UNTUK MATA
Mata merupakan organ tubuh yang tergolong unik karena harus melewati barier barier yang
berbeda kepolarannya. Tantangan untuk formulator adalah bagaimana obat dapat menembus
barier-barier protektif pada mata tanpa menyebabkan kerusakan jaringan yang permanen
(Kumar, 2011).
Beberapa bagian mata seperti kornea, lensa dan vitreous body merupakan media transparan
tanpa aliran darah. Oksigen dan nutrisi didapatkan melalui aqueous humor. Aqueous humor
memiliki kandungan oksigen yang tinggi dan tekanan osmotik yang sama dengan darah.
Kornea mendapatkan oksigen dari atmosfer dan suplai dari ujung-ujung syaraf (Kumar,
2011).
Mata selalu dibersihkan dan dilubrikasi oleh perlengkapan lakrimal : kelenjar lakrimal, kanal
lakrimal, kantung lakrimal, saluran naso-lakrimal. Cairan lakrimal yang disekresikan oleh
kelenjar lakrimal dikosongkan dari permukaan konjungtiva oleh kelopak mata bagian atas
dengan kecepatan turnover 16% permenit. Cairan lakrimal membasuh semua bagian bola
mata dan disapu oleh kelopak mata melalui kedipan mata. Kemudian bola mata secara
kontinyu dialiri oleh cairan lakrimal yang mencegah mata dari kekeringan dan peradangan.
Cairan lakrimal manusia memiliki volume normal 7l dan merupakan cairan isotonis dari
bikarbonat dan sodium chloride (pH 7,4) yang dapat melarutkan irritan atau untuk
mengeluarkan benda asing dari kantung konjungtiva. Cairan lakrimal mengandung lysozyme
yang mempunyai aktivitas bakterisid mengurangi jumlah bakteri di kantung konjungtiva.
Kecepatan mengedip bervariasi dengan rata rata 20 kedipan/menit. Setiap kali mengedip,
kelopak mata menutup selama 0,3 detik (Kumar, 2011).
Sekilas, mata merupakan tempat yang ideal untuk pemberian topikal. Namun ternyata mata
diproteksi sangat baik terhadap absorpsi benda asing. Proteksi tersebut : kelopak mata, aliran
air mata dan kornea yang terdiri dari barier-barier yang tidak mudah dilewati.
Ketika ada benda asing masuk ke mata, aliran air mata akan meningkat dan membersihkan
benda asing tersebut dalam waktu yang relatif singkat. Dalam keadaaan normal, mata hanya
bisa menampung volume cairan yang sangat kecil tanpa tumpah.
Kendala yang dapat meyebabkan rute pemberian pada mata mempunyai bioavaiabilitas yang
rendah antara lain ikatan dengan protein lakrimal, drainase larutan yang diteteskan ke mata,
lakrimasi dan turnover air mata, area kornea yang terbatas dan penetrasi kornea yang rendah,
absorpsi dan adsorpsi yang non produktif (Kumar, 2011).
Barier fisiologis yang menghalangi difusi dan absorpsi obat yang diberikan secara topikal
pada mata terdapat pada precorneal dan bagian kornea. Kendala prekorneal :
Drainase larutan obat dari area prekorneal merupakan faktor yang utama mengurangi
waktu kontak obat dengan kornea dan akibatnya bioavaiabilitasnya rendah. Suatu
dosis obat akan meninggalkan mata dalam 2 menit.
Kebanyakan obat juga akan cepat hilang dari permukaan mata karena drainase
nasolacrimal
Mucosa konjungtiva dan nasal merupakan tempat absorpsi yang baik untuk obat yang
diberikan secara topikal
Air mata melarutkan obat yang masih tersisa pada cul de sac, sehingga akan
mengurangi flux transcorneal obat.
Efisiensi pemberian topikal pada mata hanya 16% karena faktor faktor di atas.
dari jaringan
intraokuler dan hilang melalui kanal schelmn atau absorpsi melalui ciliary body atau
suprachoroid ke dalam episcleral space. Ikatan antara obat dengan protein juga
berkontribusi terhadap kehilangan obat melalui jalur eliminasi pararel precorneal
(Kumar, 2011).
Bentuk-bentuk sediaan mata konvensional mempunyai beberapa kelebihan dan kelemahan
seperti tercantum pada tabel di bawah ini.
Tujuan utama mendisain suatu sistem terapetik adalah untuk mendapatkan konsentrasi obat
yang optimal pada tempat kerjanya dengan durasi yang sesuai. Disposisi dan eliminasi obat di
mata tergantung sifat fisika dan kimia, bentuk sediaan dan anatomi fisiologi mata. Diperlukan
integrasi pengetahuan tentang molekul obat dan anatomi fisiologi mata (Kumar, 2011).
Terdapat dua pendekatan untuk meningkatkan bioavaiabilitas dan durasi kerja obat pada mata
yaitu sustained drug delivery system yang merupakan sistem penghantaran obat yang
terkontrol dan kontinyu dan upaya memaksimalkan absorpsi obat di
kornea dan
Tidak mengiritasi dan nyaman (larutan yang viscous tidak merangsang lakrimasi dan
efek berkedip) (Kumar, 2011).
IN SITU GEL
In situ gel adalah sediaan cair yang ketika diteteskan pada mata mengalami perubahan fase
menjadi bentuk gel di dalam cul de sac mata karena terjadi perubahan lingkungan seperti
perubahan temperatur, perubahan pH dan perubahan yang diinduksi oleh ion.
Proses pembentukan gel terjadi karena adanya cross linking antara rantai polimer melalui
ikatan kovalen (chemical cross linking) atau non kovalen (physical cross linking). Laju
pembentukan gel in situ menjadi faktor penting karena setelah penetesan sediaan dan sebelum
gel yang kuat terbentuk, akan terbentuk larutan atau gel yang lemah karena mekanisme
pembentukan cairan lakrimal oleh mata (Kumar, 2011).
Keuntungan sistem gel in situ :
Menurunkan drainase naso lakrimal dari obat, sebingga mengurangi efek samping
karena adanya absorpsi sistemik.
Pemberian lebih akurat dan reprodusibel kuantitatif, tidak seperti halnya sediaan gel
biasa dan meningkatkan retensi precorneal.
konstan
Secara umum lebih nyaman dari insert soluble maupun non soluble
Sistem gel in situ yang ideal harus mempunyai viskositas yang rendah, cairan yang
mudah bergerak sehingga administrasi pada mata sebagai tetesan bersifat reprodusibel
dan menjadi gel ketika kontak dengan mata. Gel yang dihasilkan harus cukup kuat
bertahan pada cul de sac sehingga memperpanjang pelepasan obat sehingga
adalah sistem
digunakan dalam sistem gel in situ. Temperatur kritis yang ideal adalah ambient dan
temperatur fisiologis. Pada sistem ini, pembentukan gel oleh larutan dipicu oleh perubahan
suhu. Hydrogel berada dalam bentuk larutan pada suhu kamar dan membentuk gel ketika
kontak dengan cairan tubuh. Transisi cair-gel karena peningkatan temperatur terjadi melalui 3
mekanisme : desolvasi polimer, meningkatnya agregasi miselar dan meningkatnya jalinan
pada jaringan polimer. Ketika temperatur meningkat, rantai polimer mengalami degradasi dan
membentuk domain yang hidrofobik dan transisi fase (liquid menjadi hidrogel).
Sistem gel in situ yang diinduksi pH biasanya mengandung polimer yang mengandung gugus
fungsi asam atau basa yang memberikan respon terhadap perubahan pH. Pada sistem ini
transisi gel terjadi ketika pH meningkat dari 4,2 7,4 (pH mata). Pada pH yang lebih tinggi,
polimer membentuk ikatan hidrogen dengan musin sehingga menyebabkan pembentukan
hidrogel. Gugus fungsi asam atau basa dapat memberi ataupun menerima proton sebagai
respon terhadap perubahan pH. Polimer dengan banyak gugus fungsi yang dapat terionisasi
disebut polyelectrolytes. Ketika pH ekaternal meningkat polimer polyacid yang mempunyai
banyak
UJI PREFORMULASI
STUDI LITERATUR
Studi literatur dilakukan meliputi untuk mendapatkan data seperti organoleptis, ukuran
partikel, kelarutan (dalam berbagai pelarut dan pH), polimorfisme dan sifat kristal, kecepatan
disolusi, konstanta disosiasi, koefisien partisi, stabilitas kimia, kompatibilitas obat dengan
eksipien
MATERIAL
Material yang dibutuhkan untuk pembuatan dan pengujian formula gel in situ kloramfenikol
adalah sebagai berikut :
Material
Sumber
Chloramphenicol palmitate
Polaxamer
Chitosan
Dr. Reddys
laboratories, Hyderabad, India
Carbopol 934
Methyl paraben
Sodium Chloride
Material lainnya
menunjukkan tingkat kemurnian yang baik, dimana bila ada pengotor akan terjadi variasi titik
leleh yang menyimpang dari data di literatur
Kompatibilitas
Kompatibilitas dilakukan untuk mengetahui ada atau tidaknya interaksi antara zat aktif dan
eksipien yang digunakan bersama dalam satu formula. Studi kompatibilitas dilakukan dengan
FTIR. studies.
Hasil FTIR dari obat murni, obat murni dan chitosan , obat murni dan poloxamer dan
kombinasi obat dengan polimer menunjukkan bahwa karakter puncak kloramfenikol tetp
terlihat menunjukkan kompatibilitas antara
diperoleh diketahui bahwa tidak ada perubahan yang signifikan dari kloramfenikol
Kurva Kalibrasi Standar Kloramfenikol Dengan Menggunakan Simulated Tear Fluid (STF)
STF memiliki komposisi sodium chloride 0.67 gram, sodium bicarbonate 0.20 gram,
calcium chloride 0.008 gram dalam 100 ml aquadest.
Dari larutan stok diambil aliquots sejumlah 0.2, 0.4, 0.6, 0.8, 1.0 ml dan diencerkan
sampai 10 ml dengan STF untuk mencapai konsentrasi range konsentrasi 2 - 10
g/ml. Absorbansi dari larutan larutan ini diukur pada 285 nm dengan UV-Vis
spectrophotometer (Martindale et al., 2002).
EVALUASI
Penampilan dan Pengukuran pH
Penampilan formula tetes mata yang diamati meliputi kejernihan, warna larutan dan
pengukuran pH
Drug content
Drug content ditentukan dengan mengambil 1ml dari formula dan diencerkan dengan air
sampai 100 ml. 5 ml aliquot diambil dan diencerkan dengan air sampai 25 ml. Konsentrasi
Kloramfenicol ditentukan pada 243 nm dengan UVVis Spectrophotometer.
Gelation Studies
Untuk menyerupai sistem in situ gel,
pengenceran dengan aliran air mata yang sudah disediakan dan proses pembentukan gel
diinduksi oleh suplai elektrolit yang terbatas. Sistem gel yang terbentuk secara in situ tersebut
dicampur dengan simulated tear flow (STF) dalam perbandingan 25 : 7 (volume yang
diteteskan 25 l, volume normal air mata dalam mata 7 l). Proses pembentukan gel dapat
dilihat secara visual.
Spreadability
Untuk penentuan spreadability (Maezaki, Y et al., 1993, Razdan A et al., 1994), sampel
berlebih diletakan di antara dua bidang gelas kemudian ditekan sampai membentuk ketebalan
yang seragam dengan menyimpan benda seberat 1000 g selama 5 menit. Tambahkan beban
seberat 50 g . Waktu yang diperlukan bidang gelas bagian atas untuk bergeser terhadap
bidang gelas bagian bawah disebut spreadability.
S= ML/T
Dimana, M = berat yang diberikan pada bidang gelas bagian atas,
L = panjangnya pergeseran bidang gelas bagian atas
T = waktu yang diperlukan
Pengukuran Kekuatan Gel
50 gram gel diletakan pada silinder berukuran 100 ml dan dipanaskan dalam thermostat
bersuhu 370C. Alat pengujian untuk mengukur kekuatan gel dimasukkan ke dalam gel yang
sudah terbentuk. Kekuatan gel, yaitu viskositas gel pada saat temperatur fisiologis diukur
pada saat alat pengujian tenggelam 5 cm ke dalam gel yang diuji (Waugh A. Et al., 2001).
Penentuan Gaya Mukoadhesif
Gaya mukoadhesif ditentukan dengan menggunakan membran kornea kambing. Sebagian
membran kornea kambing diambil
dan
menghadap keluar dengan menggunakan pita karet (Hecht G et al.,.). Vial yang bermembran
terhubung dengan keseimbangan dengan posisi terbalik. Gel okuler disimpan diatas membran
okuler dari vial pertama. Sebelum gel dioleskan, 150L air mata buatan disebarkan pada
permukaan membran yang akan diuji. Kemudian ketinggian vial kedua disesuaikan sehingga
permukaan mukosa dari kedua vial kontak dengan baik. Waktu kontak kedua mukosa diatur
selama 2 menit. Berat pan akan meningkat sampai vial lepas. Gaya mukoadhesif adalah berat
minimum yang diperlukan untuk memisahkan kedua vial. Mukosa okuler diganti untuk setiap
pengukuran.
Detachment stress (dynes/cm2) = mg/A
Dimana m adalah berat yang ditambahkan pada keseimbangan dalam gram, g adalah
akselerasi untuk gravitasi yang diterima 980 cm/s2, A adalah area jaringan yang terekpose
yaitu 2,5 cm2
Rheologi
Viskositas suatu formula adalah faktor penting yang menentukan waktu tinggal obat di mata.
Penentuan viskositas dengan Brookfield DV-111+rheometer dengan spindle LV-3. Larutan
tetes mata dibiarkan membentuk gel dalam STF dan dilakukan pengukuran viskositas.
Viskositas diukur pada berbagai kecepatan dari 10 100 rpm dengan berat sampel yang
sama. Kemudian pengukuran dibalik dari 100 10 rpm dengan berat sampel yang sama.
Viskositas diperoleh dari nilai rata rata pengukuran (Wanka G et al., 1994)
Studi Pelepasan In Vitro
Uji pelepasan in vitro kloramfenikol dari sediaan dilakukan menggunakan membran okuler
kambing dengan peralatan yang telah dimodifikasi. Medium difusi yang dipakai STF segar
pH 7,4. Membran okuler direndam semalam dalam media disolusi dan diikat pada salah satu
ujung silinder yang dirancang khusus terbuka di kedua ujungnya. 1 ml tetes mata (setara
dengan 2 mg kloramfenikol) ditempatkan. Silinder 50 ml medium disolusi dijaga pada suhu
37 1oC sehingga membran hanya kontak dengan permukaan media reseptor. Medium difusi
diaduk pada kecepatan rendah dengan menggunakan magnetic stirrer. 5 ml aliquot diambil
pada interval yang telah ditentukan dan diganti dengan 5ml media reseptor dan dianalisa
dengan spectrophotometer UV pada 243 nm. Dilakukan perhitungan dengan model obat yang
sesuai
Sterilitas
Semua preparat mata harus steril sehingga uji sterilitas menjadi parameter evaluasi yang
sangat penting. 2ml tetes mata diambil dari wadah dengan pipet steril/ suntikan atau jarum
steril dan dipindahkan pada media thioglycolate cair (20ml) dan media soya bean-casein
digest (20ml) secara terpisah. Media inokulasi diinkubasi selama tidak kurang dari 14 hari
pada 30oC 35oC (media thioglycolate) dan 20oC 25oC (media soya bean-csein digest)
(Cohen S et al., 1997)
Efikasi Antimikrobial In Vitro
Studi efek antimikroba dilakukan untuk memastikan aktivitas biologis dari sistem sol-gel
terhadap mikroorganisme. Studi dilakukan dengan metode agar diffusion test dengan standar
Dari keempat formula tersebut terpilih formula keempat yang memiliki hasil
pengujian sebagai berikut :
Parameter yang Diuji
pH
Drug content
Mucoadhesive force (dynes/cm2)
Gel Strength (sec)
Spreadability gram/sec
Persen obat yang dilepaskan selama 6
jam
Uji sterilitas
In vitro efficacy
Hasil Pengujian F4
6,8
101,38%
18960
119
31,7
63,22 %
Baik
Baik