Anda di halaman 1dari 7

Konsep Otonomi Daerah dan Federalisme Negara

dalam pembangunan Indonesia


I.

II.

PENDAHULUAN
Indonesia merupakan negara kesatuan yang terdiri dari beberapa daerah dan pulau yang
tersebar dari Sabang sampai Merauke. Keberagaman suku bangsa, budaya, bahasa, potensi
Sumber Daya Alam yang tersebar di berbagai daerah itu menimbulkan suatu problematis.
Seharusnya perbedaan-perbedaan itu akan mewarnai bangsa kita sebagaimana dalam semboyan
Bhineka Tunggal Ika. Akan tetapi, dalam hal pengelolaannya dalam sistem politik negara kita
masih menimbulkan banyak ketidakpuasan masyarakat. Karena terdapat kesenjangan yang
signifikan antara pemerintah pusat dan daerah-daerah lainnya. Sehingga menyebabkan kurang
meratanya pembangunan di Indonesia. Hal itulah diantaranya yang menimbulkan konsep otonomi
daerah dan isu-isu terbentuknya negara federal maupun konsep federalisme.
Pasca reformasi model negara Federalis adalah suatu wacana yang sangat besar, hal ini
mengingat pada masa pemerintahan sebelum reformasi pembangunan hanya tefokus pada Pulau
Jawa dan hal ini menimbulkan kesenjangan sosial bagi daerah lain di luar Pulau Jawa. Model
sentralistis yang diterapkan oleh pemerintah Orde baru memang mencapai perkembangan
ekonomi yang dapat dibilang membangagakan, tetapi di luar itu perkembangan ekonomi tidak
mengalami pemerataan sehingga pembangunan bersifat mercusuar atau terpusat. Kecemburuan
terhadap
ketidakmerataan
pembangunan
tersebut
menimbulkan
gejalagejala disintergrasi bangsa yang dibuktikan mulai bermunculan gerakan-gerakan separatis yang
mendorong suatu daerah untuk memerdekakan diri. Kemudian untuk mengatasi hal tersebut mulai
muncullah wacana mengenai bentuk negara Federalis, bentuk negara atau pemerintahan yang
terdiri dari gabungan beberapa negara. Dari wacana mengenai negara federalis keluarlah konsep
Otonomi daerah yang diterapkan dalam negara kesatuan sebagai usaha untuk menangkal wacana
federalis tersebut.
Otonomi berasal dari kata autonomos atau autonomia (yunani) yang berarti keputusan
sendiri (self ruling). Otonomi mengandung pengertian kondisi atau ciri untuk tidak dikontrol oleh
pihak lain atau kekuatan luar atau bentuk pemerintahan sendiri, yaitu hak untuk memerintah dan
menentukan nasibnya sendiri. Dalam pelaksanaan Otonomi Daerah, satu prinsip yang harus
dipegang oleh bangsa Indonesia adalah bahwa aplikasi otonomi daerah tetap berada dalam
konteks persatuan dan kesatuan nasional Indonesia. Otonomi tidak ditujukan untuk kepentingan
pemisahan suatu daerah untuk bisa melepaskan diri dari Negara Kesatuan RI. Tujuan pemberian
otonomi kepada daerah adalah untuk memungkinkan daerah bersangkutan mengatur dan mengurus
rumah tangganya sendiri untuk kepentingan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Pada saat ini, ketika reformasi politik sedang bergulir, salah satu pertanyaan yang muncul
kembali ialah apakah kita akan mempertahankan bentuk negara kesatuan atau mengubahnya
menjadi negara federal?.

PERMASALAHAN
Berdasarkan latar belakang dalam pendahuluan diatas, dalam makalah kami yang berjudul
Konsep Otonomi Daerah dan Federalisme Negara dalam Pembangunan Indonesia, akan
membahas meliputi beberapa topik yakni:
A. Konsep Otonomi Daerah
B.
Konsep Feodalisme Negara
C.
Integrasi Alternatif dalam menjebatani antara Kesatuan, otonomi dan federasi

D.

III.
A.
1.

2.
a.
b.
c.
d.
3.

Peran Otonomi Daerah dan Federalisme Negara dalam Pembangunan Indonesia

PEMBAHASAN
Konsep Otonomi Daerah
Tinjauan Historis Otonomi Daerah
Pada setiap zamannya, terdapat benang merah, yang menunjukkan bahwa substansi
Otonomi Daerah telah lama ada, yakni memberikan kewenangan pada pemerintahan daerah, untuk
mengurus rumah tangganya sendiri, termasuk untuk mengoptimalisasikan potensi sumber daya
manusia dan potensi alamnya. Realitasnya menunjukkan, konsep Otonomi daerah mendorong
penyelenggaraan pemerintah daerah bisa secara efektif dan efisien.
Kalaupun ada perbedaan yang mencolok, terdapat pada "kepentingan" pemerintah pusat
pada setiap zamannya. Semasa kerajaan-kerajaan nusantara, Otonomi Daerah cenderung
diterapkan secara feodalistik, Kerajaan pusat memberikan kewenangan kepada raja-raja kecil
yang menjadi bawahannya untuk mengelola administrasi pemerintahannya, memajukan
pembangunan sampai memungut pajak dari rakyat, sebagaian besar hasilnya harus diserahkan
kepada Kerajaan Pusat bernama upeti.[1]
Saat Orde Baru muncul dengan sistem pemerintahannya yang sentralistis dan penguasaan
daerah, muncullah UU No. 5/1974. Undang-undang yang lebih menekankan pada kedudukan yang
sama pentingnya diantara dekonsentrasi dan desentralisasi dengan menggunakan konsep riil dan
bertanggungjawab yang sangat kabur. Akibatnya, dekonsentrasi menjadi overshadowing terhadap
desentralisasi. Kekuasaan pemerintah pusat menjadi terlalu besar. Meski setelah 21 tahun
berkuasa, Orde Baru mencoba melepaskan keterpusatannya dengan mengeluarkan Peraturan
Pemerintah untuk melaksanakan titik berat otonomi di Daerah Tingkat II.
Diera reformasi dimana terjadi perubahan dari kesesakan, penekanan, pembatasan
kepada kemandirian empowering dan lebih memberikan keleluasaan dan pemanfaatan potensi
daerah oleh masing-masing daerah sendiri.[2]

Faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan Otonomi Daerah


Faktor manusia pelaksana
Kepala Daerah
DPRD
Kemampuan Aparatur Pemerintah Daerah
Partisipasi masyarakat
Faktor keuangan Daerah
Pajak Daerah
Retribusi Daerah
Perusahaan Daerah
Dinas Daerah dan Pendapatan lainnya
Faktor Peralatan
Faktor organisasi dan manajemen.[3]
Kewenangan Daerah Otonom
Kewenangan daerah mencakup seluruh kewenangan dibidang pemerintahan, kecuali
kewenangan dalam bidang pertahanan dan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, serta agama

dan kewenangan bidang lain, sebagaimana tercantum dalam pasal 11 Undang-undang negara nomor
22 tahun 1999 mengatur:
a.
Kewenangan daerah kabupaten/kota mencakup semua kewenangan yang dikecualikan pasal 7 dan
yang diatur pasal 9.
b.
Bidang pemerintahan yang wajib dilaksanakan oleh kabupaten dan kota meliputi pekerjaan
umum, kesehatan, pendidikan, dan kebudayaan, pertanian, perhubungan, industri dan
perdagangan, penanaman modal, lingkungan hidup, pertanahan, koperasi dan tenaga kerja.[4]
4.

Konsep Otonomi Daerah Alternatif:


Devolusi asimetris adalah

desentralisasi

luas

ekonomi/fiscal dan administrasi) namun tidak harus seragam


mempertimbangkan kekhususan masing-masing daerah /region.

(desentralisasi

politik,

untuk

negara,

wilayah

Otonomi Daerah berbasis Kewilayahan/ regional.


Artinya setiap wilayah /kawasan diatur oleh UU otonomi daerah yang berbeda, sesuai dengan
karakteristik geografi (laut, darat, dan sebagainya), potensi dan permasalahan di
wilayah/kawasan yang bersangkutan.

Pendekatan kewilayahan / regionalitas akan mempermudah pembagian wewenang


dan tugas antara pemerintah pusat-provinsi-kabupaten/kota. Kewenangan menangani daerah
perbatasan yang selama ini sering kali diklaim sebagai domain kekuasaan pemerintah pusat
(karena menyangkut pertahanan dan keamanan (hankam),dan hubungan dengan luar negeri)

Pengkajian yang holistik dan multi-disipliner (pendekatan banyak ilmu: sosial


budaya, ekonomi, politik dan natural sciences) pada setiap kebijakan desentralisasi dan otonomi
daerah di Indonesia.
Konsep Depdagri (dalam UUNo. 32/2004) mengenai akuntabilitas, efisiensi dan
eksternalitas dalam pembagian kewenangan Pusat-Daerah (dan kerjasama antardaerah) perlu
disempurnakan untuk membantu memetakan permasalahan kewenangan sekaligus kemungkinan
mencarikan jalan keluarnya.
Pendekaatan bio-region (yang dimodifikasi) perlu akomodasi dalam kebijakan pusat
mengenai otonomi daerah. Ini untuk mengurangi konflik-konlik SDA (Sumber Daya Alam),
meningkatkan kerjasama antar daerah, dan untuk menjaga keseimbangan alam/ lingkungan hidup.

Konsep pemerintah tentang Pendapatan Asli Daerah (PAD) selama ini yang
cenderung merugikan daerah, perlu segera direvisi.

Desentralisasi pemerintah akan pincang tanpa ada desentralisasi kepartaian.


Artinya revisi UU politik perlu senafas (saling mendukung) dengan revisi UU yang mengatur
otonomi daerah.[5]

B.
1.

Konsep Federalisme Negara


Tinjauan Historis Federalisme di Indonesia
Pada dasarnya Indonesia ini dari mulanya memang tidak merupakan suatu negara
kesatuan. Akan tetapi para pejuang berfikir unitaris. Mereka merintis dan percaya bahwa pada
dasar negara kesatuan mereka yakin dapat merdeka melawan penjajah. Sehingga berkembang
menjadi Sumpah Pemuda pada tahun 1928 dengan meyakininya sebagai SATU TANAH AIR, atau
SATU NUSA yang tidak terbagi-bagi. Ringkasnya semua pendiri negara pada waktu itu sepakat
untuk mendirikan sebuah negara kesatuan yang berujung pada proklamasi kemerdekaan 17
Agustus 1945. Ditambah dengan ditetapkannya UUD Negara RI pada tanggal 18 Agustus 1945

pasal 1 ayat 1, yang dicantumkan bahwa Indonesia adalah negara kesatuan. Akan tetapi konsep
negara kesatuanpun tidak bertahan lama. Bangun negara ini depertahankan selama Republik
pertama ( 17 Agustus 1945- 27 Desember 1949).
Pemerintah Beranda yang berusaha menegakkan kembali kekuasaannya di Indonesia,
menciptakan negara-negara bagian dan satuan-satuan kenegaraan yang dimaksudkan untuk
memecah-belah rakyat Indonesia. Maka usaha pemerintah Belanda itu menghasilkan pembentukan
Negara Republik Indonesia Serikat (RIS) pada tanggal 27 Desember 1945. RIS terdiri atas 16
daerah bagian, yaitu 7 negara bagian dan 9 satuan kenegaraan yang berdiri sendiri. Sebagaimana
yang tercantum dalam perjanjian Renvill tanggal 17 Januari 1948.
Dengan terbentuknya republik ketiga sebagai negara kesatuan pada tanggal 17 Agustus
1950, maka berakhirlah dan dihapuskannya daerah-daerah bagian dari percaturan politik golongan
federalis. Selanjutnya Indonesia kembali lagi ke bentuk negara kesatuan. Apalagi dengan Dekrit
Presiden Soekarno tanggal 5 Juli 1959 yang menyatakan berlakunya kembali UUD 1945 sebagai
UUD Nasional.
Dengan dikeluarkannya dekrit presiden, lahirlah republik keempat (5 Juli 1959
sekarang) yang dibagi dalam tiga periode. Yaitu Orde lama, Orde Baru dan Orde Reformasi. Pada
Orde lama dan Orde Baru tidak terdengar suara mengenai soal negara federal, atau setidaktidaknya tidak sampai kepermukaan. Maka dalam peiode reformasi ini mulai terdengar aspirasi
masyarakat mengenai negara federal. Dengan kata lain, muncul kembali golongan federalis yang
notabene bukan merupakan rekayasa dari atas. [6]
2.
a.

Latar belakang munculnya konsep negara federal di Indonesia:


Dalam sejarah panjang Republik Indonesia, baik dalam masa Orde Lama maupun Orde Baru,
pemerintah pusat tidak pernah mau membagi kekuasaan dan keuntungan yang dimilikinya. Lebih
jauh lagi pemerintah pusat selalu menggunakan kekerasan setiap kali menghadapi tuntutan untuk
memperoleh bagian dari pemerintah pusat. Selama lima puluh tahun, wilayah yang terbentang dari
Sabang sampai Merauke selalu diidentikkan sebagai bagian dari Jakarta (kesatuan kekuasaan).
b.
Ketegangan-ketegangan politik dan ekonomi, seperti peristiwa RMS, PRRP-Permesta,
Pemberontakan Aceh, Papua Merdeka- dianggap sebagai ancaman terhadap kesatuan nasional.
c.
Seiring dengan menurunnya tuntutan untuk merdeka, para pengamat dari wilayah yang sangat
kaya akan sumber daya alam memberikan usulan agar negara kesatuan RI diubah menjadi negara
federal
d.
Tuntutan atas tindak ketidakadilan dan diskriminasi dibeberapa wilayah di Indonesia. Seperti
halnya rakyat Papua, Kalimantan, dsb, seolah-olah menjadi warga negara kelas tiga diatas tanah
mereka sendiri dan terlebih lagi, rakyat Papua sering kali hanya menjadi pengamat terhadap
semua proyek pembangunan.[7]
Sedangkan menurut Adnan Buyung Nasution mengedepankan dua isu reflektif:
1.
Perdebatan mengenai federalisme merupakan akibat langsung dari kegagalan negara kesatuan
untuk mengatasi persoalan yang sangat nyata yang sedang dihadapi Indonesia:
2.
Kemunculan kembali aspirasi terhadap federalisme dari sudut pandang konstitusional, terletak
diantara distribusi kekuasaan ditangan pemerintah disatu sisi, dan ditangan masyarakat disisi
lainnya. [8]
3.
a.

Konsep federalisme dibangun oleh enam prinsip dasar yaitu :


Non Centralization,
Didalam federalisme tidak ada pusat kekuasaan yang mendominasi unit-unit politik yang
lainnya karena antara unit politik dengan pusat kekuasaan mempunyai kedudukan atau status yang

sama. Hanya saja melalui pengaturan, pemerintah federal memiliki hak-hak yang bersifat
ekslusif, seperti misalnya, menyangkut politik luar negeri, pertahanan, kebijaksanaan moneter
dan pencetakan uang, dan lain-lain. Akan tetapi, pada dasarnya kekuasaan tidaklah bersifat
hirarkis dalam bentuk pyramidal dimana aura kekuasaan berada di puncak paramida sebagaimana
dalam pemerintahan yang unitaristik. Dengan demikian dibawah, federalisme tidak ada pola
hubungan antara Pusat dengan Periperi sebagaimana dikenal di berbagai Negara.
b.
Democracy,
Menyangkut derajad perwujudan demokrasi, Negara-negara yang menjalankan
pemerintahan yang federalistik pada umumnya sejalan dengan komitmen dari masyarakat dalam
Negara tersebut untuk menjalankan demorasi seutuhnya.
c.
Check & Balances,
Mekanisme itu adalah bagimana mengatur hubungan di antara lembaga-lembaga Negara,
serta hubungan antara warga masyarakat dengan Negara.
d.
Open Bargaining,
Federalisme harus memungkinkan terjadinya perundingan secara terbuka di antara
berbagai pihak, dan rundingan-rundingan tersebut harus dilaksanakan secara terbuka.
e.
Constitutionalism
Konsep yang sangat mendasar di dalam menyelenggarakan federalisme adalah
menyangkut Constitualism. Mengenai konstitusi yang diselenggarakan dalam pererintahan itu.
f.
Fix Units.
Menyangkut unit-unit pemerintahan yang sudah tetap (Fixed units). Garis pembatas
antara satu lembaga, antara wilayah Negara bagian, antara wilayah daerah sudah merupakan
sesuatu yang sangat jelas, sehingga tidak akan dengan mudah diutak-atik lagi demi kepentingan
yang sesaat.
. Jika tidak terdapat ciri prinsip seperti yang disebutkan diatas maka negara tersebut tidak
disebut Negara federal. Sebagaimana negara-negara seperti Malaysia, Amerika Serikat, Jerman,
Swiss, Austria, Spanyol, Kanada maju karena federalism.[9]
C.

Integrasi Alternatif dalam menjebatani antara Kesatuan, otonomi dan federasi


Berbagai pertanyaan yang muncul ketika reformasi politik sedang bergulir, salah
satunya ialah apakah kita akan mempertahankan bentuk negara kesatuan atau mengubahnya
menjadi negara federal, maka muncul gagasan baru : Indonesia akan tetap mampertahankan
bentuk negara kesatuan, namun dapat mengadopsi unsur-unsur federalisme dengan
mempertimbangkan keberagaman sejarah, nilai-nilai, serta faktor geografis wilayahnya. [10]
Mantan Presiden Abdurrahman Wahid (2000) menekankan bahwa yang lebih penting lagi
adalah membangun sistem negara kesatuan dengan perilaku/ karakter negara federal.
Menurutnya sistem negara kesatuan atau federal, tidak akan tidak akan bertahan tanpa sikap
yang benar dari orang yang menjalankan serta membuka diri terhadap masukan dari sistem politik
lain.
Dengan mengambil beberapa contoh disejumlah daerah, seperti Aceh, Maluku, dan Papua,
Gus Dur berpendapat bahwa tuntutan otonomi bahkan ingin memisahkan diri dari Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) lebih disebabkan oleh kekecewaan atas perilaku yang
mereka alami selama ini. Aceh melawan Daerah Operasi Militer (DOM) karena pihak militer
dianggap melanggar Hak Asasi Manusia (HAM). Di Maluku terjadi kesenjangan antara umat
muslim dan Kristen, sedangkan di Papua GusDur mengharapkan agar pemerintah lokal selanjutnya
harus mampu memenuhi kebutuhan kedua belah pihak, yaitu memahami kebutuhan emosional
masyarakat lokal dan para investor.[11]

Dengan melihat dalam kerangka pergerakan kebangsaan dalam masa penjajahan Belanda,
Deliar Noer membahas kemungkinan terlepasnya beberapa daerah tertentu dari Republik
Indonesia yang akan dilihat sebagai pelanggaran Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 yang
mencerminkan integrasi Indonesia. Indonesia sebaiknya mempertahankan status negara
kesatuan, namun dengan memberikan otonomi sepenuhnya pada daerah-daerah yang segera
diterapkan dalam waktu singkat. Dalam kaitannya ini, distribusi kekuasaan dan pendapatan antara
pemerintah pusat dan pemerintah daerah perlu dilakukan dengan adil, sementara pemberian
otonomi sebaiknya lebih dititikberatkan pada kabupaten dari pada provinsi, yang didalamnya
provinsi lebih bersifat sebagai koordinator.
Dibandingkan dengan negara federal, bentuk negara kesatuan plus otonomi lebih mudah
diimplementasikan karena pembagian wilayah sedikit banyak telah tuntas. Perpindahan pegawai
dari pusat ke daerah atau antar daerah lebih mudah dibandingkan dalam bentuk federal karena
pemerintah pusat dapat dengan mudah mengirimkan orang-orang berpengalaman dan
berpendidikan ke daerah. Pemerintah pusat dapat lebih mudah membantu pemerintah daerah.
Dari sudut idealisme politik, kohesi perasaan sebagai bangsa Indonesia dapat lebih mudah
terpelihara dalam bentuk negara kesatuan. Kesatuan diharapkan akan menumbuhkan kebanggaan
Nasional.
D. Otonomi Daerah dan Federalisme Negara dalam Pembangunan Indonesia
Dalam Pembangunan suatu daerah maupun negara perlu ditekankan adanya: prinsip-prinsip
demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan dan keadilan, serta memperhatikan potensi dan
keanekaragaman daerah, dalam pelaksanaannya. Sejarah masa lalu membuktikan bahwa krisis
multisegi bangsa Indonesia saat ini sebenarnya bukan terletak pada melemahnya nasionalisme,
tetapi karena terjadinya proses ketidakadilan struktural dalam sistem masyarakat Indonesia.
Musuh utama nasionalisme dalam pembangunan yang berkembang saat ini adalah banditisme
modern struktural; ideologi pemaksaan dan manipulasi kekuasaan yang kolutif oleh beberapa elite
terhadap massa rakyat. Oleh karena itu dalam pembangunan daerah semangat nasionalisme perlu
dilembagakan[12]
Pelaksanaan konsep otonomi daerah dan konsep federalisme di Indonesia sama-sama
dapat memberikan keuntungan untuk pembangunan diIndonesia. Salah satunya untuk pemerataan
Pembangunan di tiap daerah di Indonesia. Subsidi silang baik sumber daya alam maupun Sumber
daya manusia dapat dilakukan dengan efektif dalam konsep negara kesatuan dengan otonomi
didaerahnya. Sehingga negara yang kaya akan Sumber Daya Alamnya dapat diolah sedemikian
rupa oleh daerahnya untuk kemajuan daerah dan memberikan subsidi silang untuk daerah yang
masih kurang sumber daya alam dan sumber daya manusia dengan tetap terkontrol oleh pusat.
Maka dari itu konsep negara kesatuan di Indonesia ini akan lebih sempurna dengan
pemberian otonomi bagi daerah-daerahnya dengan tetap mampertahankan bentuk negara
kesatuan, namun dapat mengadopsi unsur-unsur federalisme dengan mempertimbangkan
keberagaman sejarah, nilai-nilai, serta faktor geografis wilayahnya. Sebagaimana salah satu
aspek positif dari desentralisasi ini dimaksudkan untuk mencegah penumpukkan kekuasaan pada
satu pihak saja.
Selain itu kekuatan masyarakat lokal dan kontrol publik yang diusung oleh otonomi daerah
dan federalisme merupakan sebuah modal sosial (social capital) sebagai sebuah kekuatan lokal
(lokal power) yanga dapat dijadikan tempat persemaian demokrasi dan tumbuhnya civil society.
Ketika masing-masing daerah dapat memegang konsep otonomi dan feseralisme dengan baik maka
tak diragukan lagi akan pembangunan di Indonesia ini baik dari segi ekonomi, sosial, budaya, ilmu
pengetahuan maupun teknologi. Karena didukung oleh sisten politik yang memadai.

IV. KESIMPULAN
Keberagaman suku bangsa, budaya, bahasa, Kekayaan Sumber Daya Alam yang tersebar di
berbagai daerah merupakan sebuah rahmat bagi bangsa Indonesia ini, ketika dapat
diimplementasikan dengan bijaksana. Beberapa problematis seperti kecemburuan sosial,
ketidakadilan, dsb memunculkan konsep-konsep otonomi daerah dan munculnya gagasan negara
federal yang tentunya itu akan mengkotak-kotakkan daerah bahkan dapat menggoncang kesatuan
bangsa Indonesia. Akan tetapi, Indonesia sebaiknya mempertahankan status negara kesatuan,
namun dengan memberikan otonomi sepenuhnya pada daerah-daerah.
Konsep negara kesatuan di Indonesia ini akan lebih sempurna dengan pemberian otonomi
bagi daerah-daerahnya dengan tetap mampertahankan bentuk negara kesatuan, namun dapat
mengadopsi unsur-unsur federalisme. Dibandingkan dengan negara federal, bentuk negara
kesatuan plus otonomi lebih mudah diimplementasikan karena pembagian wilayah sedikit banyak
telah tuntas. satunya untuk pemerataan Pembangunan di tiap daerah di Indonesia.
V.

DAFTAR PUSTAKA

Bhakti, Ikrar Nusa dan Riza Sihbudi.2002. Kontroversi Negara Federal:Mencari Bentuk Negara
Ideal Indonesia Masa Depan. Bandung: Mizan

Nasution, Adnan.B, dkk.1999. Federalisme Untuk Indonesia. Jakarta: Kompas


Ratnawati,Tri. 2006. Potret Pemerintahan Lokal di Indonesia dimasa Perubahan . Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Riwukaho, Josef. 2001. Prospek Otonomi Daerah di Negara Republik Indonesia. Jakarta: PT.
Grafindo Persada
Utomo, Warsito. 2003. Dinamika Administrasi Publik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Widjaja, HAW. 2005. Penyelenggaraan Otonomi di Indonesia. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Anda mungkin juga menyukai