 13,1
14,9 0,9
43,4 2,6
468,9
32,8
(n = 1.084)
0,58 0,75
(n = 627)

98,9 12,8
191,4

31,9
123,8

88,2
53,1 12,9
14,9 0,9
43,1 2,6
465,5
33,4
(n = 1.129)
0,52 0,70
(n = 679)

97,4 12,8
190,2

32,3
141,9

105,8
51,4 12,7
15,1 0,9
43,9 2,7
468,8
34,2
(n = 1.673)
2,26 1,83
(n = 1.007)

98,1 12,6
190,2

32,0
129,3

92,9
52,5 12,9
15,0 0,9
43,5 2,7
467,9
33,6
(n = 3.886)
1,29 1,57
(n = 2.313)

<0,001
0,023

c<b
a<b

<0,001

a<c

<0,001
<0,001
<0,001
0,020

c < a,b
a,b < c
a,b < c
b < a,c

<0,001

a,b < c

kanan (dBHL)
1 kHz
2 kHz
3 kHz
4 kHz

16,4 11,9
19,7 15,2
28,1 20,1
33,8 22,0

16,9 12,2
20,3 15,3
30,0 20,8
36,1 22,4

15,4 10,5
17,7 13,8
24,8 19,4
30,2 21,7

16,2 11,4
19,0 14,7
27,3 20,2
33,0 22,1

<0,001
<0,001
<0,001
<0,001

c < a,b
c < a,b
c<a<b
c<a<b

mean standar deviasi


*a: bukan perokok, b: mantan perokok, c: perokok aktif
+
nilai-p telah dikalkulasikan dengan ANOVA

Gambar 2 Ambang batas pendengaran pada subyek menurut status merokok. *Bar = gangguan pendengaran rata-rata dan rentang eror (
5%) pada kedua telinga di semua frekuensi

Korelasi antara status merokok dan gangguan pendengaran


Kami menganalisis data dengan ANCOVA setelah mengontrol efek kovariat seperti
usia, masa kerja, tingkat kebisingan, BMI, tekanan arteri rata-rata, gula darah puasa,
kolesterol total, trigliserida, kolesterol HDL, dan hemoglobin. Audiometri nada murni
mengungkapkan korelasi ang tidak signifikan antara ambang pendengaran pada 1 k Hz dan
status merokok. Pada 2 k, 3 k, dan 4 kHz, tapi, ambang pendengaran pada kelompok perokok
saat itu cukup tinggi (Tabel 2, Gambar 3). Beberapa logistik regresi untuk status merokok
(referensi: non-perokok) menunjukkan bahwa odds rasio perokok aktif pada 1 k, k 2, 3 k, dan
4 kHz (Gambar 4) adalah masing-masing 1,291 (95% confidence interval [CI]: 1,055-1,580),
1.180 (95% CI: 1,007-1,383), 1.295 (95% CI: 1,125-1,491), dan 1.321 (95% CI: 1,1571,507).
Frekuensi

Bukan

Mantan

Perokok

Nilai p+

Perbandingan

Perokok* (n Perokok* (n Aktif* (n =

Post-hoc

1kHz

= 2.270)
15.9(15.47-

= 2.680)
15.9(15.5-

2 kHz

16.37)
18.8(18.24-

16.34)
16.83)
18.6 (18.04- 19.6(19.11-

3.593)
16.5 (16.10- 0.098
0.012

a,b<c

3 kHz

19.35)
19.07)
20.01)
26.5 (25.81- 27.0 (26.36- 28.0 (27.43- 0.005

a,b<c

4 kHz

27.22)
27.67)
28.58)
32.1 (31.30- 32.5 (31.84- 33.9 (33.34- <0.001

a,b <c

32.80)

33.24)

3.55)

Mean ( CI 95%), dBHL,


*a: bukan Perokok, b: mantan perokok, c; perokok aktif
+
nilai p telah dikalkulasikan dengan ANOVA dan disesuaikan untuk umur, periode bekerja, level kebisingan, indeks massa tubuh, tekanan
arteri rata-rata, glukosa darah puasa, kolesterol total, trigliserida, kolesterol HDL, hemoglobin

Gambar 3 Ambang batas pendengaran subyek menurut status merokok untuk menemukan variabel. *Bar: rata-rata ambang batas
pendengaran dan rentang eror ( 5%) pada kedua telinga di semua frekuensi. +Variabel: umur, periode bekerja, level kebisingan, indeks
massa tubuh, tekanan arteri rata-rata, glukosa darah puasa, kolesterol total, trigliserida, kolesterol HDL, hemoglobin.

Gambar 4. Odds rasio gangguan pendengaran berdasarkan frekuensi menurut status merokok. *Dot: odds rasio (umur, periode bekerja, level
kebisingan, indeks massa tubuh, tekanan arteri rata-rata, glukosa darah puasa, kolesterol total, trigliserida, kolesterol HDL, hemoglobin),
bar: 95% CI menurut status merokok.

Korelasi antara nilai merokok dan gangguan pendengaran

Kelompok perokok saat ini dibagi menjadi 4 subkelompok sesuai dengan jumlah
merokok (pak/tahun): 0.05- 9,9, 10-19,9, 20-29,9, dan 30. Kriteria untuk menentukan
gangguan pendengaran sama seperti sebelumnya. Kami menganalisis data menggunakan
metode yang sama. Ambang batas pendengaran pada 1 k, 2 k, dan 3 kHz secara signifikan
tinggi dalam kelompok 30 pack/tahun (Tabel 3). Regresi logistik ganda untuk jumlah
merokok (referensi: 0,05-9,9 pack/tahun kelompok) menunjukkan bahwa odds rasio pada 1
kHz adalah 1,562(95% CI: 1,013-2,408) dan 1.643 (95% CI: 1,023-2,640) untuk masingmasing kelompok 10-19,9 dan 30 pack/tahun.Tidak ada perbedaan yang signifikan antara
kelompok 0,05-9,9 pak-tahun dan kelompok 20-29,9 pack/tahun. Odds rasio pada 2 kHz
adalah 1.420 (95% CI: 1.014- 1,988), 1,673 (95% CI: 1,179-2,374), dan 1.660 (95% CI:
1,143-2,411) maisng-masing untuk kelompok 10-19,9, 20-29,9, dan 30 pack/tahun. Namun,
pada 3 k dan 4 kHz ada perbedaan yang signifikan antara jumlah rokok. Kami juga
menganalisis tren pada setiap frekuensi yang diuji, namun ini juga menunjukkan tidak adanya
perbedaan yang signifikan (Tabel 4).
1 kHz*
N
OR+

95%

2 kHz*
N
OR+

CI

95%

3 kHz*
N
OR+

CI

95%

4 kHz*
N
OR+

CI

95%
CI

Jumlah
rokok
(Pak/tahun)
0,05-9,9
10-19,9

1.125
1.1413

1,000
1,562

1,013-

1.125
1.413

1,000
1,420

1,014-

1.125
1.13

1,000
1,063

0,811-

1.125
1.143

1,000
1,034

0,815-

20-29,9

689

1,557

2,408
0,990-

689

1,673

1,988
1,179-

689

1,198

1,393
0,898-

689

1,228

1,312
0,945-

30

366

1,643

2,450
1,023-

366

1,660

2,374
1,143-

366

1,264

1599
0,918-

366

1,060

1,595
0,779-

2,640
Nilai p

0,263

2,411
0,197

1,742
0,314

1,442
0,387

*1 k, 2 kHz: ambang 30 dBHL termasuk gangguan kelompok pendengaran, 3 k, kHz 0 dBHL termasuk kelompok gangguan
pendengaran
+
sesuai umur, periode bekerja, level kebisingan, indeks massa tubuh, tekanan arteri rata-rata, glukosa darah puasa, kolesterol total,
trigliserida, kolesterol HDL, hemoglobin

Diskusi
Beberapa faktor diketahui memiliki efek yang dapat mengurangi pendengaran akibat
kebisingan.disebabkan karena faktor usia, lamanya bekerja, tingkat kebisingan dan faktor
kardiovaskular dimana faktor kardiovaskular itu berhubungan dengan tingkat viskositas
pembuluh darah. Kami menganalisis dari data yang kami dapat

bahwa faktor tersebut

menentukan terjadi penurunan pendenganran 1 kHz pada perokok dengan menggunakan


pemeriksaan audiometri. Ternyata terjadi perbedaan yang sangat signifikan antara perokok
dengan mantan perokok.Walau bagaimanapun perokok memilki resiko untuk mengalami

penurunann pendengaran lebih besar daripada orang yang tidak merokok.Zat toksin dari
rokok dapat merusak sterosilia di telinga, sehingga sel-sel rambut yang ada di telinga tidak
dapat menghantarkan hantaran bunyi dengan maksimal ke organ corti.Hal ini disebabkan
karena peningkatan dari zat radikal bebas (toksin/nikotin) akibat penggunaan rokok, selain itu
juga menyebabkan peningkatan viskositas pembuluh darah sehingga aliran darah terhambat
dan menyebabkan iskemik pada koklear.Oleh karena itu, pada perokok aktif yang bekerja di
lingkungan yang bising akan mengalami penurunan pendengaran dibandingkan dengan orang
yang tidak merokok.
Pada pemeriksaan klinis didapatkan pada para pekerja yang merokok kadar
karboxyhemoglobin tinggi. Dimana peningkatan kadar karboxyhemoglobin ini juga
merupakan penyebab terjadinya penurunann pendengaran, selain itu juga menyebabkan
terjadinya kerusakan pada koklear yang disebabkan viskositas yang tinggi sehingga aliran
darah terhambat dan menyebabkan kerusakan.Pada pemeriksan sel darah merah ditemukan
terjadinya peningkatan kadar hemoglobin dan hematokrit hal ini yang menyebaban
peningkatan viskositas pembuluh darah yang akan menyebabkan kerusakan pada
koklear.pada pemeriksaan trigliserida dan HDL ditemukan mengalami peningkatan dan pada
sebagian pekerja tidak mengalami peningkatan.

Penelitian sebelumnya telah menilai bahwa ada variabilitas dalam rentang frekuensi
yang merokok memiliki efek pada fungsi pendengaran. Secara spesifik, sebelumnya telah
menunjukkan bahwa merokok menyebabkan gangguan pendengaran pada frekuensi tinggi
dengan tidak adanya paparan terhadap kebisingan [35,36]. Namun, laporan lain telah
menyatakan bahwa hal ini menyebabkan gangguan pendengaran pada frekuensi yang lebih
rendah [37,38]. Gangguan pendengaran dalam keseluruhan rentang frekuensi juga telah
dijelaskan
[27,28]. Beberapa studi telah menunjukkan bahwa pada perokok yang dengan pekerja yang
terpapar kebisingan dapat mempengaruhi gangguan pendengaran pada frekuensi yang lebih
tinggi [13,15,16,21].. Terjadinya penurunan pendengaran pada pekerja yang merokok itu
disebabkan oeh kadar karboxyhemoglobin, peningkatan hematokrit dan hemoglobin yang
mengakibatkan peningkatan viskositas pembuluh darah yang akan menyebabkan kerusakan
pada organ pendengaran seperti koklea.
Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian kami merokok merupakan faktor terjadinya penurunann


pendengaran pada pekerja yang bekerja di lingkungan yang bising. perokok berat memiliki
efek yang lebih besar pada tingkat gangguan pendengaran pada frekuensi yang lebih rendah.
Dimana kami tidak dapat mengetahui apakah ada hubungan dengan frekuensi rendah. dan
menyebabkan berbagai jenis kanker, penyakit pernapasan, penyakit kardiovaskuler, dan
penyakit endokrin. Selain itu, hal itu mempengaruhi individu secara tidak langsung.
Selain terjadinya penurunan pendengaran merokok juga dapat menyebabkan
timbulnya kanker, gangguan pernafasan, penyakit kardiovaskular dan gangguan endokrin.
Cara pencegahan permasalahan ini adalah dengan meningkatkan kualaitas hidup pekerja dan
penegtahuan mengenai efek yang akan ditimbulkan akibat merokok.

Anda mungkin juga menyukai