Anda di halaman 1dari 5

TESHA ROSYIDA_PERJALANAN MERAIH MIMPI

KARENA PERJUANGAN TAK KAN SIA-SIA


Mbak udah buka belum, sana turun makan bareng. Suara itu tiba-tiba
mengangetkanku. Suara suami dari ibu Astrid yang memberiku tumpangan tinggal
selama aku menjalani praktik di Klinik Kasih Bunda. Yaa sebagai mahasiswi salah satu
sekolah kesehatan di Kota Solo mengharuskanku berpindah-pindah tempat tinggal
selama menjalani praktik.
Iya pak, nanti saya turun jawabku sambil meneruskan makanku. Menu berbukaku
kali ini sama dengan saat sahur. Sepotong ayam goreng pemberian ibu Astrid kemarin
sore. Rasanya hampir menangis karena puasa kali ini begitu seadanya.
Akupun turun menepati ucapanku, Bu Astri telah menyiapkan sop sayur untukku.
Syukur Alhamdulillah ucapku dalam hati. Selesai makan, Radit putra sulung bu Astri
pun bergelayut manja mengajak bermain. Terpaksa kupenuhi keinginannya sambil terus
mengawasi jam dinding karena aku harus berdinas malam ini.
*Teeng.sekarang jam 19.15 menit*
Suara dentang jam memecah keseruan bermainku dengan Radit. Aku bergegas pergi
ke kamar untuk berganti baju dan segera berangkat ke Klinik. Disana aku melaksanakan
kewajibanku seperti biasa mengganti cairan infus dan memeriksa keadaan pasien. Aku
selalu berusaha tersenyum didapahan mereka, walaupun aku merasa begitu lelah hari
ini. Waktu terus berlalu dan pasien pun silih berganti datang. Tak terasa waktu
menunjukkan pukul 00.30 dini hari. Kudengar suara lirih dari balik pintu UGD. Pasien
datang lagi, kali ini beliau mengalami diare. Walaupun dalam keadaan mengantuk ku
coba tetap melayani pasien dengan baik.
Aku pun pergi ruang jaga untuk tidur kembali. Lagi-lagi aku terbangun, bisikan lirih
perawat jaga membangunkanku untuk makan sahur. Bahagia rasanya sahur kali ini
mendapat makan gratis. Ya gratis, makanan yang disediakan dari Klinik untuk yang
mendapat dinas malam. Selesai itu aku segera mandi karena hari ini aku harus lanjut
dinas pagi hingga jam 2 siang. Sebenarnya ini pilihanku. Aku memilih menukar jadwal
dinas siangku dengan dinas pagi.
Aku teringat pesan dosenku kemarin siang
Besok jam 4 mohon bertemu saya ya mbak,
silahkan bawa laporannya. Atau jika tidak kamu
tidak akan bisa mengikuti ujian akhir
*deeg* Satu-satunya yang terlintas dipikiranku adalah bagaimana caranya aku menuju
kampus sedangkan jaraknya 10km dari tempat praktikku. Aku tidak memiliki sepeda

motor untuk kesana. Jangankan memiliki ataupun pinjam, mengendarainya saja aku tak
bisa. Bukan aku yang tak mau belajar, hanya saja orang tuaku belum mempunyai rejeki
untuk membelikanku motor. Kendaraan umum pun jauh dari tempatku praktik.
Sembari menunggu pasien di ruang pengobatan, iseng ku buka google maps. Kata
kunci yang aku masukkan adalah jarak klinik menuju perempatan kota yang dapat
dijangkau kendaraan. 2,8 KM. Yaa jarak itu yang harus kutempuh jika ingin pulang agar
bisa naik bus ataupun angkot. Bagaimana aku dapat kesana. Aku terus berfikir hingga
waktu menunjukkkan pukul 14.15 WIB yaitu saat tugas dinasku usai.
Pilihan terakhirku hanya berjalan kali. Tak terbayang sebelumnya aku mampu
berjalan sejauh itu. Lalu bagaimana aku harus pamit dengan ibu Astrid, beliau pasti tak
mengijinkanku berjalan kaki menuju kesana.
Ibu, Keyla izin kekampus ya bu. Mungkin nanti Keyla akan dijemput oleh teman
kemari Pamitku pada ibu Astri. Tak tega rasanya membohonginya namun tetap saja ini
pilihan terakhir yang harus aku ambil. Bukannya aku tak punya teman untuk
menjemput,namun mereka pun kini tengah praktik sama sepertiku. Aku tahu mereka
lelah, aku tak tega dengan mereka.
Semua laporan dan barang-barangku telah masuk kedalam tas ransel. Aku memulai
berjalan melawan terik matahari, setapak demi setapak. Orang-orang melihatku dengan
tatapan penuh tanya. Ku lanjutkan saja jalanku. Semakin jauh dan semakin jauh beban
dipundakku terasa semakin berat. Rasanya ingin kuhentikan langkahku lalu berputar
arah untuk pulang. Namun kata dan pesan singkat itu membuat ku kembali bersemangat
berjalan. Peluh bercampur air mata perlahan menetes melewati kedua pipiku.
Membayangkan kedua orang tuaku di seberang pulu yang menunggu penuh harap
kesuksesanku. Ayah, ibu rintihku dalam hati.
Hampir setengah perjalanan aku lalui, kedua kaki mulai berjalan pelan karena terasa
perih bergesekan dengan tali sandal jepit usang yang dibelikan ayah 1 tahun silam.
Terus saja aku berjalan tanpa memperdulikannya. Matahari semakin terik,
kerongkongan terasa semakin kering karena dehidrasi.
Aku berhenti sejenak. Memeriksa kakiku yang terasa kian perih. Kemerahan dan
nampak sedikit darah. Aku harus berhenti fikirku. Aku harus mengobatinya dahulu.
Kulihat lagi kebelakang, perjalananku sudah jauh. Sudah sangat jauh dan hampir tiba.
Aku tak boleh menyerah.
Lagi. Kulanjutkan perjalananku tanpa memperdulikan rasa sakit dikaki. Yang ada
dalam benakku hanya sampai disana tepat waktu. Aku melihat lampu lalu lintas dari
kejauhan. Tandanya yang aku tuju semakin dekat.
Sampailah aku diperempatan kota. Aku berhenti sejenak menatap kakiku yang
terluka. Kuusap darahnya dengan ujung jilbabku, lagi-lagi tak sanggup kutahan air
mata. Segera kuusap, aku tidak mau orang lain iba melihatku.
Detik demi detik, menit demi menit. Aku menunggu datangnya kendaraan dengan
cemas dan penuh harap. Waktu kini hampir pukul 15.15 WIB. Artinya tinggal 45 menit
waktu yang tersisa. Tak lama bus pun datang. Kulambaikan tanganku sebagai tanda aku
ingin menumpang. Namun sayang aku ditolak. Kuputuskan untuk menunggu sambil

berjalan. Tak lama bis keduapun datang. Aku melampai dengan penuh semangat.
Akhirnya sopir mau berhenti tepat didepanku. Segera aku naik mencari tempat duduk
yang masih longgar. Perjalanan aku nikmati sembari melihat sawah dan bangunan disisi
jalan.
Sampailah aku didepan toko kelontong samping asrama kampusku. ini pak,
terimakasih sembari menyerahkan uang 2000an yang kusam dan terlipat-lipat. Sengaja
aku berhenti sejenak membeli plester untuk menutup lukaku. Jam tangan menunjukkan
pukul 15.40 WIB. Aku percepat langkahku menuju kmar asrama untuk berganti seragam
kuliah. Dengan masih terengah-engah aku berlari menuju kampus yang berjarak 200
meter dari asrama.
Pukul 15.50 WIB. *tok tok tok* kukentuk pintu ruangan milik Bu Mia dosen
pembimbingku.
Maaf mbak, bu Mia baru saja rapat. Beliau berpesan agar mbak Keyla meletakkan
laporan dimeja beliau saja. Nanti beliau akan mengoreksi seusai rapat ucap sekretaris
bu Mia.
Sedih, kecewa bercampur menjadi satu. Perjuangan yang teramat berat dan tak
berhasil bertemu dengan beliau. Satu-satunya hal dapat kulakukan sekarang adalah
mengirim pesan singkat kepada Bu Mia.
Selamat sore ibu. Laporan atas nama Keyla
sudah saya letakkan di meja ibu. Terimakasih ibu,
maaf jika saya terlambat datang
Setelah kuletakkan dimeja, aku bergegas kembali ke asrama. Air mata kembali
menetes. Tiba-tiba aku dikejutkan suara dering handphone milikku. Nampak jelas
tulisan pada layar bahwa yang menelpon adalah Ayah. Mungkin ayah tau apa yang
dirasakan putrinya. Andai saja ibu masih ada pasti ibu juga akan melakukan hal yang
sama.
Hallo, iya yah Sahutku pelan. Seolah menyembunyikan suara parau karena
menangis.
Sehat kan mbak? Ayah baru pulang kerja. Tadi Ayah diajak pak Ilham membangun
rumah di desa Sidomukti. Pas ditengah jalan Ayah inget mbak, makanya Ayah
menelpon
Keyla sehat kok yah. Ini Keyla baru pulang dari kampus. Ayah jalan kaki kesana?
Kan itu jauh yah tanyaku.
Iya nak, tidak apa-apa kok hanyak 5 km. Ayah kan sehat jadi masih sanggup
berjalan sejauh itu Jawab ayahku sambil tertawa
Nanti ya yah, Keyla belikan motor buat ayah biar ayah tidak perlu jalan kaki lagi
Iya sayang, yasudah belajar yang rajin ya nak. Ayah mau mencari makanan untuk
kambingmu

Aku merasa bersalah. Aku yang hanya sekali berjalan kaki setengah dari jarak yang
ditempuh ayahku saja masih mengeluh. Sedangkan beliau dengan bersemangat
mengatakan bahwa ia mampu.
Semangatku seolah kembali membara. Ku kerjakan lagi tugas lain yang menjadi
tanggunganku di praktik kali ini. Yang terbayang hanya wajah ayah dan almarhumah
ibuku. Beliau menaruh harapan besar padaku. Terlebih aku teringat akan janji pada adik
kecilku. Aku berjanji untuk menyekolahkannya hinga perguruan tinggi. Aku tak ingin ia
menerima nasib sama sepertiku.
Tak terasa Adzan Maghrib telah berkumandang.
Segera aku minum segelas susu dan 3 buah kurma. Sepi rasanya berada di kamar
asrama seorang diri. Kamar yang biasanya dihuni bersepuluh kini hanya menyisakan
aku sendiri. Sembilan temanku berada ditempat praktik yang berbeda. Selesai aku
menunaikan ibadah sholat maghrib, kulangkahkan kaki menuju warung makan milik bu
Iyah. Segera kupesan sayur kangkung kesukaanku. Kunikmati setiap suap hidangan
yang aku pesan. Tak lupa aku membeli tempe goreng sebagai lauk makan sahur.
Sesampainya di kamar aku kerjakan lagi tugas kelompok praktik lapangan kami,
sembari mencari informasi tentang lomba menulis essay. Yaa inilah salah satu yang
dapat kulakukan ditengah kesibukkanku. Aku sangat berharap mendapatkan hadiah
yang panitia berikan. Aku ingin sekali menabung untuk melanjutkan kuliahku ke
jenjang yang lebih tinggi.
Waktu terus berputar dan menunjukkan pukul 00.30 WIB. Kubereskan alat tulis dan
buku yang berserakan di lantai. Aku bersiap untuk tidur, dan sesekali aku mengecek
handphone apakah ibu Mia membalas pesanku atau tidak. Namun hasilnya Nihil.
*ting tong ting tong ting tong*. Alarm berbunyi berulang-ulang tepat pukul 03.30
WIB. Aku segera mencuci muka dan mengambil makan sahur. Begitu nikmat rasanya,
walaupun nasi dan lauk terasa dingin karena tak sempat aku hangatkan. Aku bersyukur.
Terlebih pesan singkat dari ayah mengucapkan selamat makan sahur. Kuperiksa satupersatu pesan lain di handphoneku. Lagi-lagi bu Mia belum membalas.
Selesai menunaikan ibadah sholat subuh aku kembali membaca buku, namun tak
lama aku tertidur.
Maaf mbak, saya kemarin sedang ada rapat. Laporan
mbak sudah saya koreksi. Hanya ada sedikit perbaikan.
Hari senin silahkan diambil di ruangan saya sekaligus
silahkan ambil kartu ujian akhir di kependidikan
Itulah pesan singkat yang pertama kali aku baca saat aku terbangun dan membuka
mata. Sontak aku berteriak dan kegirangan. Akhirnya bu Mia membalas pesanku. Aku
bisa mengikuti ujian akhir. Aku berjanji akan belajar dengan giat. Aku tak ingin
mengecewakan orang tuaku.

BIODATA
Nama saya Tesha Rosyida Nur Agustina. Biasa dipanggil Tesha.
Saya lahir di Pacitan, 20 Agustus 1996. Hobi yang kini saya tekuni
adalah menulis puisi dan cerpen, serta membaca buku motivasi.
Alamat saya tinggal sekarang yaitu Jln Parangtritis Km.6 sewon
Bantul. Saya sedang menempuh pendidikan D3 Kebidanan di
Akademi Kebidanan Yogyakarta.

Anda mungkin juga menyukai