Penyusun
DAFTAR ISI
Kata
pengantar.......................................................................................
...................... 1
Daftar
isi...................................................................................................
..................... 2
BAB I
Pendahuluan...................................................................................
...................
3
BAB II
Pembahasan...................................................................................
..................
4
BAB III
Penutupan......................................................................................
.................
7
Daftar
Pustaka..........................................................................................
..................... 8
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Hukum pidana ialah hukum sanksi yang berupa pidana yang diancamkan kepada
pelanggar normanya. Demikian sanksi pidana masih memiliki tujuan pembalasan disamping
tujuan pembinaan,sekalipun masih terdapat ruang-ruang perdebatan yang menyertainya. Jenisjenis hukum pidana berbeda-beda sesuai dengan tingkat pelanggaran dan peraturan hukum suatu
negara.
Salah satu sanksi hukum yang hingga hari ini menjadi perdebatan ialah sanksi hukuman
mati. Hukuman mati di Indonesia sendiri telah berjalan semenjak jaman kolonialisme. Negara
Indonesia merupakan negara yang mencantumkan unsur HAM dalam konstitusinya sehingga
pemberlakuan hukuman mati di negara ini banyak dinilai sebagai hal yang problematik. Selain
perdebatan mengenai aspek HAM terhadap sanksi hukum tersebut, anasir lain yang menjadi
bahan perdebatan ialah masalah legalitas penjatuhan hukuman ini ditinjau dari asas hukum lex
superior derogate legi inferior.
Rumusan Masalah
1. Bagaimana hukuman mati dalam konteks sejarah?
3
BAB II
PEMBAHASAN
Hukuman Mati dalam Konteks Sejarah
Pidana mati (dood straf) merupakan salah satu jenis pidana yang paling tua, setua umat
manusia. Namun yang jelas, pidana mati itu resmi diakui bersamaan dengan adanya hukum
tertulis, yaitu sejak adanya Undang-Undang Raja Hamurabi di Babilonia pada abad ke-18
sebelum masehi. Saat itu ada 25 jenis pidana kejahatan yang diancam hukuman mati.
Dimulai pada zaman Romawi. Dapat dikatakan hukum Romawi yang dituangkan dalam
Corpus Iuris Civil berlaku hampir selama seribu tahun atau dalam pertengahan abad ke-6
Masehi. Dari sinilah kemudian hukum Romawi mengembankan dirinya meliputi wilayahwilayah yang semakin luas di seluruh Eropah. Gejala ini dinamakan penerimaan (resepsi) hukum
Romawi.
Pidana mati juga dikenal pada masa Majapahit, pada masa zaman Hindu, pada masa
zaman Islam bahkan menurut hukum adat. Belakangan yang terkenal ialah cerita-cerita yang
menggambarkan keadaan di Perancis selama revolusinya pada penghabisan abad ke-18, di mana
beberapa orang dalam suatu lapangan di muka umum menjalani hukuman mati dengan
dipergunakannya guillotine, yaitu suatu barang tajam berat yang dijatuhkan dari atas kepala leher
seseorang.
4
Dalam hukum positif di Hindia Belanda, pidana mati mulai diberlakukan pada tanggal 1
Januari 1918 dengan berlakunya Wetboek van Strafrecht (WvS). Kemudian lebih dipertegas
seteleh kemerdekaan Indonesia melalui keberadaan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP/WvS). Hingga akhirnya pidana mati kita kenal dalam Pasal 10 huruf a Angka (1) KUHP
jo Pasal 11 KUHP. Di awal-awal kemerdekaan ada beberapa eksekusi pidana mati. Salah satunya
yang paling terkenal adalah eksekusi pidana mati terhadap mantan Perdana Menteri (PM) Amir
Sjarifuddin pada tanggal 5 Desember 1948 (sekalipun eksekusi ini masih menimbulkan
perdebatan di sana sini diakibatkan eksekusi ini tanpa sepengetahuan dan persetujuan Presiden
Soekarno). Hingga saat ini total ada 111 orang yang telah divonis mati di Indonesia, 60
diantaranya adalah warga Indonesia yang dihukum karena kasus pembunuhan berencana, dua
orang dalam kasus terorisme. Sementara dari 49 orang yang dihukum karena kasus narkotika,
sebagian besar diantaranya adalah warga asing.
Pada hakikatnya benih penolakan terhadap hukuman mati telah muncul pada abad 18
oleh seorang ahli hukum dan filsuf asal Italia Cesare Beccaria. Ia mengatakan dalam esainya
pada tahun 1767 yang berjudul On Crimes and Punishment bahwa tidak ada pembenaran bagi
negara untuk mengambil nyawa manusia. Pada awal sejarahnya, Kerajaan Italia telah
menghapuskan hukuman mati bagi warga sipil dengan mengadopsi KUHP Zanardelli tahun
1889, namun rezim Fasis memberlakukannya kembali dengan tahun KUHP 1930. Di abad 21,
Council of Europe telah mengeluarkan Protokol nomer 13 mengenai penolakan atas hukuman
mati yang ditandatangani oleh 45 negara Eropa dan telah diratifikasi oleh keseluruhan negara
kecuali Armenia1
Pengadilan di Lingkungan Peradilan Umum dan Militer tidak bertentangan dengan Pasal 28I ayat
(1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Di tengah pro-kontra wacana hukuman mati di Indonesia, prinsip dasar atas
penghormatan fundamental terhadap HAM semestinya menjadi pijakan utama. Hak untuk hidup
(right to life); merupakan kategori hak yang tidak bisa dilanggar, dikurangi serta dibatasi dalam
keadaan apapun, termasuk dalam batasan regulasi formal. Apalagi, hal ini secara jelas tercantum
dalam Konstitusi RI. MK, sebagai pengawal pelaksanaan UUD 1945, seharusnya menjalankan
amanat konstitusi tersebut dengan memberikan amanat penghapusan hukuman mati. Terlebih
dalam sistem hukum di Indonesia, hukuman mati bukanlah cara yang efektif untuk
menghentikan suatu tindak pidana. Sistem peradilan kita masih belum dapat menjamin sebuah
proses yang jujur, sehingga kemungkinan terjadinya peradilan sesat khususnya kesalahan
penerapan hukum cukup besar akibat korupsi, birokratisasi, diskriminasi dan bias kelas. Dalam
konteks itu, kehadiran sanksi hukuman mati tentu tidak dapat memperbaiki satu keputusan hakim
yang salah. Di sisi lain, tidak ada pembuktian akademis bahwa pelaksanaan hukuman mati secara
efektif memberikan efek jera kepada pelaku kejahatan dan mengurangi tindak pidana yang
terjadi.
Putusan Mahkamah Konstitusi ini sangatlah ironi, mengingat dasar filosofis dan
konstitusi negara Indonesia yang kemudian dikonkritkan lagi dalam Ketetapan MPR Nomor
XVII/MPR/1998 telah secara eksplisit menyebutkan bahwa pandangan dan sikap bangsa
Indonesia mengenai hak asasi manusia adalah bersumber dari ajaran agama, nilai moral
universal, dan nilai luhur budaya bangsa, serta berdasarkan Pancasila, dimana hak asasi manusia
adalah hak dasar yang melekat pada diri manusia yang sifatnya kodrati dan universal sebagai
karunia Tuhan Yang Maha Esa dan berfungsi untuk menjamin kelangsungan hidup,
kemerdekaan, perkembangan manusia dan masyarakat, yang tidak boleh diabaikan, dirampas
atau diganggu gugat oleh siapa pun.
dan
Asas
Lex
Superior
Hukuman Mati
Putusan MK yang melihat bahwa pelaksanaan hukuman mati tidak bertentangan dengan
Pasal 28 I ayat (1) UUD 1945 karena menganggap tata cara pelaksanaan hukuman mati
berdasarkan UU No.2/Pnps/1964 bukan merupakan tindakan penyiksaan adalah sebuah
keputusan yang terjebak positivisme hukum formal, karena hanya melihat unsur yang digugat
saja, yaitu penyiksaan. Padahal, Pasal 28 I ayat (1) UUD 1945 secara tegas dan jelas mengatur
mengenai hak-hak dasar warga negara sebagai satu kesatuan yang utuh, di mana dengan tegas
dinyatakan bahwa hak untuk hidup merupakan hak dasar yang harus dijamin oleh negara.
Bukan hanya itu saja, penerapan hukuman mati bertentangan dengan ketentuan hukum
hak asasi manusia Internasional yang secara tegas menyatakan hukuman mati bertentangan
dengan prinsip-prinsip yang diatur di dalam konvenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik
(International in Civil and Political Rigts-ICCPR.). Hak untuk hidup pada bagian III Pasal 6 (1) menyatakan bahwa setiap manusia berhak atas hak untuk hidup dan mendapatkan perlindungan
hukum dan tiada yang dapat mencabut hak itu. Perlu diingat bahwa prinsip-prinsip yang diatur
dalam ICCPR telah menjadi bagian dari hukum nasional Indonesia, melalui UU No.12 Tahun
2005 tentang Ratifikasi Kovenan Hak-hak Sipil dan Politik.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN I
Hukuman mati sebenarnya sudah diterapkan sejak zaman romawi atau pertengahan abad
ke 6 yang dituangkan dalam Corpus Iuris Civil. Namun Dalam hukum positif di Hindia Belanda,
pidana mati mulai diberlakukan pada tanggal 1 Januari 1918 dengan berlakunya Wetboek van
Strafrecht (WvS). Kemudian diatur secara terperinci dalam Pasal 10 huruf a Angka (1) KUHP jo
Pasal 11 KUHP. Penolakan juga sudah terjadi sejak abad 18 yaitu pada 1889 oleh kerajaan italia
dan Di abad 21, Council of Europe telah mengeluarkan Protokol nomer 13 mengenai penolakan
atas hukuman mati yang ditandatangani oleh 45 negara Eropa.
KESIMPULAN II
Hak asasi manusia adalah hak dasar yang melekat pada diri manusia yang sifatnya
kodrati dan universal sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa dan berfungsi untuk menjamin
kelangsungan hidup, kemerdekaan, perkembangan manusia dan masyarakat, yang tidak boleh
7
diabaikan, dirampas atau diganggu gugat oleh siapa pun. selain Itu juga sudah tercantum dalam
konstitusi RI (Pembukaan UUD 1945) kemerdekaan ialah hak segala bangsa. Melihat
system peradilan di Indonesia yang sangat jauh dari kata jujur juga susah untuk mempercayai
penerapan hukuman mati.
KESIMPULAN III
Dengan demikian menurut kami, putusan MK tersebut berlawanan dengan peraturanperaturan hukum yang lebih tinggi dan mendasar atau dengan kata lain telah melawan asas lex
superior derogate inferior.
Daftar Pustaka
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946, yang diberlakukan kembali berdasarkan Undang-Undang
Nomor 73 Tahun 1958 tentang Pernyataan Berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946.
Soedarto, Hukum dan Hukum Pidana, (Bandung: Penerbit Alumni, 1977), hal. 30.
C. Djisman Samosir, Sekelumit tentang Penologi & Pemasyarakatan, (Bandung: Nuansa Aulia,
2012), hal. 164.
http://conventions.coe.int/Treaty/Commun/ChercheSig.asp?NT=114&CM=&DF=&CL=ENG
http://www.berdikarionline.com/gotong-royong/20131017/soekarno-tidak-setuju-amirsjarifuddin-dieksekusi-mati.html
http://www.deathpenaltyinfo.org/part-i-history-death-penalty#19
http://www.dw.de/indonesia-tahun-ini-laksanakan-eksekusi-mati/a-16573754
http://www.elsam.or.id/article.php?id=35
8