Anda di halaman 1dari 10

Problem Based Learning Blok 12 : Infeksi & Imunitas

Respon Tubuh Terhadap Cedera


Glory Artauli. 102012343
Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jl. Arjuna Utara No. 06 Jakarta 11510. Telp: 5694-2051. Email: glory.arta@gmail.com

Pendahuluan
Semasa hidup seseorang, jaringan maupun organ tubuhnya pasti pernah cedera,
misalnya karena terbakar, teriris atau karena infeksi kuman. Maka cedera itulah rangkaian
reaksi tubuh untuk menghasilkan netralisasi dan eliminasi gen penyerang,penghancuran gen
nekrotik, dan terbentuknya keadaan yang diperlukan agar terjadi perbaikan dan pemulihan
pada jaringan dan organ tersebut. Banyak faktor lingkungan dan perorangan yang dapat
memodifikasi dan mempengaruhi proses pemulihan. Rangkaian reaksi yang terjadi pada
tempat jaringan cedera itu disebut radang
Reaksi peradangan sebenarnya merupakan reaksi yang kontinyu dan dinamik pada
kejadian yang terkoordinasi dengan baik. Untuk memunculkan manisfestasi suatu reaksi
peradangan, sebuah jaringan harus hidup dan harus memiliki mikrosirkulasi yang fungsional.
Jika daerah yang nekrosis luas, maka reaksi peradangan tidak ditemukan dibagian tengah
jaringan, tetapi pada bagian tepinya, yaitu diantara jaringan mati dan jaringan hidup yang
memiliki sirkulasi yang utuh. Selain itu jika cedera tertentu menyebabkan kematian pada
penjamu, maka tidak ada bukti reaksi peradangan karena respon peradangan memerlukan
waktu.
Luka adalah rusak atau terputusnya keutuhan jaringan yang disebabkan cara fisik atau
mekanik. Setiap jenis luka menimbulkan peradangan, yang merupakan reaksi tubuh terhadap
cedera. Ada penyakit yang mengganggu proses penyembuhan atau menurunkan daya tahan
tubuh terhadap infeksi. Contohnya aterosklerosis, diabetes mellitus, sirosis hepatis, dan gagal
ginjal.1
Pembahasan
Peradangan dapat didefinisikan sebagai reaksi jaringan terhadap cedera, yang secara
khas terdiri atas respons vascular dan selular, yang bersama-sama berusaha menghancurkan
substansi yang dikenali sebagai asing untuk tubuh. Jaringan itu kemudian dipulihkan seperti
sedia kala atau diperbaiki sedemikian rupa agar jaringan atau organ itu dapat tetap bertahan
hidup.1

Penyembuhan secara ideal berusaha memulihkan jaringan asalnya, namun bila tidak
mungkin, akan terbentuk jaringan parut. Radang ada yang akut dan yang menahun. Penyebab
paling umum dari peradangan adalah1
1. Infeksi mikrobial
Salah satu penyebab yang paling sering ditemukan pada proses radang ialah
infeksi mikrobial. Virus menyebabkan kematian sel dengan cara multiplikasi
intraseluler. Bakteri melepaskan eksotoksin yang spesifik yaitu suatu sintesis kimiawi
yang secara spesifik mengawali proses radang atau melepaskan endotoksin yang ada
hubungannya dengan dinding sel.
2. Reaksi hipersentivitas
Reaksi hipersentivitas terjadi bila perubahan kondisi respons imunologi
mengakibatkan tidak sesuainya atau berlebihannya reaksi imun yang akan merusak
jaringan.
3. Agen fisik
Kerusakan jaringan yang terjadi pada proses radang dapat melalui trauma
fisik, ultraviolet atau radiasi ion, terbakar atau dingin yang berlebih (frosbite).
4. Bahan kimia iritan dan korosif
Bahan kimiawi yang menyebabkan korosif (bahan oksidan, asam, basa) akan
merusak jaringan yang kemudian akan memprovokasi terjadinya proses radang.
Disamping itu, agen penyebab infeksi dapat melepaskan bahan kimiawi spesifik yang
mengiritasi dan langsung mengakibatkan radang.
5. Nekrosis jaringan
Aliran darah yang tidak mencukupi akan menyebabkan berkurangnya pasokan
oksigen dan makanan pada daerah bersangkutan, yang akan mengakibatkan terjadinya
kematian jaringan, kematian jaringan sendiri merupakan stimulus yang kuat untuk
terjadinya infeksi. Pada tepi daerah infark sering memperlihatkan suatu respons,
radang akut.
Tanda-tanda makroskopik
Pada kasus, anak 10 tahun punggung kakinya tertusuk paku berkarat. Jaringan
sekitar punggung kaki akan meradang , kemudian akan membengkak (tumor), berwarna
kemerahan-merahan (rubor), nyeri (dolor), menjadi agak hangat (kalor) dan fungsio laesa
(perubahan fungsi).
Rubor atau kemerahan, biasanya merupakan hal pertama yang terlihat di daerah
yang mengalami peradangan. Seiring dengan dimulainya reaksi peradangan, arteriol yang
memasok daerah tersebut berdilatasi sehingga memungkinkan lebih banyak darah mengalir
ke dalam mikrosirkulasi lokal. Kapiler-kapiler yang sebelumnya kosong, atau hanya sebagian
meregang, secara cepat terisi penuh dengan darah. Keadaan ini disebut hyperemia atau
kongesti, menyebabkan kemerahan lokal pada peradangan akut. Tubuh mengontrol produksi
hyperemia pada awal reaksi peradangan, baik secara neurologis maupun kimiawi melalui
pelepasan zat-zat seperti histamin.1

Kalor atau panas, terjadi bersamaaan dengan kemerahan pada reaksi peradangan
akut. Sebenarnya, panas secara khas hanya merupakan reaksi peradangan yang terjadi pada
permukaan tubuh, yang secara normal lebih dingin dari 37C yang merupakan suhu inti
tubuh. Daerah peradangan di kulit menjadi lebih hangat dari sekelilingnya karena lebih
banyak darah (pada suhu 37C) dialirkan dari dalam tubuh ke permukaan daerah yang
terkena dibandingkan dengan ke daerah yang normal. Fenomena hangat lokal ini tidak
terlihat di daerah-daerah meradang yang terletak jauh di dalam tubuh, karena jaringanjaringan tersebut sudah memiliki suhu inti 37C dan hyperemia lokal tidak menimbulkan
perbedaan.1
Dolor atau nyeri pada suatu reaksi peradangan tampaknya ditimbulkan dalam
berbagai cara. Perubahan pH lokal atau konsentrasi lokal ion-ion tertentu dapat merangsang
ujung saraf. Hal yang sama, pelepasan zat-zat kimia tertentu seperti histamine atau zat-zat
biokimia lainnya dapat merangsang saraf. Selain itu, pembengkakan jaringan yang meradang
menyebabkan peningkatan tekanan lokal yang tidak diragukan lagi dapat menimbukan nyeri. 1
Tumor atau pembengkakan merupakan aspek yang paling mencolok pada
peradangan akut. Tumor atau pembengakakn ini terjadi karena eksudat yang begitu banyak
tertimbun dan menumpuk.1
Fungsio laesa atau perubahan fungsi merupakan bagian yang lazim pada reaksi
peradangan. Seintas mudah dimengerti, bagian yang bengkak, nyeri disertai sirkulasi
abnormal dan lingkungan kimiawi lokal yang abnormal, seharusnya berfungsi secara abnormal.
Akan tetapi, cara bagaimana fungsi jaringan yang meradang itu terganggu tidak dipahami secara

terperinci.1
Radang Akut
Tahap Vaskular
Bila terjadi cedera jaringan, sejumlah besar substansi kimia kuat dibebaskan ke dalam
jaringan. Substansi ini membentuk dinding kimiawi yang disebut gradient kemotaktik,
yang menarik cairan dan sel-sel. Reaksi awal terhadap cedera adalah reflex neural yang
berakibat vasokonstriksi, untuk mengurangi aliran darah (mengurangi perdarahan). Tidak
lama kemudian diikuti dilatasi arteriol dan venula, agar lebih banyak cairan dapat memasuki
celah-celah jaringan, termasuk fibrinogen. Cairan ini berfungsi mengencerkan agens kimiawi
yang merusak, serta membawa komplemen, antibody, dan zat-zat lain ke daerah tersebut.1
Tahap Selular
Komponen dari eksudat cairan menimbulkan respons khas oleh leukosit, yang
umumnya dikatakan sebagai marginasi dan pavementing, emograsi terarah, agregasi,
pengenalan, dan fagositosis.1
Marginasi dan pavementing

Marginasi berarti merapatnya granulosit dan monosit pada endotel pembuluh darah.
Karena permeabilitas kapiler meningkat pada awal cedera, maka aliran darah melambat. Selsel polimorfonuklear (PMN) menepi (pada venula), membentuk lapisan tersendiri melekat
pada dinding. Karena tampilan lapisan ini, maka proses ini disebut pavementing.1
Emigrasi
Keluarnya sel darah putih dengan menerobos di antara endotel menuju ke tempat
cedera terjadi melalui proses yang disebut emigrasi. Neutrofil bergerak dengan gerak
ameboid menerobos di antara sel-sel endotel, sampai di tempat cedera. Yang pertama tiba
adalah neutrofil. Monosit (makrofag) dan limfosit tiba kemudian. Kadang-kadang sel darah
merah ikut masuk dalam jaringan. Gerak PMN secara orientasi terarah disebabkan
kemotaksis. Kemotaksis adalah gerak terarah dari sel-sel ameboid melalui gradient
konsentrasi terdiri atas substansi seperti toksin bacterial, produk perombakan jaringan, faktor
komplemen yang aktif, dan faktor-faktor lain. Gradient menentukan arah kekuatan yang
menarik sel-sel fagositik ke daerah itu.1
Pengenalan dan Fagositosis
Fagositosis adalah proses spesifik terhadap partikel yang dikenali sebagai asing oleh
fagosit itu. Fagosit terpenting di sini adalah neutrofil dan makrofag. Dalam proses
memfagositosis, fagosit itu sering mati, pecah dan membebaskan enzim pencernaannya, yang
dapat mencederai jaringan sekitar. Bila banyak fagosit yang mati, terjadi akumulasi nanah,
dan bersana materi atau benda asing dikeluarkan dari tubuh.1
Eksudat
Dalam proses peradangan terbentuk jenis eksudat berbeda, yang dapat menjadi
petunjuk sifat proses peradangan itu. Suatu eksudat adalah cairan atau bahan yang terkumpul
dalam suatu rongga atau ruang jaringan. Eksudat yang paling sederhana, eksudat serosa,
adalah cairan kaya protein yang keluar masuk ke dalam jaringan pada tahap awal inflamasi.
Karena kandungan proteinnya tinggi, serosa menarik air dan menyebabkan edema pada sisi
reaksi inflamasi. Eksudat purulen adalah eksudat yang mengandung pus. Yang adalah netrofil
fagositik dan organism penghasil pus yang terletak di area pertahanan untuk mencegah
infeksi karena penyebaran sistem.1
Terdapat bermacam-macam jenis eksudat yang bergantung pada sumber peradangan:1
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.

Serosa: cairan eksudat kaya protein; tanpa sel


Fibrinosa: eksudat kaya fibrin; dapat berakibat perlekatan
Hemoragis: umumnya eksudat supuratif dengan sel darah merah
Purulen: eksudat yang mengandung nanah (pus)
Supuratif: eksudat dengan pus dan jaringan yang rusak; pada awal supurasi, terutama
sel PMN; pada yang lanjut, terutama makrofag
Abses: daerah bernanah, biasanya berpusat dalam organ
Furunkel: abses dari kulit
Karbunkel: abses luas kulit ang cenderung menyebar
Selulitis: eksudasi supuratif dengan penyebaran difus melalui jaringan

10. Serofibrinosa: eksudat serosa yang kaya fibrin


Radang akut mempunyai efek local dan sistemik; keduanya dapat merugikan atau
menguntungkan. Efek local radang akut umumnya bermanfaat, misalnya penghancuran
terhadap mikro-organisme yang invasi ke dalam tubuh, tetapi pada suatu waktu tampak tidak
jelas fungsinya, atau bahkan jelas merugikan.1
Cairan dan eksudat seluler, keduanya dapat mempunyai efek yang berguna. Manfaat
cairan eksudat adalah sebagai berikut:1
-

Mengencerkan toksin. Pengenceran toksinyang diproduksi oleh bacteria akan


memungkinkan pembuangannya oleh bacteria akan memungkinkan pembuangannya
melalui saluran limfatik.
Masuknya antibody. Akibat naiknya permeabilitas vaskuler, memungkinkan antibody
masuk ke dalam rongga ekstravaskuler; antibody dapat mengakibatkan lisisnya
mikro-organisme dengan mengikutsertakan komplemen, atau mengakibatkan
fagositosis melalui opsonisasi. Antibody juga penting untuk menetralisir toksin.
Transpor obat, seperti antobiotik ke tempat bakteri berkembang biak
Pembentukan fibrin dari eksudat fibrinogen dapat menghalangi gerakan mikroorganisme, menangkapnya dan memberikan fasilitas terjadinya fagositosis.
Mengirim nutrisi dan oksigen, yang sangat penting untuk sel seperti neutrofil yang
mempunai aktivitas metabolism yang tinggi, yang dibantu dengan menaikkan aliran
cairan melalui daerah tersebut.
Merangsang respon imun dengan cara menyalurkan cairan eksudat ke dalam saluran
limfatik yang memungkinkan pertikel dari larutan antigen mencapai limfonodus
regionalnya, dimana partikel dapat merangsang respons imun.

Radang Kronis
Bila proses peradangan (inflamasi) tetap ada dan belum teratasi, terjadi beberapa hal.
Daerah itu diinfiltrasi leukosit mononuclear, khususnya makrofag dan limfosit. Namun jenis
radang kronis (menahun) tertentu, seperti osteomielitis, mengandung neutrofil berbulan-bulan
lamanya, sementara radang akut tertentu sejak awal sudah banyak limfositnya. Peradangan
kronis diinfiltrasi banyak fibroblast, yang membentuk kolagen, dan terbentuk jaringan parut.
Luka parut dan radang menahun itu sering mengganggu fungsi organ tersebut.2
Pola radang kronis khas adalah radang granulomatosa, yang ditandai berkumpulnya
banyak makrofag atau histiosit. Benda asing penyebab dikurung dan dipisahkan dari jaringan
sekitar, tidak dibuang. Pada tuberculosis, granuloma yang dihasilkan disebut tuberkel, yang
ditandai nekrosis (perkijuan) dan infiltrate kalsium pada tepian granuloma itu.2
Efek Lokal dan Sistemik Peradangan
Semua jenis peradangan memiliki kelima tanda utama radang, yaitu kalor (panas),
dolor (nyeri), rubor (merah), tumor (bengkak), dan function laesa (gangguan fungsi). Gejalagejala ini diakibatkan oleh vasodilatasi, eksudasi, dan iritasi dari ujung-ujung saraf.
Vasodilatasi ini dihubungkan dengan pelepasan mediator kimia. Eksudasi akibat dari

perpindahan cairan dan sel darah putih ke area yang terkena. Ujung saraf yang teriritasi oleh
mediator kimia, menyebabkan nyeri dan kadang kehilangan fungsi. Peradangan juga
menimbulkan demam, leukositosis, limfadenopati, peningkatan laju endap darah.2
Limfadenopati
Limfadenopati adalah suatu tanda dari infeksi berat dan terlokalisasi. Limfadenopati
terjadi bila limfonodus local dan pembuluh darah mengalirkan materi infeksi, yang
tertangkap dalam jaringan folikular nodus.2
Peningkatan aliran limfatik adalah karakteristik dari inflamasi local. Bila terjadi
inflamasi pembuluh limfatik, ini disebut limfangitis. Bila inflamasi mempengaruhi
limfonodus, ini disebut limfadenitis. Sistem limfe membantu mempertahankan infeksi tetap
terlokalisasi dan terisolasi dari aliran darah.2
Demam
Demam adalah fenomena paling umum dari penyakit, terutama inflamasi. Demam
dianggap disebabkan oleh pelepasan pirogen endogen dari makrofag dan kemungkinan dari
eosinofil, yang diaktivasi oleh fagosit, endotoksin, kompleks imun, dan produk lain. Pirogen
ini (substansi penghasil demam) bekerja pada pusat pengatur suhu tubuh di hipotalamus
untuk meningkatkan titik pengatur thermostat.2
Tujuan dari demam tidak diketahui, tetapi pada peningkatan suhu, fagosit bekerja
lebih cepat untuk mencapai tujuannya. Metabolisme tubuh ini meningkat, yang dapat
meningkatkan fagositosis melalui peningkatan aliran darah. Demam pada infeksi virus dapat
merangsang produksi interferon yang dapat membatasi perjalanan infeksi virus.2
Laju Endap Darah
Laju endap darah (LED) adalah kecepatan di mana sel darah merah mengendap dalam
tube tes. Pada peradangan, kecepatan meningkat, kemungkinan karena perubahan pada
komponen plasma yang terjadi selama proses inflamasi. Protein plasma yang terlibat dalam
peningkatan LED disebut protein fase akut dan terutama dilepaskan oleh hati dalam respons
terhadap stimulasi interleukin-1. LED digunakan untuk memantau aktivitas berbagai penyakit
inflamasi.2
Leukositosis
Leukositosis mengacu pada peningkatan jumlah sel darah putih. Peningkatan dalam
jumlah sel adalah selektif, sesuai dengan agens penyebab. Sebagai contoh, bakteri pirogen
sering menyebabkan peningkatan pada jum;ah neutrofil, sedangkan infeksi helmintik dapat
menyebabkan eosinofilia. Peningkatan dalam jumlah limfosit sirkulasi umumnya terjadi pada
infeksi virus. Pada infeksi berat dapat terjadi neutropenia. Peningkatan neutrofil ini
menunjukkan bahwa sistem tersebut tidak mampu meningkatkan pertahanan adekuat.2

Resolusi Peradangan
Benda asing penyebab radang perlu disingkirkan atau dikucilkan. Hal ini terlaksana
melalui:2
1. Resolusi sederhana
2. Regenerasi, dan/atau
3. Penggantian oleh jaringan ikat parut
Resolusi Sederhana
Jenis resolusi ini hanya bisa terjadi bila tidak ada kerusakan pada jaringan normalnya.
Agen penyebabnya dinetralisasi dan dihancurkan permeabilitas pembuluh darah kembali
normal dan kelebihan cairan diserap.2
Regenerasi
Jaringan yang hilang dan nekrotik diganti oleh jaringan yang sama. Syarat regenerasi
adalah sebagian struktur asli tetap terpelihara dan kerangka dasar jaringan tetap terpelihara.2
Perbaikan dan Penyembuhan
Perbaikan dan penyembuhan adalah proses penggantian sel-sel mati dengan sel-sel
yang berbeda dari sel asalnya. Sel-sel baru membentuk jaringan granulasi, yang nantinya
menjadi jaringan parut fibrosa. Penyembuhan luka dimulai dengan proses peradangan.
Kemudian terjadi pembersihan daerah itu dari debris sel, organism dan jaringan mati, bekuan
darah oleh makrofag dan sedikit oleh neutrofil. Kemudian terbentuk jaringan granulasi
(organisasi). Jaringan granulasi muda berwarna merah, halus dan mudah berdarah. Secara
berangsur diletakkan kolagen dalam jaringan ini sehingga berangsur menjadi jaringan fibrosa.
Nantinya kolagen ini berkerut dan jaringan ini menjadi jaringan parut (sikatriks).2
Faktor yang Memperlambat Penyembuhan Luka
Banyak faktor yang mempengaruhi kemampuan tubuh untuk menyembuhkan luka.
Defisiensi oksigen, melnutrisi, dan ketidakseimbangan elektrolit adalah contoh-contoh dari
kondisi yang secara nyata mempengaruhi efisiensi mekanisme pertahanan normal. Supresi
imun dan defisiensi pembekuan juga dapat mengganggu penutupan permukaan luka. Efekefek stress tubuh sistemik ini karena cedera dan penyakit menghasilkan supresi imun, yang
mengakibatkan pelambatan penyembuhan.2
Abses
Abses adalah pengumpulan nanah yang terlokalisir sebagai akibat dari infeksi yang
melibatkan organism piogenik. Nanah merupakan suatu campuran dari jaringan nekrotik,
bakteri, dan sel darah putih yang sudah mati, yang dicairkan oleh enzim autolitik. Pada saat
tekanan di dalam rongga meningkat, maka nanah mengambil jalur pada daya tahan terendah
dan dapat keluar melalui kulit atau ke dalam rongga atau visera tubuh bagian dalam.3

Proses abses merupakan reaksi perlindungan oleh jaringan untuk mencegah


penyebaran atau perluasan infeksi ke bagian lain tubuh. Organisme atau benda asing
membunuh sel-sel lokal yang pada akhirnya menyebabkan pelepasan sitokin. Sitokin tersebut
memicu sebuah respon inflamasi (peradangan), yang menarik kedatangan sejumlah besar selsel darah putih (leukosit) ke area tersebut dan meningkatkan aliran darah setempat. Struktur
akhir dari suatu abses adalah dibentuknya dinding abses, atau kapsul, oleh sel-sel sehat di
sekeliling abses sebagai upaya untuk mencegah pus menginfeksi struktur lain di sekitarnya.
Meskipun demikian, seringkali proses enkapsulasi tersebut justru cenderung menghalangi selsel imun untuk menjangkau penyebab peradangan (agen infeksi atau benda asing) dan
melawan bakteri-bakteri yang terdapat dalam pus.Abses harus dibedakan dengan empyema.
Empyema mengacu pada akumulasi nanah di dalam kavitas yang telah ada sebelumnya
secara normal, sedangkan abses mengacu pada akumulasi nanah di dalam kavitas yang baru
terbentuk melalui proses terjadinya abses tersebut.4
Abses adalah suatu penimbunan nanah, biasanya terjadi akibat suatu infeksi bakteri.
Jika bakteri menyusup ke dalam jaringan yang sehat, maka akan terjadi infeksi. Sebagian sel
mati dan hancur, meninggalkan rongga yang berisi jaringan dan sel-sel yang terinfeksi. Selsel darah putih yang merupakan pertahanan tubuh dalam melawan infeksi, bergerak ke dalam
rongga tersebut dan setelah menelan bakteri, sel darah putih akan mati. Sel darah putih yang
mati inilah yang membentuk nanah, yang mengisi rongga tersebut. Akibat penimbunan nanah
ini, maka jaringan di sekitarnya akan terdorong.
Jaringan pada akhirnya tumbuh di sekeliling abses dan menjadi dinding pembatas
abses, hal ini merupakan mekanisme tubuh untuk mencegah penyebaran infeksi lebih lanjut.
Jika suatu abses pecah di dalam maka infeksi bisa menyebar di dalam tubuh maupun dibawah
permukaan kulit, tergantung kepada lokasi abses.
Abses dapat dikelompokkan menurut tempatnya jaringan yang terlibat.
Furunkel atau bisul pada umumnya sembuh secara spontan begitu nanah telah keluar
dan jaringan nekrotiknya dikeluarkan. Abses yang letaknya lebih dalam, contohnya abses
perianal dan abses iskiorektal, seringkali perlu untuk dibuka secara bedah dan dialirkan. Bila
memungkinkan, abses harus didrainase selama abses tersebut masih terlokalisasi. Biasanya
abses terkontaminasi sangat berat oleh mikroorganisme sehingga harus ditutup secara bedah,
karena tingginya resiko infeksi berulang, dan biasanya tetap dibiarkan terbuka, sehingga
dapat sembuh dengan intensi sekunder.5
Secara tradisional, abses yang telah didrainase dibalut dengan kasa berbentuk pita
yang seringkali dicelupkan ke dalam larutan antiseptic, seperti Eusol. Apabila terdapat risiko
tinggi terhadap infeksi berulang, maka suatu bead dressing seperti misalnya Iodosorb yang
mengandung povidon iodine, dapat dipertimbangkan untuk penatalaksanaan luka jangka
pendek.
Insisi dan drainase adalah terapi yang tepat untuk abses. Antibiotika diberikan jika
terdapat tanda-tanda penyebaran infeksi seperti selulitis, limfadenopati akut, linfangitis atau
demam. Pada keadaan yang tidak disertai dengan infeksi sistemik, abses terlokalisir yang
didrainase secara adekuat tidak memerlukan antibiotika karena secara umum obat-obatan

tidak dapat menembus ke dalam rongga abses. Pemberian kompres hangat dan meletakkan
bagian yang yang terkena abses di tempat yang lebih tinggi dianjurkan pada setiap infeksi
jaringan lunak.5
Insisi dan drainase diperlukan. Antibiotika ditambahkan jika terdapat tanda-tanda
penyebaran infeksi.
Abses yang berhubungan dengan penyalahgunaan obat parenteral (jarum suntik) harus
dirawat di rumah sakit untuk pemberian antibiotika IV jika terdapat tanda dari infeksi
sistemik seperti demam. Hal ini dilakukan untuk mencegah terjadinya endokartidits atau
pneumonia stafilokokus, yang berisiko terkena terutama penyalahgunaan obat parenteral.
Anestesi sulit dipergunakan. Xylocaine harus diinjeksikan ke dalam kulit di atas
rongga abses, tetapi injeksi ke dalam rongganya sendiri biasanya tidak efektif dan tidak
menghilangkan nyeri. Obat-obat sistemik dapat membantu seperti nitrous oksida inhalasi,
narkotika parenteral (morfin 5-10 mg, atau meperidin 75 mg IM), atau benzodiazepine
(diazepam 5-10 mg). Spray pendingin digunakan oleh beberapa dokter tetapi biasanya tidak
menghasilkan anestesi local yang cukup untuk insisi kulit.
Lokulasi, jika ada, harus dirobek dengan diseksi tumpul dengan hemostat; irigasi
harus dilanjutkan sampai semua pus didrain. Saline, hydrogen peroksida atau povidone iodine
dapat digunakan; insersi drain (dengan kasa teriodinasi) akan mencegah penutupan premature
sambil terjadi drainase dari abses. Rongga yang besar dapat dimasukkan dengan bahan yang
sama; irigasi dan penggantian drain harus dilakukan dengan interval 1-2 hari sampai tidak
ada lagi pembentukan pus baru. Jika luka telah dimasukkan drain, secara progresif drain yang
diganti harus lebih kecil pada tiap kali penggantian, hal ini untuk menghasilkan penutupan
dari dalam ke luar; diabetes dapat manifestasi pertama kali sebagai infeksi nontraumatik
seperti suatu abses.analisa urin untuk mencari glukosa dapat dianjurkan, terutama untuk abses
yang rekuren atau refrakter.
Pengobatan Luka Infeksi
Terapi antibiotika untuk infeksi sebenarnya secara umum harus selama 10 hari dengan
sefaleksin atau diklosasilin 230-500 mg 4 kali sehari. Pembukaan kembali luka yang sudah
dijahit dengan mengangkat sebagian atau seluruh jahitan mungkin diperlukan jika terdapat
pus, bukti adanya pembentukan rongga abses atau gagal berespons terhadap antibiotika.
Benda asing yang tertahan dapat menyebabkan luka infeksi. Pemeriksaan radiologis atau
mengulangi eksplorasi dapat diindikasikan jika terdapat kemungkinan ini. Luka infeksi berat,
terutama pada tangan, perlu perawatan di rumah sakit untuk terapi antibiotika secara
intravena.
Kesimpulan
Peradangan adalah reaksi lokal pada vaskular dan unsur-unsur pendukung jaringan
terhadap cedera yang mengakibatkan pembentukan eksudat kaya protein. Tanda-tanda utama
peradangan adalah membengkak (tumor), berwarna kemerahan (rubor), nyeri (dolor),
menjadi agak hangat (kalor) dan fungsio laesa (perubahan fungsi). Bentuk radang yang

terjadi bergantung kepada faktor etiologi radang dan jaringan tempat radang terjadi. Misalnya
infeksi virus pada kulit akan menyebabkan terjadinya gelembung-gelembung yang berisi
eksudat radang, infeksi kulit dengan stafilokok akan menyebabkan terjadinya absesbisul).
Gambaran mikroskopik daripada radang ditentukan terutama oleh banyaknya serta jenis
eksudat, proliferasi sel dan nekrosis jaringan yang terjadi

Daftar Pustaka
1. Tambayong J. Patofisiologi untuk keperawatan. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC;
2005.
2. Underwood JCE. Patologi umum dan sistemik edisi 2. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran
EGC; 2003.
3. Morisson MJ. Seri pedoman praktis manajemen luka. Penerbit Buku Kedokteran EGC;
2004.
4. Eliastam M, Sternbach GL, Bresler MJ. Buku saku penuntun kedaruratan medis edisi 5.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2008.
5. Price S, Wilson LM. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit edisi 6. Jakarta :
Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2006.

Anda mungkin juga menyukai