Anda di halaman 1dari 13

Anemia Hemolitik

Septian Dwi Chandra


10.2011.096
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana

i.

Pendahuluan
Anemia hemolitik merupakan kondisi dimana jumlah sel darah merah (HB) berada di
bawah nilai normal akibat kerusakan (dekstruksi) pada eritrosit yang lebih cepat dari pada
kemampuan sumsum tulang mengantinya kembali. Jika terjadi hemolisis (pecahnya sel darah
merah) ringan/sedang dan sumsum tulang masih bisa mengompensasinya, anemia tidak akan
terjadi, keadaan ini disebut anemia terkompensasi. Namun jika terjadi kerusakan berat dan
sumsum tulang tidak mampu menganti keadaan inilah yang disebut anemia hemolitik.
Anemia hemolitik sangat berkaitan erat dengan umur eritrosit. Pada kondisi normal
eritrosit akan tetap hidup dan berfungsi baik selama 100 - 120 hari, sedang pada penderita
anemia hemolitik umur eritrosit tidak dapat selama itu.

ii.

Skenario
Seorang wanita 25 tahun datang dengan keluhan mudah lelah kurang lebih 2-3
minggu ini, dan wajahnya terlihat agak pucat. Pasien tidak merasakan demam, mual, muntah,
BAK frekuensi serta warna dalam batas normal dan BAB frekuensi, warna, konsistensi masih
dalam batas normal

iii.

Identifikasi Istilah
Tidak ada istilah yang tidak diketahui

iv.

Rumusan Masalah
Wanita 25 tahun dengan keluhan mudah lelah sejak 2-3 minggu disertai dengan wajah pucat.

v.

Analisis Masalah
Anemia merupakan kelainan hematologi yang paling sering dijumpai. Definisi anemia
ialah keadaan dimana massa eritrosit dan/atau massa bemoglobin yang beredar tidak dapat
memenuhi fungsinya untuk menyediakan oksigen bagi jaringan tubuh. Secara laboratorik
dijabarkan sebagai penurunan di bawah normal kadar hemoglobin, hitung eritrosit dan
hematokrit (packed red cell)
Kriteria anemia

13

Batas anemia atau yang biasa disebut sebagai cut off point (titik pemilah), yang sangat
dipengaruhi oleh : umur, jenis kelamin, ketinggian tempat tinggal dari permukaan laut, dan
lain-lain . Cut of point yang umum dipakai ialah kriteria WHO tahun 1968. Dinyatakan
anemia bila :
Laki-laki dewasa

Hemoglobin < 13 g/dl

Perempuan dewasa tak hamil

Hemoglobin < 12 g/dl

Perempuan hamil

Hemoglobin < 11 g/dl

Anak umur 6 14 tahun

Hemoglobin < 12 g/dl

Anak umur 6 bulan 6 tahun

Hemoglobin < 11 g/dl

A. Kriteria klinik
Alasan praktis kriteria anemia di klinik ( di rumah sakit atau praktik klinik) untuk
indonesia pada umumnya adalah :
1. Hemoglobin < 10 g/dl
2. Hematokrit < 30%
3. Eritrosit < 2,8 juta/mm3
B. Derajat anemia
Derajat anemia antara lain ditentukan oleh kadar hemoglobin. Derajat anemia perlu
disepakati sebagai dasar pengelolaan kasus anemia. Klasifikasi drajat anemia yang umum
dipakai adalah sebagai berikut :
1.
2.
3.
4.

Ringan sekali
Ringan
Sedang
Berat

Hb 10 g/dl cutt of point


Hb 8 9,9 g/dl
Hb 6 7,9 g/dl
Hb < 6 g/dl

Anamnesis
Anamnesis yang baik membawa kita menempuh setengah jalan ke arah diagnosis
yang tepat. Keluhan yang dikeluhkan penderita perlu digali lebih lanjut untuk mendapatkan
keterangan lebih terarah pada penyakit sehingga lebih mudah menegakkan serta memberikan
keterangan pada pasien mengenai penyakitnya. Perlu dicatat kelengkapan status yang sering

13

sudah menjadi baku, seperti: nama, usia, jenis kelamin, pekerjaan, dan anamnesis mengenai
perjalanan penyakitnya.4

Identiras pasien
: nama, usia, jenis kelamin, pekerjaan, alamat dsb.
Keluhan utama
: mudah lelah sejak 3 minggu
R.penyakit sekarang : pasien merasa mudah lelah sejak 3 minggu terakhir ini,
wajahnya terlihat pucat. Demam, mual, dan muntah disangkal pasien. Begitu juga

dengan BAK & BAB tidak ada keluhan.


R.penyakit dahulu
:Alergi
:R.pengobatan
:Alcohol
:Merokok
:R.keluarga
:R.sosial
:-

Pada pasien dengan kemungkinan anemia dapat ditanyakan perasaan lelah bersifat akut
atau kronis, artinya baru-baru ini dirasakan atau memang sudah berlangsung cukup lama.
Kemudian ditanyakan adakah riwayat perdarahan, jika ada akut atau kronis. Lalu adakah
disfagia, gangguan neurologis, atau tanda-tanda infeksi. Adakah kelainan pada BAK dan
BAB, seperti BAK berwarna gelap.1
Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
Pemeriksaan fisik dapat dilakukan dengan mengamati cara berjalan dan bahasa tubuh
lainnya. Diawali dengan pemeriksaan keadaan umum pasien apakah baik, tampak sakit
ringan atau sakit berat. Kesadarannya juga harus dinilai apakah sadar penuh (compos mentis)
atau somnolen bahkan delirium. Lalu periksa tanda-tanda vital (TTV) pasien berupa tekanan
darah, suhu, nadi, dan pernapasan serta indeks massa tubuh. Kemudian dapat dilakukan
inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi secara menyeluruh. Pada pasien anemia biasanya
didapatkan keadaan umum dan kesadaran bervariasi tergantung lama dan beratnya anemia
yang diderita. Pada pasien anemia akan dijumpai keadaan pucat pada mukosa mulut dan
konjungtiva, serta sklera ikterik pada pasien anemia hemolitik. Pada pemeriksaan thorak akan
ditemukan denyut jantung yang takikardia dan sesak. Pada bagian perut akan ditemukan
palpasi organ limpa yang membesar dan tak jarang diikuti pembesaran hati serta perkusi
timpani pada regio gaster. Apabila terdapat nyeri tekan kuadran kanan atas mungkin karena
adanya cholelitiasis (bilirubin batu empedu). Pada pasien di skenario didapatkan keadaan
mudah lelah dan pucat pada bagian wajah, konjungtiva anemis, disertai pembesaran limpa.2
13

Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan adalah cek darah rutin atau cek darah
lengkap. Dimana dari pemeriksaan darah itu didapatkan parameter anemia yaitu keadaan
hemoglobin, hematokrit, dan hitung eritrosit. Angka sel darah merah terdiri dari jumlah
SDM, hemoglobin, hematokrit yang dapat dilihat pada tabel 1. Dibawah ini.1,3
Kadar Hb

Hematokrit

Jumlah Eritrosit

Pria Dewasa

14 - 17 g/dL

42 - 53 %

4,6 - 6,2 juta/L

Wanita Dewasa

12 - 15 g/dL

38 - 46 %

4,2 - 5,4 juta/L

Anak (3 Bulan-13 Tahun)

10 - 14,5 g/dL

31 - 43 %

Tabel 1. Kadar Hb, Hematokrit dan Eritrosit Normal

3,8 - 5,8 juta/L


4

Pada wanita hamil, terdapat penurunan Hb sampai 11 - 12 g/dL pada trimester kedua
dan ketiga, penurunan ini disebabkan oleh ekspansi volume plasma dan tidak
merepresentasikan anemia. Pada bayi baru lahir, hemoglobin rata - rata berkisar antara 17
g/dL dengan hematokrit 52 %. Nilai eritrosit rata - rata yaitu MCV (Mean Corpuscular
Volume) nilai rujukan 82 - 92 fL, MCH (Mean Corpuscular Hemoglobin) nilai rujukan 27 31 pg, MCHC (Mean Corpuscular Hemoglobin Concentration) nilai rujukan 32 - 37 %.4
Pada pemeriksaan fisik didapatkan, konjungtiva anemis +/+, skleraa ikterik, Lien S III. Dan pada pemeriksaan laboratorium di dapatkan hasil Hb : 9,5 g/dl, Ht : 30 %, leukosit
89000/ul, thrombosit 230.000/ul, MCV : 82 fl, MCH : 30 pg, MCHC : 34 %, Hitung
retikulosit : 6 %.

Diagnosis
Dari hasil anamnesis, gejala, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang maka
pasien ini di duga menderita anemia hemolitik. Ada beberapa penyakit yang mirip dengan
anemia hemolitik, yaitu anemia defisiensi G6PD, anemia sel sabit, serta anemia defisiensi
besi.
Anemia Hemolitik
Anemia hemolitik ialah anemia yang disebabkan karena kecepatan penghancuran sel
darah merah (eritrosit) lebih besar dari pada normal. Pada anemia hemolitik, umur eritrosit
13

menjadi lebih pendek (normal umur eritrosit 100-120 hari). Pada anemia hemolitik keadaan
anemi terjadi karena meningkatnya penghancuran dari sel eritrosit yang diikuti dengan
ketidakmampuan dari sumsum tulang dalam memproduksi sel eritrosit. Untuk mengatasi
kebutuhan tubuh terhadap berkurangnya sel eritrosit tersebut, penghancuran sel eritrosit yang
berlebihan akan menyebabkan terjadinya hiperplasi sumsum tulang sehingga produksi sel
eritrosit akan meningkat dari normal. Hal ini terjadi bila umur eritrosit berkurang dari 120
hari menjadi 15-20 hari tanpa diikuti dengan anemia. Namun bila sumsum tulang tidak
mampu mengatasi keadaan tersebut maka akan terjadi anemia.1
Penghancuran sel darah merah dalam sirkulasi dikenal dengan hemolisis yang dapat
disebabkan karena gangguan pada sel darah merah itu sendiri yang memperpendek umurnya
(instrinsik) atau perubahan lingkungan yang menyebabkan penghancuran eritrosit.1
Anemia Defisiensi G6PD
Pada sel eritrosit terjadi metabolism glukosa untuk menghasilkan energy (ATP), yang
digunakan untuk kerja pompa ionic dalam rangka mempertahankan milieu ionic yang cocok
bagi eritrosit. Pembentukan ATP tersebut melalui proses glikolisis Emden Meyerhof yang
melibatkan sejumlah enzim seperti glukosa fosfat isomerase dan piruvat kinase. Glukosa
mengalami metabolisme dalam eritrosit melalui jalur heksosa monofosfat dengan bantuan
enzim glukosa 6 fosfat dehidrogenase (G6PD) untuk menghasilkan glutation yang penting
untuk melindungi hemoglobin dan membran eritrosit dari oksidan. Defisiensi enzim tersebut
dapat mempermudah dan mempercepat hemolisis. Kejadian defisiensi enzim G6PD lebih
sering terjadi pada pria karena enzim ini dikode oleh gen yang terletak di kromosom X.5
Ketika hemolisis akut Ht turun dengan cepat diiringi oleh peningkatan hemoglobin dan
bilirubin indirek dan penurunan haptoglobin. Hemoglobin mengalami oksidasi dan
membentuk Heinz Bodies. Diagnosis defisiensi G6PD dipikirkan jika ada episode akut pada
laki-laki keturunan Afrika dan Mediterania. Pada anamnesis perlu ditanyakan tentang
kemungkinan terpajan dengan zat-zat oksidan. Gambaran lab normal, hanya aktivitas enzim
G6PD menurun, dapat ditemukan tanda-tanda hemolisis intravascular. Prognosis umumnya
bonam dan harus dihindari faktor pencetusnya seperti meningkatkan kemampuan mengontrol
stress dan menghindari makanan-makanan yang menjadi pencetus (gluten) .1,3
Anemia sel sabit

13

Anemia sel sabit muncul karena HbS (rantai glutamat berubah jadi valin) yang
merupakan hemoglobin abnormal tidak dapat melakukan tugasnya mengikat oksigen maupun
karbondioksida dengan baik. Hemoglobin yang abnormal juga menyebabkan eritrosit menjadi
rapuh terhadap kekurangan oksigen. normalnya, jika eritrosit tidak mengandung oksigen,
bentuknya

akan

tetap

bertahan

sampai

mencapai

paru-paru

untuk

menukar

karbondioksidanya dengan oksigen yang baru. Namun berbeda dengan eritrosit yang
mengandung HbS, eritrosit ini begitu tidak mengikat oksigen, maka tidak bisa
mempertahankan bentuk normalnya dan menjadi berbentuk sel sabit.5
Pada saat eritrosit dengan HbS mengalami proses pelepasan oksigen, sickling proses
terjadi. HbS menyebabkan tiga kondisi yaitu penurunan kelarutan (solubility), peningkatan
viskositas, dan pembentukan polimer sampai konsentrasi diatas 30g/dL. Ketiga kondisi
tersebut membentuk substansi menyerupai gel (disebut tactoids) yang mengisi eritrosit.
Peningkatan substansi berbentuk gel dalam eritrosit akibat HbS dipengaruhi oleh kadar
oksigen, konsentrasi HbS sendiri, dan keberadaan hemoglobin tipe lain. Semakin tinggi kadar
HbS dalam eritrosit dan semakin rendah kadar oksigen, semakin tinggi pula bentuk gel dalam
eritrosit. Isi eritrosit yang menyerupai gel itulah yang menyebabkan bentuk eritrosit seperti
sel sabit.5
Apabila proses sickling terjadi berulang kali, maka kerusakan membran terjadi dan
eritrosit tidak dapat mencapai bentuk bikonkaf meskipun sudah diberi oksigen lagi. 5-50%
dari total jumlah sel darah merah dapat mengalami kondisi tersebut, berada dalam bentuk sel
sabit.5
Manifestasi klinis dari pasien dengan eritrosit sel sabit dapat muncul pada tulang,
ginjal, limpa, dan berupa anemia hemolitik. Manifestasi klinis tersebut terjadi karena bentuk
eritrosit yang menyerupai sel sabit memiliki daya larut yang rendah (bisa mengendap)
sehingga dapat menyebabkan sumbatan-sumbatan pada pembuluh darah. Sumbatan yang
terbentuk menyebabkan terjadinya hipoksia berulang pada banyak organ dan menghasilkan
kerusakan. Penumpukan sel sabit yang tiba-tiba pada limpa juga menyebabkan splenomegali
mendadak yang memberikan rasa nyeri.5
Hipoksia menyebabkan penurunan nitrit oksida (NO) yang mengakibatkan eritrosit
berbentuk sabit mudah menempel pada endotel dan makrofag. Penempelan tersebut
menyebabkan teraktivasinya proses perusakan eritrosit, mengarah pada peningkatan
hemolisis sel darah merah. Hemolisis sel darah menghasilkan hemoglobin bebas yang
merupakan penghambat NO, sementara NO sendiri merupakan vasodilator. Oleh sebab itu,
jika terjadi hipoksia, maka terjadi vasokonstriksi yang dapat memperburuk hipoksia dan
13

menyebabkan nekrosis jaringan. Prognosis adubia ad malam semakin muda gejala klinis
termanifestasi, semakin buruk prognosisnya. Pencegahan dilakukan dengan pemeriksaan
genotip sebelum pernikahan dapat menjadi pencegahan yang mungkin dilakukan. Lebih
sering ditemukan pada etnis Afrika-Amerika.5
Anemia defisiensi besi
Ketika supply besi untuk pembentukan sel darah merah di sumsum tulang berkurang,
produksi sel darah merah tidak sempurna dan sel baru yang dilepaskan ke peredaran darah
kurang terhemoglobinisasi. Walaupun besi tidak banyak dibuang, tetapi manusia memerlukan
zat besi dari diet sekitar 1 - 4 mg per hari untuk menjaga keseimbangan normal zat besi.
Zat besi dibawa oleh transferin di peredaran darah menuju sumsum tulang, zat besi
digunakan untuk mensintesis heme atau disimpan dalam bentuk ferritin. Zat besi yang berasal
dari dekstruksi sel darah merah dibawa kembali oleh transferin dari sistem RES dan limpa
menuju sumsum tulang, dari proses dekstruksi ini, kira - kira 25 - 30 mg dari zat besi diserap
kembali.
Laki - laki dewasa normal memiliki sekitar 4000 mg zat besi, termasuk 500 - 1000 mg
cadangan besi di hepar dan sistem retikuloendotelial.
Pada anemia defisiensi besi didapatkan :

Tanda dan gejala serupa dengan anemia pada tahap ringan, seperti lelah, dan

intoleransi pada waktu berolahraga+


Morfologi sel darah merah mikrositik hipokrom
Pada pemeriksaan lab serum besi :
o Serum iron level (SI), merupakan pemeriksaan untuk menilai jumlah besi yang
terikat pada transferin. Nilai normal berkisar antara 50 - 150 g/dL.
Pembuatan eritrosit dan hemoglobin pada sumsum tulang dipengaruhi oleh
besi serum.
o Total iron binding capacity (TIBC), mengukur jumlah besi yang dapat diikat
oleh transferin. Nilai normal 300 - 360 g/dL.
o Saturasi besi dalam transferin (SI / TIBC) pada keadaan zt besi normal
berkisar antara 20 - 50%
o Serum ferritin, nilai normal pada laki - laki dewasa 50 - 150 g/L.
Pada anemia defisiensi besi, SI menurun dan TIBC meningkat. Ketikda saturasi besi
transferin turun sampai di bawah 20%, eritroid sumsum tulang kesulitan mendapat
besi untuk menyokong kebutuhan eritropoiesis.

13

Cadangan besi sumsum tulang, menggunakan pewarnaan Prussian blue, dinilai

dengan skala 0 - +4
Eritrosit Zinc Protoporfirin, digunakan untuk mendeteksi awal anemia defisiensi besi.
Protoporfirin intrasel akan meningkat sebelum terjadi anemia. Proses ini terjadi akibat
tidak seimbangnya supply besi dengan produksi protoporfirin oleh mitokondria. Nilai
normalnya berkisar antara 30 g/dL. Pada defisiensi besi, nilainya dapat meningkat
sampai 100 g/dL. Hasil juga dapat meningkat pada keracunan timah, dimana
pembentukan heme terhambat.

1
2
3

Kadar ferritin

Saturasi

Kadar

Menurun
Menurun
Menurun

transferin
Normal
Menurun
Menurun

hemoglobin
Normal
Normal
Menurun

Manifestasi Klinik
Gejala umum anemia akan semakin jelas apabila kadar hemoglobin telah turun < 7
g/dl. Berat ringannya anemia bergantung pada derajat penurunan hemoglobin, kecepatan
penurunan hemoglobin, usia, adanya kelainan jantung atau paru sebelumnya. Gejala anemia
dapat digolongkan menjadi tiga jenis gejala yaitu gejala umum, gejala khas masing-masing
anemia dan gejala penyakit dasar. Gejala umum anemia disebut juga sebagai sindrom anemia
merupakan gejala yang timbul pada semua jenis anemia pada kadar hemoglobin yang sudah
menurun sedemikian rupa divawah titik tertentu. Gejala ini timbul karena anoksia organ
target dan mekanisme kompensasi tubuh terhadap penurunan hemoglobin. Gejala-gejala
tersebut mengenai sistem kardiovaskuler dan sistem saraf. Sistem kardiovaskuler akan
menyebabkan lesu, cepat lelah, palpitasi, takikardi, sesak waktu kerja, angina pectoris, dan
gagal jantung, sedangkan pada sistem saraf akan timbul keluhan berupa sakit kepala, pusing,
telinga mendenging, mata berkunang-kunang, kelemahan otot, iritabel, lesu, perasaan dingin
pada ekstremitas.1,3,5
Sedangkan gejala khas masing-masing anemia adalah disfagia, atrofi papil lidah,
stomatitis angularis, dan kuku sendok (koilonikia) pada anemia defisiensi besi. Glositis,
gangguan neurologis pada defisiensi vitamin B12, dapat terjadi pada anemia megaloblastik
karena defisiensi vit B12 atau asam folat. Sedangkan pada anemua aplastik, akan timbul
13

perdarahan dan tanda-tanda infeksi. Pada anemia hemolitik akan timbul ikterus,
splenomegali, dan hepatomegali. Ikterus timbul karena peningkatan bilirubin indirek
(unconjugated bilirubin) dalam darah sehingga ikterus bersifat acholuric jaundice, bahwa
dalam urine tidak dijumpai bilirubin. Ikterus dapat hanya ringan, tetapi dapat juga berat
terutama pada anemia hemolitik pada bayi baru lahir sehingga dapat menimbulkan kern
icterus. Ikterus tidak disertai rasa gatal. Sementara itu, splenomegali hampir selalu dijumpai
pada anemia hemolitik kronik familier-herediter, kecuali pada anemia sel sabit (sickle cell
disease) dimana limpa mengecil karena terjadinya infark. Splenomegali pada umumnya
ringan sampai sedang, tetapi kadang-kadang dapat besar sekali. Hepatomegali lebih jarang
dijumpai dibandingkan dengan splenomegali karena makrofag dalam limpa lebih aktif
dibandingkan dengan makrofag pada hati.1,3,5
Selain itu, juga dapat ditemui gejala penyakit dasar yang sangat bervariasi tergantung
dari penyebab anemia tersebut. Misalnya gejala akibat infeksi cacing tambang yaitu sakit
perut, pembengkakan parotis, dan warna kuning pada telapak tangan. Pada kasus tertentu
sering gejala penyakit dasar lebih dominan, seperti misalnya pada anemia akibat penyakit
kronik oleh karena arthritis reumatoid. Gambaran gejala klinis anemia dapat mempengaruhi
berbagai organ, seperti dapat dilihat pada gambar 1. Di bawah ini.1,3,5
Etiologi
Etiologi pasti dari penyakit autoimun belum jelas atau idiopatik, kemungkinan terjadi
karena gangguan central tolenrance, dan gangguan pada proses limfosit autoreaktif residual.
Secara garis besar AIHA tipe hangat penyebabnya dapat dibagi menjadi 2 golongan yaitu
idiopatik ( dari 50% kasus AIHA), dan sekunder akibat penyakit kronis seperti SLE, multiple
myeloma, limfoma dan setelah menggunakan obat metildopa. Sedangkan penyebab AIHA
tipe dingin dapat digolongkan menjadi idiopatik, sekunder yaitu akibat penyakit kronis
seperti infeksi bakteri atau virus dan juga paroxysmal cold hemoglobinuri (PCH).1-3
Epidemiologi
Anemia merupakan kelainan yang sangat sering dijumpai baik diklinik maupun di
lapangan. Di klinik, khususnya penyakit dalam, anemia hemolitik yang paling banyak
dijumpai adalah anemia hemolitik autoimun. Diperkirakan lebih dari 30% penduduk dunia
atau 1500 juta orang menderita anemia dengan sebagian besar tinggal di daerah tropic. Untuk
Indonesia anak prasekolah 30%, wanita dewasa 25%, ibu hamil 70%, pria dewasa 30%,
pekerja 30%.1-3
13

Anemia hemolitik mewakili sekitar 5% dari semua anemia. Autoimun anemia hemolitik
akut (AIHA) relatif jarang, dengan kejadian 1-3 kasus per 100.000 penduduk per tahun.
Anemia hemolitik tidak spesifik untuk setiap ras. Namun, gangguan kelainan bentuk sel sabit
ditemukan terutama di Afrika, Amerika Afrika, beberapa orang Arab, dan Aborigin di India
selatan.5
Ada juga beberapa varian dari defisiensi G6PD. A (-) varian ditemukan di Afrika Barat
dan Afrika Amerika. Sekitar 10% orang Amerika Afrika membawa minimal 1 salinan gen
untuk varian ini. Varian Mediterania terjadi pada individu keturunan Mediterania dan di
beberapa Asia. Sebagian besar kasus anemia hemolitik tidak spesifik pada seks tertentu saja.
Namun, AIHA sedikit lebih mungkin terjadi pada wanita dibandingkan pada pria. Defisiensi
G6PD adalah gangguan resesif X-linked. Oleh karena itu, laki-laki biasanya terpengaruh, dan
perempuan adalah pembawa. Meskipun anemia hemolitik dapat terjadi pada orang dari segala
usia, gangguan herediter biasanya terlihat pada awal kehidupan. AIHA adalah lebih mungkin
terjadi pada individu dewasa dan lebih tua.5
Patofisiologi
Perusakan sel - sel eritrosit yang diperantarai antibodi terjadi melalui aktivasi sistem
komplemen, aktivasi mekanisme seluler, atau keduanya. Aktifasi sistem komplemen
menyebabkan hancurnya membran sel eritrosit dan terjadilah hemolisis intravaskuler, yang
ditandai dengan hemoglobinemia dan hemoglobinuri. Sistem komplemen akan diaktifkan
melalui jalur klasik ataupun jalur alternatif. Antibodi - antibodi yang memiliki kemampuan
mengaktifkan jalur klasik adalah IgM, IgG1, IgG2, IgG3. IgM disebut sebagai aglutinin tipe
dingin, sebab antibodi ini berikatan dengan antigen polisakarida pada permukaan sel darah
merah pada suhu di bawah suhu tubuh. Antibodi IgG disebut agglutinin hangat karena beraksi
pada suhu tubuh.6
Aktifasi komplemen jalur klasik diawali dengan aktivasi C1 suatu protein yang
dikenal sebagai recognition unit. C1 akan berikatan dengan kompleks imun antigen antibodi
dan menjadi aktifserta mampu mengkatalisis reaksi - reaksi pada jalur klasik. Fragmen C1
akan mengaktifkan C4 dan C2 menjadi suatu kompleks C4b,2b (C3-convertase). C4b,2b akan
memecah C3 menjadi fragmen C3b dan C3a. C3b mengalami perubahan konformational
sehingga mampu berikatan secara kovalen dengan partikel yang mengaktifkan komplemen
(sel darah merah berlabel antibodi). C3 juga akan membelah menjadi C3d, C3g, dan C3c.
C3d dan C3g akan tetap berikatan pada membran sel darah merah dan merupakan produk
13

final aktivasi C3. C3b akan membentuk kompleks dengan C4b2b menjadi C4b2b3b (C5
convertase) C5 convertase akan memecah C5 menjadi C5a (anafilatoksin) dan C5b yang
berperan dalam kompleks penghancur membran. Kompleks penghancur membran terdiri dari
molekul C5b, C6, C7, C8, dan beberapa molekul C9. Kompleks ini akan menyisip ke dalam
membran sel sebagai suatu aluran transmembran sehingga permeabilitas membran normal
akan terganggu. Air dan ion akan masuk ke dalam sel sehingga sel membengkak dan ruptur.
Sedangkan aktifasi komplemen jalur alternative akan mengaktifkan C3, dan C4b yang terjadi
akan berikatan dengan membran sel darah merah. Faktor B kemudian melekat pada C3b, dan
oleh D faktor B dipecah menjadi Va dan Bb. Bb merupakan suatu protease serin, dan tetap
melekat pada C3b. ikatan C3bBb selanjutnya akan memecah molekul C3 lagi menjadi C3a
dan C3b. C5 akan berikatan dengan C3b dan oleh Bb dipecah menjadi C5a dan C5b.
selanjutnya C5b berperan dalam penghancuran membran.6
Aktivasi

selular

yang

menyebabkan

hemolisis

ekstravaskular

melalui

sel

retikuloendotelial. Jika sel darah disensitisasi dengan IgG yang tidak berikatan dengan
komplemen atau berikatan dengan komponen komplemen namun tidak terjadi aktivasi
komplemen lebih lanjut, maka sel darah merah tersebut akan dihancurkan oleh sel - sel
retikuloendotelial. Proses immune adherence ini sangat penting bagi perusakan sel eritrosit
yang diperantarai sel. Immunoadherence, terutama yang diperantarai IgG-FcR akan
menyebabkan fagositosis.6
Komplikasi
Komplikasi dapat dari ringan hingga berat dan bahkan kematian. Dapat berupa
hipoksia jaringan, gangguan neurologis, infark miokard, gagal jantung, gagal ginjal. Semua
itu terjadi didasarkan akibat eritrosit yang hancur sehingga fungsi eritrosit sebagai pembawa
oksigen hilang. Maka dari itu jaringan dan organ tidak mendapat oksigen, yang lebih
berbahaya jika otak tidak mendapat oksigen dapat menyebabkan serangan stroke dsb. Bahkan
komplikasi yang sangat berbahaya yaitu hingga menimbulkan kematian.1
Pentalaksanaan
Terapi inisial dengan menggunakan prednisone 1-2mg/kg BB/hari dalam dosis
terbagi. Jika terjadi anemia yang mengancam jiwa dapat dilakukan transfuse darah dengan
hati-hati. Bila ada respon baik terhadap steroid, dosis diturunkan tiap minggu sampai
mencapai dosis 10-20mg/hari. Tetapi jika tidak respon terhadap steroid, maka dianjurkan
13

untuk dilakukan splenektomi. Apabila keduanya tidak menolong, maka dilakukan terapi
menggunakan obat imunosupresan seperti azatioprin 50-200mg/hari atau siklofosfamid 50150mg/hari. Immunoglobulin dosis tinggi intravena 500mg/kg BB/hari selama 1-4 hari
mungkin mempunyai efektivitas tinggi dalam mengontrol hemolisis. Namun efeknya hanya
sebentar 1-3 minggu dan sangat mahal harganya.1,6
Prognosis
Prognosis jangka panjang pada pasien penyakit ini adalah baik. Splenektomi sering
dapat mengontrol penyakit ini atau paling tidak memperbaikinya. Hanya sebagian kecil
pasien yang mengalami penyembuhan komplit dan sebagian besar memiliki perjalanan
penyakit yang berlangsung kronis, namun terkendali. Survival 10 tahun berkisar 70%.
Mortalitas selama 5-10 tahun sebesar 15-25%. Prognosis pada anemia hemolitik autoimun
sekunder tergantung penyakit yang mendasari.1
vi.

Kesimpulan
Anemia merupakan kelainan yang sering dijumpai. Untuk penelitian lapangan
umumnya dipakai criteria anemia menurut WHO, sedangkan untuk keperluan klinis dipakai
kriterai Hb < 10 g/dl atau hematokrit < 30%. Anemia dapat diklasifikasi menurut
etipatogenesisnya ataupun berdasarkan morfologi eritrosit. Dalam pemeriksaan anemia
diperlukan pemeriksaan klinis dan pemeriksaan labratorium yang terdiri dari pemeriksaan
penyaring, seri anemia, pemeriksaan sumsum tulang. Anemia hanyalah suatu kumpulan
gejala maka dari itu harus dicari penyebab pastinya dan atasi penyebab tersebut.
Daftar pustaka
1. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Setiati S, Simadibrata KM, Parjono E. Buku ajar
ilmu penyakit dalam. Jakarta: Interna Publishing; 2009.h.1105-64.
2. Moss PAH, Pettit JE, Hoffbrand AV. Kapita selekta hematologi. Edisi 4. Jakarta:
Penerbit Buku kedokteran EGC; 2005.h.51-63
3. Bakta IM. Hematologi klinik ringkas. Jakarta: Penerbit Buku kedokteran EGC;
2013.h.50-96
4. Sudiono H, Iskandar I, Edward H, Halim SL, Santoso R. Penuntun patologi klinik
hematologi. Jakarta : Biro Publikasi FK UKRIDA; 2009.
5. Papadakis MA, McPhee SJ. Lange: Current medical diagnosis & treatment 2014.
USA: Mc Graw Hill Education; 2014.h.520-28.
6. Kowalak JP, Welsh W, Mayer B. Buku ajar patofisiologi. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC; 2012.h.468-70.
13

7. Medicinet. Diunduh dari


http://www.medicinet.com/script/main/mobileart.asp?
articekey=2015 pada tanggal 20 Maret 2015.
8. Atmakusuma D. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Jakarta: Interna Publishing;
2009.h.1387-1400.

13

Anda mungkin juga menyukai