Oleh :
1110311004
1110312101
Ditta Ananda
1210312020
Preseptor :
1.1.
Latar Belakang
Trauma mata merupakan penyebab umum terjadinya kebutaan unilateral pada manusia.
Trauma mata dapat diakibatkan oleh tindakan yang disengaja maupun tidak disengaja yang
menimbulkan perlukaan pada mata. Perlukaan pada mata dapat berupa kerusakan pada bola
mata, kelopak mata, saraf mata, dan rongga orbita. Kerusakan pada mata dapat
mengakibatkan terganggunya fungsi penglihatan penderita, sehingga trauma pada mata
memerlukan perawatan yang tepat untuk mencegah terjadinya penyulit yang lebih berat yang
akan mengakibatkan kebutaan. Trauma pada mata dapat terjadi dalam bentuk trauma tumpul,
trauma tembus bola mata, trauma kimia dan trauma radiasi. Pembahasan pada makalah ini
akan lebih menekankan pada trauma kimia.1
Trauma kimia pada mata merupakan salah satu keadaan kedaruratan oftalmologi karena
dapat menyebabkan cedera pada mata baik ringan hingga berat, bahkan sampai kehilangan
fungsi penglihatan pada mata. Trauma kimia pada mata merupakan trauma yang mengenai
bola mata akibat terpaparnya mata oleh bahan kimia baik yang bersifat asam atau basa yang
dapat merusak struktur bola mata tersebut. Trauma kimia dapat diakibatkan oleh zat yang
bersifat asam dengan pH <7 ataupun zat yang bersifat basa dengan pH >7 yang dapat
menyebabkan kerusakan struktur bola mata. Trauma bahan kimia dapat terjadi pada
kecelakaan yang terjadi dalam laboratorium, industri, pekerjaan yang memakai bahan kimia,
pekerjaan pertanian dan peperangan memakai bahan kimia, serta paparan bahan kimia dari
alat-alat rumah tangga. Tingkat keparahan trauma dikaitkan dengan jenis, volume,
konsentrasi, durasi pajanan, dan derajat penetrasi dari zat kimia tersebut. Mekanisme cedera
antara asam dan basa sedikit berbeda. Dibandingkan dengan bahan asam, trauma oleh bahan
yang bersifat alkali cenderung lebih cepat untuk merusak dan menembus kornea.. Setiap
2.1.
Anatomi Mata
Mata merupakan salah satu alat indera dalam tubuh manusia yang berfungsi untuk
melihat. Secara konstan mata menyesuaikan jumlah cahaya yang masuk, memusatkan
perhatian pada objek yang dekat dan jauh, serta menghasilkan gambaran yang kontinu yang
dengan segera dihantarkan ke otak. Mata terdiri dari bermacam-macam struktur sekaligus
dengan fungsinya masing-masing. Struktur dari mata meliputi sklera, konjungtiva, kornea,
pupil, iris, lensa, retina, saraf optikus, humor aqueus, serta humor vitreus yang memiliki
fungsinya masing-masing.4
Sklera : merupakan pembungkus fibrosa pelindung mata di bagian luar, yang hampir
seluruhnya terdiri atas kolagen. Jaringan ini padat, berwarna putih, serta berbatasan
dengan kornea di sebelah anterior dan duramater nervus optikus di bagian posterior.
Konjungtiva : merupakan membran mukosa yang transparan dan tipis yang
membungkus permukaan posterior kelopak mata (konjungtiva palpebralis) dan
permukaan anterior sklera (konjungtiva bulbaris).
Kornea
lapisan jaringan yang menutup bola mata sebelah depan mata dan terdiri dari 5 lapisan
yaitu lapisan epitel, membrane bowman, stroma, membrane descement, dan lapisan
endotel.
Pupil
permukaan pipih dengan bentuk bulat yang bersambungan dengan lensa dan
1. Segmen anterior: mulai dari kornea sampai lensa, berisi humor aqueus yang
merupakan sumber nutrisi bagi struktur mata di dalamnya. Segmen anterior sendiri
terbagi menjadi 2 bagian, yaitu (i) bilik anterior: mulai dari kornea sampai iris, dan
(ii) bilik posterior: mulai dari iris sampai lensa. Dalam keadaan normal, humor aqueus
dihasilkan di bilik posterior oleh prosesus siliaris, lalu melewati pupil masuk ke bilik
anterior kemudian keluar dari bola mata melalui saluran Schlemm.
2. Segmen posterior: mulai dari tepi lensa bagian belakang sampai ke retina, berisi
humor vitreus yang membantu menjaga bentuk bola mata.
Saraf optikus membawa gelombang saraf yang dihasilkan di dalam retina ke otak,
Saraf lakrimalis merangsang pembentukan air mata oleh kelenjar air mata, dan
Saraf lainnya menghantarkan sensasi ke bagian mata yang lain dan merangsang otot
pada tulang orbita.
Arteri oftalmika dan arteri retinalis menyalurkan darah ke mata kiri dan mata kanan,
sedangkan darah dari mata dibawa oleh vena oftalmika dan vena retinalis. Pembuluh darah
ini masuk dan keluar melalui mata bagian posterior.4
Sel-sel fotoreseptor di dalam mata terdiri atas dua jenis, yaitu sel batang dan sel kerucut
(Gambar 2). Setiap sel fotoreseptor kerucut memiliki rhodopsin, yaitu suatu pigmen
pennglihatan yang fotosensitif dan terbenam didalam diskus bermembran ganda pada
fotoreseptor segmen luar. Puncak absorbsi cahaya oleh rhodopsin terjadi pada panjang
gelombang sekitar 500 nm, yang merupakan daerah biru-hijau pada spectrum cahaya.
Fotoreseptor kerucut bertanggung jawab pada penglihatan warna, dan pigmen-pigmen
penglihatan (opsin) yang terletak dibagian luarnya menyerap cahaya dengan panjang
gelombang 400 dan 700 nm. Fotoreseptor batang merupakan sel yang sangat peka terhadap
cahaya dengan intensitas rendah. Sel batang berperan dalam proses penglihatan di malam hari
atau tempat-tempat gelap untuk menghasilkan ketajaman pengelihatan yang rendah. Hanya
saja, sel batang tidak mampu mendeteksi warna. Sel ini tersebar di seluruh retina, kecuali di
fovea.4
Epidemiologi
Berdasarkan data hasil penelitian di USA pada tahun 2011, 9,9% kejadian trauma kimia
pada mata telah terjadi. Dari keseluruhan kasus di USA, trauma pada mata memiliki
forniat), dan organik anhidrat (asetat). Bila bahan asam mengenai mata, maka akan segera
terjadi pengendapan ataupun penggumpalan protein permukaan sehingga bila konsentrasi
tidak tinggi maka tidak akan bersifat destruktif seperti trauma alkali. Biasanya akan terjadi
kerusakan hanya pada bagian superfisial saja.1
Beratnya keadaan dari trauma kimia sangat berhubungan dengan jenis bahan kimia
yang terkontaminasi, lesi pada okuler, dan lamanya bahan kimia itu mengenai lesi tersebut.
Bahan kimia yang bersifat asam pada kadar yang rendah akan menurunkan kekentalan
protoplasma, kemudian terjadi penggumpalan. Pada kadar asam yang tinggi dapat terjadi
denaturasi dan penggumpalan protein sampai terjadinya pembentukan asam proteinat.5
Ion Hidrogen (H+) dari zat yang bersifat asam dapat menurunkan pH. Hal tersebut
mengakibatkan adanya ikatan pada protein dan proses presipitasi pada epitel kornea dan
stroma bagian superfisial. Presipitasi dari protein ini dapat menunjukkan ground glass
appearance yang bersifat tipikal pada lapisan epitel dan berfungsi sebagai barrier untuk
penetrasi yang lebih lanjut, sehingga trauma asam pada mata cenderung terlokalisir.6
Gambar 3. Koagulasi protein yang berlaku pada mata akibat trauma asam, dan
menimbulkan kekeruhan pada permukaan kornea.7
2.
saponifikasi dari asam lemak di membran sel dan akhirnya dapat merusak sel-sel mata. Jika
epitel permukaan mata sudah rusak, maka zat yang bersifat alkali tersebut dapat berpenetrasi
ke bagian stroma kornea. Hal tersebut dapat menghancurkan permukaan proteoglikan dan
jaringan kolagen pada matriks stroma. Bahan-bahan yang mengandung alkali kuat juga dapat
berpenetrasi ke camera oculi anterior, dan menyebabkan kerusakan jaringan yang terus
Gambar 4. Grade 2, 3, dan 4 trauma alkali pada mata (dari kiri ke kanan).3
Keparahan dari kerusakan okuler dari bahan yang bersifat asam ataupun basa
berhubungan dengan tipe bahan kimia, konsentrasi dari zat kimia tersebut, durasi pemaparan,
dan derajat penetrasi. Ion hydroxyl (OH-) dari zat yang bersifat alkali, memiliki efek
saponifikasi dari asam lemak pada membran sel yang dapat menyebabkan kehancuran dari
sel, denaturasi proteoglikan dan jaringan kolagen pada stroma yang terjadi terus menerus.
Jika penetrasi terus menerus terjadi, kerusakannya akan berujung pada hilangnya
proteoglikan dari stroma yang menyebabkan terjadinya penyusutan dari kolagen dan dapat
menimbulkan peningkatan tekanan intraokuler yang diakibatkan oleh distorsi pada trabekular
meshwork. Pelepasan prostaglandin juga berkontribusi pada peningkatan tekanan intraokuler
pada trauma asam dan basa. Penetrasi zat kimia pada mata dapat merusak keratosit stromal
secara akut, ujung saraf stromal, endotel kornea, iris, trabekular meshwork, dan badan silier.
Sebagai tambahan untuk kerusakan kornea dan intraokuler, trauma basa pada mata juga dapat
merusak konjungtiva, limbus, dan kelopak mata. Kerusakan pada palpebra dan konjungtiva
Freon/bahan pendingin lemari es, sabun, shampo, kapur gamping, semen, tiner, lem, cairan
pembersih dalam rumah tangga, dan soda kuat. Bahan alkali yang biasa menyebabkan trauma
kimia adalah:6
2.5.
a.
Amonia (NH3), zat ini biasa ditemukan pada bahan pembersih rumah tangga,
b.
c.
d.
e.
pemeriksaan fisik dan penunjang. Namun hal ini tidaklah mutlak dilakukan dikarenakan
trauma kimia pada mata merupakan kasus gawat darurat sehingga hanya diperlukan
anamnesa singkat.
1.
Gejala Klinis
Terdapat gejala klinis utama yang muncul pada trauma kimia, yaitu epifora,
blefarospasme, dan nyeri berat. Trauma akibat bahan yang bersifat asam biasanya dapat
segera terjadi penurunan penglihatan akibat nekrosis superfisial kornea. Sedangkan pada
trauma basa, kehilangan penglihatan sering bermanifestasi beberapa hari sesudah kejadian.
Namun sebenarnya kerusakan yang terjadi pada trauma basa lebih berat dibanding trauma
asam.
Anamnesis
Pada anamnesis, pasien menceritakan riwayat tersiram cairan atau tersemprot gas pada
mata atau partikel-partikelnya masuk ke dalam mata. Perlu diketahui apa persisnya zat kimia
dan bagaimana terjadinya trauma tersebut (misalnya tersiram sekali atau akibat ledakan
dengan kecepatan tinggi) serta kapan terjadinya trauma tersebut.
Perlu diketahui apakah terjadi penurunan visus setelah cedera atau saat cedera terjadi.
Onset dari penurunan visus apakah terjadi secara progresif atau terjadi secara tiba-tiba. Nyeri,
lakrimasi, dan pandangan kabur merupakan gambaran umum trauma. Harus pula dicurigai
adanya benda asing intraokular apabila terdapat riwayat trauma akibat ledakan.
3.
Pemeriksaan Oftalmologis
Pemeriksaan yang seksama sebaiknya ditunda sampai mata yang terkena zat kimia
sudah terigasi dengan air dan pH permukaan bola mata sudah netral. Obat anestesi topikal
atau lokal sangat membantu agar pasien tenang, lebih nyaman, dan kooperatif sebelum
dilakukan pemeriksaan. Setelah dilakukan irigasi, pemeriksaan dilakukan dengan perhatian
khusus untuk memeriksa ketajaman mata melalui visus, kejernihan dan keutuhan kornea,
derajat iskemik limbus, tekanan intra okular, konjungtivalisasi pada kornea, neovaskularisasi,
peradangan kronik, dan defek epitel yang menetap dan berulang.6
Hasil pemeriksaan fisik yang sering muncul adalah:3,8
a.
b.
proteoglikan. 3
Stroma yang kabur
Kekaburan stroma terjadi akibat adanya denaturasi jaringan kolagen pada kornea.
Kekaburan stroma bervariasi, mulai dari ringan sampai opasifikasi menyeluruh sehingga
tidak bisa melihat kamera okuli anterior (KOA).
Peningkatan TIO
Terjadi peningkatan TIO tergantung kepada tingkat inflamasi pada segmen anterior dan
deformitas jaringan kolagen kornea. Kedua hal tersebut menyebabkan penurunan outflow
uveoscleral dan peningkatan TIO.
e.
iritasi.
f.
Inflamasi konjungtiva
Dapat terjadi hiperemi konjungtiva sebagai respon dari inflamasi terhadap zat kimia
g.
ketidaknyamanan pasien.
4. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang dalam kasus trauma kimia mata adalah pemeriksaan pH bola
mata secara berkala dengan kertas lakmus. Irigasi pada mata harus dilakukan sampai tercapai
pH normal. Pemeriksaan bagian anterior mata dengan lup atau slit lamp bertujuan untuk
mengetahui lokasi luka. Pemeriksaan oftalmoskopi direk dan indirek juga dapat dilakukan.
Selain itu dapat pula dilakukan pemeriksaan tonometri untuk mengetahui tekanan
intraokular.6
2.6.
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pada trauma kimia mata dapat dibedakan antara tatalaksana emergensi,
tatalaksana kondisi akut dan kronik. Tatalaksana trauma kimia mata dapat dilihat dalam tabel
berikut ini :
Menghilangkan nyeri
Topical tetracaine
Topical 2% lidocaine jelly
Analgetik sistemik
Irigasi dengan menggunakan normal saline
Mengeluarkan benda asing pada mata
Menggunakan normal saline
Debridement epitel kornea
Surgical sponge or Dacron swab
Siklopegik
Atropine l %/scopolamine 0.25% bid or homatropine 5%
tid
Control of lOP
Mannitol 20% 1- 2 g/kg IV 1-2 tiap 1 2 jam
Acetazolamide 5-10 mg/kg IV tiap 6-8 jam
Anterior chamber paracentesis
2.7.
Komplikasi
Komplikasi dari trauma mata bergantung pada berat ringannya trauma, dan jenis trauma
yang terjadi. Komplikasi yang dapat terjadi pada kasus trauma basa pada mata antara lain:1
1.
konjungtiva bulbi dan konjungtiva forniks. Hal ini diakibatkan oleh trauma berat pada mata
dengan terbentuknya sikatrik pada konjungtiva.
Katarak traumatik, trauma basa pada permukaan mata sering menyebabkan katarak.
Komponen basa yang mengenai mata menyebabkan peningkatan pH cairan akuos dan
menurunkan kadar glukosa dan askorbat. Sehingga hal tersebut menyebabkan terbentuknya
katarak kortikal. Hal ini dapat terjadi akut ataupun perlahan-lahan. Trauma kimia asam sukar
masuk ke bagian dalam mata maka jarang terjadi katarak traumatik.
3.
Entropion dan ptisis bola mata, terjadi akibat terbentuknya sikatrik pada konjungtiva.
Gambar 6. Simblefaron.
2.8.
Prognosis
Prognosis trauma kimia pada mata sangat ditentukan oleh bahan penyebab trauma
tersebut. Derajat iskemik pada pembuluh darah limbus dan konjungtiva merupakan salah
satu indikator keparahan trauma dan prognosis penyembuhan. Iskemik yang paling luas pada
pembuluh darah limbus dan konjungtiva memberikan prognosis yang buruk. Bentuk paling
berat pada trauma kimia ditunjukkan dengan gambaran cooked fish eye yang memiliki
prognosis paling buruk, dapat terjadi kebutaan (Gambar 7).
BAB III
KESIMPULAN
Trauma kimia pada mata dapat berasal dari bahan yang bersifat asam dengan pH < 7
atau bahan yang bersifat basa dengan pH > 7. Trauma basa biasanya memberikan dampak
yang lebih berat daripada trauma asam, alkali kuat akan meningkatkan pH jaringan dan akan
menyebabkan terjadinya proses saponifikasi dari asam lemak di membran sel yang terjadi
terus menerus dan akhirnya dapat merusak sel-sel mata. Sementara trauma asam, memiliki
ikatan pada protein dan proses presipitasi pada epitel kornea dan stroma bagian superfisial.
Presipitasi dari protein ini dapat menunjukkan ground glass appearance yang bersifat
tipikal pada lapisan epitel dan berfungsi sebagai barrier untuk penetrasi yang lebih lanjut,
sehingga trauma asam pada mata cenderung terlokalisir, sehingga zat asam tidak dapat
penetrasi lebih dalam lagi. Gejala utama yang muncul pada trauma mata adalah epifora,
blefarospasme, dan nyeri yang hebat. Trauma kimia merupakan satu-satunya jenis trauma
yang tidak memerlukan anamnesa dan pemeriksaan yang lengkap.
Penatalaksanaan yang terpenting pada trauma kimia adalah irigasi dengan
menggunakan NaCl fisiologis, atau ringer lactate 1 liter setidaknya dalam 15 menit. Irigasi
dilakukan hingga bagian konjungtiva forniks sehingga perlu dilakukan eversi kelopak mata.
Eversi kelopak mata ini juga dilakukan untuk melihat apakah masih terdapat partikel sisa dari
trauma kimia. Sebaiknya dilakukan debridement terhadap kornea yang mengalami nekrosis
untuk memicu reepitelisasi karena debris debris ini dapat menstimulasi terjadinya inflamasi.
Setelah dilakukan irigasi, terapi dilakukan untuk memicu reepitelisasi, pengobatan luka,
mencegah infeksi, mengurangi inflamasi, mengurangi terbentuknya ulkus, dan mengontrol
tekanan intraokuler. Antibiotik topikal perlu diberikan bila terdapat defek epitel kornea.
Kortikosteroid topikal intensif diperlukan tiap 1 -2 jam dalam 1- 2 minggu pertama untuk
mempercepat re-epitelisasi.
1. Ilyas, S. Ilmu Penyakit Mata. Edisi Ketiga. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. 2007. Hal 259.
2. Hall. A. H. Epidemiology of Ocular Chemical Burn Injuries. Springer-Verlag Berlin
Heidelberg. 2011. Hal 9.
3. Skuta, Gregory L. Cantor, Lewis D. Weiss Jayne S. External Disease and Cornea:
American Academy of Ophtalmology. 2008. Page 354-359.
4. Vaughan DG, Taylor A, and Paul RE. Oftalmologi Umum. Jakarta: Widya
medika. 2000.
5. Sari, K. Prevalensi Kebutaan Akibat Trauma Mata di Kabupaten Langkat. Thesis.
Medan: Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
6. Rao, N.K., M.H. Goldstein. Ophtalmology: Acid and Alkali Burns.4th edition.
Elssevier. 2014. Hal. 296-298.
7. Dua, H.S., A.J. King, Annie J. A New Classification of Ocular Surface Burns. Br J
Ophthalmol 2001;85:13791383.
8. Khurana, AK. Comprehensive Ophtalmology: 4th edition. 2007. Page 425.
9. Jackson, LL. Work-related Eye Injuries in the US. Washington DC: American Public
Health Association. Diakses dari www.cdc.gov/niosh/nioshtic-2/200388281.html pada
pukul 13:51.