diharapkannya dari dunia selain tersedianya suatu tempat yang lowong untuk
berjuang dalam barisan kaum Muslimin.
Demikianlah, ketika diketahuinya balatentara Islam tengah bergerak ke arah
Konstantinopel, ia segera memegang kuda dan membawa pedangnya, memburu syahid
yang sejak lama ia dambakan.
Dalam pertempuran inilah ia menderita luka berat. Ketika komandannya datang
menjenguk, nafasnya tengah berlomba dengan keinginannya menghadap Ilahi. Maka
bertanyalah panglima pasukan waktu itu, Yazid bin Muawiyah, "Apakah keinginan
anda wahai Abu Ayub?"
Abu Ayub meminta kepada Yazid, bila ia telah meninggal agar jasadnya dibawa
dengan kudanya sejauh jarak yang dapat ditempuh ke arah musuh, dan di sanalah ia
akan dikebumikan. Kemudian hendaklah Yazid berangkat dengan balatentaranya
sepanjang jalan itu, sehingga terdengar olehnya bunyi telapak kuda Muslimin di atas
kuburnya, dan diketahuinya bahwa mereka telah berhasil mencapai kemenangan.
Dan sungguh, wasiat Abu Ayub itu telah dilaksanakan oleh Yazid. Di jantung kota
Konstantinopel yang sekarang yang sekarang bernama Istanbul, di sanalah terdapat
pekuburan laki-laki besar.
Hingga sebelum tempat itu dikuasai orang-orang Islam, orang Romawi dan penduduk
Konstantinopel memandang Abu Ayub di makamnya itu sebagai orang suci. Dan yang
mencengangkan, para ahli sejarah yang mencatat peristiwa-peristiwa itu berkata,
"Orang-orang Romawi sering berkunjung dan berziarah ke kuburnya dan meminta
hujan dengan perantaraannya, bila mereka mengalami kekeringan."
Jasad Abu Ayub Al-Anshari masih terkubur di sana, namun ringkikan kuda dan
gemerincing pedang tak terdengar lagi. Waktu telah berlalu, dan kapal telah
berlabuh di tempat tujuan. Abu Ayub telah menghadap Ilahi di tempat yang ia
dambakan.