Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
PENDAHULUAN
Epidural hematom adalah salah satu jenis perdarahan intracranial yang
paling sering terjadi karena fraktur tulang tengkorak. Otak di tutupi oleh tulang
tengkorak yang kaku dan keras. Otak juga di kelilingi oleh sesuatu yang berguna
sebagai pembungkus yang disebut dura. Fungsinya untuk melindungi otak, menutupi
sinus-sinus vena, dan membentuk periosteum tabula interna. Ketika seorang
mendapat benturan yang hebat di kepala kemungkinan akan terbentuk suatu
lubang, pergerakan dari otak mungkin akan menyebabkan pengikisan atau robekan
dari pembuluh darah yang mengelilingi otak dan dura, ketika pembuluh darah
mengalami robekan maka darah akan terakumulasi dalam ruang antara dura dan
tulang tengkorak, keadaan inilah yang dikenal dengan sebutan epidural hematom
(EDH).
EDH
sebagai
keadaan
neurologis
yang
biasanya
berhubungan dengan linear fraktur yang memutuskan arteri yang lebih besar,
sehingga menimbulkan perdarahan. Venous epidural hematom berhubungan dengan
robekan pembuluh vena dan berlangsung perlahan-lahan. Arterial hematom terjadi
pada middle meningeal artery yang terletak di bawah tulang temporal. Perdarahan
masuk ke dalam ruang epidural, bila terjadi perdarahan arteri maka hematom akan
cepat terjadi.
epidural hampir sama dengan angka kejadian di Amerika Serikat. Orang yang
beresiko mengalami EDH adalah orang tua yang memiliki masalah berjalan dan
sering jatuh.
60 % penderita EDH adalah berusia dibawah 20 tahun, dan jarang terjadi pada umur
kurang dari 2 tahun dan di atas 60 tahun. Angka kematian meningkat pada pasien
yang berusia kurang dari 5 tahun dan lebih dari 55 tahun. Lebih banyak terjadi pada
laki-laki dibanding perempuan dengan perbandingan 4:1.
Tipe- tipe :
1.
2.
Subacute hematoma ( 31 % )
3.
III. ETIOLOGI
Hematoma Epidural dapat terjadi pada siapa saja dan umur berapa saja, beberapa
keadaan yang bisa menyebabkan EDH adalah misalnya benturan pada kepala pada
kecelakaan motor. Hematoma epidural terjadi akibat trauma kepala, yang biasanya
berhubungan dengan fraktur tulang tengkorak dan laserasi pembuluh darah.
di
lindungi
dari
cedera
oleh
rambut,
kulit
dan
tulang
yang
membungkusnya, tanpa perlindungan ini, otak yang lembut yang membuat kita
seperti adanya, akan mudah sekali terkena cedera dan mengalami kerusakan. Selain
itu, sekali neuron rusak, tidak dapat diperbaiki lagi. Cedera kepala dapat
mengakibatkan malapetaka besar bagi seseorang. Sebagian masalah merupakan
akibat langsung dari cedera kepala. Efek-efek ini harus dihindari dan ditemukan
secepatnya dari tim medis untuk menghindari rangkaian kejadian yang menimbulkan
gangguan mental dan fisik dan bahkan kematian.
Tepat di atas tengkorak terletak galea aponeurotika, suatu jaringan fibrosa,
padat dapat digerakkan dengan bebas, yang memebantu menyerap kekuatan
trauma eksternal. Di antar kulit dan galea terdapat suatu lapisan lemak dan lapisan
membrane dalam yang mngandung pembuluh-pembuluh besar. Bila robek pembuluh
ini sukar mengadakan vasokontriksi dan dapat menyebabkan kehilangan darah yang
berarti pada penderita dengan laserasi pada kulit kepala. Tepat di bawah galea
terdapat ruang subaponeurotik yang mengandung vena emisaria dan diploika.
Pembuluh-pembuluh ini dapat membawa infeksi dari kulit kepala sampai jauh ke
dalam tengkorak, yang jelas memperlihatkan betapa pentingnya pembersihan dan
debridement kulit kepala yang seksama bila galea terkoyak.
Pada orang dewasa, tengkorak merupakan ruangan keras yang tidak memungkinkan
perluasan intrakranial. Tulang sebenarnya terdiri dari dua dinding atau tabula yang
dipisahkan oleh tulang berongga. Dinding luar disebut tabula eksterna, dan dinding
bagian dalam disebut tabula interna. Struktur demikian memungkinkan suatu
kekuatan dan isolasi yang lebih besar, dengan bobot yang lebih ringan . Tabula
interna mengandung alur-alur yang berisikan arteria meningea anterior, media, dan
posterior. Apabila fraktur tulang tengkorak menyebabkan tekoyaknya salah satu dari
arteri-arteri ini, perdarahan arterial yang di akibatkannya, yang tertimbun dalam
ruang epidural, dapat manimbulkan akibat yang fatal kecuali bila ditemukan dan
diobati dengan segera.
Pelindung lain yang melapisi otak adalah meninges. Ketiga lapisan meninges adalah
duramater, arachnoid, dan piamater
1.
Duramater cranialis, lapisan luar yang tebal dan kuat. Terdiri atas dua
lapisan:
Lapisan meningeal sebelah dalam adalah suatu selaput fibrosa yang kuat
2.
V. PATOFISIOLOGI
Pada EDH, perdarahan terjadi di antara tulang tengkorak dan durameter. Perdarahan
ini lebih sering terjadi di daerah temporal bila salah satu cabang arteria meningea
media robek. Robekan ini sering terjadi bila fraktur tulang tengkorak di daerah
bersangkutan. Hematom dapat pula terjadi di daerah frontal atau oksipital.
Arteri meningea media yang masuk di dalam tengkorak melalui foramen spinosum
dan jalan antara durameter dan tulang di permukaan dan os temporale. Perdarahan
yang terjadi menimbulkan hematom epidural, desakan oleh hematoma akan
melepaskan durameter lebih lanjut dari tulang kepala sehingga hematom bertambah
besar.
Hematoma yang membesar di daerah temporal menyebabkan tekanan pada lobus
temporalis otak ke arah bawah dan dalam. Tekanan ini menyebabkan bagian medial
lobus mengalami herniasi di bawah pinggiran tentorium. Keadaan ini menyebabkan
timbulnya tanda-tanda neurologik yang dapat dikenal oleh tim medis.
Tekanan dari herniasi unkus pada sirkulasi arteria yang mengurus formation
retikularis di medulla oblongata menyebabkan hilangnya kesadaran. Di tempat ini
terdapat nuclei saraf cranial ketiga (okulomotorius). Tekanan pada saraf ini
mengakibatkan dilatasi pupil dan ptosis kelopak mata. Tekanan pada lintasan
kortikospinalis yang berjalan naik pada daerah ini, menyebabkan kelemahan respon
motorik kontralateral, refleks hiperaktif atau sangat cepat, dan tanda babinski
positif.
Dengan makin membesarnya hematoma, maka seluruh isi otak akan terdorong ke
arah yang berlawanan, menyebabkan tekanan intracranial yang besar. Timbul tandatanda lanjut peningkatan tekanan intracranial antara lain kekakuan deserebrasi dan
gangguan tanda-tanda vital dan fungsi pernafasan.
Karena perdarahan ini berasal dari arteri, maka darah akan terpompa terus keluar
hingga makin lama makin besar. Ketika kepala terbanting atau terbentur mungkin
penderita pingsan sebentar dan segera sadar kembali. Dalam waktu beberapa jam ,
penderita akan merasakan nyeri kepala yang progersif memberat, kemudian
kesadaran berangsur menurun. Masa antara dua penurunan kesadaran ini selama
penderita sadar setelah terjadi kecelakaan disebut interval lucid. Fenomena lucid
interval terjadi karena cedera primer yang ringan pada Epidural hematom. Kalau
pada subdural hematoma cedera primernya hampir selalu berat atau epidural
hematoma dengan trauma primer berat tidak terjadi lucid interval karena pasien
langsung tidak sadarkan diri dan tidak pernah mengalami fase sadar.
Sumber perdarahan :
Sinus duramatis
Diploe (lubang yang mengisi kalvaria kranii) yang berisi a. diploica
o
dan vena
diploica
langsung mendesak ke parenkim otak menyebabkan mudah herniasi trans dan infra
tentorial. Karena itu setiap penderita dengan trauma kepala yang mengeluh nyeri
kepala yang berlangsung lama, apalagi progresif memberat, harus segera di rawat
dan diperiksa dengan teliti.
Bingung
Penglihatan kabur
Susahbicara
Mual
Pusing
Berkeringat
Pucat
1.
Hematoma subdural
hematoma epidural yang berkembang lambat. Bisa disebabkan oleh trauma hebat
pada kepala yang menyebabkan bergesernya seluruh parenkim otak mengenai
tulang sehingga merusak a. kortikalis. Biasanya di sertai dengan perdarahan
jaringan otak. Gambaran CT-Scan hematoma subdural, tampak penumpukan cairan
ekstraaksial yang hiperdens berbentuk bulan sabit.
Hematoma Subdural Akut
1.
2.
Hematoma Subarachnoid
IX. PENATALAKSANAAN
Penanganan darurat :
Terapi medikamentosa
1. Memperbaiki/mempertahankan fungsi vital
Usahakan agar jalan nafas selalu babas, bersihkan lendir dan darah yang dapat
menghalangi aliran udara pemafasan. Bila perlu dipasang pipa naso/orofaringeal dan
pemberian oksigen. Infus dipasang terutama untuk membuka jalur intravena :
guna-kan cairan NaC10,9% atau Dextrose in saline.
2. Mengurangi edema otak
Beberapa cara dapat dicoba untuk mengurangi edema otak:
a.Hiperventilasi.
b.Cairan hiperosmoler.
c.Kortikosteroid.
d.Barbiturat.
a.Hiperventilasi
Bertujuan untuk menurunkan paO2 darah sehingga mencegah vasodilatasi
pembuluh darah. Selain itu suplai oksigen yang terjaga dapat membantu menekan
metabolisme anaerob, sehingga dapat mengurangi kemungkinan asidosis. Bila dapat
diperiksa, paO2 dipertahankan > 100 mmHg dan paCO2 diantara 2530 mmHg.
b.Cairan hiperosmoler
Umumnya digunakan cairan Manitol 1015% per infus untuk menarik air dari ruang
intersel ke dalam ruang intra-vaskular untuk kemudian dikeluarkan melalui diuresis.
Untuk memperoleh efek yang dikehendaki, manitol hams diberikan dalam dosis yang
cukup dalam waktu singkat, umumnya diberikan : 0,51 gram/kg BB dalam 1030
menit.
Cara ini berguna pada kasus-kasus yang menunggu tindak-an bedah. Pada kasus
biasa, harus dipikirkan kemungkinan efek rebound; mungkin dapat dicoba diberikan
kembali (diulang) setelah beberapa jam atau keesokan harinya.
c.Kortikosteroid
Penggunaan kortikosteroid telah diperdebatkan manfaatnya sejak beberapa waktu
yang lalu. Pendapat akhir-akhir ini cenderung menyatakan bahwa kortikosteroid
tidak/kurang ber-manfaat pada kasus cedera kepala. Penggunaannya berdasarkan
pada asumsi bahwa obat ini menstabilkan sawar darah otak.
Dosis parenteral yang pernah dicoba juga bervariasi :
Dexametason pernah dicoba dengan dosis sampai 100 mg bolus yang diikuti dengan
4 dd 4 mg. Selain itu juga Metilprednisolon pernah digunakan dengan dosis 6 dd 15
mg dan Triamsinolon dengan dosis 6 dd 10 mg.
d.Barbiturat
Digunakan untuk membius pasien sehingga metabolisme otak dapat ditekan
serendah mungkin, akibatnya kebutuhan oksigen juga akan menurun; karena
kebutuhan yang rendah, otak relatif lebih terlindung dari kemungkinan kemsakan
akibat hipoksi, walaupun suplai oksigen berkurang. Cara ini hanya dapat digunakan
dengan pengawasan yang ketat.
e.Cara lain
Pala 2448 jam pertama, pemberian cairan dibatasi sampai 1500-2000 ml/24 jam
agar tidak memperberat edema jaringan. Ada laporan yang menyatakan bahwa
posisi tidur dengan kepala (dan leher) yang diangkat 30 akan menurunkan tekanan
intrakranial.
Posisi tidur yang dianjurkan, terutama pada pasien yang berbaring lama, ialah:
kepala dan leher diangkat 30. sendi lutut diganjal, membentuk sudut 150. telapak
kaki diganjal, membentuk sudut 90 dengan tungkai bawah
3. Obat-obat Neurotropik
Dewasa ini banyak obat yang dikatakan dapat membantu mengatasi
kesulitan/gangguan metabolisme otak, termasuk pada keadaan koma.
a. Piritinol
Piritinol merupakan senyawa mirip piridoksin (vitamin B6) yang dikatakan
mengaktivasi metabolisme otak dan memperbaiki struktur serta fungsi membran
sel. Pada fase akut diberikan dalam dosis 800-4000 mg/hari lewat infus. Tidak
dianjurkan pemberian intravena karena sifat-nya asam sehingga mengiritasi vena.
b.Piracetam
Piracetam merupakan senyawa mirip GABA suatu neurotransmitter penting di
otak. Diberikan dalam dosis 4-12 gram/ hari intravena.
c.Citicholine
Disebut sebagai koenzim pembentukan lecithin di otak. Lecithin sendiri diperlukan
untuk sintesis membran sel dan neurotransmitter di dalam otak. Diberikan dalam
dosis 10Q-500 mg/hari intravena.
4. Hal-hal lain
Perawatan luka dan pencegahan dekubitus harus mulai di-perhatikan sejak dini;
tidak jarang pasien trauma kepala juga menderita luka lecet/luka robek di bagian
tubuh lainnya. Anti-biotika diberikan bila terdapat luka terbuka yang luas, trauma
tembus kepala, fraktur tengkorak yang antara lain dapat menyebabkan liquorrhoe. Luka lecet dan jahitan kulit hanya memerlukan perawatan
lokal.
Hemostatik tidak digunakan secara rutin; pasien trauma kepala umumnya sehat
dengan fungsi pembekuan normal. Per- darahan intrakranial tidak bisa diatasi hanya
dengan hemostatik. Antikonvulsan diberikan bila pasien mengalami kejang, atau
pada trauma tembus kepala dan fraktur impresi; preparat parenteral yang ada ialah
fenitoin, dapat diberikan dengan dosis awa1250 mg intravena dalam waktu 10 menit
diikuti dengan 250-500 mg fenitoin per infus selama 4 jam. Setelah itu diberi- kan 3
dd 100 mg/hari per oral atau intravena. Diazepam 10 mg iv diberikan bila terjadi
kejang. Phenobarbital tidak dianjurkan ka-rena efek sampingnya berupa penurunan
kesadaran dan depresi pernapasan.
Terapi Operatif
Operasi di lakukan bila terdapat :
EDH dan SDH ketebalan lebih dari 5 mm dan pergeseran garis tengah dengan
GCS 8 atau kurang
Penurunan klinis
Efek massa dengan volume > 20 cc dengan midline shift > 5 mm dengan
penurunan klinis yang progresif.
Perawatan Pascabedah
Monitor kondisi umum dan neurologis pasien dilakukan seperti biasanya. Jahitan
dibuka pada hari ke 5-7. Tindakan pemasangan fragmen tulang atau
kranioplasti dianjurkan dilakukan setelah 6-8 minggu kemudian. Perawatan luka dan
pencegahan dekubitus pada pasien post operasi harus mulai diperhatikan sejak dini.
CT scan kontrol diperlukan apabila post operasi kesadaran tidak membaik dan untuk
menilai apakah masih terjadi hematom lainnya yang timbul kemudian.
Gangguan Lokomotor
Penyebab gangguan lokomotor yang paling umum adalah hemiplegia motorik akibat
gangguan pembuluh darah atau para-plegia dan quadriplegia akibat penekanan pada
sumsum tulang belakang atau penyakit demyelinasi; masalah tersebut akan
memerlukan fisioterapi tergantung dari luasnya lesi saraf ter-sebut apakah statis,
memburuk atau membaik.
Pertimbangan utama adalah mobilisasi dan ketergantungan penderita; anggota
gerak yang sehat harus dipelihara kekuatan-nya dan anggota yang lumpuh
digerakkan secara pasif untuk memelihara gerakan sendi yang normal jangan
sampai kaku. Bila ada spastisitas, harus diusahakan sedemikian rupa sehingga
fungsi untuk berjalan bisa terpenuhi; baik dengan cold pack atau hot pack maupun
dengan vibrasi atau menggunakan refleks hambatan. Kadang-kadang diperlukan
suntikan lokal langsung pada saraf dengan phenol atau alkohol yang bermanfaat
untuk beberapa minggu sampai beberapa bulan, sehingga penderita telah dapat
diperbaiki mobilitasnya.
2. Ketrampilan tangan
Sistim piramidalis sangat mempengaruhi kemahiran ketrampilan tangan;
walaupun proses penyakit telah sembuh namun dalam hal ini selalu ada defisit.
Walaupun kekuatan otot telah pulih, gerakan sendi telah balk, pengendalian anggota
gerak telah dikuasai namun ketrampilan tangan ini masih bagian yang penting
dalam proses rehabilitasi. Sebagian dapat dikerjakan fisioterapist tetapi lebih
terperinci lagi oleh okupasi terapist. Ketrampilan dapat dipulihkan melalui latihan
terapi okupasi seperti menulis, mengetik, memasukkan kancing baju, bertukang dan
menjahit. Akhirnya kemampuan yang semakin rumit se-hubungan dengan
kebutuhan penderita dalam pekerjaannya, memerlukan latihan yang lebih rumit
pula.
3.
Gangguan bicara
Gangguan kordinasi
Gangguan kordinasi timbul akibat kerusakan pada serebellum. Lesi serebellum, dan
campuran lesi serebellum dan piramidal mengakibatkan gangguan koordinasi dan
kurangnya gerak trampil. Suatu hal yang perlu diperhatikan apakah lesi bersifat
tetap, sembuh atau memburuk dan hubungannya dengan cacatnya apakah
permanen atau sementara.
Gangguan kordinasi anggota gerak atas dilatih dengan latihan sederhana dimulai
dari gerakan jari-jari sendiri-sendiri, ditingkatkan dengan antar jari, berarti sudah
ada kordinasi tangan dan mata. Sangat menolong adalah rekreasi permainan benda
kecil atau kerajinan tangan.
Gangguan kordinasi anggota gerak bawah, tidak perlu di-paksakan untuk latihan
jalan (walking gait); cukup dengan memulai yang sederhana menempatkan kaki
dalam berbagai posisi secara statik, dilanjutkan dengan kordinasi pergerakan
sendi. Sebelum berdiri ada baiknya posisi tegak dilatih padatilting table dulu,
latihan keseimbangan berdiri di lantai, baru latihan jalan dengan bantuan terapis.
Selanjutnya dapat dilatih dengan alat bantu seperti kruk, tripod atau tongkat untuk
ber-jalan sendiri.
Gangguan kordinasi karena defek pada ekstrapiramidal lebih sulit diatasi terutama
kalau bilateral. Selain kekuatan yang menghambat untuk bergerak, ada kegagalan
mulai bergerak walaupun penderita sudah mengerti instruksi dan penerangan.
Kadang-kadang bisa ditolong dengan bantuan visual dan pendengaran; pasien
dengan sindrom Parkinson lebih sulit berjalan pada jalan yang rata daripada
berlekuk-lekuk karena rangsangan sensorik kerikil akan memudahkan gerakan.
5.
Gangguan sensorik
Reseptor terletak pada kulit sangat penting untuk perabaan, tekanan, panas dingin
dan nyeri. Gangguan sensorik superfisial ini akan menyebabkan mudah cederapada
kulit tanpa disadari.
c. Stereognosis
Perasaan ini adalah kemampuan mengenal benda tiga dimensi dengan meraba,
tampaknya merupakan kombinasi perasaan dalam dan superfisial.
Gangguan stereognosis ini menyebabkan astereognosis atau hilangnya perasaan
taktil-kinestetik.
Test yang penting secara praktis adalah :
a. Perasaan superfisial
b. Suhu
c. Nyeri
d. Perasaan dafam
e. Pembedaan ringan-berat
f. Stereognosis
g. Bentuk persepsi dsb.
Untuk mengatasi gangguan sensorik ini perlu latihan berulang-ulang setiap
rangsangan untuk memulihkan fungsi anggota gerak misalnya untuk berdiri, jalan,
ADL memasang kancing baju, sikat gigi, makan dengan garpu dan sebagainya.
Variasi rangsangan bisa diberikan melalui permainan dengan bahan berlainan
misalnya balok-balok kayu, plastik dan tanah fiat. Latihan secara bertahap dari
ringan sampai berat sesuai dengan kemampuan yang telah dicapai.
6.
Gangguan kejiwaan
dan kurangnya ingatan bisa karena defisit neurologik tetapi belum tentu karena
kerusakan otak. Gambaran gangguan jiwa dapat diobati sehingga penderita dapat
diubah keadaannya, program rehabilitasi dapat dimulai.
2.
5. Okupasi terapis
Peran okupasi terapis adalah memulihkan penderita hingga mandiri dan hidup
normal dan produktif. Evaluasi penampilan penderita baik ADL sederhana dan rumit
berpakaian, berdandan, kordinasi motorik halus, persepsi visuospasial dan
assesmen lingkungan.
Okupasi terapis harus merencanakan penatalaksanaan berupa :
a) Evaluasi dan pemulihan kemampuan penderita dalam hubungannya dengan ADL
dan pekerjaan.
b) Memanfaatkan fungsi yang tersisa dengan alat bantu.
c) Memperbaiki pengertian akan cacat yang disandang dan fungsi psiko sosial
sebagai bagian dari kemanusiaan.
6.
Gangguan komunikasi karena tumor otak ditangani oleh speech therapist yang
terlatih mengatasi gangguan berbahasa, persepsi, evaluasi dan pembentukan
bahasa. Apabila suara be-lum ada maka modalitas berkomunikasi harus dilatih
seperti memakai tulisan, lambang jari atau cara lain yang bisa di-mengerti.
Speech therapist juga melatih penderita yang mengalami gangguan menelan.
Komunikasi bina wicara dengan anggota tim rehabilitasi khususnya memberi
informasi tentang kemampuan penderita berkomunikasi berbahasa atau altematif
lain.
7.
Ortotik Prostetik
Setelah ada pengarahan fisiatris tentang evaluasi penderita, pilihan alat ortosa atau
protesa yang cocok harus mempertimbangkan anatomi, fisiologi dan aspek patologi
juga harus melihat faktor-faktor keindahan gerak, terhindar dari nyeri, pekerjaan,
sikap psikologik dan sosio ekonomi penderita. Harus diusahakan sedemikian rupa
bila memakai ortosa dan protesa, penderita mendekati kehidupan biasa dan
produktif.
8. Psikologi
Penderita tumor otak sebelum dan sesudah pengobatan mungkin akan mengalami
dalam situasi baru terutama bila ada defisit fungsi. Dalam hal ini psikolog sebagai
anggota tim rehabilitasi berperan untuk menilai dan mengevaluasi fungsi perasaan
dan kognitif penderita; termasuk di dalamnya adalah :
a) Efek psikologik dan intelek yang terganggu akibat tumor otak.
b) Fungsi sebelum menderita dan sekarang.
c) Akibat kronik tumor otak.
d) Kemampuan penderita menerima keadaannya.
e) Persepsi penderita tentang keadaannya dan pandangan orang lain terhadap dia.
f) Peranan lingkungan.
Sikap emosi dan mental sangat menentukan keberhasilan proses rehabilitasi. Ratarata 50% pada orang dewasa dan lebih tinggi lagi pada anak-anak.
Psikolog juga mengamati secara obyektif keberhasilan interaksi antar tim dan
bertanggung jawab akan pemberian pengertian dan mengkomunikasikan
manifestasi psikologik dan perilaku penderita akibat penyakitnya.
9.
Anggota tim rehabilitasi yang masih jarang diIndonesiaadalah pekerja sosial medik
yang mempunyai peran penting. Dia menyiapkan laporan tentang penderita dan
keluarga, menentukan diagnosis sosial dan memberi informasi yang diperlukan tim.
Diagnosis sosial termasuk kemampuan penderita menerima defisit fungsinya dan
penerimaan penderita terhadap program rehabilitasi.
Pelayanan pekerja sosial medik yang diberikan kepada penderita dan keluarga
adalah : Penerangan tentang cacatnya, kehidupan sex, bantuan keuangan dan
badan sosial, situasi tempat tinggal yang hams sesuai pada keadaan penderita,
halangan bangunan yang mesti diubah, kamar mandi yang cocok dan sebagainya.
Hasil
Hasil pelaksanaan program rehabilitasi akhirnya akan dapat menggolongkan
penderita sesuai dengan fungsi yang dapat di-pulihkan atau fungsi yang masih
tersisa.
a)
b) Penderita sembuh dengan cacat dan fungsi yang tersisa dapat melakukan
pekerjaan ringan.
c) Penderita sembuh dengan cacat memerlukan bantuan dari keluarga untuk
kehidupan sehari-hari.
d) Penderita akan mengalami kemunduran dari waktu ke waktu dan selalu
memerlukan bantuan tim medik.
X. PROGNOSIS
Prognosis tergantung pada :
Besarnya