tidak percaya pada surga, neraka, setan, malaikat, dan hal lain yang terkait dengan yang Gaib.
Orang yang pertama kali secara terus terang, di zaman modern, mengakui dirinya sebagai
seorang ateis dan membela ateisme, dalam pengertian yang kita pahami sekarang, adalah Jean
Meslier. Dengan mendasarkan tulisan dan refleksinya observasi kehidupan sehari-hari, dia
menulis Memoir of the Thoughts and Feelings of Jean Meslier, Clear and Evident
Demonstrations of the Vanity and Falsity of All the Religions of the World. Judul buku yang
muncul di pasaran pada tahun 1729, setelah kematian penulisnya, secara jelas menunjukkan
kecenderungan ateistik. Dari sini, bermulalah sejarah ateisme, seperti yang kita kenal
sekarang.
Pada zaman posmodern, muncul apa yang disebut ateisme ateistik. Arti istilah ini lebih dari
sekedar menegasikan tuhan dan nilai-nilai yang diderivasi darinya. Ateisme posmodern
dibangun bukan berdasar ideologi dan tokoh tertentu. Etika ateisme posmodern didasarkan
atas filsafat, nalar, pragmatisme, hedonisme individual dan hedonisme sosial, oleh manusia
dan untuk manusia sendiri, bukan oleh dan untuk tuhan. Kebaikan dan kejahatan ada bukan
sebagai konsep relijius, tapi sebagai faktor untuk menjamin kebahagiaan manusiawi terbesar
yang mungkin dicapai. Hubungan hedonistik menjadi dasar bagi hubungan antar manusia,
sebuah etika tanpa kewajiban dan sanksi transenden.
PSIKOLOGI ATEIS
Dalam sebuah survei di Amerika Serikat pada tahun tujuan puluhan dan delapan puluhan,
orang yang mengaku tidak mengikuti agama apapun adalah orang yang lebih muda,
kebanyakan pria, berpendidikan dan berpendapatan tinggi, lebih liberal, sering tidak bahagia
dan terasingkan dari masyarakat kebanyakan. Berdasarkan 12.043 wawancara pada tahun
2004, sembilan persen dari orang Amerika yang mengaku tidak ikut agama apapun atau
secara terang-terangan mengaku ateis atau agnostik cenderung secara politik liberal,
Demokrat, mandiri, lebih muda, hidup di Barat, mahasiswa, dan mereka yang tinggal dengan
seseorang tanpa pernikahan. Di Australia, kaum sekular memiliki tingkat pendidikan lebih
baik daripada kebanyakan penduduk, secara sosial bebas, mandiri, dan kosmopolit. Di
Kanada, data sensus dan survei nasional menunjukkan bahwa yang mengaku tidak beragama
kebanyakan muda, pria, masyarakat perkotaan, dan kelas elit. Disamping itu data dari semua
budaya menunjukkan bahwa wanita lebih relijius daripada pria.
Beberapa ateis dibesarkan tanpa ajaran agama sama sekali, yang lain memilih menolak ajaran
masa kanak-kanak. Apostasi dan konversi dianggap sebagai penolakan terhadap identitas dan
kepercayaan orang tua. Menurut seorang psikoanalis Kristen, Stanley Leavy, ateisme dapat
merupakan ekspresi pembebasan dari dominasi orang tua seseorang. Penelitian tentang orang
yang berasal dari keluarga relijius dan kemudian memilih menjadi ateis menunjukkan bahwa
mereka memiliki hubungan yang renggang dengan orang tua masing-masing. Caplovitz dan
Sherrow menyatakan bahwa kualitas hubungan dengan orang tua ialah salah satu variabel
penting, disamping komitmen pada intelektualisme.
Orang ateis memiliki kemampuan adaptasi terhadap realitas dan psikoanalisisyang
merupakan metode efektif untuk beradaptasi terhadap realitassecara alamiah mendorong
pada ateisme. Schumaker, dalam sebuah survei literatur, melaporkan hubungan antara
ketidakberagamaan dan masalah-masalah psikologis. Berbeda dengan Ventis yang
menyimpulkan orang non-relijius secara psikologis lebih sehat daripada orang relijius. Dalam
kaitannya dengan kemampuan intelektual, L. M. Terman dan koleganya pada tahun 1925
mulai memelajari seribu lima ratus dua puluh delapan remaja berbakat yang memiliki IQ
lebih dari 140, berusia sekitar dua belas tahun. Ketika mencapai usia pertengahan sepuluh
persen pria dan delapan belas persen wanita memiliki kepercayaan relijius yang kuat. Sekitar
enam puluh dua persen pria dan lima puluh tujuh wanita mengakui memiliki sedikit
kecenderungan relijius, sementara dua puluh delapan persen pria dan dua puluh tiga persen
wanita menyebutnya sebagai sama sekali tidak penting.
endnotes:
[1] Baca, misalnya, Oxford Learners Pocket Dictionary, h. 22.
[2] Michael Martin, Cambridge Companion to Atheism, h. 1.
[3] Ibid., h. 2.
[4] Jan N. Bremmer, Atheism in Antiquity, dalam Michael Martin, ibid., h. 12-6.
[5] Ibid., h. 20-1.
[6] Ibid., h. 21-2.
[7] David Mills, Atheist Universe, h. 26
[8] Michael Onfray, In Defense of Atheism, the Case against Christianity Judaism and Islam,
h. 29
[9] Ibid., h. 57-8.
[10] Benjamin Beit-Hallahmi, Atheist A Pscychological Profile, dalam Michael Martin, ibid.,
h. 300-1.
[11] Ibid., h. 302.
[12] Ibid., h. 305-6.
[13] Ibid., h. 306-7.